Mendengar ucapan tersebut, Yu Siau-lam merasa sangat gelisah. Dia menganggap waktu itu
belum tiba saatnya untuk mengutarakan maksud tujuan kedatangan mereka. Ia kuatir jika
suasana dibuat beku lebih dulu maka sampai saatnya nanti main kekerasan tak bisa, tentu
keadaan mereka malah akan jadi sulit sendiri.
Untunglah Cia In tidak memikirkan hal itu di dalam hati, dia tertawa cekikikan.
“Hiiii….. hiii…… hiii…. Coa-ya memang lucu benar orangnya, masa kau bandingkan aku sebagai si
penjagal dan membandingkan Hoa Kongcu sebagai babi. Hiiii….. hiiii….. perkataan Coa-ya kurang
tepat, kau musti di hukum dengan secawan arak”
Untuk mencari perumpamaan tersebut, dengan susah payah Coa Cong-gi harus memutar otak,
maksudnya dia akan membawa pembicaraan tersebut kepokok pembicaraan yang sebenarnya.
Siapa tahu perumpamaan itu telah digunakan lawannya untuk memukul diri sendiri. Untuk sesaat
dia jadi menjublak dan tak mampu berkata-kata lagi.
Yu Siau-lam sendiripun merasa agak lega setelah dilihat suasana tidak dibikin rusak oleh
persoalan itu. Cepat dia mengangkat cawan sendiri dan berkata sambil tertawa, “Nona Cia, coba
lihatlah benda apakah yang berada ditanganku ini?”
“Itukan secawan arak!” sahut Cia In rada tertegun.
“Benar, benda ini adalah secawan arak!” Yu Siau-lam membenarkan seraya mengangguk “Aku
lihat nona pun tidak berjiwa besar!”
“Eeeeh….. Apa sangkut pautnya antara cawan arak ini dengan kebesaran jiwaku?” kembali Cia
Jin disaat tertegun oleh perkataan dari si anak muda ini.
Yu Siau-lam tersenyum, ”Semula kuangkat cawan dengan maksud mengucapkan beberapa kata
yang enteng lalu baru menghormati nona dengan secawan arak. Siapa tahu nona tak pandai
mengambil kesempatan itu untuk bergurau, malah menegur aku berpandangan dan berjiwa
sempit. Adik Cong-gi segera menyambung pula dengan beberapa banyolan ternyata kau
menyindir pula. Coba lihatlah, bukankah yang pantas dihukum adalah nona sendiri? Hayo,
sekarang kau musti dihukum dengan secawan arak!”
“Aaaah….. kalian jahat, kalian jahat semua!” seru Cia In manja, “Aku tak mau kalau begitu, masa
tiga orang laki-laki gede bekerja sama untuk menganiaya seorang perempuan macam aku…..
kalian curang!”
“Haaa….. haaaa….. haa….. perkataan nona terlampau serius!”
Yu Siau-lam tertawa terbahak-bahak, “Baiklah, kalau begitu mulai sekarang kita kemukakan
larangan, barang siapa mulai dulu dengan kata-kata yang tak senonoh, maka dia harus didenda
tiga guci arak!”
“Aduuuh…. mak, aku tidak mau ikut!” Cia In menjerit keras, “Aku sudah terbiasa hidup menjual
tertawa menjual banyolan. Menyambut orang she-Thio menghantar tuan she-Li sudah menjadi
kebiasaanku sehari-hari. Dan lagi kedatangan yaya sekalian ke Gi-sim-wan toh untuk mencari
hiburan dan kesenangan. Sekalipun malam ini harus kulayani kalian sampai mabok, mencari
kegembiraan adalah soal paling penting. Jika Yu-ya betul-betul perlakukan larangan itu, akulah
yang akhirnya bakal kesal. Tidak….. tidak mau….. Aku tidak mau ikut”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
166
“Sudah….. Sudahlah! Gurauan kita stop sampai disini saja,” sela Hoa In-liong sambil tertawa,
“Minum arak barulah urusan kita yang paling penting.”
Menggunakan kesempatan itu Yu Siau-lam ikut memutar haluan mengikuti hembusan angin.
Cepat-cepat sambungnya, “Betul! Betul! minum arak barulah urusan kita yang paling penting! In
ji ayoh penuhi cawan arak. Aku akan menghormati nona kalian dengan secawan arak.”
Hakekatnya In-ji masih kecil. Ketika mendengar beberapa orang ini cekcok dan bersilat lidah, dia
hanya bisa mendengarkan dengan muka tertegun, tentu saja diapun lupa untuk menuang arak.
Sekarang setelah ditegur oleh Yu Siau-lam, dengan wajah merah jengah ia baru sadar kembali
dari lamunannya. Cepat-cepat dia mengangkat teko arak itu dan memenuhi cawan kosong dari
Cia In serta Hoa In-liong dengan wajah tersipu-sipu.
Maka barulah adegan lain yang tak kalah serunya, mereka sambil membujuk sambil saling
melotot, cawan tak pernah lepas tangan, ternyata beberapa orang itu mulai minum arak dengan
bersungguh-sungguh.
Keempat orang itu sama-sama mempunyai takaran minum arak yang besar sekali, setiap cawan
yang disodorkan kehadapannya segera diteguk hingga habis.
Cia In seperti akan mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya maksud itu dibatalkan, dia tahu
kedatangan Hoa In-liong sekalian mempunyai maksud-maksud tertentu. Tapi tindak tanduk
mereka yang minum arak terus macam orang yang betul-betul datang untuk iseng, sangat
mencengangkan hatinya.
Entah beberapa puluh cawan sadah mereka minum, paras muka Cia In telah berubah jadi merah
seperti bunga tho. Makin merah makin merangsang tampaknya, bikin hati orang seperti dikilikkilik.
Hanya Coa Cong-gi seorang yang selalu memikirkan tujuan kedatangan mereka disana. Beberapa
kali dia ingin buka suara, tapi selalu kuatir kalau perkataannya kurang cocok sehingga
dicemooh orang, saking gelisahnya dia sampai garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Beberapa kali dia mengerling ke arah Hoa In-liong dan Yu Siau-lam memberi tanda namun baik
Hoa In-liong maupun Yu Siau-lam seakan-akan sama sekali tidak melihat kerlingan itu, jangan
toh menanggapi, menggubrispun tidak.
Keadaan tersebut ternyata tak lepas dari pengamatan Cia In yang tajam. Sepasang alis matanya
segera berkenyit, tapi hanya sebentar saja dia sudah tersenyum kembali.
“Yu-ya sudah lama kita tak berjumpa!” katanya dengan manja.
“Yaa…! Kalau dihitung hitung dengan jari, sudah hampir tiga puluh hari lebih”
Cia In tersenyum manis. “Sepanjang perjalanan, ku selalu merasa kesepian dan tiada berkawan,
tahukah kau bahwa aku selalu memikirkan engkau?”
Yu Siau-lam mengerutkan dahinya, sesaat kemudian dia menjawab agak takabur, “Bila hati
sudah bertemu dengan hati, memang sepantasnya kalau nona Cia selalu teringat akan diriku.”
“Kalau memang begitu….. kau….. kau..… Bagaimana kalau kau tinggal disini saja!” bisik
perempuan itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
167
Selesai berkata kepalanya ditundukkan rendah-rendah, sikapnya tersipu-sipu dan mukanya
merah padam seperti kepiting rebus.
Mendengar tawaran itu, Yu Siau-lam merasa amat terperanjat. Ia jadi terbelalak dan gelagapan
dibuatnya. “Soal ini….. Aku rasa soal ini……”
Yu Siau-lam memang seorang yang suka bermain cinta, apalagi kedatangannya kesitu adalah
menyaru sebagai laki-laki iseng yang mencari kesenangan akan tetapi ketika secara tiba-tiba ia
mendengar permintaan perempuan itu agar dia tinggal disana, sedikit banyak kejadian itu diluar
dugaannya. Ini membuat jago muda kita jadi gelagapan setengah mati.
Masih mendingan kalau ia datang tanpa tujuan. Kini maksud kedatangannya adalah untuk
menyelidiki asal-usul perempuan itu. Tidaklah heran kalau tawaran itu malahan bikin jantungnya
berdebar keras dan gelagapan dengan sendirinya.
Tiba-tiba terdengar Coa Cong-gi memukul meja keras sambil tertawa tergelak.
“Haaa….. haaa…… haaa….. Ada nona cantik yang bersedia menemani tidur. Oooh.…. Saudara
Siau-lam, aku lihat rejekimu betul-betul amat besar. Aku rasa itulah yang dinamakan orang kalau
lagi Hok-kie…”
Jilid 09
MERAH padam selembar wajah Yu Siau-lam karena jengah, dengan gelisah ia lantas membentak.
“Cong-gi te, kau jangan sembarangan berbicara”
”Siapa bilang aku sedang berbicara sembarangan…..?” Coa Cong-gi mengerutkan dahinya rapatrapat,
“haa… haa….. haa….. perpisahan yang terlampau lama kadangkala memang memberi
kemesraan bagaikan pengantin baru, aku lihat…. heee…. heee….. heee….. Saudara Siau-lam, kau
tak usah pura-pura berlagak pilon lagi”
Tampaknya jago muda yang berwatak berangasan ini sudah lama menyimpan rasa
mendongkolnya atas sikap Hoa In-liong serta Yu Siau-lam yang selalu membicarakan soal-soal
tetek bengek yang sama sekali tak ada gunanya, maka dia menggunakan kesempatan yang
sangat baik itu untuk menyindir rekan-rekannya.
Yu Siau-lam jadi mendongkol bercampur penasaran oleh perkataan itu. ia tuding rekannya sambil
berseru tergagap. “Kau… kau…..”
Tiba-tiba sinar matanya membentur wajah Hoa In-liong yang masih duduk dengan senyum
dikulum. Sontak saja satu ingatan melintas dalam benaknya, sekuat tenaga dia mengendalikan
rasa mangkel dalam hatinya, kemudian sambil berpaling kembali ke arah Cia In, katanya lagi
sambil tertawa lebar, “’Wah….. Nona Cia, aku lihat engkau memang suka sekali memutarbalikkan
perkataanmu”.
“Eeeh….. Yu-ya, Apa maksud perkataanmu itu?” Cia In pura-pura tertegun.
“Haaa….. haa….. haa….. Bukankah engkau telah berkata bahwa gua kuno sudah tertutup. Kalau
mau terpikat, pergilah terpikat sendiri”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
168
Ia terbahak-bahak, setelah berhenti sejenak sambungnya lebih jauh, “Haaa….. haa… haa… Aku
tahu kalau nona sudah mempunyai sahabat baru dan hatimu sudah ada yang punya. Asal aku
orang she-Yu masih kebagian sedikit saja cintamu, aku sudah merasa puas sekali!”
Hoa In-liong tertawa nyaring tiba-tiba menyela, “Eeeh…. Saudara Siau-lam, yang kau maksudkan
sehabat-sahabat baru itu apakah diri siaute?”
Yu Siau-lam ikut tertawa. “Saudara In-liong romantis dan gagah perkasa, sedang nona Cia
adalah seorang perempuan sakti yang luar biasa. Siapakah sahabat baru nona itu masakah musti
siaute terangkan lebih terperinci?”
“Haaa….. haaa… haa….” Hoa In-liong segera tertawa terbahak-bahak, “Saudara Siau-lam,
mempunyai roman muka yang gagah, mempunyai tindak tanduk yang supel, apalagi merupakan
tamu kehormatan dari nona Cia, haaa….. haa….. siaute tak berani dianggap sebagai sahabat
karibnya kuatir ada yang cemburu!”
Yu Siau-lam segera berpaling ke arah Cia In, sambil menuding perempuan itu katanya pula, “Kau
tidak percaya? Kenapa tidak tanyakan sendiri kepadanya? Sudah bertahun-tahun lamanya aku
berkenalan dengannya, tapi kapankah aku pernah dipersilahkan masuk pintu gerbangnya? Katakata
tamu terhormat sudah tidak cocok lagi untukku, eeeh….. Saudara In-liong, aku saja telah
bersedia mengalah, mengapa kau masih juga berusaha unjuk menampik kesempatan baik ini?”
Hoa In-liong sengaja menunjukkan sikap seperti monyet kepanasan. Sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tak gatal dia berpaling ke arah perempuan itu, ditatapnya wajah Cia In dengan
sinar mata berkedip, kemudian tanyanya sambil tertawa cengar-cengir, “Nona Cia sungguhkah
ini?”
Sebenarnya saat inilah merupakan kesempatan yang sangat baik bagi mereka untuk membawa
pembicaraan kepokok persoalan yang sebenarnya.
Asal Yu Siau lam segera menyambung pembicaraan itu dengan kata-kata- “Kalau tidak sungguh2
buat apa nona Cia harus bersusah payah menangkap dirimu ribuan li jauhnya datang ke kota
Kim-leng?” Niscaya Cia In akan terperangkap oleh pembicaraan tersebut dan terseret untuk
mengungkapkan alasan-alasan serta sebab musababnya yang sebetulnya.
Sayang Yu Siau-lam tidak berbuat demikian, terpaksa Hoa In-liong pun melanjutkan
sandiwaranya dengan mengedipkan matanya seperti monyet kepanasan.
Begitulah, dua orang pemuda ini saling memberi umpan untuk menjebak lawan. Sementara
diluaran mereka berbicara kesana kemari seakan-akan sudah melupakan sama sekali akan tujuan
kedatangan mereka yang sebenarnya ke sana.
Coa Cong-gi yang selalu tak mau berpikir dengan menggunakan otaknya jadi gusar dan
mendongkol sekali oleh tingkah laku kedua orang rekannya, tiba-tiba dia memukul meja keraskeras,
kemudian teriaknya marah-marah, “Sudah, kau tak usah banyak bertanya lagi, mau
tinggal disini kau boleh saja menginap dirumah ini. Hmmm……! Ternyata engkau adalah manusia
semacam ini, hitung-hitung anggap saja aku Coa Cong-gi mempunyai mata tak berbiji sehingga
tak dapat menilai kepribadianmu yang bobrok dan amoral itu!”
Sambil melampiaskan rasa dongkol dan marahnya, pemuda berangasan itu segera bangkit berdiri
dan berjalan menuju ke pintu depan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
169
Hoa In-liong masih tetap tenang dan sama sekali tak berkutik, sedangkan Yu Siau-lam jadi panik
sekali, dia segera membentak nyaring, “Kembali!”
Coa Cong-gi sama sekali tidak berhenti, dia hanya berkata lagi dengan dingin, “Mau apa kembali
kesitu? Hmmm, jika engkau pun terpikat oleh kecantikan wajahnya, silahkan tetap tinggal disini…
Dasar sama-sama cabulnya”.
Tiba-tiba terdengar Cia In menghela napas panjang.
“Aaaaaai….. Hoa kongcu, aku benar-benar merasa takluk kepadamu!” katanya.
Helaan napas yang datang tanpa dikemudian asal mulanya jauh diluar dugaan siapapun. Coa
Cong-gi segera merasa hatinya bergerak, tanpa sadar ia putar badannya sambil bertanya,
“Eeeh…. kenapa kau takluk kepadanya?”
“Yaaa…. takluk oleh ketenangannya serta kemampuannya untuk mengendalikan diri”.
“Ketenangan dan kemampuannya mengendalikan diri?” Coa Cong-gi mengerutkan alisnya rapatrapat.
“Benar, ketenangannya jauh melebihi ketenangan kalian berdua. Apalagi kemampuannya untuk
mengendalikan diri, kalian masih kalah jauh di bandingkan dengan dirinya. Silahkan engkau
kembali kedalam ruangan!” bisik Cia In dengan murung.
Coa Cong-gi mengedipkan matanya berulang kali. Tanpa sadar dengan wajah tercengang dan
tidak habis mengerti, selangkah demi selangkah, diapun masuk kembali kedalam ruangan.
Tiba-tiba dilihatnya Hoa In-liong juga bangkit, sambil menjura kepada nona itu, lalu sambil
tersenyum katanya, “Nona Cia… akupun merasa takluk kepadamu, takluk oleh kecerdasan
otakmu…..!”
Cia In tertawa getir, “Apa gunanya kecerdikan? Toh akhirnya aku tak dapat mengendalikan jaga
perasaanku sendiri” katanya lirih.
Sekali lagi Hoa In-liong tertawa. “Apa gunanya kita membicarakan persoalan tetek bengek yang
sama sekali tak ada gunanya itu? Diam-diam aku telah mengerahkan tenaga dalamku untuk
memeriksa daerah disekitar tempat ini. Aku tahu dalam wilayah seluas tiga puluh kaki tak ada
orang yang mencuri dengar pembicaraan kita. Nona Cia! Apabila engkau tidak menginginkan
pembicaraan tersebut dilangsungkan diatas pembaringan sambil berbisik-bisik lirih, silahkan kau
utarakan saja saat ini secara blak-blakan!”
Sampai detik ini Coa Cong-gi baru mengerti apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi, dia
lantas berteriak keras, “Ooooh…… Sekarang aku mengerti sudah, rupanya kau….. haaa…. Haa….
Haa… ….Lote! Aku Coa Cong-gi ikut takluk benar-benar kepadamu!”
Diantara gelak tertawanya yang amat nyaring seperti suara geledek, dia masuk kembali kedalam
ruangan, dan langsung duduk kembali diatas kursinya semula.
Terdengar Cia In menghela napas lagi. “Aaaaaai…. Dia menginginkan aku berbicara sendiri
peristiwa itu tanpa paksaan. Dengan demikian maka bila usahanya yang pertama tidak berhasil,
lain kali dia masih bisa datang kemari untuk kedua kalinya. Yaaa….…. kalau kulihat dari sikap
kalian ini, tampaknya kamu semua sudah menaruh kecurigaan terhadap rumah pelacuran Gi-simwan
kami ini….!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
170
Hoa In-liong hanya tersenyum belaka, mulutnya tetap membungkam tanpa memberi komentar
apa-apa.
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba Cia In berkata lebih jauh, “Apa yang pernah diucapkan guruku
ternyata memang benar. Keturunan dari keluarga Hoa bukan manusia sembarangan. Mereka
pasti terdiri dari manusia-manusia hebat. Setelah aku berbuat secara gegabah kali ini, tampaknya
usaha yang telah kami bangun dengan susah payah selama ini, tak bisa dipertahankan lebih
lanjut”.
Hoa In-liong merasakan batinya bergetar keras, tak kuasa lagi dia bertanya, “Ooooh….. jadi
tempat ini adalah hasil dari usaha kalian selama bertahun-tahun. Siapakah gurumu?”
Cia In mengangguk tanda membenarkan. “Guruku she-Pui bernama Che-giok!” sahutnya.
“Pui Che-giok?” bisik Hoa In-liong dengan sepasang alis matanya berkenyit.
Sekali lagi Cia In mengangguk. “Benar, guruku bernama Pui Che-giok! Beliau adalah adik angkat
diri Giok Teng hujin. Ilmu silat yang dimilikinya adalah warisan dari Giok Teng hujin juga. Oleh
karena itu kalau dihitung-hitung maka akupun terhitung anak murid dari perguruan Giok Teng
hujin. Hoa kongcu tentunya engkau mengenal diri Giok Teng hujin bukan?”
Pucuk dicinta ulam tiba, begitulah keadaan Hoa In-liong pada saat itu. Kalau ingin dicari
susahnya sampai sepatu jadi bobrokpun belum ketemu juga, tapi kalau sudah ditemukan paling
paling yaa cuma begitu. Tak terkirakan rasa gembira anak muda itu setelah mendengar ucapan
tersebut. Hanya dia memang pandai membawa diri, sekalipun dihati rasa girangnya meluap-luap,
namun diluaran dia tetap bersikap wajar. “Ooooh, jadi nona Cia adalah anak murid dari Giok
Teng hujin! ” katanya tenang, “Lantas pada saat ini Giok Teng hujin sendiri berada dimana?”
“Aaaai…. aku dengar dia sudah berpulang ke alam baka!” jawab Cia In dengan sedih.
Didengar dan nada perkataan itu, dapat dilihat betapa sedih dan kesalnya perempuan tersebut.
Hoa In-liong pandai melihat perubahan wajah orang, ketika menyaksikan mimik wajahnya, diamdiam
dia berpikir, “Macam apakah manusia yang bernama Giok Teng hujin itu? Tampaknya Cia In
sendiripun kurang begitu kenal dengan perempuan tersebut. Tapi kenapa wajahnya kelihatan
begitu murung dan sedih sekali….?”.
Dalam hati dia berpikir demikian diluarim segera tanyanya kembali dengan lembut, “Sudah
berapa lama Giok Teng hujin kembali ke alam baka? Apakah kau pernah berjumpa dengannya?”
Cia In menggeleng dan menghela napas panjang, murung dan sedih sekali mukanya. “Dahulu
aku memang pernah berjumpa dengar Giok Teng hujin, tapi itu sudah berlangsung lima belas
tahun berselang. Kecantikan wajahnya luar biasa, lagi pula sikapnya lemah lembut, penuh daya
tarik dan simpatik sekali….”
“Ooooh…. lalu….. lalu…… dari siapa kau mendengar tentang meninggalnya Giok Teng hujin dia
orang tua?” tukas Hoa In-liong kemudian.
“Aku mendengar dari cerita guruku, jadi aku pikir hal ini tak mungkin palsu!”
“Sekarang, gurumu ada dimana? Apakah kau bisa undang dia orang tua datang kemari?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
171
Cia In gelengkan kepalanya berulang kali. “Semula guruku memang berdiam ditempat ini, tapi
dia sekarang telah pergi meninggalkan tempat ini” sahutnya.
“Sudah pergi? Kenapa dia meninggalkan tempat ini?” desak anak muda itu lebih jauh.
“Aaaaai….! Kesemuanya ini! adalah akibat aku telah salah melakukan pekerjaan. Tidak
sepantasnya kalau kubawa kongcu datang ke kota Kim Leng ini”.
“Ooooh….! Jadi maksudmu, gurumu segan atau tidak bersedia untuk bertemu dengan aku?”
“Salah satu penyebabnya memang guruku tak ingin berjumpa dengan dirimu…..” jawab Cia In
sedih, “Tapi yang terpenting adalah dia kuatir bila usaha yang berhasil kita bangun dengan susah
payah selama banyak tahun ini tak dapat dipertahankan lagi rahasianya, maka guruku akan pergi
ke tempat lain untuk membuat rencana berikutnya!”
“Nona Cia, selama ini kau selalu menyinggung tentang tak dapat dipertahankannya usaha kalian
selama banyak tahun, ada satu hal yang rasanya kurang enak bila tak kutanyakan kepadamu.
Tolong tanya nona, apakah gurumu telah mendirikan sebuah perkumpulan atau suatu organisasi
besar dalam dunia persilatan?” tiba-tiba Yu Siau-lam menimbrung dari samping dengan penuh
antusias.
Sementara itu Hoa In-liong sendiripun diam-diam sedang berpikir dengan perasaan tidak habis
mengerti. “Aneh… kejadian ini betul-betul sangat aneh. Padahal aku sama sekali tidak kenal
dengan gurunya itu, tapi kenapa gurunya tidak bersedia untuk berjumpa dengan aku?. Aaaah…..
benar! Dia tadi bilang kalau gurunya adalah saudara angkatnya Giok Teng hujin. Kalau Giok Teng
hujin telah meninggalkan dunia yang
fana ini, dus adalah tanda pengenal nyonya itu sudah terjatuh ke tangan gurunya. Haaa… haa…..
haa….. Jadi kalau urusan ini dihubungkan satu sama lainnya, delapan puluh persen terbunuhnya
Suma siok-ya berdua ada sangkut pautnya dengan perempuan she-Pui tersebut. Aku harus
mencari kesempatan yang baik menyelidiki latar belakang dari peristiwa tersebut….”
Dalam pada itu Cia In telah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan dari Yu Siau-lam.
“Benar!” Demikian ia berkata, “Dengan hadirnya Hoa kongcu disini, rasanya akupun tak mungkin
akan merahasiakan persoalan ini lebih jauh. Yaaa memang, guruku telah mendirikan suatu
perkumpulan dan perkumpulan itu kami namakan perkumpulan Cha-li-kau (kumpulan nonanona),
cuma saja….…….”
Tiba-tiba dia membungkam.
Sementara itu Hoa In-liong sudah mempunyai rencana yang cukup matang untuk mengatasi
masalah pelik yang sedang dihadapi. Ketika mendengar perkataan itu dia lantas tertawa nyaring.
“Haa…… haa….. haa…… Perkumpulan Cha-li-kau maksudmu?” tukasnya, “Apakah perkumpulan
itu adalah sebuah perkumpulan sesat yang khusus memikat hati orang dengan kecantikan wajah
perempuan?”
“Eceeh….. Hoa kongcu, kau tidak boleh menuduh orang dengan kata yang bukan-bukan!” seru
Cia In dengan panik.
“Kenapa? Memangnya aku sudah salah berbiara atau mungkin ada soal lain dibalik kesemuanya
itu?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
172
Dengan sedih Cia In menjawab, “Sebenarnya guruku memang mempunyai tujuan tertentu, dia
ingin…… dia ingin……”
“Haaa….. haaa…… haa……. Dia ingin apa?” seru Hoa In-liong terbahak-bahak. “Eeeh, kenapa
tidak kau lanjutkan perkataanmu lebih jauh?”
Cia In menggerakkan bibirnya seperti mau mengatakan sesuatu, tapi sesaat kemudian dia telah
membatalkan niatnya itu.
Untuk sesaat suasana jadi hening, tiba-tiba ia berkata lagi dengan wajah serius. “Hoa kongcu,
maafkanlah aku. Hakekatnya apa yang kuketahui adalah sangat terbatas dan apa yang bisa
kukatakan juga hanya melulu sampai disini saja. Pokoknya sekalipun perkumpulan Cha-li-kau
mengandalkan kecantikan paras muka kaum dara, namun kami bukanlah perkumpulan sesat
seperti apa yang kau duga. Yang paling penting tujuan kami adalah membantu keluarga Hoa
kalian. Maka percaya atau tidak dengan perkataanku ini terserah padamu sendiri. Hanya aku
berharap untuk sementara waktu simpanlah rahasia ini baik-baik dan janganlah kau siarkan
tentang semua peristiwa ini ke dunia luar”
“Oooh…… tujuan perkumpulan kalian adalah membantu keluarga Hoa kami?” jengek Hoa In-liong
sinis. “Haa….. haaa….. haaa…… Andaikata keluarga Hoa kami harus minta bantuan dari kaum
perempuan…….”
Belum habis ia berkata Cia In sudah menatap wajah anak muda itu tajam-tajam, kemudian
tukasnya dengan suara dalam, “Hati-hatilah, kalau mau bicara! Hoa kongcu memangnya kau lupa
bahwa nenekmu adalah seorang perempuan? Memangnya kau lupa kalau kedua orang ibumu
juga pendekar perempuan? Apakah kau lupa andaikata dimasa lampau ayahmu tidak mendapat
bantuan dari Giok Teng hujin, maka dia tak akan mempunyai kesuksesan seperti yang dimilikinya
sekarang….? Hoa kong cu…..”
Perempuan itu seperti akan mengucapkan sesuatu lagi tiba-tiba suara In-ji telah menukas, “Suci,
kau……”
Seperti baru sadar bahwa dia telah salah berbicara, paras muka Cia In berubah hebat, sekujur
badannya ikut bergetar keras, cepat-cepat ia tundukkan kepalanya dengan sedih. “Hoa-kongcu,
maafkanlah kesilafanku, harap kau jangan marah atau tersinggung oleh kata-kata yang barusan
kuutarakan!”
Hoa In-liong bukan seorang pemuda yang bodoh, sudah tentu dia tahu bahwa keadaan yang
dihadapinya sekarang bukan suatu keadaan yang sederhana atau biasa saja.
Mendingan kalau begitu mengetahui latar belakang semua peristiwa yang pernah terjadi di masa
lampau. Saat ini boleh dibilang dia buta sama sekali atas peristiwa-peristiwa itu, maka setelah
mendengar pembicaraan itu, dia lantas menyusun rencana lebih jauh.
Maka ketika Cia In minta maaf diapun tidak banyak bicara atau menyinggung kembali urusan itu.
Ditatapnya perempuan tersebut tajam-tajam, kemudian ujarnya dengan dingin, “Kau silaf atau
tidak aku tak mau tahu. Baik bicaramu betul atau tidak akupun tak ambil pusing. Pokoknya hanya
ada satu keinginan dalam hatiku. Sekarang, aku ingin berjumpa dengan gurumu dan aku harap
nona bisa bantu aku mempersiapkan pertemuan itu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
173
Cepat-cepat Cia In menggelengkan kepalanya, “Maafkanlah daku Hoa kongcu. Aku betul-betul
tak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kehendak hatimu itu. Aku tak mungkin bisa
aturkan pertemuan bagimu dengan guruku!”
Hoa In-liong mendengus dingin. “Tidak bisa? Hmmm, bisa atau tidak aku tak akan ambil pusing.
Pokoknya bagaimanapun jaga pertemukan ini harus bisa terselenggara”
Melihat ketegasan si anak muda itu, tiba-tiba Cia In menghela napas panjang. “Aaaai…..
Tampaknya dugaan guruku memang
tidak meleset, tentunya kongcu menaruh curiga bukan bahwa pembunuh yang telah mencelakai
ji-wa Suma tayhiap adalah guruku?”
“Benar dia yang berbuat atau bukan, aku rasa gurumu jauh lebih jelas dari pada siapapun jua,
nona Cia tak usah pusing-pusing memikirkan persoalanmu. Tugasmu sekarang hanya
mengaturkan pertemuan antara diriku dengan gurumu dan itu sudah lebih dari cukup”
“Kongcu, kau keliru besar, keliru besar!” Cia In gelengkan kepalanya berulang kali, “Peristiwa
berdarah yang menimpa keluarga Suma, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan guruku.
Percayalah Hoa kongcu, tak nanti kami akan membohongi dirimu!”
“Nona Cia!” Hoa In-liong segera menukas pula dengan suara dalam, “Terus terang pula
kukatakan kepadamu, si pembunuh yang berhati keji itu telah meninggalkan sebuah hiolo kecil
berwarna hijau kumala selesai melakukan pembunuhan brutal itu dan hiolo kecil yang terbuat
dari batu kemala hijau itu tak lain adalah tanda pengenal dari Giok Teng hujin. Kalau toh Giok
Teng hujin benar-benar telah meninggalkan dunia yang fana ini, maka itu berani gurumu yang
paling dicurigai. Siapa tahu kalau dia benar-benar terlibat dalam peristiwa berdarah itu? Coba
bayangkan sendiri, seandainya gurumu tiada sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah itu,
mengapa ia berusaha untuk menghindarkan diri dari pertemuannya dengan aku? Nona Cia, aku
bukan seorang manusia kasar yang tidak memakai aturan, sekalipun demikian akupun tidak sudi
mendengar segala pembelaan yang bertujuan menyangkal tanggung jawab itu tanpa disertai
dengan alasan yang cukup kuat!”
“Hoa kongcu, aku tidak melakukan pembelaan ataupun melakukan sangkalan yang tanpa disertai
alasan yang tepat, tapi pada hakekatnya apa yang kuucapkan adalah kenyataan yang
sebenarnya!” bantah Cia In lagi dengan sengit.
“Kalau engkau mengatakan bahwa apa yang kau ucapkan adalah suatu kenyataan, tolong berilah
bukti yang kuat kepadaku, apakah nona dapat mencarikan suatu bukti yang cukup kuat yang
menunjukkan bahwa garumu benar-benar tidak terlibat dalam peristiwa berdarah itu? Bisa…..?
Bisa………? Ayoh jawab!” desak Hoa In-liong ketus.
Mendengar perkataan itu Cia In tertegun. Untuk sesaat ia tak sanggup mengucapkan sepatah
katapun.
Melihat gadis itu terbungkam tanpa berkata-kata, Hoa In-liong segera berkata lebih lanjut,
“Sudahlah nona kunasehati dirimu lebih baik tak usah bersilat lidah dengan percuma. Ingat kau
anggap karena aku ingin berjumpa dengan gurumu, maka aku lantas memvonis bahwa gurumu
itulah pembunuh gadis atau paling sedikit otak dari pembunuhan itu. Tidak! Aku tak akan
menuduh yang bukan-bukan tanpa disertai bukti yang nyata. Akupun tidak memastikan bahwa
gurumu itulah si pembunuh atau si otak yang mendalangi peristiwa berdarah itu. Aku hanya ingin
bertanya kepadanya, mengapa ia tak mau berjumpa dengan aku, bila dia mempunyai alasannya,
maka aku ingin mendengar apa alasannya itu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
174
Cia In membuka bibirnya lebar-lebar seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi sesaat kemudian
ia batalkan niatnya itu, gadis itu termangu-mangu seperti orang bodoh.
Lama sekali…. Entah berapa lama sudah lewat akhirnya dia menghela nafas panjang, “Aaaai….
Hoa kongcu, terus terang kuberi tahu kepadamu, guruku telah meninggalkan kota Kim-leng.
Sekalipun kusanggupi permintaan kongcu untuk mengaturkan pertemuan dengan beliau, sayang
aku ada kemauan tak mempunyai tenaga, maafkanlah daku!”
Tiba-tiba Hoa In-liong jadi berang, matanya jadi merah melotot besar, mukanya menyeringai
seram, dengan suara keras dia membentak, “Nona Cia, tampaknya baik-baik kutawarkan arak
kehormatan kau tolak pemberianku itu, Hmm! Jika kau memang lebih suka mencari arak
hukuman heee…… hee…… heee… Baik….! Baik…..! Jangan salahkan kalau aku akan
menggunakan kekerasan untuk memaksa engkau!”
Pada saat ini sinar matanya yang memancar keluar benar-benar tajam dan mendatangkan rasa
bergidik bagi siapapun yang melihatnya. Ditambah lagi mukanya yang menyeringai dengan otot
otot hijau pada menongol keluar semua, siapapun akan tahu bahwa kemarahan yang berkobar
dalam dada si anak muda itu benar-benar sudah mencapai pada puncaknya.
Yu-Siau-lam selama ini banyak berdiam diri sambil mengikuti jalannya pembicaraan itu. Akhirnya
ketika ia mengetahui bahwa rekannya sungguh-sungguh telah naik darah, cepat ujarnya dengan
cemas dari samping, “Saudara Hoa, harap bersabar dulu? Tenangkanlah perasaanmu dan jangan
mengumbar emosi…. Tenang! Tenang….! Mungkin juga apa yang barusan dikatakan nona Cia
dapat kita percayai. Sabarlah dulu, urusan kan bisa dirundingkan secara baik-baik!”
Hoa In-liong berusaha mengendalikan hawa amarah yang berkobar dalam dadanya pelan-pelan
dialihkan sinar matanya, lalu dengan tak sabaran tanyanya, “Ooooh….. jadi kau percaya dengan
semua obrolan dan pembicaraannya tadi…..?”
Yu-Siau-lam segera mengangguk. “Aku rasa mungkin juga gurunya memang benar-benar telah
meninggalkan kota Kim-leng, apa salahnya kalau kita mempercayai pernyataannya ini?”
“Ooooh…..” Hoa In-liong tertegun untuk sesaat. Rupanya ia tidak habis mengerti dengan
perkataan rekannya itu, “Dengan alasan apa saudara Siau-lam bisa berkata demikian”
“Alasannya memang tak ada, cuma entah bagaimana siaute merasa bahwa ucapnya memang
benar!”
“Bagaimana perasaan saudara Siau-lam itu? Apakah dapat kau terangkan lebih terperinci?”
“Bila kutinjau dari pembicaraan yang selama ini berlangsung antara nona Cia dengan dirimu, aku
lihat sikap, tindak tanduk maupun caranya berbicara seakan-akan menaruh perhatian khusus
kepada Hoa-heng dan perhatian itu mirip sekali dengan suatu rasa kagum dan hormat yang amat
besar. Bahkan aku lihat apa yang dapat dia katakanpun semuanya telah dia utarakan keluar.
Misalkan saja soal perkumpulan Cha-li-kau yang didirikan oleh gurunya, bukankah hal ini
merupakan suatu rahasia besar bagi perkumpulan mereka? Tadi karena Hoa-heng hadir disini,
maka tanpa ledeng aling-aling diungkapnya juga persoalan itu. Maka bila kita tinjau dari keadaan
tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa gurunya memang benar-benar telah meninggalkan
kota Kim-leng. Cuma ada satu hal yang masih kuherankan, yaitu mengapa setiap kali
membicarakan persoalan yang selalu nona Cia bicara berbelit-belit atau tergagap, aku tidak
mengerti mengapa dia bisa begini, apakah kalian tahu?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
175
“Aaah….. Memang masuk di akal, sekarang aku dapat memahami duduknya persoalan ini!” tibatiba
Coa Cong-gi yang selama ini membungkam berteriak keras.
“Apa yang kau pahami?” Hoa In-liong berpaling dengan sepasang alis berkenyit.
Wajah Coa Cong-gi tampak berseri-seri, katanya dengan kalem, “Apa lagi yang kupahami? Tentu
saja tentang gurunya nona Cia ini! Aku tahu, gurunya menghindari dirimu bukan lantaran ia
terlihat dalam peristiwa berdarah atas diri Suma tayhiap!”
“Engkau punya bukti?” tanya Hoa In-liong dengan, jantung berdebar keras.
“Kenapa musti mencari bukti? Toh asal alasannya bisa diterima dengan akal itu lebih dari cukup?
Coba bayangkan sendiri, seandainya gurunya memang benar-benar terlibat dalam peristiwa
berdarah yang menimpa keluarga Suma, apa gunanya nona Cia mengakui asal usul
perguruannya? Jika mereka terlibat bukankah mengakui asal-usul perguruannya sama artinya
mencari kesulitan buat diri sendiri? Betul tidak? Karena itu jadi agak yakin kalau gurunya nona
Cia pada hakekatnya memang tidak terlibat dalam peristiwa berdarah itu!”
Memang kalau dipikir beberapa patah kata itu sederhana sekali kedengarannya, tapi justru
ucapan yang amat sederhana itu mempunyai alasan yang kuat sekali.
Hoa In-liong kontan terbungkam tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya. Untuk sesaat dia
cuma bisa duduk tertegun sambil memutar biji matanya.
Cia In segera tertawa lebat, agak lega juga hatinya setelah mendengar perkataan itu. “Terima
kasih banyak Coa kongcu atas bantuanmu, kau telah bantu aku melepaskan diri dari kesulitan!”
serunya.
Coa Cong-gi terlampau jujur dan polos, ketika nona itu berterima kasih kepadanya, cepat dia goyangkan
tangannya berulang kali, “Jangan…. jangan….! Kau tak usah berterima kasih kepadaku,
terus terang saja persoalan yang tidak kupahami mungkin jauh lebih banyak daripada kalian
semua!”
Untuk sementara waktu suasana jadi hening. Hoa In-liong segera terjerumus dalam pemikiran
sendiri, tampaknya perkataan dari Yu Siau-lam dan Coa Cong-gi barusan telah memberi reaksi
dalam benaknya.
Sikap Cia In pada saat ini jauh lebih santai dan lega. Senyum dan suara tertawanya kedengaran
jauh lebih merdu dan enak didengar.
Ketika mendengar ucapan dari Coa Cong-gi tadi, serta merta dia berkata sambil bertanya, “Kau
masih ada beberapa persoalan yang merasa kurang jelas? Kenapa tidak kau tanyakan kepadaku?
Asal aku mengetahuinya, pasti akan kuberikan jawaban yang selengkap-lengkapnya., tanggung
tak akan membuat Coa kongcu jadi kecewa”
“Sungguhkah itu?” mencorong sinar tajam dari mata Coa Cong-gi, “Kalau begitu aku ingin
bertanya kepadamu, apa sebabnya kau culik Hoa lote dan membawanya ke kota Kim-leng?”
Sudah lama pertanyaan ini terpendam dalam hatinya, dan selama ini dia selalu berharap-harap
Yu Siau-lam atau Hoa In-liong lah yang mengajukan pertanyaan tersebut. Siapa tahu kedua
orang itu justru tak pernah mengajukan pertanyaan itu, seakan-akan kedua orang itu sudah lupa
dengan persoalan itu. Maka ketika ada kesempatan baginya serta-merta pertanyaan itulah yang
pertama-tama diajukan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
176
Sebagai seorang pemuda polos yang lebih suka berbicara blak-blakan, semua pertanyaan yang
ingin diajukan selalu diutarakan tanpa tedeng aling-aling. Ia merasa hanya berbicara secara
berterus teranglah dapat membuat pikiran maupun perasaannya jadi lega.
Sampai matipun Cia In tidak menyangka kalau pertanyaan itulah yang bakal diajukan kepadanya.
Untuk sesaat dia jadi tertegun, gelagapan dan tak mampu berkata-kata.
Menyaksikan sikap perempuan itu, Coa Cong-gi merasa tak senang hati. Sinar matanya berkilat
tajam, segera teriaknya dengan suara lantang, “Eeeh…. kenapa sih kamu jadi orang sukanya
berbicara mencla-mencle? Bukankah kau mengatakan akan menjawab semua pertanyaanku?
Tapi bagaimana buktinya sekarang? Baru saja kuajukan pertanyaanku yang pertama kau sudah
tak mampu menjawab. Huuuh… atau mungkin engkau memang sengaja sedang ajak aku
bergurau?”
Merah padam selembar wajah Cia In karena jengah. Dia semakin gelagapan, apalagi berhadapan
muka dengari pemuda polos yang lebih suka bicara blak-blakan, sindiran yang terasa amal pedas
itu menyinggung perasaan halusnya. “Aku……. aku……. aku…..”
Saking gugupnya, nona itu hanya bisa mengulangi kata “aku” sampai beberapa kali, kecuali itu
tiada perkataan lain yang diucapkan.
Tiba-tiba In-ji tertawa cekikikan. “Hiiih… hiih…… hiii….. Coa kongcu, suciku sangat menaruh
perhatian kepada Hoa kongcu dan perhatian itu rupanya telah berubah menjadi cinta. Kenapa sih
kau memaksanya terus untuk menjawab pertanyaanmu itu?”
Ketika perkataan tersehat diucapkan keluar, Cia In tundukkan kepalanya rendah-rendah sikapnya
tersipu-sipu seperti orang malu.
Sebaliknya Coa Cong-gi tertegun, dia termangu-mangu seperti orang bodoh dan tak mampu mengucapkan
sepatah katapun.
Suasana hening untuk sesaat tiba-tiba terdengar Hoa In-liong mendengus dingin. “Hmmm!
Budak cilik, pandai amat engkau mengucapkan kata-kata indah yang menyesatkan pikiran orang,
memangnya kau anggap aku orang she-Hoa percaya dongan omongan setanmu?”
“Eeeh…. eehhh…. siapa yang lagi ngomong setan?” In-ji kelihatan semakin gelisah, “Kalau
engkau tidak percaya, kenapa tidak kau tanyakan langsung kepada kakak seperguruanku?
Hmmmm! buka mulut lantas memaki orang…. aduuuuh mak, gayanya! Hebat benar….”
Merah padam selembar wajah Hoa In-liong. Perkataan itu sangat mengena dalam hatinya. Mesti
demikian mukanya tetap kaku dan dingin, katanya dengan ketus, “Aku mau bertanya kepadamu,
apa yang dimaksudkan dengan sebagai manusia haruslah banyak melakukan kewajiban?
Bukankah ucapan ini kau yang ucapkan?”
“Kalau memang aku yang bicara, lantas kenapa?” teriak In-ji dengan garang, tiba-tiba matanya
melotot besar, mukanya merah dan tangannya bertolak pinggang.
“In-ji, kurangilah mulut usilmu itu….” tiba-tiba Cia In menengadah dan berseru dengan hati
gelisah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
177
In-ji mengenyitkan hidungnya, sekalipun sudah dihalangi oleh kakak seperguruannya namun
sikapnya masih tetap garang. “Huuuh… siapa suruh dia kasar sekali kalau bicara, sungguh
menjengkelkan!”
Cia In menghela napas sedih, “Aaaai….! Bagaimanapun juga suhu toh sudah menurunkan
larangannya bagi kita untuk melakukan hubungan lagi dengan orang-orang dari keluarga Hoa.
Sekalipun banyak bicara dan bersilat lidah sampai pagi juga tak ada gunanya, buat apa kau musti
mangkel dan meraba mendongkol karena soal sepele?”
Berbicara sampai disitu dia berhenti sebentar. Pelan-pelan sinar matanya dialihkan keatas wajah
Hoa In-liong, kemudian sambungnya lebih jauh dengan muka serius, “Hoa kongcu, janganlah kau
anggap aku adalah seorang perempuan rendah yang tak tahu malu. Setelah urusan berkembang
jadi begini, mau tak mau aku harus berbicara juga dengan terus terang, agar kaupun tak
menaruh curiga terus menerus terhadap kami. Coba bayangkanlah sendiri, dengan paras
mukamu yang tampan, dengan kedudukan keluarga Hoa kalian yang tersohor dan terhormat,
perempuan mana yang tak ingin berhasil menggaet hatimu? Yaaa, memang aku mempunyai
maksud-maksud pribadi sewaktu menculik kongcu datang ke kota Kim-leng ini. Untunglah
kejadian itu sudah lewat, jadi rasanya aku pun tak usah merahasiakan kejadian ini lagi
dihadapanmu”.
Sepasang matanya mulai berkaca-kaca, sejenak kemudian air mata meleleh keluar membasai
pipinya. Dengan suara yang lirih dan penuh perasaan iba katanya lebih lanjut, “Sedang mengenai
perkataan dari In-ji yang mengatakan orang banyak adalah besar manfaatnya, akupun tidak
ingin mengelabui dirimu lebih jauh. Selain itu akupun tak ingin memberikan penjelasan lebih
jauh. Pokoknya guruku ada niat mendirikan perkumpulan Cha-li-kau, tapi tentunya kau pun tahu
bukan pekerjaan yang mudah untuk mendirikan sebuah perkumpulan. Apalagi dengan
mengandalkan kekuatan dari beberapa orang perempuan, tak mungkin bisa melakukan usaha
besar. Maka setiap kali-kali jumpai orang yang berbakat bagus, bila mempunyai pandangan dan
cara berpikir yang sama, kami lantas menawarkan kepada mereka untuk masuk menjadi
anggota. Dari tujuanku menculik engkaupun hanya lantaran soal ini saja. Nah, hanya sampai
disini saja keterangan yang dapat kuucapkan kepadamu mau percaya atau tidak terserah pada
keputusan Hoa kongcu sendiri, sebab hakekatnya aku sudah tak dapat memberi keterangan yang
lain lagi!”
Sekalipun dalam keterangannya ini masih terdapat pula hal-hal yang dirahasiakan, toh
pengakuan yang sudah diucapkan terhitung blak-blakan, terutama sekali di balik kesemuanya itu
menyangkut juga soal hubungan cinta muda-mudi. Sebagai seorang pemuda yang menurut
aturan dan lagi hatinya juga tidak sekeras baja, tentu saja Hoa In-liong tak dapat berbuat apaapa
lagi, terutama setelah melihat dan mendengar sendiri semua yang terpampang dihadapan
matanya sekarang.
Tampaknya Cia-In juga mempunyai watak yang keras, meskipun matanya berkaca-kaca dan air
mata jatuh berlinang, akan tetapi ia berusaha keras mengendalikan sesenggukan dan isak
tangisnya.
Setelah hening sesaat, akhirnya dia menengadah kembali, kepada Coa Cong-gi tanyanya lagi,
“Coa-kongcu, apakah engkau masih ada persoalan lain yang hendak kau tanyakan kepadaku?”
Mula-mula Coa Cong-gi tertegun, tapi sejenak kemudian ia sudah gelengkan kepalanya berulang
kali. “Tidak ada… Sudah tidak ada lagi!” sahutnya.
Dia lantas berpaling ke arah lain dan tak ingin melihat keadaan Cia In yang mengenaskan hati
itu. “Kalau sudah tiada persoalan yang akan ditanyakan lagi, marilah kita minum arak!” ajaknya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
178
Diangkatnya cawan arak yang berada dihadapannya kalau meneguk isinya sampai habis,
menggunakan kesempatan itu dia membesut air mata yang membasahi pipinya.
Tindak-tanduknya yang sangat mengenaskan itu cukup menggetarkan hati orang. Yu Siau-lam
terbungkam dibuatnya dan duduk dengan termangu-mangu, sedang Hoa In-liong sendiri
merasakan tubuhnya bergetar keras karena emosi.
Pada saat itulah tiba-tiba dari ujung lorong sebelah depan sana berkumandang suara langkah
kaki manusia yang berat, makin lama suara itu makin dekat dan akhirnya berhenti diluar pintu
ruangan loteng tersebut….
Cia-In segera mengerutkan dahinya, dengan ragu-ragu tegurnya, “Tan-Ji kah yang berada
disitu?”
“Benar nona, hamba adalah Tan-Ji” jawab orang yang berada diluar pintu loteng diluar pintu
sebelah depan sana datang dua orang tamu, “Mereka bersikeras hendak berjumpa dengan nona,
apakah nona dapat menjumpai mereka”
Cia In mengerutkan dahinya rapat-rapat. “Apakah tidak kau tolak, permintaan orang itu? Katakan
saja kepada mereka, malam ini aku tak dapat melayani mereka sebab lagi ada tamu, suruh saja
datang lagi beberapa hari kemudian!”
“Hamba…. hamba telah berkata begitu” jawab Tan Ji dengan agak ketakutan, tapi kedua orang
tamu itu kasar dan tidak pakai aturan. Mereka bersikeras akan menjumpai nona, malahan
ancam-nya bila nona tak mau menemani mereka berdua maka seluruh rumah Gi-sim-wan kita ini
akan di obrak abrik!”
Sementara itu pikiran Coa Cong-gi sedang kusut dan dadanya seperti ditindih dengan batu
raksasa sebesar seribu kati. Dalam keadaan semacam ini orang lebih mudah dibuat gusar oleh
kejadian apa pun. Demikian pula keadaannya dengan jago muda kita yang berangasan ini.
Ketika didengarnya ada tamu tak tahu aturan yang bermain paksa sambil mengancam kontan dia
naik darah sambil melompat turun gembornya penuh kegusaran, “Kunyuk! Bangsat tak tahu diri
siapa yang berani membuat gara-gara ditempat ini? Hmm, beritahu kepada mereka agar sedikit
tahu diri, kalau tidak…… hee… hee.. heee….. Jangan salahkan kalau kuhajar sepasang kaki
anjing mereka sampai buntung!”
“Oooh… Coa kongcu, Kau harap jangan marah-marah” rengek Tan Ji seperti orang yang minta
dikasihani, “Kami adalah orang-orang yang mementingkan langganan, mana berani kami tolak
langganan? Coa kongcu harap maklumilah keadaan kami.
Coa Cong-gi jadi makin sengit, tiba-tiba dia meloncat bangun dan siap menerjang keluar dari
ruangan itu.
“Eeeh… Eeh… Coa kongcu, silahkan duduk, silahkan duduk lebih dulu” seru Cia In dengan gelisah
“Harap jangan kau umbar hawa amarahmu disini, biarlah kuselidiki sendiri persoalan ini agar
menjadi jelas”
Diapun bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
179
Setibanya diluar pagar loteng, nona itu memandang pelayan rumah pelacuran itu, kemudian
tanya, “Tan-Ji, bagaimanakah tampang serta potongan badan kedua orang itu….? Mereka adalah
langganan lama ataukah tamu baru?”
Dengan wajah amat gelisah Tan Ji menyahut, “Mereka adalah tamu asing yang belum pernah
berkunjung kemari, yang seseorang berdandan sebagai pemuda perlente sedangkan yang lain
memakai baju ringkas berwarna biru, tampangnya jelek sekali. Kedua-duanya menyoren pedang
mustika hamba rasa kedua orang itu pastilah jago persilatan yang berilmu!”
Cia-In agak tertegun, untuk sesaat dia seperti memikirkan sesuatu, kemudian dengan alis mata
berkenyit bisiknya, “Orang persilatan? Sudah kau tanyakan siapakah nama mereka berdua… dan
berasal dari mana?
“Katanya mereka She-Ciu. yang seorang disebut Sam-ko sedang yang lain disebut Ngo-te, tidak
mereka jelaskan berasal dari mana”
Ketika secara tiba-tiba mendengar nama dari kedua orang tamu yang datang berkunjung kesitu.
Hoa In-liong sekalian segera merasakan hatinya tergerak tanpa sadar ketiga orang pemuda itu
bersama-sama bangkit berdiri lalu melangkah keluar dengan tindakan lebar.
Dalam pada itu Cia In sendiri pun merasakan sekujur badannya gemetar keras setelah
mendengar nama orang itu. Dengan suara yang gelisah sekali serunya, “Cepat…. cepat keluar
dan….ha… halangi mereka masuk katakan saja sebentar aku datang kesitu!”
“Baik nona!” sahut Tan Ji mengiakan, dia lantas putar badan dan lari keluar dari tempat itu.
Menanti Cia ln memutar badannya kembali ia saksikan Hoa In-liong sekalian sudah di ambang
pintu, “Apakah Ciu Hoa yang datang? Kebetulan sekali kedatangan orang itu, aku memang
sedang mencari jejaknya!” kata Hoa In-liong kemudian agak emosi.
“Tidak jangan!” seru Cia In sangat gelisah, “Engkau tak boleh bertemu dengan orang disini, kalau
hendak mencari dirinya kuharap carilah di tempat lain!”
Suara perempuan ini sudah bernada setengah merengek seakan-akan takut sekali kalau pemuda
ini tak mau menuruti perkataannnya.
“Kenapa musti begitu. Kan tak ada salahnya kalau kita berjumpa muka disini?” sahut si anak
muda itu dengan sinar mata berkilau, ”Bagaimanapun juga Gi-sim-wan kau boleh dikunjungi oleh
setiap orang secara bebas? Bertemu atau tidak, sama sekali tidak akan merugikan nona!”
“Oooh…. Hoa kongcu!” seru Cia In dengan wajah murung, “Tindakanku menculik engkau datang
ke kota Kim-leng ini sudah merupakan suatu kesalahan besar. Bagaimanapun juga aku tak ingin
lantaran kesalahan yang kulakukan itu mengakibatkan gagalnya usaha besar kami yang telah
diperjuangkan selama banyak tahun. Aku selalu berharap dapat mempertahankan usaha kami ini
hingga berhasil. Sebab itulah sengaja kusiapkan meja perjamuan dan siap sedia memberi
keterangan yang kalian minta. Hoa kongcu…..! Ketahuilah, apabila perkumpulan Cha-li-kau bisa
berdiri secepatnya maka perkumpulan kami itu hanya mendatang keuntungan tanpa kerugian
bagi keluarga Hoa kalian. Buat apa toh kau mendesak diriku hingga berdiri tersudut. Oooh…. Hoa
kongcu yang baik, janganlah menyusahkan aku, berilah kesempatan kepadaku untuk
mempertahankan usaha besar dari guruku ini. Janganlah membiarkan aku terjerumus kedalam
suatu keadaan yang serba runyam, sebab kalau sampai terjadi begini, bagaimanakah tanggung
jawabku terhadap suhu dia orang tua? Hoa kongcu, ikutilah perkataanku……”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
180
Hoa In-liong mengerutkan dahinya rapat-rapat. “Nona Cia, aku sama sekali tidak bermaksud
untuk menyusahkan dirimu apa lagi mendesak kau ke sudut, tapi engkaupun harus memaklumi
keadaanku juga. Ciu Hoa adalah salah seorang pembunuh yang telah mencelakai jiwa Suma siokya
ku. Sekalipun belum ada buktinya, tapi dia adalah manusia paling mencurigakan diantara
sekian banyak orang yang kujumpai”
Rupanya pikiran dan perasaan Cia In pada waktu itu kusut sekali. Dia tak ingin mendengar
pembicaraan itu lebih jauh, segera tukasnya dengan cepat, “Hoa koagcu, apabila engkau
menaruh rasa kasihan kapadaku dan dapat memaklumi keadaan pada saat ini, lebih baik
janganlah sampai berjumpa muka dengannya dalam Gi-sim-wan ini. Toh setelah dia keluar dari
tempat ini, engkau masih mempunyai banyak kesempatan untuk berjumpa dengan dirinya?”
Agaknya Yu Siau-lam simpatik juga atas keadaan Cia In yang mengenaskan, dia jadi tak tega,
timbrungnya dari samping, “Hoa-heng, dengarkanlah kata-kataku, belum tentu Ciu Hoa yang kau
jumpai sekarang adalah Ciu Hoa yang itu. Kemungkinan juga mereka sama sekali tak ada
sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah dikeluarga Suma, kenapa tidak kita tunggu saja
setelah mereka keluar dari tempat ini baru kita sergap?”
“Ada sangkut pautnya atau tidak, terlampau pagi rasanya untuk dibicarakan pada saat ini.
Bukankah kau mendengar sendiri kedua orang itu mempunyai nama yang sama. Selain itu
akupun tahu bahwa mereka mempunyai potongan baju yang sama dengan jumlah yang banyak.
Masakah dibalik kesemuanya itu tidak terdapat hal-hal yang patut dicurigai?. Kesempatan baik
tidak gampang ditemui, kenapa siaute musti melepaskan kesempatan yang sangat baik ini
dengan begitu saja?”
Cia In benar-benar merasa sangat gelisah. “Hoa kongcu….. Apakah engkau hendak menjegal
kakimu sendiri?” tiba-tiba tegurnya!
Hoa In-liong amat terkejut. “Eeeh… apa maksud perkataanmu itu?” serunya.
“Terus terang kuberitahukan kepadamu, sejak dulu sampai sekarang aku dan guruku selalu
memperhatikan situasi dalam dunia persilatan. Sampai dewasa ini paling sedikit sudah ada dua
kelompok manusia yang mempunyai maksud jahat terhadap keluarga Hoa kalian. Jika engkau
bersikeras hendak berjumpa dengan Ciu Hoa dirumah Gi sim-wan ini, itu berarti engkau akan
merusak usaha besar kami dan itu berarti juga mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi
pihakmu sendiri!”
Mendengar ucapan tersebut, Hoa-In liong merasakan hatinya bergetar keras. Sebelum ingatan
ke-dua sempat melintas dalam benaknya, terdengar Coa Cong-gi telah berteriak keras, “Ayoh…
ayolah, kita segera berlalu dari sini, ayoh berangkat! Siau In-ji, ambil kemari pedang mustika dan
buntalan baju itu!”
In-ji mengiakan, cepat-cepat dia lari masuk ke dalam ruangan dan sebentar kemudian sudah
muncul kembali dengan membawa pedang dan buntalan baju tadi…..
Cia In menerimanya dari tangan pelayan cilik itu, kemudian dengan lembut diserahkan ketangan
Hoa In-liong, katanya dengan penuh kehalusan dan kelembutan, “Hoa kongcu, legakanlah
hatimu, bagaimanapun juga aku dan guruku tidak akan melakukan perbuatan yang akan
merugikan keluarga Hoa dan pesan ini adalah pesan dari guruku yang suruh aku sampaikan
kepadamu. Ketahuilah selama engkau membantu diriku berarti pula sedang membantu dirimu
sendiri. Kumohon kepadamu sekali lagi, cepatlah berlalu dari tempat ini dan janganlah berjumpa
dengannya disini!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
181
Ditengah kelembutan terkandung nada gelisah dan panik, namun mencerminkan pula perasaan
kasih sayangnya. Ini membuat orang tak dapat menampik permohonannya lagi.
“Bagaimana dengan kau sendiri?” akhirnya Hoa In-liong bertanya.
Cia In tertawa, tertawa yang enteng dan segar, sambil memandang wajah anak muda itu dengan
lembut, sahutnya, “Aku tidak apa-apa, aku bisa jaga diriku sendiri, terima kasih banyak atas
perhatianmu!’”
“Kongcu bertiga, silahkan mengikuti di belakang In-ji!” saat itulah siau In-ji berkata lagi.
Maka dengan uring-uringan Hoa-In liong menerima buntalan baju dan pedang mustikanya, lalu
berjalan keluar dari ruangan itu mengikuti di belakang In-ji dengan pikiran kosong. Akhirnya
mereka tiba dihalaman depan setelah melewati sisi rumah pelacuran Gi-sim-wan dan pulang
kem-bali ke pesanggrahan tabib dengan naik kuda.
Suasana disekitar pesanggrahan tabib gelap gulita tidak tampak sedikit cahayapun. Suasana
hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun di pandang dari tempat kejauhan.
Pasanggrahan tersebut mirip sekali dengan sebuah perkampungan kosong.
Menyaksikan suasana yang mencekam rumahnya pertama-tama Yu-Siau-lam yang menjerit kaget
lebih dahulu. “Eeeh… apa yang terjadi dalam rumahku?” teriaknya dengan perasaan kalut.
“Benar!” sambung Coa Cong-gi pula, “Suasana disekitar tempat ini memang rasa-rasanya aneh
sekali. Sekarang baru. mendekati kentongan kedua, semestinya mereka belum tidur semua,
tapi… kok sepi amat suasana disini, apalagi gelap, jangan-jangan…..”
Sebelum ucapan tersebut diselesaikan, Hoa In-liong merasa hatinya tercekat. Diapun kuatir bila
di pesanggarahan tersebut telah terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Sebelum ingatan kedua melintas dalam benaknya, Yu Siau-lam telah mencemplak kudanya dan
dilarikan cepat-cepat menuju perkampungan itu.
Baru saja orang itu tiba didepan pintu perkampungan, tiba-tiba dari balik kegelapan melampai
keluar sesosok bayangan manusia.
Orang itu mempunyai gerakan tubuh yang enteng, cepat dan cekatan, dalam sekejap mata tahu
tahu sudah muncul didepan mata. “Saudara Siau-lam bertigakah disini?” orang itu menegur.
Ternyata orang itu tak lain adalah Ko Siong-peng, salah seorang diantara Kim-leng ngo-kong.
Yu Siau-lam makin tercengang lagi melihat kemunculan rekannya disana. “Eeeh… Saudara Siongpeng,
sebenarnya apa yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang tak beres dirumahku?”
tanyanya kuatir.
“Haa … haa…. Haa….. Tidak ada, tidak ada. Suasana tetap tenang dan aman seperti sedia kala!”
sahut Ko Siong-peng sambil tertawa terbahak-bahak “Kesemuanya ini memang sengaja kami atur
untuk menjaga terjadinya segala sesuatu yang tidak diinginkan”
Berbicara sampai disini, dia lantas berpaling sambil bertepuk tangan tiga kali. Pintu halaman
depan lantas dibuka orang, menyusul kemudian cahaya lampu memancar keluar dari ruangan
tengah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
182
Terdengar Ko Siong-peng berkata lebih jauh, “Aku mendapat tugas berjaga-jaga di halaman
depan, saudara Po-seng menjaga halaman belakang, saudara Ek-hong menemani Pek-bo duduk
diruang tengah sedang Pek-hu tugasnya meronda keempat penjuru dan siap membantu pihak
manapun, Haa… haa…. Haa…… Menunggu kelinci dibawah pohon, akhirnya cuma kalian
bertigalah yang berhasil kusergap secara jitu”.
Tiba-tiba si Tabib Sosial dari Kanglam muncul dibalik pintu ruang tengah, dengan nyaring dia
lantas menyela, “Eeeh… Siong-peng, ucapanmu itu kurang begitu tepat, darimana kau tahu kalau
tak ada orang yang telah berkunjung kemari?”
Makin nyaring gelak tertawa dari Ko Siong-peng. “Sudah hampir setengah malaman keponakan
menghirup angin barat-laut yang kencang dan dingin, aku kan cuma bergurau saja, masa
sungguhan?” sahutnya.
“Kalau cuma bergurau janganlah melukai orang kalau sampai melukai orang itu namanya
menyindir dan sindiran gampang mengakibatkan perselisihan. Aku rasa usul dari Ek-hong kan
tidak terlampau berlebihan malahan aku rasa tepat sekali” tegur Kanglam Ji-gi.
Mula-mula Ko Siong-peng agak tertegun, tapi menyusul kemudian sahutnya dengan sungguhsungguh,
“Yaaa, keponakan tahu salah!”
Melihat semua yang terpapar di depannya, diam-diam Hoa In-liong berpikir dalam hati,
“Locianpwe ini pandai mendidik orang menuju ke jalan yang benar, lagipula selalu mengajarkan
angkatan yang muda untuk tersopan santun dan menurut peraturan, bahkan caranya
mendidikpun ramah tamah membuat mereka yang mendapat teguran benar-benar takluk
dibuatnya. Yaa….. Manusia pendidik semacam inilah yang diharapkan setiap manusia. Asal Kimleng
ngo-kongcu dapat dibimbing terus oleh cianpwe ini, niscaya banyak kebaikan yang akan
mereka terima darinya. Itu berarti Kim-leng ngo-kongcu memang punya nasib baik…….”
Mereka bertiga telah melompat turun dari kudanya. si Tabib Sosial dari Kanglam kelihatan agak
tertegun sewaktu menyaksikan Hoa In-liong pulang dengan membawa pedang mustika serta
buntalan bajunya. “Aaaaah….. Ada apa? Liong koji tampaknya tidak sampai terjadi bentrokan
kekerasan bukan dalam perjalanan kalian barusan?” tanyanya dengan nada kuatir.
“Ooooh, terima kasih banyak atas kekuatiran cianpwe. sekalipun dalam perjalanan kami tidak
sampai mengakibatkan terjadinya bentrokan kekerasan, akan tetapi boanpwe masih di bikin
kebingungan setengah mati, sampai kini pun aku masih merasa kurang begitu paham”
“Oh yaa..? Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Kanglam Ji-gi makin keheranan.
“Cia In semula kita anggap pasti kabur, ternyata masih bercokol ditempatnya semula” Timbrung
Yu Siau-lam, “Malahan ia siapkan meja perjamuan untuk menyambut kedatangan kami bertiga!”
Agaknya Coa Cong-gi mempunyai kesan yang cukup baik terhadap Cia In. Ketika mendengar
perkataan itu cepat-cepat selanya pula dari arah samping, “Sikap Cia In terhadap Hoa lote cukup
baik! Malahan setiap pertanyaan yang diajukan selalu dijawab dengan sejujurnya!”
“Waah…… kalau begitu kan urusan jadi lebih mengherankan” kata si Tabib sosial dengan muka
tertegun, “Jangan-jangan orang menyusup datang malam tadi memang tak ada sangkut pautnya
dengan perempuan she Cia itu?”
Ko Siong-peng segera membelalakkan matanya lebar-lebar, seperti amat kaget ia menjerit keras.
“Apa…? Jadi malam tadi sungguh-sungguh ada orang yang telah menyatroni kita?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
183
Dengan dahi berkerut Tabib Sosial dari Kanglam menganggukkan kepalairya tanda
membenarkan. “Yaaaa! Kurang lebih mendekati kentongan kedua tadi, ada sesosok bayangan
manusia melayang turun di halaman samping sebelah tenggara. Agaknya bayangan manusia
itupun menyadari bahwa pihak kita telah mengadakan persiapan, maka setelah berdiri sejenak
disana agak sangsi, akhirnya dia mengundurkan diri dengan cepatnya”
“Macam apakah manusia itu?” seru Coa Cong-gi dengan gelisah. “Pek-hu, kenapa tidak kau
hadang jalan perginya? Paling sedikit kita harus mengetahui siapakah orang itu!”
“Aaaai….. Gerakan tubuh orang itu cepatnya bukan kepalang, menanti aku tiba ditempat tujuan,
dia sudah kabur dari rumah kita. Tapi sekilas pandang aku rasa orang itu adalah seorang
perempuan” Tabib Sosial itu menerangkan.
Setelah berhenti sebentar dia alihkan kembali pokok pembicaraannya kesoal lain, ujarnya lebih
jauh, “Bagaimanapun juga aku tetap berkeyakinan bahwa duduknya persoalan ini tidak
sesederhana seperti apa yang kita bayangkan semula, mari ….kita masuk dulu kedalam ruangan!
Ek-hong dan Pek-bo mu sedang menanti di ruang tengah!”
Tanpa banyak bicara lagi, dia lantas putar badan dan masuk dulu kedalam ruangan dan langsung
menuju ke ruang tamu sebelah belakang gedung itu.
Hoa In-liong sekalian berdiri saling berpandangan, siapapun tidak bersuara atau mengucapkan
sepatah katapun. Sementara dalam hati kecil mereka hanya ada satu perkataan yang sama,
yakni siapakah orang itu? Benarkah dia seorang perempuan? Dan apa pula maksudnya datang
menyatroni kepasanggrahan tabib?
Ko Siong-peng juga menjulurkan lidahnya dengan hati kecut, seolah-olah sedang mentertawakan
ketidak becusan sendiri. Yaaa, hakekatnya dia tak merasa kalau ada orang telah menyatroni
tempat tersebut tanpa diketahui olehnya.
Setelah saling berpandangan sekejap, akhirnya empat orang pemuda itu baru melangkah masuk
kedalam ruangan dan menyusul si tabib sosial yang telah masuk lebih duluan itu.
Ketika mereka tiba diruang tengah, Li Po-seng juga sudah kembali dari halaman belakang. Wan
Ek-hong segera bangkit menyambut kedatangan mereka, sedang Yu lo-hujin manggut ke arah
Hoa In-liong dengan senyum di kulum. “Liong ko-ji, kau telah pulang?” sapanya dengan ramah,
“Bagaimana hasil perjalanan kalian barusan?”
“Tampaknya banyak keanehan dan kejadian yang diluar dugaan terselip dalam peristiwa ini?”
sela Tabib Sosial dengan cepat, “Mari kita bicarakan lagi persoalan itu dengan seksama, duduk!
Kalian duduklah lebih dahulu….”
Yu lo-hujin kelihatan tercengang. “Bagaimana anehnya?” ia bertanya.
Setelah semui orang mengambil tempat duduk. Tabib Sosial dari Kanglam baru berkata,
“Perempuan she-Cia itu bukan saja tidak melarikan diri dari Gi-sin-wan, malahan dia siapkan
meja perjamuan untuk menyambut kedatangan mereka. Kemudian di halaman sebelah tenggara
aku telah temukan juga seorang perempuan tak dikenal yang datang menyatroni kita. Tapi ketika
kukejar ke sana, ternyata ia sudah kabur pergi. Aku pikir dibalik semua kejadian ini tentu ada
hal-hal yang luar biasa”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
184
“Ooooh……! Jadi sudah terjadi peristiwa macam begini?” Yu Lo-hujin duduk dengan dahi
berkerut, “Siapakah perempuan tak dikenal yang datang menyatroni tempat kita? Kemudian
apakah dia tidak munculkan diri lagi…..?”
“Aku rasa perempuan tak dikenal yang berkunjung kemari itu sama sekali tidak bermaksud jahat,
sebab hanya sebentar dia berdiri disini kemudian pergi. Pada mulanya aku mencurigai kalau
perempuan itu ada sangkut pautnya dengan perempuan she Cia itu. Tapi setelah mendengar
cerita dari Liong koji sekalian, aku merasa pula bahwa kejadian tersebut kemungkinan jaga tiada
sangkut pautnya”
Ia berhenti sebentar untuk tukar napas, lalu sambil menatap Hoi In-liong lanjutnya, “Liong-koji,
lebih baik kau saja yang bercerita. Akupun ingin mendengar kisah kalian sejak awal sampai akhir”
Hoa In-liong mengangguk, sesudah tarik napas panjang, diapun berkata, “Ketika boan-pwe
sekalian tiba di rumah pelacuran Gi-sim-wan, si pelayan Tan-ji sudah menyongsong kedatangan
kami, maka setelah kami bertemu dengan Cia-In, sambil minum arak dan bergurau….”
Seorang pelayan masuk menghidangkan air teh, semua orang duduk dengan tenang
mendengarkan Hoa In-liong menuturkan pengalamannya.
Diantaranya yang hadir dalam ruangan tersebut, Li Po-seng dan Wan Ek-hong terhitung
manusia-manusia berotak cerdik yang sangat berbakat, sedangkan Li Siang-tek suami istri
termasuk juga angkatan tua yang berpengalaman luas. Kecerdasan otak mereka melebihi orang
lain setingkat. Sepanjang mereka mendengarkan kisah dari Hoa In-liong, sering kali alis mata
mereka berkenyit dan matanya melotot, namun sampai cerita itu selesai dituturkan pula seperti
keadaan Hoa In-liong, mereka tetap kebingungan dan merasa tak mengerti.
Untuk sesaat, suasana dalam ruangan jadi sepi, hening dan tak kedengaran suara.
Akhirnya Coa Cong-gi merasa suasana disana terlampau menyesakkan napas, tiba-tiba teriaknya,
“Eeeh… Sekarang kita mau apa lagi? Aku rasa Cia-In adalah seorang perempuan yang
berkepribadian menarik, sekaipun dia mempunyai kata-kata yang tak dapat dijelaskan secara
blak-blakan, itu berarti dia mempunyai kesulitan pribadi yang tak dapat diutarakan. Mau apa lagi
kita duduk terpekur disini sambil putar otak? memangnya ada sesuatu hasil yang dapat kita
peroleh dengan memutar otak melulu?”
Tabib Sosial dari Kanglam mengalihkan sinar matanya ke wajah pemuda itu, lalu tegurnya,
“Cong-gi, semenjak dulu sampai sekarang watak berangasanmu itu belum juga dapat diubah.
Aaaai….! Sekalipun Cia-In mempunyai kepribadian yang menawan hati, tidakkah kau merasa
bahwa tindak-tanduknya terlampau misterius?. Siapakah yang dapat menyakinkan kepada kita
bahwa perempuan yang datang menyatroni kita malam, tadi sama sekali tak ada hubungannya
dengan Cia-In? Yaaa… kau terlampau muda, belum kau ketahui betapa licik dan berbahayanya
dunia persilatan. Bila watak berangasanmu tetap kau pertahankan terus menerus dan tiap kali
menjumpai persoalan tak kau pikirkan dengan otak yang dingin, niscaya dalam sepuluh kali
peristiwa ada sembilan kali kau akan tertipu”.
Sebagaimana diketahui Coa Cong-gi adalah seorang pemuda polos yang berjiwa terbuka. Ia suka
berterus terang dan bicara blak-blakan daripada harus menghadapi tiap persoalan dengan
otaknya. Maka kalau suruh pemuda itu menggunakan otaknya sama saja dengan memaksa
kambing memanjat sebatang pohon.
Dengan alis mata barkenyit, langsung pemuda itu berteriak lagi, “Buat apa musti putar otak
buang energi dengan percuma! Biarpun dia mau gunakan akal yang bagaimana licikpun, akan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
185
kuhadapi setiap perubahan dengan kemantapan hati. Coba lihat saja nanti siapa akhirnya yang
bakal menang!”
Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan, “Hoa-lote sudah jatuh pingsan selama beberapa
hari, sekarang diapun musti bersusah payah setengah malaman lebih. Aku pikir lebih baik kita
tidur saja dulu! Kalau mau berpikir lagi, besokpun rasanya belum terlambat….”
Yu Lo-hujin yang pertama-tama bangkit lebih, katanya. “Loya cu!” ujarnya, “Apa yang dikatakan
Cong-ji memang beralasan. Bukan saja Liong koji baru sadar dari pingsannya, lagi pula barusan
sangat menegangkan hati. Aku rasa dipikirpun belum tentu bisa terpecahkan dalam semalaman
saja. Kini malam semakin kelam lebih baik beristirahat dulu untuk menghimpun tenaga lagi, ada
persoalan kita bicarakan lagi besok saja!”
Setelah istrinya ikut angkat bicara, tentu saja Tabib Sosial dari Kanglam tak leluasa untuk banyak
bicara lagi. Dia memandang sekejap anak-anak muda itu lalu bangkit berdiri, “Baiklah! Lebih baik
kita beristirahat dulu, toh bagaimanapun juga tak mungkin persoalan ini dapat diselesaikan
dalam semalaman!”
Dalam pesanggrahan tabib banyak terdapat kamar-kamar tidur. Ruang samping sebelah timur
dan barat adalah kamar tamu. Tabib Sosial suami istri menempati ruang belakang. Yu Siau-lam
berdiam di ruang tengah, sedangkan sahabat-sahabatnya seperti Wan Ek-hong, Li Po-seng
sekalian bila datang berkunjung kesana, mereka menempati pula ruang tengah.
Hoa In-liong dipersilahkan untuk beristirahat diruang tamu sebelah timur. Selesai membersihkan
badan, ia lantas naik keatas pembaringan untuk beristirahat.
Tapi mana mungkin ia dapat tidur nyenyak? Walaupun sudah membolak-balikkan badannya,
mata belum juga mau terpejam. Otaknya selalu bekerja memikirkan kejadian yang dialaminya di
rumah pelacuran Gi-sim-wan belum lama berselang.
Makin berpikir pemuda itu merasa makin kebingungan. Pembunuh gadis yang telah
membereskan nyawa Suma Tiang-cing suami istri hanya meninggalkan sebuah hiolo kecil terbuat
dari batu kemala hijau sebagai tanda pengenal. Padahal dia tahu hiolo kemala hijau itu adalah
tanda pengenal dari Giok Teng hujin. Kalau dibilang Giok Teng hujin telah meninggalkan dunia
yang fana ini, dus berarti tanda pengenalnya itu tentu akan diwariskan kepada orang lain.
Pemuda itu teringat pula akan surat pribadi dari Giok Teng hujin yang diserahkan neneknya
kepadanya dan surat tersebut kini dijahit dalam kaus kutang pelindung badan. Bukankah
tindakan dari neneknya ini sama artinya dengan memberi kisikan kepadanya kalau Giok Teng
hujin tersangkut dalam peristiwa berdarah itu?
Kalau kejadian berdarah itu memang benar-benar menyangkut Giok Teng hujin, itu berarti
gurunya Cia In….yakni Pui Che-giok tak dapat cuci tangan dengan begitu saja. Tapi…. Aneh,
kenapa Cia In mengaku terus terang tentang asal usulnya serta rahasia gurunya! Menurut
perkataan Coa Cong-gi, bukankah itu sama artinya sedang mencari kesulitan buat diri sendiri?
Dikolong langit tak nanti ada orang yang bersedia mencarikan kesulitan bagi diri sendiri, kecuali
kalau orang itu sudah goblok. Atau mungkin juga Cia In mengungkap kesemuanya itu lantaran
perempuan itu menaruh perasaan kagum yang istimewa terhadapnya? Tapi…. rasanya inipun
mungkin.
Dengan amat jelas Cia In telah berkata bahwa gurunya melarang mereka mengadakan hubungan
lagi dengan orang-orang keluarga Hoa, atau dengan perkataan lain, kejadian yang sudah lewat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
186
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Cia In adalah seorang perempuan yang lebih
mementingkan perguruan dari pada kepentingan pribadi. Terhadap manusia macam begini,
mungkinkah dia menjual perguruannya demi mendapatkan cinta kasih?
Hoa In-liong membalikkan tubuhnya berulang kali untuk menghapus semua pikiran itu dari
benaknya akhirnya dia bergumam, “Lebih baik kita berangkat keselatan saja untuk melakukan
penyelidikan. Tampaknya Pui Che-giok memang tidak tersangkut dalam peristiwa berdarah
ini…..”
Gumamnya memang begitu tapi ingatannya masih berputar terus tiada hentinya.
Tindak tanduk Pui Che-giok benar-benar sukar diduga sepintas lalu kelihatannya ia mempunyai
rasa dendam yang amat tebal terhadap keluarga Woa, tapi tampaknya diapun sangat
menguatirkan keselamatan dari orang-orang keluarga Hoa, sebenarnya apa yang telah terjadi?
Kalau ditinjau dari perkumpulan Cha-li-kau, itu berarti perkumpulan mereka adalah suatu
perkumpulan sesat yang khusus mengandalkan kecantikan kaum wanita untuk membujuk kaum
pria menjadi anggota perkumpulan tersebut.
Padahal Cia In juga tahu bahwa keluarga Hoa adalah keluarga persilatan yang paling
menjungjung tinggi keadilan serta kesejahteraan dalam dunia persilatan. Apakah tidak mereka
pikirkan bahwa keluarga Hoa tak nanti akan membiarkan sebuah perkumpulan kaum sesat
muncul dalam dunia persilatan?
Tapi tanpa ragu-ragu atau merasa kuatir Cia In telah membeberkan segala sesuatunya
kepadanya, mungkinkah hal ini disebabkan karena mereka terlampau percaya pada kebenaran
dari tujuan perkumpulannya ataukah mungkin sudah mereka duga bahwa keluarga Hoa pasti tak
bisa mengapa-apakan perkumpulan mereka itu?.
Ditengah lamunannya, tiba-tiba anak muda ini seperti merasa terkejut. Sepasang matanya
melotot besar-besar, lalu gumamnya lagi, “Apa maksudnya ia berkata demikian? Dewasa ini
paling sedikit ada dua kelompok manusia yang bermaksud tidak menguntungkan bagi keluarga
Hoa. Siapakah dua kelompok manusia yang dimaksudkan itu…..?”
Ketika persoalan itu terlintas kembali dalam benaknya, pada mulanya pemuda itu menduga bila
Cia In memang sengaja hendak menggunakan kata-kata itu untuk menggertak dirinya agar
segera meninggalkan rumah pelacuran Gi-sim-wan dan tidak bertemu dengan Ciu Hoa disitu
sehingga menggagalkan rencana besar perkumpulan Cha-li-kau.
Tapi setelah dipikir lebih jauh bahwa jalan pikirannya tidak benar. Cia In pernah berkata padanya
bahwa mereka tak nanti akan melakukan perbuatan yang menyalahi keluarga Hoa. Meskipun
kata katanya itu sedikit mengandung nada sindiran, tapi jelas menumbangkan jalan pikirannya
tentang “gertakan” tadi. Tanpa sadar ucapan dari si nona baju hitam yang pernah dijumpainya
diluar kota Lok yang tempo hari berkumandang kembali disisi telinganya.
Dia masih ingat, perempuan baju hitam itu pernah berkata demikian kepadanya, “Dunia
persilatan pada saat ini sedang terjadi perubahan besar. Suma Tiang-cing hanyalah korban
pertama yang menanggung dosa-dosa orang lain….“.
Kemudian diapun berkata demikian lagi kepadanya, “Ayahmu memang merajai seluruh kolong
langit, nama besar dan kedudukannya amat terhormat ibaratnya sang surya ditengah angkasa.
Akan tetapi musuh besarnya banyak tersebar dalam dunia persilatan”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
187
Setelah pelbagai ingatan tersebut kian bertambah berat dalam benaknya, ia merasa semakin
yakin kalau dunia persilatan benar-benar sedang mengalami perubahan besar. Perasaannya kian
lama kian berat dan hal ini tentu saja semakin menyulitkan dia untuk tidur dengan tenang.
Pada hakekatnya Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang tak pernah risau tak pernah murung
dan menghadapi setiap masalah dengan acuh tak acuh. Akan tetapi setelah diatas bahunya diberi
beban seberat ribuan kati, ia telah berubah jadi aeoraog pemuda yang pemurung dengan
pelbagai masalah yang menindih dalam hatinya. Dari sini dapat menunjukkan bahwa wataknya
meski tetap seperti sedia kala, namun rasa tanggung jawabnya jauh lebih berbobot.
Begitulah, setiap kali teringat akan satu persoalan, persoalan lainpun ikut melintas dalam
benaknya. Mulai dari nona Yu sampai ke kucing hitamnya, Si Nio yang bertampang jelek, Wan
Hong giok yang genit dan manja, Siau Ciu kakak seperguruan Wan Hong-giok yang jumawa
sampai beberapa Ciu Hoa yang pernah dijumpainya semuanya terpampang lagi didepan
matanya.
Jilid 10
AYAM jago mulai berkokok kentongan lima telah menjelang dan fajarpun hampir menyingsing,
akan tetapi dia masih berpikir dan berpikir terus menerus.
Ia berpikir pula tentang perempuan misterius yang datang ke pesanggrahan tabib, berpikir pula
tentang hubungannya dengan Cia In. Andaikata perempuan itu tiada sangkut pautnya dengan
Cia In, lantas siapakah dia? Apa tujuannya datang ke situ?
Walaupun pelbagai pikiran sudah berkecamuk dalam benaknya, akan tetapi pemuda itu masih
gagal untuk mendapatkan suatu jawaban yang memuaskan hatinya, akhirnya anak muda itu
kewalahan. Ia duduk bersila dan mengatur pernapasan, sesaat kemudian pikirannya jadi tenang
kembali dan berada dalam keadaan lupa diri.
Entah berapa lama sudah lewat tiba-tiba ia merasa ada orang masuk ke dalam kamarnya, cepat
dia membuka matanya. Tampaklah Coa Cong-gi sedang berjinjit-jinjit menutup kembali pintu
kamarnya.
Hoa In-liong jadi terkejut bercampur keheranan, segera serunya, “Saudara Cong-gi…..”
Secepat kilat Coa Cong-gi putar badannya dan menempelkan jari telunjuknya keatas bibir tanpa
jangan berbisik, setelah itu dengan suara lirih baru bisiknya, “Lote, ayoh ikut aku pergi dari sini! “
“Ada urusan apa?” Hoa In-liong makin kaget bercampur tercengang.
“Aaaah…… tak ada urusan apa-apa, sisirlah dulu rambutmu, tapi harus cepat dan jangan berisik
aku akan menanti dirimu!”
“Aneh benar saudara Cong-gi ini” demikian Hoa In-liong berpikir, “kalau toh tak ada kejadian
apa-apa, kenapa dia musti berlagak misterius, malahan aku musti cepat dan jangan berisik….?”
Sekalipun dalam hati berpikir demikian, diluaran dia berkerut kening, sambil bangun dan berpakaian
kembali tanyanya, “Apakah saudara Siau-lam sekalian sudah bangun?”
“Aaaah……….kau tak usah perduli mereka, kita harus diam-diam ngeloyor pergi dari sini!” bisik
Cong-gi lagi.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
188
“Ngeloyor pergi secara diam-diam? Kenapa?”
“Kenapa? Kita pergi bermain, akan kuajak engkau untuk berpesiar ke tempat-tempat yang
termasyhur disekitar kota ini”
“Tentang soal ini…..” Hoa In-liong kelihatan agak sangsi setelah mendengar perkataan itu.
Coa Cong-gi jadi sangat gelisah. “Ayoh cepatan sedikit” desaknya, “kalau kita tunggu sampai
mereka sudah bangun, tentu kita tak akan jadi pergi!”
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya lebih jauh, “Tentunya kau tidak tahu bukan,
disekitar kota Kim-leng banyak terdapat tempat-tempat indah yang tak terhitung jumlahnya,
seperti bukit Cing liang-san, bukit Si-cu-san. bukit Ciong-san, pagoda Pak-kek-kek, kuil Ki-bengsi,
puncak Yu-hoa-tay, pantai Yan-cu-ki…. bahkan masih ada lagi telaga Mo-ciu-ou dan telaga
Hian-bu-ou. Pokoknya komplit ada semua disini!”
“Kalau toh kita akan bermain, tidak sepantasnya kalau kita ngeloyor pergi tanpa pamit,
bagaimanapun juga…..”
“Bagaimanapun juga kenapa?” tukas Coa Cong-gi dengan cepat. “Jika kita minta ijin dulu kepada
Yu pek-hu, niscaya kita tak akan jadi berangkat, apalagi kalau menunggu sampai mereka bangun
semua, pastilah yang diributkan dan dipersoalkan hanya masalah Cia In belaka, bisa pusing
kepala dibuatnya. Saudara Hoa, lantaran aku merasa cocok denganmu, maka diam-diam kuajak
engkau bermain, tapi kalau engkau segan pergi yaa sudahlah, biar aku pergi sendirian!”
Pada dasarnya Hoa In-liong memang seorang pemuda yang gemar bermain, apalagi setelah Coa
Cong-gi menyebutkan tempat rekreasi yang begitu banyak dan menawan hati, semenjak tadi ia
sudah tertarik.
Maka ketika mendengar perkataan Coa Cong-gi yang terakhir ini, ia merasa kurang enak untuk
menampik kebaikan orang. Walaupun begitu, tentu saja ia tak dapat ngeloyor pergi seenaknya
sendiri, sementara orang lain ikut memikirkan persoalannya lagi pula pada saat ini dia menginap
di rumah keluarga Yu, untuk sesaat dia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang musti dikatakan.
Coa Cong-gi bukan orang bodoh, dari sikap rekannya yang seperti mau berbicara namun tak
dapat mengucapkan sesuatu itu, dia lantas memahami kesulitannya, kembali ia berkata,
“Kesempatan baik tak boleh dibuang dengan percuma. Disiang hari kita pergi bermain, malam
nanti kutemani engkau lagi untuk berkunjung ke Gi-sim-wan dan mencari tahu jejak dari manusia
she-Ciu itu, maka saat bermain dapat kita manfaatkan untuk bermain, saat bekerja kita bekerja
dengan baik, bukankah itu sangat bagus sekali?”
Hoa In-liong merasa bahwa perkataan itu ada benarnya juga, maka setelah termenung sebentar
sahutnya kemudian, “Kalau…. kalau….. memang begitu, le…… lebih baik tinggalkan saja surat
disini”
Mendengar si anak muda itu mengabulkan ajakannya, air muka Coa Cong-gi segera berseri-seri,
dia ulapkan tangannya seraya berseru lagi, “Kalau begitu pergilah cuci muka dan berpakaian biar
aku yang menulis surat, ayoh cepatan dikit”
Dia berjalan menuju kemeja dan segera menulis surat.
Terbacalah tulisan itu barbunyi demikian, “Siaute mengajak In-liong pergi berpesiar, malam nanti
baru pulang”.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
189
Dan dibawah tulisan yang Sederhana itu dia di bubuhi pula dengan singkatan namanya yaitu “Gi”
Baru saja menulis surat tampaklah Hoa In-liong dengan senyum dikulum telah menanti
dibelakangnya.
Coa Cong-gi jadi tertegun, dengan mata melotot segera serunya, “Eeeh….. bagaimana sih kami
ini? Kenapa belum cuci muka……”
“Aku hanya membasuh mukaku dengan kain kering, dengan begitu tindak tanduk kita tak akan
mengganggu orang lain” jawab anak muda itu dengan tenangnya.
Mula-mula Coa Cong-gi agak tertegun, kemudian dia ingin tertawa tergelak, untunglah tiba-tiba
ia teringat akan keadaan mereka, maka sambil acungkan jempolnya dia memuji, “Kau memang
hebat! Itulah kalau dinamakan teman seia sekata, ayoh ikutilah aku!”
Ia lantas putar badan dan pelan-pelan membuka pintu lalu menyusup keluar.
Ketika itu fajar biru saja menyingsing. Beberapa orang pelayan keluarga Yu telah bangun
membersihkan lantai. Dengan sembunyi-sembunyi mereka menuju ke halaman samping. Setelah
memeriksa sekitar tempat itu dan yakin kalau di sekitarnya tak ada orang, kedua orang itu
segera melompat keluar lewat dinding pekarangan dan keluar.
Sekejap kemudian mereka sudah beradu dua tiga li jauhnya dari pasanggrahan tabib. Ketika
hampir tiba di kaki tembok kota, Hoa In-liong baru bertanya, “Saudara Cong-gi, apakah kita akan
masuk dulu ke dalam kota Kim-leng?”
“Ehmm, kita masuk kota, sebab bukit Cing-liang-san, kuil Ki-beng-si dan pagoda Pak-khek-kek
berada didalam kota semua!”
“Kalau begitu, kita akan berpesiar kemana dulu?”
“Bukit Cing-liang-san! Sebab kuil Ki-beng-si berada di atas bukit tersebut. Setelah mengisi perut
dikuil Ki-beng-si, baru kita menuju puncak Yu-hoa-tay untuk memungut batu kerikil!”
Hoa In-liong masih asing dengan keadaan disana, tentu saja dia tak mengerti apa yang dimaksudkan
“memungut batu kerikil di Yu-hoa-tay” dan tidak tahu juga kenapa musti mengisi perut di
kuil Ki-beng-si. Tapi ketika dilihatnya Coa Cong-gi berlarian dengan kencangnya maka diapun
segan untuk banyak bertanya. Dengan kencang diikutinya rekannya itu menuju ke dalam kota.
Setelah berada dalam kota Kim-leng, kedua orang itu langsung menuju ke kota sebelah barat.
Sesaat kemudian mereka sudah tiba ditempai tujuan.
Yang dimaksudkan bukit Cing-liang-san pada hakekatnya tak lain adalah sebuah tanah
perbukitan yang tak terlampau tinggi, luasnya kurang lebih dua puluh li dengan tinggi mencapai
ratusan kaki. Meskipun demikian pepohonan tumbuh dengan rimbunnya disekitar tanah
perbukitan tersebut.
Tiap kali musim panas menjelang tiba, bila ada angin yang berhembus lewat maka terdengarlah
suara serangga berbunyi sahut bersahutan, mendatangkan rasa sejuk bagi mereka yang
kepanasan disana, itulah sebabnya bukit itu dinamakan bukit kesegaran atau Cing-liang-san.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
190
Kuil Ki-beng-si terletak dipuncak bukit Cing-liang-san, gedung bangunannya tidak terlampau
besar tapi banyak sekali jemaah yang berkunjung kesana. Walau fajar baru menyingsing, namun
sudah banyak kaum jemaah yang telah tiba dibukit itu untuk pasang hio bersembahyang.
Tentu saja hal ini ada alasannya. Pertama tanah perbukitan itu sangat tenang, sejuk dan
udaranya segar. Penduduk kota selalu menggunakan kesempatan itu untuk mendaki bukit. Bukan
saja dapat pasang hio bersembahyang, mereka pun dapat berolahraga menyehatkan badan.
Sebab itulah orang-orang selalu saling berebut mendekati bukit itu.
Kedua dikuil Ki-beng-si telah tersedia bubur dan beberapa macam sayur yang sengaja dimasak
oleh kaum padri yang menghuni disana. Bukan saja hidangan itu lezat dan nikmat, yang penting
adalah gratis. Tidak heran kalau kebanyakan orang setelah naik bukit dan bersembahyangan,
mereka datang kekuil itu untuk mengisi perut.
Dan itulah sebabnya Coa Cong-gi mengajak rekannya untuk mengisi perut dikuil Ki-beng-si.
Setibanya dikaki bukit, dua orang itu segera memperlambat langkah kakinya dengan
mencampurkan diri diantara para jemaah yang lain, pelan-pelan mereka mendaki ke puncak
bukit tersebut.
Jalan yang mereka ambil sekarang adalah jalan setapak yang paling terpencil dan jarang dilalui
orang. Sepanjang perjalanan tidak banyak yang mereka jumpai, akan tetapi setelah mereka tiba
di pinggang bukit, dimana semua jemaah yang mendaki dari empat penjuru berkumpul jadi satu.
Jumlahnya jadi banyak sekali, kendati begitu diantara orang-orang itu tidak nampak ada orangorang
yang berdandan menyolok. Sekalipun ada, lantaran Hoa In-liong berdua tujuannya adalah
berpesiar, mungkin merekapun tidak terlampau menaruh perhatian.
Suara pembacaan doa pagi berkumandang diudara pagi yang bersih, itulah para pendeta sedang
menjalankan upacara sembahyangan mereka dipuncak bukit.
Suara ketukan bok-hi dan nyanyian liam-keng yang berpadu menjadi satu memberikan
ketenangan dalam hati Hoa In-liong. Dalam suasana setenang dan secerah ini, anak muda itu
hampir melupakan semua kemurungan dan kekesalan yang dialaminya kemarin malam. Tanpa
terasa ia mempercepat langkah kakinya menuju ke puncak bukit dimana ketukan bok-hi dan
nyanyiannya liam-keng berasal.
Dalam kuil Ki-beng-si hanya terdapat ruang tengah, sebuah ruang samping, sebuah ruang
belakang dan ruang bersantap. Ruang tengah sebagai ruang sembahyang, ruang makan letaknya
diruangan belakang, dibelakang ruang makan itu terdapat pula ruangan ruangan kecil disanalah
terletak gudang dan dapur.
Waktu itu ada dua tiga puluh orang hweesio berkumpul di ruang depan sambil bersembahyang,
semuanya memejamkan mata rapat-rapat dan pusatkan perhatiannya hanya untuk berdoa.
Agaknya Hoa In-liong sudah terpikat oleh suasana tenang disitu, dia langsung menuju ke ruang
tengah dan mendengar pembacaan doa itu dengan penuh seksama.
Beberapa saat lewat dengan begitu saja. Lama kelamaan Coa Cong-gi tercengang juga oleh sikap
rekannya itu, ia jadi habis kesabarannya, segera bisiknya, “Eeeh… lote, sebenarnya apa yang
terjadi?”
Hoa In-liong tertegun lalu tersadar kembali dari lamunannya. Dia sendiripun dibuat kebingungan
dan tak habis mengerti dengan kejadian yang baru saja berlangsung didepan matanya. Ia tak
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
191
tahu kenapa suara liam-keng dan kekuatan bok-hi itu begitu memikat hatinya sampai hampir
saja dia kehilangan kesadaran.
Dengan muka tersipu-sipu ia menggeleng, lalu sahutnya sambil tertawa jengah, “Oooh… Tidak
apa-apa, tidak apa-apa. Mari kita berkunjung ke tempat lain!”
Tanpa menantikan jawaban dari Coa Cong-gi lagi, dia putar badan dan pelan-pelan berjalan
menuju ke ruang samping.
Tindak tanduk rekannya yang termangu-mangu seperti orang kehilangan kesadaran ini tentu saja
sangat membingungkan Coa Cong-gi yang berada disampingnya. Ia benar-benar dibuat tak habis
mengerti oleh sikap rekannya, tapi ada seseorang yang berdiri dikejauhan menganggukkan
kepalanya berulang kali dengan senyum dikulum.
Orang itu adalah seorang hweesio kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang yang mukanya
sudah penuh berkeriput, matanya setengah terpejam dan memelihara jenggot sepanjang dada.
Potongan badan maupun roman muka hweesio itu sederhana sekali dan sedikitpun tidak menyolek.
Sebuah tasbeh bergantung didadanya, memakai jubah pendeta berwarna abu-abu yang
kasar dengan sepatu rumput yang sederhana sekali.
Walaupun sederhana dandanannya, tapi ia sudah menguntil terus dibelakang Hoa In-liong
semenjak pemuda itu mulai mendaki ke atas puncak bukit. Hanya tentu saja anak muda itu sama
sekali tidak merasa kalau secara diam-diam ada orang yang menguntil terus dibelakangnya.
Setelah berpesiar disekitar halaman kuil, Coa Cong-gi dan Hoa In-liong menuju ke puncak
sebelah tenggara, dari situ mereka nikmati keindahan kota Kim-leng.
Penduduk yang berdiam di kota Kim-leng sebelah tenggara benar-benar padat sekali, rumah
yang berjejer-jejer jauh memanjang sampai ke depan sana, ramai sekali suasananya.
Walaupun fajar baru saja menyingsing, namun sudah banyak orang yang berlalu lalang dijalan
raya.
Daerah kota sebelah barat laut meski tidak sedikit jumlah rumah yang ada disitu, namun
kebanyakan adalah gedung-gedung besar milik pembesar atau pedagang kaya. Suasana dijalan
lorong dan jalan raya sekitar tempat itu masih sepi dan jarang ada orang yang berlalu lalang.
Tiba-tiba Hoa In-liong tertegun, sinar matanya yang tajam bagaikan sembilu itu menatap ke arah
loteng tambur tanpa berkedip.
Kembali Coa Cong-gi dibikin tertegun oleh sikap rekannya itu. Dengan perasaan tidak habis
mengerti segera tegurnya, “Eeeeh…. kenapa kamu? Adakah sesuatu yang tidak beres?”
Hoa In-liong segera menuding ke arah mana yang dipandangnya itu, lalu katanya, “Coba kau
lihat, bukankah kereta kuda itu adalah kereta kuda milik Cia In?”
Mengikuti arah yang ditunjuk Coa Cong-gi segera memandang ke bawah. Benar juga, tampak
seekor kereta kuda sedang dilarikan kencang kencang menuju bagian kota yang ramai.
Sayang ketajaman matanya tak dapat menandingi ketajaman mata Hoa In-liong. Sekalipun ia
melihat adanya kereta yang sedang dilarikan kencang-kencang akan tetapi tak sempat dilihat
bagaimanakah bentuk kereta kuda itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
192
“Aaaah….kamu ini!” Serunya kemudian. “Di kota Kim-leng ini banyak sekali kereta kuda macam
begitu! Darimana kau bisa tahu kalau kereta tersebut adalah keretanya Cia In?”
“Memang, di kota Kim-leng mungkin terdapat banyak sekali kereta kuda, tapi modelnya toh tak
mungkin sama antara yang satu dengan yang lain. Aku sangat hapal dengan model kereta milik
Cia In dan aku rasa dugaanku tak mungkin keliru” kata Hoa In-liong dengan nada yang
meyakinkan.
“Kalau memang kereta kuda itu adalah keretanya Cia In lantas kenapa? Eagkau ‘kan juga tahu
kalau dia adalah seorang pelacur? Malam diundang orang, pagi baru pulang sudah merupakan
suatu pekerjaan yang umum, apanya yang aneh?”
“Aaah………aku rasa tak mungkin begitu” Hoa In-liong tetap menggelengkan kepalanya berulang
kali.
“Masa kau lupa? Kemarin Ciu Hoa ‘kan pergi kesana untuk mencari gara-gara. Jelas kedatangannya
bukan untuk mengundangnya mencari kesenangan. Aku jadi ingin tahu bagaimana
caranya ia meloloskan diri dari cengkeraman orang she-Ciu itu?”
“Kalau tak dapat meloloskan diri lantas kenapa?” seru Coa Cong-gi lagi dengan muka tertegun,
“Eeeh… saudara Hoa sekalipun engkau merasa curiga dengan kejadian ini, aku rasa tak perlu kau
pikirkan pada saat ini. Malam nanti kita berkunjung saja ke kamarnya, tanggung semua
kecurigaanmu akan peroleh jawaban. Ayoh jalan kita pergi makan bubur.”
Tanpa menunggu jawaban lagi dia lantas menarik lengan Hoa In-liong dan diajak menuju ke
ruang makan.
Coa Cong-gi memang terlalu polos dan kasar, selamanya dia tak mau berpikir secara baik-baik
tiap kali merasa tak mampu untuk menjawab pertanyaan orang, maka digunakannya kekerasan.
Menghadapi manusia semacam ini terpaksa Hoa In-liong harus bersabar dan mengikuti kehendak
hatinya.
Setelah masuk ke ruang makan, tampaklah tamu yang bersantap disitu banyaknya bukan
kepalang. Dua puluh buah meja yang tersedia hampir boleh dibilang sudah penuh diisi manusia.
Dalam ruangan bersantap ini tidak tersedia orang yang melayaninya, jadi bila ada orang yang
hendak makan bubur, maka dia harus menyiapkan buat diri sendiri. Oleh sebab itu manusia yang
berlalu lalang disitu amat banyak dan sangat tidak beraturan.
Hoa In-liong mencampurkan diri dengan para jemaah yang berkumpul disitu, mengikuti di
belakang Coa Cong-gi mereka pergi mengambil bubur, lalu mencari tempat kosong dan duduk
sambil bersantap.
Sayur yang tersedia disitu ada empat macam. Sepiring sayur putih dimasak cah, sepiring ayam
masak kecap, sepiring tahu merah dan sepiring cah toge, empat macam sayur yang amat
sederhana dan umum, akan tetapi rasanya nikmat sekali, jauh lebih nikmat dari masakan
restoran.
Selesai makan bubur sampai kenyang, Coa Cong-gi baru berpaling ke arah temannya sambil
berta-nya, “Eeeeh….. Hoa lo-te, bagaimana rasanya sayur dan bubur yang dihidangkan disini?”
“Ehmmm…… lezat! lezat sekali” sahut Hoa In-liong sambil angkat kepalanya dan tertawa.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
193
Tiba-tiba dia membungkam, kata-kata selanjutnya tidak diteruskan bahkan senyuman yang
menghiasi ujung bibirnya seketika lenyap, sinar matanya memandang kesatu arah dengan
termangu.
Coa Cong-gi mengenyitkan sepasang alis matanya yang tebal, kemudian dengan perasaan tidak
habis mengerti tanyanya, “Hey Hoa lo-te, kenapa hari ini……”
Tiba-tiba ia merasa sinar mata yang terpancar dari kelopak mata Hoa In-liong aneh sekali, tanpa
sadar diapun menghentikan kata-katanya dam mengalihkan pula sinar matanya ke arah samping.
Ternyata di meja samping mereka duduklah seorang pemuda yang menyoren pedang dengan
disampingnya duduk seorang gadis berkerudung hitam yang sedang bermain dengan seekor
kucing hitam.
Memandang kucing hitam yang bermata merah menggidikkan hati itu, Coa Cong-gi kelihatan
tertegun. Untuk sesaat diapun, tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Dalam pada itu, pemuda tersebut telah meletakkan sumpit dan mangkuknya keatas meja lalu
menengadah. Kiranya orang itu tak lain adalah kakak seperguruannya Wan Hong-giok…. yaitu
Siau Ciu adanya.
Coa Cong-gi tidak kenal dengan Siau Ciu, tapi dari Hoa In-liong, dia pernah mendengar tentang
kisah si kucing hitam yang ganas.
Sementara itu Siau Ciu sendiripun tampak agak tertegun, menyusul kemudian ia bangkit dan
tertawa seram. “Hee….. hee….. hee….. Hoa loji, sudah lama kita tak bertemu muka!”
Mendengar teguran tadi, perempuan berkerudung hitam yang duduk disampingnya ikut
menengadah, akan tetapi setelah mengetahui siapakah pemuda yang berada dihadapannya,
kontan sekujur badannya menggigil keras.
Sekalipun perempuan itu mengenakan kain kerudung warna hitam yang menutupi wajahnya atau
mungkin tidak membawa serta kucing hitamnya, Hoa In-liong tetap dapat mengenali perempuan
itu sebagai nyonya Yu “gundik” Suma liang-cing yang pernah ditemuinya menjaga di sisi layon
siok-ya nya itu.
Tak heran Hoa In-liong segera tertegun, ketika secara tiba-tiba bertemu muka dengan
pembunuh yang paling dicurigainya itu ditempat tersebut itu…..
Tampak nyonya Yu menarik ujung baju Siau Ciu, kemudian bisiknya dengan suara lirih, “Jangan
mencari gara-gara disini mari kita pergi!”
“Heeh… heeeh… hee… mau pergi?” jengek Coa Cong-gi dengan suara dalam “Kalian mau
kemana? jangan mimpi di siang hari bolong….”
“Biarlah mereka pergi” kata Hoa In-liong tiba-tiba dengan suara halus dan tenang. “Tempat ini
adalah tempat beribadah yang sunyi, jangan sampai kita nodai tempai suci ini dengan bau
anyirnya darah manusia!”
“Kenapa?” seru Coa Cong-gi dengan alis mata berkenyit, “Apakah orang itu bukan…..”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
194
Sebelum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, Hoa In-liong telah mengangguk. “Benar,
dialah nyonya Yu dan aku rasa tak mungkin bakal salah lagi!”
“Hoa In-liong!” seru Siau Ciu kemudian setelah mendengus dingin, “Kongcumu akan menantikan
kedatanganmu di bukit Ciong san, beranikah engkau pergi ke sana?”
“Baik, kita tetapkan dengan perkataanmu itu, sebentar aku pasti akan tiba di tempat itu!” sabut
Hoa In-liong dengan sinar mata berkilat.
Setelah berhenti sebentar, ditatapnya nyonya Yu dengan pandangan tajam, kemudian lanjutnya,
“Perjanjian ini dengan hujin sebagai pokok persoalan, aku ada persoalan hendak dibicarakan
dengan hujin. Maka aku harap sampai waktunya hujin juga harus habis disitu”
“Aku…… aku….. aku turut perintah!” dengan terbata-bata nyonya Yu memberikan janjinya.
Hoa In-liong tersenyum, dia lantas bangkit berdiri. “Saudara Cong-gi, mari kiia pergi!” ajaknya.
Dengan langkah lebar dia berjalan lebih dahulu menuju ke pintu gerbang ruangan itu.
Dengan mulut membungkam Coa Cong-gi hanya mengekor dibelakang rekannya. Menanti
mereka tiba dipinggang bukit, pemuda itu kehabisan sabar, dia lantas bertanya, “Hoa lo-te,
benarkah kau percaya dengan ucapan nyonya Yu yang akan hadir dalam pertemuan itu?”
Hoa In-liong tersenyum, “Sekalipun dia merupakan satu-satunya titik petunjuk yang
menguntungkan bagiku, hakekatnya perempuan itu bukan manusia penting, jadi mau datang
atau tidak, sebenarnya tidaklah terlalu penting!”
“Kalau…… kalau memang begitu, kenapa kau undang pula kehadirannya dalam pertemuan itu?”
tanya Coa Cong-gi dengan wajah tercengang dan tidak habis mengerti.
Sekali lagi Hoa In-liong tersenyum. “Andaikata perempuan itu tidak pergi, ini membuktikan
bahwa dia sudah melakukan suatu perbuatan salah kepada pihak kami. Dus berarti pula dia
tersangkut dalam peristiwa berdarah yang menimpa Suma siok-ya ku itu. Bila suatu ketika aku
betul-betul menghadapi jalan buntu, maka semua tenaga dan pikiranku dapat dipusatkan untuk
mengejarnya dan akhirnya duduknya persoalan tentu akan ketahuan juga”
“Seandainya dia menghadiri pertemuan itu?” Cong-gi bertanya lebih lanjut.
“Bila kita tinjau keadaan yang terpapar dihadapan mataku sekarang, dengan posisi nyonya Yu
yang tersangkut dalam peristiwa berdarah itu maka menurut dugaanku jika dia berani datang
menghadiri pertemuan itu, tentu diapun akan membawa pula membantu pembantunya untuk
mengerubuti aku dan keadaan semacam inilah yang memang sedang kunanti-nantikan”
Mula-mula Coa Cong-gi agak tertegun setelah mendengar perkataan itu, tapi menyusul kemudian
ia sudah tertawa terbahak-bahak. “Haa… haa…. haa…. Aku mengerti, sekarang….. Aku
mengerti…. Sungguh tak kusangka kau….”
Hoa In-liong segera menepuk bahunya pelan. “Kalau banyak bicara tentu lebih banyak gagalnya
dari pada berhasil. Kalau sudah mengerti yaa sudahlah, mari percepat perjalanan kita”
Demikianlah, dua orang itu lantas bergandengan tangan dan buru-buru menuruni bukit Cingliang
san.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
195
Baru saja dua orang itu lenyap dari pandangan, nun jauh dibalik pepohonan yang rindang sana
pelan-pelan muncul seorang hweesio tua yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang.
Memandang bayangan punggung Hoa In-liong yang menjauh, dia gelengkan kepalanya berulang
kali, kemudian sambil memanggul kantungan kainnya pelan-pelan diapun menuruni bukit itu.
Bukit Ciong-san terletak kurang lebih lima puluh li disebelah timur kota Kim-leng.
Hoa In-liong dan Coa Cong-gi tidak langsung menuju ketempat tujuan. Mereka keluar kota lewat
pintu sui-see-bun, mula-mula bermain dulu di Yu-hoa-tay setelah itu mereka baru mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya menuju ke bukit Ciong-san.
Setibanya di kaki bukit, waktu menunjukkan antara pukul tujuh pagi. Angin berhembus sepoisepoi
menyejukkan badan. Gunung itu cukup tinggi dan angker, orang menyebutnya pula bukil
Ci-kim-san.
Memandang tanah perbukitan yang tinggi dan luas itu, Coa Cong-gi tampak agak tertegun,
kemudian sambil menghembuskan napas panjang katanya, “Aaah….. Coba lihatlah bukit Ciongsan
begini besar dan luasnya, kenapa tadi kita bisa lupa menanyakan tempat yang sebenarnya?
Coba sekarang kemana kita musti menunggu?”
Hoa In-liong berpikir sebentar, lalu sahutnya, “Untunglah waktu masih pagi. Mari kita mendaki
dulu kepuncak bukit itu. Dari situ kita akan menyaksikan dengan jelas setiap orang yang
mendatangi bukit ini”
Oleh karena hanya itulah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh, tentu saja Coa Cong-gi tak
dapat berkata apa-apa lagi. Sekali lagi dua orang itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk lari ke
atas puncak.
Sesaat kemudian, mereka sudah mendekati puncak bukit tersebut, tiba-tiba terdengar seorang
perempuan membentak dengan suara yang amat parau, “Berhenti! Kalau engkau berani maju
selangkah lagi, jangan salahkan kalau kutebas kutung sepasang kaki anjingmu!”
Mendengar ancaman tersebut, Hoa In-liong merasa terkesiap, segera pikirnya, “Lhoo…. itu kan Si
Nio? Kenapa dia bisa berada disini?.”
Baru saja pikiran itu melintas dalam benaknya, tiba-tiba terdengar suara pria lain menyahut
sambil tertawa dingin, “Lengan belalang mau menahan kereta. Haa…. Haa…. Haa…. Kau si nenek
jelek benar-benar manusia yang tak tahu diri, berani benar……”
Belum habis perkataan itu, tiba-tiba Hoa In-liong membentak dengan suara dalam, “Ayoh
cepatan sedikit! Orang itu adalah Ciu Hoa”
Begitu selesai berkata, tubuhnya lantas melambung ke udara. Dari situ dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat menerjang ke atas puncak bukit.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah tiba diatas puncak bukit itu. Tampaklah tempat
tersebut adalah sebidang tanah berumput yang tidak rata, luasnya kurang lebih belasan kaki
persegi. Sebelah timur dan barat merupakan hutan yang rimbun, sebelah timur laut merupakan
sebuah jurang yang entah berapa dalamnya.
Pada waktu itu kecuali arah tebing dengan jurang yang dalam itu tanpa penjagaan, boleh
dibilang tiga arah disekitarnya sudah dikepung oleh enam belas orang laki-laki berbaju ringkas
warna merah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
196
Ditengah tanah lapang berumput itu berdirilah seorang nona baju hitam yang berusia enam belas
tahunan dengan pedang pendek terhunus. Mukanya diliputi kegusaran dan matanya melotot
besar. Si Nio si perempuan bertampang jelek itu menghadang dihadapannya. Mukanya yang
jelek itu kelihatan menyeringai seram, sepasang matanya berapi-api. Kulit wajahnya mengejang
kencang, sepasang tangannya yang hitam pekat bagaikan arang tampaknya sudah disaluri
tenaga dalam yang sempurna, ini menunjukkan bahwa ia telah bersiap-siap hendak turun
tangan.
Dihadapan perempuan jelek itu berdirilah Ciu Hoa dengan sikap acuh tak acuh. Sinar matanya
memancarkan cahaya cabul, senyuman tengik tersungging di ujung bibirnya. Kendatipun pihak
lawan sudah bersiap sedia menerjang ke depan, akan tetapi dia sendiri tetap tenang-tenang saja,
malahan selangkah demi selangkah maju semakin ke depan.
Dibelakang Ciu Hoa berdirilah seorang pemuda berbaju perlente yang usianya antara dua puluh
tahunan. Kalau dilihat dari gerak geriknya, jelas dia berasal sealiran dengan Ciu Hoa.
Dari keadaan yang terpapar didepan mata sekarang, siapapun akan tahu bahwa pertarungan ini
bukan disebabkan soal dendam, sebaliknya karena Ciu Hoa yang cabul dan suka main
perempuan itu telah berhasrat untuk menangkap si nona baju hitam.
Coa Cong-gi adalah seorang pemuda yang berangasan, menyaksikan adegan tersebut, sontak
bawa amarahnya berkobar dada, tiba-tiba membentak keras, “Berhenti! Mengganggu kaum
perempuan yang lemah, Hmm! Terhitung manusia gagah macam apakah kau itu?”
Bentakan tersebut diucapkan dengan disertai tenaga dalam yang amat sempurna, begitu
nyaring-nya bentakan tadi membuat telinga orang terasa jadi sakit.
Cia-Hoa sangat terkejut, tanpa terasa dia menghentikan langkah kakinya dan berpaling.
Rupanya si nona baju hitampun telah mengetahui siapa yang datang, dengan kegirangan segera
teriaknya, “Hoa-kongcu!”
Ketika itu Ciu Hoa pun sudah melihat kedatangan Hoa-In liong. Dengan alis mata berkenyit
segera tegurnya dengan, seram, “Heeh… heee…. heee… rupanya kita memang berjodoh! Tempo
hari kau berdaya upaya menipu aku dengan, mengakui bernama Pek khi. Setelah itu melakukan
perbuatan licik pula atas diriku. Heee….. heee… heee…… Hoa-loji, apakah kau tidak takut
perbuatanmu melarikan perempuan pelacuran itu akan merusak nama baik keluarga Hoa-kalian?”
Mendengar perkataan itu, diam-diam Hoa In-liong merasa terkejut, segera pïkirnya, “Aaaah….
apa yang telah terjadi? Mungkinkah Cia In telah membongkar rahasiaku dihadapannya…..?”
Belum habis ingatan itu melintas dalam benaknya, terdengar nona baju hitam itu sudah menjerit
kaget, “Oooh Thian! Kau…..”
Jeritan itu penuh mengandung nada kecewa, sekalipun tak diketahui dengan alasan apà kan ia
menunjukan perasaan kecewanya itu.
Belum sempat Hoa In-liong berpikir lebih jauh, Si Nio si perempuan jelek itu sudah menukas lebih
dulu dengan suara dingin, “Nona, jangan lupa dengan tujuan kita yang sebenarnya. Biar dia mau
menculik nona darimanapun, kesemuanya itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan kita!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
197
Dalam beberapa waktu singkat ini memang telah terjadi banyak sekali kejadian aneh. Seruan
girang dari nona baju hitam itu disusul dengan jerit penuh kekecewaan, ditambah dengan
ucapan Si Nio dan sindiran Ciu Hoa, kesemuanya itu membuat Coa Cong-gi semakin kebingungan
di buatnya.
Tampak Hoa In-liong tarik napas panjang panjang, kemudian sambil menghampiri nona baju
hitam itu katanya, “Nona! Kau jangan bersedih hati, duduk persoalan yang sebenarnya sudah
berhasil kuselidiki sedikit demi sedikit dan terbukti sudah bahwa nona memang tidak tersangkut
didalamnya. Mengenai persoalan ayahmu, dikemudian hari pasti akan kuusahakan bantuan
sedapat mungkin, Nah, sekarang kau boleh tinggalkan tempat ini lebih dahulu…….”
Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar Ciu Hoa tertawa terbahak-bahak, “Haa….. haa….
Haa… Orang she-Hoa, apakah engkau juga akan mencampuri urusan ini?” tegurnya.
Hoa In-liong sama sekali tidak menggubris perkataannya itu, dia berkata lebih jauh, “Nona,
perkataanku ini benar-benar muncul dari hati sanubariku. Keturunan keluarga Hoa selamanya
tidak akan menjilat kembali ludah yang lelah ditumpahkan. Percayalah dengan aku. Nah, ayolah
pergi dulu! Urusan disini akan kubereskan untuk nona!”
Si Nona baju hitam itu hanya menangis terisak dan sama sekali tidak menjawab, sedangkan Si
Nio berdiri dengan muka sedingin es. Diapun tidak menunjukkan tanda-tanda akan
mengundurkan diri diri tempat itu.
“Hmmm. kau akan menguruskan persoalan mereka itu?” tiba-tiba terdengar Ciu Hoa mengejek
sambil mendengus dingin. “Hmmm! Engkau benar-benar manusia tak tahu diri, makin lama
perbuatanmu semakin berani sehingga urusan orang lain pun baru kaucampuri!”
Sinar matanya lantas dialihkan ke arah pemuda perlente dibelakangnya, tambahnya, “Lo-ngo,
ayoh serbu. Mati atau hidup tak usah dipersoalkan, lagi… pokoknya sikat beres”
Sebuah pukulan kencang langsung disodok ke tubuh Hoa In-liong yang berada dihadapannya.
Dengan satu kecepatan bagaikan kiiat Hoa In-liong mengegos kesamping. Setelah lolos dari
pukulan dahsyat itu, bentaknya, “Eeeh…. tunggu sebentar! Aku masih ada perkataan yang
hendak kutanyakan kepadamu!”
“Criiiiiiing….!”
Pemuda berbaju perlente itu mencabut keluar pedangnya lalu menghadang jalan pergi pemuda
itu, sambil melancarkan sebuah bacokan ke arah pinggang serunya dengan ketus, “Dalam dunia
akhirat bukan hanya kau seorang yang jadi setan kebingungan, kau tak usah banyak bicara lagi!
Nih, rasakan sebuah bacokan mautku!”
Bukan saja perkataannya tajam, serangan pedang itupun cepatnya bagaikan sambaran kilat,
lihaynya bukan kepalang.
Menyaksikan serangan yang amat lihay itu, si nona baju hitam menjerit kaget, sepasang matanya
terbelalak lebar-lebar.
Hoa In-liong sama sekali tak keder menghadapi serangan maut itu. Tangan kirinya segera
disodok ke muka melepaskan sebuah pukulan dahsyat yang membentur ujung pedang itu,
bentaknya, “Siapa kau?. Kalau ingin bertempur, ayoh terangkan dulu namamu…. aku paling tak
sudi berkelahi dengan manusia tak bernama!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
198
Setelah serangan telapak tangannya mengenai sasaran yang kosong tadi, Ciu Hoa telah
meloloskan pedangnya. Dengan jurus Cian-li-yang huan (mengembangkan layar menempuh
seribu li) dia tusuk pergelangan tangan musuh.
“Dia bernama Ciu Hoa, sudah jelas?” sahutnya dengan lantang.
Ciu Hoa pemuda berbaju perlente inipun bernama Ciu Hoa? Ini berarti sudah ada tiga orang yang
mengaku bernama Ciu Hoa!
Hoa In-liong merasakan hatinya amat terperanjat, nyaris iga kirinya termakan oleh tusukan pedang
itu.
Melihat rekannya terancam bahaya, Coa Cong-gi sangat gelisah dia siap menerjang kedepan
untuk memberi bantuannya.
Tiba-tiba terdengar nona baju hitam itu berteriak lengking, “Hoa kongcu, sambutlah pedangku
ini”
Serentetan cahaya tajam menembusi udara, pedang pendek yang panjangnya hanya beberapa
depa itu secepat kilat meluncur ke arah punggung Ciu Hoa.
Merasakan datangnya maut dari belakang, Ciu Hoa tak berani melanjutkan serangannya, cepat
dia menarik kembali pedangnya sambil menyingkir kesamping.
Agak lega Coa Cong-gi menyaksikan kesemuanya itu. Diam-diam ia berpikir dihati, “Aku lihat
perempuan itu mempunyai satu ganjalan terhadap Hoa In-liong namun rupanya dia pun
menaruh rasa cinta, itulah yang dinamakan orang tidak cinta sebenarnya cinta!”
Sementara hatinya berpikir demikian, sepasang matanya dengan tajam mengikuti jalannya
pertarungan ditengah gelanggang.
Tampaklah pedang pendek itu dengan membawa desingan angin tajam masih meluncur terus ke
depan. Tampaknya Hoa In-liong tak dapat menyambut senjata tersebut. Dalam gugupnya lengan
kanannya cepat dijulurkan ke depan dan tahu-tahu entah dengan cara apa, pedang pendek yang
bersinar tajam itu sudah terjepit diantara jari tengah dan jari telunjuknya.
Setelah memegang pedang, maka keadaan Hoa In-liong ibaratnya harimau yang tumbuh sayap.
Tampaklah pedang pendek itu berkelebat kian ke mari dengan cepatnya. Dengan serangkaian
serangan berantai yang maha dahsyat dia serang dua orang Ciu Hoa itu habis-habisan sehingga
kedua orang itu terdesak mundur terus tiada hentinya.
Sementara melancarkan serangan berantainya, diam-diam Hoa In-liong berpikir pula didalam
hati, “Aneh benar dari mana munculnya begitu banyak Ciu Hoa dalam dunia persilatan. Pemuda
berbaju perlente itu disebut Lo-ngo, pria bermuka kuda dulu disebut Lo-sam… Entah ada berapa
orang Ciu Hoa lagi yang bakal kujumpai? Kenapa tidak kugunakan siasat untuk memancing
mareka? Asal jalannya ilmu silat mereka dapat kuraba, tentu untuk menebak asal usul mereka….’
Berpikir sampai disini, dia lantas menunjukkan sikap seakan-akan tenaga dalamnya sudah lemah,
sehingga permainan pedangnya ikut melambat pula….”
Pertarungan antara jago-jago lihay, seringkali menang kalah hanya tergantung dalam waktu
sedetik.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
199
Pada hakekatnya ilmu silat yang dimiliki dua orang Ciu Hoa itu sudah mencapai pada puncaknya.
Tapi oleh karena mereka menyerang secara gegabah, mengakibatkan posisi mereka selalu
berada di bawah angin.
Dan sekarang, ketika secara tiba-tiba dilihatnya serangan pedang dari Hoa In-liong melambat,
serta-merta mereka manfaatkan kesempatan baik yang sama sekali tak diduganya itu sebaik
mungkin.
Dengan wajah berseri-seri, kedua orang itu segera memperketat serangan pedang.
“Sreeet….! Sreeet…..! Sreeet!”
Secara beruntun mereka lancarkan tiga buah serangan berantai untuk memperbaiki kembali
posisi mereka.
Perlu diketahui, oleh karena kedudukan mereka berada dibawah angin, maka ilmu pedang
mereka tak bisa dikembangkan sebaik-baiknya dan sekarang setelah posisinya berhasil
diperbaiki, dua bilah pedang mereka bagaikan ikan yang bertemu air, segera melancarkan
serangan lagi dengan jauh lebih lincah dan ganas.
Ilmu pedang yang dimiliki kedua orang itu betul-betul ganas, lihay dan berbahaya, bukan saja
kerjasamanya sangat tapat, langkah dan permainan pedang kedua orang itupun jauh lebih
mantap dan berbobot. Lebih banyak jurus-jurus serangan aneh yang digunakan dari pada tipu
muslihat, bahkan kelihayannya tidak jauh berbeda dengan ilmu pedang yang dimainkan Ciu Hoa
ketika mereka bertarung di kota Lok-yang tempo hari.
Setelah mencoba dua puluh jurus lebih, Hoa In-liong mulai berpikir dalam hatinya, “Kalau ditinjau
dari gerakan jurus ilmu pedang mereka, tampak-tampaknya jurus pedang itu berasal dari satu
perguruan yang sama. Itu berarti pula bahwa mereka berasal dari satu perguruan yang sama
pula, entah berapa sebenarnya jumlah manusia yang memakai nama Ciu Hoa itu?. Aku perlu
menyelidikinya sampai jelas!”
Tiba-tiba pedangnya digetarkan kencang-kencang, lalu secepat kilat membacok tubuh Ciu Hoa
yang berbaju perlente itu, bentaknya dengan nyaring, “Ayoh bicara! Apakah kalian semua adalah
anak murid dari perkumpulan Hian-beng-kau?”
Serangan itu datangnya seperti bianglala dari angkasa, bukan saja sangat tajam bahkan disertai
tenaga desingan yang memekikkan telinga.
Ciu Hoa yang berbaju pelente itu amat terkejut. Ia tak berani menyambut ancaman tersebut
dengan kekerasan. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur setindak kebelakang.
Ciu Hoa yang bermuka potongan kuda itu cepat menyergap maju ke depan. Ujung pedangnya
menciptakan selapis cahaya tajam yang menggidikkan hati, tanpa memperdulikan keselamatan
jiwanya. Secara beruntun dia totok tiga buah jalan darah penting dipunggung Hoa In-liong, tentu
saja tujuan dan serangannya ini adalah untuk menyelamatkan jiwa laki-laki berbaju perlente
yang bernama Ciu Hoa itu.
Serangan itu lihaynya memang lihay. Sayang Ciu Hoa bermuka kuda itu telah melupakan
sesuatu. Dia lupa bila seseorang akan menyerang dengan satu jurus mengadu jiwa, maka
pertahanan atas tubuhnya sendiri akan terbuka.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
200
Baru saja dia menerkam kemuka, dengan satu gerakan manis Hoa In-liong sudah putar
badannya sambil membabatkan pedang pendeknya ke depan. Seketika itu juga ia merasa
kepalanya jadi dingin dan sakit. Rasa kaget dan takutnya bukan alang kepalang.
Hoa In-liong tertawa, sambil mundur kebelakang tegurnya, “Coba aku mau bertanya, apabila
serangan pedangku tadi kulancarkan tiga inci lebih kebawah maka apa akibatnya?”
Apa akibatnya? Tentu saja tak usah ditanyapun orang akan mengetahui dengan sendirinya.
Berdiri semua bulu kuduk Ciu Hua bermuka potongan kuda itu, peluh dingin membasahi tubuhnya,
diam-diam ia menarik napas panjang dengan jantung berdebar keras.
Hoa In-liong tersenyum kembali ujarnya, “Tolong tanya, dalam perguruanmu ada berapa yang
menggunakan nama dan she sebagai Ciu Hoa?”
“Delapan orang!” jawab Ciu Hua bermuka potongan kuda itu seperti kena hipnotis.
“Delapan orang menggunakan nama yang sama bukankah itu berarti bahwa kalian memang
sengaja memusuhi keluarga Hoa kami!” bentak Hoa In-liong dengan muka sedingin es. “Hmmm!
Ayoh jawab permusuhan apakah yang sebenarnya terikat antara gurumu dengan keluarga Hoa
kami?”
Tiba-tiba Ciu Hoa bermuka potongan kuda itu tertegun. Ia baru sadar bahwa barusan dia telah
kesalahan berbicara, kontan paras mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat. Saking
kaget dan gugupnya dia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Tiba-tiba Ciu Hoa yang berbaju pelente itu menimbrung dari samping arena, “Lo-sam sepatah
kata juga bicara, delapan sepuluh patah kata juga telah berbicara. Kalau toh sudah berbicara,
aku rasa apa yang telah kita ketahui katakan saja semuanya secara blak-blakan!”
Hoa In-liong mengerutkan alisnya rapat-rapat dalam hati diam-diam pikirnya, “Kakak beradik
seperguruan ini mempunyai usia yang hampir sebaya, mempunyai nama yang sama dan saling
memuji tapi mengindahkan mana yang lebih besar mana lebih kecil. Ditinjau dari sikap mereka,
tentulah guru mereka pun berwatak seperti itu.”
Berpikir demikian, ia lantas berkata, “Kukagumi engkau sebagai seorang laki-laki sobat. Nah!
Tolong tanya markas besar perkumpulan Hian-beng-kau kalian terletak dimana? Apakah aku
boleh mengetahuinya?”
“Perkumpulan kami belum dibuka secara resmi” jawab Ciu Hoa berbaju parlente itu dengan nyaring,
“Kau tak usah kuatir, disaat perkumpulan kami akan diresmikan nanti, kartu undangan pasti
akan kami bagi ke seluruh dunia persilatan, termasuk juga keluarga Hoa kalian! “
Hoa In-liong mengangguk tanda puas dengan jawabannya, “Benarkah Suma tayhiap suami istri
yang berdiam di kota Lok-yang terbunuh oleh orang-orang yang kalian utus?”
“Benar!” jawab Ciu Coa berbaju perlente.
“Bukan!” sanbung Ciu Hoa bermuka potongan kuda.
“Eeeh….. Kalau mau menjawab yang betul, sebetulnya ya atau tidak?” bentak Hoa In-liong
dengan sinar mata berkilat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
201
“Kami berdua ‘kan sudah mengakuinya secara terus terang?” seru Ciu Hoa bermuka kuda dengan
ketus.
Hoa In-liong mengerutkan dahinya kencang-kencang. “Jadi sebetulnya ya atau tidak?” kembali
tegurnya.
“Ya juga tidak, semuanya benar! Apa susahnya mengartikan perkataan yang sangat sederhana
itu? Cerewet amat kamu ini”.
Hawa amarah sontak mencekam seluruh benak Hoa In-liong. Hampir saja amarahnya itu akan
dilampiaskan keluar, untunglah ia masih mampu mengendalikan perasaannya. “Hmm….. Baik….
Baik, rupanya sebelum kuberikan suatu demontrasi kekuatan, kalian tak akan mengakuinya
secara berterus-terang. Kalau memang begitu lihat saja kelihayanku ini!” ancamnya.
Ciu Hoa berbaju perlente itu melototkan sepasang matanya lebar-lebar, bibirnya bergerak seperti
hendak mengucapkan sesuatu. Tapi sebelum ia sempat berbicara, tiba-tiba terdengar suara seseorang
yang serak tua tapi lantang berkumandang memecahkan kesunyian, “Eeeh……..bocah cilik,
kalau engkau ingin tahu segala sesuatunya hingga jelas, tanyakan saja langsung kepadaku!”
Ucapan tersebut datangnya sangat mendadak dan sama sekali tak terduga. Hoa In-liong merasa
amat terperanjat, cepat-cepat dia berpaling kebelakang.
Entah sejak kapan, dari arah selatan telah muncul empat orang kakek yang telah berusia lanjut
didampingi nyonya Yu yang masih menggendong kucing hitamnya dan Siau Ciu yang berbaju
ringkas dengan sebilah pedang tersoren dipinggangnya.
Kedatangan beberapa orang itu sama sekali tidak berisik ataupun menimbulkan suara. Malahan
Siau Ciu dan nyonya Yu juga bisa muncul dengan entengnya, ini menunjukkan bahwa ilmu
meringankan tubah yang mereka miliki telah peroleh kemajuan yang pesat.
Memandang beberapa orang yang berdiri dihadapinya, Hoa In-liong merasa terkejut, tanpa
terasa pikirnya dalam hati, “Entah siapakah beberapa orang kakek itu? Kalau didengar dari nada
pembicaraannya mereka, rupanya orang-orang itu mengetahui jelas tentang peristiwa berdarah
yang menimpa keluarga Suma dan tampaknya pula mereka mempunyai rasa dendam dan sakit
hati yang amat mendalam dengan keluarga Hoa kami. Jangan-jangan…. jangan-jangan mereka
memang sengaja hendak memusuhi keluarga Hoa?”
OOOOOoooOOOOO
BELUM habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, Coa Cong-gi yang berangasan telah
melompat kedepan kemudian dengan muka dingin serunya lantang, “Eeeh….. Kalian toh orangorang
yang sudah punya umur kenapa kalau berbicara begitu tak tahu sopan santun? Bocah…..
Bocah….. Siapa yang kau sebut bocah? Kalau kita panggil tua bangka kepada kalian, coba
bayangkan saja bagaimana perasaan kalian?. Hmmm! Betul-betul kurang ajar!”
Beberapa patah katanya itu diucapkan dengan suara yang tajam bagaikan pisau, seketika itu
juga empat orang kakek itu dibikin tertegun.
Salah seorang diantara empat kakek yang berbadan kurus jangkung segera tampil kemuka,
dengan wajah agak berubah bentaknya nyaring, “Bocah keparat, engkau benar-benar
menggemaskan hati, ayoh bicara. Siapa namamu?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
202
Coa Cong-gi sama sekali tidak jeri meskipuna harus berhadapan muka dengan kakek yang
berwajah bengis, jawabnya, “Aku bernama Coa Cong-gi, salah seorang dan Kim-leng ngokongcu,
ada apa?”
Sikapnya yang sombong dan jumawa itu semakin menggusarkan kakek jangkung yang kurus itu.
Sinar matanya berkilat tajam, agaknya dia akan mengumbar hawa amarahnya.
Saat itulah, kakek bermuka bengis yang berada ditengah-tengah menghalangi tindakan
rekannya. “Huan heng, harap tunggu sebentar!” katanya, “Buat apa kita musti ribut-ribut dengan
seorang bocah ingusan yang masih berbau tetek? Sudahlah jangan gubris bocah itu!”
Tiba-tiba entah apa sebabnya, Hoa In-liong merasa hatinya jadi tegang. Menurut pengamatannya
secara diam-diam, ia merasa bahwa beberapa orang kakek yang berada dihadapannya tak dapat
disangsikan lagi tersangkut dalam peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma. Pemuda itu
merasa bila kesempatan yang sangat baik ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka
tak sulit baginya dikemudian hari untuk menyelidiki latar belakang dari peristiwa berdarah itu.
Tentu saja diapun tahu, kalau dapat bentrokan secara kekerasan harus dihindari, penyelidikan
baru mendatangkan hasil jika itu berlangsung dalam suasana yang tenang dan ramah-tamah.
Oleh sebab itulah, begitu sikakek bengis tadi menyelesaikan kata-katanya, cepat dia maju
kedepan dan menjura kepada kakek itu. “Aku adalah Hoa In-liong, boleh kuketahui siapakah
nama lotiang?”
Perkataannya ini tidak terlampau angkuh juga tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Nadanya
besar dan tidak mirip bocah yang masih ingusan. Siapapun akan mengira bahwa pemuda ini
sudah lama berkelana dalam dunia persilatan.
Ketika mendengar perkataan tersebut, pada mulanya kakek bermuka bengis itu tampak tertegun,
menyusul kemudian dengan alis mata berkenyit sahutnya dengan dingin, “Pernahkah engkau
dengar tentang perkumpulan Kiu-im-kau dari mulut orang persilatan?”
Dalam hati Hoa In-liong merasa tercekat, akan tetapi diluarnya dia tetap tersenyum ewa. “Pernah
sih pernah!” sahutnya, “Aku dengar perkumpulan Kiu-im-kau berulang kali mengalami kekalahan,
malahan tempo dulu……”
“Tempo dulu kami sudah munculkan diri sebanyak dua kali di wilayah selatan” Tukas kakek
bermuka bengis itu sambil mendengus. “Dan sekarang kami munculkan diri untuk ketiga kalinya.
Dalam pemunculan kali ini kali ini kami khusus akan menyatroni keluarga Hoa kalian dan akan
kami tandingi siapa gerangan yang sebenarnya lebih pantas menguasai jagad”
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong merasa sangat terperanjat. Diam-diam ia berseru
tertahan. “Aaaah…. Tak salah lagi. Mereka memang khusus memusuhi keluarga Hoa kami
ternyata memang perbuatan biadab dari orang-orang perkumpulan Kiu-im-kau. Aaai….. Kakek ini
tidak berani bicara secara blak-blakan, itu berarti ada sesuatu yang dia takuti. Dus berarti issue
yang mengatakan bahwa dunia persilatan bakal terjadi perubahan besar, tampaknya bukan
berita isapan jempol belaka yang tak dapat dipertanggung jawabkan”
Sekalipun dihatinya merasa terkejut bercampur curiga, namun diluaran si pemuda itu tetap
tenang. Ia kalem seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun, malahan dia tertawa hambar.
“Lotiang, perkataanmu terlalu berlebihan!” serunya. “Kami keluarga Hoa sedari sian-cou sampai
sekarang selalu mengekang diri dengan ketat dan bersikap seramah-ramahnya kepada orang
lain. Sampai sekarang keadaan tersebut telah berlangsung selama tiga generasi. Selama tiga
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
203
generasi ini kendatipun kami tak berani mengatakan telah melakukan kebajikan dan keadilan
bagi khalayak ramai, akan tetapi kami pun yakin selama ini tak pernah berhasrat untuk mencari
gara-gara atau berebut nama dan kedudukan dengan orang lain. Soal ini… yaaa, soal ini lebih
baik tak usah dibicarakan lebih jauh. Tolong tanya tujuan Lotiang datang kemari adalah…..”
Ditengah pembicaraan bukan saja secara tiba-tiba ia telah mengalihkan pokok pembicaraan ke
soal lain, bahkan tiba-tiba saja perkataan tersebut dipotong ditengah jalan. Dengan senyuman
dikulum ditatapnya wajah kakek itu dan menantikan jawaban lawan.
Kalau kita perhatikan perkataannya barusan, maka dapat kita dengar sekalipun nada pembicaraannya
lunak dan enak didengar, hakekatnya mengandung suatu ketegasan yang membuat
orang tak dapat mengganggu gugatnya kembali.
Mendengar ucapan tersebut, kakek bermuka bengis itu segera alihkan pandangan matanya ke
atas wajah Hoa In-liong, kemudian ditatapnya anak muka tajam-tajam. Selang sesaat kemudian
ia ba-ru tertawa terbahak-bahak dengan nyaringnya. “Haaa… haa….. haa….. Bagus! Bagus
sekali! Anak keturunan keluarga Hoa memang jauh berbeda dengan orang-orang yang
lain…..Bagus! Bagus!”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan kembali, “Aku she-Le bernama Kiu it, tiancu ruang
siksa dari perkumpulan Kiu-im-kau. Dua puluh tahun berselang aku pernah mendapat hadiah
sebuah pukulan dari ayahmu!”
“Bagus….. Bagus! rupanya kau sedang menagih hutang kepada Hoa lote yaaa? Rupanya kau kurang
terima hanya mendapat hadiah sebuah pukulan belaka?” tiba-tiba Coa Cong-gi berteriak
dengan suara lantang.
Hoa In-liong merasa gelisah sekali, cepat-cepat dia berpaling kesamping seraya tegurnya,
“Saudara Cong-gi, jangan berteriak sembarangan lebih dulu. Bagaimanapun juga kita tak boleh
lupa akan kata kesopanan!”
“Tata kesopanan?” Coa Cong-gi melotot bulat-bulat, “Kenapa kita musti membicarakan soal tata
kesopanan dengan mereka? Tahukah engkau, apa maksud dan tujuan mereka datang kemari?”
“Tentu saja. Siaute juga tahu apa maksud dan tujuan mereka datang kesini, cuma…..”
“Nah, kalau sudah tahu itu lebih baik lagi” tukas Cong-gi tidak memberi kesempatan bagi
rekannya untuk bicara lebih jauh. “Mari kita selesaikan persoalan ini dengan pertarungan kilat,
jangan beri peluang bagi mereka untuk mencari keuntungan di air keruh”
Hoa In-liong benar-benar dibikin serba salah oleh perkataan rekannya. Mau marah bagaimana,
tidak marah bagaimana. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak memberi tanggapan terhadap
ucapan rekannya.
Pelan-pelan anak muda itu berpaling, ditatapnya Tiancu ruang siksa dengan sinar mata tajam,
ke-mudian katanya lagi, “Aku rasa apa yang barusan dikatakan Coa heng memang benar.
Tampaknya kedatangan Le Tiancu adalah untuk menuntut balas terhadap sebuah pukulan yang
pernah dihadiahkan ayahku padamu, serta menguasai dunia persilatan dibawah kekuasaanmu,
Hmmm. Kalau toh memang itu tujuan kalian, baik untuk kepentingan umum maupun untuk
kepentingan pribadi, cari saja langsung kepadaku pasti akan kuselesaikan semua persoalan
sebaik-baiknya dan aku rasa satu-satunya cara yang bisa digunakan adalah bertarung sampai
salah satu diantara kita menang.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
204
Baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, kakek kurus jangkung itu sudah tertawa seram dan
menimbrung dari samping. “Eeeh….. Anak muda, besar amat lagak bicaramu!. Untuk
kepentingan umum dan kepentingan pribadi?. Heeh…. hee…. hee….. Rupa-rupanya kau hendak
mengandalkan kekuatanmu seorang untuk menghalang-halangi usaha perkumpulan kami yaa?”
Hoa In-liong tidak memberi tanggapan, sinar matanya lantas dialihkan ke wajah kakek kurus itu
lalu tegurnya, “Tolong tanya siapa nama lotiang? Dan apa kedudukanmu dalam perkumpulan
Kiu-im-kau?”
“Aku bernama Huan Tong, menjabat sebagai Tongcu bagian propaganda dalam perkumpulan
Kiu-im-kau” sahut kakek itu angkuh.
Air muka Hoa In-liong segera berubah jadi serius. Dengan wajah bersungguh-sungguh katanya
lagi, “Bagus sekali, Huan-tongcu! Tolong tanya bagaimana dengan hutang ayahku?”
Kakek kurus yang bernama Huan Tong itu agak tertegun, menyusul kemudian sahutnya,
“Kenapa? Hutang sang ayah, anaklah yang musti bayar! Kenapa kau musti banyak bertanya
lagi?”
Hoa In-liong mengangguk. “Benar, ayah yang berhutang putranya yang wajib membayar. Letiancu
merasa pernah berhutang sebuah pukulan dari ayahku, maka aku Hoa loji sebagai putra
ayahku, apakah tidak berkewajiban untuk menerima pembayaran sebuah pukulan itu?”
Huan Tong tertegun, untuk sesaat ia tak mampu berkata-kata. Ia cuma bisa memandangi lawannya
dengan mulut melongo.
Hoa In-liong tidak berdiam sampai disitu saja, kembali ujarnya lebih jauh, “Huan tongcu, ada
satu persoalan hendak kuberitahukan pula kepadamu, yaitu setiap orang dari perkampungan
Liok-soat-san-ceng dibukit In-tiong san selalu menitik beratkan semua kekuatan dan
perhatiannya untuk menjaga keamanan serta kestabilan situasi dalam dunia persilatan. Perduli
siapapun jika berani menerbitkan keonaran atau ingin mendatangkan hujan badai dalam dunia
kangouw, maka anak cucu keluarga Hoa bersumpah akan memusuhinya sampai titik darah
penghabisan, tidak terkecuali pula terhadap perkumpulan Kiu-im-kau. Nah, Huan tongcu!
Percuma kau berlagak garang dihadapanku, sebab toh sikap garangmu itu tidak nanti akan
mempengaruhi sikap maupun pendirian dalam hatiku!”
Kiranya pemuda itu sengaja berbicara kesana kemari, tujuan yang sebenarnya tak lain hanya
hanya satu yakni mengutarakan pendirian dan sikapnya dalam persoalan tersebut.
Tak terkirakan rasa gusar dan mendongkol yang berkobar dalam dada Huan Tong sehabis
mendengar perkataan itu. Untuk sesaat ia berdiri tertegun kemudian sambil tertawa seram
serunya, “Haa…. haa…. haa…. Bocah keparat kau memang bernyali! Kau memang benar-benar
bernyali!”
Seraya berkata selangkah demi selangkah dia maju menghampiri lawannya. Ditinjau dari
sikapnya yang garang dan menyeramkan itu dapat diketahui bahwa ia sudah tak sabar lagi dan
kini bersiap-siap untuk melakukan serangan maut.
Coa Cong-gi yang menyaksikan kemarahan orang, bukannya jadi jeri, dia malahan semakin
gembira, sambil bertepuk tangan bersorak sorai serunya lantang, “Puas…. Puas! Sungguh
memuaskan! Lo-te, biar aku yang layani kakek ceking ini”
Dengan langkah lebar dia maju ke muka dan siap menyongsong kedatangan Huan Tong.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
205
Siapa tahu, baru selangkah dia maju, dengan kecepatan bagaikan kilat Hoa In-liong telah
menarik tangannya. “Saudara Cong-gi, tunggu sebentar…. Tunggu sebentar!” Serunya kemudian,
“Jangan terburu-buru turun tangan, sebab siaute masih ada persoalan yang hendak dibicarakan
dulu dengan orang ini”
Pelan-pelan Huan Tong maju menghampiri si anak muda itu, langkahnya sama sekali tidak
berhenti, serunya pula dengan suara yang dingin dan menggidikkan hati, “Kau tak usah banyak
berbicara lagi, ingin ber bicara maka lebih baik kita berbicara dalam gerakan tangan dan kaki
saja…. ayoh! siapkan dirimu untuk menyambut seranganku ini”
Hoa In-liong kualir Coa Cong-gi tak dapat menahan sabarnya, dia maju ke depan dan
menghadang dihadapannya, lalu dengan suara dalam serunya, “Huan tongcu, harap engkau
sedikit tahu diri. Aku sama sekali tidak takut untuk bertarung melawan engkau. Tapi sebelum itu
ada beberapa persoalan ingin kutanyakan lebih dulu, masa kau tak berani menjawabnya….?”
“Aku mengerti jelas sekali, bahkan terlampau jelas bagiku” sahut Huan Tong sambil mendengus
dingin, “Bila selesai kujajal dirimu, otomatis aku akan lebih jelas lagi…..”
Belum habis perkataan itu, ketika tiba-tiba seorang nyonya tua menanggapi perkataannya itu
dengan dingin, “Huan Tong, ayoh mundur, kau terlalu congkak terlalu jumawa sekali dalam
setiap pembicaraan!”
Huan Tong terperanjat, cepat-cepat dia berpaling, lalu tergopoh-gopoh memberi hormat. “Yaa
kaucu, Huan Tong menghunjuk hormat buat kaucu!”
Dalam waktu singkat seruan “menghunjuk hormat buat kaucu” berkumandang silih berganti, Le
Kiu-it sekalian bertiga memberi hormat dengan sikap yang bersungguh-sungguh lalu
mengundurkan diri kesamping. Sedangkan Siau Ciu dan nyonya Yu bertekuk lutut dan
menyembah ke atas tanah.
Hoa In-liong sangat terperanjat, cepat dia menengadah dan alihkan pandangan matanya
kedepan, tampaklah pada sudut sebelah selatan dari tanah berumput itu telah berdiri seorang
nyonya tua yang berwajah potongan rembulan didampingi seorang gadis cantik yang bertubuh
ramping, tinggi semampai dengan rambut sepanjang bahu.
Nyonya tua bermuka bulat rembulan itu mempunyai perawakan tubuh yang tinggi besar. Ia mengenakan
jubah lebar berwarna hitam. Rambutnya yang berwarna keperak-perakan berkibar
terurai di bahu. Tangan kanannya memegang sebuah toya baja berwarna hitam. Di ujung toya
baja itu terukirlah sebuah kepala setan perempuan sebanyak sembilan buah. Kesemuanya diukir
dengan muka bengis. Gigi taring mencuat keluar dan rambut panjang awut-awutan, mengerikan
sekali tampangnya.
Ketika kepala setan itu diamati lebih seksama, ternyata roman mukanya persis seperti tampang
nyonya tua itu. Hanya saja perempuan tua itu kecuali bermuka pucat seperti mayat dan sama
sekali tidak ada warna merahnya. Sepasang matanya bersinar tajam menggidikkan hati,
membuat siapa pun yang melihatnya merasa seram dan ketakutan.
“Dialah ketua dari perkumpulan Kiu-im-kau?” diam-diam Hoa In-liong berpikir, “Yaa, kalau dia
yang datang, itu lebih baik lagi, sebab dengan begitu akupun tak usah jauh-jauh pergi ke Lamhuang
untuk mencari jejaknya.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
206
Berpikir sampai disini, sinar matanya lantas dialihkan kebelakang nenek itu dan menatap tajam
dara cantik berambut panjang yang berada di belakang Kiu-im-kaucu. Menyaksikan tampangnya
yang ayu dan menawan hati itu tiba-tiba saja anak muda itu tertegun.
Yaa, gadis itu memang cantik sekali. Kecantikan wajahnya melebihi bidadari dari kahyangan.
Rasanya sekalipun Siang-go atau Si-see lahir kembali pun kecantikan mereka juga begitu saja.
Usia nona itu masih muda sekali. Mukanya potongan kwaci dengan sepasang alis mata yang
lentik. Matanya jeli bagaikan bintang timur. Hidungnya mancung. Bibirnya kecil mungil bagaikan
delima merekah. Kulitnya halus dan putih, seputih susu. Pinggangnya ramping dan pinggul yang
padat berisi. Tertutup oleh gaun bajunya yang putih salju itu tampaklah perawakan badannya
yang ramping dan menawan hati. Rasa-rasanya didunia ini sukar untuk temukan perempuan
kedua yang memiliki kecantikan melebihi gadis tersebut.
Sebagaimana diketahui, Hoa In-liong adalah seorang pemuda romantis. Manusia macam dia paling
pantang bertemu dengan gadis-gadis cantik. Ketika memandang untuk kejapan yang
pertama tadi, anak muda itu masih merasakan keadaan yang wajar. Akan tetapi semakin dilihat
dia merasa semakin tertarik. Makin dipandang ia merasa keayuan dan kerampingan nona itu
semakin memi-kat hatinya dan akhirnya perasaan tersebut tak dapat dikuasahi lagi. Dari kagum
ia jadi tertarik dan karena tertarik timbullah hasratnya untuk memiliki gadis itu.
Tanpa sadar uatuk sesaat anak muda itu berdiri terbelalak dengan mulut melongo, nyaris dia
lupa berada dimanakah saat itu.
Untuk sesaat suasana diarena pertarungan itu jadi sunyi, sepi dan tak kedengaran sedikit suara
pun, Ciu Hoa berdua beserta para begundalnya telah berkumpul jadi satu. Si Nio yang jelek
berdiri bersama majikannya dibelakang Hoa In-liong. Hampir semua perhatian dan sinar mata
orang-orang yang hadir di sana tertuju kesatu arah, yakni wajah kaucu serta gadis cantik itu.
Selang sesaat kemudian, dengan sinar mata setajam sembilu Kiu-im-kaucu menyapu pandang
sekejap ke arah orang-orangnya yang berdiri disekeliling tempat itu, kemudian sambil
mengulapkan tangan kirinya dia menghardik keras, “Kalian semua tak perlu banyak adat!”
Empat orang kakek itu mengiakan, mereka lantas luruskan badan dan mundur kebelakang. Sementara
Siau Ciu dan nyonya Yu selesai menyembah tiga kali mengundurkan diri dari situ.
Hoa In-liong baru tersadar dari lamunannya sesudah mendengar bentakan itu, mukanya jadi
merah padam karena jengah, sorot matanya cepat-cepat dialihkan ke arah wajah Kiu-im-kaucu.
Ketua dari perkumpulan Kiu-im-kau itu sedang mengetuk tanah dengan tongkat kepala setannya,
lalu terdengar ia menegur, “Huan tongcu, apakah engkau tahu salah?”
“Hamba….. hamba…. hamba……” Huan Tong tergagap dan buru-buru membungkukkan
badannya.
Kembali Kiu-im-kaucu mendengus dingin. “Coba jawab! Bagaimanakah pesan dan perintahku
kepada kalian tadi? Terbayang kegagahan dan kebesaran Hoa Thian-hong, aku sendiripun menaruh
tiga bagian rasa kagum kepadanya. Apalagi kau Hmmm! Watakmu terlampau berangasan.
Apalagi mulutmu kurang tajam untuk bersilat lidah, sudah tahu kelemahan sendiri ternyata
berani juga bercekcok dengan keturunan keluarga Hoa…. Huuh…! Perbuatanmu itu benar-benar
bikin hatiku merasa sangat kecewa!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
207
“Lapor kaucu!” ujar Huan Tong dengan sikap yang sangat terhormat “Bocah cilik dari keluarga
Hoa ini takabur dan sombongnya bukan kepalang. Mulutnya terlampau tajam dan bicaranya tidak
kira-kira. Oleh karena dia bersumbar akan menentang perbuatan perkumpulan kita, maka
hamba…..”
“Sudah kau tak usah banyak bicara lagi!” tiba-tiba Kiu-im-kaucu menukas sambil mengulapkan
tangannya “Memang demikianlah pelajaran yang diwariskan keluarga Hoa mereka terhadap
setiap keturunannya!”
Tiba-tiba ia menghela napas panjang setelah berhenti sebentar sambungnya lagi, “Atau dengan
lebih tegasnya saja, dengan mengandalkan keberhasilan ilmu silat yang dimiliki keluarga Hoa,
mereka mempunyai hak untuk mengucapkan kata-kata semacam itu”
“Hamba tidak percaya” teriak Huan Tong dengan gelisah setelah mendengar perkataan itu.
Setajam sembilu sorot mata Kiu-im-kaucu tiba-tiba ditatapnya anak buahnya itu tanpa berkedip
lalu bentaknya dengan suara berat dan dalam. “Tutup mulutmu! Engkau tidak percaya dengan
kemampuan ilmu silat yang dimiliki keluarga Hoa ataukah engkau sudah tidak percaya lagi
dengan perkataanku?”
Dengan ketakutan cepat-cepat Huan Tong membungkukkan badannya memberi hormat. “Hamba
tidak berani! Hamba hanya mempunyai kesetiaan sampai mati dan sepanjang masa hanya
mendengarkan perintah serta perkataan kaucu seorang!”
Ditinjau dari sikapnya itu, dapat diketahui betapa takut dan jerihnya kakek itu terhadap
ketuanya. Hormatnya boleh dibilang sudah mendekati suatu penjilatan. Suatu sikap mundukmunduk
yang cuma terdapat dalam hubungan antara seorang majikan dengan budak beliannya.
Lama sekali Kiu-im-kaucu menatap anak buahnya itu, tiba-tiba ia menghela napas panjang.
“Aaaai….! Dalam kejadian ini, aku memang tak dapat menyalahkan engkau. Sudah sekian lama
kau menetap diluar perbatasan dan lagi jarang sekali bergerak di daratan Tionggoan, maklumlah
kau tak memahami seluk beluknya dunia persilatan dewasa ini. Yaa, berbeda tentunya keadaan
sekarang dengan keadaan pada
seorang anggota perkumpulan yang aktif dan selalu berada disampingku dalam menangani
setiap kejadian dalam dunia persilatan. Kini setelah lama mengasingkan diri, apalagi tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentu saja tak dapat disalahkan kalau kau tak akan
percaya dengan apa yang baru saja kukatakan”
Baru selesai ia berkata, Huan Tong telah bungkukkan badannya dan memberi hormat lagi. “Yaa
kaucu, semoga kaucu dapat memaklumi keadaan dari hamba.” bisiknya lirih.
Kiu-im-kaucu segera ulapkan tangannya lagi. “Kau tak usah merasa menyesal atau merasa
rendah diri, dikemudian hari aku masih banyak membutuhkan tenagamu untuk kejayaan
perkumpulan kami” ucapnya. “Atau tegasnya, selama berada dalam perkumpulanlah yang patut
dijunjung tinggi dan dinomor satukan daripada persoalan lain. Disamping itu, harus kita akui
bahwa Hoa Thian-hong betul-betul seorang pendekar besar yang berjiwa ksatria, berbudi luhur
dan mengutamakan kebaikan serta kesetiaan kawan. Kendatipun dia adalah musuh nomor satu
dari perkumpulan kita, tidak sepatutnya kalau kita pandang enteng atau memandang cemooh kepadanya,
aku harap soal ini dapat kau ingat selalu didalam hati”
Setelah keadaan berubah menjadi begini, kendatipun dihati kecilnya Huan Tong merasa sangat
tak puas dengan ucapan tersebut, toh terpaksa juga dia harus manggut-manggut sambil
mengiakan berulang kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar