“Padahal seharusnya kau sudah dapat menduganya sendiri. Pergolakan yang terjadi dalam dunia
persilatan bukan baru berlangsung sehari
dua hari belaka. Hanya sekarang pergolakan itu semakin kentara saja, kepulangan Ngo-siok
kegunung kali inipun….”
“Oooh…. Ngo-siok maksudkan masalah Kiu-im kau dan Hian-beng-kauw?” tukas Hoa In-liong
tiba-tiba seperti baru saja memahami apa yang sebetulnya diartikan pamannya.
Hoa Ngo mendengus dingin. “Hmmm….! Coba lihatlah sikapmu yang acuh tak acuh, betul-betul
keterlaluan”* tegurnya.
Dengan terkejut Hoa In-liong menjulurkan lidahnya, ia tak berani memberi komentar lagi.
Tiba-tiba Hoa Ngo menghela napas panjang lalu berkata, “Liong-ji, persoalan ini tidak seperti
permainan kanak-kanak. Ketahuilah Kiu-im-kauw dan Hian-beng-kauw tidak lebih cuma dua buah
kelompok kekuatan yang agak lebih besar saja. Dibalik kesemuanya itu masih terdapat unsurunsur
iblis yang menggerakkan kekuatan tersebut. Memang keluarga Hoa kita disanjung dan
dikagumi kaum pendekar, tapi justru merupakan duri dalam mata bagi pandangan orang-orang
kaum sesat. Tak salah lagi kalau orang-orang itu sengaja mencari keonaran terhadap keluarga
Hoa kita. Orang bilang manusia itu hidup untuk mencari nama, pohon hidup karena kulit. Soal
nama memang kecil artinya, tapi bagaimanakah dengan keselamatan umat persilatan di dunia
ini? Bila semua umat manusia terancam bahaya, habislah pamor keluarga Hoa kita dimata orang
banyak”
“Liong-ji mengerti akan seriusnya persoalan ini. Liong-ji akan akan memperhatikannya dengan
seksama” Kata Hoa In-liong kemudian dengan serius dia bangkit dan memberi hormat.
“Kalau sudah mengerti, itu lebih bagus lagi” sahut Hoa Ngo sambil ikut bangkit berdiri, “Aku pun
tidak akan banyak berbicara lagi, segala sesuatunya boleh kau putuskan sendiri”
“Ngo-siok mau pergi?” buru-buru Hoa In-liong bertanya.
“Ehmmmm….!” Hoa-Ngo mengangguk, “Aku harus pulang ke gunung dengan sagera. Oya….
Beberapa waktu berselang kujumpai ada sekelompok orang-orang suku asing memasuki
Kim-leng. Beberapa orang itu mencurigakan sekali tindak-tanduknya. Bila bertemu di lain waktu,
berhati-hatilah sedikit”
Berbicara sampai disitu, dia lantas putar badan dan buru-buru turun gunung.
Memandang bayangan punggung Hoa Ngo yang menjauh, Hoa In-liong hanya bisa berdiri
termangu-mangu. Untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus dilakukan….
Kepergian Hoa-Ngo sangat tergesa-gesa. Ketergesaannya itu justru mendatangkah suatu
tekanan batin yang besar bagi Hoa In-liong.
Sepsrti diketahui sejak kecil ia dibesarkan bersama Hoa-Ngo. Terhadap watak dan kebiasaan
pamannya boleh dibilang sangat hapal. Dia tahu Hoa Ngo itu suka bicara blak-blakan dan cerdik,
tak pernah ia serius menghadapi masalah macam apapun jua.
Setiap kali pulang dari bepergian, ia paling suka mengajak dirinya adu kecerdasan dan berde-bat
dalam segala hal. Meskipun tiap kali ia selalu kalah dan berada dibawah angin, tapi pemuda ini
tak segan segannya untuk menghadapi terus pamannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
297
Dan kali ini, Hoa In-liong dapat merasakan bahwa Hoa Ngo telah menyembunyikan perkata-an,
rupanya ada sesuatu yang dirahasiakannya. Sikap yang berbeda dengan keadaan biasanya ini
segera mendatangkan suatu tanda tanya besar di hati Hoa In-liong.
Pikirannya mula bergolak. Ia merasa pelbagai persoalan seakan-akan berkecamuk menjadi satu
dalam benaknya. “Apa yang telah terjadi?. Kiu-im-kauw tak lebih hanya suatu kelompok
kekuatan yang merangkak bangun dari liang kuburnya, sedang Hian-beng-kauw juga tak lebih
hanya suatu organisasi baru yang muncul belum lama berselang. Orang-orang dari kedua
perkumpulan itu pernah kujumpai semua. Merekapun tidak seseram apa yang kubayangkan
sebelumnya. Aku tahu Ngo-siok bernyali besar, berotak cerdik dan tak pernah takut langit dan
bumi. Sekalipun berada dihadapan nenek juga tak pernah tegang. Heran, kenapa kali ini dia
pergi dengan tergesa-gesa? Masa karena urusan ini saja, dia akan mengganggu ketenangan
nenek serta ayah ibuku….?”
Pemuda itu jauh berbeda bila dibandingkan denagan Hoa Thian-hong. Kalau ayahnya Hoa Thianhong
dibesarkan dalam suasana yang serba sulit dan penuh percobaan. Sepanjang hidupnya tak
ada yang dijadikan pegangan dan kesuksesannya berhasil didapat karena perjuangannya yang
betul-betul hebat, maka dalam setiap pembicaraan mau pun tindakannya selalu serius dan tegas.
Maka dia dibesarkan dalam suasana yang menyenangkan serta cukup. Lagipula ada ayah
bundanya sebagai pegangan yang kuat, sejak kecil tak pernah kenal arti takut. Sekalipun ada
orang memberi peringatan kepadanya dan mengerti bahwa keadaan sangat gawat, namun ia tak
pernah memperdulikannya.
Bagi anak muda ini berlaku sistim pukul dulu urusan belakangan.
Orang bilang keadaan alam gampang dirubah, watak manusia susah diganti. Begitulah keadaan
pemuda itu, watak tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi sudah menempel sangat dalamdalam
tubuhnya.
Walaupun begitu, jelek-jelek diapun keturunan keluarga persilatan. Apalagi kecerdasannya lebih
tinggi dari orang lain. Kewaspadaannya tidak hilang sama sekali karena wataknya itu. Sesudah
berpikir sebentar diapun teringat kembali akan pesan dari Hoa Ngo.
Karenanya sambil berpikir, matanya celingukan kesana kemari, kemudian gumamnya seorang
diri, “Aaah…. peduli amat, fajar sudah hampir menyingsing. Ada urusan pikirkan saja nanti
setelah beristirahat, bagaimanapun jua berpikir melulu tak ada gunanya. Badai yang melanda
dunia persilatan dan hawa iblis yang menyelimuti angkasa tak mungkin in bisa kuatasi hanya
mengandalkah otak belaka….”
Karena berpikir demikian, dia lantas duduk bersandar tembok. Semua pikiran dibuang jauh- jauh
dari benaknya dan perhatiannya dipusatkan untuk mengatur pernapasan.
Siang itu, dengan pedang tersoren dipinggang buntalan menggembol dlpunggungm ia
berkunjung kembali ke kota Kim-leng.
oooOOOooo
PEMUDA itu masuk kota lewat pintu Ki-bun dan menginap di rumah penginapan yang memakai
merek Ban-liong.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
298
Ia tidak langsang menuju ke pasanggrahan pertabiban, ini menunjukkan bahwa keputusan
tersebut diambil setelah melalui pemikiran yang panjang dan seksama.
Selesai ganti pakaian dan bersantap, dengan mengenakan seperangkat baju sutera warna biru
laut, sepatu indah, menyoren pedang antik dipinggang dan menyimpan tiga botol obat dan
untaian mutiara kedalam sakunya, berpesanlah pemuda itu kepada pelayan bahwa ia akan pergi
melancong. Kemudian pura-pura sebagai kaum pesiar pelan-pelan ia menyusuri jalanan dikota.
Menurut hasil analisanya, kota Kim-leng yang sekarang merupakan kumpulan dari para jago dari
pelbagai golongan. Orang-orang dari Kiu-im-kauw ada disitu, orang orang Hian-beng-kauw ada
pula disitu. Malahan menurut pesan Hoa Ngo, dia harus memperhatikan pula beberapa orang
suku asing. Seandainya beberapa suku asing inipun bermaksud membuat keonaran pula dalam
dunia persilatan, berarti sudah ada tiga kelompok manusia hadir disana.
Bila ditambah lagi dengan kelompok Si Nio dan majikannya, Cia In dengan gurunya dan ia serta
Kim-leng ngo kongcu, berarti pertemuan beberapa kelompok manusia itu sekaligus akan
menerbitkan suatu kegoncangan yang luar biasa dalam dunia persilatan.
Walau demikian, diapun mengerti, Kim-leng ngo-kongcu tidak berada dikota asalnya. Si Nio dan
majikannya mungkin sudah kabur jauh-jauh bila mereka mau menuruti nasehatnya. Sedang Cia
In dan gurunya, oleh sebab perkumpulan Cha-li-kau mereka belum dibuka secara resmi, tentu
saja kelompok mereka tak akan tampilkan diri secara terus terang.
Sedangkan kelompok ‘beberapa orang Suku asing’ itu, hingga kini jejaknya belum ketahuan.
Pihak Hian-beng-kauw juga baru tunjukkan kedua orang ‘Ciu-Hoa’ serta begundalnya. Itu berarti
pertarungan tak mungkin berlangsung dalam waktu singkat. Sekalipun terjadi bentrokan
kekerasaan kekuatan pihaknya juga tidak terhitung terlalu minim.
Walaupun ia memandang remeh setiap masalah yang dihadapinya, tidak berarti perbuatannya
gegabah. Setelah mengalami suatu pemikiran yang serius dan mendalam, pemuda itu merasa
bahwa ada beberapa persoalan harus dilaksanakan lebih dahulu.
Pertama, siapa gerangan manusia-manusia yang disebut sebagai ‘beberapa orang suku asing’
itu? Apa tujuan kedatangan mereka? Dimana mereka bercokol saat ini? Dan berapa banyak
jumlah kekuatan mereka?
Kedua, jejak Coa Cong-gi harus berusaha dilacak sampai jelas. Seandainya ia sudah ditangkap
oleh jago-jago Kiu-im-kauw, ia harus mengusahakan pertolongan lebih dahulu, kemudian baru
berusaha untuk mengumpulkan kembali seluruh kekuatan dari Kim-leng ngo-koancu.
Ketiga, Masihkah Kiu-im kaucu bercokol dalam gedung megah itu? Setelah kepergiannya, tindakan
apa yang dia lakukan? Ia pernah memerintahkan anak buahnya untuk menjalin kontak
dengan orang-orang Hian-beng-kauw untuk bersama-sama menghadapi keluarga Hoa,
bagaimanakah keadaan situasinya saat ini?
Keempat. Garis besarnya ia sudah memahami tentang latar belakang pembunuhan atas Suma
Tiang-cing suami istri, tapi berhubung Giok-teng hujin tidak memberi perjelasan yang lebih
mendalam dalam pembicaraannya, seperti misalnya bagaimana caranya sampai hiolo kecil
kemala hijau itu bisa tercuri oleh Kiu-im kaucu, serta apa sebabnya Kiu-im kaucu sampai
bersekongkol dengan orang-orang Hian-beng-kauw, maka hingga kinii ia masih belum menguasai
penuh masalah tersebut.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
299
Bila mana mungkin, dia ingin sekali bertemu dengan Giok-teng hujin, atau Cia In serta guru-nya
untuk membicarakan persoalan ini dengan lebih terperinci.
Oleh sebab itulah, tindakan pemuda itu menginap dirumah penginapan, berpesiar dengan
menyaru sebagai pelancong boleh dibilang mengandung dua maksud tertentu.
Pertama, dia tak ingin mendatangkan bibit bencana bagi pihak Kang lam Ji-gi.
Kedua dengan berbuat demikian maka jejaknya jadi cukup rahasia. Itu berarti ia dapat bergerak
dengan lebih bebss lagi tanpa kuatir diawasi gerak-geriknya oleh lawan.
Disamping itu semua, pemuda itu pun menyusun jadwal tugas-tugas yang harus dilakukan lebih
dulu dengan rapi dan teratur.
Menurut pandangan In-liong, menjumpai Giok-teng Hujin tak perlu dilakukan dengan terburu
nafsu, sebab hal itu merupakan suatu perbuatan yang tak bisa diminta tapi harus menanti
tibanya kesempatan baik.
Untuk melakukan penyelidikan atas gerak-gerik pihak Kiu-im-kauw, waktu yang paling baik
adalah malam, daripada nantinya perbuatan itu menimbulkan gejala ‘Memukul rumput
mengejutkan ular’, mempertinggi kewaspadaan mereka.
Maka ia putuskan untuk menyelidiki lebih dulu indentitas “beberapa orang suku asing” itu
sekalian berpesiar di kota Kim-leng sambil menperhatikan apakah Kim-leng ngo-kongcu telah
kembali ke kota asalnya atau belum, diantaranya termasuk juga Coa Cong-gi.
Susunan rencananya ini memang cukup cermat teliti dan sempurna seakan-akan dalam waktu
setengah hari saja, ia telah kena digembleng sehingga jauh lebih matang.
Waktu itu dengan langkah yang santai Hoa In-liong berjalan menelusuri kota, matanya
Celingukan kesana kemari memperlihatkan orang yang berlalu lalang, sehingga akhirnya tanpa
terasa sampailah anak muda itu ditepi sungai.
Kota Kim-leng adalah kota niaga dijaman ahala Beng, juga merupakan bandar penting waktu itu,
terutama dibagian kota pusat perdagangan, suasana amat ramai. Banyak kaum pedagang dan
pelancong berlalu lalang disitu. Bukan saja banyak terdapat warung penjual barang, perusahaan
pengawal juga banyak, rumah makan banyuk, warung teh juga tak terhitung jumlahnya
Wilayah pusat perdagangan ini tak kalah ramainya dengan sekitar Hu-cu-bio. Kalau didalam kota,
kecuali kaum pedagang, kaum pelancong, tukang perahu, kuli kasar berkeliaran disana-sini.
Banyak pula laki-laki berwajah bengis yang luntang-lantung kesana kemari. Percekcokan,
perselisihan sudah sering terjadi disekitar sana, maka diapun terbiasa dengan situasi macam
begitu.
Hoa In-liong membaurkan diri dengan para pelancong lainnya berputar kesana kemari, ak-hirnya
karena tidak menemukan orang-orang yang terasa menyolok dalam pandangan, diapun masuk
kedalam sebuah warung teh untuk beristirahat.
Seorang pelayan menyambut kedatangannya dengan badan terbungkuk-bungkuk. “Silahkan
masuk siau-ya!” katanya, “Diatas loteng masih tersedia tempat yang baik!”
Hoa In-lioog manggut-manggut, dia naik ke tingkat dua dan memilih sebuah tempat yang de-kat
dengan jendela.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
300
Buru-buru pelayan itu mempersilahkan tamunya duduk, setelah itu baru ujarnya, “Hee…. heee….
heee…. Jendela ini menghadap ke arah sungai Tiang-kang. Udara segar, pemandangan indah
dan tempat dudukpun strategis letaknya. Tuan mau minum teh apa?”
“Sediakan saja teh Bu-oh!” sahut Hoa In-liong sekenanya.
Pelayan itu segera tertawa paksa. “Hee…. hee…. hee…. Tentunya kau datang diri propinsi Imlam
bukan?” sapanya seramah mungkin. “Heee…. hee…. Padahal teh Bu-oh kalah jika
dibandingkan teh Bu-gi. Teh Bu-gi masih kalah kalau dibandingkan ten Kun-san. Daripada teh
Kun-san lebih baik teh Liong-keng, dan Mao-cian dari teh Liong-keng merupakan teh nomor
wahid didunia ini. Tuan, bagaimana kalau hamba sediakan sepoci teh Mao-cian untuk dicobanya
lebih dulu?”
“Ehmm…. Tampaknya kau mendalam sekali pengetahuannya tentang soal air teh?” ujar Hoa Inliong
sambil menengadah dan tertawa.
Pelayan itu tertegun sejenak, lalu bungkukkan badannya berulang kali. “Tuan terlalu memuji,
tuan terlalu memuji!”
“Aku minta teh Bu-oh!” seru Hoa In-liong ketus. Paras mukanya berubah serius.
Sekali lagi pelayan warung teh itu tertegun. “Tentang soal ini…. Tentang soal ini….”
“Apa ini itu?” seru Hoa In-liong sambil tertawa terbahak-bahak, “Bukankah teh Bu-oh langka
dicari?”
“Yaa…. yaaa…. Benar, benar. Bu-oh memang teh yang langka, harap tuan suka memaafkan”
Jawab pelayan itu sambil menjura tiada hentinya dengan jawaban gagap.
Hoa In-liong tertawa tergelak tiada hentinya…. “Haa…. haa…. haaa…. Kalau sudah tahu barang
langka, buat apa kau banyak bicara lagi”? Hmm…. aku lihat kau menang lihay berdagang!”
Merah padam wajah pelayan itu karena jengah, kepalanya tertunduk rendah-rendah. “Orang
budiman tidak akan lihat kesalahan siau-jin. Harap yaya sudi maafkan!”
“Sana pergi! Sediakan saja air teh apapun, aku doyan air teh dari jenis manapun juga!” kata Hoa
In-liong kemudian sambil ulapkan tangannya.
Pelayan itu tak menyangga kalau urusan dapat selesai semudah itu. Ia menengadah dengan
jawab tertegun, kemudian setelah memberi hormat, buru-buru turun dari loteng.
Seketika itu juga, perhatian semua tamu yang berada diloteng sama-sama dialihkannya ke
arahnya.
Pertama karena ia berpakaian ketat menyoren pedang dan bertubuh kekar. Sekilas pandangan
orang mengetahui bahwa ia berilmu.
Kedua, karena memilih secawan air teh saja ia telah ribut dengan pelayan warung itu, orang lain
mengira pemuda itu sengaja memang mencari gara-gara, maka perhatian orang pun lebih
dipertingkat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
301
Haruslah diketahui, kebanyakan peminum, teh di pagi hari adalah kaum pelancong yarg tidak
mempunyai pekerjaan tetap. Manusia bangsa begitu bukan saja gemar mencari urusan. Mereka
paling suka mengagumi seorang enghiong membantu kaum yang lemah dan suka nonton
keramaian.
Tapi kenyataannya sikap Hoa In-liong sangat ramah, diapun cuma tertawa ringan untuk
menyudahi urusan, tak heran lalu banyak orang merasa kecewa atas tindakannya itu.
Hoa In-liong sendiripun tidak terlalu memperhatikan sikap orang. Ia memandang sekejap raut
wajah orang-orang itu, kemudian alihkan pandangan matanya keluar jendela, sikapnya yang
begitu santai ia sangat mencengangkan orang banyak.
“Ji-ko, tidak lemahkah kemampuan yang dimiliki orang itu?” tiba-tiba terdengar seseorang
bertanya.
“Ehmm….! Orang ini tampan dan penuh bersemangat, jelas seorang jago silat yang berilmu
tinggi” sahut yang lain.
“Bila kita bisa mendapat bantuannya, tentunya tak perlu diam-diam pulang untuk mencari
bantuan lagi” Kata suara pertama dengan parau.
“Eeeh…. Sam-te, kau sudah jadi bodoh atau gimana?” tegur orang pertama. “Kita kan tidak kenal
dengan dia. Lagipula tidak tahu juga siapakah orang itu, darimana munculnya ingatan semacam
itu dalam benakmu?”
Suara yang parau tadi menghela napas panjang. “Aaiiia…. Tapi menolong orang bagaikan
menolong api, kita sudah membuang waktu selama satu hari”
Waktu itu meskipun Hoa In-liong sedang menikmati pemandangan alam di sungai, tapi ia
memang datang kesitu dengan membawa tujuan tertentu. Sudah barang tentu pembicaraan
kedua orang itu dapat didengar olehnya sangat jelas.
Sebagai majikan muda dari Im Tiong-san, Sejak kecil dia memang sudah dididik untuk ber-jiwa
ksatria, sifat ingin menolong kaum yang tertindas selalu tertanam dalam jiwanya, maka ketika
mendengar kata-kata “menolong orang bagaikan menolong api” mendadak sontak hatinya
merasa bergetar keras.
Kebetulan pelayan datang menghidangkan sepoci arak wangi, ia pun berpaling sambil meneguk
air tehnya. Menggunakan kesempatan tersebut ia berpaling ke arah mana berasalnya suara itu.
Disudut loteng ruangan, tepat berada dihadapannya duduklah dua orang laki-laki berusia tiga
puluh tahunan. Salah seorang diantaranya bercambang lebat dan bercodet pada keningnya.
Orang kedua berperawakan jangkung dan kurus. Di antara alis matanya terdapat tahi lalat besar.
Mereka mengenakan pakaian ringkas yang sama bentuknya, menggembol senjata rahasia, tapi
wajahnya ramah dan gagah. Hanya waktu itu terhias perasaan cemas dan tak tenang.
Ketika ia mengawasi kedua orang itu, kebetulan dua orang itupun sedang mengawasi ke
arahnya. Maka ketika mata saling bertemu, Hoa In-liong segera berkata sambil tersenyum.
“Saudara berdua, bila kalian tidak keberatan bagaimana kalau pindah ke mejaku untuk bercakap
cakap?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
302
Ucapan tersebut terdorong oleh jiwa pendekarnya, tapi ia sudah melupakan tujuan
kedatangannya yang sebenarnya. Bukan saja tidak berusaha untuk menjaga diri, dia malah
menyapa orang lain lebih dahulu.
Dua orang laki laki itu tampak ragu-ragu sebentar, akhirnya mereka bangkit dan pindah tempat.
Sambil menjura dan memberi hormat, laki-laki jangkung kurus itu memperkenalkan diri: ‘“Aku
bernama Liat Ceng-poh, sedang dia adalah sam-te ku bernama Be Si-kiat….”
Hoa In-liong segera balas memberi hormat, katanya pula dengan wajah serius, “Aku bernama
Pek-Khi, silahkan duduk!”
Diam-diam ia telah mengambil keputusan, sebelum mengetahui jelas identitas orang yang dijumpainya,
untuk sementara waktu dia akan menggunakan nama palsu.
“Oooh…. kiranya Pek-heng, selamat berjumpa muka, selamat berjumpa muka….” kata Liat Cengpoh
dan Be Si-kiat hampir bersamaan waktunya, masing-masingpun ambil tempat duduk
disisinya.
Begitu kedua orang itu sudah duduk, Hoa In-liong pun bertanya secara langsung dengan
berterus terang: Dari pembicaraan saudara berdua, barusan dapat kudengar bahwa: Menolong
orang bagaikan menolong api: Boleh aku tahu siapa yang mendapat kesulitan? Kesulitan apa
pula yang sedang dihadapi? Bila tidak keberatan, aku bersedia untuk mendengarkannya”
Setelah ucapan tersebut diutarakan, Liat Ceng-poh dan Be Si-kiat segera saling berpandangan
tanpa menjawab, untuk sesaat mereka agak tertegun.
Hoa In-liong tersenyum, kembali ujarnya, “Aaah…. Aku memang terlalu gegabah. Semestinya
kalau kujelaskan dulu sikapku, agar kalian tidak sampai menaruh curiga lebih jauh terhadap
maksud baikku!”
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” pikir Liat Ceng-poh dihati “Bila dilihat dari tenaga dalamnya
yang begitu sempurna, semestinya dia adalah seorang jago sakti yang berilmu tinggi. Tapi
mengapa sikapnya begitu polos dan blak-blakan. Seakan-akan seorang jago yang sama sekali
tidak berpengalaman sampai berbicara pun tidak dipikirkan lebih dahulu….?”
Be Si-kiat adalah seorang lelaki yang berangasan, dengan cepat dia menyambung? “Aaah….
mana, mana, sungguh tak sangka. Pembicaraan kami yang lirih dapat didengar oleh Pek-heng.
Ketertegunan kami tadipun lantaran kejadian tersebut sedikit diluar dugaan. Harap Pek-heng
jangan menaruh curiga kepada kami!”
Hoa In-liong mengangguk, “Kalau toh demikian, apa salah kalau Bo-heng terangkan secara
langsung latar belakang persoalan yang membebani benak kalian? Asal tidak melanggar soal
kebenaran dan keadilan, bilamana memerlukan tenagaku, dengan senang hati aku bersedia
membantunya”
Kembali suatu pembicaraan yang menunjukkan bahwa pengalamannya masih kurang, sebab
walaupun latar belakang persoalan diketahuipun tidak sepantasnya mengucapkan kata- kata
seperti itu.
Dalam hati kecilnya Liat Ceng-poh menggerutu, tapi diluaran dia manggut berulang kali. “Yaa….
Yaa…. Kami berdua memang sangat mengharapkan bantuan dari saudara Pek”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
303
Sesudah berhenti sebentar, ujarnya kembali, “Beginilah duduk persolan yang sebenarnya.
Beberapa hari berselang, kami tiga bersaudara dengan mengikuti seorang sahabat berangkat ke
arah barat karena ada persoalan. Tak nyana sewaktu tiba disekitar kota Mong-yang telah
berjumpa dengan serombongan manusia-manusia yang berdandan aneh….”
Penbicaraan yang bertele-tele itu segera membuat Hoa In-liong jadi tak sabar, dahinya berkerut.
‘Saudara Liat, bersediakah engkau untuk bercerita seringkasnya saja….?”
Liat Ceng-poh jadi tersipu sipu. Dengan wajah merah ia tergagap tak mampu berbicara.
Be Si-kiat yang ada disampingnya segera menyela, “Jiko, biar aku saja yang teruskan”. Sambil
berpaling ke arah Hoa In-liong dan menatapnya lekat-lekat, ia melanjutkan, “Sebenarnya tujuan
kami adalah mencari seseorang. Siapa tahu walau sudah sampai di kota Hongyang
pun tak ada kabar beritanya, sahabat kami itu pun mulai gelisah. Kebetulan dari arah depan
muncul serombongan manusia, maka diapun maju sambil numpang tanya. Siapa tahu tatkala
rombongan itu mendengar nama dari orang yang hendak kami cari, tanpa banyak bicara lagi
segera menyerang kami dengan kejinya. Suatu pertarungan sengitpun tak bisa dihindari….”
Selama pembicaraan berlangsung dia hanya menggunakan istilah, “sahabat” serta “orang yang
dicari”. Sekalipun mengulanginya sampai beberapa kali tak pernah ia sebut nama sebenarnya
dari kedua orang tersebut.
Tentu saja Hoa In-liong dibikin tidak habis mengerti, akhirnya dia menyela, “Sebenarnya
siapakah sahabat kalian itu? Dan siapakah pula yang hendak kalian cari?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Be Si-kiat tertegun, lalu ia menengadah dan celingukan kesana
kemari dengan perasaan tidak tenang.
Rupanya Hoa In-liong cukup memahami perasaan orang, dengan suara setengah berbisik katanya,
“Begini saja, tulislah nama itu diatas meja dengan menggunakan air teh…. .!”
Lian Ceng-poh ada maksud untuk menghalangi rekannya, tapi Be Si-kiat sudah terlanjur
manggut. Setelah celupkan jeriji tangannya ke air teh, diapun menulis tiga huruf diatas
meja….Hoa In-liong.
Agak terkejut Hoa In liong sewaktu dilihat namanya tertulis dimeja, tapi sebelum ingatan
selanjutnya melintas didalam benak, Be Si-kiat telah menulis lagi tiga huruf…. Yu Siau-lam.
Bagaikan disambar geledek ditengah hari bolong, Hoa In-liong menjerit tertahan, “Apa? Yu….”
Tiba-tiba ia sadar bahwa dinding ada telinganya, maka sampai ditengah jalan ia telah mentahkan
ucapannya itu.
Bersamaan waktunya juga Be Si-kiat maupur Liat Ceng-poh menjerit kaget. “Kau….”
Menyaksikan suara terkejut dari dua orang itu, Hoa In-liong tahu bahwa mereka sudah salah
paham. Diapun tertawa lirih. “Harap saudara berdua jangan meayalahkan diriku. Pada
hakekatnya akulah sebenarnya Hoa In-liong yang kalian cari”
Be Si-kiat dan Liat Ceng-poh agak tertegun, lalu saling berpandangan tanpa mengucapkan
sepatah katapun. Agaknya mereka tidak percaya dengan pengakuan tersebut.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
304
Terpaksa Hoa In-liong memberi keterangan lebih jauh, “Sebetulnya aku diculik oleh Kiu-im
kaucu, tapi kemarin malam berhasil meloloskan diri dari mara bahaya. Telah kujumpai pula Yu
locianpwee. Pengakuanku dengan nama palsu tadipun kulakukan lantaran keadaan yang
terpaksa”
Setelah diberi penjelasan demikian, percayanya kedua orang itu memang sudah percaya. Sayang
tenaga dalam yang mereka miliki sangat terbatas sehingga tak mampu untuk mengutarakan isi
hati mereka dengan ilmu menyampaikan suara.
Maka setelah berhubungan untuk sesaat lamanya, Liat Ceng-poh ambil keputusan untuk mengutarakan
isi hatinya dengan menulis dipermukaaan meja. Terbacalah ia menulis demikian, “Yu
kongcu ditawan orang. Tujuannya adalah menyelidiki jejakmu. Kemarin saja mereka masih
berada di-kuil Ceng-si-koan sebelah barat kota Hong-yang. Bagaimana keadaannya sekarang,
agaknya tak usah dijelaskan lagi”
Hoa In-liong jadi amat cemas, dengan ilmu menyampaikan suara serunya kemudian. “Kalau
begitu, ayoh. kita segera berangkat!”
Liat Ceng-poh gelengkan kepalanya berulang kali. “Toako sedang masuk kota cari bantuan. Bila
bantuan telah tiba kita baru berangkat”
“Apakah minta bantuan dari Yu locianpwe?” tanya Hoa In-liong dengan wajah murung.
“Ooooh…. Kami tak akan berani mengganggu ketenangan Yu locianpwe. Sebetulnya kami
bersaudara adalah tamu-tamu dari keluarga Yu. Rasanya tidak enak kalau mengganggu
ketenangan mereka, maka toako mencari bantuan dari rekan-rekan persilatan lainnya, tak lama
lagi mereka pasti sudah sampai disini”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya semakin rapat sehabis mendengar ucapan tersebut,
“Perpisahan dalam sehari, mungkin akan terjadi perubahan yang tak terhitung banyaknya. Aku
pikir lebih baik Liat heng melukiskan saja bentuk badan dan dandanan mereka. Aku akan segera
berangkat. Daripada kalau terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan.”
Liat Ceng-poh berpikir sebentar, maka diapun menulis diatas mejanya dengan air teh: ‘“Musuh
berjumlah empat orang. Seorang gadis baju merah, seorang laki-laki berdandan pelajar, dua
orang bersanggul tinggi berbaju imam warna kuning dengan lengan baju sebatas sikut. Sekilas
pandang seperti jubah pendeta, tapi kopiahnya bundar dengan bagian dadanya terbuka, kaus
putih setinggi lutut, sepatu bot kulit, tidak mirip dengan orang Tionggoan, usianya antara….”
Hoa In-liong tak sabar untuk membaca lebih jauh, setelah membuang sekeping hancuran uang
perak ke meja, ia berseru, “Sampai jumpa didepan sana!”
Dengan langkah tergesa-gesa, ia menuruni anak tangga dan berlalu dari sana.
Liat Ceng-poh dan Be Si-kiat saling berpandangan dengan wajah tertegun, selang sesaat
kemudian dia baru menghela napas panjang. “Aaai…. Sungguh tak malu menjadi putranya Hoa
tayhiap!”
Dalam pada itu Hoa In-liong sudah kabur ke arah dermaga. Dengan menumpang perahu
peryeberang ia mendarat di dermaga Bu-ko. Setelah mencari tahu jalan menuju ke Hong-yang,
tanpa mengindahkan rasa kaget khalayak ramai, ia kabur menuju ke kota tersebut dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
305
Begitulah kalau orang selang diliputi kegelisahan, banyak tugas yang harus diselesaikan
ditinggalkan dengan begitu saja. Siang malam dia melakukan perjalanan cepat untuk menolong
orang, padahal apakah orang itu masih berada dikuil tak tahu.
Berbicara sesungguhnya, hal ini tak dapat salahkan dia kalau begitu terburu-buru. Lantaran dia
Yu Siau-lam melakukan perjalanan jauh. Lan taran diapun pemuda itu tertawan musuh. Sebagai
seorang pendekar sejati, dalam keadaan demikian walaupun nyawa harus dikorbankan,
pertolongan tetap harus diusahakan, mesti dia berada dimanapun.
Perjalanan sejauh enam ratus li ditempuh olehnya dalam waktu setengah hari satu malam. Akhirnya
menjelang fajar tibalah anak muda itu di tempat tujuan.
Selesai bersemedi untuk pulihkan kembali kekuatannya, kebetulan saja kuil Ceng-si-koan baru
saja buka pintu. Maka berpura-pura sebagai pelancong ia masuk kedalam ruangan kuil itu.
“Selamat pagi!” sapanya kepada imam penjaga pintu.
“Selamat pagi!” sahut toosu tersebut sambil balas memberi hormat.
Baru saja Hoa In-liong hendak menggunakan kesempatan tersebut untuk menanyakan apakah
ada sekelompok manusia asing menginap di kuil tersebut, tiba-tiba disudut ruangan kuil itu ia
saksikan berkelebatnya sesosok bayangan merah yang lenyap dalam sekejap mata.
Dia masih ingat, diantara penculik Yu Siau-lam terdapat seorang perempuan berbaju merah.
Maka tanpa berpikir panjang lagi ia menjejakkan kakinya ke tanah dan menyusup ke depan.
Mereka menerobos masuk lewat pintu berbentuk bulan, dibalik pintu adalah sebuah halaman,
semuanya berbentuk bulan, ketika ia tiba di pintu pertama, bayangan merah itu lenyap dibalik
pintu kedua.
Sekarang ia sudah melihat jelas bayangan punggung bayangan merah itu. Bayangan tersebut
memang bayangan seorang perempuan, bahkan ia mengenal dengan potongan badan orang itu.
Setelah berpikir sejenak, tiba tiba gumamnya seorang diri, “Aneh, kenapa bisa dia….?”
Ternyata dara berbaju merah itu bukan lain adalah Giok-kou-niocu si perempuan kaitan kema-la
Wan Hong-giok adanya.
Wan Hong-giok pernah menaruh rasa cinta terhadapnya, bahkan sikapnya begitu hangat dan
mesranya. Malahan sewaktu berpisah dia tunjakan sikap berat hati.
Tapi sekarang, bukan saja perempuan itu tidak menemuinya, bahkan kalau bisa berusaha untuk
menghindarkan diri jauh-jauh.
Pelbagai kecurigaan lantas melintas dalam benaknya. Dengan cepat ia menerobos masuk ke
halaman samping dan menelusuri serambi panjang.
Kebetulan dari arah depan situ muncul seorang tosu berusia pertengahan. Dengan cepat Hoa Inliong
membuang semua pikirannya yang kalut. Sambil maju ke muka dan memberi hormat
katanya seraya tertawa, “Tolong tanya totiang, apakah belakangan ini ada orang yang
menumpang disini?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
306
Mendengar pertanyaan tersebut, paras muka tosu berusia pertengahan itu berubah hebat, tanpa
sadar ia mundur selangkah ke belakang.
“Sicu…. sicu….” Ucapannya tergagap tak jelas, sepatah katapun tak mampu dilanjutkan.
Mengamati perubahan wajah orang, Hoa In-liong lantas mengerti apa yang dipikir orang, dengan
suara lirih, “Totiang tak usah takut. Aku menjumpai seorang sahabat yang diculik oleh
beberapa orang itu. Aku datang kemari untuk menolong jiwanya….”
Agak tenang perasaan imam setengah baya itu setelah mendengar perkataan tadi. Diamatinya
sekejap anak muda itu dengan tajam, kemudian bertanya, “Apakah sicu dari marga Hoa?”
“Yaa, aku adalah Hoa Yang”
Sekali lagi paras muka imam setengah baya itu berubah hebat, serunya dengan cemas, “Cepat
pergi dari sini sicu. Beberapa orang itu justru sedang mencari dirimu!”
Tampaknya kebijaksanaan dan kemuliaan Hoat Thian-hong telah diketahui oleh setiap orang
sampai-sampai pendeta yang tidak mengerti ilmu silatpun menaruh hormat kepadanya. Tak
heran kalau Hoa In-liong terharu sekali dibuatnya oleh ketulusan imam tersebut.
Ia tertawa ewa, “Terima kasih banyak atas perhatian totiang. Aku tak dapat pergi dengan begitu
saja dari sini”
Imam setengah baya itu semakin gelisah. Ia mulai mendorong pemuda itu dengan paksa.
“Ayoh, cepat pergi dari sini!. Beberapa orang itu mempunyai ilmu siluman yang lihay. Ilmu hitam
mereka tak mungkin ditandingi dengan ilmu silat. Bila ingin menolong orang datanglah malam
nanti. Mungkin pinto dapat usahakan suatu bantuan bagi diri sicu”
“Maksud baik tootiang biar kuterima dalam hati saja” tampik Hoa In-liong sambil minggeleng
“Aku percaya masih sanggup untuk menjaga diri. Beritahu saja kepadaku tootiang dimana
beberap orang itu tinggal. Aku percaya mempunyai akal untuk menyelamatkan jiwanya”
Ketika imam setengah baya itu tak berdaya mendorong tubuhnya, sekali lagi ia awasi pemuda itu
dengan tajam, tiba tiba ia menghela napas panjang. “Aaai…. Jika sicu bersikeras, tentu saja pinto
tak dapat memaksa lebih jauh. Harap sicu bersedia ingat baik-baik saja beberapa persoalan.
Yang terutama adalah kau harus berjanji kepada pinto agar segera mengundurkan diri bila
beberapa orang itu mulai menggotong keluar sebuah hiolo darahnya”
Hoa In-liong tersenyum, “Baik, aku kuturuti permintaanmu itu.”
Setelah pemuda itu memberi kesanggupannya, imam setengah baya itu baru mengerling ke
belakang sambil berbisik, “Telusuri saja serambi ini, sampai diujung sana belok kekiri. Disana ada
halaman lagi. Sobatmu disekap dalam salah satu ruangan tersebut. Sedang beberapa orang itu
berada dikedua belah sisi ruangan tahanan. Hati-hati sicu, jangan gegabah”
Habis berkata imam itu berlalu dengan langkah tergesa-gesa, seakan akan dia kuatir kalau
perbuatannya diketuhui oleh orang-orang tersebut.
Hoa In-liong mententeramkan dulu hatinya. kemudian dengan langkah lebar maju kedepan
menelusuri serambi tadi.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
307
Benar juga, diujung serambi itu terdapat sebuah bangunan yang berdiri terpencil dengan
dikelilingi sebuah lapangan luas. Dibelakangnya merupakan sebaris kamar kaum toosu,
semuanya berjumlah belasan buah. Mungkin tempat itu biasanya disediakan buat tamu-tamu
yang berziarah kesana….
Waktu itu, semua pintu ruangan tertutup rapat. Rupanya beberapa orang itu belum bangun dari
tidurnya.
Berdiri ditengah lapangan kosong, Hoa In-liong termenung beberapa ssat lamanya, lalu denga
suara lantang ia mulai berteriak, “Saudara Siau-lam….! Saudara Siau-lam….! Kau ada dimana?”
Cara ini memang suatu cara yang paling tepat. Bila Yu Siau-lam masih bisa mendengar, maka
pemuda itu akan tahu bahwa dia sehat-wal’afiat. Asal lukanya tidak parah, Yu Siau-lam-pun akan
berusaha untuk menunjukkan kamar sekapannya. Dengan demikian lebih gampang bagi In-liong
untuk memberikan pertolongannya.
Sebaliknya jika luka yang diderita Yu Siau-lam parah sekali atau jalan darahnya tertotok, diapun
bisa segera merubah taktiknya untuk memberi pertolongan.
Selain itu, Hoa In-liong bermaksud pula untuk mengundang munculnya beberapa orang itu.
Ketika tiada jawaban yang terdengar, Hoa In-liong merasa hatinya semakin tegang, sekali lagi ia
berteriak, “Saudara Siau-lam, engkau ada dima….?”
Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, mendadak terdengar seseorang membentak dengan
suara yang aneh. “Bangsat dari mana yang berkaok-kaok macam gonggongan anjing?”
Berbareng dengan suara bentakan itu, pintu kamar terbuka lebar, menyusul kemudian muncullah
tiga orang manusia aneh.
Dua orang yang berada dipaling depan mengenakan jubah warna kuning dengan rambut digulung
menjadi satu. Usianya antara tiga puluh tahunan, hidungnya besar seperti singa, bibirnya
tebal, tampangnya menyeramkan sekali.
Dibelakang kedua orang itu adalah seorang laki-laki berusia dua puluh lima enam tahun.
Berjubah pelajar dengan ikat kepala hijau. Alis matanya melentik keatas. Panca inderanya
sempurna cuma sayang wajahnya agak pucat, matanya licik. Sekilas pandangan dapat diketahui
bahwa dia adalah seorang manusia yang lebih banyak menggunakan akal busuk.
Dengan kerlingan tajam Hoa In-liong mengawasi beberapa orang itu, lalu seraya menjura katanya
dengan lantang, “Aku bernama Pek-khi. Konon seorang sahabatku telah terjatuh ke tangan
saudara sekalian. Karenanya sengaja aku datang kemari mohon kerelaan hati saudara sekalian
untuk melepaskan temanku itu. Untuk bantuan serta perhatian kalian, aku akan merasa
berterima kasih sekali”
Manusia berjubah kuning yang berada dipaling depan itu segera tertawa seram. “Hee…. hee….
hee…. Enak benar kalau berbicara, apa yang kau andalkan untuk mengajukan pemohonan
tersebut?”
Imam jubah kuning yang berada di belakangnya segera menanggapi dengan alis berkerut dan
dengusan dingin. “Hmmm….! Orang ini berkaok-kaok macan orang edan, sampai-sampai tidurku
juga ikut terganggu, lebih baik dimusnahkan saja daripada banyak ribut”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
308
Tapi sebelum mereka sempat melakukan sesuatu tindakan, laki-laki berdandan pelajar itu telah
menyela, “Lapor susiok, orang ini usianya masih sangat muda tapi tampangnya cukup keren dan
gagah.
Aku duga asal usulnya tentu luar biasa. Biar keponakan bertanya kepadanya sebelum susiok
meng ambil tindakan lebih lanjut….”
Orang yang ada dibelakang itu memutar biji matanya, kemudian mendengus dingin. “Hmmm….!
Coba tanya kepadanya, anaknya Hoa Thian-hong berada dimana….?”
Sementara dua orang itu bertanya jawab sendiri, Hoa In-liong diam-diam menganalisa pula
keadaan disekitar tempat itu, kemudian pikirnya di dalam hati, “Sorot mata kedua orang ini aneh
sekali, tampangnya juga jelek tak senang dilihatnya, tabiatnya juga jelek dan garang. Mungkin
merekakah yang dimaksudkan Nyo-siok sebagai suku-suku asing? Kalau dilihat dari sikap mereka
yang begitu ngotot menyelidiki jejakku, sudah pasti orang-orang itu datang kemari dengan
tujuan jelek”
Sementara dia masih termenung, laki-laki berdandan pelajar itu sudah raaju kedepan seraya
berkata, “Pek-heng, boleh aku tahu saudara berasal dari perguruan mana? Apa hubungannya
dengan Yu Siau-lam? Bila engkau bersedia mengakui secara berterus terang, akupun bisa saja
berunding dengan susiokku untuk segera melepaskan orang, sebaliknya kalau tidak…. hee….
hee…. Apa yang diucapkan susiokku barusan tentu sudah saudara Pek dengar bukan?”
Dalam hati kecilnya Hoa In-liong mendengus dingin, ia segera berpikir dihati, “Hmmmm….!
Gertak sambal juga mau digunakan terhadap diriku, huuh…. Percuma! Bila aku Hoa loji begitu
tak becusnya, tak nanti tugas berat ini akan kuterima!”
Sementara ia dihati berpikir demikian, sorot matanya sekali lagi menyapu sekejap ke arah dua
orang laki-laki berjubah kuning itu, kemudian menegur, “Siapakah nama saudara?”
“Tak usah saling menyebut nama, jawab saja pertanyaan yang kuajukan, lebih cepat akan lebih
baik”
“Hoa In-liong tersenyum. “Aku lihat gerak-gerik maupun nada bicara saudara amat halus dan
sopan santun, lagi-pula mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan suku asing. Bila
dugaanku tak keliru, tentunya saudara adalah seorang tokoh silat yang berpengalaman luas dan
berilmu tinggi. Sungguh beruntung aku bisa bertemu dengan saudara. Bila sekarang saudara
menampik untuk memberitahukan nama anda, ooh…. betapa menyesalnya aku!”
Berserilah air muka laki-laki pelajar itu sehabis mendengar kata-kata pujian tersebut, tanpa
disadari ia berkata, “Terima kasih banyak atas pujianmu, aku adalah Siau Khi-gi….”
Menggunakan kesempatan baik itu, Hoa In-liong bertanya lebih jauh, “Dan susiokmu?”
Karena bangga Siau Khi-gi telah lupa akan segala-galanya, spontan ia menjawab, “Susiokku
bernama Hong-Seng, dia berasal dari Seng….”
Tiba-tiba sadarlah laki-laki pelajar itu bahwa ia sudah tertipu oleh siasat Hoa In-liong.
kontan hawa amarahnya berkobar sampai dalam benak, dengan suara keras teriaknya, “Bajingan
cilik….”
“Saudara Siau keliru besar, aku bernama Pek-khi!” tukas Hoa In-liong dengan senyum dikulum.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
309
Siau Khi-gi betul-betul naik darah, setengah kalap ia menjerit sekeras-kerasnya, “Anak murid
siapa? Ayoh jawab!”
Air muka Hoa In-liong berubah semakin keren, dengan angkuh ujarnya kembali, “Lagakmu
soknya bukan kepalang, dianggapnya dengan mengandalkan ilmu silat Seng sut-pay aliran Mokao
lantas bisa malang melintang tanpa tandingan?”
Hoa In liong memang cerdiknya luar biasa, sekalipun ia hanya mendengar kata” Seng” belaka,
tapi oleh karena sewaktu masih dirumah ia sudah sering mendengar kisah tentang penggalian
harta karun di bukit Kiu-ci-san dimana kaucu….
Jilid 16
DARI Seng-sut-pay yang bernama Tang Kwik-siu telah sesumbar sebelum kabur kembali ke
negeri asalnya bahwa dalam sepuluh atau seratus tahun mendatang, pihak Seng-sut-pay akan
mengirim jago lihaynya untuk minta kembali kitab pusaka perguruannya dan mengetahui pula
kalau murid pertama dari Tang Kwik-siu bernama Hong-Liong, maka begitu mendengar Siau Khigi
mengatakan bahwa susioknya bernama Hong Seng, teringat juga akan perkataan dari tosu
setengah baya tadi yang menyinggung soal “ilmu siluman” dan “hiolo darah”. Pahamlah pemuda
itu siapa gerangan musuh yang sedang dihadapi.
Siau Khi-gi sendiri rada terperanjat sehabis mendengar perkataan itu. Untuk sesaat ia termangu,
tapi hanya sebentar, tiba-tiba sorot mata aneh memancar dari matanya lalu tertawa seram.
“Hee…. hee…. hee…. Sekarang aku sudah paham, kau tidak she Pek tapi she Hoa, kau dilahirkan
oleh Pek Kun-gi!”
Tampaknya Hong Seng adalah seorang manusia kasar yang tidak mengerti menggunakan otak.
Ketika didengarnya Siau Khi-gi menyebut ‘kau she Hoa’, tanpa banyak berbicara lagi dia lantas
membentak, “Khi-gi, tangkap orang itu! Tangkap orang itu!”
Hoa In-liong sendiripun diam-diam merasa terperanjat, pikirnya, “Ia dapat menebak aku she-Pek
dari ibuku, kecerdikan serta daya kemampuannya untuk berpikir betul-betul bukan sembarangan
orang dapat menandangi. Bila ingin menangkan pertarungan ini, agaknya aku harus bersikap
lebih berhati-hati”
Sekalipun dalam hati merasa terperanjat, paras mukanya sama sekali tidak berubah. Pemuda itu
merasa tak bisa memungkiri lagi setelah pihak lawan berhasil menebak jitu asal usulnya. Kalau
tidak, maka tindakannya ini sama artinya seperti tak berani mengakui nenek moyang sendiri.
Sementara itu, Siau Khi-gi telah maju ke depan setelah mendengus dingin katanya, “Bagaimana?
Mau menyerah kalah ataukah harus bertarung lebih dahulu sebelum takluk?”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya, lalu tertawa, “Aku tak pernah takut terhadap ilmu silat aliran
Mo-kauw. Sebentar lagi aku pasti akan minta petunjuk dari saudara Siau. Tapi sebelum itu, lebih
baik kita bereskan dahulu sebuah persoalan. Bila kau tidak bisa mengambil keputusan, biarlah
aku bercakap-cakap secara langsung dengan gurumu”
Sekalipun perkataan itu diutarakan dengan blak blakan dan wajah yang cerah, namun dalam
pendengaran Siau Khi-gi ibaratnya sebilah pisau yang menusuk ulu hatinya. Saking sakit hatinya
ia sampai menggertak gigi dengan muka hijau membesi.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
310
Hong Seng yang ada disampingnya segera menukas, “Tooyaa tidak ingin membicarakan soal
apapun jua, Khi-gi Sikat saja bajingan cilik itu!”
Sejak tadi Siau Khi-gi memang berharap bisa mendapat perintah tersebut, tanpa banyak bicara
lagi ia membentak keras, lalu melancarkan sebuah pukulan dahsyat kearah Hoa In-liong.
Serangan tersebut dilancarkan dalam keadaan amat gusar, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya
pukulan itu. Diantara deruan angin yang mengerikan, bagaikan terbentuknya selapis tembok
hawa, secara langsung menerjang kedada pemuda itu.
Hoa In-liong tak tahu serangan itu suatu serangan sungguhan atau tidak. Ia tak berani dengan
gerakan keras lawan keras. Dengan suatu langkah yang cekatan dia mengigos kesamping
lawannya. Setelah lolos dari sambaran angin pukulan yang maha dahsyat itu, segera bentaknya
keras-keras, “Tunggu sebentar! Aku hendak mengucapkan sesuatu kepada kalian….”
Orang Mo-kauw paling tidak menurut aturan dunia persilatan. Dikala anak muda itu sedang
mengigos kesamping, terlihatlah seorang imam jubah kuning lainnya menyelinap ke muka.
Lengan kanannya segera menyambar ke depan mencengkeram punggung Hoa In-liong,
bentaknya dengan seram, “Mau bicara nanti saja bila sudah tertawan, too-ya tak akan menyiksa
dirimu”
Serangan yang dilancarkan dari belakang adalah suatu sergapan yang memalukan. Hoa In-liong
paling benci menghadapi manusia-manusia macam begini.
Serta merta telapak tangan kirinya diayun ke bawah membacoh pergelangan tangan kirinya.
“Bangsat, tak tahu malu!” dia memaki.
Serangan tersebut dilancarkan dengan gerakan “Menyerang sampai mati gerakan pertama”.
Babatan sisi telapak tangannya itu tak kalah tajamnya dengan pedang atau pisau belati.
Andaikata terbacok telak, niscaya pergelangan tangannya akan cacad.
Terkesiap orang baju kuning itu karena kaget, cepat-cepat sikutnya ditekuk ke bawah tubuhnya
dengan gerakan cepat mundur tiga langkah kebelakang.
Menggunakan kesempatan itu Hoa In-liong melompat mundur kebelakang dan langsung
menyusup kehadapan Hong Seng, dengan wajah penuh kegusaran dan tampang yang buas ia
membentak, “Sebetulnya kau pakai aturan tidak?”
Hong Seng mundur selangkah dengan hati keder, keberaniannya agak goyah oleh keangkeran
musuhnya. “Kenapa tooya tidak pakai aturan?” dia menyahut.
“Kalau pakai aturan itu lebih bagus lagi, lepaskan dulu tawananmu!” kata Hoa In-liong lebih jauh
dengan mata bersinar tajam.
Hong Seng mulai pulih kembali kesadarannya setelah mendengar ucapan itu, dia semakin
tertegun. “Kenapa tooya musti melepaskan tawanan?”
“Hmm ! Engkau benar-banar manusia yang tak tahu malu!” bentak Hoa In-liong sambil
melangkah setindak kedepan, “Sekalipun Yu Siau-lam adalah sahabat karibku, ia sama sekali tak
tahu kemana aku pergi. Sedang kau telah menyekapnya tanpa alasan yang kuat, bahkan
menanyakan pula jejakku. Cara semacam ini sudah terhitung suatu tindakan yang tak tahu
aturan. Sekarang aku kan sudah berdiri dihadapanmu? Bagaimanapun juga tujuanmu menyekap
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
311
Yu Siau-lam sudah tercapai, mengapa tidak kau lepaskan juga dirinya? Atau memang kau anggap
aku tak bisa melakukan apa-apa terhadap dirimu?”.
Pada waktu itu kemarahan telah menyelimuti seluruh benak Hoa In-liong. Perkataannya kian
lama kian bertambah kasar, tampangnya juga makin lama semakin keren. Didesak secara begini
oleh anak muda itu, kontan Hong Seng merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri. Ia
bergidik dan tanpa sadar mundur selangkah lagi ke belakang.
Walaupun demikian, bukan bukan berarti persoalan dapat diselesaikan dengan begitu saja.
Hoa In-liong benar-benar memandang rendah musuhnya yang bernama Hong Seng ini, karena
lawannya itu berhasil digertak sampai ketakutan setangah mati, walau cuma hanya dengan katakata
belaka.
Dalam kesal dan jengkelnya, anak muda itu segera memutar badannya dan siap berlalu dari situ.
Tapi…. baru saja badannya berputar, tiba-tiba terasa ada desiran angin dingin menyergap
belakang tubuhnya, menyusul kemudian lima jari tangan yang tajam bagaikan kaitan
mengancam iganya.
Ternyata reaksi dari Hoa In-liong cukup cepat, tiba-tiba ia tarik lambungnya ke belakang, telapak
tangan kanannya diangkat ke atas. Dengan jari tengah dan telunjuknya ia totok pergelangan
tangan musuh yang sedang menyambar tiba itu.
Diantara desingan angin jari yang menderu-deru, terdengar serentetan jeritan ngeri yang
menyayatkan hati berkumandang memecahkan kesunyian. Seorang imam berbaju kuning
terhuyung mundur kebelakang dengan sebuah lengannya terkulai kebawah.
Ternyata dalam serangannya tersebut, totokan jari tangan dari Hoa In-liong itu berhasil
mematahkan pergelangan tangan kanan lawannya.
Baru pertama tali ini Hoa In-liong melukai orang, tak kuasa jantungnya berdebar keras.
Sementara itu Siau Khi-gi menjadi ketakutan setengah mati. Diam diam ia bersyukur. Bersyukur
karena bukan dia yang melakukan serangan tersebut. Kalau tidak maka yang terluka sekarang
bukan imam baju kuning itu melainkan dirinya.
Mula-mula Hong Seng agak tertegun karena terperanjat, tapi sesaat kemudian dengan wajah
menyeringai seram dan sorot mita bertambah buas, ia membentak nyaring, “Khi-gi, siapkan hiolo
darah!”
Menyaksikan kebuasan sorot mata Hong Seng, apalagi setelah mendengar ia meneriakkan katakata
“siapkan hiolo darah,” Hoa In-liong merasakan hatinya berdetak keras, segera pikirnya,
“Konon anak murid Mo-kauw dari Seng Sut-pai banyak yang memiliki ilmu sesat yang rata-rata
amat lihay dan luar biasa, seperti misalnya Hong Seng. Rupanya ia menitik beratkan kepadanya
pada “hiolo darah” tersebut. Aku tak boleh berbuat gegabah sehingga kena dipecundangi
olehnya”
Walaupun dihati kecilnya ia merasa murung bercampur ngeri namun kewaspadaan sama sekali
tidak berkurang. Diawasinya Siau Khi-gi yang ada disampingnya dengan pandangan tajam.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
312
Sekulum senyuman dingin yang seram dan keji tiba-tiba menghiasi wajah Siau Khi-gi. Kemudian
ia putar badan dan pelan-pelan berjalan ke arah pintu ruangan yang tertutup rapat. Sikap
maupun air mukanya berubah jadi amat serius.
Sementara itu, Hong Seng sendiri jaga berdiri dengan wajah serius. Sepasang matanya tertutup
rapat, bibirnya bergetar kemak kemik seperti orang lagi membaca doa. Entah mentera apa yang
sedang dibaca oleh imam tersebut?
Tindak tanduknya persis seperti upacara suatu aliran kepercayaan yang serba misterius. Suasana
penuh diliputi keangkeran, keajaiban, kemisteriusan, kengerian dan serba baru. Berada dalam
keadaan begini, Hoa In-liong merasa detak jantungnya tiba-tiba berdebar lebih keras, sampaisampai
bernafas keras-keras pun tak berani.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Hoa In-liong, dengan cepat ia berpikir, “Eeh…. Tidak
benar!. Bukankah kamar tengah adalah kamar yang dipakai oleh mereka untuk menyekap
saudara Siau-lam? Jangan-jangan…. Ya Jangan-jangan….””
Dengan cepat ia menengadah, waktu itu Siau Khi-gi sudah melangkah di atas serambi.
Saking kagetnya peluh dingin telah membasahi sekujur badan Hoa In-liong, kakinya lantas
dijejakkan ke permukaan tanah sambil menerjang ke depan dengan cepat.
“Tunggu sebentar!” bentaknya lantang.
Menyusul suara bentakan itu, dia lancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah tubuh Siau Khi-gi,
sedang serangan yang lain ditujukan ke arah pintu kamar.
Gerakan tubuhnya itu terlampau cepat, dalam keadaan demikian tak sempat bagi Siau Khi-gi
untuk menghindarkan diri, ia terjatuh keluar dengan sempoyongan.
Tapi begitu pintu kamar terpentang lebar, suatu kejadian aneh pun segera berlangsung di depan
mata.
Kecuali sebuah pembaringan bambu dalam ruangan tersebut, di lantai ada sebuah bantalan
untuk bersemedi. Di depan bantalan semedi tadi berdirilah sebuah hiolo setinggi tiga depa
dengan lebar beberapa depa dan berwarna merah bercahaya terang. Kecuali itu tidak nampak
benda apapun juga.
Hoa In-liong sangat mengkuatirkan keselamatan Yu Siau-lam, menyaksikan kesemuanya itu dia
lantas berteriak keras, “Dimana orangnya? Orangnya…. kemana parginya dia?”
Sementara itu Hong Seng telah menyerbu masuk ke dalam ruangan, tapi ketika hiolo itu
dillongok sekejap, tiba-tiba ia menjerit setengah kalap. “Oooh barang pusakaku…. kemana
larinya Po hoat ku…. oooh…. Poo-hoat ku….”
Rupanya dalam hiolo berwarna merah bercahaya itulah terkumpul beratus-ratus macam makhluk
beracun yang paling jahat didunia.
Makhluk beracun serta hiolo darah ini merupakan bahan pokok terpenting bagi orang Mo-kauw
untuk melakukan ilmu Hiat-teng-toh-hun-tay-hoat (ilmu hiolo darah pembetot sukma) yang maha
dahsyat itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
313
Selain kepandaian tersebut, terdapat juga sejenis kepandaian yang disebut Hua-hiat-to (Pekikan
pelumer jadi darah). Untuk melatih kepandaian tersebut, seseorang juga tak boleh melupakan
kedua jenis barang tersebut.
Sekarang hio!o pusakanya masih berada ditempat, tapi makhluk-makhluk beracunnya justru
sudah kempas-kempis melingkar dalam hiolo itu dalam keadaan sekarat. Kematian pun caranya
tidak terlalu jauh lagi. Tidaklah heran kalau Hong Seng jadi khekinya bukan kepalang, sampaisampai
perkataanpun terbata-bata.
Sementara semua orang diliputi rasa gugup dan keget, bayangan merah berkelebat lewat
disebelah samping, menyusul kemudian Giok-kou-nio-cu Wan Hong-giok munculkan diri ditempai
itu.
Begitu Hong-giok munculkan diri, Siau Khi-gi pertama-tama yang menghampiri seraya menyapa,
“Adik Hong, sejak pagi tadi kau telah pergi kemana?”
Wan Hong-giok mengangkat kepalanya tidak menjawab, menggubris pun tidak. Dia langsung
menuju kepintu kamar dan berdiri bertolak pinggang disana, tiba-tiba serunya dengan suara lirih,
“Hong-susiok, kenapa bersedih hati? Apakah lantaran makhluk-makhluk beracunmu itu?”
Waktu itu Hong Seng sedang mendongkol dari kesalnya bukan kepalang, apalagi tidak ada
tempat penyaluran, matanya kontan melotot besar. “Hmm…. Gembira bukan karena bencana
yang menimpa aku?” Teriaknya, “Lain hari kau tak usah takut kepadaku lagi”
Wan Hong-giok mencibirkan bibirnya. “Huuuh…. konon kau sangat ahli dalam hal makhluk
beracun. Kenapa tidak kau periksa dulu dengan lebih seksama sebelum mengamuk macam orang
edan ?”.
Mula-mula Hong Seng agak tertegun, menyusul kemudian merangkak kesisi hiolo tersebut.
Dimana dia bersuara aneh sesaat lamanya, selang kemudian sambil berjingkrak karena
kegirangan teriaknya: ‘”Hong-giok, kau memang hebat, kau….!”
“Tiada sesuatu yang perlu dihebatkan,” tukas Wan Hong-giok ketus, “Aku cuma menuruti caramu
belaka. Siapa tahu darah manusia yang kuberikan kepada mereka rupanya terlalu banyak
sehingga jimat-jimatmu tak tahan lagi. Bukan keuntungan yang didapat justru satu nyawa telah
dibuang dengan percuma”
Tak terkirakan rasa kaget dan cemas Hoa In-liong setelah mendengar perkataan itu, serunya
dengan gelisah, “Apa kamu bilang?”
Wan Hong-giok melirik sekejap kearah pemuda itu, lalu sahutnya dengan angkuh, “Tidak apaapa.
Orang-orang dari perkumpulan kami sudah terbiasa menggunakan darah sendiri untuk
memberi makan kepada makhluk-makhluk beracun. Belum pernah nona saksikan ada orang yang
begitu tak becus setelah kehilangan darah. Sobatmu she-Yu itu memang orang tak berguna, baru
setengah jam saja ia sudah mampus dengan darah mengering”
“Kau bilang dia sudah mati?” Hoa In-liong merasa kaget bercampur gusar.
“Yaa, sudah mampus!”
Merah membara sepasang mata Hoa In-liong. “Dimana…. Dimana mayatnya? Aku menginginkan
mayatnya !” teriaknya keras-keras.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
314
“Mayatnya berada lima ratus langkah disebelah timur kuil ini” jawab Wan Hong-giok dengan
dingin, “Aku rasa saat ini sudah habis dimakan anjing liar”
Seketika itu juga Hoa In-liong merasakan darah didalam tubuhnya bergolak keras, mukanya hijau
membesi. Ketika mendengar berita duka ini, hampir saja ia kehilangan ketenangannya seperti
dihari-hari biasa. Sekujur badannya gemetar keras, giginya saling bergemerutuk keras, teriaknya
dengan penuh kebencian, “Kau…. Kau…. Hitung-hitung aku sudah mengenali watakmu yang
sebenarnya”
Pemuda itu buru-buru ingin menemukan kembali jenasah dari sahabatnya, ia tak rela
membiarkan jenasah temannya terlantar ditengah hutan sebagai umpan anjing, maka sambil
menahan rasa sedih dan gusarnya, begitu selesai berkata ia segera lari meluncur kearah timur.
Wan Hong-giok segera mendengus dingin, ia mengejar dari belakangnya seraya membentak.
“Masih ingin kabur. ? Lihat senjata rahasia”.
Serentetan cahaya kilat mengikuti ayunan telapak tangannya segera menyergap punggung Hoa
In-liong….
oooOOOooo
HOA IN-LIONG merasa amat perih batinnya. Apa yang terpikir olehnya pada saat ini adalah
secepatnya menemukan diri Yu Siau-lam. Bagaimanakah keadaan sobatnya itu itu apakah masih
hidup atau sudah mati, ia tidak berniat untuk memikirkannya lebih jauh.
Sama sekali tak terduga olehnya, Wan Hong-giok yang pernah menaruh hati kepadanya tiba-tiba
seperti berubah jadi orang lain. Bukan dia yang mendesak gadis itu lebih jauh, ternyata malahan
gadis itulah yang mengejarnya sambil menyerang senjata rahasia. Seakan-akan nona itu amat
mendendam kepadanya sehingga hatinya baru puas bisa dapat membinasakan dirinya.
Mendengar bentakan tersebut, dengan hati yang mangkel pemuda itu lantas berpikir, “Bagus
sekali! Tempo hari saja cintamu padaku begitu berkobar-kobar, sekarang hatimu sudah jadi
busuk, bukan saja sobatku kau celakai, sampai kepadaku pribadi juga tak mau lepas tangan”
Sebelum ingatan tersebut habis melintas dalam benaknya, desingan angin tajam telah
menyergap punggungnya.
Dalam keadaan demikian, serta merta Hoa In-liong menjatuhkan diri kebelakang. Begitu senjata
rahasia itu menyambar lewat, lengan kanannya segera menyambar kemuka, ujung kakinya
menjejak permukaan tanah dan secepat kilat menyambar senjata rahasia yang menyambar lewat
diatas punggungnya tadi.
Anak muda itu sungguh merasa amat gusar, dia ingin menangkap senjata rahasia itu untuk
disambit kembali kearah nona itu.
Tapi apa yang kemudian terjadi? Ternyata senjata rahasia yang berhasil ditangkapnya itu adalah
segumpal kertas kecil.
Meudapatkan gumpalan kertas tersebut, Hoa In-liong semakin tertegun sehingga untuk sesaat
lamanya tak mampu berbuat apa-apa.
Pada waktu itutah, tiba-tiba Hong Seng membentak dengan suara yang amat nyaring, “Kenapa
cuma berdiri termangu saja? Ayoh dikejar!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
315
Waktu itu Hoa In-liong akan membuka kertas tersebut untuk diperiksa apa isinya, tapi ketika
mendengar bentakan itu, hatinya jadi amat tercek kat, segera pikirnya, “Hong Seng sudah
merasakan hal ini, aku…. aku harus cepat-cepat kabur dari sini “
Cepat-cepat gumpalan kertas itu disusupkan ke dalam saku, kemudian ia melompat kedepan dan
naik keatas atap rumah.
Baru saja badannya lenyap disudut tembok, tiba-tiba terdengar suara deruan ujung baju
tersampok angin menyambar lewat diatas kepalanya dan kabur menuju ketimur.
Hoa In-liong termenung dan berdiam diri sesaat lamanya disana, kemudian ia putar badannya
kembali dan balik menuju kearah ruangan semula.
Satelah melalui suatu pemikiran yang cukup panjang, Hoa In-liong dapat mengambil kesimpulan
bahwa sikap Wan Hong-giok bukanlah sikap yang sungguh-sungguh, melainkan suatu
kesengajaan agar pihak lawan tak curiga. Tujuannya tentu saja agar dia cepat-cepat tinggalkan
kuil Cing-siu-koan tersebut.
Menurut analisanya, sikap gadis itu pasti mengandung arti yang mendalam sekali. Mungkin juga
Hong Seng sekalian masih memiliki kepandaian lainnya yang sakti dan belum dikeluarkan, maka
iapun menggunakan alasan bahwasanya Yu Siau-lam sudah mampus dan mayatnya terlantar
ditimur kota untuk mengelabuinya.
Kendatipun anak muda itu mulai mengerti bahwa Yu Siau-lam belum mati, tapi sebelum bertemu
dengan orangnya ia belum juga berlega hati. Apalagi menurut anggapannya kendati Hong Seng
sekalian memiliki ilmu silat yang lebih sakti, sembilan puluh persen juga mengandalkan
keampuhan “hiolo darah” nya. Maka setelah dipikir pulang pergi akhirnya dia memutuskan untuk
menggunakan kesempatan yang sangat baik ini untuk memusnahkan” hiolo darah” itu. Asal
benda yang mereka andalkan musnah, berarti pertarungan andaikata sampai berlangsung, kedua
belah pihak terpaksa harus bertarung dengan andalkan kepandaian sejati.
Cepat nian gerakan tubuhnya, tak lama kemudian ia sudah tiba didepan pintu halaman tersebut.
Pintu kamar sebelah tengah masih terpentang lebar, hiolo darah masih ada dalam kamar, tapi
seorang imam jubah kuning dengan mata yang jelalatan berdiri ditengah serambi panjang
dengan sikap siap siaga penuh.
Kembali Hoa In-liong memutar otaknya. Ia merasa bahwa kekuatan imam jubah kuning itu minim
sekali. Asal diserang musuh pasti dapat ditaklukkan, berarti inilah kesempatan yang terbaik
baginya untuk musnahkan” hiolo darah” itu. Sebab kalau sampai Hong Seng sekalian balik lagi
kesana, dia harus mengeluarkan tenaga yang lebih besar lagi untuk mengalahkannya.
Sementara pemuda itu sedang mempersiapkan diri untuk membekuk imam jubah kuning itu
dengan suatu serangan yang tak tarduga, tiba-tiba ia menyaksikan berkelebat lewatnya sesosok
bayangan manusia.
Dengan terkejut ia berpaling, sinar matanya tanggung ditujukan kearah mana berasalnya
bayangan tadi.
Ternyata orang itu adalah imam setengah baya yang pernah mencegahnya masuk keruang
belakang tadi
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
316
Waktu itu dengan wajah yang amat gelisah si imam tersebut berpaling kearahnya sambil
menggape tiada hentinya.
“Aneh, ada urusan apa totiang ini mencari aku”?, pikir Hoa In-Liong kemudian dengan dahi
berkerut.
Walau berpikir begitu, ia maju pula menghampirinya, lalu bertanya lirih setibanya didepan imam
tersebut, “Ada urusan apa tootiang mencari aku?”.
“Ikutilah pinto?” jawab imam itu sambil ulapkan tangannya.
Lalu dengan wajah tegang dan serius, ia putar badan dan berlalu dari situ.
Pelbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Hoa In-liong. Tapi diapun tidak banyak bertanya,
terpaksa diikuti dibelakangnya dengan mulut membungkam
Setelah melewati serambi samping, mereka berbelok ke halaman sebelah kiri. Di bawah dinding
pekarangan dekat halaman samping terdapat dua buah hiolo tempat pembakaran abu yang
besar.
Dengan mata yang tajam, imam itu celingukan kesana kemari. Dengan cepat imam tersebut
menggape kearah Hoa In-liong dan menerobos masuk kedalam hiolo pembakaran tadi.
Tak terkirakan rasa heran Hoa In-liong menyaksikan tindak-tanduk imam itu, tapi dia ikut masuk
juga.
Ternyata didalam hiolo pembakaran itu terdapat sebuah pintu rahasia yang menghubungkah
tempat ruangan dengan ruang bawah tanah. Ketika itu imam setengah baya sedang
membungkukkan badan dan menyingkap sebuah batu persegi yang amat besar.
Dibawah batu datar itu merupakan sebuah liang goa yang gelap. Imam setengah baya itu
melompat turun lebih dulu, disana ia menyulut api dan memasang otor yang ada diatas dinding.
Hoa In-liong ikut melompat turun, setelah menutup kembali batu datar itu pada tempatnya
semula, imam setengah baya itu baru putar badan dan menuruni anak tangga batu.
Diujung trap-trapan tersebut merapikan sebuah lorong sempit. Bau apek tersiar kemana-mana
menimbulkan bau tak sedap yang menusuk penciuman.
Melihat kesemuanya itu, Hoa In-liong mengerutkan dahinya, diam-diam ia berpikir, “Mau diajak
kemana aku….? Heran, kenapa dalam kuil Cing-siu-koan disediakan lorong bawah tanah yang
begini rahasia letaknya?”
Sementara dia masih termenung, tibalah mereka didepan sebuah pintu baja yang tebal dan
berat. Imam setengah baya itu menekan tombol dia tas dinding tersebut kemudian baru berkata,
“Hoa kongcu, sobatmu menderita luka yang amat parah. Hawa murninya mendapat cedera
hebat, ditambah pula racun yang menyerap ditubuhnya sudah menyusup terlampau dalam”.
Belum habis perkataan tersebut diutarakan ke luar, Hoa In-liong sudah merasakan hatinya
bergetar, baru-buru serunya dengan nada amat gelisah, “Dimana orangnya?”
“Kraaaaak!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
317
Pintu baja itu terpentang lebar dan dan imam setengah baya itupun menyahut, “Dia berada
disini, ikutilah diri pinto, kongcu!”
Detik itu, Hoa In-liong betul-betul merasa terkejut bercampur girang. Girang karena Yu Siau-lam
yang dicari-cari berhasil ditemukan jejaknya. Terkejut karena Yu Siau-lam menderita keracunan
hebat dan hawa murninya menderita cedera hebat.
“Tapi, bagaimanapun jua, ia merasa perjalanannya tidak sia-sia belaka, sebab toh mendatangkan
hasil seperti yang diharapkan.
Dengan jantung berdebar keras, ia mengikuti dibelakang imam setengah baya itu masuk ke
ruang dalam.
Ruangan itu adalah sebuah ruangan batu yang lebar dan luas. Dalam ruangan terdapat sebuah
meja, beberapa buah kursi, sebuah hiolo, sebuah kasur semedi dan dua pintu lain yang
berhubungan dengan ruangan lainnya.
Setelah masuk kedalam ruangan, imam setengah baya itu belok menuju kepintu sebelah kanan.
Hoa In-liong betul-betul merasa amat gelisah dia memburu maju lebib dulu masuk keruangan
sebelah kanan. Disitu ditemuinya sebuah pembaringan. Di atas pembaringan berbaringlah
seorang laki-laki berbaju perlente dan bermuka warna hitam pekat. Orang itu tak lain adalah Yu
Siau-lam!
Berdebarlah jantung Hoa In-liong menyaksikan kesemuanya itu. Dengan langkah terburu-buru
dia berebut maju ke depan, lalu membungkukkan badan dan memeriksa keadaan lukanya. Untuk
sesaat ia sampai melupakan kehadiran dari imam setengah baya itu.
Suasana diliputi keheningan, selang sesaat kemudian imam setengah baya itu baru maju ke
muka sambil menghela napas panjang. “Aaaai…. Nona baju merah itulah yang menghantar
sobatmu kesini. Waktu dibawa kemari, keadaannya sudah begini rupa!”
“Wan Hong-giok kah yang menghantar kemari? Apa yang dia katakan?” seru Hoa In-liong seraya
menengadah.
“Pinto tidak menanyakan nama nona itu, tapi tahu kalau dia berasal dari satu rombongan dengan
suku-suku asing tersebut. Pada mulanya, lantaran pinto lihat sikapnya dingin dan ketus, tindak
tanduknya buas dan kejam, kuanggap dia juga orang jahat. Aaaai…. Sungguh tak nyana ….
sungguh tak nyana ….”
Rupanya imam ini merasa menyesal sekali dengan perasaannya waktu itu, hingga saking
terharunya ia tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya.
Tapi Hoa In-liong tidak berniat untuk mendengarkan pembicaraan tentang seal itu, cepat
tukasnya dengan nada berat, “Tentang soal itu tak usah kau bicarakan. Tolong tootiang
beritahukan saja kepadaku, apa yang telah dia pesankan?”
“Waktu itu, sikap nona tersebut sangat gugup dan tidak tenang. Ia pesan kepada pinto agar di
luar pengetahuan suku-suku asing tersebut berusaha untuk menghubungi kongcu, kecuali itu
tiada pesan apa-apa lagi. Kenapa? Apakah kongcu juga tak mampu untuk membebaskan racun
yang mengeram ditubuh sobatmu ini?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
318
Orang beribadah memang selalu berhati welas, meski Yu Siau-lam bukan sanak keluarganya,
akan tatapi perhatian serta rasa gelisahnya atas keselamatan pemuda itu sangat mempengaruhi
hatinya. Terbukti dari wajah serta sikapnya yang amat gelisah.
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, kembali ia membungkukkan badannya untuk memeriksa
lagi keadaan luka yang diderita Yu Siau-lam. Kelopak mata pemuda itu juga disingkap dan
diperiksa, lalu membuka bibirnya dan memeriksa lidahnya. Setelah selesai melakukan
pemeriksaan baju bagian dadapun dibuka.
Tampaklah sekujur badannya telah berubah jadi hitam pekat. Hanya diseputar dadanya terlihat
bercak-bercak warna-warni yang amat menyolok pandangan, namun warna hitam itu sudah
mulai menembusi kulit berwarna-warni itu.
Ibu pertama dari Hoa In-liong yakni Chin Wan-hong adalah anak murid dari Kiu-tok-sian-ci yang
berada di lembah Hu-hiang-kok dalam wilayah Biau. Perempuan itu sangat menguasahi tentang
pelbagai ramuan dan obat-obatan, terutama dalam ilmu memunahkan racun. Boleh dibilang
kepandaian tersebut merupakan kepandaian yang tak terkalahkan didunia dewasa ini.
Semenjak kecil Hoa In-liong mengikuti terus ibunya ini. Tentu saja terhadap ilmu racun dan ilmu
pertabiban amat menguasai.
Kendati demikian sepanjang hidupnya belum pernah ia jumpai penyakit bercak-bercak warna
warni macam begini. Tak heran kalau ia jadi terbelalak kaget setelah menyaksikan kesemuanya
itu.
Imam setengah baya itu semakin gelisah lagi, teriaknya tertahan, “Aduuuh mak, digigit oleh
makhluk beracun apa ini? Kenapa kulitnya berubah jadi begini tak sedap dilihat?”
Hoa In-liong sendiri, walaupun dihati kecilnya merasa kaget bercampur terkesiap, namun ia
masih sanggup menguasahi diri. Sesudah berpikir sejenak diapun bertanya, “Dapatkah tootiang
sediakan segentong cuka asli?”
“Cuka asli? Kongcu minta cuka buat apa?” tanya imam setengah baya itu tertegun.
Tentu saja untuk memunahkan racun yang mengeram ditubuh sahabatku. Sekarang tak sempat
bagiku untuk memberi penjelasan lebih jauh. Bila ada cuka tolong siapkan satu gentong, harus
cepat-cepat!”
“Wah …. kalau cepat rada susah” Imam setengah baya itu mengerutkan dahinya, “Sebab pinto
harus mengirim orang untuk membelinya lebih dahulu” Setelah berhenti sebentar, katanya
kembali, “Konon cuka itu dibuat dari arak. Dalam kuil kami terdapat arak air untuk menjamu
tamu, apakah arak itu bisa dipakai sebagai penggantinya ?”
Hoa In-liong mengangguk. “Boleh juga kalau memang tak ada cuka asli, tapi harus ada gula dan
harus digarang dengan api”
“Kalau gula ada persediaan dalam kuil, sekarang juga pinto akan mempersiapkannya”
Selesai berkata, diapun putar badan dan berjalan keluar dari ruangan tersebut.
“Eeeh tootiang!” seru Hoa In-liong kembali, “Jangan lupa menyiapkan kayu bakar serta
setengah gentong air bersih, sebab air itu perlu
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
319
untuk membersihkan badan”
Imam setengah baya itu mengiakan dan buru-buru berlalu dari ruangan bawah tanah.
Selang sesaat kemudian, arak, gula, kayu bakar dan air sudah diangkut kedalam ruang bawah
tanah. Hoa In-liong lantas menggali tanah untuk dipakai sebagai tungku darurat dan disanalah
gentong air disiapkan. Setelah arak dari gula dilarutkan menjadi satu, kayu bakarpun disuluti api.
Setelah semua pekerjaan dibereskan, dari sakunya Hoa In-liong mengeluarkan dua buah botol
yang putih seperti susu kambing. Dari salah satu botol itu dia mengambil sebiji pil Cing-hiat-wan
yang berwarna kuning emas, dan pil pah-tok-san yang berwarna putih dari botol yang lainnya.
Separuh bungkus dari obat puyer pah-tok-san itu ia larutkan pula kedalam gentong arak, sedang
separuh yang lain diminumkan kepada Yu Siau-lam bersama-sama dengan obat cing-hiat-wan
dan air putih. Selesai minum obat, baru menelanjangi pemuda itu dan merendamkan tubuhnya
kedalam gentong berisi larutan arak bercampur obat.
Perlu diterangkan disini, ibu tua dari Hoa In-liong yakni Chin hujin atau lebih dikenal dengan
namanya Chin Wan-hong merupakan seorang perempuan yang barhati sekokoh baja. Ketika Hoa
Thian-hong terkena racun jahat Tan-hwee-tok-lian (teratai racun empedu api), dengan semangat
yang berkobar dan tidak mengenal putus asa ia berusaha melakukan percobaan demi percobaan
untuk menciptakan obat penawar racun yang dapat melenyapkan kadar racun jahat tersebut dari
tubuh suaminya. Pil cing-hiat-wan (obat pembersih darah) seria pah-tok-san (bubuk pencabut
racun) merupakan dua diantara sekian jenis obat penawar racun yang berbasil diciptakannya
pada waktu itu.
Baik cing-hiat-wan maupun pah-toh-san bernama amat sederhana dan tiada sesuatu yang aneh,
tapi justru dibalik kesederhanaan nama itu terseliplah suatu daya kemampuan untuk
menawarkan racun yang maha dahsyat. Tak selang setengah perminuman teh kemudian, seluruh
hawa hitam yang menyelimuti sekujur badan Yu Siau-lam telah berhasil dibikin luntur dan mulai
menghilang.
Walau begitu Yu Siau-lam masih berada dalam keadaan tak sadar.
Lewat beberapa waktu kemudian, kulit muka-baru mulai tampak berkerut dan mengalami kejangkejang.
Dari sikap serta mimik wajahnya itu dapat diketahui bahwa ia sedang mengalami suatu
penderitaan yang luar biasa hebatnya.
Rada gemetar si tosu setengah baya itu menyaksikan penderitaan orang, mula pertama ia masih
dapat menahan diri, tapi lama kelamaan akhirnya tak tahan juga, iapun menegur, “Hoa kongcu,
sobatmu itu tidak apa-apa bukan keadaannya?”
Waktu itu, Hoa In-liong sedang menyalurkan bawa murninya untuk menguruti seputar jalan
darah Pek-hwi hiat di ubun-ubun Yu Siau-lam dengan telapak tangan kanannya, sementara
tangan yang lain menahan tubuh anak muda itu. Maka ia cuma gelengkan kepalanya belaka
ketika mendengar pertanyaan tersebut.
Kembali si tosu setengah baya itu mengerutkan dahinya. “Aku lihat sobatmu sedang mengalami
penderitaan yang cukup hebat” Serunya lagi dengan kuatir, “Jangan-jangan kadar racun
ditubuhnya lagi kambuh?”
Melihat kekuatiran orang, Hoa In-liong tersenyum. “Bukan kumat. Penderitaan tersebut
dialaminya lantaran racun mulai membuyar dan larut ke luar dari badannya. Tootiang tak usah
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
320
kuatir, cing-hiat-wan serta pah-toh-san bikinan ibuku sangat manjur dan punya daya
kemampuan amat mujarab. Racun apa saja dapat dipunahkan secara mudah. Memang! Sobatku
terluka oleh banyak jenis makhluk beracun, tapi keadaannya sudah tidak membahayakan lagi
jiwanya”
“Apa kau bilang? Jadi jadi ia dilukai oleh banyak jenis makhluk beracun?” seru tosu setengah
taya itu agak kaget.
“Yaa! ini dapat kita ketahui dari kulit dadanya yang berwarna-warni dengan bercak-bercak panca
warna. Warna warni itu dihasilkan oleh gigitan khas dari ular beracun, kala jengking beracun,
laba-laba beracun, kelabang beracun dan lain jenis makhluk beracun. Tapi racun-racun itu sudah
ditawarkan semua, keadaannya sudah tidak berbahaya lagi”
Tanpa sadar tosu setengah baya itu melirik lagi kearah Yu Siau-lam, tapi apa yang terlihat
olehnya?
Kali ini, bukan saja sekujur badannya mengejang keras bahkan mulai gemetar keras. Keadaan
semacam ini tentu saja tak bisa diartikan sebagai keadaan yang “tidak berbahaya” lagi, maka dia
pun jadi setengah percaya setengah tidak.
“Aku lihat penderitaan yang dialami sobatmu itu kian lama kian bertambah hebat!” katanya
kemudian dengan lirih.
“Penderitaan memang tak bisa dihindari. Lantaran sari racun sudah menyerang ke dalam hati,
sobatku kehilangan daya kesadarannya. Jika pertolongan diberikan satu jam lebih terlambat
niscaya jiwanya tak ketolongan lagi. Sekarang sobatku sudah mendapat pengobatan dari luar
maupun dalam. Daya kerja obatpun mulai reaksi, hawa racun menyebar ke empat penjuru.
Kesadarannya sedikit demi sedikit akan pulih kembali seperti sedia kala. Lihatlah tootiang!
Bukankah kulit badan sobatku mulai berubah jadi normal kembali?”
Betul juga! Hawa hitam yang semula menyelimuti tubuh Yu Siau-lam sekarang sudah mulai
luntur bahkan selang sesaat kemudian, keadaannya sudah pulih kembali seperti sedia kala.
Menyaksikan kesemuanya itu legalah hati si tosu setengah baya itu.
Percayanya dia memang sudah percaya, tapi anehnya ia malah semakin berkerut kening, bibirnya
bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi akhirnya maksud itu dibatalkan jua.
Melihat itu Hoa In-liong tertawa geli “Apakah tootiang masih kuatir?” tanyanya kemudian.
Cepat-cepat tosu setengah baya itu menggeleng. “Oooh…. tidak! Pinto tidak kuatir. Maksud pinto
….”
Ia seperti agak sangsi, tapi akhirnya ujung bajunya digulung juga, sambil memperlihatkan lengan
kirinya dihadapan Hoa In-liong dia berkata lebih jauh, “Lihatlah Hoa kongcu, bekas gigitan yang
tertera diatas lengan pinto ini. Gigitan itu adalah bekas gigitan dari seekor kelabang raksasa yang
berwarna bercak-bercak hitam diatas merah, dua puluh tujuh orang murid pinto yang berdiam
dalam kuil ini menjadi korban gigitan yang sama semua”
Hoa In-liong memeriksa bekas gigitan itu dengan seksama, terlihatlah pada seputar pergelangan
tangan muncul dua bintik warna merah sebesar ka cang kedelai yang berdempetan, kulit tubuh
yang diseputarnya mencekung kedalam, bentuknya memang bentuk gigitan kelabang. Murkalah
sianak muda itu, serunya dengan gusar, “Kenapa? Semua orang penghuni kuil sudah di gigit oleh
kelabang beracun:….?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
321
“Yaa begitulah….”sahut tosu setengah baya itu dengan muka sedih bercampur marah.
Setelah berhenti sejenak, ia turunkan kembali lengan bajunya, lalu berkata lebih jauh, “Tiga hari
berselang, suku-suku asing itu dengan membawa sobatmu datang kemari dan memaksa untuk
menginap dikuil kami. Sebetulnya pinto segan menerima mereka lantaran menyaksikan tingkah
pola mereka yang bengis dan buas. Aaai…….. siapa tahu orang-orang itu memang buas dan liar.
Bukan saja mereka memaksa diri untuk menginap dan minta makan disini, bahkan semua murid
yang ada dikuil ini telah mereka kumpulkan. Kemudian dari dalam hiolo merah darah itu mereka
tangkap seekor kelabang raksasa dan digigitkan pada lengan masing-masing orang. Setelah itu
merekapun menitahkan kepada pinto sekalian agar merahasiakan betul-betul jejak mereka
semua. Katanya jika kami tak menurut perintahnya, merekapun tak akan memberi obat pemunah
kepada kami semua. Bila racun keji dari kelabang itu sudah bercampur dengan darah dan waktu
mencapai tujuh kali tujuh empat puluh sambilan hari, maka kambuhnya sari racun dalam tubuh
kami akan mengakibatkan kematian bagi kami semua”
Diam-diam Hoaln-liong menggertak gigi menahan rasa mendongkolnya, dia berpikir dihati, “Hati
Hong Seng betul-betul sangat busukdan beracun. Padahal mereka toh tahu bahwa tosu-tosu
penghuni kuil Cing-siu-koan bukan orang-orang persilatan, tapi mereka gunakan juga cara dan
tindakan yang begitu buas dan kejam untuk menindas serta memaksa mereka .
Hmmm….! Aku Hoa In bersumpah akan musnahkan hiolo darah milikmu itu!”
Rasa benci dan mendongkolnya itu untuk sementara hanya disimpan dalam hati. Selain itu
diapun dapat memahami arti serta maksud pembicaraan dari tosu setengah baya itu, jelas imam
tersebut sedang memohon obat penawar racun bagi anggota-anggota kuilnya, maka diapun
mengangguk tanda setuju.
“Enmm ! Orang-orang itu memang kelewat kejam dan bias” sahutnya, “Tapi kau tak usah
kuatir, racun kelabang akan segera punah begitu menelan sebutir pil cing hiat-wan milikku. Obat
tersebut cukup banyak persediaannya dalam sakuku, totiang boleh menggunakannya untuk
menolong murid-murid totiang!”
Lega juga perasaan sitosu setengah baya itu sehabis mendengar kesanggupan orang.
“Sebetulnya pinto memang ada maksud untuk meminta obat. Sekarang setelah koagcu
menyanggupi, pinto pun dengan tebalkan muka menerima kebaikan kongcu tersebut!”
Selesai berkata, dia lantas menjura dalam-dalam kearah Hoa In-liong
Buru-buru Hoa In-liong goyangkan tangannya terulang kali, “Jangan begitu…. Jangan begitu….
Rasa terimasih totiang terlampau berlebihan. Apalagi jika totiang tidak tepat pada waktunya
menemukan diriku, selembar jiwa sobatku ini terus lebih banyak berbahaya daripada selamat.”
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar Yu Siau-lam menghembuskan nafas panjang seraya
mengeluh, “Oooh…. Sesak amat nafasku!”
Dalam pada itu keadaan Yu Siau-lam sudah membaik, hawa hitan yang semula menyelimuti
sekujur badannya, kini sudah luntur dan putih kembali seperti sedia kala.
Hoa In-liong cepat berpaling dengan perasaan kaget, lalu serunya dengan gelisah, “Bersabarlah
sedikit saudara Siau-lam, kau keracunan hebat. Jika semua bibit racun itu tidak sekalian
dibersihkan, banyaklah kesulitan yang akan kau hadapi dikemudian hari”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
322
Yu Siau-lam membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar, kemudian sambil menggigit bibir
menahan sakit sahutnya agak terbata-bata, “Oooh…. Ruu rupanya saudara In-liong, konon
kau kau ditangkap oleh Kiu-im kaucu. Aku…. Aku….”
“Kejadian yang sesungguhnya akan kuceritakan nanti saja” tukas Hoa In-liong dengan cepat,
“Yang paling penting sekarang adalah membersihkan sisa racun dari dalam tubuhmu. Jika
saudara Siau-lam masih sanggup untuk menyalurkan tenaga dalam, cepatlah atur pernafasan
dan bantu untuk mendesak keluar sisa hawa racun yang masih mengeram dalam tubuhmu,
siaute akan membantu dari depan”
Tidak menunggu sampai Yu Siau-lam memberikan jawaban, hawa murni lantas disalurkan keluar.
Dalam waktu singkat segulung aliran hawa murni yang panas sekali menyusup kedalam tubuh Yu
Siau-lam melalui jalan darah Pek-hwi-hiat diatas ubun-ubun.
Yu Siau-lam menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi ketika dilihatnya
Hoa In-liong telah menyalurkan hawa murninya dengan serius, maka sesudah agak sangsi
sejenak, akhirnya diapun membungkam, mata dipejamkan dan hawa murnipun dikerahkan untuk
bantu mengusir racun dalam tubuhnya.
Si-tosu setengah baya sendiri mengamati kedua orang pemuda dihadapannya dengan wajah
penuh rasa kagum. Sebentar ia menengok Hoa In-liong yang sedang menyalurkan tenaga
dalamnya, sebentar lagi ia berpaling kearah Yu Siau-lam yang sedang bersemedi, entah ia
sedang merasa berterima kasih lantaran pemberian obat mujarab dari Hoa In-liong ataukah dia
kagum karena dengan usianya yang begitu masih muda, ternyata memiliki tenaga dalam yang
amat sempurna.
Selang sesaat kemudian, kekuatan maupun paras muka Yu Siau-lam telah jauh membaik. Warna
wajahpun kian lama kian bertambah semu merah, sedang air arak dalam gentong yang dipakai
untuk mererdam diri, saat itu warnanya sudah berubah jadi bitam pekat. Dari sini dapat diketahui
betapa lihaynya racun yang mengeram ditubuh Yu Siau-lam.
Tak lama kemudian, semua sisa racun yang ma sih berada dalam tubuh Yu Siau-lam telah luntur
tak berbekas. Mereka berdua serentak menghentikan semedinya. Yu Siau-lam sendiripun
melancar keluar dari dalam arak.
”Saudara Siau-lam!” ujar Hoa In-liong kemudian sambil tertawa nyaring, “Kita adalah sesama
saudara, aku rasa omong kosong sama sekali tak ada gunanya. Tapi kalau toh ingin omong
kosong, maka aku harus berterima kasih lebih dulu kepadamu, sebab lantaran aku kau telah
lakukan perjalanan jauh hingga mengakibatkan keracunan hebat”
Yu Siau-lam memang ada maksud menyampaikan rasa terima kasihnya, tertegunlah sianak muda
itu sehabis mendengar ucapan tersebut, tapi menyusul kemudian ia terbahak-bahak, “Haa….
haa…. ha…. Bagus…. Bagus! Bagus! Jadi kalau bagitu, perasaanmu memang jauh lebih tajam
lalu dibandingkan dengan perasaanku!”
Hoa In-liong tersenyum. “Kalau toh saudara Siau-lam menyetujui, maka harap engkau keringkan
badan dan mengenakan pakaian lebih dahulu!”
Yu Siau-lam tundukkan kepalanya, kontan merah padam selembar wajahnya, cepat-cepa ia
bersihkan badan dengan air bersih, lalu mengeringkan badan dan mengenakan pakaian.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
323
Walaupun dalam ruangan bawah tanah cuma ada tiga orang pria belaka, toh bertelanjang bulat
adalah suatu pemandangan yang kurang sopan. Karenanya meski ia sudah kenakan pakaian,
warna merah diwajahnya belum juga luntur.
Untuk menghilangkan rasa malunya, Yu Siau-lam berpaling kearah toiu setengah baya itu sambil
berkata, “Tootiang ini adalah….”
Cepat tosu setengah baya itu memberi hormat, “Pinto Bu-jian, koancu dari kuil ini.” sahutnya.
“Hoa In-liong yang berada disampingnya cepat menyambung, “Tempat ini adalah ruang bawah
tanah dari kuil Cing-siu-koan. Tahukah saudara Siau-lam? Di kala nyawamu berada diujung
tanduk lantaran racun jahat yang mengeram dalam tubuhmu mulai kambuh, Bu jian tootiang lah
yang sudah menyelamatkan dirimu?”
Mendengar ucapan tersebut, buru-buru Yu Siau lam menjura kearah Bu-jian tootiang.v”Oooh….
rupanya tootiang adalah Cing-siu koancu!” katanya, “aku yang muda Yu Siau-lam mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan serta pertolongan yang telah koancu berikan”
“Keliru…. Keliru…. Yu kongcu harus mengetahui dulu duduk persoalan yang sebenarnya” Tukas
Bu jian tootiang seraya goyangkan tangannya berulang
kali, “Pinto hanya melaksanakan permintaan dari nona Wan Hong-giok untuk menyembunyikan
kongcu disini, kemudian secara kebetulan kujumpai pula Hoa kongcu. Bila berbicara soal budi
dan kebaikan. Oh…. Pinto tidak berani menerima penghargaan tersebut!”
Hoa In-liong tertawa, ia menyambung dari samping, “Tootiang, engkau terlalu merendahkan diri.
Sekalipun hanya menyembunyikan saudara Siau-lam, tapi bila perbuatanmu tidak kau lakukan
dengan berhati-hati, bisa jadi akan mendatangkan bencana yang mengakibatkan kematianmu.
Bayangkan saja, bttapa besarnya pahala yang telah kau berikan kepadanya? Cuma, aku rasa soal
budi dan kebaikan cuma hiasan bibir yang hanya dibicarakan saja. Marilah, kita bercakap-cakap
di luar saja”
Bu-jian tootiang tidak dapat berbicara lagi, sedang Yu Siau-lam dengan pelbagai pertanyaan
yang memusingkan kepalanya menurut saja atas perkataan sobatnya. Merekapun menuju ke
ruang depan.
Setelah mereka bertiga tiba diluar, Yu Siau-lam dengan tidak sabaran lagi segera menanyakan
kisah tertangkapnya Hoa In-liong oleh Kiu-im- kaucu serta bagaimana caranya hingga dia tahu
kalau dirinya sudah kena ditangkap oleh Hong Seng beserta komplotannya?
Hoa In-liong pun menerangkan satu demi satu hingga akhirnya ia berhasil menyelamatkan
jiwanya,
Selesai bercerita, pemuda itu menambahkan, “Saudara Siau-lam, apakah racun yang bersarang
ditubuhmu adalah akibat dari gigitan makhluk beracun yang dipelihara dalam hiolo darahku?”
Yu Siau-lam segera mengangguk. “Yaa benar!” Sahutnya dengan murung bercampur marah,
“Dalam hiolo darah itu, mereka pelihara berpuluh-puluh jenis makhluk beracun yang rata-rata
merupakan makhluk paling berbahaya didunia ini. Setiap satu jam sekali mereka gunakan
makhluk beracun yang berbeda untuk menyiksa aku dan melukai dadaku. Mereka paksa aku
untuk memberi tahukan jejak yang berhubungan dengan kau. Sebetulnya idee jahat ini diusulkan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
324
oleh si nona baju merah. Sungguh tak kusangka rupanya ia adalah seorang nona yang punya
maksud tertentu, akhirnya dia juga yang telah selamatkan selembar jiwaku”
Tiba-tiba Hoa In-liong bangkit berdiri. “Harap kalian berdua duduk sejenak disini akan
kumusnahkan lebih dulu hiolo darah yang jahat itu!” serunya.
Mula-mula Yu Siau-lam agak tertegun menyusul kemudian cegahnya sambil goyangkan
tangannya berulang kali. “Eeeh eeh nanti dulu!, nanti dulu! Jangan terburu napsu!
Setelah gagal menyandaki dirimu, aku pikir Hong Seng pasti sudah balik ke ruangannya. Dari
pembicaraan yang berhasil siau-te sadap selama ini, dapat kuketahui bahwa mereka miliki
serangkaian ilmu Hiat-teng-toh-han-tay-hoat (ilmu hiolo darah pembetot sukma) yang luar biasa
lihaynya. Sebelum mengambil sesuatu tindakan lebih baik kita rundingkan dulu semasakmasaknya”
“Aku rasa tak perlu dirunding lagi!” tolak Hoa In-liong dengan wajah yang membara, “Dari
sebutan ilmu Hiat-teng-toh-hun-tay-hoat mereka itu, dapat kuketahui bahwa kepandaian itu lebih
mengandalkan keampuhan dari makhluk-makhluk beracun yang dipelihara dalam hiolo berdarah
daripada mengandalkan kekuatan sendiri. Bila hiolo darah itu berhasil kupunahkan, niscaya
merekapun tak mampu mencelakai orang lain lagi “
“Eeeh…. Nanti dulu!” kembali Yu Siau-lam mencegah, “Bukankah tadi kau katakan bahwa nona
baju merah itu telah memberi segumpal kertas untukmu? Kenapa tidak kau baca dulu isi
suratnya sebelum mengambil keputusan lebih jauh?”
Setelah diingatkan kembali, Hoa In-liong baru teringat kalau surat yang dilemparkan Wan Honggiok
kepadanya belum diperiksa. Cepat kertas itu dirogoh keluar dari sakunya dan diperiksa isi
surat tersebut.
Maka terbacalah surat itu berbunyi demikian, “Ditujukan buat Hoa Kongcu In-liong yang terhom
at, Sejak berpisah di kota Lok-yang, nasib tak mujur telah menimpa diriku. Tak kusadari diriku
telah berjumpa dengan orang-orang dari Mo-kauw. Waktu itu lantaran aku dengar dalam
pembicaraan mereka bermaksud tidak baik terhadap kongcu, naaka sepanjang jalan kuikuti jejak
mereka. Aku ingin tahu apa yang hendak mereka lakukan.
Ai, memang nasib lagi buruk, ternyata karena tindak tandukku yang amat gegabah ini telah
diketahui oleh kawanan bajingan itu, akhirnya aku kena ditangkap dan diperkosa oleh Siau Khigi.
Tubuhku telah tak suci lagi, aku sudah ternoda ditangan orang. Selama hidupku kini tak punya
muka lagi untuk bertemu dengan kongcu “
Membaca sampai disini, Hoa In-liong tak dapat menahan rasa terkejutnya lagi, ia berseru
tertahan, “Apa? Ia dinodai orang?”
Haruslah diketahui, walaupun Hoa In-liong itu romantis dan suka bermain perempuan, tapi dia
adalah seorang lelaki yang menitik beratkan pada kesetiaan.
Lantaran menyelidiki rencana busuk Hong Seng sekalian yang hendak mencelakai jiwanya, Wan
Hong-giok telah diperkosa orang. Bagaimanapun juga peristiwa itu baru terjadi karena
persoalannya, maka tak aneh kalau ia menjerit tertahan saking kaget dan terkesiapnya.
Yu Siau-lam sendiri juga kaget ketika mendengar seruan kaget itu. Sambil melompat bangun
segera teriaknya. “Siapa yang ternoda?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
325
Sesudah ditegur orang, Hoa In-liong baru menyadari kesilafannya, cepat surat itu diangsurkan
kepada Yu Siau-lam. “Nona baju merah itulah yang kumaksudkan” Sahutnya kemudian, “Ia
sudah dinodai deh Siau Khi-gi, laki-laki berdandan sastrawan itu!”
“Apakah kau tahu dari isi surat itu?”tanya Yu Siau-lam tercengang, “Mari kita membacanya
bersama-sama!”
Surat itu tidak diterimanya, tapi ia maju kemuka dan berdiri bersanding disamping Hoa In-liong.
Bu-jian tosu ikut maju pula, merekapun membaca bersama isi surat selanjutnya, “ Setelah
ternoda, sebenarnya aku ingin menghabisi nyawa sendiri. Tapi mengingat rencana busuk mereka
menyangkut keselamatan umat persilatan yang ada didunia ini dan lagi membayangkan pula
kelangsungan hidup dari keluarga ayahmu, maka dengan menahan derita dan siksaan
kulanjutkan hidupku yang terhina ini.
Kuikuti terus kemanapun mereka pergi. Aku ingin menyelidiki rencana busuk mereka lebih jauh
serta berharap dapat bertemu sekali lagi dengan diri kongcu.
Tapi yaa, aku tak tahu dimanakah kongcu berada pada saat ini. Maka dalam keadaan
terpaksa, aku hanya bisa menganjurkan kepada Hong
Seng si iblis itu agar menggunakan siksaan paling keji untuk menyiksa sahabatmu “
Membaca sampai disini, Yu Siau lam lantas menjadi paham aku duduk persoalan yang
sebenarnya, ia lantas berpikir, “Ternyata ia memang bermaksud tertentu dengan perbuatannya,
aku tak boleh menyalahkan dia kalau begitu”
Maka diapun melanjutkan membaca isi surat itu, “ Tetapi, aku yang rendah telah memberi
obat pemunah untuk sahabatmu itu, musti tidak lengkap obat pemunahnya, namun aku rasa
cukup untuk mempertahankan jiwanya.
Setelah membaca surat ini, harap kongcu segera mencari Bu-jian kongcu, dia dapat menghantar
dirimu untuk bertemu dengan sahabatmu”
Dibawahnya tak ada tanda tangan melainkan terdapat lagi sebaris tulisan yang lembut, kecil dan
rapat, tulisan itu berbunyi demikian, “Surat ini kubuat dengan tergesa-gesa. Banyak lagi
persoalan yang tak dapat kubicarakan disini. Tiga hari kemudian pada kentongan ketiga tengah
malam akan kunantikan kedatangan kongcu dipuncak bukit Yan-san. Selain akan kuserahkan sisa
obat penawar yang tak sempat kuberikan, akan kuterangkan juga segala sesuatu yang
kuketahui. Semoga kongcu bisa datang tepat pada waktunya, jangan lupa! Jangan lupa.’”
Surat itu ditulis secara tergesa-gesa, terutama sekali kata-kata terakhir yang berupa tulisan
“jangan lupa” itu, bisa diketahui betapa gelisahnya Wan Hong-giok waktu itu.
Selesai membaca isi surat tersebut, pertama-tama Bu-jian tootiang yang menghela napas lebih
dulu, katanya, “Begitu dalam perasaan cinta nona Wan, begitu pedih perasaan hatinya, mungkin
sukar ditemukan keduanya didunia ini”
Betapa tidak? Setelah ternoda ia rela mengikuti musuhnya, setelah tahu bakal celaka ia
mengikuti terus kemana musuhnya pergi.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
326
Bahkan walaupun dia tahu bahwa Yu Siau-lam adalah sahabatnya Hoa In-liong, ia rela dirinya
dimaki kejam dan telengas asal jejak Hoa In-liong dapat diketahuinya. Dan ia melakukan
kesemuanya itu hanya berharap bisa bertemu dengan Hoa In-liong dan menyampaikan semua
rahasia yang diketahuinya kepada kekasih hatinya itu.
Dari sini dapat diketahui betapa dalamnya rasa cinta Wan Hong-giok terhadap sianak muda itu,
terbukti dari isi suratnya yang begitu memilukan hati.
Untuk sesaat lamanya Hoa In-liong hanya berdiri termangu-mangu seperti orang bodoh hatinya
betul-betul terharu dan sedih.
Yu Siau-lam sendiri gelengkan kepalanya berulang kali, katanya dengan hati yang sedih, “Nona
Wan terlalu polos pikirannya. Coba pandangannya tidak secupat itu, tentu lain pula keadaannya”
Ditepuknya bahu Hoa In-liong dengan lembut, kemudian menambahkan, “Saudara In-liong aku
lihat nona Wan ada maksud untuk menghabisi nyawa sendiri. Tiga hari kemudian siau-te akan
temani dirimu pergi ke bukit Yan-san. Akan kunasehati dengan sungguh-sungguh ia ternoda
bukan karena kesilafan sendiri melainkan karena dipaksa orang lain. Rasanya ia tak usah malu
terhadap nenek moyangnya, menyesali diri sendiri itu tak ada gunanya”
“Ternoda menahan derita, ternoda menahan derita ” Gumam Hoa In-liong dengan wajah aneh.
Tiba-tiba ia putar badan dan lari menuju ke pintu luar.
Cepat Yu Siau-lam ikut bangkit dan menyusul dari belakangnya. “Saudara In-liong, mau kemana
kau?” teriaknya keras.
“Akan kujagal Siau Khi-gi bangsat terkutuk itu” Sahut Hoa In-liong sambil lari terus ke muka,
“Akan kubalaskan dendam sakit hati dari nona Wan!”
“Jangan ngaco belo!”‘ bentak Yu Siau-lam dengan gelisah, “Kalau toh seorang perempuan sudah
ternoda, sudah semestinya kalau ia tidak menikah lagi dengan pria lain, karena tidak kau
tanyakan dulu pendapat dari nona Wan? Mana boleh kau lakukan tindakan yang ngawur hanya
menuruti nafsu sendiri?”
Teguran itu ibaratnya guyuran air dingin sebaskom yang menimpa kepalanya, untuk sesaat
Hoa In-liong jadi tertegun dibuatnya, langkah kakinya ikut menjadi lambat.
Yu Siau-lam melompat kemuka dan menghadang dihadapannya, katanya lebih jauh dengan
lembutt, “Saudara In-liong, aku lebih tua beberapa tahun dari padamu, maukah engkau menuruti
perkataan ku?”
Hoa In-liong bukannya seseorang yang tak tahu diri, Ia sendiripun merasa bahwa tindakan
seperti itu tidak pantas dilakukan oleh seorang jago seperti dia, maka diapun tertawa menyesal.
“Aaaai…. Siau-te memang sedikit terburu nafsu dan terlalu menuruti emosi” Ujarnya kemudian
sambil menghela napas panjang, “Menyesal tindakanku tadi telah mencemaskan saudara Siaulam….
Yaa, jika engkau ada nasehat, katakaalah keluar, siau-te akan mendengarkan dengan seksama!”
“Tak usah kau bicarakan tentang kata-kata sopan” tukas Yu Siau-lam dengan tenang.
Digenggamnya tangan pemuda itu erat-erat, “Aku hanya berharap agar kau suka berpikir lebih
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
327
cermat lagi. Tahukah kau kenapa nona Wan menahan segala penderitaan dan penghinaannya
setelah mengalami perkosaan?”
Hoa In-liong termenung sebentar sebelum menjawab, “Terus terang kukatakan, nona Wan
merasa tertarik dan jatuh hati kepadaku. Dalam pandangannya yang pertama, ia bersedia
menanggung semua derita dan penghinaa, tak lain karena soal cinta. Ia menguatirkan
keselamatan siaute, takut siaute tak tahu keadaan yang sebenarnya dan kena digarap orangorang
Mo-kauw”
Yu Siau-lam mengangguk beberapa kali. “Nah, itulah dia. Jika pihak Mo-kauw tidak memiliki
suatu tindakan yang sangat lihay. Tidak merencanakan suatu rencana busuk yang besar dan
berbahaya, apa gunanya nona Wan bersikap seserius itu? Buat apa bersikeras ingin berjumpa
muka denganmu dan ingin menyampaikan sendiri semua persoalannya kepadamu? Lebih-lebih
lagi sikapnya yang menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk berkomunikasi denganmu,
contohnya ia menyampaikan gumpalan surat tersebut ke padamu?”
Pelan-pelan Hoa In-liong mengangguk. “Lalu bagaimana menurut pendapatmu?” tanyanya
kemudian.
“Siau-te sih tidak mempunyai pendapat lain. Aku cuma merasa bahwa persoalan ini tak boleh
dihadapi secara gegabah. Apalagi didalam suratnya nona Wan telah peringatkan bahwa
persoalan ini menyangkut keselamatan umat persilatan, dan keselamatan hidup dari ayahmu
sekeluarga, “Aku pikir jika Hong Seng dan komplotannya tidak memiliki suatu kekuatan yang bisa
diandalkan, belum tentu nona Wan bersedia mempercayai ucapan mereka dengan begitu saja,
bila sekarang kau ambil tindakan secara gegabah. Kalau sampai menemui marabahaya, betapa
menyesalnya kau dan lagi bukankah tindakanmu itu akan menyia-nyiakan jerih payah serta
pengorbanan nona Wan selama ini?”
Keadaan Hoa In-liong pada saat ini benar-benar sudah menjadi tenang, sebagai seorang pemuda
yang berotak cerdas, setelah mengalami pemikiran yang lebih mendalam, dapat disadari olehnya
dimana letak kelihayan dari persoalan itu, masalah semacam ini memang benar-benar tak boleh
ditanggapi secara gegabah,
“Aaai…. Agaknya kita baru bisa menyusun rencana lagi sehabis berjumpa dengan nona Wan”
keluhnya kemudian sambil menghela napas panjang.
“Itu sih tidak perlu” seru Yu Siau-lam lagi, “Atau paling sedikit, rencana busuk pihak Mo-kauw
sedikit banyak sudah kita ketahui lebih duhulu “
“Tentang soal ini, siau-te sendiripun sudah memikirkannya. Apalagi ketika diadakan penggalian
harta karun dibukit Kiu-ci-san, justru Mo-kauw kaucu Tang Kwik-siu menderita kekalahan total
ditangan ayahku. Waktu itu dia pernah sesumbar demikian: Barang pusaka milik Seng sut-pay
untuk sementara waktu dititipkan kepada ayahku. Sepuluh tahun atau seratus tahun kemudian
bila dari Seng-sut-pay muncul orang yang berbakat, barang pusaka itu pasti akan diminta
kembali. Dan kini urusan telah menyangkut keluargaku, ini berarti mereka pasti sudah merasa
bahwa saatnya membalas dendam telah tiba. Tang-kwik kaucu pasti menganggap kekuatannya
sudah mampu untuk melawan ayahku, maka kedatangannya ketimur kali ini bukan saja untuk
menuntut kembali barang pusakanya, tentu diapun akan membalas pula sakit atas kekalahan
yang pernah dideritanya dahulu”
Yu Siau-lam mangut-mangut. “Yaa…. Yaa…. Aku rasa tentu begitu. Karenanya kau lebihlebih
tak boleh menempuh bahaya.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
328
Hoa In-liong tersenyum, selanya, “Aku tak takut menempuh bahaya, cuma aku merasa tak ada
keperluannya untuk menempuh bahaya”
“Kalau kau sudah paham, itu lebih baik lagi” Yu Siau-lam ikut tertawa pula, “Mari kita bercokol
beberapa waktu lagi disini. Jika Hong Seng tidak berhasil temukan jejakmu, dia pasti akan pergi
tinggalkan tempat ini”
Bu-jian tootiang yang selama ini hanya membungkam terus disamping, tiba-tiba menyela, “Pinto
rasa cara ini memang paling tepat. Biar pinto yang ke atas untuk melihat keadaan, sekalian akan
ku bawakan pula sedikit makanan untuk kongcu berdua”
“Terima masih atas perhatian koancu!” seru Yu Siau-lam sambil berpaling dan tertawa.
Cepat Bu-jian tootiang goyangkan tangannya kali. “Aaah…. Tidak terhitung seberapa…. Tidak
terhitung seberapa…. kalian tak usah sungkan-sungkan!”
Walaupun diluaran dia berkata begini, ternyata kakinya sama sekali tidak beranjak dari tempat
semula.
Menyaksikan kesemuanya itu Hoa In-liong lantas mengerti maksud orang, cepat ia meroboh ke
dalam sakunya dan mengangsurkan sebuah botol porselen ke tangannya seraya berkata, “Isi
botol porselen ini adalah pil cing-hiat wan. Siapa saja yang keracunan tentu akan sembuh
kembali bila menelan satu butir saja. Bawalah pergi botol ini tootiang!”
Setelah menerima botol porselen itu, Bu-jian tootiang segera memberi hormat. “Terima kasih
atas pemberian Hoa kongcu “
“Waaah….waaah…. tadi kan sudah bilang, tak usah pakai segala macam adat dan sanjungan
yang kosong” Tukas Hoa In-liong sambil tersenyum, “Silahkan tootiang berlalu, minumkan
mereka dengan air putih”
Bu-jian tootiang ikut tertawa terbahak-bahak. “Haa…. ha…. ha…. Hoa kong cu memang pandai
sekali bergurau “
Ia ingin mengucapkan terima kasih lagi, tapi ketika teringat sesuatu kata-kata selanjutnya lantas
ditelan kembali ke dalam perutnya. Selesai memberi hormat diapun berlalu dari situ.
Yu Siau-lam dan Hoa In-liong saling berpandangan sekejap. Menanti bayangan punggung dari Bu
jian tootiang sudah lenyap dari pandangan, mereka baru putar badan dan masuk kembali ke
dalam.
Siapa tahu ketika mereka berdua hampir masuk ke pintu utama, tiba-tiba didengarnya Bu-jian
tootiang sedang menjerit-jerit seperti orang kalap, “Kebakaran….! Kebakaran…. !”
Jeritan itu bernada kaget, ngeri dan memilukan hati. Tanpa tanpa terasa Yu Siau-lam dan Hoa
In-liong berdiri berpandangan dengan hati terkesiap
Salang sesaat kemudian, terdengar Bu-jian tootiang berteriak teriak lagi, “Kalian…. Kalian….
Betul-betul amat kejam!”
Ucapan tersebut diulangi sampai beberapa kali. Dari sini dapatlah diketahui bahwa dalam kuil
Cing-siu-koan telah terjadi perubahan besar yang sama sekali diluar dugaan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
329
Hoa In-liong merasakan jantungnya berdebar keras, cepat serunya dengan hati cemas, “Ayoh
jalan! Kita lihat apa yang telah terjadi”
Tidak menanti jawaban dari rekannya lagi, ia putar badan dan lari keluar, kemudian berkelebat
menuju ke pintu masuk ruang bawah tanah.
Yu Siau-lam ikut memburu dari belakapg, selang sejenak kemudian mereka sudah berada diluar
ruang rahasia tersebut. Apa yang terlihat?
Ternyata kuil Cing-siu koan telah berubah menjadi puing puing yang berserakan.
Hanya dalam beberapa jam yang amat singkat, kuil Cing-siu-koan yang begitu mewah tinggal
puing-puing yang berserakan dimana-mana. Amukan jago merah masih tampak disana sini.
Ruang tengah yang megah juga masih berada di tengah kobaran api. Jilatan api yang menyala
disana-sini mendidihkan pula darah dalam tubuh Yu Siau-lam serta Hoa In-liong. Mereka rasakan
kemarahan yang memuncak sampai ke ubun-ubun.
Sesosok bayangan manusia berlarian tiada hentinya diantara jilatan api sambil menjerit-jerit
seperti orang kalap.
Bayangan itu bukan lain tubuh dari Cing-siu koancu.
Jilid 17
MENYAKSIKAN kemusnahan yang melanda kuil Cing-siu-koan, Bu-jian totiang sebagai koancu
dari kuil tersebut merasa kehilangan ketenangannya sebagai seorang yang beribadah. Tingkah
polahnya saat itu lebih mirip perbuatan dari orang gila.
Sambil menggertak gigi menahan geramnya, Hoa In-liong berdiri tertegun beberapa saat
lamanya disana. Tiba-tiba ia ulapkan tangannya seraya berseru, “Ayoh jalan! Kita suruh Bu-jian
totiang tenang lebih dulu sebelum berunding lebih jauh”
Mereka berdua berjalan diantara atap dan bata yang hangus, melewati tiang-tiang kayu yang
masih membara dilantai. Disana sini terlihatlah mayat-mayat yang telah hangus menjadi arang.
Ada diantara mayat itu yang berada dalam posisi memeluk tiang, melompat jendela, ada yang
terkapar ditanah, ada yang bergaya ingin kabur, ada pula yang tertindih dibawah reruntuhan
hingga cuma kelihatan kepalanya atau sepasang kakinya belaka.
Tak dapat disangsikan lagi bahwa seluruh penghuni kuil Cing-siu-koan telah dibantai secara keji.
Pemandangan semacam ini bukan saja menggetarkan perasaan, bahkan membuat orang merasa
tak tega.
Mendekati ruangan tengah, Hoa In-liong segera berteriak keras-keras, “Tootiang….! Tootiang….!
Kau jangan lari kesana kemari seperti orang hilang ingatan. Yang penting adalah tenangkan
hatimu untuk menghadapi masalah yang jauh lebih penting….”
Ketika mendengar seruannya itu, bukannya berhenti, Bu-jian tootiang justru menerkam datang
seperti harimau kelaparan. “Bajingan keparat!” teriaknya setengah menjerit, “Apa kesalahan
toyamu sehingga kau bertindak begitu kejam?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
330
Telapak tangannya segera dilontarkan ke muka segulung angin pukulan hawa panas yang amat
dahsyat segera menyergap datang.
Hoa In-liong miringkan badannya kesamping. Begitu angin serangan berhasil dihindari, lengan
kanannya segera bergerak maju ke depan, kali ini ia mengancam pergelangan tangan imam
tersebut.
“Tenangkan hatimu!” sekali lagi dia membentak, “Kesedihan yang kelewat batas tak mungkin
bisa mengatasi persoalan….”
Siapa tahu, sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, terasalah Bu-jian tootiang menggetarkan
lengannya keras-keras sehingga tergetar lepas dari cengkeramannya, menyusul kemudian
telapak tangan kanannya melancarkan bacokan kembali ke depan membabat bahunya.
“Kembalikan nyawa muridku!” Jeritnya lengking.
Dahsyat sekali angin serangan yang ia lancarkan ini bahkan kecepatannya bagaikan sambaran
kilat.
Menghadapi ancaman seperti ini Hoa In-liong jadi kaget. Cepat ia menutul permukaan tanah dan
mengigos delapan depa kesamping.
Kebetulan Yu Siau-lam yang berada dibelakang menyusul kedepan. Begitu serangan dari Bu-jian
tootiang mengena disasaran yang kosong, tiba-tiba ia alihkan terkamannya kearah pemuda itu,
bahkan melepaskan sebuah bacokan dengan penuh tenaga.
“Bajingan, mau kabur kemana kau?” bentaknya, ”Rasakan dulu sebuah pukulan dari toyamu!”
Pukulan demi pukulan dilancarkan secara berantai. Dari caranya melancarkan serangan dapat
diketahui bahwa ia sudah nekad dan ingin beradu jiwa. Dari sini dapat dibuktikan pula bahwa
kesadaran otaknya sudah mulai luntur, ia tak dapat membedakan lagi mana kawan dan mana
lawan.
Sementara itu Hoa In-liong berdiri tegap delapan depa diluar gelanggang pertarungan. Ia awasi
jalannya pertarungan dengan seksama.
Tampaklah seluruh rambut dan janggut Bu-jian tootiang berdiri kaku seperti landak. Matanya
melotot besar dan berwarna merah membara. Waktu itu tosu tersebut sedang mengawasi
gerakan tubuh Yu Siau-lan lekat-lekat. Jeritan demi jeritan berkumandang tiada hentinya
sementara telapak tangannya diobat-abitkan kesana kemari.
Anehnya, semua serangan yang ia lancarkan beraturan sekali dan menurut aturan yang ada.
Sedikitpun tidak mirip orang yang kehilangan kesadaran.
Mula-mula ia merasa agak curiga, tapi setelah diperhatikan lebih jauh, akhirnya ia berhasil
temukan keadaan yang sebenarnya.
Ternyata Bu-jian tootiang juga merupakan seorang jago yang berilmu tinggi, bahkan kungfunya
terhitung luar biasa. Bila ditinjau sepintas lalu maka dapat diketahui bahwa tenaga dalamnya
diatas kemampuan Yu Siau-lam, kemampuannya sudah terhitung kelas satu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
331
Mengapa selama ini Bu-jian tootiang menyimpan ilmu silatnya rapat- rapat? Hoa In-liong tidak
punya waktu untuk berpikir lebih jauh. Apa yang dipikirkannya sekarang adalah bagaimana
caranya untuk mengenangkan pikiran si koancu yang makin sinting ini.
Karenanya sesudah termenung sejenak, iapun berseru dengan lantang, “Perhatikan baik-baik
saudara Siau-lam, tenaga dalam yang dimiliki Bu-jian tootiang sangat tinggi. Tapi ia sudah dibuat
sinting karena kobaran hawa amarahnya mencapai otak. Nah, sekarang harap tenangkan
pikiranmu, siau-te akan menyergap dari belakang, mari kita bekuk dulu tootiang ini sebelum
berbicara lebih jauh”
Sebenarnya dengan tenaga gabungan Yu Siau-lam dan Hoa In-liong, bukan suatu perbuatan
yang sulit bagi mereka untuk menaklukkan Bu-jian tootiang. Sulitnya justru mereka harus
menyerang tanpa melukai korbannya apalagi Bu-jian tootiang sudah mendekati sinting. Ia hanya
tahu beradu jiwa dan tak mengenal berkelit. Bila salah turun tangan hingga mengakibatkan halhal
yang tak diinginkan, bukankah hal ini akan merupakan suatu penyesalan sepanjang jaman?
Waktu itu, Yu Siau-lam sedang berada dalam kurungan angin serangan yang menggulung-gulung
bagaikan amukan hujan badai. Sementara ia makin keteter dan merasakan betapa beratnya daya
tekanan yang dilancarkan Bu-jian tootiang, maka begitu mendengar seruan dari Hoa In-liong,
anak muda itupun lantas sadar akan apa yang telah terjadi.
Dengan cepat taktik pertarungannya dirubah. Sekarang ia mulai bertempur dengan sikap yang
berhati-hati. Setiap menghadapi serangan dipatahkan dengan serangan. Menghadapi sergapan
dibalas dengan sergapan. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada gerakan ilmu silat dari Bu-jian
tootiang sedapat mungkin ia hindari pertarungan keras lawan keras dan sistim yang dianut
adalah pertarungan ala gerilya.
Betul juga keadaan Bu-jian tootiang ibaratnya orang gila. Sekalipun Hoa In-liong berbicara keras
namun ia sama sekali tidak mendengarnya. Imam tersebut masih juga menyerang Yu Siau-lam
dengan garangnya diiringi teriakan-teriakan kalap.
Setajam sembilu sorot mata Hoa In-liong, diam-diam ia menyusup kebelakang imam itu.
Kemudian begitu kesempatan baik telah tiba, jari tangannya lantas disentil kemuka.
Seketika itu juga tiga buah jalan darah penting dibelakang punggung Bu-jian tootiang kena di
totok, tanpa mengeluh toosu itu terkapar ditanah dan tak mampu berkutik lagi.
Yu Siau-lam yang ada dihadapannya segara maju menyambut badannya, kemudian sambil
menghembuskan nafas panjang keluhnya, “Aaai…. Sungguh tak kusangka kalau totiang ini
juga seorang jago lihay dari dunia persilatan. Seandainya ia tidak sinting dan kesadarannya
tersumbat, jelas siaute bukan tandingannya”
“Bukan waktunya bagi kita untuk membicarakan masalah tersebut pada saat ini. Ayoh kita
geledah sekitar reruntuhan kuil ini. Coba lihat apakah masih ada yang hidup diantara para korban
yang tergeletak disini….!”
Yu Siau-lam menengadah dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sahutnya,
“Aku rasa tak usah diperiksa lagi. Percuma, sekalipun diperiksa juga tak ada gunanya. Buat apa
kita buang tenaga dengan percuma? Coba lihatlah reruntuhan disini, paling sedikit api sudah
berkobar selama satu jam lebih. Bila ada yang belum mampus, seharusnya suara rintihan mereka
sudah kedengaran semenjak tadi”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
332
Hoa In-liong berpikir sejenak, ia merasa perkataan itu ada benarnya juga. Tapi ketika sinar
matanya memandang mayat-mayat yang tergeletak bagaikan arang dan mencium bau sangit
yang menusuk penciuman, dendam juga perasaannya, dengan gemas ia berseru, “Orang yang
melepaskan api untuk membakar kuil ini betul-betul jahat dan buas!. Jika sampai kutemukan lagi
dikemudian hari, Hoa loji pasti akan menjatuhkan hukuman yang paling keji kepadanya”
“Lebih baik dilalap juga dengan api, biar dia rasakan bagaimana rasanya kalau badan terbakar
oleh api. Tapi siapakah yang melepaskan api dan membakar kuil ini?” tanya Yu Siau-lam raguragu.
“Huuuh…. Siapa lagi? Tentu saja perbuatan dari Hong Seng” Teriak Hoa In-liong dengan gemas,
“Karena gagal menyusul diriku, dia jadi kalap dan dalam kalapnya timbullah niat jahatnya untuk
membantai seluruh anggota imam yang tinggal dikuil Cing-siu-koan ini, kemudian melepaskan api
membakar kuil ini untuk melampiaskan rasa gemasnya. Hmm…. Manusia berhati serigala macam
begini betul-betul manusia yang tak berperi kemanusiaan buat apa manusia macam begitu
dibiarkan hidup didunia?”
Yu Siaulam manggut-manggut berulang kali “Yaa, masih mendingan kalau mereka adalah suku
asing! Yang paling menggemaskan justru Siau Khi-gi yang membuat kaum penjahat asing
melakukan kekejaman serta kejahatan. Manusia macam begini bukan saja telah melupakan
nenek moyang sendiri, bahkan dia telah bertekuk lutut kepada suku asing. Dalam benaknya
penah berisi akal-akal jahat untuk mencelakai bangsanya sendiri. Bila dugaanku tak keliru, pasti
dialah yang mengeluarkan ide tentang pembakaran terhadap kuil ini”
“Yaa, kemungkinan besar ucapanmu benar” Hoa In-liong mengangguk, “Karena itu lain waktu
kita musti lakukan penyelidikan yang seksama, jika terbukti memang dia yang ajukan usul
tersebut, bangsat itu harus kita tangkap lalu kita cincang dengan keji”
“Yaa, manusia macam begitu memang pantas dicincang jadi berkeping-keping” Yu Siau-lam
membenarkan.
Ia memandang sekejap keadaan Bu-jian tootiang, kemudian sambil menengadah ujarnya lagi,
“Bagaimana dengan koancu ini? Bagaimana kalau kita bebaskan dulu jalan darahnya?”.
Hoa In-liong memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu berkata pula, “Tempat ini letaknya
sangat dekat dengan kota. Aku rasa kebakaran yang barusan terjadi tentu sudah diketahui pula
oleh penguasa setempat. Daripada mencari kesulitan yang tak berguna, lebih baik kita tinggalkan
dulu tempat ini”
“Benar!” Yu Siau-lam mengangguk, “Kita memang harus pergi dulu dari sini!”
Setelah mengambil keputusan, ia lantas membopong Bu-jian koancu dan berjalan lebih dulu
menuju ke tenggara.
Setelah berjalan beberapa saat lamanya, Hoa In-liong berkata lagi, “Jalanan ini adalah jalan yang
siau-te tempuh sewaktu datang kemari. Apakah kita akan kembal ke kota Kim-leng?”
“Yaa, kita sedang bergerak menuju ke kota Kim-leng, bagaimana pendapat saudara In-liong?”
“Saudara Siau-lam apa tahu dimana letaknya bukit Yan-san?”
“Bukit Yan-san terletak disebelah barat kota Kim-leng, sebelah selatan kota Cian-siok. Dari kota
Cian-siok paling banter juga cuma seratus li lebih sedikit. Arah yang kita ambil sekarang justru
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
333
sejalan dengan tujuan kita. Kenapa? Apakah saudara In-liong hendak langsung menuju bukit
Yan-san untuk memenuhi janji pertemuanmu dengan nona Wan?”
“Aaah…. mengadakan pertemuan sih, masih pagi. Yang siau-te pikirkan adalah soal janji nona
Wan dengan kita untuk bertemu tiga hari kemudian di bukit Yan-san. Kalau toh ia bisa berkata
begini berarti dia sudah tahu kalau Hong Seng sekalian hendak menuju sekitar bukit Yan-san.
Apa salahnya kalau kita langsung menuju bukit Yan-san, sekalian menyelidiki gerak-geriknya?”
Sehabis mendengar perkataan itu, Yu Siau-lam segera memahami akan kebsnaran ucapan tadi,
kontan pujinya, “Waaah…. kecerdasanmu memang satu tingkat lebih hebat dari pada orang lain.
Didepan sana ada persimpangan jalan. Ayoh kita segera menuju ke bukit Yan-san”
Begitulah, meskipun pembicaraan dilangsungkan terus namun langkah kaki mereka tak pernah
berhenti. Setelah berlarian satu jam lebih, sampailah mereka didepan sebuah hutan yang lebat.
Hoa In-liong memandang sekejap Yu Siau-lam yang berada disampingnya. Melihat peluh sudah
membasahi sekujur badannya, dia pun berkata, “Saudara Siau-lam, mari kita beristirahat
sebentar dihutan sebelah depan sana, sekalian kita tanyai keadaan Bu-jian tootiang”
“Begitupun boleh juga” Yu Siau-lam menjawab sambil tertawa, “Badan Bu-jian tootiang besar
dan berat, aku memang sedikit merasa lelah!”
Maka kedua orang itupun saling berpandangan sambil terbahak-bahak, perjalanan dilakukan
lebih cepat lagi menuju kearah hutan lebat didepan sana.
Hutan itu letaknya disuatu tikungan jalan raya, ketika mereka berdua berhasil mencapai tepi
hutían tersebut tiba-tiba dari depan sana muncul segerombol manusia.
Lantaran kedua belah pihak sama-sama sedang melakukan perjalanan cepat, maka ketika
berjumpa muka secara mendadak, kedua belah pihak sama-sama kaget dan tertegun.
Setelah rombongan semakin dekat, barulah terlihat bahwa rombongan yang datang dari sebelah
depan sana berjumlah belasan orang lebih. Diantara mereka tampak pula Coa Cong-gi serta Li-
Poh-seng. Selain itu ada pula Liat Ceng-poh dan Be Si-kiat diiringi delapan sembilan orang lakilaki
berpakaian ketat. Mereka semua bersenjata lengkap. Jelas datang untuk memberi bantuan.
Tapi karena perjalanan terlalu lambat maka sampai waktu itu baru tiba ditempat tujuan.
Setelah masing-masing pihak mengetahui siapakah lawannya, meledaklah teriakan-teriakan
gembira yang gegap gempita.
Coa Cong-gi pertama-tama yang lari ke depan lebih dulu. Sambil mencekal tangan Hoa In-liong
erat-erat serunya kegirangan, “Saudara Hoa, sungguh amat payah kucari diri….”
Tiba-tiba ia berpaling ke arah Yu Siau-lam dan melanjutkan, “Sudah kuduga, asal saudara Hoa
tiba tepat pada waktunya, saudara Siau-lam pasti akan selamat tanpa kekurangan sesuatu
apapun. Haa…. haa…. haa…. Ternyata tebakanku memang tidak keliru. Aku lihat paras muka
Siau-lam heng merah bercahaya, tentu banyak bukan keuntungan yang berhasil kau dapatkan?”
Matanya celingukan kesana kemari, sikapnya hangat sekali. Kalau bisa ia mempunyai dua lembar
mulut sehingga semua perasaan gembiranya dapat di utarakan keluar sekaligus.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
334
Yu Siau-lam dan Hoa In-liong sendiripun merasa amat gembira sekali, sebelum pemuda she-Hoa
itu sempat buka suara, sambil tertawa nyengir Yu Siau-lam telah berkata lebih duluan, “Tahukah
engkau, hasil apakah yang berhasil kudapatkan?”
Coa Cong-gi mengernyitkan alis matanya yang tebal, kemudian sambil menuding kearah Bu-jian
tootiang sahutnya, “Bukankah dia adalah hasil yang diperoleh? Waaah…. Emangnya kau anggap
aku ini bodoh dan ceroboh, sehingga seorang toosu segede itupun tidak kelihatan?”
Ternyata dia menganggap Bu-jian tootiang sebagai tawanan yang berhasil ditangkap dalam
pertarungan yang barusan berlangsung.
Sebetulnya Yu Siau-lam hanya bermaksud iseng saja dan sengaja menggoda dirinya, tapi setelah
menyaksikan keseriusan orang, selain merasa tak tega, diapun merasa geli sekali sehiagga tak
kuasa lagi dia tertawa terbahak-bakak. “haa…. haa…. haa…. Betul…. Betul, Mari kita bercakapcakap
disana saja”
Dicengkeramnya lengan pemuda itu, lalu diajak menuju kedalam hutan lebat situ.
Hoa In-liong sendiri sambit memegang perut sendiri menahan geli, diapun manggut-manggut ke
arah Liat Ceng-poh dan Be Si-kiat untuk mengucapkan terima kasih.
Kemudian sambil berjalan bersanding dengan Li Poh-seng katanya, “Demi siau-te, saudara Pohseng
harus melakukan perjalanan jauh. Atas kesediaan saudara bersusah payah, tak lupa siau-te
ucapkan banyak banyak terima kasih”
Li Poh-seng tertawa rawan. “Aaaah…. Terhadap sesama saudara, apa gunanya berbicara
sungkan-sungkan? Keadaan ini tak ada bedanya dengan tindakanmu sewaktu semalam suntuk
berangkat ke Hong-yang”
“Tidak bisa dikatakan sama jelas berbeda jauh” Tukas Hoa In-liong sambil gelengkan kepalanya,
“Saudara Siau-lam mendapat kesusahan lantaran persoalan siau-te. Maka sudah menjadi
kewajiban siau-te untuk memberi bantuan secepatnya”
Mendengar perkataan itu, Li Poh-seng tertawa terbahak-bahak. “Haa…. haa…. ha…. Apa bedanya
antara kewajibanmu memberi bantuan dengan kerelaan kami membantu dirimu? Bagaimanapun
juga toh kita sama sama bermaksud membantu yang sedang susah dan menolong yang sedang
terluka? Jika diantara sahabatpun tak boleh melakukan sedikit jasa seperti ini, lantas apa
gunanya kita mengikat diri menjadi sahabat?”
Hoa In-liong tak ingin mendebat lebih lanjut, diipun segera mengangguk berulang kali, katanya
sambil tertawa, “Apa yang saudara Poh-seng katakan memang cengli, siaute mengakui tak
mampu mengalahkan muridmu”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, rombongan mereka sudah tiba dalam hutan lebat
itu.
Seorang laki-laki setengah baya yang berwajah bersih maju kedepan dan memberi hormat
kepada Yu Siau-lam, katanya, “Tentu kongcu Sudah mendapat banyak penderitaan yang
mengejutkan hati bukan? Siau-te tak punya kepandaian hebat, ilmu silat juga biasa-biasa saja.
Sungguh menyesal hatiku karena tak mampu menjalankan tugas untuk melindungi keselamatan
kongcu dengan sebaik-baiknya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar