Mendengar ucapan tersebut, berkobarlah hawa amarah Hoa In-liong tapi ketika sinar matanya
saling membentur dengan sepasang biji mata Bwee Su-yok yang jeli tapi dingin itu, tiba-tiba saja
hawa amarahnya sirna dengan begitu saja, malah diapun berpikir lebih jauh, “Sebagai seorang
lelaki sejati aku harus pandai menyesuaikan diri. Bila aku bersikeras mengumbar emosi saja,
sudah pasti kerugianlah yang kuperoleh, aku harus mencari akal untuk berusaha meloloskan diri
dari tempat ini”
Pemuda ini jadi orang bersikap terbuka dan tidak terlampau terikat oleh segala adat istiadat yang
tetek bengek, apalagi setiap kali berjumpa dengan ancaman bahaya maut, dia selalu tenang dan
menggunakan otaknya untuk menghadapi keadaan.
Tapi sekarang, setelah ia tertawan, otomatis jalan pemikirannya juga ikut mengalami perubahan
itulah yang dinamakan orang: Siapa yang tahu gelagat dan keadaan, dialah seorang manusia
yang cerdas. Dan rasanya Hoa In-liong memang cocok sekali dengan keadaan tersebut.
Padahal, berbicara yang sesungguhnya, selain alasan-alasan diatas masih ada lagi sebab
musabab lain yang rasanya lebih cocok, yakni kecantikan Bwee Su-yok.
Tampaknya kecantikan wajah si nona itu sudah terlampau melekat dalam hatinya membuat
pemuda yang pada dasarnya memang romantis ini tak mampu mengutarakan kemarahannya
dihadapan gadis cantik itu, meski amarahnya sudah mencapai pada puncaknya.
Ketika pemuda itu teringat kembali tentang kegagahannya sebagai seorang pria, sepasang
matanya yang tajam segera memandang wajah Bwee Su-yok lekat-lekat, sedikitpun tidak
nampak berkedip.
Bagi pandangan orang lain, maka sorot mata tersebut dapat berarti dua perasaan.
Yang satu adalah perasaan tenang, hambar, seakan-akan perasaan hatinya setenang air,
terhadap suasana yang serta menegangkan disekelilingnya sama sekali tidak terpengaruh.
Sedang perasaan kedua adalah suatu perasaan marah yang meluap, orang akan menganggap
dia sedang marah dan tersinggung oleh perkataan Bwee Su-yok, tapi lantaran ia sudah tertawan,
maka rasa gusarnya tak berani diutarakaan keluar.
Sebaliknya bagi pandangan Bwee Su-yok, sorot mata semacam itu justru mendatangkan
perasaan yang lain daripada yang lain dengan rekan-rekannya.
Walaupun wajah Bwee Su-yok dingin dan kaku tapi sorot mata dari Hoa In-liong itu justru
merupakan kobaran api yang membara. Ketika mereka berdua saling berpandangan tanpa
berkedip, maka lama kelamaan Bwee Su-yok merasakan suatu perasaan yang sangat aneh. Dia
merasa tubuhnya bergetar keras, jantungnya berdebar lebih keras dari keadaan semula. Suatu
perasaan yang belum pernah dialaminya selama ini dengan cepat menyelimuti seluruh benaknya
dan tanpa diketahui sebabnya tiba-tiba saja mukanya jadi merah. Tapi hanya sejenak, dia segera
mendengus dan melengos kesamping lain.
Setelah merah wajahnya kemudian mendengus pula, apa alasannya demikian? Tentu saja kecuali
mereka berdua, orang lain tidak akan memahaminya.
Dalam pada itu, Kiu-im kaucu telah berkata lagi sambil tertawa seram, “Hoa siau-hiap, kalau
berbicara tentang soal tingkat kedudukan, perbuatanku dengan cara menyergap menotok jalan
darahmu tadi memang kurang pantas dan sedikit menurunkan gengsi sendiri. Tapi akupun
mempunyai kesulitan yang memaksa diriku harus berbuat demikian. Coba bayangkan saja betapa
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
251
sayangnya aku terhadap ibumu, padahal tujuanku turun gunung kali ini adalah untuk merebut
tempat kedudukan yang terhormat dalam dunia persilatan. Selama ibumu masih berada di bukit
Im-tiong-san bagaimana mungkin aku dapat melanjutkan rencanaku untuk memusuhi keluarga
Hoa kalian?”
Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang cerdik. Dari pembicaraan Kiu-im kaucu yang bolak
balik tak menentu itu, dia segera mengetahui bahwa pihak musuhnya mempunyai tujuan dan
maksud-maksud tertentu, maka diapun mengerling sekejap ke arah perempuan tua yang angker
itu seraya berseru, “Huuuh! Kalau bicara saja enak kedengarannya, padahal siapa tahu
bagaimanakah kesungguhannya? Benarkah kaucu benar-benar tidak bermaksud sesuatu?”
Kiu-im kaucu tidak tersinggung oleh perkataan tersebut, kembali ujarnya, “Bila kubicarakan
secara blak-blakan, mungkin saja engkau tak akan mempercayainya, tahukah engkau bahwa
didalam peristiwa pembunuhan berdarah atas diri Suma tayhiap beserta istrinya bukan saja aku
ikut mengambil bagian. Pihak perkumpulan Hian-beng-kauw juga ikut ambil bagian bahkan Ku
Ing-ing, si Giok-teng hujin itupun turut ambil bagian. Jika engkau hanya menaruh rasa benci dan
dendam terhadap aku seorang, tidakkah kau merasa bahwa tindakanmu tersebut bukan saja
tidak bijaksana bahkan merupakan suatu keputusan semena-mena yang tidak adil?”
Diam-diam Hoa In-Iiong merasa terperanjat sekali sehabis mendengar pekataan itu, pikirnya,
“Dengan begitu terus terang dia mengemukakan latar belakang peristiwa berdarah itu kepadaku,
sudah pasti ia memang mempunyai rencana untuk membinasakan diriku”
Meskipun dalam hati merasa kaget, diluaran dia tetap bersikap tenang, setelah mengerling
sekejap katanya kemudian, “Dewasa ini Hoa In-liong sudah menjadi tawananmu, mau bunuh
mau jagal terserah pada diri kaucu, buat apa kau ucapkan kata-kata seperti itu….?”
“Aku hanya suruh engkau percaya saja” sahut Kiu-im kaucu sambil tersenyum, “Aku tidak
bermaksud apa-apa terhadap diri siauhiap”
“Hoa In-liong bukan anak kecil yang berusia tiga tahun, jangan harap bujuk rayu dan kata-kata
manismu akan mendatangkan hasil bagimu” kata Hoa In-liong kemudian dengan tenang. “Maka
kuanjurkan kepadamu lebih baik berbicaralah terus terang bila ingin mengutarakan sesuatu, asal
aku Hoa In-liong mampu untuk menjawab, pertanyaan itu tentu akan kujawab, jika tak sanggup
kujawab, sekalipun kau rantai badanku dengan borgol sebesar apapun jangan harap bisa
memaksa aku untuk mengutarakan sepatah katapun juga”
Seng-Sin-sam yang kerdil dan menjabat sebagai Tongcu penerimaan anggota baru itu tiba-tiba
menyela sambil tertawa seram, “Heeehh…. heehh…. hee…. Terus terang kuberitahukan
kepadamu, pada hakekatnya kamipun tiada pertanyaan yang hendak diajukan kepadamu. Aku
menjabat sebagai ketua ruang penerimaan anggota baru. Andaikata engkau berhasrat masuk
menjadi anggota perkumpulan kami, asal aku mengutarakan beberapa patah kata yang indah
dihadapan kaucu kami, tanggung engkau pati akan ke terima menjadi anggota kami”
Berbicara menurut keadaan pada umumnya yang berlaku dalam dunia persilatan, peraturan dari
tiap perguruan ataupun partai yang ada didunia ini rata-rata ketat dan disiplin. Biasanya
bilamana seorang kaucu hadir dalam suatu ruangan, maka sebagai anak buah tak seorangpun
berani menyela atau menimbrung pembicaraan yang berlangsung sebelum diminta oleh
ketuanya.
Tapi sekarang, bukan saja Tongcu she-Seng itu berani menyela suatu pembicaraan, bahkan
berani pula mengemukaan sebuah usul, sementara Kiu-im kaucu sendiri sedikitpun tidak
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
252
menunjukkan sikap kurang senang hati, dari sini dapatlah diketahui betapa terhormatnya
kedudukan Seng Sin-sam dalam perkumpulan Kiu-im-kauw.
Hoa In-liong yang binal tapi cerdik segera memutar otaknya, selang sesaat kemudian ia sudah
mendapat akal bagus, maka pemuda itupun tertawa nyaring. “Haa…. haa…. haa…. Begitupun
ada baiknya, setelah menjadi anggota Kiu-im-kauw, bukan saja aku Hoa Loji dapat menciptakan
suatu pekerjaan yang besar, akupun setiap harinya bisa berkumpul dengan nona Bwee…. Haa….
haa…. haa…. Ada gadis cantik dalam rangkulan, masa depanku juga cemerlang, bukan saja aku
Hoa Loji akan hidup penuh kebahagian, nama dan kedudukanku juga termashur…. Tentu saja ide
ini bagus sekali!”
Merah padam wajah Bwee Su-yok karena jengahb cepat dia menghardik dengan nyaring, “Hey,
apa yang kau ocehkan terus?”
“Hoa siauhiap!” Kiu-im kaucu yang selama ini membungkam tiba-tiba berkata “Andaikata engkau
benar-benar berhasrat untuk membantu diriku, tentu saja dengan senang hati anak Yok akan
kujodohkan kepadamu!”
Bwee Su-yok jadi sangat gelisah, cepat dia menyela, “Suhu…. Orang she-Hoa ini usil amat
mulutnya, ia jahat dan tak bisa dipercaya. Anak Yok…. anak Yok….”
Tapi sebelum gadis cantik itu menyelesaikan kata-katanya, Kiu-im Kaucu telah mengulapkan
tangannya seraya berkata, “Gurumu sudah mempunyai rencana yang sangat bagus, engkau tak
usah menimbrung lagi!”
“Huuuh…. apa rencanamu itu?” Jengek Hoa In-liong cepat dengan wajah berubah serius, “Palingpaling
juga menyelidiki jejak serta tindak tanduk orang tua dari aku orang she-Hoa atau
menahan aku orang she-Hoa sebagai sandera. Hmm….! Mengulangi kembali siasat lama yang
pernah dipraktekkan dua puluh tahun berselang, sayang rencanamu itu sama sekali tak berguna
bagi diriku”
Diam-diam Kiu-im kaucu merasa terkejut setelah mendengar perkataan itu, dengan dahi berkerut
katanya, “Benarkan sama sekali tak berguna terhadap dirimu?”
Hoa In-liong mencibirkan bibirnya. “Huuh….! Aku orang she-Hoa tak bakal terpikat oleh cantiknya
wajah perempuan, tak akan bertekuk lutut oleh kehebatan ilmu silat orang lain. Sekalipun kau
mempunyai beribu macam akal muslihat, berjuta macam bentuk siksaan, jangan harap kau dapat
memaksa aku orang she-Hoa tunduk pada perintahmu”
Betapa mendongkolnya Bwee Su-yok sehabis mendengar perkataan itu, dengan ketus dia lantas
menimbrung, “Hmmm…. ! Bukankah tadi engkau selalu berteriak bahwa engkau lebih suka
terbunuh daripada
tertawan? Sekarang toh engkau sudah menjadi tawananku, kenapa tidak berusaha untuk bunuh
diri membereskan nyawamu sendiri?”
“Nona Bwe, apakah diantara kita terikat dendam sakit hati?” tiba-tiba Hoa In-liong berkata
dengan lembut.
Sinar matanya yang terang bagaikan bintang fajar itu seperti senyum, tak senyum memandang
wajah gadis itu lekat-lekat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
253
Ketika sorot mata Bwee Su-yok saling bersentuhan kembali dengan pandangan matanya, sekali
lagi gadis itu merasakan jantungnya berdebar keras. Untuk sesaat, dia tertegun, tapi selanjutnya
jawabnya dengan nada dingin, “Yaa, diantara kita ada ikatan dendam, suatu ikatan dendam yang
lebih dalam dari samudra, kenapa?”
Kembali Hoa In-liong tertawa. “Sekalipun antara nona Bwe dengan aku ada ikatan dendam,
caramu memanaskan hatiku tak bakal mendatangkan apa-apa. Ketahuilah aku Hoa loji jauh
berbeda dengan orang lain. Tahukah engkau apa yang sedang kupikirkan sekarang?”
Seraya berkata kepalanya sengaja dimiringkan kesamping berlagak seperti seorang bocah yang
pura-pura sok rahasia. Gayanya yang mengejek ini kontan saja menggemaskan Bwee Su-yok
hingga membuat giginya saling bergermerutukan menahan emosi. Kalau bisa dia ingin menggigit
pemuda itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya.
Sambil menggigit bibir, dia lantas berseru dengan gemas, “Aku tak ambil perduli apa yang kau
pikirkan pokoknya nonamu cuma tahu bahwa engkau harus mampus!”
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. “Haaa…. haa…. haa…. Aku orang she Hoa mana boleh
mati. Kalau aku sampai mati lebih duluan, bukankah engkau akan….”
Sebetulnya dia hendak mengatakan, “Bukankah engkau akan menjadi seorang janda kembang?”
Kata-kata itupun mengiringi ucapan Kiu-im kaucu yang hendak menjodohkan anak Yok-nya
kepada dia.
Tapi bagaimanapun juga dia adalah keturunan seorang pemuda persilatan yang punya nama
besar ketika ucapan tersebut sudah berada diujuag bibir, tiba-tiba dia merasa bahwa perkataan
itu terlalu tengik dan kurang sopan. Lantaran ia kuatir kalau ucapan tersebut sampai
menyinggung perasaan halus Bwee Su-yok, maka tiba-tiba saja dia membungkam dan menelan
kembali kata-kata tersebut ke dalam perutnya.
Perlu diketahui disini, walaupun Hoa In-liong termasuk seorang pemuda yang romantis, sekalipun
dia binal dan nakal, tapi bukan berarti cabul atau tak tahu sopan santun. Apalagi kecantikan
Bwee Su-yok dan keagungan gadis itu belum pernah dijumpai seumur hidup. Sekalipun dara itu
bersikap angkuh dan dingin, lagipula mereka berhadapan sebagai musuh, tapi bila Hoa In-liong
disuruh benar-benar melukai perasaan Bwee Su-yok, dengan watak yang dimiliki pemuda itu,
belum tentu dia bersedia untuk melakukannya.
Kalau toh diapun begitu, tentu saja keadaan tersebut berlaku juga bagi diri Bwee Su-yok.
Orang bilang gadis yang cantik selalu menjaga gengsi. Gengsi ini mencakup pula terhadap orangorang
yang melakukan hubungan dengannya. Keadaan tersebut tak ubahnya ibarat seorang
hartawan yang kaya raya tak sudi berhubungan dengan kaum pengemis.
Seorang gadis yang betul-betul cantik, selain dia selalu menjaga gengsi, disamping itu diapun
selalu berharap setiap orang yang berhubungan dengannya memiliki kecantikan atau keayuan
yang setaraf dengan kecantikannya, terutama dengan lawan jenisnya, hal ini akan tampak
semakin kentara.
Kebetulan sekali Hoa In-liong terhitung seorang pemuda yang gagah dan tampan, orangnya juga
amat romantis. Berbicara soal kegantengan maupun karakternya boleh dibilang setingkat lebih
tinggi dari orang lain atau dengan perkataan lain pemuda tersebut benar-benar merupakan
ssorang pemuda yang tampan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
254
Bwee Su-yok yang terhitung pula sebagai seorang gadis cantik. Bila dikatakan ia tidak tertarik
oleh pemuda setampan dan segagah itu, maka hal tersebut merupakan kata-kata yang bohong
dan tak bisa dipercaya.
Ia tertarik juga merasakan pergolakan yang hebat, tapi sayang oleh karena pendidikan yang
keliru membuat terciptanya suatu watak membenci kepada laki-laki tampan dalam hati sidara ayu
ini ditambah lagi Hoa In-liong memang binal sukar diurus, yang kebetulan sekali merupakan
watak yang paling dibenci olehnya dihari-hari biasa, apalagi Hoa In-liong menunjukkan sikap
hambar dan seolah-olah sama sekali tidak tertarik oleh kecantikannya, kesemuanya ini membuat
nona itu semakin berang hingga berulang kali mengatakan hendak membunuh dirinya dan
bersumpah tak mau hidup berdampingan dengannya.
Padahal bila kita bahas keadaan tersebut dengan lebih mendetail, maka dapatlah kita ketahui
bahwa tindakan tersebut disebabkan karena perasaan tak puas si nona itu terhadap lawannya,
cuma gadis itu sendiripun tidak menyadari akan keadaan tersebut.
Sementara itu, sorot mata Bwee Su-yok sudah memancarkan sinar dingin yang menggidikkan
hati. Kalau dilihat dari gayanya jelas gadis itu sudah siap akan melancarkan serangan.
Tapi lantaran perkataan dari Hoa In-liong tiba-tiba berhenti ditengah jalan, dimana tindakan
semacam itu justru sama sekali berada diluar dugaannya, maka gadis itu jadi tertegun untuk
sesaat lamanya. “Ayoh teruskan kata-katamu itu!” bentaknya kemudian “Kenapa tidak kau
lanjutkan?”
“Aaaah…. Lebih baik tak usah kulanjutkan lagi!”
Bwee Su-yok jadi makin mendongkol, teriaknya dengan nyaring, “Tidak! Bagaimanapun juga
engkau harus mengatakan keluar, kalau tidak kau lanjutkan kata-katamu itu, lidahmu akan
segera kupotong sampai kutung”
“Baiklah!” ucap Hoa In-liong kemudian sambil mengangkat bahunya “Aku akan mengatakannya
keluar. Aku sedang memikirkan bagaimana caranya meloloskan diri dari sini, percayakah kau?”
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, Bwee Su-yok kontan jadi terbelalak lebar, sedang
kawanan jago lainnya tak dapat menahan rasa gelinya lagi, mereka tertawa terbahak-bahak.
Tak aneh kalau mereka tertawa geli, bayangkan saja bukannya ia sudah kena ditawan orang,
bahkan berada pula dilingkungan musuh musuhnya yang tangguh tapi pemuda itu telah
mengucapkan kata-kata yang tidak bersemangat, selain itu diapun malah bertanya apakah orang
mau percaya dengan perkataan itu, bayangkan saja siapa yang tidak geli dibuatnya.
Bwee Su-yok sendiri pun diam-diam berpikir dihati, “Manusia macam apaan orang ini? Kalau
dilihat dari wajahnya yang tampan dan tindak tanduknya yang gagah perkasa, sudah pasti dia
terhitung seorang laki-laki yang tinggi hati. Tapi mengapa mengucapkan kata-kata macam
perkataan bocah cilik? Apakah…. Apakah dia merasa yakin sekali kalau dirinya memiliki
kemampuan untuk meloloskan diri?”
Dalam pada itu, Hoa In-liong duduk dikursi tepat dihadapannya dengan senyuman dikulum,
sikapnya amat tenang, tidak tampak sikap malu, atau menyesal, juga tidak menunjukkan tandatanda
kalau ia merasa amat yakin. Sikapnya yang begitu santai, begitu kalemnya mengingatkan
orang bahwa dia seakan-akan berada dilingkungan sahabat-sahabat sendiri, kehambaran dan
ketenangannya cukup membuat orang jadi tercengang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
255
Haruslah diketahui, keketusan dan kehambaran sikap Bwee Su-yok jauh berbeda dengan
manusia biasa. Seringkali manusia dengan pendidikan yang kaku dan dingin semacam ini
memiliki pandangan yang lebih agresif terhadap segala macam bentuk rasa sayang maupun rasa
benci.
Waktu itu dia masih belum menemukan rasa cintanya terhadap Hoa In-Liong, maka ia merasa
setiap gerak-gerik dari si anak muda itu mendatangkan rasa benci baginya. Menurut jalan
pikirannya, andaikata manusia semacam ini dibiarkan lolos dari cengkeramannya, maka kejadian
ini akan dianggapnya sebagai suatu penghinaan yang luar biasa besarnya, otomatis tak bisa
disalahkan pula bila ia mempunyai cara berpikir yang bertolak belakang dengan orang biasa.
Seng Sin-sam, tongcu bagian penerimaan anggota baru yang kerdil pada hakekatnya adalah
seorang manusia yang licik dan banyak tipu muslihatnya. Sambil tertawa tergelak tiada hentinya,
dengan mata yang tajam dia mengawasi gerak-gerik Hoa In-liong, Kemudian ia berseru dengan
nada dingin, “Lapor kaucu, aku lihat Hoa In-liong adalah seorang manusia kurcaci yang tak
berguna. Ia tidak memiliki kegagahan dan kejantanan seperti Hoa Thian-hong. Menurut
pendapat hamba, lebih baik kita tak usah membuang banyak tenaga dan pikir-an lagi”
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, semua gelak tertawa terhenti dan sorot mata semua
orang pun sama-sama dialihkan keatas wajah Hoa In-liong.
Si anak muda itu masih tetap duduk dengan sennyuman dikulum, Tubuhnya yang duduk sekokoh
batu karang tampak begitu tenang dan kalemnya, seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali oleh
ancaman yang membahayakan jiwanya itu.
Huan Tong Si Tongcu bagian propaganda segera menyela dari samping ruangan, “Hamba juga
mempunyai pendapat demikian, asal yang kecil kita jagal, tentu si kura-kura tua terpaksa harus
menongolkan diri. Bagaimanapun jua kita toh hendak memimpin dunia persilatan dan bersikap
musuhan dengan Hoa Thian-hong, nanti juga bentrok sekarang juga bentrok, kenapa tidak kita
jagal saja bangsat cilik ini baru kemudian melakukan pertarungan besar dengan sepuas-puasnya”
Orang ini sangat suka mencari nama dan pahala. Dia paling tidak percaya kalau dikatakan Hoa
Thian-hong itu lihay, maka dalam penbicaraanpun bukan saja sama sekali tidak menunjukkan
perasaan jeri, bahkan penuh dengan semangat yang menyala-nyala.
Hoa In-liong tidak biasa dengan gayanya yang sok itu, cepat dia menimbrung sambil tertawa
tergelak, “Haaa…. haa…. haaa…. Ayohlah kalau mau turun tangan! Aku orang she-Hoa kan duri
dalam mata bagi kalian semua, kenapa tidak segera turun tangan?”
Lie Kiu-it, tiamcu dari ruang siksa menyahut dengan suara yang dingin dan tajam, “Cepat atau
lambat kita pasti akan turun tangan. Asal kaucu ada perintah, pertama-tama akan kusuruh kau
cicipi bagaimana rasanya kalau sekujur badan diselomoti dengan batang hio yang menyala!”
Lie Kiu-it yang menjabat sebagai ketua istana ruang penyiksaan ini memang memiliki tampang
“kriminal”. Bukan saja kepalanya botak, tubuhnya tinggi besar, biji matanya yang putih lebih
banyak daripada yang hitam. Malahan mata itu semu merah menyala. Tampang semacam ini tak
bisa dibatalkan lagi kalau dikatakan sebagai tampang seorang manusia yang buas dan berjiwa
kejam.
Mendengar ucapan tersebut, Hoa In-liong lantas berpikir didalam hatinya, “Orang ini adalah
seorang penjagal yang melanjutkan hidup dengan kerjanya menjagal manusia, tampang
semacam ini persis dengan tampang pembantu Gwa-kong ku yang kejam itu. Biasanya manusia
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
256
seperti itu bukan saja buas, juga tidak berperi kemanusian. Manusia macam begini tak dapat
dibiarkan hidup lebih jauh. Bila sampai bertempur nanti, akan kucabut lebih dahulu se-lembar
jiwanya”
Kek Thian-tok yang menjabat sebagai Tongcu bagian tata cara dan disiplin perkumpulan
merupakan anggota Kiu-im-kauw yang paling tua, diapun paling paham dengan jalan pemikiran
kaucunya. Ketika pendapat mulai diutarakan simpang siur, tiba-tiba dia melangkah keluar dari
rombongan dan memberi hormat kepada kaucunya seraya berkata, “Hamba mengetahui betapa
terkenangnya kaucu terhadap sahabat-sahabat lama, terutama kesan yang begitu mendalam
terhadap sanak keluarganya Hoa In-liong. Sayang bocah she Hoa ini begitu
tak tahu diri dan menganggap dirinya sebagai sok jagoan hingga bersikap kurang sopan kepada
kaucu. Menurut hamba, orang ini terlampu binal dan aneh. Rasanya untuk menundukkan
perasaannya dengan mengenang kembali kesan dan hubungan persahabatan dimasa lampau, hal
ini sukar untuk terpenuhi dengan mudah!”
Selama orang lain mengajukan usul dan pendapatnya yang beraneka ragam, Kiu-im kaucu selalu
membungkam dalam seribu bahasa tanpa memberi komentar apa-apa, ini menunjukkan bahwa
jalan pemikiran mereka tidak sesuai dengan jalan pemikirannya.
Tapi setelah Kek Thian-tok yang menjadi Tong cu bagian tata cara dan disiplin perkumpulan ini
mengutarakan kata-katanya, pelan-pelan diapun mengangguk.
Meskipun telah mengangguk, tapi mulutnya tetap membungkam, sementara otaknya masih
berputar memikirkan sesuatu.
Haruslah diketahui, Kiu-im kaucu adalah seorang manusia yang cerdik dan banyak tipu
muslihatnya, sekalipun wataknya agak keras pada hakekatnya dia adalah seorang manusia yang
buas, ganas dan berbahaya.
Dimasa lampau, dia pernah menaruh kesan baik atas diri Pek Kun-gi sebagai muridnya, meskipun
pada akhirnya keinginan hatinya itu tak sampai keturutan, tapi bayangan dari Pek-Kun-gi
masih selalu melekat dalam-dalam dihatinya.
Apalagi dimasa lalu dia mempunyai suatu cita-cita yang lain, yakni bila Pek Kun-gi dapat ia terima
sebagai muridnya, otomatis Hoa Thian-hong akan tertarik juga untuk menjadi anggota Kiu-imkauw.
Asal orang-she-Hoa itu sudah tunduk dibawah perintahnya, dengan gampangnya pula
tahta pemimpin dunia persilatan akan terjatuh ketangannya.
Meskipun kejadian itu sudah lewat banyak tahun, tapi sampai sekarang ambisinya itu belum
pernah padam, tentu saja dalam gerakan turun gunungnya kali ini juga diselilingi dengan
maksud-maksud tertentu.
Apa mau dikata ketika baru saja terjun ke dalam dunia persilatan, dia telah bertemu lebih dulu
dengan putranya Pek Kun-gi. Sebagaimana diketahui Hoa In-liong mempunyai wajah yang mirip
dengan ayah ibunya, maka dipakainya siasat yang bersifat lembut untuk menggaet perasaan
simpatik dihati anak muda itu.
Pikirnya asal Hoa In-liong bisa ditarik kesan baiknya sehingga antara pihaknya dengan keluarga
Hoa Thian-hong dapat terjalin hubungan, maka cita-citanya untuk menjagoi dunia persilatan tak
akan terlampau sulit untuk dicapai.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
257
Maka bila diteliti lebih mendalam, boleh dibilang ia memang sedarg mengulangi kembali sia-sat
lamanya.
Tentu saja dibalik kesemuanya itu terdapat suatu alasan yang amat sensitif sifatnya, yaitu Kiu-im
kaucu menaruh rasa jeri dan ngeri terhadap Hoa Thian-hong, ayahnya Hoa In-liong.
Tegasnya Kiu-im kaucu sampai sekarang masih tak dapat melupakan dendam sakit hatinya
dimasa lampau, terutama keberhasilan Hoa Thian-hong memimpin dunia persilatan dan
menghancurkan ambisinya untuk menguasai seluruh jagad. Sakit hati semacam ini tentu saja tak
dapat dia lupakan untuk selamanya.
Betapa besarnya rasa dendam dan sakit hati Kiu-im kaucu terhadap diri Hoa Thian-hong dapat
terlihat jelas misalnya saja dalam pembunuhan terhadap Suma Tiang-cing beserta istrinya Kwa
Gi-hun dan tindakannya menciptakan Bwee Su-yok yang dingin dan kaku. Boleh dibilang
kesemuanya itu dilakukan khusus untuk ditujukan buat keluarga Hoa.
Sekalipun demikian, Kiu-im kaucu termasuk juga seseorang yang lebih memperhatikan
tercapainya tujuan daripada memikirkan cara pelaksanaannya. Ia merasa apalagi bisa menarik
kesan baiknya Hoa In-liong sehingga antara pihaknya dengan pihak Hoa Thian-hong terjalin
hubungan baik dan cita-citanya dapat tercapai tanpa harus terjadi kontak senjata, bukankah cara
tersebut jauh lebih baik?
Walaupun dia adalah seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, namun daripada itu diapun
merasa tak mempunyai keyakinan untuk menangkan musuhnya maka kalau bisa dia berusaha
ingin mencapai tujuan dengan cara yang halus dan baik-baik.
Sayang sekali perempuan tua itu sudah salah menafsirkan diri Hoa In-liong. Sekilas pandangan
pemuda ini memang tampaknya acuh tak acuh dan tidak begitu menaruh perhatian terhadap
setiap persoalan. Padahal justru dia merupakan seorang berotak encer, ditambah lagi
kecerdikannya wataknya yang terbuka dan tidak terikat adat istiadat yang tetek bengek, serta
pandai memutar kemudi mengikuti hembusan angin, kesemuanya itu membuat orang jadi sukar
untuk meraba maksud tujuan serta jalan pemikiran yang sebenarnya.
Karena persoalan ini Kiu-im kaucu pernah merasakan kesulitan, bahkan nafsu membunuhnya
pernah menyelimuti pula benaknya, terutama sewaktu berada dibukit Ciong-san, ia pernah dibuat
marah oleh persoalan itu.
Sebagai seorang yang berhati kaku, dia enggan untuk merubah cara berpikirnya, tapi sekarang
setelah diberi petunjuk oleh Kek Thian-tok, dan lagi apa yang diucapkan juga begitu luwes tanpa
menyinggung gengsinya, maka setelak termenung sebentar dia alihkan pandangannya kewajah
orang itu. “Bagaimana menurut pendapatmu?” tanyanya kemudian.
“Menurut pendapat hamba lebih baik untuk sementara waktu kita sekap saja pemuda ini.
Sementara kabar tentang penangkapan ini kita siarkan luas diluaran. Coba kita lihat saja
bagaimanakah reaksi dari ayah ibunya, selain itu kitapun mengirim kabar kepada Hian-beng
kaucu agar segera datang ke suatu tempat yang kita janjikan untuk bersama sama
merundingkan rencana besar kita selanjutnya dalam menghadapi Hoa Thian-hong.
Bagaimanapun juga kita toh sudah keluar gunung, cepat atau lambat akhirnya kita pasti akan
melangsungkan suatu pertarungan habis-habisan melawan Hoa Thian-hong dan konco-konconya.
Maka menurut pendapat hamba, selama Hoa In-liong ini masih bisa dipakai kita pakai saja, tapi
kalau sudah tak dapat kita pakai lagi, sampai waktunya kita lenyapkan saja bocah kunyuk ini dari
muka bumi, urusan kan menjadi beres?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
258
Yang dimaksudkan sebagai “bisa dipakai” disini adalah digunakan sebagai sandera.
Sebelum Kiu-im kaucu sempat memberikan reaksinya, Hoa In-liong sudah tertawa terbahakbahak.
“Haaa…. haa…. haa…. Suatu ide yang sangat bagus! Suatu idee yang bagus sekali? Kalau
toh semua pihak akan berdatangan semua untuk menyelesaikan masalah ini, rasanya aku Hoa
loji tak perlu repot-repot lari kesana kemari lagi!”
Habis berkata dia lantas bangkit berdiri dan berjalan menuju keruang belakang.
Dengan suatu gerakan yang sangat cepat Bwee Su-yok melayang kedepan dan menghadang
jalan perginya, kemudian bentaknya keras-keras, “Hey, mau apa kamu?”
“Mau apa? Tentu saja pergi beristirahat! Bukankah kalian hendak menyekap diriku?” sahut Hoa
In-liong dengan dahi berkerut.
Bwee Su-yok segera mendengus dingin. ““Hmmm….! Enak benar kalau berbicara, memangnya
kasu anggap disekap itu enak yaa?”
Hoa In-liong mengangkat bahunya seraya tertawa. “Meskipun katanya saja disekap! Tentunya
kau tidak akan memborgol tangan dan kakiku bukan macam buronan penjahat besar dalam
penjara kota….?”
Mengangkat bahu sambil tertawa sebenarnya merupakan suatu gerakan melucu, tapi lantaran
orangnya memang tampan dan binal, maka gerakan melucunya ini justru mendatangkan suatu
daya rangsangan yang lain dari pada yang lain.
Menyaksikan semua gerakannya itu, Bwee Su-yok merasa dirinya seakan-akan kena ditampar,
makin dilihat semakin tak enak rasanya, tak kuasa lagi dia mendengus dingin berulang kali.
Ditengah dengusan tersebut tiba-tiba tubuhnya berputar menghadap ke arah Kiu-im kaucu,
kemudian serunya, “Suhu, apakah engkau sudah mengambil keputusan yang tetap?”
Rupanya Kiu-im kaucu cukup memahami betapa marah dan mendongkolnya gadis itu. Dengan
nada tercengang dia balik bertanya, “Mengambil keputusan tentang soal apa?”
“Menyekap orang she-Hoa ini disini!”
“Oooh….! Soal itu toh…. ada apa? Apakah engkau mempunyai pendapat lain?”
“Tidak ada, anak Yok cuma berharap bilamana suhu telah mengambil keputusan maka harap
engkau orang tua suka menyerahkan orang she-Hoa itu kepadaku?”
Mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba Hoa In-liong berteriak aneh, “Bagus…. Bagus sekali? Ada
perempuan yang mau menemani aku, berarti rejeki yang amat besar bagi aku Hoa-loji…. haaa….
haa…. haa…. Syukurlah kalau nona memang demen sama aku!”
Kiu-im kaucu tertawa dingin, sinar matanya segera dialihkan ke wajah muridnya dan berkata,
“Kenapa harus kuserahkan kepadamu? Orang
ini aneh sekali dan banyak tipu muslihatnya”
“Aku tidak takut kebinalannya, juga tidak takut tipu muslihatnya, aku akan suruh dia merasa-kan
pahit getirnya ditanganku”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
259
Kiu-im Kaucu tidak langsung menyanggupi, dia berpikir sebentar kemudian baru menjawab,
“Baiklah! Memang ada baiknya juga membiarkan dia merasakan sedikit kelihayanmu. Tapi kau
musti hati-hati, jangan sampai membuat badannya menjadi cacad, sebab aku masih mempunyai
kegunaan lainnya”
“Yaa suhu!” Bwee Su-yok mengiakan, dia lantas putar badan dan berseru lagi dengan dingin,
“Ayoh jalan!”
Hoa In-liong sama sekali tidak memikirkan ancaman lawan malahan dengaa sikap yang mengejek
ia membuat gerakan mempersilahkan nona itu berjalan lebih dulu. “Silahkan nona manis! Harap
engkau suka mem bawa jalan bagi diriku!” katanya sambil tertawa.
Bwee Su-yok mendengus dingin, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia putar badan dan
berjalan menuju ke arah pintu ruangan sebelah belakang.
Hoa In-liong segera menjura kepada diri Kiu-im kaucu, kemudian katanya, “Bila dari pihak ayah
ibuku sudah ada kabar, tolong kaucu bersedia memberi kabar kepadaku, maaf tak dapat
menemani terlampau lama….!”
Dengan langkah lebar dan sikap yang amat santai dia lantas berlalu dari situ dan menuju ke
ruang belakang mengikuti langkah Bwee Su-yok.
Menyaksikan sikap Hoa In-liong yang begitu santai dan sama sekali tidak merasa takut itu, Lie
Kiu-it si tiamcu ruang penyiksaan dan para tong-cu lainnya sama-sama menunjukkan senyuman
yang menyeringai. Agaknya mereka senang sekali karena musuhnya sudah dibawa pergi untuk
disekap sementara waktu.
Hanya Kiu-im kaucu seorang yang mengerutkan dahiaya, dalam hati dia berpikir, “Bagaimanakah
watak si bangsat itu yang sebenarnya? Benarkah dia tidak takut disiksa dan tak takut mati?
Ataukah dia emang memiliki sesuatu kekuatan yang bisa diandalkan….”
Semakin dipikir hatinya semakin gundah, akhirnya dengan suara keras dia berseru, “Bubar! Kita
laksanakan tugas masing-masing sesuai dengan rencana, Kek-tongcu! Bawalah orang dan segera
mengadakan kontak dengan Hian-beng kaucu”
Begitu selesai berkata, dia lantas mengundurkan diri lebih dahulu dari tempat itu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bwee Su-yok berjalan didepan menelusuri serambi yang
pa jang dan menuju keruang belakang.
Hoa In-liong mengikuti tanpa berbicara juga, hanya bedanya kalau si nona berwajah dingin dan
serius. Sementara si anak muda itu berjalan dengan wajah penuh senyuman. Kendatipun
demikian perbedaan sikap itu sama sekali tidak mengurangi ketampanan dan kecantikan wajah
mereka berdua. Begitu menariknya raut wajah kedua orang itu sehingga mirip dewa-dewi yang
baru turun dari kahyangan.
Setelah mencapai ujung serambi tersebut, mereka melewati sederetan bangunan rumah dan akhirnya
tibalah disebuah halaman yang terpencil letaknya jauh dlbelakang sana.
Disinilah tempat tinggal Bwee Su-yok, letaknya disudut tenggara bangunan utama. Halaman itu
bertengger persis dibawah tanah perbukitan Ciong-san. Didepan pintu membujur sebuah selokan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
260
kecil yang meliuk-liuk kesana-kemari, menciptakan suatu pemandangan yang sangat indah dan
sedap dilihat.
Setelah memasuki halaman tersebut, seorang dayang kecil yang memakai baju berwarna hijau
pupus menyambut kedatangan mereka.
Bwee Su-yok mendengus dingin, katanya kemudian dengan ketus, “Siapkan tali dan bawa
kedalam ruangan!”
Tanpa menghentikan langkah kakinya dia langsung masuk kedalam sebuah bangunan yang
mungil didepan sana.
Dengan langkah yang santai dan wajah diliputi senjuman Hoa In-liong mengikuti terus
dibelakang gadis itu, ketika lewat disamping dayang cilik itu ia lantas menunjukkan muka setan.
Dayang itu agak tertegun melihat sikap tamunya, matanya jadi terbelalak lebar. Untuk sesaat dia
jadi lupa untuk melaksanakan perintah majikannya.
“Kenapa berdiri melulu?” Bwee Su-yok membentak sambil putar badannya. “Sudah kau dengar
belum perkataanku tadi?”
Dengan rada kaget dayang itu buru-buru menyahut, “Sudah dengar…. Sudah dengar….”
Dengan langkah cepat dia lantas kabur dari situ.
oooOOOOooo
S
ETIBANYA didalam ruangan, dengan gaya yang sok Bwee Su-yok duduk dikursi kebesaran dalam
ruangan itu. Sedang Hoa In-liong masih berlagak santai, makanya celingukan kesana kemari
mengamati bangunan tersebut.
Bangunan itu cukup megah, sekalipun tidak begitu besar tapi cukup mewah dan mentereng.
Ditengah-tengah bangunan merupakan sebuah ruangan tamu, kedua belah sisinya merupakan
tempat tinggal Bwee Su-yok, kamar baca dan ruangan untuk bersemedi. Dibelakang ruang
semedi adalah tempat tidur dayang itu.
Semua perabot yang ada disana terbuat dari kayu jati pilihan. Modelnya bagus, bikinannya ju-ga
halus. Lukisan-lukisan kenamaan tergantung dikedua sisi dinding ruangan dan semuanya berada
dalam keadaan bersih. Ini menunjukkan kalau Bwee Su-yok adalah seorang gadis yang suka
akan kebersihan.
Pada waktu itu senja lelah menjelang tiba, selang sesaat kemudian dayang tadi muncul sambil
membawa baki berisi cawan air teh dan seutas tali besar.
Melihat itu. Bwee Su-yok langsung melototkan matanya lebar-lebar, bentaknya dengan gusar,
“Siapa yang suruh kau hidangkan air teh?”
“Kan ada tamu nona? Biarlah kesuluh lampu “ jawab dayang itu sok pintar.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
261
Setelah meletakkan baki air teh dimeja dan meletakkan tali dilantai, ia putar badan siap mengambil
api.
“Omong kosong! Siapa yang menjadi tamu kita?” Bentak Bwee Su-yok lagi dengan marah.
Dayang cilik itu jadi terbelalak makin tercengang, sebentar dia memandang ke arah Bwee Suyok,
sebentar memandang pula ke arah Hoa In-liong. Wajahnya jelas menunjukkan sikap
kebingung
an dan tidak habis mengerti.
Dayang cilik itu berusia dua tiga belas tahunan, dia adalah seorang bocah perempuan yang cilik.
Mukanya bulat dengan mata yang besa. Meskipun sifat kanak-kanaknya belum hilang dan polos
sekali, dia terhitung seorang nona yang cerdik dan lincah. Dihari-hari biasa amat disayang oleh
Bwee Su-yok hingga sikapnya juga jauh lebih akrab.
Sementara nona cilik itu masih termangu keheranan, tiba-tiba Hoa In-liong berkata sambil tertawa,
“Aaah…. Jiwa nona memang terlampau sempit. Sekalipun aku bukan tamu, apalah artinya
secawan air teh? Kenapa kau musti mengumbar hawa amarah terhadap seorang bocah cilik?”
Dengan pandangan yang dingin Bwee Su-yok melirik sekejap ke arahnya, kemudian kepada
dayang cilik itu katanya lagi, “Peng-ji, kenapa kamu….? Ayoh panggil Siau-kian dan Siau-bi suruh
kemari, kemudian baru memasang lampu!”
Tampaknya Peng-ji masih merasa bingung dan tidak habis mengerti, apalagi dihari biasa selalu
dimanja, bukannya melaksanakan perintah itu, dengan dahi berkerut dia malah membantah,
“Kenapa musti panggil mereka? Peng-ji kan dapat melakukan semua perintah nona sendirian!”
“Suruh panggil mereka yaa, panggil mereka, kenapa musti cerewet melulu?” bentak Bwee Su-yok
dengan muka berubah, “Memangnya kau sanggup untuk mengikat orang itu sendirian?”
Peog-ji semakin tertegun, segera pikirnya. “Aneh benar siocia kita ini. Kenapa orang itu harus
diikat? Memangnya dia…. dia sudah menyalahi siocia?”
Sementara dia masih berpikir, Hoa In-liong telah berkata sambil tertawa nyaring, “Haa…. haa….
haa…. Kau anggap dengan seutas tali maka aku dapat terikat sehingga tak bisa berkutik?”
“Tak usah banyak bicara lagi, nanti toh kau akan tahu sendiri” jawab Bwee Su-yok dingin.
Hoa In liong tersenyum. ‘Sekalipun tali itu bisa membelenggu tubuhku, jika aku tak mau
menyerahkan diri untuk diikat, sekalipun nona turun tangan sendiri rasanya keinginanmu itu
belum tentu dapat keturutan!”
Bwee Su-yok mendengus dingin. “Hmm, kecuali kalau engkau bukan seorang enghiong. Siau-kian
dan Siau-bi hanya setahun lebih tua dari Peng-ji, boleh saja kalau ingin mencobanya”
Mendengar ucapan tersebut Hoa In-liong jadi tertegun, dia lantas berpikir pula didalam hati,
“Waaah…. kalau begitu rada susah juga, masa aku harus berkelahi dengan bocah cilik? Tapi….
Tapi…. aku tak dapat menyerahkan diri dengan begitu saja”
Pikir punya pikir akhirnya sambil tersenyum dia berkata. “Aku benar-benar tak habis mengerti,
kenapa nona begitu ngototnya ingin membelenggu tubuhku? Ketahuilah nona, pekerjaan
semacam itu tak ada gunanya!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
262
“Hmmm….! Siapa bilang tak ada gunanya? Aku hendak mengikat tubuhmu kemudian
menggantung engkau diatas pohon” sahut Bwee Su-yok dengan ketus.
“Kalau sudah digantung lantas bagaimana? Itukah yang kaumaksudkan sebagai siksaan bagiku?”
“Kalau digantung masih belum dapat menyiksa dirimu, maka aku akan menggantung tubuhmu
dengan kepala dibawah. Selama tiga hari tiga malam tak akan kuberi makan maupun minum,
coba lihat saja bagaimana rasanya nanti!”
Bagi seorang jago yang belajar silat, tidak makan selama tiga hari mungkin tak akan mendatangkan
penderitaan apa-apa. Tapi kalau selama tiga hari tiga malam digantung secara terbalik,
dengan isi perut yang terbalik dan peredaran darah yang mengalir secara terbalik pula, siksaan
dan penderitaan semacam itu boleh dibilang luar biasa sekali. Siksaan itu lambat sifatnya tapi
cukup membuat orang jadi sinting karena menderitanya.
Diam-diam Hoa In-liong merasa terperanjat. Tanpa sadar sinar matanya dialihkan ke arah pohon
besar yang tumbuh diluar pintu.
Berbanggalah hati Bwee Su-yok melihat rasa terkejut yang menyelimuti wajah si anak muda itu.
Dia cibirkan bibirnya lalu berkata lebih jauh, “Aku lihat engkau tidak acuh yaa terhadap semua
ancamanku? Baiklah, kalau memang engkau sudah siap menerima semua siksaan terse-but,
kupersilahkan dirimu untuk merasakan bagaimana nikmatnya kalau digantung secara ter-balik
selama tiga hari tiga malam!”
Berbicara sampai disitu dia lantas berpaling lagi ke arah Peng-ji seraya ujarnya, “Ayoh cepat
lakukan! Mau apa kamu berdiri
melongo melulu ditempat itu?”
Melihat sikap si nona itu, Hoa In-liong segera tertawa getir. “Nona Bwee, sungguh tak kusangka
kalau engkau adalah manusia macam begitu” katanya, “Aku Hoa Yang toh tiada permusuhan
apa-apa dengan dirimu, sekalipun ada perselisihan, itupun perselisihan dari orang-orang
setingkat lebih tinggi dari kita, mengapa kau berbuat begitu kejam dengan menyiksa aku
memakai cara semacam itu, aku…. aku…. Benar-benar tidak habis mengerti dengan
keputusanmu itu”
“Heeh…. heeh…. hee…. Bagaimana?” ejek Bwee Su-yok sambil tertawa dingin, “Jadi engkau juga
mengerti tentang soal jeri dan ketakutan?”
Dengan cepat Hoa In-liong gelengkan kepalanya. “Nona keliru besar, aku Hoa Yang belum
pernah kenal apa yang dimaksudkan jeri atau ketakutan. Orang bilang kalau berani adu jiwa
maka tiada kesulitan yang akan dihadapi seseorang, kalau cuma kelaparan selama tiga hari atau
digantung selama tiga hari sih masih belum terhitung penderitaan yang luar biasa. Cuma saja….
Cuma saja…. aaai….! Lebih baik tak usah kukatakan saja!”
Ia lantas membungkukkan badannya, memungut tali itu dari tanah, kemudian setelah ditimangtimang
sesaat ujarnya sambil berpaling ke arah Peng-ji, “Siau Peng-ji, harap kemarilah sebentar!”
“Mau apa?” seru Peng-ji tertegun.
Hoa In-liong tertawa ewa. “Kalau memanggil orang lain tentu merepotkan sedang siocia kalian
tak sudi turun tangan sendiri, maka aku minta agar engkau saja yang membelenggu tubuhku!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
263
Mendengar ucapan tersebut. Peng-ji semakin tertegun lagi dibuatnya, demukian pula halnya
dengan Bwe-Su-yok. Ia tampak tercengang dan sedikit merasa diluar dugaan atas keputusan
lawannya.
Didalam pemikiran Bwe-Su-yok, keadaan Hoa In-liong dianggapnya sudah terpojok dan tak bisa
berkutik lagi, hingga sekalipun diejek lagi juga tak akan berani membangkang.
Dia justru ingin sekali menyaksikan keadaan Hoa In-Iiong yang mengenaskan karena dibuat
serba salah dan tercemooh habis-habisan. Siapa tahu tiba-tiba saja Hoa In-liong merubah
sikapnya, bahkan berubah jadi begitu penurut dan alimnya bukan saja pembicaraannya terputus
sampai ditengah jalan bahkan juga tidak mamanggil orang untuk membelenggunya, sebaliknya
suruh Peng-ji yang baru berusia dua tiga belas tahun itu melaksanakan tugasnya. Tindakan
semacam ini tentu saja aneh sekali tampaknya dan siapapun tidak akan menduga sampai kesitu.
Dipandangnya wajah Hoa In-liong dengan termangu-mangu. Ia merasa pemuda itu bersikap
sungguh-sungguh dan sama sekali tiada tanda-tanda mau main curang atau menggunakan tipu
muslihat yang licin, tentu saja gadis itu makin keheranan.
Tapi dia tak mau mempercayai keadaan tersebut dengan begitu saja, bagaimanapun juga “sedia
payung sebelum hujan” memang ada baiknya. Maka dengan wajah yang masih diliputi rasa
cengang bercampar curiga dia menegur, “Hmmm…. Rupanya engkau hendak menggunakan akal
muslihat untuk menyergap Peng-ji?”
Tertawalah Hoa In-liong mendengar tuduhan tersebut. “Haa…. haa…. haa…. Nona memang
terlalu banyak curiga. Keturunan keluarga Hoa bukan manusia munafik, setiap patah kata yang
telah kuucapkan tak akan kubantah lagi untuk selamanya. Tadi, nona telah memuji aku Hoa
Yang sebagai seorang Enghiong. Apabila aku Hoa Yang betul-betul tak tahu diri, bukankah
perbuatanku ini akan membuat kecewanya hati nona?”
Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, wajah pemuda itu tetap santai, biasa dan sama sekali
tidak mengandung nada sindiran atau ejekan. Kesemuanya ini segera mendatangkan suatu
perasaan yang bergetar keras dalam hati Bwee Su-yok. Ia merasakan suatu perubahan perasaan
yang aneh sekali. “Omong kosong, ngaco belo tak karuan!” bentaknya, “Siapa yang merasa
kecewa….”
Tiba-tiba ia merasa makin berbicara makin tak genah, akhirnya tak bisa dicegah lagi merah padamlah
pipinya karena jengah. Pembicaraanpun segera terhenti.
Hoa In-liong juga agak tertegun oleh keadaan tersebut, tapi dengan cepat dia menjura seraya
berkata, “Harap nona jangan gusar, maksudku aku lebih rela menjadi seorang enghiong daripada
melakukan perbuatan terkutuk yang memalukan dengan mencelakai jiwa Peng-ji. Karenanya
harap engkau suka memerintahkan Peng-ji untuk datang mengikat tubuhku! Hanya saja….”
Mendengar perkataan itu, air muka Bwee Su-yok berubah semakin merah, ia tertegun sejenak,
kemudian serunya dengan suara dalam, “Tidak! Hanya kenapa….? Ayoh lanjutkan dulu
perkataanmu itu….!”
“Dibicarakan juga tak ada gunanya, lebih baik tak usah dibicarakan saja!”
Kembali dia menggunakan kata-kata “lebih baik tak usah dibicarakan” untuk menampik kehendak
nona itu, hal ini segera menggusarkan hati Bwee Su-yok, bentaknya dengan nyaring, “Tidak!
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
264
Bagaimanapun juga harus kau lanjutkan kata-katamu itu, kalau tidak maka engkau akan
kugantung selama tujuh hari tujuh malam lamanya!”
Hoa In-liong membetulkan letak tempat duduknya, kemudian ditatapnya wajah Bwee Su-yok
dengan serius, setelah itu katanya lagi, “Jika nona memang ingin tahu, terpaksa aku harus
mengatakannya secara terus terang”
“Jangan bicara sembarangan” tiba-tiba Peng-ji memperingatkan dengan suara nyaring, “Kalau
bicara sembarangan, siocia kami pasti akan menjadi marah!”
Hoa In-liong tersenyum kepadanya sebagai tanda terima kasih, kemudian seraya berpaling
ujarnya dengan wajah bersungguh sungguh, “Kecantikan nona melebihi kecantikan siapapun
yang ada didunia ini. Dewi dari kahyanganpun belum tentu secantik wajah nona. Memang
banyak sudah gadis cantik yang pernah kujumpai. Tapi bila mereka dibandingkan dengan nona,
maka selisihnya ibaratnya langit dan bumi”
“Cantik atau tidak tiada sangkut pautnya dengan dirimu” tukas Bwee Su-yok sebelum pemuda itu
menyelesaikan kata-katanya, “Nona benci mendengar kata-kata sanjunganmu yang manis itu”
“Nona jangan salah sangka, aku berkata demikian bukan bertujuan untuk merayu nona atau
mencari pujian dan sanjungan dari nona. Apa yang kuucapkan sesungguhnya merupakan katakata
yang betul-betul muncul dari hati sanubariku sendiri” kata Hoa In-liong dengan wajah
serius, “Terus terang saja kukatakan, sejak berjumpa dengan nona hatiku sudah merasa terpikat,
siapa tahu…. Aaaiaa…. Siapa tahu nona….”
“Ngaco belo melulu, apa yang kau omelkan te rus menerus?” tukas Bwee Su-yok sambil
membentak marah.
“Tidak….! Dia tidak ngaco belo! Nona memang cantik jelita membuat siapapun yang melihat jadi
terpikat….” Sela Peng-ji dari samping dengan suara melengking.
Tiba-tiba Bwee Su-yok bangun berdiri dengan marah, bentaknya penuh kegusaran, “Oooh…. Jadi
engkau membantu dia untuk mengerubuti nonamu….?”
“Tidak, tidak…. Peng-ji tidak membantu dia, Peng-ji hanya bicara sejujurnya” sahut Peng-ji
ketakutan.
Hoa In-liong ikut bangkit berdiri, lalu selanya, “Peng-ji adalah dayang kepercayaanmu sendiri,
masa dia mau membantu aku untuk mengerubuti dirimu? Sayang meski nona cantik jelita bak
bidadari dari kahyangan, tapi wataknya terlalu dingin kaku dan kejam, terutama sikapnya
terhadap diriku”
Setajam sembilu sorot mata Bwee Su-yok, jelas perasaannya waktu itu yaa marah yaa
mendongkol, dia sendiripun tidak begitu jelas. Sebelum Hoa In-liong menyelesaikan katakatanya,
kembali dia menukas, “Bagaimana sikapku terhadap dirimu? Hmm….! Jangan dianggap
lantaran kau tampan dan gagah maka nona bersikap baik kepadamu! Peng-ji, ikat dia!”
Beberapa patah katanya itu diucapkan dengan tegas dan nyata, sama sekali tidak dibuat buat
atau lain dengan jalan pikirannya. Jelaslah sudah bahwa keputusannya sudah bulat dan tak bisa
diganggu gugat lagi.
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali seraya berguman seorang diri, “Yaa…. Kalau
memang begitu, kenapa kau paksa aku untuk berterus terang? Peng-ji, terpaksa aku harus
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
265
merepotkan dirimu. Lakukan saja apa yang diperintahkan nonamu itu, dan ikatlah badanku lebih
erat lagi!”
Seraya berkata dia menghampiri Peng-ji seraya mengangsurkan tali tersebut ke tangannya.
Peng-ji menerima tali itu dengan wajah kebingungan, dia sama sekali tidak melakukan apa yang
diminta.
“Ayoh kerjakan!” hardik Bwee Su-yok kemudian “Apa yang kau nantikan lagi?”
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Peng-ji berjalan ke belakang punggung Hoa In-liong,
mula-mula dia ikat dulu pergelangan tangannya.
Dayang itu bertubuh kecil dan pendek sedang Hoa In-liong tinggi besar, terpaksa pemuda itu
harus berjongkok kebawah agar dayang tersebut bisa membelenggu lengannya.
Setelah kedua lengannya diikat dibelakang badan, tubuh Hoa In-liong bagian ataspun jadi kaku
dan hilanglah kebebasan geraknya.
Rupanya Bwee Su-yok merasa sangat tidak puas bila cuma lengannya saja yang dibelenggu,
dengan nada yang berat dan dalam kembali dia mengomel, “Sebetulnya kau bisa membelenggu
orang atau tidak? Kalau cuma lengannya saja yang diikat, kakinya kan bisa dipakai untuk
berjalan kesana kemari?”
“Nona, lebih baik jalan darahku kau totok saja lebih dulu” seru Hoa In-liong dari samping “Sebab
kalau tidak begitu, bila aku sudah tak tahan lagi, tali-tali yang mengikat badanku itu bisa
kugetarkan sampai putus semua”
“Kalau membayangkan memang rasanya mudah dan semuanya bisa berjalan lancar memangnya
kau itu seorang yang goblok atau memang tak takut sakit….? Hmmm….! Lihat saja pohon yang
ada diluar itu, tingginya sembilan kaki. Jika kau tidak takut terbanting sampai mampus, silahkan
saja tali-tali itu kau getarkan sampai putus semua!”
Diam-diam Hoa In-liong menghela napas panjang. Sepasang matanya segera dipejamkan rapat
rapat dan diapun tidak banyak berbicara lagi.
Selang sesaat kemudian, ketika lampu sudah mulai menerangi seluruh ruangan Hoa In-liong
telah digantung diatas dahan pohon dengan kepala dibawah kaki diatas.
Waktu itu Bwee Su-yok masih duduk diruang tengah. Dua orang bocah perempuan yang
berdandan sebagai dayang berdiri dikedua belah sisinya, sedangkan Peng-ji berdiri dihadapannya
sambil mencibirkan bibir, jelas dayang cilik itu sedang merasa tak senang hati.
Tapi Bwee Su-yok berlagak tidak melihat keadaannya itu. Pandangan matanya yang memancar
kedepan tampak kosong dan hambar. Dia seperti lagi memikirkan sesuatu, tapi mirip juga seperti
tidak lagi memikirkan apa apa, dengan wajah yang dingin dan kaku dia duduk membungkam
dalam seribu basa.
Lewat beberapa saat lagi, dayang cilik yang ada disebelah kanan itu mulai tidak sabaran lagi,
dengan suara yang rada takut-takut dia menegur, “Siau-cia, kami semua sudah lapar!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
266
“Sstt….! Jangan berisik” cegah dayang yang ada disebelah kiri dengan suara setengah berisik,
“Siau-bi, nona kita sudah capai seharian penuh, sekarang perlu beristirahat dulu!”
“Sekalipun capai, masa makanpun segan? Toh orang itu sudah digantung dipohon, mau apa lagi
kita berdiri termangu disini macam orang yang kehilangan ingatan?”
“Huuuh…. siapa yang tahu!” sambung Peng-ji dengan wajah cemberut karena kheki, “Orang itu
kan nona sendiri yang suruh diikat dan digantung. Sekarang setelah digantung mukanya jadi
masam seperti orang kehilangan semangat, duduk tak bergerak, disuruh makan juga menolak….
aaaah, lagi ngambek barangkali!”
Rupanya Bwee Su-yok mendengar omelan tersebut, sinar matanya lantas dialihkan kesamping
dan melirik sekejap ke arah tiga orang dayangnya, kemudian dengan suara hambar katanya,
“Kalian jangan berisik melulu disini, ayoh sana pergi semua. Aku akan tetap berada disini untuk
menjaga orang she-Hoa itu!”
“Huuuh…. apa toh bagusnya? Kenapa musti dijaga?” seru Peng-ji dengan bibir yang dicibirkan
Bwee Su-yok semakin mangkel, teriaknya lagi, “Aaaah…. kamu ini memang cerewet sekali!. Siapa
yang bilang aku cuma ingin memandanginya belaka? Aku sedang mengawasi dirinya? Ayoh cepat
pergi semua”
Diantara ketiga orang dayang itu, usia Siau-kian yang paling tua, melihat paras muka Bwee Suyok
yang tak menentu, cepat-cepat dia ulapkan tangannya seraya berseru, “Mari kita pergi saja!
Siocia kita sedang merasa kesal, ayoh kira makan duluan”
Selesai berkata ia memberi hormat lalu dengan membawa Siau-bi dan Peng-ji buru-buru
mengundurkan diri dari ruangan itu.
Ketika bayangan tubuh mereka lenyap dari ruangan, dari pintu luar masih kedengaran suara
Peng-ji yang sedang berbisik lirih, “Eeeh…. Sebetulnya apa yang telah terjadi? Tampaknya siocia
kita telah berubah….”
Benarkah telah berubah? Tentu saja hanya Bwee Su-yok sendiri yang mengarti akan hal ini.
Sementara itu, Hoa In-liong yang digantung terbalik diatas pohon betul-betul merasakan suatu
siksaan dan penderitaan yang luar biasa tak enaknya.
Jilid 14
SEPASANG kaki dan tangannya terikat kencang. Badan di gantung dengan kepala dibawah kaki di
atas. Bila ada angin berhembus lewat dan ranting pohon mulai bergoyang kesana kemari,
pemuda itu betul-betul merasakan jantungnya berdebar-debar. Sebab setiap saat dirasakan
bahwa ranting pohon itu akan patah jadi dua.
Dia pernah mengatakan bahwa kecuali hati tiada kesusahan yang lebih besar, semangat yang
gagah perkasa dan bersifat jantan ini tak perlu disinggung lagi. Yang menyiksa justru adalah
mengalirnya darah dalam tubuhnya berjalan terbalik. Dia merasa isi perutnya serasa menyumbat
tenggorokannya dan seakan-akan setiap saat akan keluar dari lubang hidung dan lubang
mulutnya. Bukan saja kepala jadi pusing tujuh keliling bahkan diapun merasakan perutnya jadi
mual dan ingin dan ingin tumpah-tumpah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
267
Tapi ia tahu dalam keadaan demikian jangan sekali-kali sampai tumpah, sebab sekali isi perutnya
tumpah keluar semua maka yang sisa hanya air dan bila air itu ikut tumpah keluar maka akhirnya
darah yang akan tumpah keluar. Jika darah sudah mulai tumpah sampai habis, jiwanya ikut
melayang tinggalkan raganya.
Sebab itu dia berusaha keras untuk mempertahankan diri sekuat tenaga. Ia buang jauh-jauh
semua pikiran yang berkecamuk dalam benaknya bahkan siksaan yang dirasakan ditubuhnya
juga berusaha dibuang jauh-jauh dari perasaannya.
Tentu saja pekerjaan semacam itu bukanlah suatu pekerjaan yang terlampau gampang….
Orang bilang, luka kecil diatas kulit saja sakitnya bukan kepalang apalagi penderitaan yang
dirasakan Hoa In-liong sekarang datangnya dari dalam badan, bisa dibayangkan betapa
tersiksanya dan menderitanya pemuda itu.
Sinar sang surya pelan-pelan mulai condong kebarat. Rembulan yang kaburpun mulai muncul
dari sela-sela dedaunan yarg menyinari tubuh Hoa In-liong. Waktu itu dia merasa seakan-akan
ada beribu-ribu batang anak panah yang menancap didalam hatinya. Makin lama siksaan dan
penderitaan yang dialaminya terasa semakin menghebat dan berat.
Mukanya hijau membesi, bulu kuduknya pada berdiri semua. Pakaiannya basah kuyup oleh
keringat dan dengusan napasnya sudah seperti kerbau, padahal baru tiga jam dia mengalami
siksaan itu. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan sampai tiga puluh tiga jam mendatang?
Lambat laun napasnya tidak tersengkal lagi, keringat juga tidak mengucur keluar. Tapi paras
mukanya dari hijau berubah jadi semu biru, dari biru berubah jadi pucat pasi, warna darah sama
sekali lenyap dari wajahnya dan akhirnya pemuda itu jatuh tak sadarkan diri.
Entah sejak kapan Bwee Su-yok sudah mengundurkan diri dari situ. Suasana dalam bangunan
rumah mungil itu gelap gulita, sedikitpun tiada cahaya lampu. Tapi pancaran cahaya, rembulan
ditengah awang-awang terasa makin lama semakin terang.
Tiba-tiba dari arah timur muncul dua sosok bayangan manusia, kedua sosok bayangan itu
bergerak dengan cepatnya dibawah cahaya rembulan yang terang benderang.
Ketika mencapai sepukh kaki dari bangunan tersebut, terlihatlah sekarang bahwa dua sosok
bayangan itu tak lain adalah Goan-cing Taysu serta Coa Cong-gi yang berangasan.
“Bangunan rumah itu sangat besar, megah dan agung” bisik Goan-cing Taysu setelah
memandang sekejap sekitar tempat itu. “Lagipula terletak jauh dari keramaian kota. Bila ditinjau
dari letaknya yang serba rahasia, aku rasa tujuan kita kali ini tak bakal keliru lagi, pasti inilah
sasaran kita”
“Perduli amat benar atau tidak” sahut Coi Cong-gi dengan berangasannya, “Anak Gi serta
beberapa orang saudara lainnya sudah memeriksa seluruh penjuru kota Kim-leng, tapi bayangan
dari orang orang Kiu-im kau tidak juga kami temukan. Malam ini telah kami putuskan masingmasing
mencari ke satu arah yang berlawanan. Seandainya anak Gi tak ada janji dengan kongkong,
sejak tadi-tadi niscaya anak Gi sudah kabur keluar dari kota Kim-leng. Ayoh masuk! Kita
geledah saja rumah ini, kemudian baru mengambil keputusan”
“Jangan berbuat gegabah, bagaimanapun lolap kan seorang paderi dari agama Buddha” bisik
Goan ling-taysu lirih.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
268
Mendengar ucapan tersebut, Coa Cong-gi makin gelisah. “Memangnya kenapa kalau seorang
paderi agama Buddha?” serunya, “Masa kongkong akan berpeluk tangan belaka menyaksikan
saudara Hoa tertimpa bencana?”
“Tahun ini lolap sudah barusia delapan puluh sembilan tahun, mengikuti ajaran buddhapun
sudah banyak tahun. Tentu saja tak banyak yang akan kugubris”
“Kalau memang bukan begitu, lalu….” Coa Gong-gi semakin tertegun.
“Sstt, jangan terlalu keras! Lolap hanya merasa bahwa pembunuhan telah menyelimuti hampir
seluruh dunia persilatan. Suasana demikian tidak akan mendatangkan ketenteraman bagi umat
manusia. Akan semakin kudesak ibumu agar cepat turun gunung dan menyumbangkan segenap
kemampuan yang dimilikinya demi umat manusia”
“Ibu adalah ibu, Hoa Yang adalah Hoa Yang. Anak Gi rasa masih bisa membedakannya dengan
jelas. Perhatian yang Kongkong tunjukan terhadap saudara Hoa….”
“Itulah yang dinamakan jodoh” tukas Goan-cing Taysu dengan cepat, “Lolap hanya merasa
punya jodoh dengan bocah itu. Aku ingin berkumpul dengan dirinya titik. Tentang masalah mati
hidup, kejayaan dan martabat baik maka semuanya itu harus ditentukan sendiri oleh kalian
masing-masing!”
Nada ucapan diri paderi tersebut selalu rendah, datar, hambar serta tanpa emosi. Padahal bagi
Coa Cong-gi saat ini, keselamatan jiwa Hoa In-liong merupakan titik perhatian yang nomor satu.
Ia menganggap persoalan lain bisa dibicarakan dilain waktu. Tapi perbuatan yang harus
dilakukan sekarang adalah menyelamatkan pemuda itu dari ancaman bahaya maut.
Sebagaimana diketahui, Coa Cong-gi merupakan seorang pemuda yang setia kawan. Ia merasa
setia kawan adalah merupakan suatu persoalan yang maha penting, apalagi hubungannya
dengan Hoa In-liong boleh dibilang sangat akrab meski berkenalan belum lama. Tak kuasa lagi
dia menukas, “Kong-kong, soal lain tak mau kuurusi dulu! Yang penting sekarang adalah masuk
ke dalam dan lakukan pemeriksaan!”
Bicara sampai disitu, kembali ia maju kedepan siap menyusup masuk ke dalam ruangan.
Siapa tahu baru saja ia melangkah, tiba-tiba tangannya sudah dicekal kembali oleh Goan-cing
Taysu. “Tunggu sebentar” seru Goan-cing setengah berbisik “Coba lihatlah dulu, apa itu?”
“Apa?” tanya Coa Cong-gi seraya berpaling dengan wajah tertegun.
Goan-cing Taysu menuding kemuka. “’Coba lihat, diatas dahan tergantung sesosok bayangan.
Tampaknya bayangan manusia” Ia berbisik.
Cepat Coa Cong-gi berpaling dan menengok ke arah mana yang ditunjuk kongkong-nya.
Seperti diketahui, tenaga dalam yang dimiliki Goan-cing Taysu sudah mencapai puncak
kesempurnaan. Tentu saja dengan kemampuan seperti itu otomatis ketajaman matanya sepuluh
kali lipat lebih tajam dari manusia biasa.
Tubuh Hoa In-liong tergantung diantara ranting dan daun yang lebat. Tapi oleh sebab sinar
rembulan amat tajam, lagi pula angin berhembus lewat menggoyangkan ranting dan daun, sertamerta
tubuh Hoa In-liong yang tergantung ikut bergoyang pula kesana kemari.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
269
Waktu itu, Gong-cing Taysu memang lagi bercakap-cakap. Namun sembari berbicara matanya
yang tajam bagaikan sembilu itu justru mengawasi terus sekeliling bangunan rumah tadi. Tak
heran kalau bayangan pemuda tersebut akhirnya ditemukan juga.
Ketajaman mata Coa Cong-gi tidak memadai kelihayan Kongkong-nya, walaupun setengah harian
dia melotot bulat-bulat kedepan, tak tiada sesuatu apapun yang bisa ia lihat, meski demikian ia
berkata juga, “Mari kita masuk dan memeriksanya, siapa tahu kalau orang itu bukan lain adalah
saudara kita dari keluarga Hoa?”
Sementara ucapannya baru selesai, tiba-tiba Goan-cing Taysu menyambar lengannya dan diajak
melayang mundur sejauh sepuluh kaki lebih kebelakang, kemudian menyembunyikan diri
dibelakang sebuah batu besar.
“Jangan bercakap cakap!” bisiknya dengan ilmu menyampaikan suara, “Ada orang yang keluar
dari bangunan rumah itu”
Benar juga perkataan itu. Ujung baju tersampok angin terdengar berkumandang memecahkan
kesunyian, menyusul kemudian seseorang melompat naik keatas tembok pekarangan dan
memeriksa sekeliling tempat itu.
Untung tenaga lweekang yang dimiliki Goan-cing Taysu cukup sempurna dan keburu
menyembunyikan diri lebih dahulu. Terlambat selangkah saja niscaya jejak mereka akan
ketahuan.
Orang yang baru saja munculkan diri itu bukan lain adalah Bwee Su-yok, tiancu Istana Neraka
dari perkumpulan Kiu-im kau.
Tampaknya Bwee Su-yok tidur tak tenang. Kebetulan suara pembicaraan dari Coa Cong-gi sedikit
keras sehingga terdengar olehnya. Cepat-cepat dia melompat keluar dari tempat
persembunyiannya dan melakukan pemeriksaan disekitar tempai itu.
Namun ia gagal untuk menyaksikan sesuatu. Setelah diperiksanya sesaat, akhirnya pelan-pelan ia
mengundurkan diri kembali dari tempat tersebut.
Ketika lewat di bawah pohon, dia menengadah dan melirik sekejap ke arah Hoa In-liong. Waktu
itu paras muka anak muda tersebut sudah berubah hebat, mukanya tampak layu. Yang pasti ia
berada dalam keadaan tak sadar.
Paras muka gadis itu sedikit berubah, lalu mendengus dingin dan putar badan masuk ke dalam
rumah.
Sementara itu, Goan-cing Taysu telab menggunakan telinganya sebagai pengganti mata. Setiap
gerak-gerik yang membawa suara dapat dipahami olehnya dengan jelas sekali.
Ketika Bwee Su-yok sudah masuk kembali ke rumahnya, dia baru berbisik dengan suara lirih,
“Tampaknya bayangan yang di gantung pada dahan pohon itu memang bukan lain adalah bocah
she Hoa itu”
“Sungguh!” Coa Cong-pi merasa sangat tegang, tak kuasa lagi ia berseru tertahan.
Tiba tiba ia merasa bahwa keadaan gawat dan ini tak boleh bersuara, sebelum perkataan itu
selesai diucapkan tiba-tiba saja dia terbungkam diri.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
270
“Jangan gugup, tak usah tegang!” bujuk Goan-cing Taysu dengan lembut. “Asal kita sudah tahu
bahwa orangnya berada disini, urusan bisa diselesaikan lebih gampang lagi”
“Lalu apa daya kita?” Seru Coa Cong-gi dengan ilmu menyampaikan suaranya, “Aku lihat si
penjaga gedung itu cukup lihay dan berperasaan tajam. Kecuali merampas dengan kekerasan,
apa lagi yang bisa kita lakukan?”
Pemuda ini memang berangasan wataknya, tapi setelah menghadapi urusan gawat, sikap
maupun tindak-tanduknya sama sekali tidak gegabah ataupun terburu nafsu.
“Tentu saja lolap mempunyai cara lain yang lebih bagus, ayoh, Sementara waktu kita mundur
dulu dari sini” kata Goan-cing Taysu sambil manggut-manggut.
Tentu saja Coa Cong-gi amat mempercayai kemampuan yang dimiliki kongkongnya, kendati
begitu ia jadi gelisah setelah disuruh mengundurkan diri dari sana.
“Kongkong, ini…. ini…. Kenapa kita musti mengundurkan diri dari sini?” serunya amat cemas.
“Bila seorang berada dalam keadaan tidak sadar, keadaan kondisi badannya sangat lemah.
Apalagi jika sedang menderita siksaan karena peredaran darah yang mengalir secara terbalik.
Aku lihat bocah ini memang luar biasa. Dia memiliki daya ketahanan tubuh yang lain dari pada
yang lain. Agaknya ia berusaha meronta dengan sepenuh tenaga. Hawa murni sekuat tenaga
dihimpun jadi satu untuk menekan daya edar darahnya yang mengalir terbalik agar bergerak
lebih lambat. Tapi justru dingan keadaan seperti ini, lebih besar penderitaan yang akan
dialaminya”
Tak terkirakan rasa gelisah Coa Cong-gi sehabis mendengar perkataan itu. “Mengapa peredaran
dalam tubuhnya bisa berjalan terbalik? Kenapa ia berada dalam keadaan tak sadar? Kenapa….”
“Tubuhnya kan digantung secara terbalik pada dahan pohon. Tentu saja peredaran darahnya
berjalan terbalik!”
“Kong-kong…. kau…. kenapa kau orang tua tidak berusaha untuk menyelamatkan jiwanya?”
“Lolap justru sedang bersiap-siap untuk menyumbangkan sedikit kemampuan yang kumiliki untuk
menolong dirinya. Janganlah ribut lebih dulu. Ayoh kita mundur agak jauh dari sini”
Tidak menanti jawaban dari anak muda itu lagi, dengan gerakan tubuh yang sangat enteng,
paderi itu berkelebat mundur beberapa kaki jauhnya dari tempat tersebut.
Pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam benak Coa Cong-gi. Meskipun demikian, tentu saja ia tak
dapat bertanya dengan suara teriakannya. Terpaksa dengan langkah cepat dia menyusul
dibelakangnya.
Begitulah, dalam waktu singkat kedua orang itu sudah mundur keatas gundukan bukit kecil.
Gong-cing Taysu diam-diam mengukur jarak serta meneliti keadaan medan, kemudian dengan
mata terpejam, tangan dirangkap didepan dada ia duduk bersila.
Coa Cong-gi hanya bisa berdiri termanggu disampingnya dengan pelbagai kecurigaan
berkecamuk di dalam benak. Dia mengawasi gerak-gerik kongkongnya tanpa mengucapkan
sepatah-katapun.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
271
Lama sudah Coa Cong-gi menunggu, namun tiada sesuatu gerakan apa-apa yang dilakukan
paderi tersebut. Akhirnya habislah kesabarannya. Pemuda itu buka suara hendak bertanya. Tapi
sebelum sesuatu terutarakan keluar, tiba-tiba dilihatnya jenggot Goan-cing Taysu yang putih
panjang bergerak tanpa terhembus angin. Sewaktu diamati lebih seksama lagi, ternyata bibirnya
sedang berkemak-kemik mengucapkan sesuatu.
Coa Cong-gi benar-benar kaget, tercengang dan tak habis mengerti. Tanpa sadar ia melirik
sekejap ke arah perkampungan itu, kemudian pikirnya dalam hati, “Mungkin ia sedang bercakapcakap
dengan Hoa lote? Tapi selisih jarak dari sini sampai ke
situ ada lima puluh kaki jauhnya, masa ilmu menyampaikan suara masih bisa digunakan dengan
sempurna….?”
Disatu pihak pemuda itu keheranan disamping tidak percaya, di pihak lain Hoa In-liong dapat
menangkap suara bisikan tersebut dengan amat jelasnya.
Suara itu lembut dan halus seperti suara bisikan nyamuk, tapi ramah dan penuh kehangatan
itulah suara yang dipancarkan oleh Goan-cing Taysu.
“Nak, tak usah gugup atau gelisah” Demikian ia berbisik “lolap datang untuk membantu dirimu.
Sekarang buyarkan dulu himpunan hawa murnimu, tapi harus perlahan. Buyarkan sedikit demi
sedikti sampai akhirnya habis. Lalu ikutilah cara menyalurkan hawa murni seperti apa yang akan
lolap katakan berikut ini. Asal kau laksanakan petunjukku dengan seksama maka semua
penderitaan yang kau alami akan berkurang sebelum akhirnya lenyap tak berbekas”
Keadaan Hoa In-liong waktu itu, baik dipandang diri sudut manapun jua, tentu orang akan
menganggapnya sudah berada dalam keadaan tak sadarkan diri. Padahal dalam kenyataannya ia
memang sudah setengah sadar setengah tidak. Meskipun pembicaraan manusia masih dapat
didengar dengan jelas.
Tentu saja apa yang dikatakan Goan-cing Taysu barusan dapat terdengar pula olehnya tanpa
tertinggal satu hurufpun.
Itulah hasil dari keteguhan hati Hoa In-liong untuk mempertahankan diri meski harus mengalami
siksaan.
Perlu diterangkan dlsini, meskipun Hoa In-liong itu orangnya romantis. Sekalipun dia tak mau
kehilangan kegagahannya didepan Bwee Su-yok bukan berarti ia sama sekali tak tahu betapa
menderitanya kalau orang digantung secara terbalik dalam waktu tiga hari tiga malam.
Tapi berhubung wataknya yang keras hati tak takut menghadapi kesusahan, lagipula dalam
usahanya menyelidiki latar belakang pembunuhan berdarah tersebut, hasil yang didapatkan
menunjukkan betapa rumitnya masalah itu. Maka begitu membuktikan bahwa penyelidikan yang
dimulai dari pihak Kiu-im kaucu lebih gampang dan lebih terang ia semakin segan meninggalkan
tempat itu sebelum penyelidikannya berhasil.
Sebab itulah dengan sikap acuh tak acuh, seakan-akan sama sekali tak takut dibelenggu, ia
pasrahkan diri dan membiarkan tubuhnya digantung secara terbalik oleh Bwee Su-yok.
Waktu itu ia sama sekali tidak merasa kuatir atau takut. Dalam anggapannya dengan
mengandalkan sim hoat tenaga dalam dari Hoa mereka, asal segeiap hawa murni dihimpun
menjidi satu, kendatipun ada pendetitaan yang bagaimanapun besarnya, ia pasti masih mampu
untuk mempertahankan diri.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
272
Siapa tahu tidak demikian kenyataannya, penderitaan akibat darah yang mengalit secara
terbalikk jauh lebih berat sepuluh kali lipat daripada apa yang dibayangkan. Apalagi isi perutnya
yang terbalik terasa bagaikan dililit, akhirnya toh ia setengah tidak sadar juga dibuatnya.
Namun, soal tidak sadar adalah masalah lain, andaikata ia tidak menghimpun lebih dulu tenaga
murninya, meskipun dalam keadaan sakit dan tersiksa ia masih dapat mengendalikan hawa
murninya agar tidak sampai buyar dan mengandalkan keteguhan hatinya ia berusaha
mempertahankan diri. Jangankan menangkap perkataan Goan-cing Taysu dalam keadaan
setengah sadar, mungkin waktu itu dia sudah muntah darah tiada hentinya.
Teraga dalam yang dimiliki Goan-cing Taysu sangat sempurna. Bisikannya memang lirih, tapi
dalam pendengaran Hoa In-liong ibaratnya gentingan genta di pagi hari cukup menggetarkan
seluruh perasaan hatinya dan menimbulkan suatu kekuatan yang makin memperkokoh daya
tahannya.
Mendengar bisikan tersehat, walau kesadarannya belum pulih kenbali namun tanpa disadari, Hoa
In-liong telah menuruti perkataan dari paderi itu dan pelan-pelan membuyarkan tenaga dalam
yang dihimpunnya itu, membiarkan tenaganya berputar secara bebas.
Makin buyar tenaga murni yang diihimpunnya, penderitaan yang dideritanyapun berlipat ganda
lebih dahsyat.
Saat itulah ucapan dari Goan-cing Taysu kembali berkumandang disisi telinganya, “Perhatikan
baik-baik nak!” Kemudian sepatah demi sepatah kata paderi itu mulai berbisik, “Badan kita bukan
untuk kita. Perasaan kita bukan milik kita. Tapi datang dari alam semesta. Kelapangan dan
kebebasan yang tiada bertepian. Ketenangan mendatangkan keheningan semesta. Aliran yang
terbalik menimbulkan hawa. Kumpulan hawa nendatangkan kekuatan….”
Itulah rangkaian ilmu semedi aliran terbalik. Suatu inti kekuatan ilmu tenaga dalam yang tiada
taranya. Bukan saja setiap patah kata mengandung arti yang dalam. Rangkaian kalimat tersebut
merupakan suatu ledakan kekuatan jang luar biasa.
Kepandaian ini terhitung salah satu kepandaian ampuh andalan dari Buseng (malaikat ilmu silat)
Im Ceng.
Perlu diterangkan disini, dimasa lampau Im Ceng telah mempelajari ilmu silat tingkat tinggi dari
aliran Buddha maupun aliran Tao. Kemudian mendapat pendidikan pula dan Ko Hoa. Ketika
mencapai usia tua ia berhasil pula mencapai ke tingkatan yang disebut Sam hoat ci-teng
(gumpalan tiga bunga berkumpul dipuncak), Ngo-ki-tiau-goan (lima hawa berpusat pada
kekuatan), ini menyebabkan kemampuannya mencapai ke tingkatan yang tak terhingga untuk
takaran masa itu.
Sayang ia tak punya anak keturunan sehingga kepandaian yang berhasil dimilikinya tak dapat
diwariskan semua. Maka akhir hayatnya diapun menciptakan serangkaian ilmu semedi aliran
terbalik yang luar biasa untuk disebarkan kepada orang-orang dari generasi yang akan datang.
Atau tegasnya, rahasia ilmu tenaga dalam itu sudah meliputi segenap inti sari kepandaian yang
dimiliki Im-Ceng sepanjang hidupnya. Barang siapa mempelajari kepandaian tersebut, sama
keadaannya dengan seorang jago silat yang jalan darah penting Jin dan toknya sudah tertembus.
Tenaga dalamnya akan peroleh kemajuan yang amat pesat sekali dalam waktu yang amat
singkat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
273
Walau begitu, andaikata seseorang tidak memiliki bakat yang bagus serta kecerdasan yang luar
biasa, bukan pekerjaan yang gampang untuk melatih diri meskipun rahasia manteranya telah
diketahui sebab ilmu aliran darah terbalik ini berbeda jauh dengan kepandaian pada umumnya.
Kalau bukan demikian kenapa Goan-cing Taysu tidak mewariskan kepandaian tersebut untuk Coa
Cong-gi?”
Dan jelasnya sekarang apa sebabnya Goan-cing Taysu hanya tersenyum belaka sewaktu
menyaksikan keadaan Hoa In-liong. Itulah karena ia melihat ada kesempatan yang baik untuk
mewariskan ilmu maha sakti tersebut kepada pemuda itu.
Waktu itu Coa Cong-gi tidak melihat diri Hoa In-liong tapi menyaksikan bibir Goan-cing-taysu
berkomat-kamit tiada hentinya, dia ingin bertanya tapi tak tahu apa yang sedang dibicarakan
kong-kongnya. Dia kuatir mengganggu konsentrasi orang tua tersebut akan meninggalkan
ketidak-beresan bagi Hoa In-liong.
Maka ia cuma bisa memandang dengan mata melotot dan hati penuh kegelisahan, kalut benar
perasaannya waktu itu.
Selang sesaat kemudian, Goan-cing Taysu baru menghentikan komat-komitnya, Coa Gong-gi
yang sudah tidak sabaran semenjak tadi cepat menghampiri kongkongnya dan menegur,
“Kongkong! Apa yang kau bicarakan? Baik-baikkah keadaan saudara Hoa?”
Goan cing-Taysu menengadah lalu tersenyum. “Ia baik-baik saja!”
“Bicaralah yang jelas lagi” pinta Coa Cong-si dengah alis mata berkenyit, “Sebenarnya
bagaimanakah keadaan dari saudara Hoa?”
“Bocah itu memang sebuah bakat bagus yang sulit dijumpai daiam seratus tahun terakhir. Yaa
ilmu silat keluarga kita sekarang sudah mendapat pewaris yang cocok!”
Meskipun dia adalah seorang paderi yang hidup terkekang, toh waktu itu tak sanggup
mengendalikan luapan rasa gembiranya. Serta-merta dalam pembicaraan pun seperti menjawab
tapi tidak menjawab. Ini menunjukkan bahwa ia merasa betapa pentingnya peristiwa yang
barusan dialaminya. Bagi paderi ini menemukan pewaris ilmu silat yang cocok adalah lebih
berharga daripada soal apapun jua.
“Ah, bagaimana sih kongkong ini?” seru Coa Cong-gi tidak puas, “Anak Gi kan sedang
menanyakan bagaimana keadaan dari saudara Hoa! Siapa yang menanyakan soal lain?”
Goan-cing Taysu agak tertegun, kemudian baru jawabnya, “Oooh…. soal itu? Dia tidak apa-apa,
lolap telah mewariskan ilmu simhoat tenaga dalam Bu-khek-teng-heng-sim-hoat kepadanya,
biarlah di digantung beberapa hari lagi”
Agak lega juga perasaan Coa Cong-gi sehabis mendengar perkataan itu. Tapi dengan perasaan
tak paham kembali ia bertanya, “Apa toh yang dimaksudkan Bu-khek-teng-heng-sim- hoat itu?”
“Yang dimaksud Bu-khek-teng-heng adalah suutu keadaan tubuh yang bebas tak terikat, tapi
dapat memusatkan semua pikiran dan perasaan menjadi satu. Sayang bakatmu kurang bagus,
kalau tidak sim-hoat tenaga dalam yang tak ternilai harganya dari leluhur kita ini pasti akan
kuwariskan pula kepadamu”
Perasaan Coa Cong-gi waktu itu hanya memikirkan keselamatan Hoa In-liong. Soal diwariskan
atau tidaknya sim-hoat tenaga dalam leluhurnya boleh di bilang ia tak ambil pusing. Dengan dahi
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
274
berkerut terdengar ia bertanya lagi, “Kalau…. kalau memang begitu, kenapa kongkong tidak
tolong saja saudara Hoa? Kenapa dia musti digantung beberapa hari lagi?”
“Sim hoat tenaga dalam dari leluhur kita ini diciprakan secara luar biasa. Sebelum berlatih
kepandaian maka peredaran darah seseorang harus dibiarkan mengalir secara terbalik lebih dulu.
Kemudian baru masuk kedalam tahap kedua, pokoknya tegasnya saja untuk melatih sim-hoat ini
dari tingkat pertama orang harus digantung secara terbalik….”
“Apa susahnya itu ? Saudara Hoa kita bawa pulang lalu digantung pula secara terbalik, bukankah
sama saja keadaannya?”
Tertawalah Goan-cing Taysu setelah mendengar perkataan itu. “Haa…. haaa…. haaa…. Kalau
segampang itu tentu kaupun bisa melatihnya juga”
“Lalu…. lalu…. dimana letak kesulitannya?” Coa Cong-gi agak tertegun.
“Sulitnya justru terlelak pada kewajaran dan keluwesannya!”
“Ah, kalau orang digantung secara terbalik, otomatis darah akan mengalir secara terbalik, lantas
dimana letak kewajaran dan keluwesannya?”
“Digantung secara terbalik sehingga mengakibatkan darah mengalir secara terbalik bukan
termasuk suatu kewajaran. Karenanya untuk melatih sim-hoat aliran kita ini, seseorang bukan
saja harus cerdik dan berbakat. Pikiran dan perasaannya juga harus kosong. Bocah itu berbakat
sangat bagus, digantung pula oleh orang secara terbalik. Dalam keadaan demikian, apa yang dia
pikirkan hanyalah bagaimana caranya mengurangi rasa sakit yang dideritanya tanpa embelembel
pikiran yang lain. Meski dalam keadaan setengah sadar ia dapat pula menerima pelajaran
dari lolap serta melakukannya tanpa paksaan. Nah, disinilah terletak kewajaran yang
kumaksudkan itu”
Setelah diberi penjelasan, Coa Cong-gi baru mengerti. “Oooh! Makanya kau orang tua
membiarkan dia digantung beberapa hari lagi, rupanya koag-kong takut merusak kejernihan
pikirannya sehingga mengganggu kewajarannya itu. Bukan demikian?”
Goan-cing taysu mengangguk sambil memuji tiada hentinya. “Ehmm, anak Gi menang cerdik!
Meski bocah ini berpikir kosong dan pusatkan semua perasaan dan pikirannya menjadi satu, asal
tidak kita rubah posisinya sekarang, lama kelamaan akan menimbulkan kebiasaan bagi kondisi
badannya dan itulah yarg penting bagi seseorang untuk mempelajari kepandaian tersebut.
Percayalah keadaan ini tak akan merugikan dirinya! Mari kita pergi, mumpung ada kesempatan
bagus, lolap hendak mewariskan kepandaian silat lainnya kepadamu!”
Sehabis berkata ia lantas bangkit berdiri dan berlalu lebih dulu dari situ.
Semua kecurigaan yang masih menyelimuti benak Coa Cong-gi seketika tersapu lenyap hatipun
jadi lega. Apalagi setelah didengarnya ada kepandaian silat yang lain hendak diwariskan
kepadanya, dengan perasaan yang lapang dan gembira berangkatlah pemuda itu menuju ke kota
Kim leng….
Tiga bari lewat dengan cepatnya.
Hari itu dikala senja telah menjelang tiba, Bwee Su-yok masuk kedalam halaman dari ruang
depan. Siau-kian dan Siau-bi mengikuti di belakangnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
275
Ketika lewat di bawah pohon, serta-merta ketiga orang itu menghentikan langkahnya sambil
menengadah dan memandang ke arah Hoa In-liong yang di gantung.
Agaknya hal ini sulih menjadi kebiasaan bagi mereka. Selama tiga hari belakangan ini, setiap kali
mereka berempat lewat dibawah pohon, tentu berhenti sebentar sambil menengok keadaan dari
Hoa In-liong.
Keadaan Hoa Hoa In-liong tidak mengalami banyak perobahan. Ia masih tetap tergantung diatas
dahan pohon dengan kepala dibawali kaki diatas. Bila di bilang ada perubahan maka perubahan
tersebut berkisar pada perubahan air mukanya belaka.
Bila dihari pertama mukanya tampak layu pucat pias dan bentuknya seperti orang terserang
penyakit parah, malam harinya sudah tampak perubahan. Bahkan kemudian terjadi perubahan
yang makin membaik, sampai kini bukan saja paras mukanya sudah menjadi merah lagi, kondisi
badannya juga makin stabil. Sekilas pandangan orang akan menyangka kalau ia sedang tertidur
nyenyak.
Tentu saja perubahan tersebut tak akan mengelabui ketajaman mata Bwee Su-yok berempat.
Paras muka Bwee Su-yok saat ini amat dingin dan hambar. Dia melirik sekejap ke arah Hoa Inliong
kemudian mendengus dingin. Tanpa mengucapkan sepatah katapun melanjutkan
langkahnya naik kepelataran rumah.
“Siocia….” tiba-tiba Siau-bi berbisik agak takut-takut.
“Ada urusan apa?” tanya Bwee Su-yok seraya berpaling.
“Ssuuuu…. Sudah tiga hari!”
Tiba-tiba Bwee Su-yok memutar badannya. “Kalau sudah tiga bari lantas kenapa?” bentaknya.
Setajam sembilu sorot matanya, hawa gusar memancar dibalik wajahnya yang cantik. ini
membuat Siau-bi jadi ketakutan sehingga buru-buru menundukkan kepalanya.
Siau-kian paling tua usinya diantara yang lain, diapun paling pemberani diantara mereka, tibatiba
selanya, “Siocia kan berjanji akan mengantungnya selama tiga hari? Apakah kita perlu
melepaskannya dari ikatan?”
“Hmmm….! Jadi kau kasihan kepadanya?” dengus Bwee Su-yok dengan nada dingin.
Siau kian agak tertegun, tapi cepat dia tundukkan kepalanya. “Buuu…. bukannya kasihan!”
“Lalu buat apa kau singgung tentang persoalan itu?” bentak gadis itu semakin marah.
“Huuh!…. sudah tahu pura bertanya!” batin Siau-kian.
Tentu saja apa yang di batin tak berani diutarakan secara terus terang, sesudah termenung
sejenak dia baru menjawab, “Apa yang telah kita janjikan harus ditepati dengan sebaik-baiknya,
maka budak minta petunjuk dari nona untuk….”
“Tidak akan kulepas!” tiba-tiba Bwee Su-yok menukas. Selesai berkata dia putar badan dan
masuk ke dalam ruangan dengan wajah marah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
276
Selama tiga hari belakangan ini, sikap marah-marahnya itu sudah menjadi suatu kebiasaan dan
beberapa orang dayangnya sudah terbiasa menyaksikan tingkah polahnya.
Tak heran kalau Siau-kian sama sekali tidak kaget atau terkejut melihat keadaan tersebut. Sambil
menjulurkan lidahnya, ia alihkan kembali sinar matanya ke arah Hoa In-liong.
Tiba-tiba wajahnya tampak tertegun, dengan suara setengah menjerit teriaknya. “Nona….!
Nona….!”
Secepat angin Bwee Su-yok melayang kembali ketempat semula, gesit dan lincah seperti burung
walet. “Kau pingin mampus bentaknya dengan merah.
“Dia…. dia telah sadar kembali” kata Siau-kian sambil menuding ke depan.
“Sadar atau tidak apa urusannya dengan dirimu?” bentak Bwee Su-yok lagi, “Siapa suruh
berteriak macam kesetanan?”
Walaupan ia berkata demikian, sinar matanya toh dialihkan juga ke wajah Hoa In-liong.
Tampaklah paras muka anak muda itu segar bugar. Senyuman manis tersungging di ujung
bibirnya. Waktu itu diapun sedang memandang ke arahnya dengan pandangan mengejek.
Mula-mula ia tertegun, menyusul kemudian rasa malu dan mendongkol melintas dalam
benaknya. Tanpa sadar diapun balas melotot sekejap ke arah Hoa In-liong dengan pandangan
gemas.
Hoa In-liong tersenyum lebar.
“Nona Bwe, bolehkah aku minta secawan air?” pintanya.
“Tidak!” jawab Bwee Su-yok ketus.
“Aku lapar sekali” kembali Hoa In-liong mencibirkan bibirnya, “Apakah nona sudah menyiapkan
arak dan sayur bagiku?”
Tubuhnya yang jungkir balik membuit pancaindranya tampak aneh. Apalagi waktu berbicara,
mirip sekali dengan makhluk yang aneh dia lucu. Serta-merta dua orang dayang yang berdiri
disisinya tertawa cekikikan menahan geli.
“Kau bilang suruh siapa yang menyiapkan arak dan nasi?” kembali Bwee Su-yok membentak
nyaring.
Hoa In-liong mengernyitkan alis matanya lalu tertawa lebar lagi. “Sebetulnya aku minta bantuan
nona, tapi lebih baik tak usah kukatakan lagi. Harap lepaskan aku turun!” katanya.
“Tidak, kau tak akan kulepas!” teriak Bwee Su-yok makin mendongkol “Kau mau apa?”
Hoa In-liong tertawa.
“Kalau tak salah hari ini kan sudah hari yang ketiga?”
“Hmm, kau akan kugantung tujuh hari lagi!” kata gadis itu dengan nadanya yang dingin.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
277
“Sebagai seorang manusia, janganlah mengingkar janji dan menjilat perkataan sendiri. Apalagi
nona sebagai seorang tiancu dari perkumpulan Kiu-im-kauw….”
“Tidak akan kulepas! Tidak akan kulepas! Tidak akan kulepas….!” jerit Bwee Su-yok setengah
melengking.
Tapi belum habis teriakan tersebut, tiba-tiba….
“Kraaak….! kraaak….”
Diiringi suara yang amat nyaring Hoa In-liong telah mematahkan semua tali yang membelenggu
tubuhnya, kemudian seenteng kapas dia melayang turun kepermukaan persis dihadapan
mukanya.
Seketika itu juga keempat orang dayang itu menjerit kaget, demikian pula dengan Bwee Su-yok
tanpa sadar dia mundur selangkah dengan mulut melongo lebar.
Wajah Hoa In-liong cerah dan bersinar, senyum manis tersungging diujung bibirnya, orang tak
akan percaya kalau dia sudah tiga hari digantung tanpa makan dan minum.
“Batas waktu selama tiga hari sudah lewat,” demikian ia berkata, “Aku rasa digantung secara
terbalik itu tak sedap dirasakan lebih lama. Maka jika nona segan melepas aku, terpaksa kuambil
keputusan untuk memutus sendiri tali-tali yang membelenggu badanku”
Keadaan Bwee Su-yok waktu itu yaa kaget, yaa malu, yaa mendongkol, hawa amarah kontan
saja menyelimuti seluruh benaknya.
“Kau tak usah sok berlagak dihadapankul!” bentaknya.
Bagaikan harimau kelaparan ia menerkam ke muka, sepasang telapak tangannya berputar
kencang. Dengan sepuluh jari tangannya yang runcing ia cengkeram dada Hoa In-liong.
Desingan angin jari menderu-deru. Sungguh dahsyat serangan tersebut. Dalam keadaan
demikian terpaksa Hoa In-liong miringkan badannya dan buru buru mengigos ke samping.
“Eeeeeh…. nanti dulu Nona!” teriaknya, “Aku berbuat demikian toh demi menjaga nama baik
nona? Kenapa nona malahan….”
Belum habis perkataan itu tiba-tiba desingan angin tajam kembali menyerang tiba dari arah
belakang. Terpaksa ia telah kembali perkataan berikutnya, lengan diputar dan sebuah serangan
balasan segera dilontarkan ke depan.
Tak salah lagi kalau serangan tersebut dilancarkan dalam keadaan tergesa-gesa, kekuatan yang
di pakai juga tak sampai lima depa. Meski demikian keampuhan yang tersembunyi dibalik
serangan tersebut benar-benar luar biasa. Meski hanya satu serangan namun mengandung
balasan macam perubahan yang tak terduga, bukan sembarangan jago lihay yang sanggup
membendung ancaman semacam itu.
Bwee Su-yok segera menyingkir ke samping dan menghindarkan diri dari ancaman tersebut.
Tubuhnya berputar cepat ke samping kanan Hoa In-liong. Tiba-tiba dengan jari tangannya yang
kaku bagaikan tombak ia tusuk jalan darah Ki bun hiat di iga kanan anak muda itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
278
“Hmm….! Justru nonamu sengaja tak mau pegang janji. Akan kugantung kau selama tujuh hari
lagi, akan kulihat apa yang bisa kaulakukan….?” katanya ketus.
Indah nian gerakan tubuhnya, ganas, keji dan berat pula ancaman serangannya. Andaikata
serangan tersebut bersarang telak pada sasarannya, meski tubah Hoa In-liong terlindung oleh
kaos kotang pelindung badan, toh dia tetap akan roboh juga.
Hoa In-liong tidak panik. Ia tarik badannya hingga cekung ke dalam, kemudian dengan
entengnya anak muda itu mundur delapan depa ke belakang.
“Nona!” ujarnya dengan dahi berkerut, “Gurumu kan bermaksud menahan aku secara baik-baik?”
“Tak usah banyak cerewet!” tukas Bwee Su-yok sambil mengejar sasarannya bagaikan bayangan.
“Sengaja mau gantung kau selama tujuh hari, mau apa kau? kalau dilepaspun harus tunggu
tujuh hari kemudian”
“Oooh…. jadi kau hendak melepaskan aku pergi?” seru Hoa In-liong dengan wajah tercengang.
“Ya!” jawaban dari Bwee Su-yok sungguh-sungguh, serius dan tak nampak kalau cuma bergurau
belaka.
Setajam sembilu sorot mata Hoa In-liong yang mengawasi wajah Bwee Su-yok, tiba-tiba ia
tertawa. “Haa…. haa…. haa…. Diantara anak cucu keluarga Hoa, hanya aku yang suka
berbohong. Haa…. haa…. haa…. Sungguh tak kusangka….”
“Apa kau bilang?” bentak Bwee Su-yok dengan sorot mata yang luar biasa tajamnya.
Hoa In-liong masih tergelak-gelak. “Haa…. haa…. haa…. Sekalipun nona tidak bohong, aku yakin
ucapanmu kau utarakan karena emosi belaka. Bila kau lepaskan aku pergi dari sini, lantas
bagaimanakah pertanggungan jawabmu dibadapan gurumu nanti?”
Benar juga perkataan ini! Bila anak muda itu dilepaskan secara pribadi, lantas bagaimanakah
pertanggung jawabnya dihadapan Kiu-im kaucu nanti? Kalau bukan begitu, bukankah berarti
bahwa nona itu sedang berbohong?
Tampaknya karena malu Bwee Su-yok jadi marah merah padam selembar wajahnya. Sinar mata
yang menyambar kesana kemari setajam pisau, menggidikkan keadaannya. “Kalau memang
begitu, lebih baik kau mampus saja!” teriaknya kemudian dengan lantang.
Berbareng itu juga sepasang telapak tangannya diayun ke depan deugan dahsyat.
Kalau dilihat dari gaya Bwee Su-yok melepaskan serangannya, dapat ditarik kesimpulan kalau
hati nona itu sedang gundah dan diliputi hawa amarah. Andaikata serangan tersebut bersarang
telak, dengan kekuatan yang terkandung dibalik pukulan itu, sedikit banyak akan binasa juga
Hoa In-liong bila terhantam.
Tak terkirakan rasa kaget dari dua orang dayang cilik itu sampai-sanpai mereka berteriak keras,
“Nona….!”
Bukan saja lengking suaranya, diantara kelengkingan tersebut terbawa pula nada gemetar yang
jelas kedengaran.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
279
Agak tertegun Bwee Su-yok mendengar jeritan tersebut, ia menunda serangannya sambil
membentak, “Apa-apaan kalian? Kenapa menjerit jerit macam orang edan?”
Sebelum dayang-dayang itu menjawab, Hoa In-liong telah menimbrung dari samping, “Aku
hendak berbicara nona!”
Oooo OOO oooo
“HUUUUH! Kau anggap nonamu sudi mendengarkan segala ocehanmu yarg tak genah?” Jengek
Bwe-su yok seraya menatap lawannya dengan pandangan dingin.
“Mau mendengarkan atau tidak tentu saja urusan nona sendir. Aku hanya merasa tak enak
rasanya bila perkataan yang menyumbat tenggorokanku tidak kuutarakan keluar. Terus terang
kuberitahukan kepadamu nona, sebetulnya aku tak ingin pergi dari sini. Tapi setelah dapat
kupahami jalan pemikiran nona, maka aku merasa, andaikata aku tetap berdiam diri disini malah
justru akan menjerumuskan nona pada keadaan yang tidak berbudi, oleh sebab itu….”
“Hmm….! Nonamu berbudi atau tidak, kenapa musti kau risaukan?” tukas Bwee Su-yok sangat
mendongkol.
Hoa In-liong tertawa ewa. “Bila persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan diriku,
tentu saja tak usah kurisaukan tapi berhubung persoalan ini timbulnya justru lantaran aku. Jika
nona sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang tak berbudi, bukankah semuanya itu adalah
berkat dari dosa dan kesalahanku?”
Kembali Bwee Su-yok mendengus dingin. “Hmm…. Usil mulut pandai menjilat, rupanya engkau
sedang berusaha untuk membersihkan diri dari segala dosa dan kesalahan! Begitupun bolehlah,
ayoh cepat menyerah dan biarkan tubuhmu di ikat, kau musti digantung selama tujuh hari lagi”
“Aaah….! Bicara pulang pergi, nona toh bersikeras akan menggantung aku selama tujuh hari
lagi!”
“Kalau tidak, maka engkau harus mampus!” sambung Bwee Su-yok dengan suara yang
menyeramkan.
Paras muka Hoa In-liong tiba-tiba saja berubah jadi amat serius, dengan sungguh-sungguh dia
berkata, “Nona Bwee, engkau terlalu picik pikirannya, terlalu sempit jiwanya, watak semacam ini
patut segera dirubah!”
Kalau dihari-hari biasa Hoa In-liong selalu tertawa haha hihi dengan sikap yang santai dan acuh
tak acuh, sehingga orang menganggap dirinya sebagai laki-laki hidung bangor, atau kalau serius
pun wajahnya tetap tenang tanpa pancaran hawa gusar. Maka setelah air mukanya menjadi
serius dan nada pembicaraannya tiba-tiba berubah ber-sungguh-sungguh, kontan saja Bwee Suyok
dibikin tertegun olehnya.
Hoa In-liong berhenti sebentar, kemudian sambangnya lebih jauh, “Dengarkanlah perkataanku
selanjutnya. Pantangan paling besar bagi seorang manusia adalah tak tahu diri dan kelewat
sombong. Bagaimanapun juga aku kan sudah kau gantung selama tiga hari tanpa melawan.
Semestinya nona sudah harus puas dengan hasil tersebut. Tapi sekarang, lantaran kau lihat
keadaanku tak kekurangan sesuatu apapun, hatimu jadi panas. Maka dengan alasan yang dibuatbuat
kau ingin memancing aku masuk perangkap. Sekalipun aku percaya dengan perkataanmu
itu, bukankah soal kepercayaan bagi nona akan mengalami kerugian? Sebaliknya bila pegang
janji, setelah kau gantung aku selama tujuh hari lantas melepaskan aku pergi, tidakkah engkau
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
280
merasa bahwa perbuatanmu itu telah melanggar perintah dari gurumu? Meskipun budi dan
dendam yang kau lakukan bukan dilakukan dengan tujuan tertentu, tapi akibat yang dihasilkan
semuanya merupakan suatu tindakan yang tidak berbudi. Nah, nona! Terus terang kukatakan
kepadamu, tak mungkin kaudapat menggantung aku selama tujuh hari lagi tanpa perlawanan
dariku. Padahal nafsu membunuh sudah menyelimuti wajah nona, bayangkan sendiri, dengan
kemampuan yang nona miliki, mampukah engkau untuk melaksanakan kesemuanya itu?”
Setiap perkataan yarg diutarakan anak muda itu boleh dibilang diucapkan dengan nada yang
tegas dan alasan yang tepat. Meskipun selama ini Bwee Su-yok bermaksud membantah, ia tak
tahu bagaimana harus membantahnya.
Tiba-tiba saja paras muka Hoa In-liong berubah semakin cerah, sambil tertawa nyaring ujarnya
kembali, “Nona Bwe, terus terang kukatakan, raut wajah serta keanggunan nona amat
mengagumkan aku Hoa Yang. Sayang kedudukan kita jauh berbeda, kita harus berdiri pada
posisi yang saling bermusuhan. lagipula nona sombong dingin dan tak berperasaan. Kalau tidak
demikian, mungkin kita bisa menjadi sahabat yang karib. Oleh sebab itu, bila lantaran aku akan
mengakibatkan nona terjerumus dalam keadaan yang tidak berbudi, sampai matipun aku Hoa
Yang tidak akan melakukannya. Maka setelah kupikir lebih jauh, aku rasa satu-satunya jalan
yang bisa kita tempuh sekarang adalah mohon diri darinu, kita putuskan dahulu gejala “ketidak
berbudi” tersebut, agar nona tak sampai rugi karenanya. Nona Bwee, aku ingin mohon diri
kepadamu, dihadapan gurumu nanti tolong sampaikan permintaan maafku yang mana telah
pergi tanpa pamit, semoga nona bisa jaga diri baik-baik!”
Selesai berkata dia menjura, putar badan dan berjalan menuju ke dinding pekarangin dihalaman
belakang. Selang sesaat kemudian ia sudah melewati dinding pekarangan dan lenyap dari
pandangan mata.
Ia bilang pergi lantas pergi. Perkataannya terus terang dan blak-blakkan. Sikapnya gagah
perkasa, sedikitpun tidak menunjukkan tanda-tanda berat hati atau segan pergi. Memandang
bayangan punggungnya yang kekar dan lenyap dari pandangan mata, Bwee Su-yok hanya bisa
berdiri termangu dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Dia lupa menjawab, lupa menegur.
Untuk sesaat hanya berdiri kaku bagaikan sebuah patung arca.
Sepintas lalu keadaan tersebut seakan-akan suatu kejadian yang diluar dugaan, padahal memang
demikianlah keadaan pada umumnya.
Perlu diterangkan disini, bahwasanya Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang tampan. Hal ini
sudah terbukti jelas, manusia dengan tampang gagah seperti inilah merupakan idaman dan
incaran dari setiap gadis kaum remaja.
Meskipun Bwee Su-yok itu dingin dan kaku hatinya, bagaimanapun dia adalah seorang gadis
yang berwajah cantik. Dan selama manusia punya perasaan, tentu perasaan mereka tak jauh
berbeda, begitu pula dengan keadaan dara tersebut.
Sebelum itu, dia selalu barusaha menyusahkan Hoa In-liong, hal ini disebabkan karena pertama
hasil pendidikannya yang bertahun-tahun, kedua rasa dongkolnya terhadap Hoa In-liong yang
sama sekali tidak tergiur oleh kecantikan wajahnya.
Kedua hal tersebut diatas segera menimbulkan perasaan tak puas, perasaan mendongkolnya atas
diri pemuda itu, padahal terus terang dalam hati kecilnya diapun menaruh rasa simpatik terhadap
Hoa In-liong. Apalagi rasa simpatiknya lebih mendekati sebagai benih-benih cinta. Bisa
dibayangkan bagaimanakah perasaannya ketika itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
281
Sekarang, dengan begitu terus terang, dengan begitu blak-blakan Hoa In-liong telah
mengutarakan perasaan cinta dan kagumnya terhadap dirinya. Tapi lantaran dia tak ingin
menjerumuskan dirinya dalam keadaan tak berbudi, dia rela pergi meski dengan perasaan berat.
Betapa terus terangnya pengakuan pemuda itu atas rasa cinta dan kagumnya? Betapa dalamnya
perasaan kuatir dan perhatiannya terhadap segala hal yang ncenyang-kut dirinya? Tidak heran
kalau Bwee Su-yok dibuat tertegun tanpa mengetahui apa yang harus dilakukan.
Malam semakin kelam, rembulan sudah muncul dari arah timur, secepat sambaran kilat Hoa Inliong
bergerak menuju ke kota Kim-leng.
Anak muda itu langsung berkunjung ke pesanggrahan pertabiban dan menyambangi Kang-lam Jigi
(Tabib Sosial dari Kanglam) Yu Siang-tek suami istri.
Dari mulut kedua orang tua inilah dia baru tahu bahwa Yu Siau-lam beserta Kim-leng ngo-kongcu
nya telah menyebarkan diri untuk mencari jejaknya semenjak ia tertangkap musuh. Coa Cong-gi
sendiri walaupun bertugas menjaga dikota Kim-leng, tapi sudah tiga hari Kang-lam Ji-gi tidak
menjunpai jejaknya.
Setelah mengetahui tentang gerakan yang dilakukan oleh Kim-leng ngo-kongcu, selain Hoa Inliong
merasa berterima kasih atas perhatian serta simpatik Kim-leng ngo-kongcu yang sudi
mencari jejaknya dengan susah payah, diapun merasa kuatir atas keselamatan dari Coa Cong-gi.
Dia kuatir Coa Cong-gi telah berjumpa dengan orang-orang dari Kiu-im kau dan kena ditangkap
juga oleh mereka.
Karena itu setelah buru-buru bersantap, dia mengambil senjata, menanyakan tempat tinggal dari
Coa Cong-gi, kemudian baru berpamitan dengan Yu Siang-tek suami istri dan lari menuju kejalan
raya sebelah timur
Tempat tinggal Coa Cong-gi terletak di istana raja muda Kim-leng, meskipun Ko Hoa sudah
melepaskan diri dari jabatan tersebut, namun tempat tinggal itu masih ditempati oleh anak
keturunannya baik kewibawaan maupun keangkerannya tak jauh berbeda seperti dulu.
Sayang para pelayan yang ada dirumah tak ada yang tahu kemana perginya Coa Cong-gi.
Menurut seorang pengurus rumah tangga she-Kok, sudah tiga hari majikan mudanya tidak
pulang ke
rumah. Sedang majikan perempuannya beserta nona telah melakukan perjalanan jauh pada tiga
hari berselang….
Tentu saja Hoa In-liong tidak tahu kalau kesemuanya itu adalah hasil perbuatan dari Goan-cing
Taysu. Sepeninggalnya dari gedung Coa dijalan raya sebelah timur, perasaannya jadi gundah,
gelisah dan sangat tidak tenang.
Sekalipun demikian ia tidak merasa gelisah, karena setelah meninggalkan gedung perkampungan
yang misterius itu, ia telah mengambil keputusan akan menyelidiki kembali gerak-gerik dari Kiuim
kau tengah malam nanti. Seandainya Coa Cong-gi memang terbukti sudah diculik orang-orang
Kiu-im kau, waktu itu kabar tersebut tentu akan diperoleh juga dan rasanya melakukan
pertolongan pada waktu itupun belum terlambat.
Karenanya setelah termenung dan berpikir sejenak, dia memutuskan untuk berkunjung lebih dulu
ke rumah pelacuran Gi-sim-wan untnk menemui Cia In.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
282
Pemuda ini memang dasarnya suka bermain perempuan. Dimana saja ia berada, disanalah ia
pasti berkenalan dengan perempuan. Baru beberapa hari berkenalan dalam dunia persilatan,
sudah beberapa orang gadis yang selalu terkenang dalam benaknya.
Diantara sekian banyak gadis, Cia In terhitung perempuan yang istimewa bagi pandangannya.
Sejak ia membocorkan jejaknya dihadapan Ciu Hoa kemudian pada tiga hari berselang dia
menyaksikan kereta kudanya muncul dari daerah loteng sambur menuju keramaian kota. Maka
meskipun hatinya kangen, diapun sedikit curiga. Tanpa sadar langkah kakinya telah bergerak
menuju ke arah kuil Hu cu-bio.
Setelah memasuki sebuah lorong, sampailah pemuda itu disebelah barat rumah pelacuran Gisim-
wan. Dengan matanya yang jeli dia menengok kekiri kekanan. Setelah yakin kalau disekitar
tempat itu tak ada orang, ia baru melompati pagar pekarangan dan masuk kedalam. Setelah
melewati beberapa bangunan akhirnya tibalah dia didepan loteng tempat tinggal Cia In.
Ruangan loteng itu terang benderang, dari kejauhan ia saksikan In-ji berdiri ditepi pagar sambil
memandang sekelling sana. Ketika ia pandang lebih seksama lagi, ternyata tidak tampak
bayangan tubuh dari Cia In. Diatas lotengpun tak kelihatan ada orang yang berlalu lalang, meski
sudah ditunggu beberapa saat lagi, ternyata keada-annya masin tetap dan tidak berubah.
Menyaksikan kesemuanya itu, Hoa In-liong mengerutkan dahinya seraya berpikir, “Kemana
perginya Cia In? Mengapa ia tidak tampak? Kalau pergi memenuhi undangan orang kenapa In-ji
tidak ikut? In-ji jelas ada diatas loteng, tapi disitu tak nampak ada tamu, masa…. masa….”
Belum habis kecurigaan tersebut terlintas dalam benaknya, tiba tiba serentetan bisikan lirih
berkumandang ke dalam telinganya, “Anak Liong kah disitu? Cepat kemari!”
Mula-mula Hoa In-liong agak terkejut, tapi segera ia kegirangan, dengan ilmu menyampaikan
suara pula sahutnya, “Ngo-siok, paman Ngo, engkau berada dimana?”
Ternyata orang yang membisiknya dengan ilmu menyampaikan suara itu bukan lain adalah
seorang murid Bun Tay-kun yang diterimanya ketika ia telah lanjut usia.
Muridnya ini dianggap sebagai murid juga dianggap sebagai putra sendiri, ia bernama Hoa Ngo
dan nama aslinya “Siau-ngo-ji”
Bocah itu tak berayah tak beribu, dulunya adalah seorang berandal kecil pimpinan Ko Thay dari
kota Lok-yang dan pernah menyumbangkan tenaganya bagi keluarga Hoa.
Bun Tay-kun yang kasihan atas kehidupan bocah itu dan lagi senang akan kecerdasannya,
kemudian Ko Thay dan Ngo-ji diterimanya menjadi murid serta diwarisi ilmu silat yang tinggi.
Sejak Ko Thay ditetapkan menjadi satu-satunya pewaris dari Ciu It-bong dan memperoleh
pelajaran silat Hu im-ciang-hoat, dia telah meninggalkan perkampungan Liok-soat-san-ceng dan
mendirikan perguruan sendiri, sebaliknya Hoa Ngo tetap berdiam di perkampungan Liok-soatsan-
ceng dan menjadi salah satu kekuatan dari keluarga Hoa. (untuk mengetahui peristiwa
diatas, silahkan membaca: Bara-maharani).
Sejak kecil Hoa Ngo sudah pintar, diapun termasuk seorang laki-laki yang binal dan sukar diikat
dengan segala peraturan, sejak berhasil memiliki ilmu silat yang tinggi, ia seringkali berkelana
diluaran, tapi bila berada di rumah Hoa In-liong lah yang paling disayang, kebinalan dan kelicikan
Hoa In-liong justru sebagian besar adalah berkat ajaran dan pengaruh dari paman Ngo-nya ini.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
283
Tidaklah heran kalau ia jadi sangat gembira setelah mengetahui babvva orang yang mengirim
suara kepadanya itu bukan lain adalah paman Ngo siok nya.
“Hati-hati….!” Suara dari Hoa-Ngo kembali berkumandang dengan nada serius, “Aku ada disini.
Disebelah sini ada sebuah ruangan mungil, kurang lebih satu panahan sebelah tenggara
bangunan loteng, kau harus menyusup kemari dengan pelan-pelan, jangan sampai bersuara!”
“Harus menyusup kesitu?” pikir Hoa In-liong kemudian dengan perasaan tegang, “Benarkah
dalam rumah pelacuran Gim-sim-wan terdapat hal hal yang aneh dan mencurigakan?”
Tapi dalam keadaan demikian, tidak sempat lagi baginya untuk berpikir lebih jauh, buru buru ia
menyusup ke arah tenggara seperti apa yang di perintahkan Paman Ngo nya.
Benar juga, disebelah tenggara terdapat sebuah bangunan mungil. Letaknya berada dihalaman
yang berbeda, hingga sepintas lalu orang akan mengira bangunan tersebut tidak berhubungan
sama sekali dengan rumah pelacuran Gi-sim-wan. Meski ada pintu yang menghubungkan
halaman yang satu dengan halaman lainnya.
Ia menyusup masuk kedalam halaman tersebut lewar pintu yang setengah tertutup. Begitu
keluar dari balik pintu, terlihatlah sebuah kereta kuda yang berwarna emas dan mungil berhenti
didepan pintu bangunan mungil itu, sebagai kusir keretanya adalah Hek lo-tia.
Sementara hatinya merasa terkesiap, tiba-tiba terdengar suara dari Cia In berkumandang
nyaring, “Hek lo-tia, sudah kau siapkan keretanya?”
“Lapor nona, kuda dan kereta telah siap menanti nona naik kedalam kereta”
Diantara cahaya lentera yang bergoyang terhembus angin, seorang dayang muncul dipaling
depan membawa alat penerangan. Cia In dengan mendampingi seorang perempuan cantik
berbaju ungu menyusul dari belakangnya, mereka semua muncul dari ruangan tersebut.
Perempuan cantik berbaju ungu itu memakai gaun sepanjang lantai. Rambutnya disanggul tinggi
dan berparas cantik jelita. sepintas lalu mirip seorang perempuan berusia tiga puluh tahunan,
mirip juga berusia dua puluh lima enam tahunan, berapa umurnya yang pasti sukar rasanya
untuk ditentukan.
Hoa In-liong menyaksikan kesemuanya itu dengan wajah termangu mangu. Sebelum ia tahu apa
yang musti dilakukan, dayang itu sudah membuka pintu kereta dan mempersilahkan Cia In
berdua masuk ke dalam kereta.
“Anak Liong, cepat….” tiba-tiba bisikan dari Hoa-Ngo kembali berkumandang datang.
Belum habis ia berkata, Hek lo-tia sudah ayun cambuknya dan kereta itu pun mulai bergerak
meninggalkan tempat tersebut.
Meskipun tidak lengkap yang didengar Hoa In-liong, tapi ia mengerti bahwa paman Ngo-siok nya
memerintahkan dia untuk “membonceng kereta dan mengikuti kemana perginya orang-orang
itu.”
Dalam keadaan demikian, ia tak sempat untuk berpikir panjang lagi. Dengan gerakan hampir
menempel diatas permukaan tanah, dia menyusul ke belakang kereta lalu menerobos ke bawah
lantai kereta yang sedang berjalan itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
284
Seenteng burung walet gerakan tubuhnya, selincah kucing terkamannya. Gerakannya ini bukan
saja tidak menggerakkan daun atau rumput, tidak mengejutkan dayang yang ada didepan
bangunan, bahkan orang yang berada dalam keretapun tidak akan merasa bahwa ada seseorang
telah membonceng kereta mereka.
Dengan berpegangan pada dasar ruang kereta, Hoa In-liong bergelantungan terus sepanjang
jalan. Ia cuma mendengar berputarnya roda kereta tanpa diketahui kemana kereta itu akan pergi
dan dimanakah paman Ngo-siok nya menyembunyikan diri.
Meski demikian, ia tahu bahwa kereta itu sudah melalui sebuah jalanan berbatu datar yang
sangat panjang, lalu bergerak dijalanan berlumpur, kurang lebih setengah jam kemudian kereta
mulai mendaki ditanah perbukitan, dan sepertanak nasi kemudian baru berhenti disuatu tempat.
Dengan tenangnya Hoa In-liong menunggu di bawah lantai kereta, setelah yakin kalau orangorang
diatas kereta sudah meninggalkan kereta tersebut, pelan-pelan ia baru menerobos keluar
dari tempat persembunyiannya.
Waktu itu sudah mendekati tengah malam, bintang bertaburan di angkasa. Dibawah sinar
rembulan yang redup terlihatlah sebuah to koan (kuil kaum beragama To) berdiri anggun
didepan sana sementara Hek lo-tia dengan kesiap- siagaan penuh duduk diatas keretanya sambil
memandang ke sana kemari. Rupanya ia bertugas mengawasi kea-manan sekitar wilayah
tersebut.
Dengan gerakan yang sangat hati-hati, Hoa In-liong menyusup masuk ke dalam semak belukar.
Kemudian setelah berputar ke arah lain, ia baru membersihkan debu yang mengotori bajunya.
“Wah, tak sempat lagi bila aku hendak selidiki gerak-gerik dari orang orang Kiu-im kau” pikirnya
dalam hati.
Sementara otaknya berputar, tubuhnya dengan enteng melayang kedepan menghampiri To koan
tersebut, cahaya lampau menyinari ruang tersebut terang benderang, dengan menghindari
cahaya lampu pemuda itu meryusup dikegelapan dan mendekati bangunan itu.
Saat itulah tiba-tiba ia dengar suara helaan napas seseorang yang amat nyaring, “Aaai….! Che
giok, tidak seharusnya engkau datang kemari….”
Begitu mendengar disebutnya nama “Che-giok” mendadak sontak Hoa In-liong merasakan
hatinya bergetar keras. “Oooh…. Sekarang aku baru tahu” pikirnya, “Jadi perempuan cantik tadi
adalah Pui Che-giok!”
Dengan perasaan kaget bercampur curiga, pemuda itu mendekati dinding jendela dan
menyembunyikan diri baik-baik. Ia membuat sebuah lubang kecil pada kertas penutup jendela
itu, lalu menempelkan mata kanannya dilubang itu dan mengintip ke dalam ruangan.
Ruangan tersebut adalah sebuah ruangan yang sederhana dan jelek. Seorang Tookoh (rahib
perempuan) berwajah cantik dan berkulit putih bersih duduk bersila diatas pembaringan.
Seorang Tookoh berusia lanjut yang berwajah bersih mendampingi disisinya.
Waktu itu Cia In berlutut diatas tanah, sedangkan perempuan cantik berbaju ungu itu berdiri di
hadapan Tookoh berwajah cantik tersebut dengan sikap menghormat.
“Heng tooyu!” terdengar Tookoh tua ilu berkata setelah mendehem periahan “Bagaimanapun jua
nona Pui sudah sampai disini, marilah persilahkan dia duduk dan berbicara dengan sebaikbaiknya!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
285
“Bicara pulang pergi, yang dibicarakan toh tetap masalah keduniawian belaka” sahut Too-koh
cantik yang disebut Heng tooyu itu dengan suara hambar, “Tiang-heng telah mengasingkan diri
dari keramaian duaia, hidup mengasingkan diri sebagai pendeta, perasaan hatiku saat ini sangat
tawar dan tenang, persoalan apalagi yang hendak dibicarakan dengan diriku?”
“Nona….” seru Pui Che-giok agak emosi.
“Pin-ni Tiang heng, sudah lama bukan nonamu lagi!” tukas Heng tooyu cepat.
“Yaa, tootiang!” sahut Pui Che-giok sedih.
To-koh yang bernama “Tiang-heng” itu memberi kode tangan mempersilahkan tamunya untuk
duduk, lalu katanya, “Silahkan duduk, asal tidak menyinggung soal lampau, kita boleh saja
bercakap-cakap sebentar!”
“Yaa, tootiang!” kembali Pui Che-giok mengangguk, air mata bercucuran membasahi wajahnya,
hampir saja ia menangis tersedu.
“Jangan terlalu memikirkan satu masalah yang sama melulu” kata Tiang-heng Tookoh hambar
“Kejadian masa lampau sudah lewat bagaikan asap yang buyar di angkasa, buat apa kau
menangis dan bersedih hati? Silahkan duduk, lebih baik katakan apa yang hendak kau ucapkan
pada saat ini?”
Kepada Cia In, diapun berkata lebih jauh, “Anak In, silahkan bangun! Pinni tak berani menerima
sembahmu yang berkepanjangan!”
Sambil masih sesenggukan Pui Che-giok duduk sedang Cia In menyembah lagi beberapa kali di
depan Tookoh cantik itu sebelum berdiri dibelakang Pui Che-giok dengan wajah sedih dan
murung.
Untuk sesaat suasana jadi hening dan sepi….
Entah berapa saat kemudian, Pui Che-giok baru menyeka air matanya dengan ujung baju,
kemudian ia berkata , “Totiang, soal perkumpulan Cha-li-kau yang Che-giok dirikan, tidak lama
kemudian akan diresmikan dan diumumkan secara meluas keseluruh dunia persilatan. Untuk
keperluan itu sengaja Che-giok datang kemari mohon petunjuk dari totiang”
Mendengar perkataan tersebut, Hoa In-liong merasa amat terperanjat, ia semakin pusatkan
perhatiannya untuk mendengarkan semua pembicaan tersebut dengan lebih seksama.
“Kalau hanya soal meresmikan perkumpulan saja, kenapa kau musti minta petunjuk pinto?” kata
Tiang hengto koh dengan dahi berkerut.
“Sejak kecil Che-giok sudah dipelihara oleh totiang, kemudian mendapat pula warisan Cha-li sim
keng dari totiang. Segala sesuatu yang Che-giok miliki sekarang adalah pemberian dari Totiang.
Tak ternilai tebalnya budi yang Che-giok terima, sebelum ada persetujuan dari totiang, darimana
Cbe giok berani sembarangan ambil keputusan?”
Tiang-heng to koh menghela napas panjang. “Aaaai…. bila pinto belum jadi pendeta, sudah pasti
pinto tak akan terlalu setuju dengan tindakanmu mendirikan perkumpulan. Tapi sekarang pikiran
dan perhatian pinto hanya tertuju pada pelajaran agama To, dengan sendirinya soal-soal ke
duniawian pun tak akan terlalu banyak yang kuurusi”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
286
“Harap Hoo…. tootiang berlega hati” tiba-tiba Pui Che giok berseru dengan cemas, “Che-giok
tidak akan melakukan segala tindakan yang menyusahkan keluarga Hoa”
“Kau….” Tiang heng Tookoh tiba-tiba berseru dengan wajah amat serius.
“Che-giok patut mampus!” seru Pui Che-giok lagi dengan takut, “Karena terlampau emosi
sehingga Che-giok melupakan peringatan dari diri totiang”
Tiang heng to koh menghela napas panjang. “Aaaaai…. Perkataan dari pinto memang sedikit
kelewat batas. Padahal kejadian sudah lewat, sekalipun disinggung kembali, rasanya juga tak
akan sampai menimbulkan pergolakan didalam hati”
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya lebih jauh, “Secara tiba-tiba kau terburu nafsu
untuk mendirikan perkumpulanmu, apakah hal ini ada hubungannya dengan keluarga Hoa?”
“Benar! Oh, bukan…. bukan….” Pui Che giok gelagapan sekali menghadapi pertanyaan tersebut.
Melihat jawaban yang saling bertentangan itu, sekali lagi Tiang heng To koh mengerutkan
dahinya. “Jika engkau hendak mengucapkan sesuatu, katakanlah secara terus terang, apa yang
perlu kau takuti lagi?”
Pui Che-giok berusaha keras untuk menenangkan hatinya, kemudian ia baru berkata, “Totiang,
kau tidak tahu, Suma tayhiap suami istri telah dibunuh orang secara keji”
Mendengar kabar tersebut, sekujur badan Tiang heng Tookoh bergetar keras. Rupanya ia merasa
amat terkejut oleh kejadian tersebnt, tapi selang sesaat kemudian ia berhasil menguasai
perasaan hatinya itu. “Kau maksudkan Suma Tiang-cing suami isteri yang disebut orang sebagai
Kiu-mia-kiam-kek itu?”
“Yaa, Suma Tiang-cing tayhiap suami istri itulah yang kumaksudkan” sahut Pui Che-giok seraya
mengangguk, “Mereka berdua mati dirumahnya di kota Lok-yang. Menurut hasil menyelidikan
luka mematikan yang ditemukan ditubuh korban letaknya diatas tenggorokan, tampaknya mati
tergigit oleh binatang buas. Selain itu pembunuh tersebut juga meninggalkan tanda yang
biasanya digunakan totiang dimasa lalu”
Sebelum ucapan itu selesai diutarakan, paras muka Tiang-heng Tookoh sudah berubah bebat, si
nar matanya setajam sembilu. “Kau maksudkan hiolo kecil terbuat dari batu kemala hijau?”
teriaknya tertahan.
Ketika Tiang-heng Tookoh mengucapkan kata-kata tersebut, maka Hoa In-liong yang curi dengar
pembicaraan itupun hampir saja menjerit tertahan.
“Gio-teng hujin? Yaa, dialah perempuan yang bernama Giok-teng hujin itu….”
Padahal sewaktu Pui Che-giok menyebut Tiang heng Tookoh sebagai “nona” tadi, pemuda ini
sudah curiga kesitu. Tapi oleh karena menurut pengertiannya Giok Teng Hujin sudah wafat,
apalagi surat wasiatnya masih berada disakunya, maka ia tak berani mempercayai seratus
persen.
Dan sekarang setelah kenyataan membuktikan bahwa apa yang diduganya itu tidak keliru. Tak
terkendalikan golakan perasaan hatinya, telapak tangan kanannya segera diangkat keatas,
hampir saja ia menerobos masuk kedalam ruangan lewat jendela.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
287
“Liong-ji. Jangan terburu nafsu!” untunglah pada saat itu suara peringatan dari Hoa Ngo kembali
berkumandang, “Dengarlah lebih lanjut apa yang mereka bicarakan!”
Tercekat hati Hoa In-liong. Cepat ia berpaling ke arah mana berasalnya suara peringatan itu.
Betul juga, dibawah jendela yang lain tampak sesosok bayangan manusia sedang manggutmanggut
ke arahnya.
Karena itu, ia segera mengendalikan golakan perasaan dalam hatinya, dengan ilmu
menyampaikan suara bisiknya pula, “Ngo siok, benarkah Tookoh itu adalah Giok-teng hujin yang
kita cari?”
“Jangan banyak bertanya, dengarkan lebih lanjut apa yang mereka bicarakan!”
Sementara itu, suara dari Tiang-heng Tookoh telah berkumandang kembali dari ruangan,
“Hubungan Suma Tayhiap dengan keluarga Hoa dibukit Im-tiong-san bukan hubungan
persahabatan yang umum. Dengan terbunuhnya mereka berdua secara bersama, entah tindakan
apa yang telah dilakukan oleh pihak perkampungan Liok-soat san-ceng?”
Bila didengar dari pembicaraan tersebut, Hoa In-liong tahu bahwa diantara pembicaraan mereka
ada sepotong pembicaraan yang tak sempat terdengar olehnya, tentu saja ia makin tak berani
memecahkan perhatiannya.
Cepat kepalanya ditempelkan kembali diatas jendela, dari situ dia mengintip kembali kedalam
kamar.
Tampaklah Pui Che-giok dengan wajah yang iba sedang berkata, “Oleh karena hiolo kecil kumala
hijau itu, pihak Liok-soat-san-ceng telah mencurigai bahwa otak dari pembunuhan ini adalah
totiang, Dewasa ini putra Pek Kun-gi yang bernama Hoa Yang telah ditugaskan turun kedunia
persilatan untuk menyelidiki peristiwa pembunuhan berdarah itu!”
“Ehmmm…. Ternyata memang begitulah tindakannya! Kenapa Hoa Thian-hong tidak turun
tangan sendiri?” ucap Tiang-heng Tookoh agak dipengaruhi emosi.
Waktu itu, Tiang-heng totiang tidak berusaha untuk menyangkal pembunuhan itu adalah hasi|
perbuatannya, tapi malah bertanya dengan emosi mengapa Hoa Thian-hong tidak turun tangan
sendiri. Mendengar kesemuanya itu, Hoa In-liong merasa makin bingung dan tidak habis
mengerti.
“Sekarang Hoa tayhiap sudah merasakan nikmat dan bahagianya kehidupan manusia didunia.
Siapa tahu kalau ia sudah melupakan sama sekali atas semua kejadian dimasa lampau?”
sambung Pui Che-giok dengan gemas bercampur marah.
Dibalik kegemasan dan kejengkelannya dalam pembicaraan tersebut, terselip pula nada sedih
dan murung yang menggenaskan. Sebagai pemuda yang berjiwa romantis Hoa In-liong dapat
merasakan pula suatu kelainan yang istimewa dibalik kata-katanya itu.
Tak aneh kalau matanya terbelalak semakin lebar, ia makin memperhatikan semua pembicaraan
tersebut.
Sementara itu sepasang mata Tiang-heng Tookoh pun memancarkan sinar yang terang, tapi
hanya sebentar, katanya kemudian, “Aaaai….! Benih cinta dalam hati pinto sukar rasanya untuk
dipadamkan. Setiap saat tanpa kusadari suutu harapan untuk bertemu kembali dengan dirinya
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
288
selalu timbul didalam hati. Padahal usiaku makin lama makin lanjut, kenangan lama tak mungkin
bisa terwujud kembali, daripada berjumpa kembali bukankah lebih baik tak usah bertemu lagi
untuk selamanya….”
“Bagaimanapun juga Che-giok tetap penasaran karena persoalan ini” tukas Pui Che-giok dengan
cepat, “Bayangkan saja betapa besar dan tebalnya perasaan cinta totiang terhadapnya. Bila tiada
bimbingan dan bantuan dari totiang dimasa lampau, mungkinkah Hoa tayhiap bisa memiliki
keberhasilan seperti sekarang ini? Jangan kita bicarakan kalau Suma tayhiap itu adalah angkatan
tuanya, cukup berbicara dari tanda kepercayaan totiang, bertemu dengan bendanya sama seperti
bertemu dengan orangnya sendiri, seharusnya Hoa tayhiap turun tangan sendiri untuk bertemu
dengan lotiang serta menanyakan duduknya persoalan ini sampai menjadi jelas”
“Kau keliru besar Che-giok!” kata Tiang-heng Tookoh seraya gelengkan kepalanya berulang kali,
“Dia adalah seorang anak yang berbakti. Seandainya Lo-tay kun tidak menurunkan perintah,
sekali pun hasratnya untuk membalaskan dendam bagi kematian paman angkatnya amat besar,
tak nanti ia berani turun gunung dengan begitu saja”
“Meski demikian, Lo tay kun bukannya tidak tahu kalau budi dan cinta yang pernah totiang
limpahkan kepada keluarga Hoa setinggi langit” bantah Pui Che-giok lagi, “Terutama dalam
peristiwa ini menyangkut kematian yang menimpa Suma tayhiap suami isteri. Menurut pendapat
Che-giok, sepantasnya kalau Hoa-tayhiap turun gunung sendiri untuk menyelidiki persoalan ini,
terutama setelah bertemu dengan benda milik totiang!”
Kembali Tiang heng Tookoh menghela napas panjang. “Aaai….! selama hidupnya Lo tay kun
selalu disiplin pun bertindak cekatan. Andaikata persoalan ini tidak menyangkut diri Suma tayhiap
dan lagi tidak melihat pula hiolo kecil kumala hijau tersebut mungkin ia akan memerintahkan Hoa
tayhiap untuk turun gunung mencari pinto. Tapi sekarang, persoalan ini menyangkut peristiwa
pembunuhan berdarah. Budi dendam pinto dengan keluarga Hoa pun sukar dibedakan. Tindakan
dia orang tua mengutus cucunya untuk menyelidiki persoalan ini adalah suatu tindakan yang
sangat bijaksana. Kalau tidak begitu, bayangkan saja bagaimana mungkin Hoa tayhiap bisa
mengatasi persoalan yang serba pelik ini?”
Jilid 15
MENDENGAR sampai disitu, Hoa In-liong merasakan hatinya bergolak keras, diam-diam pikirnya,
“Tookoh ini boleh dibilang merupakan sahabat paling akrab dari keluarga Hoa kami. Jika ayah
mempunyai sobat semacam ini, kenapa nenek hanya diam diri belaka tanpa mengurusinya?
Kenapa nenek tidak berusaha untuk menjemputnya pulang kerumah?”
Sebagaimana diketahui pemuda ini adalah seorang pemuda yang romantis, ia tahu “sahabat
karib” macam begini paling sukar ditemukan, hingga tanpa disadari timbullah rasa simpatiknya
terhadap Tiang-heng Tookoh. Ia merasa tidak sepantasnya kalau nenek tidak mengurusi
persoalan itu sebijaksana mungkin.
Dalam pada itu Tiang-heng Tookoh telah berkata lagi setelah menghela napas panjang, “Tentang
persoalan ini lebih baik tak usah kita bicarakan lagi. Tadi bukankah kau bilang kalau putranya Pek
Kun-gi telah ditugaskan terjun ke dalam dunia persilatan untuk menyelidiki peristiwa
pembunuhan itu? Tahukah kau sekarang dia berada dimana?”
“Beberapa hari berselang, dia bersama putranya Kanglam Ji-gi telah berkunjung ke Gi-sim-wan
untuk menyelidiki asal usulnya. Anak itu kabarnya sekarang dia sudah ditangkap oleh kaucu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
289
“Kau maksudkan Kiu-im kaucu?” seru Tiang-heng Tookoh dengan terkejut, “Jadi Kiu-im kaucu
juga sudah datang ke kota Kim-leng?”
Pui Che-giok mengangguk. “Ya, dia sudah ditangkap Kiu-im kaucu. Ketika Che-giok mendengar
kalau ia sudah tertangkap segera kugerakkan semua anak murid kita untuk menyelidiki persoalan
ini sampai jelas. Tapi hingga kini kami masih belum berhasil menemukan tempat tinggal Kiu-im
kaucu”
Tiang-heng Tookoh termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia berkata, “Pintar
juga bocah itu, ia bisa mencari Kiu-im kaucu berarti sudah ia temukan sasaran yang se-benarnya.
PinTo-cukup memahami bagaimanakah watak dari Kiu-im kaucu itu. Dia licik banyak akal dan
kejam, tanpa tujuan tertentu tak mungkin ia muncul kembali didalam dunia persilatan…. Aaaai….
bila bocah ini sampai terjatuh ke tangannya, bukan saja dia tak akan berhasil mendapatkan
sesuatu, mungkin nasibnya lebih banyak buruknya daripada beruntung”
Dugaan tersebut sama sekali bertolak belakang dengan kenyataan. Tapi lantaran ucapan
tersebut diutarakan Tiang heng Tookoh dengan nada kuatir den penuh perhatian, bukan saja
Hoa In-liong tidak merasa geli, sebaliknya malah semakin menambah kesan baiknya terhadap
perempuan itu.
Sementara itu Pui Che-giok sudah berkata lagi, “Menurut hasil penyelidikan yang berhasil Chegiok
lakukan, peristiwa terbunuhnya Suma tayhiap mencakup suatu hubungan persoalan yang
luas sekali. Pembunuhan itu bukan dilakukan oleh pihak Kiu-im kau belaka. Tapi berhubung
tanda yang ditinggalkan pembunuh itu adalah lambang dari totiang, maka orang-orang Liok-soatsan-
ceng beranggapan bahwa totianglah merupakan orang yang paling dicurigai. Menurut
pendapat Che-giok, sudah waktunya bagi totiang untuk membersihkan diri dari segala tuduhan
tersebut, daripada harus menanggung kesalahan orang lain, totiang harus membersihkan nama
totiang dari segala taksiran yang salah!”
“Tak usah dinyatakan lagi, aku percaya engkau semua tak ada hubungannya dengan peristiwa
itu” pikir Hoa In-liong dalam hati.
Waktu itu Tiang-heng Tookoh sudah meaghela nafas lirih. “Aaaai…. Siapa yang bersih dia akan
bersih dengan sendirinya. Siapa kotor dia akan menjadi kotor dengan sendirinya. Sekarang pinto
sudah menjadi seorang paderi, apalah arti nama dan kebersihan bagi diriku? Apalagi pinto sudah
mengirimkan surat wasiatku ke perkampungan Liok-soat- san-ceng. Giok-teng-hujin yang dulu
sudah meninggal dunia banyak tahun berselang, itu berarti hiolo kecil kemala hijau tersebut
sudah tiada hubungannya lagi dengan pinto. Biarkanlah mereka pecahkan sendiri persoalan
tersebut?”
Perasaan Hoa In-liong sangat sensitif. Ketika mendengar sampai disitu, ia merasa darah paras
yang bergolak dalam dadanya tiba-tiba menggelora hampir saja ia menerjang masuk ke dalam
kamar untuk membongkar jejaknya serta menghibur Tookoh tersebut.
Untunglah dihari biasa ia sudah mendapat pendidikan yang berdisiplin ketat, disaat yang gawat
ia masih mampu untuk mengendalikan golakan emosinya, hingga tindakan yang gegabah itu tak
sampai dilaksanakan dengan begitu saja.
Dengan cepat pemuda itu berpikir, “Giok-teng hujin telah merubah namanya menjadi Tiangheng,
itu berarti ia merasa benci yang tak terkirakan dalamnya. Jika tindakan terlalu gegabah
tanpa perhitungan, mungkin malahan akan memancing rasa antipatinya terhadap diriku, bisa jadi
malahan kejadian akan berobah makin kacau. Bagaimanapun juga aku tak boleh bertindak
semaunya sendiri.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
290
Sesudah berpikir sampai disitu, emosinya dapat dipadamkan, dan diapun mendengarkan
pembicaraan tersebut lebih jauh.
Terdengar Pui Che giok menghela napas ringan lalu berkata. “Aaaai…. Tootiang, apa gunanya
engkau selalu menyiksa diri sendiri?”
Tiang-heng tookoh tertawa sedih. “Dan kau sendiri mengapa bersusah hati lantaran aku?” balik
tanyanya. “Kau mengatakan tak akan menyulitkan keluarga Hoa, tapi selalu teringat untuk
mendirikan perkumpulan Cha-li-kau. Dimanakah letak tujuanmu itu? Bukankah perasaanmu tidak
jauh berbeda dengan perasaan pinto sekarang?”
Tiba-tiba paras muka Pui-Che-giok bersemu merah, sambil tundukkan kepadanya dia
membantah, “Che-giok berbuat ini itu hanya berdasarkan perintah dari tootiang belaka. Bila aku
mampu, ingin sekali kuterbitkan hujan badai yang amat dahsyat dalam dunia persilatan. Ingin
kulihat bagaimanakah tindakannya untuk menyelesaikan persoalan itu”
“Yaa, meskipun demikian jalan pemikiranmu, tapi pada hakekatnya kau selalu melindungi kepentingan
orang-orang Liok-soat-san-ceng, bukankah begitu….?” sambung Tiang-heng Tookoh
sambil tertawa geli.
Warna merah yang menghiasi wajah Pui Che-giok makin membara. Tampaknya dia ingin
membantah, tapi tak tahu apa yang harus diucapkan untuk membantah ucapan tersebut.
Tookoh tua yang selama ini hanya membungkam tiba-tiba menghela napas lirih dan menimbrung
dari samping, “Aaaai…. Itulah dosa yang harus diterima oleh umat-ya. Kita sebagai perempuan
satu kali terlibat dalam urusan cinta, maka selamanya tak akan terlupakan lagi. Heng tooyu, aku
kuatir kalau dunia persilatan akan terlibat dalam banyak peristiwa besar lagi”.
“Apakah tooyu mempunyai pendapat lain?” tanya Tiang-heng tookoh sambal berpaling dengan
wajah tercengang.
“Kenyataan telah membuktikan dengan jelas bahwa Suma tayhiap bukan manusia sembarangan.
Sekalipun pinto juga tahu kalau hubungannya dengan pihak Liok-soat-san-ceng akrab sekali dan
sekarang suami istri berdua itu mati bersama dibunuh orang, bukankah peristiwa ini sama artinya
dengan suatu tantangan bertempur bagi keluarga Hoa dibukit Im-tiong-san? Sekarang Kiu-im
kaucu telah muncul kembali dalam dunia persilatan, apalagi menurut pernyataan nona Pui tadi,
tampaknya ada kelompok kekuatan lain yang bersekongkol dengan pihak Kiu-im kau….”
Sebelum tookoh itu menyelesaikan kata-katanya Pui Che-giok telah menyela dari samping,
“Itulah perkumpulan Hian-beng-kauw! Dalam tahun tahun belakangan ini anak murid Hian-beng
kau banyak yang berkeliaran dalam dunia persilatan. Pelbagai kejahatan mereka lakukan dan
kebanyakan orang-orang itu berhati kejam dan berilmu silat tinggi. Menurut hasil pengamatan
Che-giok secara diam-diam, telah kubuktikan bahwa ilmu silat yang dimiliki orang-orang itu
tampaknya berasal dari sumber yang sama. Dari bertindak gelap-gelapan sekarang mereka
sudah bertindak terus terang, malahan kian lama kian terang-terangan dan berani”
“Aaaah….! Siapakah yang menyelenggarakan perkumpulan Hian-beng-kauw itu?” seru Tiangheng
tookoh dengan perasaan terperanjat, hingga paras mukanya berubah.
“Sampai kini ketua dari perkumpulan Hian-beng-kauw belum pernah menampakkan diri didepan
umum tapi dia mempunyai anak buah yang semuanya mempunyai nama marga serta nama
sebutan yang sama yaitu Ciu Hoa. Mereka saring menerbitkan keonaran dimana-mana. Malah,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
291
konon dalam pembunuhan yang menimpa diri Suma tayhiap, salah seorang Ciu Hoa turut terlibat
dalam peristiwa itu”
“Beberapa puluh orang Ciu Hoa? Bukankah itu berarti mereka sengaja memusuhi Thian-hong?”
seru Tiang-heng tookoh dengan penuh golakan emosi
“Memang begitulah keadaannya. Oleh sebab itu Che-giok merasa bahwa too-tiang harus bertemu
dengan Hoa tayhtap atau paling sedikit menerangkan duduknya persoalan tentang hiolo kecil
kumala hijau tersebut”
Agak lama Tiang-heng tookoh termenung sambil berpikir keras akhirnya ia menengadah dan
menggeleng, “Tak perlu, jelas semua kejadian itu merupakan siasat busuk dari Kiu-im kaucu”
katanya “Pinto tahu maksudnya mencuri lambang milik pinto tak lain adalah memancing diri pinto
agar munculkan diri, kemudian dia akan menggunakan hubungan pinto dimasa lalu untuk
berusaha mencelakai Thian-hong sekeluarga. Andaikata pinto sampai berjumpa muka dengan
Thian-hong, justru tindakanku ini sama artinya terjebak dalam perangkap busuknya. Apalagi
pinto sekarang adalah seorang paderi. Aku tak mau terlibat lagi dalam urusan budi dendam
dalam dunia persilatan. Biarlah mereka beradu kekuatan sendiri!”
Pui Che-giok sangat terperanjat sehabis mendengar perkataan itu, serunya dengan cemas,
“Benarkah tootiang tak mau mencampuri urusan
Hoa tayhiap lagi….?”
Tiba-tiba Tiang-heng tookoh menghela napas panjang. “Aaai…. Serat Sutera akan berhenti
mengalir bila ulat suteranya telah mati. Api Hiolo baru padam bila lilin telah meleleh jadi kering!
Che-giok, dirikanlah Cha-li-kau mu dan bantulah dia. Perasaan pinto sudah hambar dan tenagaku
sudah musnah. Aku tidak berkemampuan apa-apa lagi sekarang”
“Tentang soal ini….” Pui Che-giok jadi gelagapan dan tergagap dibuatnya.
“Pergilah dari sini!” tukas Tiang-heng tookoh lebih jauh sambil ulapkan tangannya “Anggaplah
dimasa lampau pinto sudah bertindak teledor, sehingga tidak kuketahui kalau engkaupun
menanam bibit cinta terhadap Thian-hong dan sekarang setelah kupahami, sayang aku tidak
berkemampuan spa apa lagi. Apa yang bisa pinto lakukan sekarang hanyalah membeli nasehat
padamu, Cintailah siapa yang kau cintai, walaupun belum tentu akan peroleh hasil yang
diharapkan. Maafkanlah kegagahan dan keberanianmu sebagai seorang pendekar dimasa
lampau, bangunlah suatu kejayaan dan kesuksesan oengan kemampuan yang kau miliki”
Sampai disitu, Hoa In-liong tak dapat membendung air matanya lagi. Ia bersandar ditepi jendela
dengan air mata bercucuran, hampir saja kesadarannya punah.
Selang sesaat kemudian, Hoa Ngo menyusup ke sampingnya, lalu berbisik dengan ilmu
menyampaikan suara, “Liong-ji, ayah kita pergi!”
Dengan terkejut Hoa In-liong sadar kembali dari lamunannya, ia merasa suasana dihadapannya
telah berubah jadi gelap gulita. Lampu dalam ruangan telah dipadamkan, sedang Pui Che-giok
dan muridnya entah sedari kapan telah mengundurkan diri dari situ.
Perasaannya waktu itu adalah suatu perasaan yang kosong, murung dan penuh kesedihan.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun ia mengikuti di belakang Hoa Ngo meninggalkan tookoan
tersebut dan berlarian menuju ke arah bukit.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
292
Diatas bukit terdapat sebuah gardu peneduh air hujan yang dibuat dari anyaman jerami. Dalam
gardu itulah Hoa Ngo menghentikan gerakan tubuhnya.
Setelah suasana hening untuk sesaat, ia berpaling dan memandang sekejap ke arah Hoa Inliong,
lalu bertanya, “Anak Liong, bagaimanakah perasaanmu pada saat ini?”
“Aaaai….!” Hoa In-liong menghela napas panjang, “Sungguh tak kusangka kalau Giok-teng hujin
sebenarnya adalah manusia macam begitu….”
Hoa Ngo manggut-manggut. “Duduklah. Ngo-siok hendak bercakap-cakap dengan dirimu!”
Hoa In-Iiong duduk dibangku panjang, lalu bertanya, “Ngo-siok, banyakkah yang kau ketahui
tentang masa lampau Giok-teng hujin?”
“Walaupun banyak yang ngo-siok ketahui, tapi kenyataan yang sesungguhnya tidaklah begitu
jelas. Tapi setelah berjumpa dengan orangnya sendiri barusan, apalagi sesudah mendengarkan
pembicaraan mereka, ngo-siok baru merasa bahwa cara berpikirku dimasa lampau sedikit picik
dan berjiwa sempit”
“Ooh…. Jadi tempo dulu kaupun belum pernah bertemu muka dengan Giok Teng Hujin?” tanya
Hoa In-liong dengan alis mata berkenyit.
“Yaa, sampai sekarang baru kali ini kutemui diri Giok-teng hujin yang sebenarnya. Dahulu, kesan
burukku terhadap Giok-teng hujin boleh dibilang sangat mendalam. Bila aku tahu kalau dia
sebetulnya adalah manusia macam begini, tak nanti kuperintahkan dirimu untuk mengejar
jejaknya sampai disini”
“Apa yang sebenarnya terjadi? Tampaknya dia selalu bersikap baik terhadap ayah!”
Hoa Ngo menghela napas panjang. “Justru lantaran dia menaruh perasaan cinta yang mendalam
tarhadap ayahmu, maka Ngo-siok baru menaruh pandangan yang sempit terhadap karakternya.
Aku selalu merasa bahwa pelimpahan rasa cinta harus dipusatkan pada satu titik. Setelah
ayahmu berhubungan deogan kedua orang lbumu, tidaklah pantas baginya untuk berhubungan
dengan perempuan-perempuan lain”
Rupanya Hoa In-liong tidak setuju dengan pandangan semacam itu, cepat bantahnya, “Aaaaai….
Aku rasa hal ini tergantung pada perempuan macam apakah yang dihubungi. Kalau perempuan
itu macam Giok-teng hujin….”
“Haa…. haaa…. haa…. Begitu ayah, begitulah anaknya. Dalam soal ini engkau banyak
kemiripannya dengan ayahmu. Cuma bedanya, kalau ayahmu sedikit membatasi diri, maka kau
menganggap setiap perempuan cantik yang ada di dunia ini kalau bisa jadi pacarmu semua,
bukan begitu anak Liong?”
Merah padam selembar wajah Hoa In-liong karena jengah, sahutnya tersipu-sipu, “Baik laki-laki
maupun perempuan semuanya kan manusia. Terhadap kaum laki-laki aku juga bersikap sama
baiknya!”
Hoa-ngo tertawa. “Berbicara tentang soal ini, Ngo-siok hendak memperingatkan dirimu dengan
suugguh-sungguh. Ketahuilah antara laki-laki dan perempuan itu ada batasnya. Banyak teman
laki-laki itu baik dan menguntungkan tapi teman perempuan yang akrab lebih baik satu-dua
orang saja sudah cukup. Bila engkau tak dapat membatasi diri sendiri, sampai waktunya untuk
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
293
kawin nanti, orang lainlah yang akan kau buat menderita karena urusan cinta. Kejadian ini
sangat merusak nama baikmu dan ngo-siok paling tidak setuju”
“Tak usah kuatir ngo-siok. Aku masih dapat membatasi diri dengan otak yang sadar” Jawab Hoa
In-liong sambil mengerutkan dahi.
“Mau dirubah atau tidak terserah kepadamu sendiri. Bila kau suka bermain perempuan disanasini,
suatu ketika Ngo-siok tentu akan menghajar dirimu habis-habisan. Engkau harus
menggunakan kejadian yang menimpa Giok-teng hujin sebagai suatu contoh, agar tindakanmu
selanjutnya tidak ceroboh”’
“Sudah tahu…. Ngo-siok, Aku sudah tahu! Apa hanya persoalan ini yang hendak kau bicirakan
denganku?” Hoa In-liong mulai tak sabaran dan membantah.
“Tentu saja ada persoalan lain yang hendak ku bicarakan denganmu!”
“Kalau begitu, bicarakan saja persoalan yang sesungguhnya, tak utah kuatir, pesanmu tak akan
kulupakan untuk selamanya”
Waktu kecil Koa Ngo tidak binal dan licik, tapi sekarang setelah bertemu Hoa In-liong yang lebih
binal, ia betul-betul mati kutunya, sama sekali tak mampu berbuat apa-apa.
Maka setelah tertegun beberapa saat lamanya ia pun menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Baiklah! Kita bicarakan masalah yang serius saja. Apakah surat wasiat dari Giok-teng hujin
masih berada disakumu?”
“Eeeh….Ngo-siok. Kenapa secara tiba tiba kau singgung soal surat tersebut?”
“Sini, serahkan kepadaku!” perintah Hoa-Ngo sambil rentangkan tangan kanannya.
“Aneh, kenapa harus diberikan kepadamu?” tanya Hoa In-liong dengan wajah tercengang,
“Waktu nenek serahkan surat itu padaku, beliau telah berpesan kecuali dikembalikan langsung
kepada Giok-teng hujin pribadi, bilamana perlu surat itu harus dimusnahkan. Siapapun tak boleh
melihatnya, tentu saja termasuk Ngo siok sendiri!”
“Yaa, soal itu aku tahu” sahut Hoa Ngo sambil manggut-manggut, “Tapi neneklah yang
memerintahkan kepadaku untuk minta kembali surat wasiat tersebut”
“Oooh…. Jadi Ngo-siok sudah pulang ke gunung?” tanya anak muda itu sedikit curiga.
“Aku datang dari rumah!”
“Apa yang dikatakan nenek?”
“Nenek rupanya sudah tahu kalau Giok-teng hujin belum meninggal dunia. Beliau kuatir surat itu
bisa hilang kalau kau bawa terus kesana kemari, andaikata sampai ditemukan orang, waah….
kalau itu orang lain pasti akan menggunakan surat tersebut untuk memeras kita dan kejadian
macam begitu bisa jadi akan merusak nama baik ayahmu”.
Tiba tiba ia merasa tidak semestinya membicarakan persoalan semacam itu dengan Hoa In Liong
mendadak sontak ia menghentikan pembicaraannya, lalu dengan wajah berubah hebat
bentaknya lagi , “Cepat berikan padaku. Nenek suruh aku membawa surat itu pulang kegunung”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
294
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, ia termenung sejenak kemudian baru gelengkan
kepalanya berulang kali. “Tidak bisa, Liong-ji tak dapat menyerahkan surat wasiat itu kepada
ngo-siok!”
“Kenapa?” teriak Hoa-Ngo dengan mata melotot, rupanya jawaban tersebut sama sekali diluar
dugaannya “Memangnya kau tidak percaya lagi dengan Ngo-siok mu?”
“Bukannya liong-ji tidak percaya dengan Ngo-siok tapi lantaran Liong ji menemui kesulitan untuk
melakukannya!”
“Kesulitan? Kesulitan apa yang kau jumpai?” Hoa Ngo bertanya dengan wajah keheranan.
“Pertama, surat itu sudah dijahit didalam kaos kutang pelindung badan, sukar rasanya untuk
mengambilnya keluar. Kedua, nenek sudah berpesan kepada Liong-ji, siapapun juga dilarang
melihat isi surat wasiat itu, maka Liong-ji pikir biarkanlah surat itu berada ditempatnya semula
sampai nanti kuserahkan kembali dihadapan nenek”
Hoa Ngo jadi tertegun, tapi sejenak kemudian sudah tertawa tergelak. “Haa…. haa…. haa…. Tak
kunyana kalau kau begitu keras kepala! Bagaimana seandainya surat itu sampai hilang?”
“Tak mungkin hilang! Surat itu dijahit dalam kutang pelindung badan, dan kaos pelindung ba-dan
itu kukenakan terus kemanapun kupergi. Bayangkan saja bagaimana mungkin bisa hilang?
Andaikata sampai hilang, biar Liong-ji tanggung segala hubungannya dihadapan nenek!”
Mungkin lantaran terlalu sayang dengan keponakannya yang satu ini, setelah pikir punya pikir
Hoa-Ngo merasa cengli juga alasan tersebut, maka ia pun tertawa. “Yaa sudah, terserah padamu
sendiri. Tapi waktu aku tiba di kota Kim-leng beberapa hari yang-lalu, aku dengar kau sudah
ditangkap oleh Kiu-im kaucu. Bila kejadian macam begini berlangsung satu-dua kali lagi, jangan
toh baru sehelai kaos kutang pelindung badan, mungkin kulit badanpun bisa disayat satu lapis.
Lain kali kau musti lebih berhati-hati lagi!”
Merah padam selembar wajah Hoa In-liong karana jengah, jawabnya dengan tersipu-sipu, “Tak
mungkin ada kedua kalinya, tak usah kuatir paman Ngo-siok!”
“Tak usah kita bicarakan persoalan itu lagi! Kisahkan saja semua pengalamanmu sejak kau
tinggalkan gunung!”
Hoa In-liong berpikir sebentar untuk mengumpulkan kembali pengalamannya. Lalu diapun
bercerita bagaimana sampai di kota Lok-yang. Bagaimana melakukan perjalanan Ke selatan,
berkenalan dengan Kim-leng ngo-kongcu. Bagaimana berpesiar dengan Coa Cong-gi, bertemu
dengan Kiu-im kaucu dibukit Ciong-san. Bagaimana dipecundangi Kiu-im kaucu, digantung
terbalik oleh Bwee Su-yok dibatang pohon. Bagaimana bertemu dengan tokoh sakti, mendapat
pelajaran Bu-sang-sim-hoat aliran darah terbalik, lalu melepaskan diri dan belenggu Bwee Suyok,
kembali ke kota Kim-leng dan sebagainya…. dan sebagainya.
Dlbalik kisah pengalaman tersebut, ada kejadian aneh, ada kejadian yang berbahaya dan
mendebarkan hati, ada pula kejadian yang boleh dibilang melanggar adat kesopanan dan tata
cara, tapi bagi pandangan Hoa Ngo, tingkah laku serta perbuatan keponakannya ini masih belum
merusak nama baik keluarganya. Dapat menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya juga
termasuk suatu perbuatan yang sukar.
Pokoknya sembari mendengarkan penuturan tersebut, dia manggut-manggut tiada hentinya,
kemudian pujinya. “Ehmm….! Besar amat keberanianmu, tingkah lakumu juga terlampau
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
295
gegabah. Untung saja tak sampai mengakibatkan keadaan yang lebih gawat. Tapi, menurut
pandangan Ngo-siok, ada kemungkinan Bwee Su-yok si tiancu dari ruang Yu-beng-tiam bakal
mendatangkan banyak kesulitan bagimu dilain waktu”
“Kesulitan apa yang bisa ia berikan padaku?” Hoa In-liong tak mau mengakui, malahan
kepalanya semakin didongakkan, “Kan Liong-ji tak ada hubungan apa-apa dengan dirinya. Jika ia
pintar lebih baik tioggalkan Kiu-im kau secepat mungkin. Bila tidak, seperti juga yang lain-lain
akan Liong-ji sikat juga dirinya”
“Aaaah…. Kalau cuma ngomong memang gampang, tapi untuk melaksanakannya belum tentu
segampang apa yang kau ucapkan sekarang!”
Hoa Ngo berbenti sebentar, lalu mengalihkan pembicaraan ke soal lain, katinya lebih jauh dengan
wajah serius, “Liong-ji, soal melacaki jejak pembunuh keji itu boleh kita akhiri dulu sampai
disini!”
“Kenapa?” tanya Hoa In-liong kurang paham, “Masa kita tak akan mencampuri lagi dendam
berdarah dari Suma siok-ya?”
“Bukannya kita tak mau mencampuri lagi, tapi ditunda untuk sementara waktu. Hingga kini,
boleh dibilang jejak pembunuh pembunuh keji itu sudah ketahuan identitasnya. Mengenai
pelaksanaan pembalasan dendam itu sepantasnya kalau kau serahkan kembali kepada Jin kokohmu
untuk melakukannya sendiri”
“Maksud Ngo-siok, Liong-ji harus pulang gunung?” bisik Hoa In-liong dengan perasaan berat hati.
“Oooh, kau sih tak usah pulang gunung. Apa yang kita saksikan malam ini, serta semua
pengalaman yang kau alami selama ini biar Ngo-siok yang laporkan kepada nenek. Sedang kau
boleh melanjutkan kelanamu dalam dunia persilatan. Cuma harus kau pertingkat pula
perjuanganmu untuk melenyapkan kaum durjana dari muka bumi serta menegakkan keadilan
serta kebenaran dalam dunia persilatan kita!”
Tak terkirakan rasa gembira Hoa ln-liong setelah Ngo-sioknya memutuskan dia tak usah pulang
kegunung. Sambil meloncat kegirangan serunya setengah bersorak, “Horeeee….! Bagus sekali,
aku tak usah pulang kegunung!”
Tiba-tiba patas muka Hoa-Ngo terubah jadi serius, tukasnya, “Dengarkan dulu perkataanku lebih
jauh. Ketahuilah tugasmu selanjutnya bukan bertambah enteng tapi justru sebaliknya. Tugas
yang akan dibebankan kepadamu berlipat-lipat lebih berat dari sekarang, karenanya tak boleh
sekali-kali kau buang sikap waspada dan seriusmu dalam menghadapi pelbagai situasi. Tugas
berat ini, akulah yang mintakan bagimu dihadapan nenek jika kau lakukan. Jika kau lakukan
tugas ini secara gegabah, merusak nama baik Ngo-siok sih urusan kecil, tapi nama baik keluarga
Hoa kita akan tenggelam untuk selamanya, inilah pertaruhan untukmu!”
“Oooh….! Seserius itukah persoalannya?” Seru Hoa In-liong sangat terkejut.
“Bukan serius saja, bahkan bencana yang mengancam diri kita semua kian hari kian bertambah
dekat dan makin lama semakin berat!”
“Apakah Ngo-siok dapat menyinggung satu dua diantaranya sebagai contoh….” pinta Hoa Inliong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar