Jilid 11
SEPANJANG pembicaraan itu berlangsung, Hoa In-liong dengan pandangan matanya yang tak
berkedip selalu mengawasi setiap gerakan dan tingkah laku Kiu-im-kaucu, mendengarkan pula
setiap perkataan yang diucapkan olehnya.
Dari hasil pengamatannya itu, kesan pertama yang melintas dalam benaknya adalah Kiu-imkaucu
seorang perempuan itu berotak brilian dan betul-betul seorang musuh yang sukar
ditandingi.
Sekalipun Kiu-im-kaucu memuja ayahnya setinggi langit dan menunjukkan sikap hormatnya,
akan tetapi Hoa In-liong juga bukan seorang pemuda yang bodoh, makin melangit pujian
perempuan itu makin tinggi kewaspadaannya terhadap orang tersebut.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” demikian ia terpikir dalam hatinya, “Jelek-jelek Huan-tong
adalah seorang tongcu perkumpulan Kim-im-kau. Lagipula diapun kedudukannya sebagai
seorang tamu kehormatan, tidak sepantasnya kalau Kiu-im-kaucu mengucapkan kata-kata “Masih
banyak mengandalkan dirimu dalam persoalan” dan sebangsanya dihadapan orang lain.
Sebenarnya apa yang dia butuhkan?”
Sementara pikiran masih melayang kesana kemari memikirkan psrsoalan itu, dengan suara
lantang Kiu-im-kaucu telah berseru kembali, “Hoa siau hiap, harap engkau datanglah sebentar
kemari!”
Pada saat kebengisan dan keseraman yang menghiasi wajah Kiu-im-kaucu sudah lenyap tak
membekas, sebagai gantinya senyum manis penuh menghiasi ujung bibirnya, caranya
berbicarapun halas dan penuh keramah-tamahan.
Agak tertegun Hoa In-liong menghadapi keadaan seperti itu, bibirnya bergerak separti hendak
mengucapkan sesuatu, namun maksud tersebut akhirnya diurungkan, sesaat lamanya dia
bingung dan marasa kehilangan pegangan.
“Kami tak mau kesitu!” tiba-tiba terdengar Coa Cong-gi menyahut dengan suara nyaring.
“Tapi aku
Untuk sesaat Coa Cong-gi tertegun, kemudian sahutnya, “Tapi….. tapi….itu toh sama saja,
kenapa kami harus menuruti perkataanmu?”
“Aaaah! Kamu ini benar-benar seorang manusia yang tak tahu aturan” damprat Kiu-im-kaucu
sambil tertawa “Jelek-jelek aku
dibicarakan, masa orang tua yang musti menghampiri yang muda? Itu
sopan santun?”
Betul juga perkataan itu! Yang lebih muda sepantasnya menghormati orang yang lebih tua dan
sewajarnya pula kalau yang lebih muda yang menghampiri orang yang lebih tua, bukan orang
yang tua menghampiri orang muda, karena memang begitulah menurut tata kesopanan dan adat
seorang manusia yang benar.
Coa Cong-gi jadi terbelalak dan gelagapan setengah mati, dia tertegun dan tak tahu apa yang
musti dilakukan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
209
“Masuk diakal juga perkataannya itu” akhirnya Hoa In-liong berbisik dengan lirih “Mari kita kesitu!”
Selangkah demi selangkah dia maju kemuka dengan langkah lebar.
Dalam keadaan begini. Coa Cong-gi sudah kehilangan pegangan. Dengan perasaan apa boleh
buat terpaksa dia mengikuti juga di belakang rekannya dan menghampiri nenek itu.
“Hoa-Kongcu, kau harus berhati-hati!” mendadak si nona berbaju hitam itu berteriak dengan
gugup, “Perempuan itu berhati palsu dan menyembunyikan goloknya dibalik senyuman, sudah
pasti dia menaruh maksud-maksud jahat terhadap dirimu”.
Mendengar seruan tadi, Kiu-im-kaucu sontak tertawa terbahak-bahak. “Haa….. haa…..
haa………Nona cilik, agaknya kau sangat memperhatikan keadaan Hoa Siau-hiap yaa? Janganjangan
ada main…..” godanya.
Merah padam selembar wajah nona baju hitam itu karena jengah. “Aku………aku…..”gumamnya
tergagap.
“Jangan memperdulikan obrolan perempuan itu!” tukas Si Nio perempuan jelek itu dengan ketus.
Kita tidak akan menguatirkan keadaan siapapun juga”
Kiu im kaucu tertawa terbahak-bahak. Dia seperti akan mengucapkan sesuatu lagi, tapi sebelum
sepatah dua patah kata sampat diucapkan, Hoa In-liong telah tiba dihadapan mukanya.
“Hoa In-liong menjumpai kaucu!” demikian ia berseru sambil memberi hormat, “Bila kaucu
hendak menyampaikan sesuatu silahkan saja diutarakan secara blak-blakan. Ketahuilah kedua
orang perempuan itu adalah orang yang berada diluar garis batas-batas persoalan ini. Jadi sama
sekali tak ada sangkut pautnya dengan persoalan ini. Bila kaucu masih juga bersilat lidah terus
dengannya, maka hal ini mungkin akan merusak martabat serta nama baik kaucu!”
Setelah mendengar kata-kata yang tegas itu, Kiu im kaucu baru menarik kembali gelak
tertawanya. Dengan wajah serius dia amati wajah si anak muda itu, kemudian sambil tertawa
pujinya, “Ehmmm….! Kau memang gagah bocah muda, tampaknya kegagahan dan keberanian
ayahmu telah diwariskan semua kepadamu!”
“Aku tahu bahwa usiaku masih muda” kata Hoa In-liong dengan muka bersungguh-sungguh,
“Sekalipun demikian, aku tidak berani berbuat semena-mena dengan gegabah!”
“Ehmmm, kau memang seorang bocah yang bersemangat!” puji Kiu-im-kaucu lagi sambil
mengangguk, “Apakah engkau adalah loji dari keluarga Hoa? Putra Hoa Thian-hong yang
dilahirkan Pek Kun-gi?”
Mendengar nama ibunya langsung disinggung, Hoa In-liong segera menunjukkan wajah tak
senang hati, sepasang alis matanya berkenyit. “Aku tahu kaucu datang kemari karena ada
maksud dan tujuan tertentu” katanya, “Aku sendiri rasanya juga tak ada kepentingan untuk
mengelabui dirimu. Tapi aku harap dihadapan putra seseorang, lebih baik janganlah kau sebut
nama ayah ibuku secara langsung, karena tindakan semacam itu hanya akan merosotkan
kedudukan dan gengsi kaucu didepan mataku!”
Kiu-im-kaucu tergelak gelak karena kegelian. “Haaa….. haaa….. haaa….. Anak muda, kau ini
memang lucu amat” katanya, “Kalau kutinjau dari usiamu, sudah jelas engkau adalah seorang
pemuda. Sebagai seorang pemuda sudah sewajarnya kalau bersikap supel, terbuka dan riang
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
210
gembira. Kalau caramu bersikap dengan orang selalu sok-sokan macam begitu, tanggung orang
akan merasa jemu menyaksikan tingkah lakumu itu”
“Aku sama sekali tidak bermaksud untuk membaiki atau mencari muka terhadap kaucu” tukas
anak muda itu ketus.
“Oooh….. tentu saja! Tentu saja! Aku juga tahu bahwa hal ini tak mungkin akan terjadi pada
dirimu, sebab pada hakekatnya aku adalah musuh bebuyutan dari keluarga Hoa kalian!”
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya lagi, “Walaupun demikian, ada satu hal yang ingin
juga kuberitahukan kepadamu. Tahukah engkau bahwa aku sangat senang dan cocok sekali
dengan watak ibumu? Tempo dulu aku ada hasrat untuk menerimanya sebagai muridku dan
mewarisi semua ilmu silatku. Sayang oleh karena ibumu begitu tergila-gila kepada…..”
Kata selanjutnya tentulah, “kepada ayahmu” dan sebagainya dan sebagainya….. tapi lantaran
ucapan “tergila-gila” itu sudah cukup menyakitkan hati Hoa In-liong, maka dengan tak sabaran
lagi dia lantas menukas ditengah jalan, “Sudah, kau tak usah banyak bicara lagi. Urusan yang
sudah lewat biarkan saja lewat, kenapa musti kau ungkap-ungkap lagi dalam keadaan semacam
ini? Kalau ada urusan penting, lebih baik bicarakan saja urusan pentingmu!”
Kiu im kau tersenyum. “Baiklah” katanya kemudian, “Baik-baikkah nenekmu selama ini? Apa
kabar dengannya?”
“Terima kasih atas perhatianmu, beliau dalam keadaan sehat wal’afiat,” jawab Hoa In-liong ketus
dan singkat”.
Tampaknya dia mulai muak terhadap musuhnya itu.
“Bagaimana pula dengan ayah ibunya?” kembali Kiu-im-kaucu bertanya.
“Sehat semua!”
Tiba-tiba pemuda itu merasakan gelagat kurang betul. Semestinya Kiu-im-kaucu akan
membicarakan soal-soal yang penting, tapi mengapa dia hanya menanyakan tentang kesehatan
anggota keluarga Hoa? Bukankah hal ini terasa janggal sekali?
Karena curiga, tanpa terasa kewaspadaannya timbul kembali, sikapnya jadi lebih berhati-hati.
Sementara sepasang matanya mengamati raut wajah Kiu-im-kaucu tanpa berkedip.
Kiu-im-kaucu tertawa hambar. “Sejak keluarga Hoa kalian hidup mengasingkan diri di
perkampungan Liok-soat-san-ceng, tampak-tampaknya semua anggota keluarga jarang sekali
melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan. Sebenarnya sudah beberapa kali aku
berhasrat untuk berkunjung ke perkampungan kalian sekalian menengok ibumu. Tapi setiap kali
rencanaku itu selalu kubatalkan karena aku tak berani bertindak secara gegabah, aaaai…….!
Tampaknya kami memang tak berjodoh, terpaksa niatku tersebut harus dipadamkan sampai
disini saja”
Hoa In-liong berkerut kening, pikirnya dalam hati, “Kaucu ini sejak awal sampai akhir selalu
berkeluh kesah, berbicara bolak-balik yang dipersoalkan juga masalah-masalah yang sama sekali
tak ada sangkut pautnya dengan masalah pokok. Apa gerangan yang sebenarnya ia rencanakan?
Atau mungkin ia memang mempunyai rencana atau siasat-siasat tertentu?. Hmmm! Kau ada
kesabaran untuk itu, sayang kesabaranku dalam soal tersebut terbatas sekali, tak sudi aku
bersilat lidah terus menerus dengan kau”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
211
Karena berpikir demikian, maka dia lantas menengadah lalu tegurnya, “Kaucu, tolong tanya
apakah engkau kenal dengan seorang jago persilatan yang bernama Kiu-mia kiam kek (jago
pedang bernyawa rangkap sembilan)?”
“Tentu saja kenal! Eeeh…. bukankah orang itu telah meninggal dunia……?” perempuan itu balik
bertanya.
Diam-diam Hoa In-liong menggigit bibir menahan rasa gemas dan mendongkolnya, dia
mengangguk. “Yaa benar, dia orang tua memang sudah meninggalkan dunia. Siok-cou-bo ku
juga ikut menghembuskan napas penghabisan. Konon Siok-cou bo ku itu adalah Yu beng tiancu
(tiaocu istana neraka) dari perkumpulan kaucu dimasa lalu, apakah berita itu juga benar?”
“Betul!” Kiu-im-kaucu mengakui secara berterus terang, “Karena dia cinta kepada Suma Tiangcing
maka perempuan itu sudah berkhianat kepada perkumpulannya dan kabur dengan Sumasiok-
ya mu itu. Mereka menetap di kota Lok-yang setelah kawin. Yaaa……… Selama duapuluh
tahun terakhir, peristiwa itu merupakan dua peristiwa yang paling menyakitkan hatiku. Engkau
ingin tahu peristiwa lain yang selalu membuat aku jadi dendam? Itulah peristiwa kaburnya Giok
Teng hujin Ku Ing-ing lantaran dia juga jatuh cinta kepada ayahmu!”
Sebenarnya Hoa In-liong ingin sekali mengetahui persoalan yang menyangkut diri Giok Teng
hujin, akan tetapi kondisinya saat ini tidak memungkinkan dirinya untuk berbuat demikian.
Karena untuk membawa pembicaraan ke pokok pembicaraan yang sebenarnya dia sudah harus
bersusah payah lebih dahulu, tentu saja setelah persoalan kembali ke poros yang
dikehendakinya, ia tak ingin bahan pembicaraan tadi nyeleweng lagi ke masalah lain.
Karena itu setelah berhenti sebentar, dengan dingin ujarnya lagi, “Menurut kabar berita yang
tersiar dalam dunia persilatan, semua orang menanggap bahwa Suma siok-ya ku suami istri mati
terbunuh atas perintah dari kaucu, bagaimanakah penjelasan kaucu tentang kabar berita itu?”
“Ooooh… ….Jadi orang persilatan menyiarkan begitu?” kata Kiu-im-kaucu tetap tenang “Sebenarnya
kabar itu memang tak ada salahnya! Sebab bagaimanapun juga Kwa Gi-hun (maksudnya Yubeng
tiancu atau istri dari Suma Tiang-cing) adalah pengkhianat dari perkumpulan kami. Bila
kuu-tus orang untuk membereskan jiwanya, itu juga pantas. Toh bagaimanapun juga aku cuma
menin-dak anak buahku sendiri menurut peraturan perkumpulanku, apa salahnya dengan
peristiwa itu?”
Mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian dengan suara nyaring bentaknya,
“Hmmm! Itukah alasanmu dalam melakukan pembunuhan keji tersebut? Aku ingin bertanya
kepadamu, apakah Kiu-mia-kiam-kek juga merupakan anak buah perkumpulanmu?”
Kiu-im-kaucu tetap tenang dia tersenyum malah, “Kiu-mia-kiam-kek berani membawa lari anak
gadis orang sehingga mengakibatkan perkumpulan kami kehilangan seorang tiancu yang
mengakibatkan kekuatan perkumpulan kami merosot sekali. Maka jika kucari biang keladinya.
Dalam kegagalanku, orang itulah biang keladinya. Andaikata di dunia ini tiada Kiu-ma-kiam-kek,
tentu saja Kwa Gi-taun tak akan berhianat dan kawin lari dengannya. Andaikata dia tidak kawin
lari maka kekuatan dari perkumpulan kami pun tak akan mengalami kemerosotan hebat. Coba
bayangkan sendiri tidak pantaskah kulenyapkan biang keladi dari peristiwa itu?”
Hoa In-liong benar-benar amat gusar, hawa amarah yang berkecamuk dalam tubuhnya serasa
menyesakkan napas, dia menghembuskan napas panjang-panjang, maksudnya untuk sedikit
mengurangi tekanan dalam dadanya, setelah itu dengan suara nyaring kembali bentaknya,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
212
“Membuat-buat alasan untuk menjatuhi hukuman kepada orang yang tak bersalah, itulah yang
bisa dilakukan manusia-manusia macam kau, Hm! Nyonya Yu itukah pembunuhnya?”
“Yang diartikan pembunuh tak lebih hanya pesuruh dalam melaksanakan perintah, buat apa kau
tanyakan tentang dia?” tiba-tiba gadis cantik jelita bak bidadari dari kahyangan itu menyela
sambil mendengus dingin. Dengusan itu benar-benar dingin, sedingin salju dari kutub utara.
Gadis itu cantiknya memang cantik, tapi dinginnya cukup membuat badan orang jadi menggigil.
Sejak tiba disana dia cuma berdiri kaku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bukan saja tidak
berbicara, senyumpun tak pernah. Tapi setelah tiba-tiba saja berbicara, suasana lebih dingin dari
salju di kutub. Kendatipun nadanya merdu seperti keliningan, akan tetapi kedengaran dalam
telinga orang seperti desingan angin dingin yang merasuk sampai ke dalam tulang.
Kejut dan heran Hoa In-liong menghadapi manusia sedingin itu. Cepat sinar matanya dialihkan
keatas wajah nona tadi. Bagaimanapun juga ia tak percaya kalau kata-kata yang sangat dingin
tadi diucapkan oleh nona secantik bidadari itu.
Setelah termenung beberapa saat, tiba-tiba ia bertanya, “Tolong tanya, siapakah nona?”
“Tiancu istana neraka Bwee Su-yok!” Jawab gadis cantik itu dengan nada tetap dingin.
Mendengar nama itu, Hoa In-liong makin terkejut. “Ooooh…… Jadi perempuan ini adalah Tiancu
istana neraka dari perkumpuan Kiu-im-kau?” pikirnya.
Perlu diketahui, susunan organisasi dalam perkumpulan Kiu-im-kau dimasa lalu terdiri dari sang
kaucu sebagai pucuk pimpinan dengan dua istana dan tiga ruangan besar sebagai pembantupembantunya.
Kedua istana yang dimaksudkan adalah istana neraka dan istana penyiksaan. Sedangkan tiga
ruangan terdiri dari ruang propaganda, ruang penerimaan anggota serta ruang kesejahteraan
anggota.
Para tiancu dan tongcu yang mengepalai kedua istana dan ketiga ruangan besar itu merupakan
panglima-panglima tertinggi dalam perkumpulan Kiu-im-kau dengan kedudukan langsung
dibawah Kekuasaan kaucu. Tapi kalau dibicarakan dari tingginya kedudukan serta lihaynya ilmu
silat, maka tak bisa diragukan lagi Tiancu istana nerakalah yang terhitung manusia nomor satu
dibawah kedudukan kaucu.
Hoa In-liong adalah loji dari keluarga Hoa di perkampungan Liok-soat-san-ceng dalam bilangan
bukit In-tiong-san, tentu saja sedikit banyak dia mengetahui juga tentang persoalan-persoalan
itu. Padahal nona yang berada dihadapannya sekarang baru berusia enam-tujuh belasan, tapi
mengakunya sebagai Tian-cu istana neraka dari Kiu-im-kau tak heran kalau anak muda itu
merasa amat terperanjat.
Kejut dan heran jadi satu kejadian, watak romantisnya juga merupakan kejadian yang lain.
Hakekatnya kecantikan wajah Tiancu istana neraka Bwee Su-yok memang tak terkirakan. Tak
heran kalau Hoa In-liong jadi termangu-mangu dibuatnya. Untuk sesaat dia jadi melamun,
benaknya terasa kosong dan penuh diisi oleh lamunan yang beraneka macam. Timbul pikiran
dalam benaknya untuk memeluk pinggangnya yang ramping itu dan mencium bibirnya yang
mungil.
Tiba-tiba terdengar Kiu-im-kaucu tertawa. “Hoa siau-hiap!” dia menegur “Coba pandanglah
tiancu istana nerakaku ini, cantikkah dia?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
213
Terkesima Hoa In-lioag memandang kecantikan nona itu, ia buat setengah sadar setengah tidak
oleh keadaan tadi, maka ketika mendengar pertanyaan itu, dengan cepat pemuda itu
mengangguk. “Cantik…..! Cantik….! Cantik….!” Pujinya berulang kali dengan nyaring.
“Cantik kentutnya!” teriak Coa Cong-gi pula dari samping “Huuuh, tampang semacam monyet
juga dikatakan cantik, bah! Jadi pelayan yang tukang bersih tong berisi kotoran manusiapun,
belum tentu adikku mau menerimanya”
“Itu yang dinamakan cantiknya cantik bau busuk!” Nona baju hitam yang berada di kejauhan
segera menimpali, “Hmm….. Sudah tahu kalau ilmu silatnya tak dapat menandingi keluarga Hoa,
maka diaturnya siasat Bi jin-ki (siasat wanita cantik) untuk menjebak anak orang Huuh…!
Manusia menyebalkan namanya!”
Baru saja perkataan itu selesai diucapkan, Kiu-im-kaucu sudah tertawa terbahak bahak. “Haa…..
haa….. haa……… Nona cilik, besar amat rasa cemburu?” godanya.
“Cemburu kentut busuk makmu!” damprat Si Nio dengan marah, “Kami selalu berusaha untuk
membereskan nyawa si bocah keparat dari keluarga Hoa itu, kenapa musti cemburu cemburu
macam kunyuk?”
Selama beberapa orang itu saling cekcok dan bersilat lidah sehingga suasana jadi amat gaduh,
Yu beng-tiancu Bwee Su-yok tetap berdiri kaku bagaikan sebuah patung arca. Bukan saja ia tak
menggubris, bahkan sikapnya acuh tak acuh, seakan-akan ia tidak mendengar segala sesuatupun
dari sekitar tempat itu. Tindak tanduknya yang kaku dan dingin tidak menunjukkan perobahan
emosi itu membuat orang beranggapan bahwa gadis itu memang dilahirkan tanpa membawa
perasaan.
Hoa In-liong tersentak kaget dari lamunannya oleh bentakan Coa Cong-gi yang amat keras itu.
Setelah termenung sebentar, dia tersenyum kembali. Dihampirinya Tiancu istana neraka Bwee
Su-yok dengan langkah tegap, kemudian sambil memberi hormat dia berkata, “Oooooh…..!
Rupanya engkau adalah Bwee tiancu, terimalah salam dan hormatku ini”
“Hmmm! Tak usah banyak lagak” tukas Bwee Su-yok, tiancu istana neraka itu ketus “Kalau ada
persoalan, lebih baik utarakan saja secara blak-blakan!”
Hoa In-liong sama sekali tidak tersinggung oleh sikap nona itu, kembali ia tertawa lebar. “Dalam
dunia persilatan sering tersiar kata yang menyebut: Hutang darah harus dibayar dengan darah.
Apakah nona Bwee pernah mendengar tentang kata-kata semacam itu?”
“Oooh….. Jadi engkau menghendaki nyawa dari sipembunuh keluarga Suma….?” bukan
menjawab Bwee Su-yok malahan balik bertanya.
“Menghendaki nyawa sipembunuh itu sama artinya melakukan pembalasan dendam. Haaa…..
haaa…… haaa…… Soal itu sih tak perlu kupusingkan. Aku Cuma mendapat perintah dari ayahku
untuk menyelidiki duduknya perkara atas peristiwa berdarah itu. Aku ingin tahu siapakah otak
atau dalang dari pembunuhan ini? Siapa pembunuh sesungguhnya? Siapa yang membantu
perbuatan keji itu? Siapa saja yang ikut dalam rombongan pembunuh itu? Bagaimanakah akibat
dari kejadian itu? Dan apa tujuan dari pembunuhan berdarah itu? Bila nona bersedia memberi
keterangan kepadaku, tentu saja aku akan merasa berterima kasih sekali atas bantuanmu itu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
214
“Hmmm! Banyak juga persoalan yang ingin kau ketahui!” ejek Bwee Suyok sinis.
Hoa In-liong tersenyum. “Tak boleh takabur, tak boleh bicara sembarangan adalah syarat paling
penting yang harus dipegang teguh oleh orang-orang keluarga Hoa kami dalam menyelesaikan
segala macam persoalan. Sedikit saja persoalan sepele yang kelewatan kemungkinan besar akan
mengakibatkan kesalahan yang fatal, oleh karena itu…….”
Belum habis dia berbicara kembali Bwee Su-yok telah mendengus dingin, katanya dengan sinis,
“Hmmm…..! Kalau berbicara saja lagaknya sok bijaksana dan setia kawan, tapi perbuatannya…..
Huuuh, menyebalkan! Sayang ayahmu sudah mengirim seorang utusan yang salah!”
Hoaln-liong sama sekali tidak tersinggung atau marah oleh ejekan nona itu, dia malah balik
bertanya, “Kalau begitu, menurut pengamatan nona Bwee siapakah yang sepantasnya diutus
oleh ayahku?”
“Semestinya dia harus muncul sendiri untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa tersebut!”
Mendengar jawaban itu, Hoa In-liong segera merasa hatinya bergerak, dengan cepat dia berpikir,
“Aaah……! Benarlah sudah, orang ini sengaja berbicara pulang pergi putar kesana putar kemari,
rupanya sedang menyelidiki gerak-gerik da ri ayahku. Haaa……. Haaa…… haaa…… kenapa tidak
kutipu saja perempuan ini biar runyam?”
Sebagaimana diketahui, Hoa In-liong adalah pemuda yang binal dan paling suka berbohong. Apa
yang dipikir dalam benaknya selalu dilaksanakan pula dengan cepat, maka setelah mendapat ide
tersebut dia pun tersenyum. “Nona Bwee, kelirulah jalan pikiranmu itu! Ketahuilah, Suma siok-ya
ku itu adalah satu-satunya adik angkat dari mendiang kakekku maka ketika secara tiba-tiba dia
orang terbunuh ditangan orang, dalam gusarnya nenekku telah mengutus semua anggota
keluarga Hoa untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa ini. Kalau semua orang sudah
diutus keluar, memangnya ayahku dapat dikecualikan? Haa…… haa…… haa…….. Siapa tahu kalau
pada saat ini dia orang tua telah tiba juga di kota Kim-leng?”
Pada hakekatnya perkataan itu diutarakan olehnya secara ngawur dan bohong semua. Bila orang
mau meneliti kata-katanya itu, tidaklah sukar untuk menemukan titik-titik kelemahannya. Apa
mau dikata ucapan itu diutarakan olehnya dengan lancar, kemudian sebagai penutup kata
pemuda itu pun tertawa tergelak. Ini semua membuat orang-orang yang hadir disekitar arena itu
jadi percaya. Untuk sesaat semua orang tertegun dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Ditengah keheningan yang mencekam seluruh arena, tiba-tiba terdengar Ciu Hoa berbaju
perlente itu berbisik, “Lo-sam, ayoh kita pergi dari sini!”
Tanpa menunggu jawaban dari Ciu Hoa bermuka kuda lagi, dia ulapkan tangannya ke arah
kawan laki-laki berbaju ungu itu dan berlalu lebih dulu menuruni bukit Ciong-san.
Pada saat yang bersamaan, Si Nio menarik pula ujung baju si nona berbaju hitam sambil
berbisik, “Nona tempat ini sudah tak berguna lagi bagi kita, ayoh kitapun pergi dari sini!”
“Tidak!” jawab nona baju hitam itu berkeras kepala, “Kita harus tunggu sebentar lagi disini!”
Sementara itu Coa Cong-gi sudah tertawa terbahak bahak setelah menyaksikan kejadian itu
ejeknya, “haaa…. Haa…… haa….. Bagus! Bagus! Begitu mendengar Hoa pek-hu akan datang,
semua badut dan kunyuk sialan pada lari pontang panting. Itu baru namanya pengecut sejati.
Haa….. haa….. haa……..Puas, sungguh memuaskan”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
215
Paras muka Kiu-im-kaucu pun agak berubah ketika mendengar berita itu. Tapi bagaimanapun
juga dia adalah seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, baik dalam soal pengalaman
maupun dalam hal ketenangan perempuan tua itu mempunyai kelebihan dari pada orang lain.
Hanya sebentar dia kaget, menyusul kemudian paras mukanya telah pulih kembali seperti sedia
kala.
“Hoa siauhiap!” ucapnya kemudian sambil tersenyum, “Engkau pandai amat membohongi orang!”
“Ada apa?” sengaja Hoa In-liong mengerdipkan matanya, “Toh percaya atau tidak terserah pada
keputusan kaucu sendiri. Aku kan sama sekali tidak bermaksud menggertak dirimu?”
Bwee Su-yok segera mendengus dingin. “Hmm…..! Hoa Thian hong juga sama-sama manusia,
dia tak akan mampu menggertak atau menakut-nakuti siapapun!”
“Betul! betul sekali perkataan itu!” sambung Hoa In-liong cepat dengan suara nyaring, “Ayahku
bukan malaikat. Dia sudah datang kesini atau belum sama sekali tak ada sangkut pautnya
dengan tugas yang dibebankan diatas pundakku. Nona, kecantikanmu bagaikan bidadari hatimu
ramah dan berbudi luhur. Dapatkah engkau memberitahukan kepadaku, apakah pembunuhnya
adalah nyonya Yu? Dengan begitu, bila aku sampai bertemu kembali dengan ayahku, dapat
kuberikan pertanggungan jawab sebagaimana mestinya”
Beberapa patah kata ini bukan saja sama sekali tidak merosotkan kedudukan serta nama baik
ayahnya, bahkan diapun memperingatkan Bwee Su-yok bahwa gadis itupun seorang manusia pula.
Pemuda itu memang cerdik dan pandai berbicara, dalam kata-kata yang serba gagah dan
terbuka ini, selain disampaikan perasaan ingin membaiki nona itu dan bermaksud mendekatinya
tanpa harus berterus terang kepada Bwe Su-yok, lagipula diapun seolah-olah sedang berkata
demikian, “Engkau juga seorang manusia! Kenapa sikapmu musti dingin dan kaku berlagak
ssperti sebuah bukit salju?”
Andaikata Bwee Su-yok dapat memahami arti dari perkataannya itu, niscaya dia akan dibikin
tersipu-sipu.
Sepasang sinar mata Bwee Su-yok segera memancarkan sinar tajam yang menggidikkan hati.
Rupanya dia agak gusar dibuatnya. Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ujarnya lagi dengan
dingin, “Hanya mencari tahu siapa pembunuhnya tanpa menyelidiki siapa biang keladinya,
darimana kau bisa memberi pertanggungan jawab? Bagaimana mungkin kau bisa memberi
laporan? Hmm! mencari muka menjilat pantat, sungguh suatu sikap yang memuakkan. Bila
engkau masih juga tak tahu diri. Heee….. heee…. hee…. Jangan salahkan kalau nonamu akan
menjatuhi hukuman yang sangat berat kepadamu”
“Mencari muka menjilat pantat, sungguh Suatu sikap yang memuakkan” Beberapa patah kata itu
benar-benar suatu makian yang tidak sungkan sungkan. Bukan saja nona itu membongkar
maksud Hoa In-liong yang sesungguhnya, bahkan diapun telah menyatakan pula sikap sendiri.
Mendengar kata-kata itu, kontan saja Kiu-im-kaucu tertawa terbahak-bahak. “Haa…… haaa…..
haa…… Bagus! Bagus-sekali anak Yok, sekarang gurumu bisa merasa bangga sekali!”
“Yok-ji tak berani melupakan pengharapan dari engkau orang tual” jawab Bwee Su-yok tetap
dingin.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
216
Bwee Su-yok tak lain adalah anak murid dari Kiu-im-kaucu dan sikapnya yang dingin dan kaku itu
sebenarnya bukan watak alamiah, dahulu-dia tidak bersikap sedingin itu.
Hoa In-Hong membungkam dalam seribu bahasa dalam namun diam-diam ia berpikir lagi, “Yang
dimaksudkan “pengharapan” yang dimaksudkan “kebanggaan” tentulah persoalan yang
menyangkut tentang penghianatan siok coubo dan Giok Teng hujin. Haa….. haa….. haa…
Benarkah engkau bakal merasa bangga? Aku Hoa loji pasti akan mencoreng moreng mukamu
dan membuat engkau benar-benar merasa amat kecewa”
Pemuda ini bukan saja binal, diapun sangat romantis. Pada mulanya dia hanya merasa wajah
Bwee Su-yok amat cantik menawan hati. Dia hanya bermaksud untuk mendekatinya atau
tegasnya pemuda itu sama sekali tak berniat untuk melangkah lebih kedepan.
Akan tetapi sekarang, setelah timbul keinginannya untuk bikin susah Kiu-im-kaucu. Tentu saja
rencananya semula dirubah sama sekali. Kini ia tak akan lepas tangan sebelum gadis itu benarbenar
jatuh ke tangannya.
Demikianlah, setelah ia mempunyai rencana dalam hatinya, anak muda itu tertawa tergelak.
“Nona Bwee, perkataanmu itu terlalu berlebihan!” Ia berkata, “Sekalipun aku berbicara blakblakan,
itu bukan berarti aku adalah seorang pemuda yang memuakkan. Berbicara terus terang
saja, sekalipun kecantikan nona luar biasa sekali, namun kecantikanmu itu masih belum cukup
untuk menggerakkan hatiku, apalagi dalam pandanganku saat ini sudah…..”
Belum habis ucapan tersebut diutarakan, Bwee Su yok telah membentak nyaring, “Tutup
mulutmu! Jangan membuat perbandingan dengan nonamu sebagai Sasaran pembicaraan”
“Eeeeh….. Lucu amat nona ini!” Hoa In-liong pura pura tercengang dibuatnya, “Aku
membanding-bandingkan siapa? Aku toh sedang membicarakan tentang….. Oooya, baiklah,
persoalan itu lebih baik tak usah dibicarakan lagi! Mari kita kembali ke pokok pembicaraan yang
sebenarnya”
Setelah berhenti sebentar, dengan muka berpura pura bersungguh-sungguh ia berkata lebih
jauh, “Tadi nona menegur, aku kenapa tidak mencari tahu siapa biang keladinya? Dan kalau
biang keladinya belum diketahui dari mana aku bisa memberikan pertanggungan jawabnya?
Tentang persoalan ini, kembali nona keliru besar!”
Terlampau cepat pemuda ini mengalihkan pokok pembicaraannya. Untuk sesaat Bwee Su-yok tak
dapat memberikan tanggapannya, ia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Hoa In-liong tersenyum, ujarnya lebih jauh, “Biang keladinya ada dua orang. Yang satu adalah
gurumu sedang yang lain adalah ketua dari perkumpulan Hian-beng-kau. Adapun alasannya
adalah mereka iri dan cemburu oleh kesuksesan serta kejayaan yang berhasil dicapai keluarga
Hoa kami, maka digunakannya peraturan perguruan dan menghukum penghianat sebagai alasan
untuk menciptakan pelbagai pembunuhan berdarah. Maksudnya asal terjadi peristiwa berdarah
lagi dalam dunia persilatan, maka ayahku pasti dapat dipaksa pula untuk munculkan diri kembali.
Bukankah begitu nona Bwee?”
Selesai berkata sepasang alis matanya lantas mengenyit, sepasang matanya melotot besar dan
menantikan jawaban dari Bwee Su-yok.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
217
Sementara itu Bwee Su-yok telah pulih kembali dalam sikapnya yang semula, dingin, ketus dan
hambar. Ia mendengus dingin, jengeknya dengan sinis, “Hmmm….. Bergaya seorang pintar,
memangnya kau anggap jalan pikiranmu itu benar?”
“Benar atau tidak adalah urusan pribadiku sendiri” Hoa In-liong tersenyum manis, “Tolong nona
terangkan saja, siapakah pembunuh yang sebenarnya dari pembunuhan berdarah itu?”
“Menurut anggapanmu pembunuhnya adalah Yu In?” Bwee Su-yok balik bertanya.
“Memangnya bukan dia?” Hoa In-liong pura-pura berlagak seperti orang tercengang.
“Hmmm!….! Terus terang kukatakan kepadamu pembunuhnya adalah orang lain, sedang otak
pembunuhan tersebut adalah Ku Ing-ing!”
Kontan saja Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. “Haaa….. haa…… haa….. Nona tak usah
menyelimurkan persoalan. Giok Teng hujin kan sudah lama meninggal dunia? Mana mungkin
menjadi dalang dari pembunuhan berdarah itu?”
“Hee….. hee….. heee…… Mau percaya atau tidak terserah padamu sendiri, nona kan tidak
memaksa engkau untuk mempercayai perkataanku?”
Hoa In-liong terbungkam sesaat. “Baiklah” akhirnya ia berkata “Untuk sementara waktu biarlah
kuanggap perkataan nona memang benar. Kalau memang begitu, tolong tanya siapakah
pembunuh yang sebenarnya itu?”
“Aku lihat engkau kan memiliki keyakinan besar atas kemampuanmu? Kenapa tidak melakukan
sendiri atas persoalan itu? Kenapa aku musti memberitahu kepadamu?”
“Baik! Baik! Aku akan pergi menyelidikinya sendiri, aku akan pergi menyelidikinya sendiri!”
Dia lantas putar badan dan ulapkan tangannya ke arah nona baju hitam itu, serunya lantang,
“Nona, mari kita pergi dari sini!”
Baru selesai dia berseru, Bwee Su-yok telah menggerakkan badannya menghadang jalan pergi
mereka. “Berhenti.!” bentaknya.
Perlu diterangkan disini, ilmu meringankan tubuh serta ilmu langkah Loan-ngo-heng-mi-sian-tunhoat
(dewa pemabuk lima unsur yang kacau) yang dimiliki anggota perkumpulan Kiu-im-kau
boleh dibilang sebagian besar dilatih oleh Ke thian-tok, tongcu dari ruang kesejahteraan.
Sebaliknya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Bwee Su-yok saat ini adalah didikkan langsung
dari Kiu-im-kaucu. Ilmu kepandaian tersebut amat sakti dan jauh lebih hebat daripada ilmu
langkah Loan ngo heng mi sian tun hoat tersebut. Tak sempat dilihat gerakan apa yang dia
lakukan, tahu-tahu gadis itu sudah berada didepan mata Hoa In-liong.
Diam-diam Hoa In-liong merasa terperanjat sekalipun diluaran senyum manis masih menghiasi
ujung bibirnya. “Eeeh…. Ada apa ini?” pura-pura teriaknya “Apakah nona Bwee masih ada
petunjuk bagiku?”
Sekilas pandangan saja ia dapat menangkap membaranya kobaran api amarah dibalik sinar mata
Bwee Su-yok. Tampaknya kemarahan nona itu sudah mencapai puncak kehebatannya yang tak
terkendalikan lagi. Sekalipun dia cerdik, namun apa yang terpapar dihadapan matanya tetap
merupakan suatu teka-teki. Dia tak tahu apa sebabnya secara tiba-tiba nona itu jadi sangat
marah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
218
“Kau harus mampus!” bentak Bwee Su-yok dengan wajah dingin dan suara menyeramkan.
Hoa In-liong sangat terkejut, cepat pikirnya, “Kenapa musti begitu? Toh aku tiada ikatan dendam
atau sakit hati dengan perempuan ini, kenapa ia begitu membenci diriku? Sekalipun Kiu-im-kaucu
pernah menelan pahit getir ditangan orang-orang keluarga Hoa kami, tidak sepantasnya
kebencian itu tersalur ketubuh muridnya…. dan sikapnya yang dingin dan mengerikan itu tidak
semestinya berubah-ubah dengan begitu cepatnya!”
Sementara dia masih termenung, Bwee Su-yok telah mendengus lagi. “Hmmm! Orang-orang
keluarga Hoa pandai menggaet hati perempuan dengan mengandalkan ketampanan wajahnya.
Untuk melenyapkan perbuatan busuk kalian itu, sedikit banyak nona harus merusak tampang
wajahmu itu. Ayoh cepat turun tangan, kenapa masih juga termangu-mangu seperti orang
bodoh?”
Setelah mendengar penjelasai itu, Hoa In-liong baru memahami duduknya persoalan. “Oooh…..!
Jadi kalau begitu nona merasa penasaran dan tak terima bagi para cianpwe perkumpulanmu?”
katanya, “Kalau memang begitu, maka perbuatan nona keliru benar! Pujangga besar jaman kuno
pernah berkata demikian dalam bukunya: Nona-nona yang cantik adalah pasangan yang ideal
bagi laki laki sejati. Orang kuno berkata pula: Lelaki yang normal adalah lelaki yang tertarik pada
kaum wanita. Soal cinta antara laki laki dan perempuan adalah suatu kejadian yang almiah dan
normal. Suatu cinta kasih baru bisa terjalin bila antara kedua jenis manusia itu mempunyai
perasaan saling tertarik dan perasaan saling jatuh cinta. Sedang kecantikan dan ketampanan
hanya pelengkap saja dari suatu hubungan cinta kasih”
Makin berbicara pemuda itu makin lancar akhirnya terlontarlah kuliah soal “cinta” yang panjang
lebar dan bertele-tele.
Tampaknya Bwee Su-yok tidak sabar mendengarkan kuliah soal cinta itu, tiba-tiba bentaknya,
“Kapan selesainya kuliahmu yang memuakkan itu?”
Hoa In-liong tersenyum, “Nona merasa tidak terima bagi para cianpwe mu, sedang jalan
pikiranmu terlampau picik, apa lagi masalah itu menyangkut ayahku, mendingan kalau aku tidak
tahu. Setelah mengetahui kejadian ini maka bagaimanapun juga harus kuberi keterangan yang
sejelas-jelasnya kepada nona, agar engkau tidak berpandangan picik lagi”
“Hmmm! Siapa yang sudi mendengarkan keteranganmu?” bentak Bwee Su-yok semakin marah
“Cabut pedangmu dan siap bertempur!”
Sambil membentak dia maju selangkah lagi ke depan.
Hoa In-liong segera mundur selangkah kebelakang, ujarnya lagi, “Eeeh…. Nona manis, kenapa
musti tergesa-gesa? Sekalipun Kiu-im-kau tidak mendesak terus menerus, cepat atau lambat
akhirnya toh akupun akan mencabut pedang pula untuk bertempur. Tapi sekarang aku merasa
tenggorokanku tersumbat, rasanya kurang lega hatiku bila kata-kata tersebut tidak diucapkan
keluar. Kalau toh engkau bertempur, lebih baik tunggu saja sampai ucapanku selesai diutarakan
keluar!”
Tidak menunggu pertanyaan dari Bwee Su-yok lagi, dia melanjutkan kembali kata-katanya,
“Menurut apa yang kuketahui, Giok Teng hujin dari perkumpulan kalian adalah seorang
pengagum watak ayahku. Mereka berdua bergaul dalam batas sebagai kakak dan adik, belum
pernah hubungan tersebut ditingkatkan menjadi sitatu hubungan yang kelewat batas. Kemudian
suhumu kemaruk harta dan ingin merampas kitab kiam-keng dari tangan ayahku. Dia menyiksa
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
219
Giok Teng hujin dengan siksaan Im-hwe-lian-hun (api dingin melelehkan sukma) yang amat keji
itu dengan tujuan memaksa ayahku menyerah dan serahkan kitab pusakanya kepada gurumu.
Mendengar kabar itu ayahku dan Cui-in taysu segera berangkat ke kota Cho-ciu untuk memberi
pertolongan. Siapa tahu ketika Giok Teng hujin menjumpai ayahku, ia berkata bahwa lebih rela
mati disiksa daripada melihat ayahku terdesak dan harus menyerahkan kitab pusaka kiam-keng
nya untuk ditukar dengan jiwanya. Melihat kekejian alat siksa itu, ayahku jadi sedih bercampur
marah. Hampir saja dia akan membantai semua anggota perkumpulan Kiu-im-kau untuk
melampiaskan rasa dendamnya itu”
(Untuk mengetahui jalannya peristiwa itu, silahkan membaca Bara Maharani oleh penyadur yang
sama).
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan kembali kata-katanya, “Nona, mungkin engkau tak
tahu, ayahku adalah seorang manusia yang berjiwa besar dan ramah, belum pernah dia orang
tua marah-marah tanpa sebab. Belum pernah dia melukai orang tanpa alasan. Bayangkan sendiri
nona, ayahku menjadi teramat gusar karena menyaksikan kerelaan Giok Teng hujin menerima
siksaan yang keji daripada menyaksikan dia didesak orang, apakah engkau tak dapat menghargai
kebesaran cintanya? Rela berkorban demi kepentingan orang lain adalah suatu perbuatan yang
mulia. Apakah nona tetap berpandangan jelek dan mencemooh Giok Teng hujin setelah
mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya?”
Bwee Su-yok menjengek sinis, seakan akan sama sekali tidak mendengar akan perkataan itu,
ujarnya dengan sinis, “Sudah selesaikah perkataanmu itu? Kalau sudah selesai, sekarang kau
boleh cabut keluar pedangmu!”
Hoain-lioag terkesiap, dengan wajah termangu pikirnya, “Bagaimana sih perempuan ini? Masa
sepatah katapun tidak ia dengarkan perkataanku ini? Manusia macam apakah sebenarnya orang
itu? Ataukah mungkin darahnya memang dingin?”
Tiba-tiba si nona baju hitam yang selama ini membungkam ikut berteriak keras, “Cabut pedang
yaa cabut pedang, apa yang luar biasa pada dirimu itu?. Hmm….. Hoa kongcu, ayoh cabut keluar
pedangmu!”
Bwee-Su-yok segera berpaling, sinar matanya yang setajam sembilu menatap wajah si nona baju
hitam itu tajam-tajam, kemudian bentaknya dengan ketus, “Engkau juga harus mampus, lebih
baik kalian berdua maju bersama-sama!”
Si nona baju hitam itu mendengus dingin dia sudah siap untuk melompat maju kedepan, tapi belum
selangkah nona itu maju Si Nio telah menarik tangannya. “Nona!” seru perempuan jelek itu
dengan cemas, “Masih ingatkah kau, apa tujuan kita datang kesini? Lebih baik urusan orang lain
jangan kita campuri!”
Coa Cong-gi yang selama ini membungkam terus, tiba-tiba saja tergelak. “Haa….. haa….. haaa….
Sekarang aku sudah mengerti…… Sekarang aku sudah mengerti….!. Oooh… jadi rupanya dia
sedang merasa cemburu!’”
“Siapa yang sedang cemburu?” tanya Hoa In-liong dengan wajah keheranan.
Coa Cong-gi langsung menuding ke arah tiancu istana neraka Bwee Su-yok, katanya lagi sambil
terbahak bahak, “Haaa.. ha….. haa…. Siapa lagi? Tentu saja dia! Nona Bwee si tiancu istana
neraka itu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
220
Belum habis dia berkata, dengan garang Bwee Su-yok sudah menerkam kedepan. “Kurang ajar,
rupanya kau ingin mampus!” bentaknya dengan suara menyeramkan.
Telapak tangannya dengan disertai tenaga pukulan yang maha dahsyat langsung disodok kepunggung
Coa Cong-gi.
Gerakan tubuh Bwee Su-yok benar-benar sangat cepat bagaikan sambaran geledek. Jarak sejauh
beberapa kaki itu hanya ditempuh dalam sekejap mata tahu-tahu telapak tangannya yang putih
halus tapi penuh berisikan tenaga dalam itu sudah muncul didepan mata.
Andaikata pukulan tersebut benar-benar bersarang diatas sasarannya, sekalipun tidak sampai
mati, paling sedikit Coa Cong-gi akan menderita luka dalam yang parah.
Coa Cong-gi sendiripun merasa amat terkejut ketika ucapannya sampai ditengah jalan, tahu-tahu
terdengar suara bentakan nyaring serta munculnya desingan angin pukulan yang menyergap
punggungnya.
Dalam keadaan gugup dan tak mungkin untuk menghindarkan diri lagi, serta merta anak muda
itu jatuhkan diri berguling keatas tanah, kemu dian menyingkir sejauh satu kaki lebih.
Gagal dengan serangannya yang pertama, Bwee Su-yok melompat lagi kedepan dan mengejar
musuhnya, sekali lagi telapak tangannya disapu ke depan menghantam tubuh lawannya.
Hoa In-liong sangat terperanjat menyaksikan serangan itu, dia segera berteriak keras, “Nona
Bwee, ampuni selembar jiwanya!”
Berbareng dengan bentakan itu, tubuhnya melambung ke udara dan langsung menghadang
didepan perempuan itu, lengan kirinya diayun kedepan dengan jurus Kun-siuci tau (perlawanan
terakhir dari binatang binatang yang terjebak), kemudian buru-buru disambutnya angin serangan
Bwee Su-yok yang maha dahsyat tadi.
Ketika angin pukulan saling bertemu, terjadilah suatu ledakan keras yang memekikkan telinga
bayangan manusia saling berpisah dan masing masing melayang turun keatas tanah.
Menggunakan kesempatan tersebut, Coa Cong-gi segera menekan permukaan tanah dan melejit
ke angkasa, dari situ dia mundur sejauh tiga langkah lebih.
Paras muka Bwee Su-yok sedingin salju, diantara biji matanya jeli terpancar hawa nafsu membunuh
yang tebal. Dengan ketus bentaknya kembali, “Kenapa harus mengampuni jiwanya?
Kalian semua harus mampus ditanganku”
Ditengah bentakannya yang amat nyaring, telapak tangan kanannya bergerak cepat.
“Criiing….!”
Tahu tahu ditangannya itu telah bertambah dengan sebilah pedang lemas yang tipis bagaikan
kertas, tapi memancarkan sinar keperak-perakan yang menyilaukan mata.
Pedang semacam ini disebut juga Kiam wan (pil pedang). Lebarnya hanya beberapa inci dengan
panjang empat depa. Kedua belah sisinya tajam dan pedang itu terbuat dari baja asli yang
berkwalitet tinggi. Karena sifatnya lemas maka bila pedang itu tidak dipakai dapat digulung
seperti bola. Bila disimpan didalam sebuah kulit yang bulat maka besarnya hanya seperti kepalan
tangan. Bila akan dipakai maka asal tombol rahasianya di tekan, secara otomatis pedang lemas
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
221
yang amat tajam itu akan membantul keluar. Jadi bila pedang itu disimpan dalam kulit baja,
maka senjata tersebut seolah-olah tertelan didalam gagang pedang, bukan saja praktis, enteng
juga mudah dibawa-bawa.
Pedang lemas semacam ini jarang sekali dijumpai dalam dunia persilatan, pertama karena
senjata itu tidak mudah untuk membuatnya. Kedua, pedang lemas semacam ini penggunaannya
jauh lebih sukar daripada penggunaan pedang tipis. Bila tenaga dalam yang dimiliki orang itu
kurang sempurna atau jurus serangannya kurang hafal atau mungkin juga tenaga dalam yang
dimiliki musuhnya jauh lebih tangguh daripada dirinya, maka ja ngan dibilang melukai musuhnya,
bisa jadi diri sendirilah yang akan termakan oleh senjata itu.
Sementara itu, Bwee Su-yok telah meloloskan pedang lemasnya, entah dengan cara apa dia menyentak
senjata tersebut, tahu tahu pedarg lemas yang tipisnya seperti kertas itu sudah
menegang keras bagaikan sebatang toya baja. Dari sini terbuktilah sudah bahwa tenaga dalam
yang dimiliki nona itu betul betul sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Terperanjat juga Hoa In-liong menyaksikan kejadian itu. Coa Cong-gi yang sudah bangkit berdiri
dan semula masih dibakar oieh api kegusaran, setelah menyaksikan kelihayan musuhnya
mengkeret juga dibuatnya, dia tak berani turun tangan lagi secara gegabah.
Kembali Bwee Su yok menggetarkan pergelangan tangannya, ujung pedang itu ditudingkan ke
muka, lalu dengan wajah menyeringai hardiknya keras keras, “Eeehh… engkau sebetulnya mau
cabut keluar pedangmu atau tidak? Ketahuilah, mau cabut pedangmu atau tidak, nona sama saja
akan membunuh kau. Sampai waktunya jangan salahkan kalau nona bertindak kejam
kepadamu!”
Dalam pada itu, secara lapat-lapat Hoa In-liong telah merasa bahwa gadis cantik berwajah dingin
kaku yang berada dihadapannya ini pada hakekatnya masih mempunyai perasaan yang sensitif
se-perti kebanyakan orang lain. ini terbukti dari kemarahannya yang begitu memuncak setelah
mendengar ocehan Coa Cong-gi yang menuduh dia sedang cemburu. Sebab hanya manusia
berperasaan sensitiflah yang gampang tersinggung oleh cemoohan atau ejekan orang lain.
Pemuda ini wataknya terbuka dan tak senang menyelidiki orang sampai seteliti-telitinya, apalagi
setelah dipaksa terus menerus oleh Bwee Su-yok dengan caranya yang sinis itu, sontak
gengsinya sebagai seorang laki-laki tersinggung.
Pedang pendeknya digetarkan keras-keras sampai memperdengarkan suara dengungan yang
memekakkan telinga, kemudian dengan lantang dia berkata, “Nona Bwee, eagkau terlalu
sombong dan takabur, sekalipun tidak sampai kucabut nyawamu, tapi pantatmu akan kuhajar
sebagai peringatan atas keangkuhanmu itu. Nah, bersiap-siaplah! Sebentar aku akan tangkap
badanmu dan gebuk pantatmu itu….”
Bwee Su-yok semakin gusar, saking marahnya pucat pias wajahnya yang cantik itu, badannya
ikut menggigil, sambil menggigit bibir ia mendengus lalu menerjang kemuka sambil melepaskan
sebuah tusukan kilat.
Hoa In-liong tentu saja tak sudi unjukkan kelemahannya didepan orang. Baru saja dia akan
menggerakkan pedangnya untuk menangkis, tiba-tiba tampak sesosok bayangan hitam
berkelebat lewat, menyusul kemudian orang itu membentak nyaring, “Tunggu sebentar!”
Bayangan hitam yang menghalangi terjadinya pertempuran itu bukan lain adalah Kiu im-kaucu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
222
Pada waktu itu air muka Kiu im kaucu kelihatan sangat mengerikan. Sepasang matanya merah
penuh nafsu membunuh, rambutnya yang telah beruban bergoyang-goyang kencang walaupun
tiada angin yang berhembus lewat, rupanya ia se dang merasa gusar sekali.
Mendengar bentakan itu, Hoa In-liong segera membatalkan maksudnya untuk menangkis dan
mundur selangkah kebelakang. Sedangkan Bwee Su yok menarik kembali pedang lemasnya dan
menyingkir kesamping.
Dengan tatapan mata yang tajam, Kiu-im-kaucu memandang sekejap dua orang muda mudi itu
tiba-tiba ujarnya dengan suara dingin, “Yok-ji, tampankah Hoa siauhiap ini?”
OOOOoooOOOO
“ADA APA?” seru Bwee Su-yok seperti orang tercengang. “Apakah Yok-ji telah melakukan
perbuatan salah?”
Sinar mata yang memancar dari mata Kiu-im-kaucu berkilat tajam, bukan menjawab kembali dia
membentak, “Jawab pertanyaanku, cepat! Dia terhitung tampan atau tidak?”
Bwee-Su-yok menoleh dan memandang sekejap wajah Hoa In-liong dengan ragu-ragu, lalu
sahutnya, “Tidak….tampan”
“Jangan banyak berpikir!” kembali Kiu-im-kaucu membentak nyaring, “Jawabannya tak boleh
dua, ayoh cepat, beri jawaban yang tegas!”
“Dia bermuka tampan atau tidak, apa sangkut pautnya dengan Yok-ji?” bantah Bwee Su-yok.
“Kenapa kau orang tua….…..”
“Jangan banyak bertanya, ayoh segera jawab!” tukas Kiu-im-kaucu lagi sambil mengetukkan toya
baja kepala setannya ke atas tanah.
Mula-mula Bwee Su-yok agak tertegun, menyusul kemudian sahutnya setengah menjerit,
“Tampan! Tampan! Tampan!”
Agaknya Kiu-im-kaucu merasa sangat puas dengan jawaban tersebut, dia menarik napas panjang
sekulum senyuman menghiasi bibirnya, lalu mengangguk dengan lirih. “Hmmm! Ternyata tidak
membohongi aku……! Ternyata tidak membohongi aku….. Kalau begitu aku memang sedang
menguatirkan soal yang sama sekali tak perlu!”
Menyaksikan sikap musuhnya yang sebentar marah sebentar girang, lalu memaksa muridnya
menjawab pertanyaan yang sama sekali tak ada gunanya itu, Hoa In-liong menjadi keheranan
dan berdiri tertegun. Ia tidak habis mengerti mengapa musuhnya harus berbuat begini?
Tampaknya Bwee Su-yok juga tidak dapat memahami maksud tujuan gurunya, dengan alis
berkenyit katanya sambil cemberut, “Kenapa Yok-ji mesti membohongi engkau orang tua? Soal
apa yang kau orang tua musti kuatirkan tentang diri Yok-ji?”
Kiu-im-kaucu menengadah dan tertawa. “Kejadian yang sudah lewat biarkanlah lewat kau tak
usah banyak bertanya lagi! Pokoknya yang penting, engkau harus selalu teringat akan nasehat
dari gurumu”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
223
Bwee Su-yok mengangguk, sahutnya dengan sikap yang sangat hormat, “Yaa! Yok-ji akan
mengingatkan selalu, dikolong langit tak ada seorang laki-lakipun yang merupakan orang baik,
semakin tampan orang itu semakin busuk hatinya”
Wajah maupun sikapnya yang dingin, kaku dan hambar itu pulih kembali seperti sedia kala. Nada
pembicaraanpun kembali jadi dingin seperti salju sedikitpun tidak membawa emosi.
Melihat dan mendengar keketusan muridnya itu Kiu-im-kaucu tampak merasa puas sekali, tak
kuasa lagi ia tertawa terbahak-bahak.
Sampai disini, Hoa In-liong pun dibuat mengerti juga dengan keadaan yang selang dihadapinya.
Rupanya keketusan dan sikap dingin yang dimiliki Bwee Su-yok saat ini bukanlah watak yang
alamiah, melainkan watak dari hasil didikan orang lain yang dilakukan sejak dari gadis itu masih
kecil.
Karena itu juga, diapun berpikir didalam hati, “Aaaah….suatu sistim pendidikan yang sungguh
sungguh mengerikan! Padahal usia gadis itu masih sangat muda, wajahnya juga cantik,
sepantasnya kalau dia hidup dalam kebebasan dan kegembiraan. Yaa….nona yang begitu polos
dan sederhana telah dididik Kiu im kaucu menjadi Giok Kwan-im yang tak bersukma. Tak heran
kalau jalan pikirannya begitu picik, tak heran kalau dia bersikeras hendak membunuh aku!”
Siapa tahu jalan pemikiran si anak muda inipun keliru besar, sekalipun tingkah laku dan
pembicaraan seorang manusia erat sekali hubungannya dengan pendidikan yang diterimanya,
namun pendidikan itu sendiri tak dapat melenyapkan watak almiah dari manusia.
Bwee Su-yok bisa naik pitam dan tiba-tiba saja berkobar nafsu membunuhnya boleh dibilang
sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan sikap dingin, kaku dan ketus yang ditunjukkan dara
itu. Tidak sepantasnya pemuda itu menyinggung gengsi dan harga diri Bwee Su-yok. Tidak
seharusnya pemuda itu berkata, “Walaupun nona cantiknya memang cantik, namun kecantikan
itu belum cukup untuk menggerakkan hatiku” serta kemudian sikap dan tindak tanduknya yang
mencemooh.
Selain daripada itu, sepantasnya kalau pemuda itu tidak menunjukkan pula sikap mesrahnya
dengan nona berbaju hitam itu. Bwee Su-yok bukan gadis buta yang tak dapat melihat, sudah
tentu dia tahu bahwa dia lebih cantik bila dibandingkan dengan nona baju hitam itu, tapi
kenyataannya pemuda itu lebih tertarik pada gadis yang tidak lebih cantik daripadanya
dibandingkan menaruh perhatian kepadanya, tentu saja sebagai seorang gadis remaja Bwee Suyok
jadi tak tahan.
Manusia yang normal adalah manusia yang mengenal arti cinta, laik-laki atau perempuan
semuanya mempunyai perasaan semacam itu, sebab gaya tarik memang selalu terdapat dalan
tubuh laki-laki maupun perempuan.
Selain daripada itu, delapan sampai sembilan puluh persen wanita cantik didunia ini adalah egois
(lebih mementingkan diri sendiri). Hoa In-liong tampan lagi gagah, bukan saja lihay ilmu silatnya
baik pula budinya sekalipun Bwee Su-yok dibesarkan dalam pendidikan yang keliru dan
berpandangan picik, sekalipun sikapnya dingin kaku dan tidak beremosi, tapi dalam hati kecilnya
dia masih mempunyai daya tarik terhadap lawan jenisnya.
Sejak pandangan yang pertama, kegagahan dan ketampanan pemuda itu telah meninggalkan
kesan yang cukup mendalam. Sayang pemuda itu telah mengucapkan kata-kata yang
menyinggung perasaan dan gengsi gadis itu. Apalagi sedari kecil ia sudah mendapat pendidikan
yang keliru, dalam keadaan demikian semakin yakinlah dia bahwa apa yang diucapkan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
224
gurunya…. makin tampan seorang lelaki makin busuk hatinya adalah benar. Serta merta hawa
nafsu membunuh daiam hati gadis itu pun berkobar.
Tentang soal ini, mungkin Hoa In-liong tidak menyangkanya sama sekali, tapi Kiu-im-kaucu dapat
merasakan hal tersebut. Sebab itulah dengan suara yang lantang dan nyaring ia bertanya kepada
Bwee Su-yok dengan pertanyaannya yang serba aneh, menanti Bwee Su-yok memberi
jawabannya yang jujur disertai teriakan nyaring dan sikapnya pulih kembali dalam keketusan dan
dingin, ia baru merasa puas dan berlega hati.
Suasana dalam arena kembali pulih dalam kesunyian, yang terdengar hanya gelak tertawa Kiuim-
kaucu yang bangga dan nyaring. Ditengah gelak tertawa yang memekikkan telinga itu, pelanpelan
Kiu-im-kaucu maju kedepan, dibelainya bahu gadis she Bwee itu, kemudian tanyanya
dengan lembut, “Yok-ji bencikah engkau kepadanya?”
“Aku tidak tahu” sahut Bwee Su-yok dingin, “Tapi aku muak sekali melihat tampangnya!”
Kiu-im-kaucu mengangguk beberapa kali. “Ehmmm! Yok-ji, kau memang anakku sayang
sebenarnya boleh saja kau bunuh orang itu, tapi aku masih membutuhkan dirinya, maka pergi
dan tawanlah orang itu hidup-hidup!”
“Baik!” sahut Bwee Su-yok.
“Sreeet!”
Dia menyimpan kembali pedang lemasnya, kemudian dengan wajah dingin dan langkah yang
tegap selangkah demi selangkah dihatn pirinya pemuda Hoa In-liong.
Kiu-im-kaucu putar badannya, memandang bayangan punggung muridnya itu dia tertawa bangga
sambungnya lebih jauh, “Hati-hati! Ilmu silat keluarga Hoa bukan kepandaian yang bisa dianggap
remeh, jangan sampai kau hancurkan merek gurumu!”
Tiba-tiba Coa Cong-gi menerkam ke muka, teriaknya setengah menjerit, “Bagus sekali! Akan
kuremukkan papan merekmu itu. akan kulihat kau siluman tua bisa berbuat apalagi!”
Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan ke depan menghantam dada Bwee-Su-yok.
Serangan yang dilancarkan ini bukan saja disertai tenaga dalam yang maha dahsyat,
kecepatannya pun bagaikan sambaran kilat, belum habis ucapannya diutarakan, serangan yang
keras dan kuat bagaikan gulungan ombak ditengah samudera itu sudah menerjang ke arah dada
gadis itu.
Bwee-Su yok memang sungguh-sungguh amat lihay. Sedikit saja badannya miring ke samping,
tahu-tahu serangan yang maha dahsyat itu sudah di hindarinya. Ditengah dengusan dingin
tangan tangan kanannya mencengkeram kemuka mengancam urat nadi diatas pergelangan
tangan Coa Cong-gi.
Sementara tangan kirinya yang tajam bagaikan pisau membacok tekukan sikutnya, bukan begitu
saja malahan kaki kanannya ikut melayang kedepan menendang jalan darah Tan-tian dipusar.
Satu jurus dengan tiga gerakan, bukan saja enteng dan gesit, bahkan tajam dahsyat dan luar
biasa lihaynya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
225
Hoa In-liong terhitung seorang pemuda yang dapat menguasai perasaan sendiri, akan tetapi
setelah menyaksikan jalannya pertarungan itu, bergidik juga hatinya.
Tampaknya aliran ilmu silat yang dianut Coa Cong-gi sejalan dengan tabiatnya, keras berangas
dan dan mengandalkan tenaga besar. Masih mendingan kalau ia tidak bertarung, sekali turun
tangan maka tubuhnya menerjang terus kedepan, sedikit pun tidak merasa gentar atau takut.
Tampak telapak tangannya ditekan ke arah bawah, tubuhnya mendadak berputar keras, sikutnya
langsung disodok ke belakang menumbuk jalan darah Mia-bun-hiat. Sementara tangan kirinya
disapu ke samping mencengkeram jalan darah cian-keng-hiat di bahu, baik berganti jurus
maupun menukar gerakan, semuanya dilakukan de ngan ganas, sama sekali tidak
memperdulikan ke selamatan jiwa sendiri.
“Woouw, suatu gerakan serangan yang ganas dan tekebur!” teriak Kiu-im-kaucu lantang, “Eeh..
anak muda, engkau adalah anak murid siapa….?”
“Anak murid diri sendiri!” sahut Coa Cong-gi ketus. Seraya berkata, tubuhnya secepat kilat
berputar kencang. Kepalan dan telapak tangannya dipergunakan berbareng. Dalam waktu
singkat dia telah melancarkan tiga buah jotosan dan tujuh buah pukulan telapak tangan yang
tajam.
Sebetulnya anak muda itu maksudnya hendak berkata bahwa ilmu silatnya adaran ajaran
keluarga, tapi oleh karena wataknya terlalu berangasan lagi pula sedang melancarkan serangan
berantai, jawaban yang kemudian diucapkan malahan menjadi suatu jawaban seperti orang
segan menyahut.
Kiu-im-kaucu mendengus dingin, tiba-tiba dia berseru, “Seng tongcu, kau maju dan layanilah
engkoh cilik ini bermain-main beberapa jurus!”
Seorang kakek pendek, kecil yang memelihara jenggot kambing dijanggutnya disudut arena sana
segera mengiakan dan masuk kedalam gelanggang bentaknya dengan suara lantang, “Lohu
bernama Seng Sin-sam, akan melayani beberapa jurus serangan darimu!”
Dengan suatu loncatan kilat ia menerjang masuk ke arena, telapak tangannya secepat kilat
dibabat kebawah membacok dada kiri Coa Cong-gi.
Sementara itu Bwee Su-yok telah melayang mundur ke belakang, dengan suara berat katanya ,
“Tangkap dia, aku minta dalam keadaan hidup!”
Kemudian sambil putar badan, dia menuding ke arah Hoa In-liong sambil ujarnya lagi dengan dingin,
“Orang she-Hoa, kaucu ada perintah yang melarang nonamu membunuh kau, sekarang kau
boleh menyerang dengan legakan hatimu!”
“Ooooo….. Tadi kan sudah kukatakan, aku hendak menabok pantatmu karena kau nakal….”
Belum habis ucapan itu, si nona baju hitam telah menerjang kedepan sambil berseru, “Hoa
kongcu. silahkan pergi dari sini! Mereka andalkan jumlah banyak, tidak menguntungkan bagi kita
untuk melayani kurcaci-kurcaci tersebut!”
Bwee-su-yok semakin naik pitam, kembali ia membentak keras, “Kek Tongcu, tangkap
perempuan itu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
226
Ditengah bentakan nyaring, segesit dia mengigos kesamping menghindarkan diri dari sergapan
nona baju hitam, kemudian ia berbalik menerjang ke arah Hoa In-liong lagi.
Pada saat yang bersamaan, seorang kakek tinggi besar yang berkepala botak melayang masuk
ke dalam arena, ia langsung menghadang jalan pergi si nona baju hitam.
Si Nio yang melihat majikannya terhadang, serta merta menerjang pula kedepan, dia kuatir
majikannya menemui celaka. “Telur busuk!” makinya, “Kami tak ada sangkut pautnya dengan
orang she Hoa itu. ayoh cepat menyingkir, kami akan berlalu dari sini!”
Si Nio benar-benar amat setia terhadap majikannya, dia tak ingin menyaksikan majikannya
berhubungan dengan Hoa In-liong, lebih-lebih tak ingin membiarkan dia bertempur dengan
orang-orang Kiu-im-kau, tapi lantaran wataknya yang berangasan. Begitu selesai berbicara,
telapak tangan kanannya langsung diayun kemuka menghantam dada Kek Tongcu itu.
Orang she Kek ini bernama Kek Thian tok, dia adalah seorang anggota lama dari Kiu-im-kau,
malahan terhitung bawahan yang paling kuno sebab pengabdiannya semenjak kaucu angkatan
yang lalu, sekarang dia menjabat sebagai ketua ruangan kesejahteraan anggota, bukan saja
kedudukannya terhormat, ilmu silat yang dimiliki juga bebat sekali.
Dengan suatu langkah yang aneh tiba-tiba ia memutar badannya, entah dengan gerakan apa,
tahu-tahu tubuhnya yang tinggi besar itu sudah berada dibelakang punggung Si Nio telapak
tangannya segera dihantam keatas jalan darah Leng-tay-hiat ditubuh perempuan itu.
“Hmm! Rupanya engkau memang sudah bosan hidup……” bentaknya.
Si nona baju hitam merasa amat terkejut, serta merta ia menerjang ke muka sambil berteriak, “Si
Nio, hati-hati”. Telapak tangannya diayun, langsung menyongsong datangnya ancaman dari Kek
Thian-tok.
“Blaaaang….,..!” ketika dua pasang telapak tangan saling beradu, terjadilah suatu ledakan keras
yang memekikkan telinga.
Sekujur badan sinona baju hitam itu terpukul miring kesamping dan secara beruntun mundur
delapan langkah dari tempat semula sebelum akhirnya berhasil untuk berdiri tegak kembali.
Keadaan Kek Thian-tok sendiripun tidak begitu menyenangkan, badannya terseret miring
kesamping oleh angin pukulan itu.
Rupanya Si Nio merasakan gelagat yang kurang menguntungkan, serta merta ia melesat
beberapa kaki kedepan dengan badan hampir menempel diatas permukaan tanah, dengan suatu
gerakan yang mendebarkan hati loloslah sinenek jelek itu dari ancaman maut.
Semua kejadian ini berlangsung hampir bersamaan waktunya, sementara Hoa In-liong masih
bertarung sengit melawan Bwee Su-yok. Keadaan sinona baju hitam itu sudah keteter hebat,
tampaknya ia tak sanggup untuk melakukan perlawanan lebih jauh.
Melihat keadaan tersebut, Hoa In-liong jadi terkejut sekali, dia mengepos tenaga dalamnya dan
memaksa mundur Bwee Su-yok, lalu pedang pendeknya dilontarkan ke muka sambil teriaknya
dengan penuh kecemasan dan kekuatiran, “Nona, sambutlah pedang ini!”
“Criiiit….!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
227
Diiringi suara desingan tajam yang memekikkan telinga, pedang pendek itu dergan memancarkan
sinar berwarna keperak-perakan meluncur ke muka.
Kebetulan sekali Kek Thian-tok sedang bergerak maju dan melancarkan terjangan untuk kedua
kalinya ke arah nona baju hitam saat itu, dengan melesatnya sang pedang pendek itu, otomatis
ujung pedang itu mengancam keatas punggung Kek Thian-tok.
Untunglah Toagcu dari ruang Kesejahteraan perkumpulan Kiu-im-kau ini terhitung seorang jago
kawakan, baik ketajaman dalam penglihatan maupun ketajaman dalam pendengaran boleh dibi
lang cukup tangguh, tatkala merasakan tibanya de singan angin tajam, dengan ketakutan buruburu
badannya bertiarap keatas tanah.
“Sreeet!”
Dengan membawa desingan angin tajam, pedang pendek itu meluncur tepat diatas batok
kepalanya dan melayang ke arah dada si nona baju hitam.
Dari kejauhan si nona baju hitam itu dapat merasakan pula desingan angin tajam yang dibawa
pedang pendek itu sangat memekikkan telinga, dan lagi tenaga luncurnya belum lemah, dia tak
berani menyambut dengan begitu saja, terpaksa kakinya bergeser selangkah ke samping,
terhindar dari sambaran senjata itu, pedang pendek tadipun rontok ke tanah.
Si-Nio menyambar pedang pendek itu dengan kecepatan luar biasa, lalu menerjang kedepan,
ben-taknya keras-keras, “Nona. cepat lari! biar setan tua ini aku yang hadang……”
Pedangnya menggeletar nyaring, dengan membawa desingan yang menggidikkan hati dia tusuk
dada Kek Thian tok.
Bwee-Su-yok semakin kalap menyaksikan kejadian itu, teriaknya setengah menjerit, “Bunuh dia!
Bunuh perempuan itu sampai mampus!”
Agaknya kemarahan yang berkobar dalam dada perempuan itu sudah mencapai pada puncaknya.
Sinar mata yang memancar keluar mengerikan sekali, telapak tangannya berputar kesana
kemari, desingan angin jari mendesis kesekeliling gelanggang. Semua jalan darah penting
ditubuh Hoa In-liong terancam dibawah serangannya, ini membuat si anak muda itu mau tak
mau harus mengerahkan pelbagai macam ilmu tangguhnya untuk mempertahankan diri.
Walaupun demikian, pemuda itu masih juga keteter hebat dan tak mampu mempertahankan diri,
dia terdesak berada dibawah angin.
Syarat terpenting yang harus diperhatikan oleh jago-jago lihay yang sedang bertempur adalah
ke-tenangan serta pemusatan pikiran dan perhatian ke satu titik.
Ketika Hoa In-liong masih bisa bertempur dengan memusatkan pikiran tadi, kedudukannya masih
lumayan. Tapi setelah dilihatnya si nona baju hitam itu terancam bahaya dan bukan tandingan
Kek Thian-tok, karenanya pedang pendek yang dipakainya itu disambit kembali kepada nona itu
agar nona tadi bisa melawan dengan ketajaman senjatanya, justru karena perhatiannya
bercabang, ia jadi kehilangan posisi yang menguntungkan, dan untuk sesaat tak mampu
mengembalikan lagi posisinya yang tidak menguntungkan itu.
Bwee Su-yok memang masih muda, usianya baru belasan tapi kepandaian silat yang dimilikinya
luar biasa sekali. Apa lagi mukanya sekarang diliputi keketusan dan keseraman yang mencekam
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
228
hati, seakan-akan gadis itu sudah lupa kalau Kiu-im-kaucu telah berpesan untuk menangkap musuhnya
dalam keadaan hidup.
Baju putihnya sebentar bergerak kekiri sebentar lagi bergerak kekanan, semua serangan yang
digunakan seolah-olah merupakan jurus mematikan yang mengerikan hati, ini membuat lawannya
jadi semakin keteter bebat.
Hoa In-liong sendiri, sekalipun posisinya sangat tidak menguntungkan. Namun kejadian itu tidak
membuat hatinya jadi gugup. Memang keteguhan hati dan ketenangan adalah pokok utama yang
diandalkan ayahnya untuk melepaskan diri dari kesulitan. Dihari-hari biasa diapun selalu
mendidik anak-anaknya untuk mengutamakan keteguhan hati.
Oleh sebab itulah meskipun Hoa In-liong berada dalam posisi yang menyulitkan, namun sikapnya
tetap tenang dan keteguhan hati betul-betul tercermin dari setiap gerak-geriknya. Sekarang ia
tidak mengharapkan keuntungan tapi lebih mengutamakan keselamatan. Karena itu bila Bwee
Su-yok ingin melukai pemuda itu dalam beberapa gebrakan saja jelas hal ini tak mungkin terjadi.
Begitulah, kedua orang itu saling menyerang dengan gencarnya, dalam waktu singkat dua puluh
gebrakan sudah lewat. Sekalipun terjadi perbedaan antara yang terdesak dan pihak yang
menyerang namun untuk menentukan siapa menang siapa kalah masih merupakan suatu tanda
tanya besar.
Jilid 12
DITENGAH pertarungan, Hoa In-liong berpikir dihatinya, “Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Bukankah Kiu-im-kaucu telah berkata dengan jelas bahwa dia menghendaki aku dalam keadaan
hidup? Kenapa perempuan ini malahan begitu bernafsu untuk membunuh aku? Kalau toh ingin
membunuh aku, kenapa tidak ia gunakan pedang lemasnya?”
Sebuah telapak tangan yang kecil dan putih tiba-tiba mencengkeram ke arah dadanya, ini
memaksa anak muda itu harus segera menarik kembali lamunannya, ia berjongkok kesamping,
tangannya digetarkan keatas dan dengan kelima jari tangannya yang direntangkan bagaikan
kuku garuda, dicengkeramnya urat nadi diatas pergelangan lawan.
Bwee Su-yok miring kesamping menghindarkan diri dari serangan Kim-liong-tam-jiau (naga emas
mengunjukkan cakarnya) si anak muda itu, mendadak telapak tangannya ditekan kebawah dan
membacok jalan darah cian-heng hiat dibahunya, sementara jari tangan kirinya setegang tombak
menusuk jalan darah Hu-ciat-hiat dilambung.
Hu-ciat-hiat merupakan jalan darah pertemuan ditubuh manusia, apa bila tempat itu sampai
tertotok, maka hawa darah akan membuyar kesamping, jiwapun otomatis terancam. Padahal
serangan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, cukup dari desingan angin
serangannya dapat diketahui bahwa ancaman tersebut benar-benar mengerikan.
Hoa In-liong sangat terkejut, buru buru ia memutar badannya kesamping untuk menghindarkan
diri.
Tiba-tiba terdengar Coa Cong-gi berteriak keras, “Seng lo kui (setan tua), mau bunuh mau
cincang aku orang she Coa tak nanti mengerutkan dahi, tani kalau engkau hendak
mempermainkan diriku…..”
“Hmmm……! Jangan salahkan kalau aku orang she Coa akan mencaci maki dirimu…..”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
229
Tongcu penerimaan anggota, Seng-Sin-sam tertawa seram. “Heeeh….. hee…… hee…… kaucu
ada perintah untuk melayani sobat muda bermain sebanyak beberapa jurus, sedang akupun
hanya melaksanakan perintah belaka, mau maki mau marah silahkan saja, yang pasti aku tak
berani membunuh dirimu!”
Coa Cong-gi memang seorang laki laki yang berangasan, begitu terjun kedalam gelanggang dia
lantas melancarkan serangkaian serangan yang meng getarkan hati. Dengan pukulan pukulannya
yang serba keras dan penuh bertenaga, mula mula ancamannya itu mendatangkan juga hasil
yang diinginkan, tapi lama kelamaan dengan usianya yang muda dan tenaga dalamnya yang
serba terbatas puluhan jurus kemudian tenaga serangannya makin mengendor, akhirnya
pukulan-pukulan yang di lancarkan juga makin lemah jadinya.
Seng-Sin-sam sendiri sebagai seorang Tongcu tentu saja memiliki ilmu silat yang tinggi, sudah
puluhan tahun ia berkelana dalam dunia persilatan. Baik pengetahuan maupun pengalamannya
boleh dibilang luas sekali, ditambah lagi dia adalah seorang manusia yang licik dan banyak
akalnya. Sejak awal pertarungan, dia hanya bergerilya belaka memeras tenaga Coa Cong-gi,
menanti jalannya pertarungan sudah dikuasahi, dia baru pukul sana hantam kemari seperti orang
lagi mempermainkan musuhnya. Pada hal hakekatnya ia sedang mencari kesempatan untuk
menyarangkan pukulannya ketubuh lawan. Sayang musuhnya ini berani mati. Ilmu silatnya juga
istimewa, bertarung sekian lama dia belum berhasil juga untuk memenuhi harapannya.
Coa Cong-gi semakin berang, ketidak-sabarannya membuat mukanya sampai ketelinga jadi
merah padam, napasnya ngos-ngosan seperti kerbau. Serangan yang dilancarkan juga semakin
ngawur.
Hoa In-liong merasa amat terperanjat cepat teriaknya dengan suara lantang, “Tenang…..!
Tenang…..! Saudara Cong-gi, Jangan
keburu nafsu, bertempurlah pelan-pelan….”
Bagaikan bayangan setan, Bwee Su-yok menerjang maju kemuka, bentaknya dengan dingin,
“Sudah, kamu tak usah campuri urusan orang lain, uruslah dirimu sendiri”
Telapak tangannya segera diayun kedepan menghajar batok kepala anak muda itu.
Cukup keji serangan tersebut bahkan tenaganya bagaikan bukit Thay san yang memindah di atas
kepala. Dalam kejutnya Hoa In-liong berusaha untuk berpaling sambil berkelit, tapi sayang terlambat,
ia saksikan telapak tangan musuh yang putih bagaikan pualam itu tahu-tahu sudah
berada beberapa inci diatas kepalanya.
Untunglah disaat yang amat kritis itu terdengar Kiu-im-kaucu membentak nyaring, “Aku
menginginkan yang hidup!”
Bentakan tersebut penuh bernada kemarahan yang memuncak.
Bwee-Su-yok terperanjat, gerakan tangannya segera terhenti ditengah jalan. Menggunakan
kesempatan itu Hoa In-liong menjejakkan kakinya dan mundur delapan depa ke belakang,
dengan demikian loloslah dia dari ancaman tersebut.
Hoa In-liong memang jauh berbeda dengan manusia biasa, bila orang biasa yang baru lolos dari
ancaman bahaya maut, niscaya nyalinya akan pecah dan peristiwa itu akan mengakibatkan
kemarahan yang mendekati kalap. Sebaliknya Hoa In-liong tetap tenang, dipandangnya sekejap
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
230
sekeliling arena pertarungan, kemudian sambil mengerahkan tenaga dalamnya dia membentak
nyaring, “Tahan!”
Bentakan itu diutarakan dengan tenaga penuh, kerasnya bagaikan guntur yang membelah bumi
di siang hari bolong, membuat jantung orang bukan saja berdebar keras, telingapun jadi sakit
rasanya.
Jangan dibilang Coa Cong-gi yang memang keteter hebat, Si Nio berdua yang sedang bertarung
melawan Kek Thian-tok pun berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Ketika
mendengar bentakan tadi, semuanya terkejut dan serta merta juga pertarungan pun terhenti.
Paras muka Kiu-im-kaucu agak berubah, diam-diam pikirnya didalam hati kecil, “Hebat juga
tenaga dalam yang dimiliki bocah itu, rasanya tidak berada dibawah kemampuan Hoa Thianhong.
Aku tak boleh terlalu memandang enteng orang ini!”
Sementara dihati kecil dia berpikir demikian, diluaran segera tegurnya dengan lantang, “Ada apa?
Ada persoalan yang hendak kau ucapkan….?”
Hoa In-liong tidak menggubris pertanyaan itu, dia berpaling ke arah Si Nio yang masih berdiri
dengan muka menyeringai dan serunya, “Kau boleh temani nonamu untuk, berlalu lebih dulu dari
sini!”
Si Nio tertegun, kemudian serunya mendadak, “Dengan dasar apakah engkau memerintah
aku….?”
“Persoalan yang sedang kami hadapi sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan diri kalian
berdua maka kuanjurkan janganlah mencampuri urusan ini!”
Maksud dari ucapan anak muda itu cukup jelas, ia telah bersiap sedia melangsungkan
pertempuran mati-matian, maka diharapkan orang yang tak ada sangkut pautnya dengan
kejadian itu dipersilahkan untuk berlalu lebih dulu.
“Tidak….!” si nona baju hitam itu segera menampik, “Kalau mau pergi, kita harus pergi bersamasama!”
“Nona tak usah kuatir” kembali Hoa In-liong membujuk, aku kan sudah berkata bahwa urusan
ayahmu tak akan kucampuri? Pokoknya bila persoalan ditempai ini sudah selesai, aku pasti akan
mencari nona untuk merundingkan lagi tentang persoalan ini”
“Huuuh……” Enak benar kalau bicara, bagaimana kalau seandainya kau mampus?” sela Si Nio
dengan suara parau.
“Ngaco-belo!” bentak nona baju hitam dengan muka dingin, “Siapa yang suruh engkau mencampuri
urusan ini? Sana menyingkir jauh jauh dari sini”
“Aku tidak mengapa ada, semua perkataanku adalah sejujurnya. Andaikata dia sampai mati
terbunuh Kiu-im-kaucu, bukankah kita akan menggigit jari?”
Tentu saja dibalik semua persoalan itu, sebetulnya terdapat suatu hubungan yang aneh sekali
dan hubungan itu cukup membingungkan mereka mereka yang terlibat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
231
Tak bisa diragukan lagi, si nona baju hitam itu menaruh kesan yang sangat mendalam terhadap
Hoa In-liong, akan tetapi diapun menguatirkan keselamatan ayahnya, karena itu perasaannya
jadi serba salah, caranya berbicarapun jadi mengarah dua bagian.
Sebaliknya Si Nio amat setia kepada majikannya. Apa yang dikuatirkan cuma keselamatan
majikan tuanya. Selain itu diapun kuatir majikan mudanya terjebak dalam jaring cinta, maka
setiap saat dia berusaha menyakiti hati Hoa In-liong, sedang keputusan dan caranya
berpandangan pun sangat tegas.
Hoa In-liong pribadi hakekatnya tidak mempunyai prasangka apa-apa. Dia mengira apa yang diucapkan
Si Nio adalah kata-kata yang sejujurnya dan tujuan si nona baju hitam membantu dirinya
serta menguatirkan keselamatan jiwanya juga tak lain demi keselamatan ayahnya, sebab itu dia
cuma tertawa ewa. “Sudah….. pergi!, pergi sana!” serunya sambil ulapkan tangan, “Aku yakin
masih mempunyai kemampuan untuk menjaga diri, kalian tak usah menyia-nyiakan waktu bagi
urusan yang tak penting lagi!”
Terdengar Bwee Su-yok mendengus dingin dengan bibir dicibirkan, sedangkan Siau Ciu yang selama
ini hanya membungkam terus, sekarangpun berseru sambil tertawa seram, “Heeeh….
hee…… heee…… mau pergi? Aku rasa tak akan segampang itu!”
Hoa In-liong mengalihkan pandangan matanya kesekeliling gelanggang, lalu tersenyum.
“Ooooh….! Rupanya saudara Siau juga terhitung salah seorang anggota Kiu-im-kau. Suatu
kejadian yang sama sekali tak terduga bagiku!” ejeknya.
Lantaran soal Wan Hong-giok yang dicintainya Siau Ciu merasa benci sekali terhadap Hoa Inliong
boleh dibilang rasa bencinya itu sudah merasuk kedalam tulang sumsum. Mendengar itu,
dia celingukan kesana kemari, kemudian katanya, “Hmmm! Engkau gemar bermain perempuan
kesana kemari, berani menggaet juga sumoay aku orang she Siau…..”
Mendadak perkataannya terputus sampai ditengah jalan, dia menjura kepada Kiu-im-kaucu dan
berkata, “Hamba minta ijin untuk turun ke gelanggang”
“Kau hendak beradu tenaga dengan Hoa siau-hiap?” tanya Kiu-im-kaucu dengan sangsi.
“Hamba minta ijin untuk menahan perempuan itu!” jawab Siau Ciu dengan hormat.
“Huuuh…. kamu itu manusia macam apa?” maki Hoa In-liong dengan suara mendongkol.
Siau Ciu menengadah lalu menjawab, “Aku hendak menggunakan cara yang sama untuk
menghadapi dirimu. Kau telah merampas pacarku, maka sekarang aku orang she Siau juga akan
bunuh kekasihmu ini, akan kusuruh engkau bagaimana sengsaranya orang patah hati!”
Hoa In-liong betul-betul dibuat menangis tak bisa tertawapun tak dapat, tapi ia masih berusaha
mengendalikan hawa amarahnya. Dalam keadaan begini ia betul-betul segan untuk memberi
perjelasan. “Hmmmm…..! Bagus, bagus sekali” serunya sambil mendengus dingin “kalau engkau
memang merasa bernyali, kenapa tidak bertempur saja melawan diriku?”
“Hmmm, engkau adalah milikku, kenapa musti cerewet?” tukas Bwee Su-yok dari samping
dengan dingin “Kalau ingin turun tangan, ayolah kulayani keinginanmu itu!”
Telapak tangannya segera diayun kedepan, segulung angin pukulan yang maha dahsyat segera
meluncur kedepan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
232
Hoa In-liong miringkan badannya menghindarkan diri dari ancaman tersebut, kemudian hardiknya,
“Tunggu sebentar!”
Setelah berhenti sejenak, dengan sinar maita yang tajam tiba-tiba ia berpaling ke arah Kiu-imkaucu,
lanjutnya, “Sebelum terjadi peristiwa apa-apa, hendak kuperingatkan lebih dulu
kepadamu, andaikata ada orang hendak menyusahkan Si Nio berdua, Heeh…. hee…. hee…..
Kaucu! Jangan salahkan kalau aku akan bertindak kejam!”
Tiba-tiba nona berbaju hitam itu berseru, “Siapapun jangan harap bisa menyuruh aku tinggalkan
tempat ini, kalau tidak…… Aduh!”
Rupanya tanpa menimbulkan sedikit suarapun Si Nio menotok jalan darah kakunya. Begitu
majikannya terkulai, dengan gerakan paling cepat disambarnya nona itu, lalu sambil
mengempitnya dengan gerakan cepat perempuan jelek itu meluncur turun ke bawah bukit.
Siau-Ciu menggerakkan tubuhnya akan mengejar tapi Kiu im kaucu keburu berseru dengan lantang,
“Kembali! Biarkan mereka pergi….”
Siau Ciu tak berani membangkang, terpaksa dia menghentikan gerakan tubuhnya dan melotot
sekejap ke arah Hoa In-liong dengan gemas.
Hoa In-liong sendiri pura pura tidak melihat, dia malah berpaling ke arah Cong-gi sambil berkata.
“Saudara Cong-gi, engkau juga harus pergi dari sini!”
“Kenapa musti pergi?” teriak Cong-gi dengan mata melotot dan dan alis mata berkenyit,
“Memangnya kau anggap aku adalah seorang pengecut yang takut mampus?”
Hoa In-liong tersenyum. “Tentu saja tidak!” sahutnya, “Kiu-im-kaucu hendak menangkap siaute.
Sekalipun aku tak tahu apa maksud tujuannya, tentu saja siaute tak dapat menyerah dengan
begitu saja, maka siaute akan bertempur mati matian melawan mereka!”
“Kalau memang begitu, ayolah kita kerjakan!” teriak Coa Cong-gi dengan lantang, “Sekalipun
harus mampus, delapan belas tahun kemudian aku juga akan hidup lagi sebagai seorang lakilaki”
“Saudara Cong-gi, aku kagum sekali oleh kegagahanmu, akan tetapi sebagaimana pun juga…..”
“Sudah, kau tak usah banyak bicara lagi, kalau mau bertempur ayoh kita lakukan sekarang juga!”
“Dengarkan dulu perkataanku” bujuk In-liong “Jika aku mati kaulah yang berkewajiban untuk
membalaskan dendam bagiku, apalagi…. Yaa, harap saja saudara Cong-gi jangan tersinggung,
hakekatnya ilmu silatmu bukan apa-apaku. Bila engkau turut campur bukannya membantu malah
justru akan memecahkan perhatianku. Aku justru malahan tak bisa pusatkan perhatian untuk
ber-tempur melawan mereka”
Perkataan semacam itu boleh dibilang sangat blak-blakan dan berterus terang, andaikata orang
lain yang diucapi kata-kata seperti itu, sedikit banyak mereka akan berpikir dua kali. Apa mau di
bilang Coa Cong-gi adalah pemuda yang setia kawan. Dia tak mau tahu soal lain kecuali
tujuannya. Maka berbicara dengannya sama juga seperti tidak berbicara sama sekali.
Tampak sinar matanya berkilat, lalu dengan suara tak senang hati teriaknya, “Kenapa?
Memangnya cuma kau saja yang boleh tunjukkan kebolehannya sedang orang lain tidak boleh?
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
233
Kalau kau suruh aku kabur meninggalkan teman, lantas jadi apakah aku Coa Cong-gi dimata
orang?”
Melihat kekerasan hati rekannya itu. Hoa In-liong jadi cemas, serunya lagi, “Tapi dalam soal ini
bukan soal setia kawan atau tidak, situasi yang kita hadapi sekarang……”
“Sudah, tak usah banyak bicara lagi, aku tak mau mendengarkan!” tukas Coa Cong-gi tiba-tiba
dengan suara keras.
Begitu selesai berteriak, dia lantas melompat ke depan Seng Sin-sam dan langsung
mengayunkan kepalanya untuk menyerang.
Setelah beristirahat sebentar, tenaga dalamnya telah pulih kembali seperti sedia kala, otomatis
tenaga serangannya juga amat hebat pula.
Seng Sin-sam cepat berkelit kesamping menghindarkan diri dari serangan musuh yang lihay,
kemudian sambil menerjang maju kedepan dia balas melancarkan serangan berantai.
Begitulah, pertarungan pun segera berkobar. Dua orang itu saling menyerang dengan gencarnya.
Angin pukulan bayangan telapak tangan memenuhi seluruh angkasa, untuk sesaat mereka
bertempur dalam keadaan seimbang dan sama kuat.
Melihat rekannya sudah bertempur, Hoa In-liong pun tak bisa berbuat apa-apa lagi, dia lantas
berpikir, “Rasa setia kawannya setinggi langit, Yaa… aku harus kagum dan berterima kasih
kepada dia”
lapun berpaling kepada Kiu-im-kaucu, lalu ujarnya dengan dingin, “Aku ingin mergisahkan semua
cerita, bersediakah kaucu untuk mendengarkan?”
“Eeee… dalam keadaan semacam inipun kau masih berniat untuk bercerita?” tanya Kiu-im-kaucu
keheranan.
“Ooooh….Ceritanya pendek sekali, tak akan makan waktu terlalu banyak untuk mengisahkannya!”
Kiu-im-kaucu tersenyum. “Kalau engkau memang punya kegembiraan untuk berbuat demikian,
ceritakanlah, aku akan mendengarkannya dengan seksama!”
“Dulu, ketika raja Chu Pah-ong menderita kekalahan total disungai Wu-kang, Han Ko-cou yang
cerdik dan bijaksana tiada bermaksud memaksa lawannya untuk bunuh diri. Dalam hati kecilnya
dia hanya bermaksud untuk mendesaknya hingga tak ada jalan kabur lagi dan suruh dia
menyerah kalah dan dipakai tenaganya”
Kiu-im-kaucu tertawa terbahak-bahak setelah mendengar cerita itu. ”Haaa….. haa….. haa…..
Engkau memang pandai sekali memutar balikkan duduknya perkara, setelah mengalami
kekalahan demi kekalahan ditangan Siang Yu, hakekatnya rasa benci Lau Pang kepadanya sudah
mencapai taraf ingin mendahar dagingnya, menghirup darahnya, mana mungkin ia berniat untuk
menerimanya sebagai pembantu? Apalagi setelah menderita kekalahan yang total Siang Yu toh
akhirnya gorok diri dan mati? Cerita seperti itu bukan cerita lagi namanya, tapi merupakan
catatan sejarah”
“Dalam sejarah hanya tercatat bagaimana akhir dari kejadian itu, padahal Chu Pah ong
mempunyai kekuatan yang bisa mencabut bukit. Dia merupakan seorang jendral yang tangguh
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
234
dalam usaha mempersatukan semua daratan Han-Ko cou membutuhkan manusia-manusia
berbakat semacam itu, dari mana kaucu bisa mengatakan bahwa ia bermaksud untuk
membunuhnya?”
Kiu-im-kau tertawa, sahutnya, “Lau pang tidak mempunyai kebijaksanaan untuk mengampuni
musuh-musuhnya, setelah Siang-Yu mati, duniapun jadi aman, apa perlunya dia musti menerima
jendral musuh sebagai panglimanya?”
Tiba-tiba seperti baru saja memahami sesuatu, ia berhenti sejenak, lalu sambil berpaling ke arah
pemuda itu lanjutnya, “Apa maksudmu mengucapkan kata-kata semacam itu? Apakah engkau
telah mengambil keputusan hendak beradu jiwa denganku?”
“Haaah….. haa….. haa……….Akhirrnya kaucu mengerti juga maksudku……! Seru Hoa In-liong
sambil tersenyum.
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah bersungguh-sungguh ujarnya lebih jauh, “Keluarga Hoa
cuma mempunyai anak cucu yang rela kehilangan kepala, tapi tak akan mempunyai keturunan
yang sudi ditawan. Sekalipun aku sudah tersudut dan tak ada jalan pergi lagi, akan kugunakan
segenap kemampuan yang kumiliki untuk melakukan perlawanan hingga titik darah peng
habisan. Aku lebih rela mati konyol daripada ditawan dan dihina olehmu. Kalau toh kaucu sudah
memahami perkataan itu, hal ini jauh lebih baik lagi. Tapi sebelumnya hendak kuterangkan dulu
kepadamu, bila ada yang terluka atau sampai tewas, maka semuanya adalah tanggung jawab
kaucu sendiri. Sebab setelah bertempur narti, aku tidak akan berlaku sungkan sungkan lagi.”
Mula-mula kiu im kaucu tertegun, menyusul kemudian diapun tersenyum geli. “Aaah… kamu ini
selalu ada-ada saja!” tegurnya, “Urusan tak akan berubah jadi demikian seriusnya. Aku kan
bukan Lau pang sedang engkau juga bukan Siang Yu dari kerajaan Chu. Tidak mungkin kau akan
kudesak hingga kehilangan jalan mundur!”
“Hmm, ucapan semacam itu hanya perkataan yang sama sekali tak ada artinya” tukas Hoa Inliong
“Demi dendam kematian Suma siok-yamu, juga dengan mencegah ambisi Kiu-im-kau kalian
merajai dunia persilatan dan menciptakan badai pembunuhan, bagaimanapun juga harus
mencampuri urusan ini. Tapi karena semenjak kecil aku sudah dididik ketat, aku tak ingin
bertindak secara gegabah. Seandainya aku kalah maka aku pun akan berusaha untuk
mengundurkan diri dari sini, jika kaucu bermaksud menangkap hidap-hidup diriku…. Heee…
hee….. hee…… Lebih baik jangan bermimpi disiang hari bolong”
“Hmm! Engkau ingin beradu jiwa?”, jengek Bwee Su-yok dengan dingin “Justru nona tak akan
membiarkan engkau mampus!”
Hoa In-liong tersenyum, pelan-pelan dia alihkan pandangan matanya ke arah gadis itu, kemudian
sahutnya, “Bukannya aku sengaja berbicara sombong, jika kalian hendak main kerubut maka
untuk membunuh aku gampang, tapi mau menangkap aku….? Huuh, bukan urusan gampang”
“Seandainya aku turun tangan sendiri?” tanya Kiu-im-kaucu secara tiba-tiba.
“Kau maju sendiri juga sama saja!” jawab Hoa In-liong dingin, ucapannya sangat tegas.
Mendengar jawaban tersebut, paras muka Kiu-im-kaucu berubah hebat, ia tertawa dingin tiada
hentinya.
Haruslah diketahui, Kiu-im-kaucu adalah seorang manusia yang berpandangan picik dan amat
menitik beratkan soal dendam dan sakit hatinya. Tapi sikapnya selama ini terhadap Hoa In-liong
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
235
bisa ramah hal ini dikarenakan pertama, usianya sudah makin lanjut, otomatis watak dan
sikapnya juga jauh lebih ramah, kedua dimasa lalu dia mempunyai kesan yang baik terhadap
ayah ibu Hoa In-liong, yakni rasa kagumnya terhadap Hoa Thian-hong dan rasa sayangnya
terhadap Pek Kun-gi.
Hoa In-liong sangat mirip dengan ayah ibunya. Lagipula sebagai seorang angkatan yang lebih
muda ditambah pemuda itu bukan sasaran dari gerakannya kali ini, maka untuk
mempertahankan gengsinya sebagai seorang angkatan tua, dia berusaha untuk mengendalikan
sifat ganasnya.
Tapi sekarang sikap Hoa In-liong yang serius dan suaranya yang dingin telah menyinggung perasaan
serta gengsinya. Sebagai seorang manusia yang berpandangan sempit tentu saja paras
mukanya berubah hebat, karena gusarnya dia tertawa seram.
Hoa In-liong tetap berdiri tanpa perubahan, sementara hawa murninya diam-diam telah
disiapkan, berjaga-jaga atas sergapan yang tiba-tiba akan dilakukan Kiu im kaucu.
Ditengah keheningan yang mencekam sekeliling puncak bukit itu, tiba-tiba terdengar suara
seruan merdu berkumandang datang, “Disini….! Disini…..! Ibu, ayoh cepat sedikit….”
Suara itu berasal dari sisi kanan puncak bukit itu, tanpa sadar Hoa In-liong berpaling ke arah
mana berasalnya suara tadi, terlihatlah sesosok bayangan merah melayang turun dari tengah
udara. Di belakang bayangan merah tadi mengikuti seorang nyonya setengah baya yang
memakai baju warna hijau.
Ketajaman mata Hoa In-liong luar biasa, meskipun ia berdiri dipuncak bukit enam-tujuh puluh
kaki jauhnya dari bayangan itu, cukup dalam sekilas pandangan ia dapat melihat bahwa
perempuan setengah baya itu sangat cantik dan berwajah agung, usianya antara empat puluhan.
Sedangkan bayangan merah didepannya adalah seorang gadis muda yang berparas cantik jelita.
Keayuan nona itu menandingi kecantikan Bwee Su-yok, cuma dia lebih lincah dan penuh gairah
hidup, jauh berbeda dengan Bwee Su-yok yang dingin kaku bagaikan salju.
Hoa In-liong yang romantis. Dalam keadaan begitu tidak bernafsu lagi untuk menikmati
kecantikan paras mukanya, ia lebih terkesima oleh keindahan gerak tubuh yang didemontrasikan
nona tadi.
Ketika melayang turun dari udara, tubuhnya lurus dan tidak bergeser barang sedikitpun ke
samping. Keindahan dan kelincahannya melebihi bidadari dari kahyangan. Ini menunjukkan kalau
ilmu silatnya sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Usia nona itu baru enam tujuh belasan, tapi dengan usia semuda itu ilmu silatnya sudah
mencapai puncak kesempurnaan. Siapa yang akan percaya dengan kejadian ini bila tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri?
Termangu-mangu Hoa In-liong melihat kelihayan orang, dalam hati dia lantas berpikir, “Murid
siapakah gadis itu? Sungguh tak kusangka dalam dunia persilatan masih terdapat kepandaian
sakti yang jauh melebihi keampuhan keluarga Hoa kami!”
Ketika masih melayang diudara, tanpa mengurangi daya luncur badannya tiba-tiba saja nona itu
berseru, “Ibu, coba lihatlah! Masa untuk melawan seorang tua bangka pun koko tak mampu
untuk memenangkannya, betul-betul memalukan sekali! Sekembalinya disini dia musti dihukum
berlutut selama tiga hari dan tak boleh makan!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
236
“Kau yang musti dihukum berlutut didepan altar selama tiga puluh hari tanpa boleh makan!”
teriak Coa Cong-gi dengan geram.
Si-nona cantik itu tertawa cekikikan. “Siapa suruh kau tidak pulang semalaman, tapi lari kesini
dan berkelahi dengan orang? Kau telah bikin susah diriku saja….. Mendingan kalau menang,
Huuh! Mengalahkan pun tak mampu…… Kau musti dihukum untuk berlatih lebih tekun lagi”
Setelah melayang keatas tanah, dua orang itu pelan-pelan maju ketengah gelanggang.
“Wi-ji, jangan ribut dulu” seru nyonya setengah baya itu, “Kita berlatih ilmu silat adalah untuk
menguatkan badan. Ilmu silat bukan dipakai untuk cari nama atau ribut-ribut dengan orang”
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya, “Anak Gi, cepat berhenti! Ayoh pulang!”
Coa Cong-gi tidak menguasai tenaga dalamnya secara sempurna, sejak pertama kali tadi sudah
keteter hebat. Keadaannya pada saat ini mengenaskan sekali. Peluh membasahi sekujur
badannya, untuk berbicara rasanya sulit sekali. Karena itu dia hanya membungkam belaka walau
mendengar seruan dari ibu dan adiknya. Semua kekuatan dan pikirannya hanya terpusat untuk
mematahkan serangan-serangan dahsyat dari lawannya.
Hoa In-liong hampir tak percaya dengan pendengaran sendiri, ditatapnya kedua orang
perempuan itu dengan termangu-mangu, sementara dalam hati kecilnya merasa kaget sekali.
“Yaa ampun, jadi perempuan itu adalah ibu dan adiknya saudara Cong-gi? Benar-benar diluar
langit masih ada langit, diatas manusia masih ada manusia!”
Kiu-im-kaucu lebih-lebih terkejut lagi, diapun berpikir, “Jadi perempuan itu adalah ibunya bocah
she Coa itu? Waah….. tampaknya apa yang kuharapkan sukar tercapai hari ini, aku harus
mencari akal untuk mengatasi persoalan ini”
Perempuan ini licik dan berakal panjang, sebelum tujuannya tercapai dia segan untuk berhenti
ditengah jalan. Sekalipun dia telah sadar bahwa tenaga dalam yang dimiliki pendatang itu lihay
sekali dan mungkin ilmu silatnya bukan tandingan tapi ia tak sudi berhenti sampai disitu saja.
Diapun tahu perempuan itu adalah ibunya Coa Cong-gi, sedang Coa Cong-gi yang setia kawan
adalah sahabat karib Hoa In-liong. Bila dia ingin menangkap Hoa In-liong, serta merta akan
bentrok juga dengan ibu dan putrinya itu, padahal keyakinan untuk menang tak ada, dapat
dibayangkan betapa kacaunya pikiran kaucu itu.
Kendati begitu, air mukanya tetap tenang dan kalem, sedikitpun tak nampak panik atau bingung
dari sini semakin kentaralah bahwa watak Kiu-im-kaucu memang keras sekali.
Selang sesaat kemudian, diam-diam ia memberi tanda kepada anak buahnya dengan kode yang
tidak dimengerti orang lain, serentak kawanan jago dari Kiu-im-kau itu bersiap-siap untuk
mengundurkan diri dari tempat kejadian.
Dalam pada itu, Hoa In-liong masih belum merasa apa-apa, sedang Coa Cong-gi juga lagi
bertempur dengan sungguh-sungguh.
Lama kelamaan nyonya setengah baya itu mulai merasa tak sabaran, dia melirik sekejap ke arah
putrinya, kemudian berkata, “Anak Wi, pergi kesana dan gantikan engkoh-mu, tapi jangan lukai
orang!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
237
Gadis cantik yang disebut anak Wi itu mengiakan, dengan langkah yang lembut ia masuk ke
dalam arena.
Pada saat itulah, dengan suatu gerakan yang cepat bagaikan sambaran kilat Kiu-im-kaucu
menerjang kedepan, jari tangannya langsung menotok jalan darah Ji-keng-hiat didada kiri Hoa
In-liong.
Mimpipun si anak muda itu tak menyangka kalau dia bakal disergap, tak ampun tubuhnya jadi
lemas dan roboh ke tanah dalam keadaan tak sadar.
Kiu-Im-kaucu yang telah menyusun siasatnya, cepat mengempit tubuh si pemuda itu dan kabur
ke depan, serunya, “Ayoh mundur!”
Dengan menutulkan ujung toyanya keatas permukaan tanah, ia kabur menuju hutan lebat
disebelah kiri. Sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Melihat ketuanya sudah mengundurkan diri, kawanan jago dari Kiu-im-kau ikut berseru pula dengan
nyaring, masing-masing segera menggerakkan tubuhnya ikut kabur juga dari sana.
Tak terkirakan rasa kaget Coa Cong-gi menyaksikan kejadian itu, segera bentaknya, “Eeeh…..
mau lari kemana kalian? Tinggalkan dulu orang itu!”
Ujung kakinya segera menjejak permukaan tanah, dengan gerakan yang cepat dia ikut mengejar
kedalam hutan.
Tapi baru beberapa kaki dia berlalu “Wi-ji” bagaikan bayangan sudah menyusul dihadapannya,
sambil menghadang jalan pergi kakaknya dia berseru nyaring, “Eeeh… mau apa kamu? mau coba
kabur yaa?”
“Minggir, minggir Aku harus menolong temanku itu…” teriak Coa Cong-gi dengan paniknya.
Dia menyusup kesamping dan mencoba untuk kabur lewat samping tubuh adiknya.
Siapa tahu gerakan tubuh Wi-ji jauh lebih cepat dari padanya, baru saja badan pemuda itu
bergerak, tahu-tahu nona itu sudah menghadang lagi dihadapannya. “Siapakah orang itu?”
“Siapakah orang itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan kita” tukas nyonya setengah
baya itu tiba-tiba “Anak Gi ayoh kembali!”
Mendengar panggilan dari ibunya itu, Coa Cong-gi tak berani membangkang, terpaksa dia
menyahut, “Tapi…. Tapi…. Ibu, orang itu adalah putranya Hoa tayhjap, dia adalah sahabat
karibku”
“Siapa sih Hoa tayhiap itu?” sela Wi-ji.
“Aaah….! Kamu anak perempuan, lebih baik jangan banyak bertanya” tukas Coa Cong-gi cepat
apalagi dia sedang menguatirkan keselamatan rekannya. Jawaban tersebut kedengaran ketus
sekali.
Kontan saja Wi-ji mengerutkan dahinya, “Eeeh….. eeehh…… Koko, kau berani galak yaa?”
teriaknya dengan penasaran “Tak usah bertanya yaa tak usah bertanya, siapa yang pingin tahu?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
238
Dengan bibir dicibirkan dia lantas berdiri bertolak pinggang dan persis menghadang jalan
perginya, tampaknya gadis itu berprinsip demikian, ‘Boleh saja aku tak usah banyak bertanya,
tapi engkaupun jangan harap bisa lewat dari hadapanku.’
Rupanya Coa Cong-gi cukup mengetahui sifat binal dari adiknya ini, bukan saja dimanja ibunya
ilmu silatnya berkali-kali lipat lebih lihay dari kepandaian sendiri, pemuda itu segera menyadari
kekeliruan sendiri.
Terpaksa dengan muka merengek katanya, “Oooh… adikku yang baik, koko sudah salah bicara,
maafkanlah daku….. berilah jalan kepadaku agar aku bisa lewat. Ketahuilah orang itu adalah
sahabat karib kokomu dan sekarang dia sudah ditangkap orang. Bila koko tidak berusaha untuk
menyelamatkan jiwanya, tentulah aku akan dianggap sebagai manusia pengecut yang takut mati.
Aku pasti akan dituduh orang bukan laki-laki yang setia kawan”
“Lalu apa sangkut pautnya dengan aku?” jengek Wi-ji dengan sinar mata tajam memancar ke
luar dari matanya.
“Bagaimana sih tak ada hubungannya dengan kau? bagaimanapun juga aku kan saudara
kandungmu” seru Coa Cong-gi dengan gelisah.
Tiba-tiba hatinya agak bergerak, cepat ujarnya lagi, “Baiklah, kuberitahukan kepadamu semua
yang kuketahui. Hoa tayhiap bernama Hoa Thian-hong orang menjulukinya sebagai Thian-cukiam.
Ia berdiam di perkampungan Liok Soat Sanceng yang ada dibukit In-tiong-san dalam
bilangan propinsi San-see. Dia adalah seorang pendekar besar yang bijaksana dan berbudi luhur.
Sedang sahabat koko tadi bernama Hoa Yang alias In-liong. Dia dilahirkan pada tahun Jin-seng,
bulan cia-gwee tanggal sembilan belas, tahun ini berusia delapan belas tahun, dia adalah putra
nomor dua dari Hoa-tayhiap. Orangnya gagah, romantis dan supel menarik sekali dalam
pergaulan…..”
Dasar berangasan dan lagi sedang cemas, Coa Cong-gi hanya tahunya berusaha untuk melepaskan
diri dari hadangan adiknya. Otomatis apa yang diucapkan juga sembarangan tanpa dipikir
lebih jauh, bukan saja tanggal lahir Hoa In-liong disebut, malahan wataknya yang romantis juga
disinggung.
Pemuda itu tentu saja mengucapkan kata-kata itu tanpa disertai maksud tertentu, berbeda
dengan ibunya. Amarahnya kontan memuncak sehabis mendengar perkataan tadi, sebelum
putranya menyelesaikan kata-katanya itu dia sudah menukas, “Anak Gi, kau lagi ngaco belo
apaan?”
“Aku tidak ngaco belo, semua perkataanku adalah kata kata yang sejujurnya” sahut Coa Cong-gi
dengan mata terbelalak karena panik bercampur gelisah.
“Kalau tidak, kenapa tanggal lahir orang lain pun kau sebutkan dihadapan adikmu?”
“Apa salahnya? Hoa loji kan bukan orang luar. Dia dan aku adalah sahabat…..”
“Mengherankan! Benar-benar mengherankan!” tukas nyonya setengah baya itu dengan wajah
be-rubah, “Dari dulu sampai sekarang, lagakmu selalu ketolol-tololan. Sampai kapan
kecerdikanmu itu baru muncul?”
Sekali lagi Coa Cong-gi tertegun, setelah hening sejenak, tiba-tiba ia baru teringat bahwa ka
anan jago dari Kiu-im-kau telah lenyap dari pandangan, sekarang dia baru gelisah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
239
Dalam keadaan seperti ini, si anak muda itu segan untuk mengurusi perkataan ibunya lagi, teriaknya
cepat, “Sudah….. Sudahlah, ibu tak usah mengurusinya lagi pelan-pelan toh aku bakal
cerdik sendiri, yang penting sekarang adalah menyelamatkan jiwa orang!”
Badannya lantas menyusup kesamping dan siap menerobos lewat dari sisi Wi-ji untuk kabur ke
arah hutan.
Kali ini Wi-ji tidak menghalanginya, tapi ibunya telah membentak dengan nyaring, “Berhenti!”
Mau tak mau Coa Cong-gi berhenti juga, serunya dengan wajah setengah merengek, “Mau apa
lagi ibu? Sekarang aku harus pergi menolong temanku itu. Kalau gagal maka aku akan malu
untuk berjumpa dengan teman-teman yang lain dan akupun jangan harap bisa tampilkan diri lagi
didalam dunia persilatan!”
Menyaksikan tampang putranya yang mengenaskan itu, nyonya setengah baya tersebut akhirnya
jadi tak tega, diam-diam dia menghela napas panjang.
“Aaaa…..! Bagaimanapun jua, dia toh sudah pergi jauh, sekalipun kau kejar juga tak ada
gunanya. Kemarilah dulu, aku ada persoalan hendak dibicarakan dengan dirimu”
Coa Cong-gi merasa perkataan itu ada benarnya juga, hutan itu lebat sekali. Sedang orang-orang
Kiu-im-kau kabur dengan menerobosi hutan lebat itu. Dia tak tahu ke arah manakah mereka
telah pergi?
Jelek- jelek Coa Cong-gi bukan seorang anak yang tidak berbakti. Sekalipun gelisah juga tak ada
gunanya, terpaksa dengan uring-uringan dia menghampiri ibunya.
“Anak-Gi!” kata nyonya setengah baya itu kemudian dengan lembut, “Benarkah engkau sangat
berhasrat untuk melakukan perjalanan didalam dunia persilatan?”
“Kakek moyang kita kan orang persilatan semua?” seru Cong-gi dengan cepat.
Nyonya itu mengangguk. “Sekalipun demikian, tapi diantara turun-temurun juga tinggal ibumu
seorang yang masih hidup. Sejak kongcou mu meninggalkan pesan yang melarang anak cucunya
melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, sudah lima generasi yang menaatinya dengan
sungguh-sungguh, apakah pesannya ini harus dilanggar olehmu saat ini?”
“Ananda mana berani melanggar pantangan dari kongcou. Akan tetapi aku selalu beranggapan
bahwa sebagai keturunan orang persilatan, sepantasnya kalau kita gunakan ilmu silat yang miliki
untuk melenyapkan kaum durjana dari muka bumi. Sepantasnya kita melakukan perbuatan mulia
yang menguntungkan orang banyak, dengan demikian baru beranilah kehidupan kita sebagai
anggota persilatan di dunia ini!”
Nyonya setengah baya itu tersenyum. “Janganlah kau anggap ibumu tidak mengerti dengan jalan
pikiranmu itu….” katanya. “Tapi kaupun harus tahu, sebagai anggota persilatan maka kehidupan
kita sepanjang hari adalah bergelimpangan diantara mayat dan darah. Sekali terlibat dendam
sakit hati, jangan harap perselisihan itu bisa diakhiri dengan begitu saja. Kehidupan keluarga kita
sekarang meski sederhana dan tidak mencampuri urusan orang, toh bagaimanapun juga
keluarga kita terhitung sebagai keluarga pemuka persilatan yang cukup tersohor di kota Kimleng.
Asal kita menuruti selalu peringatan dari kongcoumu, orang tak akan menyusahkan diri
kita, apa salahnya kalau kita hidup tenang?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
240
Coa Cong-gi menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi belum sempat ia
berkata, Wi-ji yang cantik telah menimbrung dari samping, “Ibu! Kalau toh engkau telah
membicarakan persoalan itu, maka akupun hendak mengucapkan pula sesuatu kepada ibu!”
Nyonya itu tersenyum. “Kalau ingin bicara, katakanlah cepat!” katanya.
Dengan wajah bersungguh-sungguh Wi-ji lantas berkata, “Aku rasa Kongcou bisa meninggalkan
pesan semacam itu, mungkin hal ini dikarenakan ada hubungannya dengan jumlah anggota
keluarga kita bukan?”
“Sebenarnya apa yang hendak kau ucapkan? Kenapa musti berputar kayun? Mengapa tidak kau
utarakan saja berterus terang?”
“Baik!” ucap Wi-ji setelah ragu-ragu sejenak, “Kalau ibu ingin aku bicara terus terang, biarlah aku
bicara secara blak-blakan. Aku rasa keturunan ada sangkut pautnya dengan nasib, maka pesan
dari kongcu ini kurang begitu sesuai rasanya!”
Mula-mula nyonya setengah baya itu agak tertegun setelah mendengar perkataan itu, menyusul
kemudian sambil tersenyum katanya, “Dihari-hari biasa engkau selalu menuruti perkataanku,
selalu setuju dengan caraku berpikir. Sungguh tak kusangka rupanya dalam hati kecilmu kau
mempunyai cara berpikir yang tak berbeda dengan kokomu”
“Tapi caraku berpikir kan masuk diakal” tukas Coa Cong-gi tidak terima.
Belum habis ia berkata, dengan sinar mata berkilat dan muka dingin menyeramkan nyonya berusia
setengah baya itu telah menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tapi
sebelum ia sempat mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba terdengar seseorang berseru
nyaring memuji keagungan Buddha.
0000O0000
“OMITOHUD, apa yang diucapkan Siau Gi-ji mungkin ada betulnya, biarkan dia melanjutkan katakatanya
itu!”
Semua orang terkejut dan berpaling ke arah mana berasalnya suara itu. Didepan hutan sebelah
kiri terlihatlah seorang hweesio tua yang berjenggot panjang berdiri tegap disitu dengan
senyuman dikulum.
Hweesio itu sudah tua sekali, mukanya banyak keriput, badannya kurus kering tinggal kulit
pembungkus tulang. Bajunya warna abu-abu dengan sepatu terbuat dari rumput, dia tak lain
adalah padri tua yang menguntil dibelakang Hoa In-liong dan Coa Cong-gi sejak berada di bukit
Cing liang-an tadi.
Tampaknya nyonya setengah baya itu merasa kenal dengan padri tua itu, tapi lupa-lupa ingat. Ia
tak tahu padri tersebut pernah ditemuinya di mana, untuk sesaat matanya jadi mendelong dan
dia mengawasi padri itu dengan wajah termangu-mangu.
Pelan-pelan hweesio itu maju kedepan, lalu katanya sambil tertawa, “Sian-ji, sudah lupa dengan
aku? Ketika Siau gi-ji berusia setahun tempo dulu, aku kan pernah pulang….”
Belum habis padri itu menyelesaikan kata-katanya, nyonya setengah baya itu sudah menubruk
kehadapannya dan menjatuhkan diri berlutut. “Oooh….. kiranya engkau orang tua!” ia berseru
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
241
dengan wajah kegirangan. “Oooh….. Tahukah kau bahwa anak Sian sudah amat kangen dengan
engkau orang tua?”
“Haa…… haa…… haaa….. Bangun!” seru hweesio tua itu sambil terbahak-bahak, “Putriku sudah
berusia setengah baya, kenapa tingkah lakumu masih seperti anak kecil? Jangan sampai
perbuatanmu itu ditertawakan orang!”
Serasa berkata lengannya lantas digape ke muka, nyonya setengah baya itu segera merasakan
munculnya segulung tenaga kekuatan yang lembut menarik badannya secara paksa, mau tak
mau badannya lantas meninggalkan permukaan tanah.
Dalam keadaan begini terpaksa nyonya itu harus bangkit dari atas tanah dan berdiri.
Coa Cong-gi dan adiknya yang menyaksikan kejadian itu merasa terkejut bercampur curiga,
mereka lantas berpikir, “Padri lihay dari manakah orang ini? Agaknya dia adalah angkatan tua
dari keluarga kita. Padahal ilmu silat yang dimiliki ibu sudah terhitung luar biasa hebatnya.
Sungguh tak nyana tenaga dalam yang dimiliki padri ini jauh lebih hebat”
Sementara mereka masih termangu-mangu, nyonya setengah baya itu telah berpaling seraya
berseru, “Ayoh cepat kemari semua, beri hormat kepada kongcou luar kalian!”
Coa Cong-gi tertegun karena kaget, bibirnya ternganga matanya terbelalak lebar, untuk
sesaat….. Ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun…..
Berbeda dengan Wi-ji yang lincah dan supel, setelah tertegun sejenak, ia lantas menerjang ke
depan sambil teriaknya dengan penuh kegembiraan, “Hoore….. hoore….. Kiranya engkau adalah
kongkong ku, eeeh….. Kongkong, kenapa kau jadi hweesio?”
“Wi-ji, makin hari engkau makin edan, tahu aturan tidak?” damprat ibunya dari samping.
Hweesio tua itu tertawa terbahak-bahak, “Haa…. haa…. haa…… Bagus, bagus sekali! Manusia
adalah burung hong dimalam bulan purnama, hati yang bersih bagaikan cermin yang tak
berdebu. Anak manis siapa namamu?”
Lengan kanannya segera merangkul pinggang Wi-ji dan menariknya kedalam pelukan, jelas te
lihat kalau padri tua itu merasa gembira sekali dengan pertemuan tersebut.
Wi-ji sendiripun sangat gembira, dengan muka berseri ia mempermainkan jenggot kakeknya, lalu
ujarnya sambil tertawa, “Aku bernama Wi Wi, ibu memanggil Wi-ji kepadaku!”
“Tahun ini Wi-ji umur berapa?” tanya hweesio tua itu lagi.
“Enam belas tahun! Eeeh………Kenapa? Masa kongkong tidak tahu umur wi-ji…..?”
Sambil mengerdipkan matanya yang jeli, gadis itu memandangi si hweesio tua itu dengan
termangu-mangu. Tampangnya kelihatan sekali kalau ia sedang tercengang.
Meskipun pandangan itu penuh kecengangan, akan tetapi dalam pandangan padri tua itu terlihat
kepolosan dan kemanjaan dari seorang bocah mungil, hal ini semakin menggirangkan hatinya.
Sambil menowel ujung hidungnya yang mancung itu, katanya dengan hati gembira, “Kongkong
seringkali berkelana ke seluruh penjuru dunia, dari mana bisa mengingat begitu banyak
persoalan?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
242
Coa Wi Wi gelengkan kepalanya berulang kali dia meronta dan melepaskan diri dari cekalan,
kemudian dengan alis berkenyit keluhnya, “Aaai……! Kongkong mengapa kau musti berkelana
terus diseluruh jagad…..?”
“Kongkong kan seorang hweesio? Lebih baik jangan diteruskan saja kongkong….!” pinta Coa Wiwi
dengan bibir cemberut.
Mendengar permintaannya yang lucu itu, hweesio tua tersebut tak dapat menahan diri lagi,
akhirnya dia menengadah dan tertawa terbahak-bahak dengan nyaringnya.
Coa Cong-gi yang selama ini hanya berdiri di samping dengan mulut membungkam, kini tak
dapat menahan diri lagi, segera tegurnya, “Adik Wi, perkataan semacam itu tidak pantas
kauucapkan, Huuh….. ngaco belo tak karuan!”
“Siapa yang suruh kau urusi aku?” teriak Coa Wi-wi sambil berpaling dengan mata mendelik,
“Perkataanmu barulah perkataan yang ngaco belo!”
Melihat adiknya berang, Coa Cong-gi tersenyum. “Eeeh… Jangan galak-galak ah, cepat atau
lambat engkau kan musti dicarikan jodoh, rasain nanti setelah kawin, akan kulihat kau bakal
masih galak-galak atau tidak?” godanya.
Coa Wi-wi semakin mendongkol, ia tuding kakaknya lalu berteriak dengan suara lengking,
“Engkaulah yang akan dicarikan jodoh! Kau yang akan dikawinkan! Kau…… kau yang akan dicarikan
seorang kuntilanak!”
Makin berbicara semakin mendongkol, akhirnya seluruh wajahnya berubah jadi merah padam.
Melihat gadis itu marah-marah yang lain malahan tertawa tergelak, suara tertawa yang nyaring
serasa membelah angkasa.
Ditengah gelak tertawa itu nona setengah baya tersebut segera menegur lirih, “Wi-ji, ayoh turun!
Jangan merecoki kongkongmu terus”
Coa wi-wi mencibirkan bibirnya tidak menurut sedang hweesio tua itu tiba-tiba berkata dengan
muka sedih, “Omitohud! Lolap sudah menjadi murid Buddha tapi hakekatnya hubungan
kekeluargaan masih belum dapat kuputuskan sama sekali. Aaaai…..! Itu namanya aku tidak
terlalu memusatkan pikirannya pada pelajaran agama!”
Sambil berkata, pelan-pelan ia turunkan Coa Wi-wi dari dalam pelukannya.
Melihat hweesio tua itu tiba-tiba menghela napas, nyonya setengah baya itu jadi terperanjat,
dengan ketakutan segera serunya, “Sian-ji pantas dihukum mati! Sian-ji telah salah berbicara,
harap kau orang tua jangan murung”
Hweesio tua itu tertawa getir. “Kau tak usah menyesali dirimu. Lolap tak bisa memusatkan
semua pikiranku untuk agama, itu berarti aku bukan murid Buddha yang sejati. Aaai…! Manusia
bukanlah malaikat, mana bisa melupakan hubungan kekeluargaan? Apalagi kalian adalah darah
dagingku”
“Ajaran Buddha tak bertepian, kan tiada larangan yang mengharuskan seseorang untuk memutuskan
semua hubungan kekeluargaan?” sela nyonya setengah baya itu dengan cepat, “Sekarang
Sian-ji hidup menyendiri, apa salahnya kalau engkau orang tua melepaskan jubah pendeta itu,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
243
agar Sian-ji dapat menunaikan kewajiban kebaktianku untuk merawat kau orang tua hingga akhir
tua nanti?”
Hweesio tua itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali. “Anak-Sian! Anak keturunan
keluarga kita tidak subur. Keturunan kita sejak sembilan generasi yang lalu telah berakhir sampai
disini. Bukan saja tinggal keturunan perempuan, keturunan laki-laki hampir musnah tak
berbekas. Yaa… Keturunan nenek moyang kita hanya bisa dilanjutkan dengan bersandar dari
keturunan perempuan belaka. Aaai…! Ketika lolap akan menjadi pendeta tempo hari, sebenarnya
aku bermaksud hendak berbuat banyak amal sehingga bisa mendapat keturunan lelaki. Tapi
sekarang setelah lama mengikuti ajaran Buddha, aku merasa semua pikiran dan perasaanku
telah melebur menjadi satu dengan ajaran itu. Kenapa aku harus memutuskannya ditengah
jalan? Soal melepaskan jubah pendeta lebih baik tak usah kau singgung lagi!”
“Kalau begitu… Kalau begitu…. Sian-ji akan mendirikan sebuah kelenteng untuk kau orang tua
agar kau orang tua…..” Kata-katanya itu penuh nada permohonan dan muncul dari hati sanubari
yang jujur, siapapun dapat merasakan betapa mengharapnya nyonya itu agar permintaannya
bisa terkabul.
Tapi sebelum perkataan itu selesai diucapkan, hweesio tua itu sudah menukas sambil tertawa
nyaring, “Anak Sian, buat apa kau melakukan perbuatan bodoh? Aku datang menjumpaimu
bukanlah suruh engkau dateng mengurusi aku!”
“Tapi Sian-ji hidup sebatang kara, tiada sanak tiada keluarga…” bisik nyonya itu sambil terisak.
“Engkau terlalu mengekang diri, terlalu mentaati pesan kongcou, tidak dapat melihat gelagat, tak
dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan, hidupmu yang terkekang itulah yang membuat
engkau kesepian, hidup terpencil dan tiada sanak tiada keluarga”
“Maksud kau orang tua….” nyonya setengah baya itu tampak agak tertegun.
“Maksud lolap, engkau harus perbanyak mengadakan hubungan persahabatan dengan orang lain
perbanyak melakukan gerakan ditempat luaran dan tak ada halangannya melakukan sedikit perbuatan
yang melindungi keadilan dan kebenaran bagi umat persilatan. Hanya dengan berbuat
begi itulah kehidupanmu baru berarti, kegembiraanmu akan berlipat ganda, kau tak akan merasa
kesepian, tak akan merasa tiada sanak tiada keluarga dan hidupmu akan lebih segar dengan
aneka kenangan baru”
Tampaknya nyonya setengah baya itu merasa tercengang setelah mendengar wejangan tersebut,
dengan mata terbelalak tercengang serunya, “Kenapa musti begitu? Bukankah kau orang tua
suruh Sian-ji memegang teguh pesan kongcou?”
Kembali hweesio tua itu tersenyum. “Pesan kongcoumu itu adalah menyangkut soal budi dendam
yang seringkah terjadi dalam dunia persilatan. Kongcou bila keturunan kita akan terseret
kedalam lembah kehancuran sehingga mengakibatkan mereka tak dapat melepaskan diri lagi,
maka kongcou kuatir keturunannya akan mengalami banyak kesulitan. Tapi sekarang kalau kita
pikir kembali, manusia toh hanya hidup puluhan tahun saja, apa artirya hidup jika kita
mengekang diri terus-menerus? Apalagi hidup matinya manusia kan berada ditangan Thian.
Siapa yang dapat menentang kekuasaannya? Maka aku rasa, hidup sebagai manusia sudah
sepantasnya kalau kita melakukan perbuatan seperti apa yang dilakukan juga oleh manusia
lainnya”
“Tapi ini…… Ini…….” saking gugupnya nyonya setengah baya itu jadi tergagap dan tak mampu
melanjutkan kembali kata-katanya itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
244
Haruslah diketahui, pada jaman itu pesan dari kakek moyangnya merupakan kata-kata emas
yang tak bisa diganggu gugat lagi, seakan-akan orang beranggapan bahwa, ‘Jika kaisar mati
panglimanya musti mati, bila ayah suruh putranya mati, putranya mau tak mau musti mati juga.’
Orang menganggap bila pesan dari kakek moyangnya dilanggar, maka perbuatan itu adalah
suatu perbuatan yang melanggar adat istiadat dan merupakan perbuatan orang yang tidak
berbakti.
Padahal hweesio itu bukan saja adalah seorang pendeta, dia juga terhitung kakek luar dari “Sian
ji”. Ditinjau dari hal inilah tak heran kalau nyonya setengah baya itu menjerit kaget sehabis mendengar
perkataan dari kakeknya.
“Hooree….” perkataan itu memang sangat beralasan!” sokong Coa Cong-gi kegirangan, “Mati
hidup manusia memang ada ditangan Thian. Apa yang bisa manusia perbuat tentang mati
hidupnya? Sejak dulu sampai sekarang kita adalah keturunan orang persilatan. Apa gunanya kita
belajar silat kalau tidak digunakan untuk melakukan suatu usaha besar dalam dunia persilatan?
Apa gunanya kalau tidak dipakai untuk menegakkan keadilan dan kebenaran”
Belum habis pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, nyonya setengah baya itu sudah berhasil
menenangkan hatinya, dia lantas membentak nyaring, “Tidak tahu aturan, orang tua lagi bicara
kau juga ikut menimbrung….. Hmm! Peraturan darimana itu?”
“Jangan maki dia, orang muda itu memang sepantasnya memiliki semangat untuk mengejar cita
citanya!”sela hweesio tua itu lagi.
Nyonya setengah baya itu berpaling, ditatapnya hweesio itu dengan alis berkerut, kemudian
tanya-nya lagi, “Benarkah engkau orang tua mempunyai pikiran demikian?”
Hweesio itu tertawa hambar. “Lolap telah memikirkan masalah ini dalam-dalam, aku merasa
kalau toh Buddha menurunkan firmannya bagi kehidupan manusia maka dia pasti mempunyai
harapan pula bagi kesejahteraan hidup umatnya, maka aku berharap anak keturunanku bisa
berjuang dan melakukan suatu usaha besar bagi kepentingan umat manusia lainnya sekalipun
jalan pikirannya ini keliru. Sekalipun aku bakal diganjar masuk keneraka, aku juga rela untuk
menerimanya”
Coa-wi-wi yang ada disampingnya segera berteriak, “Tidak mungkin! Kongkong tak mungkin
diganjar masuk neraka, sebab melenyapkan kaum durjana dari muka bumi adalah suatu perbuatan
mulia! Apalagi kongkong sebagai murid Budha mengutamakan keselamatan dan
kesejahte raan umatnya…….”
“Wi-ji, jangan banyak bicara!” untuk kesekian kalinya nyonya setengah baya itu menukas.
“Sian-ji, apakah engkau merasa bahwa perbuatanku ini tidak pantas?” tiba-tiba hweesio tua itu
berpaling seraya menegur.
Mendapat pertanyaan itu, sinyonya setengah baya tersebut jadi gelagapan. “Sian-ji tidak berani.
Sian-ji cuma merasa bahwa pesan yang ditinggalkan Kongcou……”
“Engkau terlalu kolot Sian-ji” tukas sihweesio dengan cepat “Pikiranmu tidak terbuka dan terlampau
kukuh pada satu pendirian. Aku lihat Siau Wi-ji adalah seorang gadis yang punya rejeki
besar dan mempunyai anak cucu yang banyak. Sedang Siau gi-ji mempunyai bakat yang bagus,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
245
mempunyai garis-garis muka yang baik. Lolap berani memastikan bahwa soal keturunan sudah
bukan menjadi masalah lagi. Kenapa engkau musti kuatir karena melanggar pesan kongcou?”
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia alihkan pembicaraan kesoal lain tanyanya, “Beberapa
tahun belakangan ini apakah engkau sudah mendapat kabar berita tentang Hou-ji?”
Tiba-tiba sekujur badan nyonya setengah baya itu bergetar keras, mula-mula agak terkejut
bercampur heran, menyusul kemudian titik-titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Melihat keadaan cucunya perempuannya itu, kembali si hweesio tua itu menghela napas
panjang. “Aaaai…. Berbicara yang sesungguhnya, lolap tidak terhitung seorang pendeta
sungguhan, karena semua urusan dalam keluarga selalu kupikirkan dan kukuatirkan”
Mendengar sampai di situ, nyonya setengah baya itu tak dapat menguasai rasa pedih didalam
hatinya lagi, ia lantas mendekap mukanya sendiri dan menangis tersedu-sedu.
Kiranya orang yang disebut “Hoa-ji” tadi adalah suami nyonya setengah baya itu dia bernama
Coa Goan-hou.
Pada lima tahun berselang, ketika suatu hari Coa Goan-hou pergi berkelana, ternyata sampai kini
tiada kabar beritanya lagi, seakan-akan orang itu lenyap dengan begitu saja dari muka bumi.
Nyonya setengah baya ini berwatak halus dan setia, bukan saja pada waktu itu harus menuruti
pesan kongcou-nya, ketika itupun dia sedang menyusui anaknya. Maka sekalipun tiap hari
mengharapkan suaminya kembali, namun rasa rindunya itu hanya selalu disimpan didalam hati.
Tapi sekarang, secara tiba-tiba hweesio tua itu menyinggung kembali persoalan itu, sontak pertanyaan
tadi menyentuh luka dalam hatinya. Untuk sesaat ia tak dapat menguasai perasaan
hatinya lagi, dan meledaklah isak tangisnya yang memilukan hati.
Nyonya setengah baya ini bernama Swan Bun-Sian. Ayahnya bernama Swan Tiong-siang dan
ibunya bernama Su Beng-wan. Hweesio tua ini bukan lain adalah ayahnya Su Beng-wan, Sebelum
jadi padri dulu bernama Su Tiong-kian, sedang setelah jadi pendeta bergelar Goan-cin.
Istrinya Cin Wan-kun adalah keturunan dari Ko Hoa seorang pemuka persilatan dari kota Kimleng
pada tiga ratus tahun berselang.
Putri tunggal dari Ko Hoa bernama Ko Cing dengan nama kecil Bun-ji. Ia menikah dengan ahli
waris dari Pak-to-kiam (pedang bintang utara) Thio Cu-hun yang bernama Bu-seng (malaikat
silat) In Ceng.
Malaikat silat In Ceng sendiri mempunyai dua orang istri dan melahirkan seorang putra dan
seorang putri. Putranya mati sewaktu masih muda sedang putrinya dilahirkan oleh Ko hujin Ko
Cing.
Sejak itulah turun temurun anak cucunya diwariskan dari putrinya itu, hingga keturunan yang
ketujuh Cing Tong Ti adalah ayah mertua dari Su Tiong kian atau si padri tua itu.
Putra tunggal dari Su Tiong-kian sendiri mati ketika sedang melerai suatu pertikaian dunia
persilatan. Dalam sedihnya itulah Cing Tong Ti lantas menurunkan larangannya bagi anak
cucunya untuk berkelana dalam dunia persilatan. Karena peristiwa itu Su Tiong-kian lantas keluar
dari rumah itu dan mencakur rambut jadi pendeta.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
246
Padri berusia lanjut itu….Goan-sing Taysu kendatipun sudah bertahun-tahun hidup sebagai pendeta,
namun cara berpikir orang awam masih amat jelas melekat dalam benaknya. Sehingga
terhadap pelajaran agama Buddha yang pernah diterimanya, ia mempunyai sistim pengetrapan
yang jauh berbeda dengan orang lain.
Ketika dilihatnya cucu kesayangannya merasa begitu sedih dan murungnya, tak kuasa lagi ia
menghela napas panjang. “Anak Sian, tak usah menangis lagi!” hiburnya, “Anak Hou bukan
termasuk orang yang berusia pendek. Sekalipun ia sudah lenyap selama lima belas tahun, lolap
percaya sampai saat inipun dia masih hidup segar bugar didunia. Apalagi serangkaian ilmu silat
yang dimilikinya mendapat pendidikan langsung dari keluarganya. Soal keselamatan jiwanya lolap
rasa bukan merupakan hal yang perlu kita kuatirkan”
Tapi sebelum kata-kata tersebut sempat diselesaikan, nyonya setengah baya itu…. Swan Bun-sian
telah berseru dengan hati terperanjat dan nada sesenggukan menahan isak tangisnya, “Apa
maksud kau orang tua dengan ucapan tersebut? Ataukah Goan-hou benar-benar sudah disekap
seseorang?”
“Sekilas pandangan, selama puluhan tahun belakangan ini dunia persilatan memang tampaknya
terang dan aman. Aaai……! Padahal dalam kenyataan telah terjadi pergolakan yang maha
dahsyat. Suasana perebutan kekuasaan dan pengaruh selalu melanda dalam dunia persilatan ini.
Yaa, anak Hou memiliki ilmu silat yang sangat lihay, itulah sasaran yang terutama dari kawanan
jago yang ingin mengangkat diri menjadi seorang pemimpin. Padahal semenjak kecil anak Hou
sudah dididik untuk berbakti kepada orang tua, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Lolap
yakin dia tak akan berani menghianati pelajaran keluarga yang pernah diterimanya. Siapa tahu
lantaran pembangkangnya ini maka dia disekap orang selama belasan tahun? Aaaaai…..! Pada
hakekatnya apapun memang bisa terjadi dalam dunia ini”.
“Kalau….. Kalau dia disekap orang, lantas dia……. Dia…. Telah disekap dimana?” Swan Bun-sian
berpekik dengan nada yang memilukan hati.
Selama ini Coa Wi Wi hanya mengikuti jalannya pembicaraan dengan mulut membungkam, tapi
sekarang, ia tak dapat mengendalikan pergolakan hatinya lagi, cepat dia menyela, “Mama!
Engkau harus berusaha untuk mententeramkan hatimu. Perkataan kongkong tak bakal salah.
Ilmu silat ayah memang lihay sekali, selembar jiwanya tak mungkin akan terancam marabahaya!”
Coa Cong-gi yang berangasan tak dapat menerima perkataan itu, dia lantas membantah, “Apa
gunanya mententeramkan hati dan berlagak tenang? Kalau ayah kita memang betul-betul
disekap orang, sudah menjadi kewajiban kita untuk mencari jejaknya sampai ketemu Hoa
Tayhiap yang berdiam dibukit Im-tiong-San adalah seorang tokoh silat yang bijaksana dan suka
menolong kaum yang lemah. Dia adalah seorang pendekar besar yang disanjung dan dihormati
setiap umat persilatan. Asal kita bersekongkol dengan keluarga Hoa, apa susahnya menemukan
kembali jejak ayah kita?”
Teka teki yang menyelimuti soal mati hidup suaminya ini untuk sesaat membuat Swan Bun-siao
kehilangan akal dan pikirannya, dia cuma bisa memandang sekejap ke arah putranya tanpa
mengucapkan sepatah jua.
“Ehmm… Apa yang dikatakan Siau Gi-ji memang benar,” Goan-cin Taysu membenarkan sambil
mengangguk, “Menurut pengamatan lolap secara diam-diam, memang kenyataan membuktikan
bahwa dewasa ini hanya keluarga Hoa dari bukit Im-tiong-san yang tetap menjaga keadilan dan
kebenaran dengan sebaik-baiknya. Hanya merekalah yang tetap bersikap bijaksana dan mulia
kepada setiap orang. Aaai…..! Tahukah kalian semua, heboh tentang munculnya tokoh-tokoh
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
247
silat dipelbagai tempat sebenarnya bertujuan satu yakni memusuhi keluarga Hoa mereka? Karena
itu, perduli tindakan kita ini demi mencari tahu jejak anak Hou yang lenyap, ataukah demi
melindungi pelajaran nenek moyang kita yang menyuruh kita mengutamakan keadilan serta
kebenaran, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk bekerja sama dengan keluarga Hoa, sebab
hanya tindakan inilah merupakan tindakan yang paling tepat untuk mengatasi masalah tersebut”
Berserilah air muka Coa Cong-gi setelah Goan cing Taysu menyetujui usulnya itu. “Yaa, memang
begitulah!” serunya pula, “Sekalipun ananda belum pernah bertemu muka dengan Hoa Thianhong
tayhap, tapi ji-kongcu dari Hoa Tayhiap Hoa In-liong adalah sahabat karibku. Bukan saja
romantis, jadi orangpun gagah perkasa dan suka menolong kaum yang lemah. Dia pun berjiwa
besar, periang dan berwatak terbuka, diantara kami Kim-leng-ngo-kongcu, tak seorangpun yang
dapat menandingi kegagahannya”.
“Yang kau maksudkan sebagai Hoa-ji-kongcu itu apakah pemuda yang kena diculik pergi tadi?”
sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Coa-wi-wi telah menukas.
“Huuuh…..Semuanya ini adalah gara-gara kau!” omel Coa Cong-gi setengah mendongkol, “Coba
kalau kau tidak menghalangi diriku, belum tentu Hoa loji kena diculik orang!”
“Eeee….eeeh….kok jadinya aku yang diomeli?” seru Coa-wi-wi dengan dahi berkerut, “Kan ilmu
silatnya yang tidak becus, kenapa aku yang kau salahkan?”
“Apa kau bilang? Ilmu silatmu tak becus?” Coa Cong-gi melototkan matanya bulat-bulat,
“Hmmm! Jangan kau anggap ilmu silatmu luar biasa sekali. Sekalipun ada tiga orang Coa Wi-wi,
belum tentu bisa menandingi seorang Hoa In-liong!”
Jilid 13
“COA WI-WI segera mengernyitkan alis matanya lalu dengan bibir yang dicibirkan dia mengejek,
“Hmmm….! Memang luar biasa…. memang luar biasa…. Akhirnya dia sendiri pun diculik orang.
Hmmm…. sahabatmu memang hebat sekali!”
“Kau…. kau…. semuanya ini adalah gara-gara ulahmu!”
Coa Cong-gi semakin mendongkol sehingga ia berteriak-teriak keras, “Coba kalau bukan garagara
kau sehingga perhatiannya bercabang, Hmm! Kiu-im Kaucu itu manusia macam apa?
Dengan andalkan kepandaiannya tak nanti ia sanggup….”
“Tak dapat memusatkan perhatian untuk menghadapi musuh sudah merupakan pantangan yang
paling besar lagi seorang jago silat. Sekalipun ilmu sifatnya maha dahsyat, tapi kalau pantangan
tersebutpun tidak diperhatikan, lalu apa gunanya?” tukas Coa-wi-wi dengan suara yang tak kalah
lantangnya.
Coa Cong-gi jadi semakin mendongkol sehingga untuk sesaat ia tak mampu berkata-kata. Selang
sejenak kemudian ia menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, akan tetapi
ibunya Swan Bun-sian yang lagi murung dan kesal jadi jengkel. Semua rasa murungnya segera
dilampiaskan keluar dengan membentak keras, “Jangan ribut terus! Apa sangkut pautnya antara
tinggi rendahnya ilmu silat orang lain dengan diri kita?”
Goan-cing Taysu segera tersenyum. “Anak Sian, kembali engkau keliru” katanya dengan lembut,
“Hoa In-liong benar-benar seorang pemuda yang luar biasa. Bukan saja gagah perkasa dan
berjiwa besar. Wataknya juga jujur, disiplin dan bijaksana, dia merupakan seorang laki-laki yang
berani berbuat, berani pula bertanggung jawab. Ditambah lagi otaknya memang cerdik dan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
248
pandai menghadapi segala perubahan dengan cekatan, justru dialah yang dikemudian hari akan
memikul tanggung jawab untuk membasmi siuman dari muka bumi serta menegakkan keadilan
dan kebenaran bagi dunia persilatan kita semua”
Berbicara sampai disini, sinar matanya seperti sengaja tak sengaja melirik sekejap ke arah “Wiji”.
Coa Wi-wi segera merasa adanya satu ingatan melintas dalam benaknya, dia lantas berseru,
“Kongkong, kalau engkaupun berani berkata demikian, bukankah itu berarti bahwa dia adalah
seorang manusia yang betul-betul sempurna?”
Goan-cing Taysu mengangguk. “Yaa, tentu saja ada juga kejelekan-kejelekan, cuma kejelekan
yang dimilikinya terlampau kecil sehingga sama sekali tidak mempengaruhi wibawanya untuk
memimpin dunia persilatan dikemudian hari. Bila dikemudian hari ada kesempatan, lolap harap
engkau dapat bersahabat dengan lebih akrab lagi dengannya”
Kontan Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya yang kecil. “Huuh! Siapa yang sudi bersahabat
dengannya? Bila dikemudian hari ada kesempatan, justru anak Wi ingin menantang dia berkelahi.
Ingin kubuktikan apakah ilmu silatnya benar-benar amat luar biasa atau tidak!”
Goan-cing taysu tersenyum ia tidak menanggapi kata kata dari gadis itu lagi, sambil berpaling ke
arah Swan Bun-sian, dia pun berkata lebih lanjut, “Anak Sian, bagaimana pendapatmu? Lolap
rasa apa yang diucapkan Siau Gi-ji memang sangat tepat, baik untuk menyelidiki jejak dari anak
Hou ataukah melaksanakan kewajiban sebagai seorang yang pernah belajar silat. Engkau harus
banyak melakukan perjalanan didunia luar. Mengurung diri dalam rumah tak akan mendatangkan
keuntungan serta manfaat apa-apa bagimu!”
Swan Bun-sian tidak langsung menjawab, dia tampak termenung sejenak, kemudian baru
sahutnya, “Pikiran dan perasaan anak Sian pada saat ini sedang kalut dan tidak tenang, aku tak
bisa mengambil keputusan”
“Haaa…. haa…. haa…. Kalau memang begitu, demikian saja” kata Goan-cing Tay su setelah
tertawa terbahak-bahak dengan nyaringnya, “Engkau berangkatlah ke barat dan temuilah Hoa
Thian-hong serta ibunya. Hoa Thian-hong mempunyai kenalan yang tersebar diseantero jagad.
Ini sangat membantu usahamu untuk mencari tahu jejak dari anak Hou. sedang lolap sendiri
biarlah sementara waktu bersama anak Gi dan anak Wi pergi menolong nyawa Hoa In-liong”
“Aaaah…. Tidak mau, tidak mau. Wi-ji ingin bersama ibu saja…. Wi-ji tak mau ikut Kongkong”
buru-buru Coa wi-wi berseru dengan nada amat gelisah.
“Bukankah engkau hendak menantang Hoa In-liong untuk berduel….?” goda Goan Cing Taysu
sambil tersenyum.
“Sekalipun aku pingin menantangnya untuk berduel, toh tidak musti dilakukan sekarang, lain
kesempatan masih panjang” sahut Coa Wi-wi, “Wi ji tak tega membiarkan mama pergi jauh
seorang diri, biarlah wi-ji menemani dia orang tua!”
Goan-cing Taysu segera mengangguk sambil memuji, “Ehmmm…. Sungguh tak kusangka kalau
engkau sangat berbakti kepada ibumu, Nah! Kalau memang begitu, ikutlah ibumu pergi!”
Setelah perundingan berakhir, sekalipun Swan Bun-sian tidak berkenan dengan keputusan itu,
akan tetapi diapun tidak membantah lebih jauh….
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
249
Selama ini Coa Cong-gi sendiri selalu menguatirkan keselamatan Hoa In- liong, ia jadi gelisah
sekali. Dengan pelbagai cara serta perkataan ia mendesak ibunya agar cepat mengambil
keputusan dibawah desakan putranya yang bertubi-tubi, akhirnya Swan Bun-sian kewalahan
juga, dengan perasaan apa boleh buat terpaksa dia mengangguk.
Maka cucu dan kakek berempat pun melakukan perjalanan dan menuruni bukit Ciong-san
tersebut.
OOOOoooOOOO
Dalam pada itu, Kiu-im kaucu yang berhasil dengan sergapannya segera mengempit tubuh Hoa
In-liong kabur ke dalam hutan. Dari situ dengan tergopoh-gopoh dia pimpin semua anak
buahnya kabur kebukit Ciong-san sebelah barat dan menuju ketepi sungai Yang-cu-kang.
Ditepi sungai berdirilah sebuah bangunan besar yang megah. Bukan saja gedung itu tersusunsusun
memanjang ke dalam, bahkan bangunan tersebut tampak masih baru, seperti selesai
dibangun belum lama berselang.
Tak usah diragukan lagi disinilah letak kantor cabang kota Kim-leng dari perkumpulan Kiu-imkauw.
Rombongan jago itu setibanya di tepi sungai segera memasuki gedung baru itu.
Sejak jalan darahnya tertotok tadi selama ini Hoa In-liong berada dalam keadaan tak sadar.
Tentu saja terhadap segala yang terjadi diapun tidak tahu. Ketika mendusin kembali dari
pingsannya, ia baru temukan kalau dirinya berada dalam sebuah ruangan yang besar, megah,
indah dan sangat mewah.
9
Lampu keraton bergantungan disana-sini. Dinding yang berwarna kuning keemas-emasan memancarkan
cahaya yang menyilaukan mata. Dengan senyuman dikulum Kiu-im kaucu duduk
diatas kursi kebesarannya yang dilapisi kulit harimau. Yu-beng-tiancu Bwee Su-yok yang
berwajah kaku dan sedingin salju berdiri dibelakangnya, sementara Tiancu ruang penyiksaan dan
para Tongcu lainnya berjajar dikedua belah sisinya, suasananya waktu itu amat serius dan penuh
dengan kewibawaan.
Diam-diam Hoa In-liong mengerahkan tenaga dalamnya mengelilingi seluruh badan, ia merasa
semua jalan darahnya sudah bebas semua, dan lagi sekujur badannya tidak menunjukkan tandatanda
yang tak beres. Kenyataan ini membuat perasaannya jadi lebih tenang, otaknya lantas
berputar keras untuk mencari jalan keluar dalam masalah tersebut.
Sementara dia masih termenung, tiba-tiba terdengar olehnya Kiu-im Kaucu sedang berkata
dengan suara lembut, “Hoa siau-hiap, dengan suatu sergapan yang tidak terdugalah aku baru
berhasil membekuk diri mu, tentunya engkau tidak menyalahkan perbuatanku yang terlampau
rendah dan tak tahu malu bukan?”
“Ooooh…. Jadi engkau juga tahu toh kalau main sergap adalah suatu perbuatan yang rendah dan
memalukan?” ejek Hoa In-liong dengan dahi berkerut.
Bwee Su-yok yang selama ini membungkam, tiba-tiba mendengus dingin. “Hmm….! Sebagai
musuh yang sedang berhadapan muka, sudah jamak atau kalau masing-masing pihak berusaha
adu tenaga maupun kecerdikan. Bila engkau tidak puas, ayolah! Kita beradu kepandaian lagi
disini juga”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar