Selasa, 06 Oktober 2009

rahasia 4

Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambil tertawa ujarnya lagi, “Kongcu-ya, aku mempunyai

sepatah kata yang rasanya tidak pantas untuk diucapkan keluar boleh ku utarakan kepadamu?”

Ciu Hoa dapat menyusul nona itu sepanjang jalan, sudah jelas ia telah tergiur oleh kecantikan

Ciu In, sebelum kejadian ini, ia selalu mengira Cia In memandang dirinya terlampau jelek maka

sengaja menghindarkan diri pertemuan, maka rasa penasaran, mendongkol dan gusarnya

berkecamuk didalam dada.

Tapi setelah Cia In menunjukkan sikap yang aleman, genit dan merangsang dan lagi diapun

sudah memberikan “penjelasan”, api gusar yang Semula membakar hatinya kini sudah lenyap

tak berbekas,

Maka setelah mendengar perkataan itu, ia lantas tertawa terbahak-bahak, serunya dengan

girang, “Haaahh…. haaahhh…… whaaahhh…. katakan saja terus terang- ucapan tanpa tedeng

aling-aling, sekalipun ada hal-hal yang tak pantas, kongcumu tak akan menyalahkan engkau”

Hoa In-liong yang menyaksikan kesemuanya itu merasa geli juga didalam hati, ia lantas berpikir;

“Ciu Hoa memang sudah tergila-gila benar dengan nona itu sampai makian dari Cia In pun tidak

dirasakan olehnya, malahan dia merasa sangat

bangga….haaahhh…haaahhh….haaaahhh……muka hijau gigi taring, meski tidak persis sama

sekali, kemiripan tetap ada…. haaahhh…. haaahhh… dasar tolol!”

Cia In sendiripun sedang tertawa cekikikan, lalu ujarnya kepada dayangnya In-ji, “Jn-ji, pergilah

keluar dan undang masuk beberapa orang tuan itu, jangan suruh mereka berdiri terlampau lama,

nanti kita lagi yang disalahkan kurang hormat melayani tetamu”

“Baik nona” sahut In-ji. dia lantas berjalan ke luar dari ruangan tersebut.

Ciu Hoa semakin gembira hatinya, mendadak ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata, “Engkau

tak usah undang mereka lagi, orang-orang itu adalah anak buah kongcumu, biar berdiri sebentar

tak apa-apa”

Mendengar perkataan itu In-ji lantas mutar badan dan membantah dengan merdu, “Sekalipun

mereka adalah anak buah kongcu toh tidak pantas kalau engkau suruh anak buahmu menderita

kedinginan diluaran sedangkan Kongcu ya mencari kesenangan disini?”

Cia In pura-pura menunjukkan wajah tak senang hati, lalu menegur, “Aaah, kamu ini benarbenar

dayang tak tahu aturan,masa engkau berani membangkang perintah dari kongcu-ya?”

“Ciu Hoa” semakin nyaman lagi hatinya sehabis mendengar perkataan itu saking girangnya dia

sampai terbahak-bahak.

“Haaaabhh….. haaaaahhh……. haaaa…… apa yang dia ucapkan memang ada benarnya juga

baiklah! Aku akan suruh mereka pergi dari sini saja”

Ia lantas berpaling ke pintu luar dan berseru lantang, “Eeeh….kalian boleh bubar, aku tidak

membutuhkan kalian lagi ditempat ini!”

“Baik!” sahutan nyaring berkumandang dari luar pintu, diikuti suara langkah kaki yang ramai

memecahkan kesunyian dalam waktu singkat suasana lelah pulih kembali dalam kesunyian.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

122

Menggunakan kesempatan dikala “Ciu Hoa” berpaling, Cia In saling berpandangan sekejap

dengan In-ji sambil tertawa gerak-gerik mereka misterius sekali.

Hoa In-liong yang dapat menyaksikan kejadian Itu, dalam hati kembali menggerutu pikirnya;

“Apa yang sebenarnya telah terjadi? Diam-diam perempuan ini hendak menotok jalan darahku

caranya untuk turun tangan lihay sekali, dan sekarang diapun tahu kalau diluar pintu ada

orangnya ini menunjukkan kalau tenaga dalamnya luar biasa kalau toh benar ia membenci

tampang Ciu Hoa yang jelek, apa salahnya untuk menggebah pergi secara terang-terangan?

Mengapa ia gunakah segala macam tipu muslihat untuk berpura-pura berlagak misterius?

Jangan-jangan pandangankulah yang keliru, dia benar-benar adalah seorang perempuan binal?”

Sementara itu Ciu Hoa telah selesai mengundurkan anak buahnya, ia lantas berpaling, sinar cabul

dan tengik memancar keluar dari mata tikusnya, lalu sambil tertawa cekikikan katanya, “Nona

manis, sekalipun engkau tidak bermaksud menghindari aku, tapi perbuatanmu selama enam hari

ini telah menyiksa perasaanku, setelah kutemukan kembali jejakmu, tak nanti akan kubiarkan

engkau kabur dari cengkeramanku”

“Aaaaah…. Koagcu ini memang kebangetan” omel Cia In sambil menggerutu tak tenang hati “aku

toh tidak bermaksud untuk kabur dari tempat ini..,.,?”

“Haaaahh…. haaaahh…… haaa…. benar.. perkataanmu memang benar, lebih baik memang

jangan kabur. Nah, kalau ingin mengucapkan sesuatu cepatlah katakan, aku telah bersiap sedia

untuk mendengarkannya”

“Benar?Kau suka mendengarkan perkataanku,” kata Cia In pula sambil tertawa manis, “begitu

baru menurut namanya!”

Ia mengerling kearah Ciu Hoa kemudian sambil memberi hormat katanya, “Kongcu, silahkaa

duduk.”

Ciu Hoa tertawa terbahak-bahak tiada hentinya seakan-akan sukmanya telah digaet pergi,

katanya pula, “Duduk…. duduk…. engkaupun silahkan duduk!”

Dengan langkah lebar ia maju kedepan, menyeret sebuah kursi dan langsung duduk.

Cia In sendiri sambil merangkul lengan Hoa In-liong dengan mesra, selangkah demi selangkah

maju ke depan.

Menghadapi keadaan begini, Hoa In-liong merasakan hatinya serba kacau, ia tak tahu

bagaimanakah perasaan hatinya disaat itu, dalam hati ia berpikir, “Sebenarnya permainan

apakah yang sedang di rencanakan Cia In ini? Memangnya ia suruh aku dan Ciu Hoa ribut karena

soal perempuan, sedang ia sendiri menonton dengan gembira? Hmmm! Kau anggap Hoa loji

adalah manusia macam apa? Tak nanti akan membiarkan harapanmu itu terpenuhi”

Betul juga, paras muka Ciu Hoa seketika, berubah hebat.

Pada mulanya, mungkin ia sudah terbiasa berbuat semena-mena, mungkin juga menganggap

kepandaian sendiri amat tinggi, ia tak pandang sebelah matapun terhadap Hoa In-Liong, maka

sejak awal sampai akhir ia tak menaruh perhatian terhadap pemuda itu,

Tapi sekarang setelah menyaksikan dua orang itu bermesrahan dan saling berpelukan, karena

merasa cemburu dan panas hatinya, ia mulai memperhatikan pemuda itu dengan seksama.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

123

Sekarang baru diketahui olehnya bahwa Hoa In-liong memang seorang pemuda yang amat

tampan dan di kolong langit jarang ditemui laki-laki ganteng semacam ini, kontan api

cemburunya berkobar, sinar bengis- memancar keluar dari balik matanya, ditatapnya sianak

muda itu tanpa berkedip, kalau bisa dia ingin menerkam kemuka dan menggigit musuh cintanya

itu,

Cia In sama sekali tidak memperhatikan kebengisan dan kemarahan orang itu, malahan seakanakan

tak pernah terjadi apa-apa, dihadapan muka nya masih bermesrahan dengan Hoa In-liong

ia berkata sambil tertawa

“Ciu kongcu. aku ingin menanyakan satu hal kepadamu apa benar engkau telah mengejar aku

mulai dari keresidenan Ban-sian sampai di kota Keng-bun ini?”

“Aaaah….omong melulu, memangnya kau anggap kongcu mu sedang membohongi kau?” sahut

Ciu Hoa tidak sabaran, ia tarik kembali tatapan matanya yang tajam itu.

Setelah hatinya dibakar oleh api cemburu dan rasa penasaran, kehalusan serta serta keramahtamahannya

sudah lenyap tak berbekas, sebagai gantinya ia mulai menyeringai seram, matanya

bengis dan napsu membunuh terlintas diantara alis matanya,

Cia In masih juga tidak ambil perduli, malahan senyum manis masih dikulum.

“Kalau begitu, kongcu tertarik oleh kecantikan paras mukaku bukan..?” ujarnya lagi.

Pertanyaan ini terlampau blak-blakan dan tanpa tedeng aling-aling, dalam suasana begini

seharusnya “Ciu Hoa” sendiripun belum tentu bisa bersikap demikian tapi nona itu dengan tanpa

ragu-ragu telah mengucapkannya keluar, hal ini menyebabkan “Ciu Hua” jadi gelagapan dan

berdiri tertegun dengan mata terbelalak, untuk sesaat ia tak mampu memberikan jawabannya

lagi.

Cia In tertawa cekikikan, merdu amat suaranya ibaratnya burung nuri yang berkicau dipagi hari,

sambil gelengkan kepalanya berulang kali ia berkata lagi, “Menurut pendapatku, kongcu masih

kurang bersungguh-sungguh, rasa tertarikmu hanya sambil lalu dan tak muncul dari sanubari

yang bersih, betul bukan?”

“Hey, sebenarnya apa yang lagi kau katakan? Mengapa tidak kau terangkan saja secara blakblakan?”

tukas Ciu Hoa tidak sabar, dahinya berkerut kencang, “engkau adalah nona paling

cantik di dunia, meski kongcu mu sudah banyak bertemu orang, belum pernah kutemui nona

secantik engkau bersungguh hati atau tidak buat apa kau tanyakan lagi? Andaikata kongcu tidak

menyukai dirimu, tak nanti kukejar engkau dari Ban-sian sampai ke kota Keng bun”

“Aaah, belum tentu begitu?” seru Cia In sambil mencibirkan bibirnya, “kau tidak bersungguh hati

hanya mulutmu saja pandai bicara manis. Andai kata kau benar-benar menyukai diriku,

semestinya setiap kali sesudah mencari rumah penginapan, sebelum naik pembaringan toh

tersedia waktu yang panjang dan berlebihan? Mengapa selama ini aku tak pernah menjumpai

kongcu?”

Mendengar pertanyaan itu, “Ciu Hoa” tergagap, biji mata tikusnya jelalatan memandang kesana

kemari, bibirnya bergetar seperti mau membantah namun tak sepatah katapun mampu

diucapkan keluar, rasa heran, tercengang Cia In mengerutkan kening, kemudian menghela napas

panjang

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

124

“Aaaai… Kalian orang laki-laki…”

“Eeeh…..! tidak betul….” mendadak “Ciu-Hoa” menjerit melengking, keras dan tajam suaranya.

Jeritannya yang melengking ini bukan saja keras bahkan diluar dugaan, Cia In benar-benar di

bikin terperanjat.

“Apanya yang tidak betul?” cepat ia bertanya.

“Ciu Hoa” mengeratkan dahinya rapat-rapat, matanya dipicingkan dan ia bergumam tak

hentinya, “Heran, Tanpa kuketahui jelas apa -sebabnya tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk

lalu terlelap tidur- betulkah aku amat lelah sehingga perlu beristirahat?”

Lama sekali ia terbungkam, agaknya orang itu sudah terjerumus dalam pemikiran yang

mendalam dan bersungguh-sungguh, suasana jadi sepi, hening dan tak kedengaran sedikit

suarapun,.

Sekilas senyum aneh terlintas diatas wajah Cia In, hanya sebentar saja senyum itu lenyap

kembali. terdengar ia berkata lagi, “Tidak diketahui sebabnya tiba-tiba mengantuk lantas

tertidur? Aneh! Belum pernah kujumpai keadaan seaneh ini! Kenapa tidak kau lanjutkan

perkataanmu itu?”

“Ciu Hoa” segera menengadah, dengan tak kalah herannya ia berkata pula, “Memang aneh sekali

kejadian ini! Tiap senja menjelang tiba, setelah bersusah payah menemukan tempat tinggalmu,

dan setiap kali aku selesai membersihkan badan dan berdandanan. tiba-tiba aku diserang rasa

mengantuk yang hebat kemudian terjatuh di pembaringan dan tertidur pulas sampai keesokan

harinya ini…..”

“Aaah! Kau tak usah ini itu lagi!” tukas Cia In marah-marah sebelum orang itu sampai

menyelesaikan kata-katanya, “dari sini dapat dibuktikan sekarang, bahkan kongcu sesungguhnya

tidak berniat serius, engkau cuma iseng dan pakai bicara manis!”

“Kau….kau… jangan kau tuduh aku demikian!” bantah “Ciu Hoa” dengan gelisah.

“Kalau tidak begitu, lantas apa yang harus ku katakan? Bukankah setiap hari katanya kau selalu

mengejar aku? Kenapa setiap kali kau berhasil susul diriku, bukan datang berkunjung melainkan

malahan tertidur pulas……? Bukankah ini membuktikan bahwa kau tidak berniat serius?”

“Aku….aku…” Ciu Hoa semakin gelagapan.

“Engkau tak perlu aku aku melulu” kata Cia-In cepat, “biar aku saja yang mewakili kongcu untuk

memberi keterangan! Aku sama sekali tak berhasrat untuk tidur, tapi oleh karena setiap hari

harus melakukan perjalanan jauh, maka badan ku benar-benar merasa penat dan perlu istirahat,

bukankah begitu?”

“Tak mungkin badanku penat” bantah Ciu Hoa dengan wajah bersungguh-sungguh, “dengan ilmu

silat yang kongcu miliki sekarang, sekalipun harus melakukan perjalanan,siang malam selama

tiga hari juga tak akan merasa penat atau kehabisan tenaga..”

“Oooh…,! Kiranya kongcu adalah seorang jago persilatan, tadinya aku mangira kongcu

menggempol pedang hanya sebagai hiasan belaka seperti juga halnya dengan engkoh Pek Khi

ini, biasa kan orang muda sekarang sok pamer”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

125

Menyinggung soal Hoa In-liong! Ciu Hoa segera menunjukkan sikap muak dan benci, dengan

bengis ia melotot sekejap kearah sianak muda itu,- kemudian tegurnya, “Engkau bernama Pek

Khi?”

“Benar, aku bernama Pek Khi!” Hoa In-liong mengangguk.

Ciu Hoa memutar biji mata tikusnya, kemudian sambil mendelik ia membentak lagi, “Apa

pekerjaanmu?”

“Haaahhh….haahhh….haaahhh.„. Ciu kongcu. caramu mengajukan pertanyaan kurang sopan dan

tak tahu adat, lantas kau sendiri apa pekerjaannya?”

Kontan Ciu-Hoa bangkit berdiri, teriaknya dengan marah, “Bagus! Bagus sekali perbuatanmu!

Engkau berani bersikap kurang adat kepada kongcumu?”

Hoa In-liong tetap tertawa ia menyahut,

“Soal ini tergantung pada Ciu kongcu sendiri, jika kau kurang adat maka akupun tak perlu

bersikap sungkan-sungkan terhadap dirimu!”

“Bagus! Bagus! Nyalimu memang terhitung besar….” teriak Ciu Hoa sambil tertawa seram, ia

benar-benar naik darah.

Hoa In-liong jaga tak mau mengalah, cepat ia menukas sembari berseru, “Engkau pernah

membaca ajaran dari para Nabi dan pujangga belum? Bukankah disana dikatakan, bila orang

tahu adat dan sopan santun, maka peluruh jagat dapat dikunjungi, sebaliknya kalau orang tak

tahu adat dan sopan santun maka setengah jengkal tanahpun sukar didatangi, Cia kongcu kalau

toh engkau mengakui sebagai orang persilatan, rasanya ajaran itu itu pasti sudah pernah

diberikan oleh sesepuh perguruan kepadamu bukan……? Aku merasa tak pernah melanggar adat

dan tata kesopanan, tentu saja aku berani menghadapi keadaan macam apapun, apa sangkut

paut nya antara nyali besar dan kecil?”

Beberapa patah kata itu diutarakan dengan senyum dikulum, sedikitpun tidak emosi atau marah,

meski begitu dibalik kehalusan tetselip ketajaman, nada ucapannya jelas merupakan suatu

nasehat juga suatu teguran yang keras”

Sebagai orang yang pintar tentu saja Ciu Hoa dapat menerka arti kata dari ucapan tersebut

sontak ia naik darah, dengan muka menyeringai “Bocah keparat! Engkau berani mencari garagara

dengan kongcumu? Hmm! Agaknya memang engkau sudah bosan hidup”

Hoa In-Liong berbuat demikian karena ia mempunyai tujuan tertentu, bergiranglah hatinya

setelah melihat orang itu naik darah, sambil tertawa ujarnya lagi, “Sekarang kita sedang berada

dirumah penginapan, aku tidak percaya kalau Ciu kongcu berani membunuh orang dengan

semena-mena, memangnya dianggap hukum negara salah tidak berlaku lagi……..”

Jilid 07

BELUM habis ia berkata, kemarahan ciu Hoa sudah tak terkendalikan lagi sambil tertawa seram

katanya, “Heeehhh….heeeahh….heeehhh….engkau betul-betul punya mata tak berbiji, akan

kongcu-ya cungkil dulu sepasang biji matamu sebelum membicarakan soal hukum negara….”

Secepat kilat lengan kanannya ditonjok ke muka, dengan ibu jari dan jari tengah yang ditekuk

seperti kaitan, ia ancam sepasang mata Hoa In-liong.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

126

Sekalipun lengan kanannya itu bergerak tidak lambat pun tidak cepat, namun si anak muda itu

mengerti bahwa perubahan dibalik serangan jari tangannya itu banyak. rumit dan tak terhingga,

lagipula ganas dan keji, bagi jago persilatan pada umumnya, sulit untuk menghindarkan diri dari

ancaman tersebut.

Namun bagi Hoa In-liong yang berilmu tinggi dan bernyali besar, rupanya ia sudah mempunyai

perhitungan sendiri yang jauh lebih matang. Bukannya berkelit atau coba menangkis, dia

malahan pura-pura berlagak tidak melihatnya sama sekali, menggubrispun tidak.

Lambat memang untuk diceritakan, namun cepatnya luar biasa, kejadian itu berlangsung, dalam

sekejap mata serangan jari tangan dari Ciu-Hoa itu sudah berada di depan mata, disaat yang

kritis itulah mendadak Cia in menjulurkan tangannya ke muka dan mendorong sikut Ciu Hoa

sehingga tergeser ke samping.

“Ciu kongcu,” omelnya dengan merdu, “apa-apaan kamu ini? Engkoh Pek Khi toh tidak menyalahi

apa-apa terhadap dirimu….”

Dalam pada itu, In-ji si dayang telah masuk sambil membawa air teh, ia berkata pula, “Ciu

kongcu, engkau datang kemari kan hendak mencari nona kami dan mencari kesenangan? Apa

gunanya marah-marah kepada orang lain? silahkan duduk. biarlah In-ji suguhkan air teh

untukmu.”

Lengan ciu Hoa yang terhenti ditengah udara, saat itu baru ditarik kembali, dengan mata

terbelalak dia awasi Cia In sekejap. kemudian ujarnya dengan suara berat, “Kau…. siapa kau?

sebetulnya apa… apa pekerjaanmu?”

In-ji mengambil secawan air teh dan diletakkan dihadapannya, seperti heran seperti pula tak

disengaja, ia berseru, “Ada apa? Masa kau tidak tahu….”

Untuk kesekian kalinya dengan hati mendongkol Ciu Hoa duduk kembali ke atas kursinya, lalu

mendengus.

“Hmm Dalam mata yang jeli tak akan kemasukan pasir, sebenarnya apa kerja kalian? Hayo cepat

jawab dengan terus terang”

Sementara itu In-ji sudah meletakkan secawan air teh pula dihadapan Hoa In-liong kemudian

sahutnya sambil tertawa, “Peduli amat kemasukan pasir atau tidak. kami tak paham dengan

kata-kata macam begituan, kami hanya tahu nona kami bernama Cia In. dengan nama sebutan

In ci-ji, dia adalah Hong-koan-jin (pelacur paling top) yang tiada taranya dikota Kim-leng…”

“Budak sialan pingin mampus?” tiba-tiba Cia In berteriak dengan suara melengking, “memangnya

lantaran engkau adalah Cing-koan-jin maka kau merasa bangga untuk menyiarkannya kepada

umum.”

Perlu diterangkan disini, baik Hong-koan-jin maupun cing-koan-jin adalah sebutan-sebutan khas

bagi rumah pelacuran.

Yang dinamakan Hong-koan-ji adalah para pelacur yang sudah tidak perawan lagi, sebaliknya

Cing-koan-jin adalah para pelacur yang masih perawan suci, tentu saja dengan adanya tingkatan

kedudukan maka hargapun bermacam-macam, lagi kaum lelaki yang suka bermain pelacur,

istilah seperti itu pasti akan diketahui dengan jelas.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

127

Hoa In-liong masih muda dan lagi merupakan keturunan orang kenamaan, sekalipun dia

romantis dan gemar main perempuan, lagipula tidak terikat oleh pelbagai peraturan, namun anak

muda ini masih bersih, dalam arti kata belum pernah menginjakkan kakinya dirumah pelacuran

untuk berbuat mesum.

Oleh karena itu, setelah mendengar ucapan tersebut ia jadi tercengang, heran dan merasa tidak

habis mengerti, sepasang matanya dibelalakkan lebar-lebar, sebentar memandang kesini

sebentar lagi memandang kesana, agaknya dia ingin mencari jawabannya diantara perubahan

wajah Cia In dan In-ji.

Lain halnya dengan ciu Hoa, ia gemar bermain perempuan dasarnya memang berwatak cabul

dan tengik, memetik bunga adalah pekerjaannya yang boleh dibilang rutin, dan selamanya tak

pernah ambil perduli perempuan macam apakah lawan mainnya itu, otomatis diapun mengetahui

jelas tentang segala macam istilah yang berlaku dikalangan rumah pelacuran.

Tak heran kalau matanya terbelalak besar sehabis mendengar ucapan tersebut, ditatapnya wajah

Cia In dengan rasa heran, agaknya ia masih kurang percaya dengan pengakuan itu.

Tampak In-ji meleletkan lidahnya serta menunjukkan mata setan, lalu berkata, “Yaa.. benar,

nona maafkan akulah yang salah bicara, nona kami adalah Hong-ji (orang yang top) dari kota

Kim-leng, bukan Hong-koan-ji.”

“Masa diulangi lagi?” bentak Cia In.

“Hiiihh….. hiiiiihhhh…… hiiiihhh….. ampun nona yang baik, aku bicara lagi Aku tak akan bicara

lagi….” cepat In-ji menambahkan sambil tertawa cekikikan.

Ia lantas berpaling, kepada Ciu Hoa ujarnya, “Kongcu-ya, minumlah air tehmu, kenapa masih

melongo- longo?”

Ciu Hoa tersentak bangun dari lamunannya, ia lantas berseru dengan suara dingin, “Hmm

Keanehan dari peristiwa yang menimpa diriku tentu asalnya dari kalian berdua. Ketahuilah,

kongcu mu bukan manusia sembarangan, kalian tak usah berlagak pilon dan ingin mengelabuhi

diriku lagi. Hayo bicara, sebenarnya permainan busuk apakah yang telah kalian lakukan sehingga

membuat kongcu mu tertidur pulas?” Cia In mencibirkan bibirnya, sepasang alis matanya

berkenyit.

“Ciu kongcu, kalau ingin bicara aku harap bicaralah sedikit tahu diri, kau mengantuk dan ingin

tidur toh karena badanmu kurang sehat dan terlalu penat karena melakukan perjalanan jauh, apa

sangkut pautnya hal itu dengan kami? Dan permainan busuk apa yang bisa kami lakukan?

Barusan toh In-ji telah menerangkan adanya tamu semacam Ciu kongcu justru merupakan apa

yang kuharap- harapkan selama ini, anehkan rasanya kalau aku sengaja membuat engkau

teridap tidur hingga tak bisa bangun lagi.”

Selain daripada itu, aku toh cuma seorang pelacur biasa, darimana datangnya kepandaian

sehebat itu untuk mempermainkan engkau? Aku tahu Ciu kongcu adalah seorang manusia yang

pandai, tentunya kau mengerti bukan bahwa ucapanku ini bukan sengaja kubuat- buat?”

Nada ucapannya itu penuh dengan kehalusan, kelembutan dan kepedihan hati, persis seperti

permohonan dari kaum pelacur yang ingin minta belas kasihan dari orang lain.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

128

Hoa In-liong yang berdiri disamping mengawasi perempuan itu lekat-lekat, kemudian berpikir,

“Tak kusangka kalau perempuan ini ternyata adalah seorang pelacur, tak aneh kalau ia pandai

merayu dan mempunyai daya pikat yang luar biasa, tapi…. tapi tidak betul Jelas kuketahui bahwa

ia berilmu silat, mengapa harus jadi pelacur? Ataukah mungkin dibalik kesemuanya ini,

tersembunyi tipu muslihat yang lain?”

Tampaknya manusia yang bernama “Ciu Hoa” itupun tidak bodoh, sekarang ia sudah mempunyai

suatu perasaan was-was terhadap Cia In, terdengar ia berkata dengan dingin.

“Bila tak ingin orang tahu, kecuali diri sendiri tak pernah berbuat.Tiap senja kongcu mu mencari

rumah penginapan kemudian terlelap tidur dengan begitu saja, jelas dibalik kesemuanya ini

bukan tanpa alasan, kemudian ditinjau dari gaya serangan Thian-ong-to-tha (raja langit

membawa pagoda ) yang kau gunakan untuk menangkis sikut kongcumu, jelas menunjukkan

bahwa engkau berilmu silat tinggi. HHm Merayu dengan kata-kata manis hendak menutupi

bayangan sendiri ..jangan mimpi Hayo jawab, sebenarnya apa kerja kalian berdua?”

Mula-mula Cia In agak tertegun, namun kemudian ucapnya dengan suara pedih, ” Kalau toh Ciu

kongcu berkata demikian, aku tak dapat berbuat apa-apa lagi, In-ji Wakili aku untuk mengantar

tamu,” seraya berkata, ia kebutkan ujung bajanya dan siap masuk ke dalam ruang dalam.

“Menghantar tamu?” jengek ciu Hoa sambil tertawa seram, “Heheeehh..,.heehh….tidak gampang

untuk mengusir aku dari sini.”

Cia In hentikan kembali langkahnya,, dengan dahi berkerut dia lantas menegur, “Sebenarnya apa

yang kau inginkan? Maksudku semula, aku hendak merubah suasana yang serba kaku menjadi

labih halus dan lembut, maka tiada bahan pembicaraan sengaja kuadakan bahan pembicaraan

dan sengaja menggoda dirimu, siapa tahu hasilnya malahan kebalikan, kongcu malahan

menuduh aku telah menggunakan pelbagai macam tipu muslihat untuk mencelakai dirimu

sehingga tertidur pulas. Kongcu-ya, mengapa tidak kau pikirkan, andaikata aku benar-benar

bermaksud jelek kepadamu, dan akupun mampunyai kepandaian yang hebat untuk membuat

engkau terlelap tidur, apa sebabnya sampai sckarangpun aku tidak bertindak apa-apa

terhadapmu dia membiarkan engkau ribut serta mengumbar hawa amarahnya terus menerus?”

Ucapan tersebut kedengarannya lunak namun hakekatnya keras sekali dan alasannya juga

sangat kuat, ini membuat Ciu Hoa untuk sesaat jadi terbelalak dan tak mampu memberi

jawaban.

Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba Cia In menghela napas panjang, kemudian melanjutkan,

“Pepatah kuno pernah berkata: ‘Bila bertemu sahabat cocok dengan hati, minum seribu cawan

pun rasanya kurang, tapi bila menjumpai ketidakcocokan hati maka setengah kecappun rasanya

terlalu banyak.’ Sebelum mengucapkan sesuatu aku toh sudah terangkan dulu bahwa ucapanku

rada kurang sesuai, sedang kongcu-ya sendiripun sudah setuju untuk tidak marah, tapi akhirnya

engkau tetap marah dan memusuhi diriku. Kalau toh memang begitu, sekalipun suasana ini

dilanjutkan lebih jauh juga akan sama dinginnya seperti es. daripada terjadi hal-hal yang tak

diinginkan lagi, kongcu-ya Lebih baik engkau berlalu saja dari sini.”

Berbicara demikian, ia lantas menarik ujung baju Hoa In-liong sambil menambahkan, “Engkoh

Khi, mari kita duduk didalam saja.”

Dari keadaan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa nona itu sudah mengambil keputusan

untuk mengusir tamunya.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

129

Tentu saja Ciu Hoa tak sudi diusir dengan begitu saja, sambil memukul bangku teriaknya,

“Berhenti!”

“Ada apa?” tanya Cia In sambil berhenti, “sebetulnya kongcu-ya tahu aturan tidak? Engkau musti

tahu bahwa tempat ini bukan rumah pelacuran dikota Kim-leng, tempat ini adalah rumah

penginapan, terima tamu atau tidak aku bisa mengambil keputusan sendiri.”

Ciu Hoa betul-betul naik darah setelah didesak oleh perkataan yang tajam dan tak enak didengar

itu, saking gusarnya bukan saja sekujur badannya jadi gemetar, otot-otot hijaunya pada keluar,

sinar mata tikusnya memancarkan cahaya bengis, agaknya ia siap melancarkan tubrukan ke arah

depan.

Siau In-ji menengok kekiri kekanan dengan bingung, kemudian ia coba melerai sambil berkata,

“Kongcu-ya, jangan marah-marah dulu, nona, engkaupun duduklah dengan hati sabar”

“Huuh mau apa duduk lagi?” kata Cia In dengan sinis, “meskipun badan kita rendah, namun

cengli tetap cengli dan di manapun cengli itu tetap sama. Kalau ada tamu yang menyenangkan

boleh saja kita terima, kalau toh tamunya tidak menyenangkan hati, buat apa kita musti

memandang rendah diri sendiri dan susah-susah menerima kemarahan orang?”

In-ji itu memang kecil orangnya tapi besar akal muslihatnya, sambil berkerut kening ia berkata

lagi, “Ooh…. siocia, kita harus berdagang dengan hati yang ramah dan suasana yang damai, Ciu

kongcu telah mengejar jauh-jauh dari Ban-sian sampai Keng-bun, ini menunjukkan bahwa ia

berniat keras terhadap diri siocia. Cukup kita tinjau dari tindakannya itu, sekalipun harus

menerima sedikit kemarahan rasanya juga tak terhitung seberapa…….”

Kemudian ia berpaling ke arah Ciu Hoa dan katanya lagi, “Kongcu-ya, jangan marah lagi siapa

berlapang dada dia akan mendapat rejeki besar, kau tak usah ribut dengan nona kami lagi. Nah

Minumlah secawan air teh dulu, marahmu pasti lenyap”

Dia lantas mengambil cawan air teh dari atas meja dan diangsurkan kehadapan ciu Hoa.

Tadi Ciu Hoa bisa marah karena berulang kali ia dibuat tak mampu menjawab perkataan orang,

namun tuduhan yang dilontarkan tadi hakekatnya cuma tuduhan yang memang tanpa dasar

bukti yang kuat, maka setelah mendengar ucapan in-ji, ia semakin tak beralasan lagi untuk

mengumbar amarahnya, selain- itu ia merasa berat hati untuk meninggalkan si nona cantik yang

berada di depan matanya dengan begitu saja.

Dengan berdasarkan alasan itulah, meski dengan sikap yang masih kaku, ia ambil cawan air teh

itu, setelah diminum satu tegukan, katanya lagi, “Hmm Aku lihat kalian berdua memiliki ilmu silat

yang tangguh, asal usul pun sangat mencurigakan hati, sebenarnya ada rencana busuk apakah

yang hendak kalian lakukan? Menurut penglihatanku, lebih baik mengaku saja terus terang, kalau

tidak Hmm Hmm”

Tiada kelanjutan dibalik kata-katanya itu, dari sini dapat diketahui bahwa ia hendak

menggunakan kata-kata tadi untuk melepaskan diri dari suasana yang serba runyam baginya itu.

Siau In-ji memang cerdik pandai sekali membawa diri setelah mendengar perkataan itu ia lantas

berkata lagi dengan serius, “Kongcu-ya disinilah letak kesalahanmu, masa kami berdua

mempunyai rencana tertentu? sekali-pun ada rencana tertentu paiing banter rencana itu

menyangkut bagaimana caranya untuk menggaet beberapa tahil perak lebih banyak dari diri

kongcu. Kongcu-ya Minum dulu air teh mu, kurangilah ucapan yang tak perlu, budak akan coba

membujuk pula nona kami.”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

130

“Benarkah kalau rencana kalian ingin mengincar beberapa tahil perak belaka?” tanya Ciu Hoa.

“Kongcu-ya, kami toh sudah menerangkan kedudukan kami yang sebenarnya kepadamu?

sebagai pelacur apa lagi yang ingin kami cari kecuali beberapa tahil perak? siapakah didunia ini

yang bersedia dipermainkan orang tanpa mendapat imbalan.”

“Kalau memang begitu gampang sekali!” seru Ciu Hoa ketus, “malam ini kongcu menginap di sini

dan sepuluh tahil perak ini boleh kau terima dulu.”

Dia lantas merogoh sakunya dan mengambil keluar sekeping perak yang beratnya mencapai

sepuluh kati kemudian ‘plok’ dibanting ke atas permukaan meja.

“Waaah tii…. tidak bisa!” tiba-tiba cia In berteriak lagi dengan gelisah.

“Kenapa tidak bisa?” sahut Ciu Hoa sambil mendelik “apakah engkau sudah lupa akan apa

profesimu yang sebenarnya?”

“Sekalipun begitu, untuk berjual beli toh perlu ada siapa yang datang lebih dahulu? Malam ini Pek

kongcu telah membayar diriku, maka lebih baik kau….”

“Telur busuk!” tukas Ciu Hoa sambil membentak, “bagiku tidak berlaku siapa datang duluan,

lohu..eeeh…..?”

Ia coba menggoncangkan kepalanya keras-keras, tapi sudah terlambat, sebelum jeritan itu

selesai di ucapkan, ia sudah roboh terjengkang ke atas tanah dan jatuh tak sadarkan diri

Ketika Ciu Hoa roboh terjungkal Cia In lantas menjerit ketakutan, “Aduuh mak, apa yang telah

terjadi?Jangan-jangan… jangan-jangan orang ini mengidap penyakit ayan?”

Hoa In-liong bukan orang bodoh, apalagi ia mengikuti kejadian itu dari samping, tentu saja ia

tahu kalau Cia In sedang berpura-pura main sandiwara dan iapun tahu kalau penyakitnya

terletak di dalam air teh yang disuguhkan itu.

Sebagai pemuda yang cerdik, cukup hebat pula reaksinya, ia tidak menunjukkan wajah kaget,

malahan seperti orang yang gembira karena melihat lawannya roboh, dia tertawa terbahakbahak.

“Haaahhhh….. haaahhhh…… haaaaah…… hah jangan gugup….. Jangan gugup, orang yang

mengidap penyakit ayan tak bakal mampus, sekalipun mampus itu juga kesalahan sendiri, siapa

suruh ia marah-marah dan mengumbar napsu setelah tahu kalau mengidap penyakit aneh.”

sengaja dia mengambil cawan air tehnya dan menghirup satu tegukan.

“Aaah, enak benar kalau bicara!” seru Cia In pura-pura serius, ” kalau ia benar-benar sakit dan

tak dapat bangun lagi, wah…. bisa jiwanya akan melayang”

“Mau melayang biar melayang Bila ia mampus lantaran marah-marah, kalau sampai pengadilan

mencari dirimu, biar akulah yang akan menjadi saksi bagi enci In.”

Diam-diam Cia In merasa geli. tapi diluaran ujarnya, “Hoa kongcu memang berbeda jauh bila di

bandingkan orang lain, biarlah kuucapkan banyak terima kasih dulu kepadamu.”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

131

Betapa terkejutnya Hoa In-liong ketika secara tiba-tiba mendengar ia mengubah sebutannya,

sontak ia berteriak, “Apa? Engkau tahu…?”

“Siapa yang tidak kenal dengan Hoa kongcu dari Im tiong-san? Hiiiihhh hihihi….” Cia In tertawa

cekikikan.

Hoa In-liong sejera bangkit berdiri, serunya agak gugup, “Kau… kau…”

Cepat Cia In menyingkir kesamping untuk menghindarkan diri lalu katanya, “Hoa kongcu jangan

marah-marah, kalau marah nanti akan ikut roboh juga…”

“Sebenarnya siapa engkau?” bentak Hoa ln-Iiong dengan kaget, “obat apa yang telah kau

campurkan ke dalam air teh itu?”

“Tidak apa-apa, cuma sedikit obat pemabok Jit-jit-im-hun-san (bubuk pemabok tujuh hari) obat

itu tak akan mencabut nyawa kongcu!”

Hoa In-liong marah sekali, sambil menggigit bibir katanya, “Obat pemabok dari kalangan

penyamun juga kalian gunakan? Hmm Sebenarnya apa tujuanmu…..!”

Belum habis ia berkata, mendadak tubuhnya jadi sempoyongan dan….

“Blaang!” diapun roboh terjengkang ke atas tanah.

Cia In benar-benar amat bangga, sambil tertawa cekikikan katanya lagi, “Tadinya aku mengira

keturunan dari keluarga Hoa tidak takut dengan sebala macam obat pemabok, Huuh Tak tahunya

engkau juga tak tahan terhadap obat tersebut. In-ji Cepat gusur si setan jelek itu kekolong

ranjang, kemudian suruh Hao Ie menyiapkan kereta, kita segera lanjutkan perjalanan”

In-ji mengiakan, ia lantas menyeret tubuh Ciu Hoa dan disembunyikan di bawah pembaringan,

setelah itu tanyanya dengan ragu, “Suci, benarkah dia adalah kongcu dari keluarga Hoa?”

Sebutannya bukan nona lagi, sekarang ia sebut Cia In sebagai “suci” atau kakak seperguruan.

Cia In sendiri tampak agak gelisah, dengan kurang sabaran ia menjawab, “Ia sendiripun tidak

membantah, apa gunanya engkau turut menguatirkan dirinya? Cepatan suruh Hao lo-tia siapkan

kereta, kalau sampai anak buahnya si setan jelek menyadari akan keadaan ini, kita bakal

menghadapi bahaya kerepotan lagi.”

Hakekatnya waktu itu Hoa In-liong tidak semaput, ia cuma berlagak pingsan belaka, Dengan

tubuhnya yang tidak mempan terhadap racun, jangankan cuma obat pemabok. sekalipun racun

yang bisa memutuskan usus juga tak dapat berkutik terhadap dirinya.

Sekarang sambil berpura-pura, tiap kali ia picingkan sepasang matanya untuk mengawasi gerak

gerik cialn berdua secara diam-diam.

Sementara itu In-ji telah menyembunyikan tubuh Ciu Hoa dibawah kolong ranjang, sambil

bangkit berdiri ia bertanya lagi, “Aku lihat orang she-ciu ini mempunyai asal usul yang besar, apa

salahnya kalau sekalian kita bawa pergi?”

“Apa gunanya membawa manusia keroco seperti orang itu? Bila orang itu penting artinya buat

kita, semenjak tadi suci sudah turun tangan untuk membekuknya.”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

132

“Makin banyak yang kita peroleh semakin menguntungkan, bagaimanapun toh kereta kita masih

muat untuk ranjang angkut mereka berdua sekaligus!” seru In-ji

“Aaaah, kamu ini tahu apa?” bentak Cia In, “kita bisa menangkap anak cucunya sekeluarga Hoaboleh

dibilang sudah sangat beruntung, engkau tahu berapa besar jasa kita dengan hasil yang

kita peroleh ini? Cepat siapkan kereta, jangan menunda waktu pemberangkatan lagi.”

Kali ini In-ji benar-benar membungkam dalam seribu bahasa, ia lantas berlalu dari ruangan itu.

Sepeninggal In-ji, cia In bungkukkan badan untuk membopong tubuh Hoa In-liong. kemudian

sambil mencium dipipinya ia bergumam,

“Pemuda tampan, jangan marah kepadaku Bila bukan terpaksa, dengan tampangmu yang

ganteng dan tubuhmu yang kekar, aku tak akan tega- membiarkan engkau menderita siksaan

lahir dan batin”

Sambil bergumam ia membopong pemuda itu dan dibaringkan diatas pembaringan, kemudian

jari tangannya bergerak dan mendadak ia totok jalan darah Ki-ciat di atas dada pemuda itu.

Jalan darah Ki-ciat-hiat disebut pula Huan-hun hiat (jalan darah pembalik sukma), hiat-to

tersebut termasuk salah satu diantara delapan buah jalan darah pingsan yang terdapat ditubuh

manusia.

Kejadian ini berlangsung amat mendadak dan sama sekali di luar dugaan, sekalipun anak cucu

keluarga Hoa belajar kepandaian menggeser jalan darah, walaupun Hoa loji binal dan cerdik, tapi

la tak pernah menyangka kalau Cia in bakal menotok jalan darah pingsannya walaupun sudah

diberi obat pemabok.

Sebab itulah, ketika totokan tersebut bersarang telak diatas dada Hoa In-liong, si anak muda itu

seketika jatuh pingsan dan kali ini benar-benar tidak sadarkan diri

Selang sesaat kemudian in-ji telah muncul kembali dalam ruangan, cia In sendiripun telah selesai

membenahi perbekalannya, dua orang perempuan itupun satu ke kiri yang lain di kanan lantas

memayang Hoa jiya yang mirip orang mabok itu keluar dari rumah penginapan, naik ke atas

kereta dan melanjutkan perjalanan menuju kearah timur.

Beberapa hari sudah lewat tanpa terasa, suatu tengah hari sampailah kereta kuda yang kecil

mungil itu diluar pintu barat kota Kim-leng.

Bila ditinjau dari kemunculannya di kota tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ucapan cia in

ada beberapa bagian memang boleh dipercaya sebab ia benar-benar menuju kekota Kim-leng

seperti yang dikatakan.

Ketika itu kereta mereka sudah berada dua panahan dari pintu kota sebelah barat, Hou lo-tia

yang bertindak sebagai kusir telah bermandikan keringat karena lelah, ia mencambuk kudanya

keras-keras dan melarikan keretanya lebih cepat lagi untuk menerobos masuk ke dalam kota.

Mendadak dari balik semak belukar, ditepi telaga Mo-chiu-ouw muncul lima ekor kuda jempolan,

pada-kuda yang pertama duduklah seorang pemuda perlente yang memakai jubah sutera halus.

Terdengar kongcu itu menuding kearah depan sambil berseru nyaring, “Hey… coba lihat siapa

yang datang?” Kemudian teriaknya lagi dengan lebih keras.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

133

“Hou lo-tia, apakah nona Cia telah pulang?” Sebelum Hou Lo-tia sempat menjawab, cia-In yang

berada didalam kereta telah berbisik lirih. “Jangan perdulikan mereka, cepat kita kabur masuk ke

dalam kota.”

Tentu saja Hoa lo-tia tidak berani membantah, ia mencambuk kudanya semakin kencang lagi

sehingga kereta itu lari masuk ke dalam kota dengan lebih cepat pula.

Ketika kongcu muda itu melihat tegurannya tidak digubris oleh Hou Lo-tia, ia lantas membedal

pula kudanya untuk mengejar, dengan wajah penuh kemarahan pemuda itu menyusul kesamping

kereta lalu membentak dengan suara berat.

“Hoa lo-tia, sebenarnya apa maksudmu? Apakah aku Sa beng Siang (Beng siang saku) Yu-Siaulam

tidak pantas untuk berkenalan dengan dirimu…”

Kudanya dicamplak kemuka dan menghadang jalan pergi kereta tersebut, karena ia berdiri

ditengah jalan serta merta Hou lo-tia tak dapat meneruskan pula perjalanaannya.

Padahal kereta itu sedang dilarikan dengan kencangnya, karena mendadak jalan lebatnya

terhadang, terpaksa ia harus menarik tali les kudanya kencang-kencang.

Diiringi ringkikan panjang, kuda menghela kereta itu mengangkat sepasang kakinya keangkasa,

dan keratapun seketika itu juga terhenti.

Selang sesaat kemudian beberapa ekor kuda yang ada dibelakang telah menyusul datang pula

mereka lantas berdiri berjajar dibelakang Yu Siau-lam.

Karena jalan perginya sudah terhadang, mau tak mau Cia In harus pura-pura melongok keluar

dari jendela sambil menegur dengan lagak tak habis mengerti.

“Hou lo-tia, ada urusan apa?” sesudah berheti sebentar ia baru menambahkan, “oooh Rupanya

Yu-ya yang telah datang…”

Ya Siau-lam tampak sangat gembira setelah bertemu dengan Nona Cia, ia segera melompat

turun dari atas kuda dan memburu kedepan, katanya, “Rupanya nona Cia benar-benar telah

pulang, nona Cia sejak engkau berangkat ke barat. setiap hari aku sangat mengharap- harapkan

kedatanganmu, kami rasakan seakan-akan sedang menghadapi musim kemarau yang panjang.

Haahhh haaaaahhh …haaaaahhh akhirnya kau kembali juga hari ini.”

Meski gelisah sekali perasaan hati Cia In waktu itu, ia tak dapat menunjukkan sikapnya itu di

luaran, terpaksa sahutnya dengan kata-kata merendah, “Aduuh…aku tak berani menerima katakatamu

itu, begini saja, Malam nanti aku akan mengadakan perjamuan dalam kamarku, harap

Yu-ya untuk memberi muka dan menghadirinya.”

Yu Siau-lam tertawa terbahak-bahak.

“Haaahh…… haaaaahhh…. haaaahh untuk mengadakan perjamuan guna menyambut

kedatanganmu tidak pantas kalau engkau yang selenggarakan, sebab kamilah yang wajib

mengadakan bagimu, biar kutemani nona Cia masuk ke dalam kota.”

Seraya berkata ia lantas menarik pintu kereta dan melangkah marak ke dalam ruangan kereta

tersebut.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

134

Cia In tak menduga kalau pemuda itu bakal bertindak demikian, dengan gelisah ia lantas

mendorongnya keluar sambil berseru, “Ruangan kereta amat kotor, kita berjumpa saja malam

nanti.”

Ruangan kereta itu luasnya cuma delapan, setelah pintu kereta terbuka maka semua benda yang

berada dalam keretapun terlihat jelas, Hoa In-liong berbaring diatas lantai permadani tepat di

hadapan cia In, tentu saja dapat terlihat dari luar dengan jelas.

Pada mulanya Yu Siau-lam tampak agak tertegun, menyusul kemudian ia tertawa terbahakbahak

“Haaaaahhhh….haaaaahhhhh, haaaaahhh aku masih merasa heran, kenapa Hou lo-tia tak sudi

menghentikan keretanya, ternyata nona Cia pulang dengan membawa seorang laki-laki.”

Ia lantas mencengkeram pakaian Hoa In liong bagian dadanya dan mengangkat keluar dari

kereta.

Cia Ia semakin gelisah lagi, ia menubruk kedepan untuk mengejar.

“Cepat lepaskan orang itu!” teriaknya cemas, “orang itu adalah….”

Tapi sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Yu Siau-lam telah melemparkan tubuh Hoa In-liong

ke tangan rekannya.

“Saudara Ek hong, harap membawa bocah itu kerumahku, siau-te akan menemani nona Cia

masuk ke dalam kota!” serunya.

Sudah tentu Cia In tak memperkenankan orang itu membawa pergi Hoa In-liong, sepasang

kakinya menjejak permukaan tanah dan segera menubruk kedepan.

“Tidak boleh Tidak boleh Kalian tak boleh membawa pergi orang itu…. hayo cepat kembalikan

kepadaku!” teriaknya cemas.

Agak terkejut Yu Siau-lam menyaksikan kegesitan nona cantik itu, serta merta ia berkelebat ke

muka dan menghadang jalan pergi Cia In, bentaknya dengan suara dalam, “Berhenti..Tak

kusangka kalau nona Cia juga merupakan seorang pendekar perempuan dari kalangan dunia

persilatan, kalau begitu mata ku telah kau lamuri selama ini.”

Cia In semakin gugup dan gelagapan, ia tak menyangka kalau saking paniknya tanpa disadari

ilmu meringankan tubuhnya telah dipergunakan, setelah ditegur oleh Yu Siau-lam ia baru kaget

dan termangu-mangu.

Setajam sembilu sepasang mata Yu Siau-lam, ditatapnya perempuan itu tanpa berkedip.

kemudian ujarnya lebih jauh, “Nona Cia memiliki ilmu silat yang sangat lihay, akan tetapi selama

ini harus menyembunyikan diri dalam sarang pelacur, aku rasa dibalik kesemuanya itu pasti ada

sebab-sebabnya bukan? Yu Siau-lam memberanikan diri untuk minta penjelasan dari nona, andai

kata engkau mempunyai kesulitan, kamipun bersedia membantu kau untuk menyelesaikannya …

Setelah termangu- mangu beberapa waktu, Cia In dapat menenangkan kembali perasaannya

yang panik ia berkata, “Tuan Yu, buat apa kau musti mencampuri urusan orang lain? Lebih baik

serahkan kembali orang itu kepadaku.”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

135

Yu Siau-lam tertawa dingin.

“Heehhh heeehhh….heeehhh ….kau anggap julukan ku sebagai Say-beng-siang kudapatkan

dengan gampang? Berbicara dari soal hubungan, maka dengan persahabatan antara nona

dengan diriku, maka kesulitan yang nona hadapi sama pula dengan persoalanku, bila aku

mencampurinya maka tak bisa dikatakan bahwa aku sedang mencampuri urusan orang lain, aku

kira lebih baik nona terangkan saja kepadaku secara berterus terang…”

Cia in benar-benar amat gelisah bercampur panik, saking bingung, dan gugupnya ia sampai tak

mampu mengucapkan sepatah katapun.

Selang sesaat kemudian setelah ia berhasil menguasai pergolakan hatinya, nona itu baru

berkata- lagi dengan lembut, “Sudah lama aku dengar orang berkata tentang kebesaran jiwa

tuan Yu yang suka menolong orang, akupun merasa berterima kasih dan berhutang budi atas

perhatian dan bantuan yang telah Tuan Yu berikan kepadaku selama ini cuma…cuma terus

terang kukatakan bahwa aku mempunyai kesulitan yang tak dapat diutarakan kepada orang lain,

harap tuan Yu sudi memaklumi keadaanku dan memaafkan diriku ini.”

Yu Siau-lam sama sekali tidak terpengaruh oleh bujuk rayunya, yang lemah lembut itu, ia

malahan mendengus.

“Hmm Kalau kau telah mengetahui bahwa aku suka menolong orang, tentunya engkau tahu

bukan bahwa aku sangat membenci terhadap segala macam tindak kejahatan? sekarang terbukti

sudah bahwa engkau pandai bersilat, dan lagi menyembunyikan diri dalam rumah pelacuran, bila

tiada kesulitan apa-apa, berarti engkau mempunyai rencana busuk. Maka bila tidak kau

terangkan sekarang juga, terpaksa aku harus memaksa dirimu dengan memakai kekerasan”

Tercekat hati Cia In sesudah mendengar ucapan itu, kembali ia berusaha memohon dengan

lemah lembut, “Tuan Yu, kenapa kau musti menyusahkan diriku? Keuntungan dan manfaat

apakah yang bakal, tuan Yu dapatkan dari perbuatanmu itu?”

“Selamanya aku bertindak sesuatu tanpa memikirkan soal untung ruginya, yang lebih

kuutamakan adalah soal pantas atau tidaknya urusan itu kucampuri…” tukas Yu Siau-lam.

“Memaksa orang untuk membicarakan soal yang merupakan kesulitan bagi dirinya, apakah ini

juga terhitung perbuatan yang pantas?”

“Nona Cia Tak ada gunanya kau membela diri dengan pelbagai alasan, aku lihat bicara sajalah

secara terus terang, daripada hubungan kita jadi retak dan tak enak”

Diam-diam Cia In memeriksa situasi yang dihadapinya, ia lantas sadar bahwa persoalan ini tak

dapat diselesaikan secara damai lagi, maka sambil menarik muka ia berkata, “Tuan Yu, jika

engkau bersikeras untuk mencampuri urusan ini, itu berarti hubungan kita sudah retak”

“Haaabhh….haaahhh….haaahhh….tadinya aku masih menduga-duga kenapa kau pulang dengan

membawa seorang Laki-laki, tampaknya dugaanku memang tidak keliru, agaknya engkau

mempunyai rencana busuk dan tujuan tertentu!” seru Yu Siau-lam sambil terbahak-bahak,

setajam sembilu sorot matanya.

Sementara itu paras muka Cia In telah berubah jadi hijau membesi, dingin dan kaku bagaikan

balok es.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

136

“Tuan Yu!” hardiknya lantang, “cepat serahkan kembali orang itu kepadaku, kalau tidak, heehh..

heeehhh….heeehhh… jangan salahkan kalau aku akan bertindak keji dan tak kenal ampun”

Yu Siau-lam terbahak-bahak semakin keras, ia tidak menggubris ancaman itu, sebaliknya sambil

berpaling tanyanya.

“Saudara Ek-hong, apakah orang itu juga seorang jago persilatan? Apakah jalan darahnya

tertotok?”

“Paras muka orang ini rasanya sangat kukenal seakan- akan pernah kujumpai disuatu tempat”

sahut laki-laki yang bernama Ek-hong itu dengan nyaring, “jalan darahnya telah kubebaskan, tapi

ia masih juga tak sadarkan diri.”

Yu Siau-lam jadi tertegun.

“Kalau begitu dia pasti sudah dikerjai dengan cara-cara yang lain, saudara Ek-hong Tolong bawa

pulang dulu orang itu kerumahku, mintalah kepada ayahku untuk memeriksa kesehatan

badannya.”

Sebelum laki-laki yang bernama “Ek-hong” itu bergerak, cia In telah berteriak lagi dengan

gelisah, “Hou lo tia In ji Hadang orang itu jangan biarkan mereka pergi, jangan mereka kabur

dengan membawa serta orang itu.”

Baik In-ji maupun kakek si kusir kereta serentak bergerak ke depan dan menghadang jalan pergi

keempat penunggang kuda lainnya, gerak tubuh mereka enteng, lincah dan cepat bagaikan

sambaran kilat, jelas orang-orang itu merupakan jago kelas satu dalam dunia persilatan-

Tak terkirakan rasa kagetnya yang dialami Yu Siau-lam setelah menjumpai keadaan tersebut,

sambil putar badan bentaknya, “Nona Cia, sebelum duduknya persoalan dibikin jelas, aku tak

ingin menyalahi dirimu, katakan saja siapa orang itu? Mengapa kau bekuk dia kemari?”

Cia In yang sekarang tidak nampak genit lagi ia sudah menarik kembali semua senyum dan

kegenitan yang dibuat-buat, wajahnya nampak dingin menyeramkan, bukan saja kaku reperti

patung ukiran bahkan penuh diliputi hawa napsu membunuh, siapapun tak akan menyangka

kalau perempuan secantik ini sebenarnya adalah seorang pelacur.

Dengan tatapan mata tajam, dan muka bengis nona itu berkata sepatah demi sepatah kata,

“Tuan Yu, sekalipun aku masih bukan tandinganmu, akan tetapi setelah engkau bersikeras untuk

mencampuri urusanku, terpaksa akupun tak akan berpikir panjang lagi, sebelum kau serahkan

kembali orang itu kepadaku, tak nanti akan kusudahi persoalan ini.”

Sambil berkata ia lantas merogoh ke dalam sakunya dan mencabut keluar sebilah pisau belati

yang tajam dan memancarkan cahaya berkilat yang menyilaukan mata.

Yu Siau-lam semakin terkejut menghadapi kejadian tersebut, meski demikian ia berusaha untuk

menyimpan rasa kagetnya di hati, ujarnya kembali dengan tenang, “Nona Cia sekalipun engkau

coba menggunakan kekerasan, jangankan dianggap bahwa gertakanmu itu akan membuat aku

jadi takut, aku orang she-Yu tak akan mengenal apa artinya takut dan selamanya aku tak pernah

meninggalkan sesuatu pekerjaan ditengah jalan.”

Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Cia In telah menukas lagi dengan ketus, “Engkau tak

usah banyak bicara lagi, bila aku tak dapat menandingi kelihayanmu, orang itu segera kau bawa

pergi.”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

137

“Saudara Siau-lam!” tiba-tiba Ek-hong berteriak, “aku sudah teringat sekarang, orang ini mirip

Hoa tayhiap dari In-tiong-san.”

Mendengar perkataan itu, Yu Siau-lam sangat terperanjat.

“Apa? “jeritnya sambit putar badan, mukanya penuh perasaan kaget yang tak terkirakan, “Kau

maksudkan Hoa tayhiap?”

“Bukan….. Bukan….. Hoa tayhiap pribadi, dia adalah putranya Hoa tayhiap”

Wan Ek-hong membenarkan keterangannya.

Yu Siau-lam telah memutar badannya kembali, kini mukanya makin keren, sinar matanya tajam

dan sikapnya amat bersungguh-sungguh.

“Ayoh katakan!” dia menghardik, “Benarkah orang ini adalah Hoa kongcu, putra Hoa tayhiap?”

“Hmm, semenjak tadi toh aku sudah terangkan,” kata Cia In ketus, “jika aku bukan

tandinganmu, orang itu boleh kau bawa pergi Buat apa banyak bicara lagi?”

Perbagai ingatan berkecamuk dalam benak Yu Siau-lam, setelah mempertimbangkan untung

ruginya, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk mengendalikan hawa amarah yang semakin

berkobar itu

“Budi kebaikan yang telah diperbuat Hoa tayhiap bagi umat persilatan besar sekali, kami orangorang

dari keluarga Yu merasa berhutang budi kepadanya, tentu saja tak nanti kubiarkan anak

cucu nya diganggu oleh orang walau hanya seujung rambutpun, kau tak lebih hanya seorang

perempuan, sejahat-jahatnya juga ada batasnya, akupun tak ingin bergebrak melawanmu, lebih

baik berlalulah dari sini,” kata pemuda itu.

“Pergi?” jengek Cia In sambil tertawa dingin, “tinggalkan dulu orang itu disini!”

Pisau belatinya langsung diayun kemuka dan menyapu pinggang si anak muda itu.

Serangan itu sepintas lalu kelihatannya lambat sekali, pada hakekatnya begitu cepat hingga

sukar dilukiskan dengan kata-kata, terlihatlah cahaya kilat menyambar di udara, tahu-tahu

segulung hawa pedang yang tajamnya luar biasa telah menyergap tubuh Yu Siau-lam.

Waktu itu Yu Siau-lam baru saja memutar badannya, ketika merasakan munculnya hawa pedang

yang menyerang badan, tanpa berpaling cambuknya segera diputar ke belakang, sementara

kakinya melanjutkan perjalanan menuju ke depan.

“Saudara Ek-hong ayoh kita cepat pergi!” teriaknya lantang.

Gerakan tubuh dari si anak muda itu betul-betul cepatnya luar biasa, lagi pula serangan

cambuknya itu penuh berisikan bawa serangan yang tajam dan kuat, hal ini bukan saja

menyebabkan serangan dari Cia In terbendung, bahkan ketika gadis itu akan mengejar lebih

jauh, Yu Siau-lam telah duduk dialas pelana kudanya dan membedal binatang itu ke dalam kota.

Empat orang rekannya tidak berayal lagi, masing-masing membedal pula kudanya dan menyusul

dari belakang.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

138

Tinggi sekali kepandaian kelima orang itu dalam ilmu penunggang kuda, dan lagi gerakan

mereka pun terlampau cepat, menanti In-ji dan kakek she-Hek menyadari keadaan itu dan siap

menghadang, yang tertinggal hanya debu yang mengepul di angkasa, mau dihadangpun tidak

ada gunanya.

Siau In-ji tampaknya tidak puas, dia lantas menjejakkan kakinya ketanah dan siap memburu kedepan,

namun cia In segera menghalanginya.

“Aaaai…. In-ji, tak usah kau kejar lagi,” katanya sambil menghela nafas panjang, “sungguh tak

kusangka seorang laki-laki romantis yang suka main perempuan pun memiliki ilmu silat yang tak

terkirakan lihaynya, aaaai…. sekalipun berhasil kita kejar, tapi apa yang dapat kita lakukan

terhadap mereka?”

“Lantas, apakah kita harus berpeluk tangan belaka?” seru In-ji tidak puas.

“Tidak berpeluk tangan lalu kita musti berbuat apa lagi? Ayolah naik ke atas kereta Persoalan

yang harus kita pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya menghadapi mereka jika orangorang

itu mencari gara-gara lagi.”

Diiringi helaan napas panjang perempuan itu naik ke dalam keretanya, Hek-Lotia pun

mencambuk kudanya dan cepat-cepat melarikannya ke dalam kota Kim-leng.

000000000000

KOTA Kim-leng disebut juga Kang-ning, disinilah letak bekas kerajaan dari enam pahala yang

silam.

Kota Kim-leng yang sekarang adalah sebuah kota besar yang ramai dan paling sibuk dalam

perdagangan, bukan saja penduduknya padat, banyak pula terdapat tempat rekreasi dan tempattempat

bersejarah yang banyak dikunjungi kaum pelancong. Yaaa, kota Kim-leng memang

merupakan kota yang paling termashur di wilayah Kanglam.

Tepi sungai Chin-hway, samping kuil Hu-cu-bio penuh dikunjungi kaum pelancong dipagi hari,

penuh irama nyanyian dan aneka warna lampu di malam hari, tempat-tempat yang termashur itu

boleh dibilang sibuk siang ataupun malam, merupakan tempat paling ramai yang dikunjungi

orang tiap harinya.

Sebuah gedung besar yang megah dan mentereng berdiri menghadap jalan besar dengan

membelakangi sungai Chin-hway, letaknya hanya kira-kira satu panahan dari kuil Hu-cu-bio.

Gedung mentereng itu berdinding merah dengan atap warna hijau, bangunan lotengnya tinggi

dan kokoh, beberapa sampan mungil bertengger ditepi sungai Chin-hway dibelakang bangunan

tersebut, lentera teng-liong yang besar dengan lilin merah yang memancarkan sinar berkedip

tergantung disisi pintu yang lebar, menyinari tulisan “Gi-sim-wan” merupakan rumah pelacuran

paling termashur dalam kota Kim-leng, bukan saja disana tersedia koki-koki kenamaan, tersedia

sampan mungil untuk berpesiar, tersedia juga gadis-gadis cantik jelita yang akan siap melayani

tetamu-tetamunya untuk makan minum serta mencari kesegaran hidup.

Banyak sekali langganan rumah pelacuran Gi-sim-wan, mereka bukan saja terdiri diri kaum

pedagang besar, pembesar-pembesar kenamaanpun kebanyakan mengenal rumah bordil ini.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

139

Kereta kuda yang ditumpangi Cia In telah berbelok-belok sekian lama dalam kota Kim-leng

akhirnya setelah tiba ditepi sungai Chin-hway, kereta itu meluncur masuk ke dalam rumah

pelacuran Gi-sim-wan.

Gadis itu pernah mengaku sebagai pelacur dari kota Kim-leng, tampaknya pengakuan itu

memang benar.

Tapi begitu kereta kuda itu masuk ke halaman Gi-sim-wan, tiba-tiba seluruh isi rumah pelacuran

itu jadi gaduh dan tidak tenang, lama sekali suasana itu baru pulih kembali dalam keheningan.

Apa yang terjadi? Mengapa demikian?

Sayang pagar dinding rumah pelacuran itu terlampau tinggi, apalagi bukan waktunya menerima

tamu, tentu orang lain tak ada yang tahu apa gerangan yang telah terjadi disana.

Kalau pihak Cia in kelihatan panik, maka keadaan Yu Siau-lam yang sedang kabur masuk ke

dalam kota pun tak kalah tegangnya.

Mereka merasa kurang leluasa untuk membedal kudanya ditengah jalan raya yang ramai, maka

kelima orang itu sengaja mencari jalan-jalan lorong yang sempit untuk memotong jalan.

Setelah melewati loteng, tambur, keluar dari pintu Hian-bu-hun, kuda-kuda mereka dilarikan

terus menuju ke sebuah gedung besar yang megah dan kokoh diteti telaga.

Sebelum pindah di tempat tujuan, dari atas kudanya Yu Siau-lam telah berteriak keras-keras,

“Siapa yang giliran ronda hari ini? Cepat undang Lo-tay-ya, katakan ada urusan penting”

Seorang Laki-laki kekar muncul dari balik pintu, sambil bungkukkan badan memberi hormat

sahutnya, “Lapor kongcu, hari ini giliran hamba Yu Bi yang meronda.”

“Cepat! Cepat undang Lo tay-ya!” teriak Yu Siau-lam dari kejauhan sambil ulapkan tangannya,

“katakan kalau Hoa kongcu dari Im-tiong-san datang berkunjung!”

Yu Bo tampak agak tertegun, tapi cepat dia mengiakan.

“Baik,” dengan langkah cepat dia putar badan dan lari masuk ke dalam gedung megah itu.

Yu Siau-lam sekalian larikan kuda mereka menerobos masuk ke dalam halaman dan berhenti

tepat di depan ruang tengah.

Setelah melakukan perjalanan cepat dalam suasana tegang, peluh telah membasahi sekujur

badan orang-orang itu, tapi pikiran Yu Siau-lam waktu itu diliputi kegelisahan dan rasa cemas,

tentu saja tak sempat baginya untuk memperdulikan keringat bau yang membasahi badannya

itu.

“Saudara Ek-hong!” teriaknya setelah melompat turun dari kuda, “apakah keadaan Hoa kong cu

terjadi perubahan?”

Pemuda yang disebut “saudara Ek-hong” juga seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap

dan kekar, sambil membopong Hoa In-liong dia melangkah naik ke undak-undakan batu di depan

ruangan, ketika mendengar pertanyaan itu, dia berpaling.

“Hoa kongcu masih pingsan seperti sedia kala,” sahutnya, “rupanya goncangan dijalan tadi sama

sekali tidak menyebabkan dia menjadi sadar kembali.”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

140

“Eeeh…… jangan-jangan isi perutnya terluka parah, makanya dia tak sadarkah diri sampai kini?”

tiba-tiba seorang pemuda kekar beralis tebal bermata besar yang ada dibela kang menimbrung.

“Aaah, tak mungkin,” kata seorang pemuda jangkung dengan mata yang jeli di sisi pemuda tadi,

“coba kau lihat air muka Hoa kongcu tetap segar dan napasnya teratur bukan begini macam

orang yang terluka parah isi perutnya.”

Pemuda bermuka persegi yang berjidat lebar disamping mereka menyela pula dengan cepat,

“Huuss, kalian jangan ngawur seenaknya, itulah tanda-tandanya orang yang tertotok jalan

darahnya, saudara Ek-hong Cepat baringkan Hoa kongcu di kursi, kita periksa lagi keadaannya

dengan lebih teliti, siapa tahu kalau kita temukan tanda-tanda lain yang bisa kita jadikan

petunjuk? “

Diiringi pelbagai suara yang mengemukakan pendapatnya, pemuda-pemuda itu mengiringi

“saudara Ek-hong” masuk ke ruang tengah, Ek-hong membaringkan tubuh Hoa ln- liong diatas

sebuah meja besar, kemudian sambil menyeka peluh yang membasahi jidatnya dia berkata,

“Menurut pendapat siau-te, kemungkinan besar Hoa kongcu telah dicekoki sejenis obat yang

hebat sekali daya kerjanya.”

“Aaaah…. masuk diakal!” teriak pemuda kekar yang ada disampingnya sambil bertepuk tangan,

“hahaha….haaaahhh……haaaahhh… memang harus diakui, diantara kita berlima, ilmu silat

saudara Ek-hong lah yang paling tinggi, andaikata cuma jalan darahnya yang tertotok saudara

Ek-hong tentu akan mengetahuinya, betul Aku yakin delapan puluh persen Hoa kongcu sudah

dicekoki obat racun yang lihay”

“Cong-gi te jangan berkaok-kaok macam kunyuk penasaran,” tegur Yu Siau-lam dengan dahi

berkerut, “bagaimanapun toh sebentar lagi ayahku bakal sampai disini. asal ayahku tiba, semua

persoalan akan beres dengan sendirinya.”

Sementara itu seorang pelayan masuk ke dalam ruangan dengan membawa sebuah baki, di atas

baki terletak beberapa cawan air teh panas.

“Letakkan air teh itu dimeja, dan cepat lapor kepada lotay-ya!” seru Yu Siau-lam sambil ulapkan

tangannya, “katakan kalau Hoa kongcu dari perkampungan Liok-soat-san-ceng berada dalam

keadaan pingsan, kini berada diruang depan, harap Lotay-ya cepat-cepat datang kemari, minta

agak cepatan sedikit.”

“Baik” pelayan itu mengiakan, setelah meletakan baki air teh ke atas meja, dia lari keluar dari

ruangan.

Sepeninggal pelayan itu, Yu Siau-lam memandang sekejap- kearah Hoa In-liong tiba-tiba ia

menghela napas panjang.

“Aaai….. saudara-saudaraku dan sobat-sobatku menghargai diriku sebagai Say-beng-siang (Beng

siang sakti), tapi kalau kutinjau dari keadaan yang kuhadapi sekarang, yaa… sekalipun tak

sampai mengganggu khalayak umum sebetulnya julukanku itu terlalu berlebihan”

“Hey, saudara Siau-lam Kenapa tiba-tiba kau berkeluh kesah?” tegur cong-gi si pemuda kekar

beralis tebal itu sambil berkenyit, “Kim-leng ngo kongcu (lima tuan muda dari kota Kim-leng)

adalah saudara angkat yang saling hormat menghormati, cinta mencintai, siapa yang tak tahu

kalau kita adalah sahabat karib? orang bilang daripada punya satu sahabat, lebih baik punya tiga

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

141

teman, apa salahnya kalau kita punya banyak sahabat? Kan banyak teman banyak pula

faedahnya.”

Perlu diterangkan disini, saudara Cong-gi itu bernama Coa Cong-gi, saudara Ek-hong bernama

Wan Ek-hong, pemuda yang bertubuh jangkung tadi bernama Li Pa-se sedang yang berwajah

persegi itu bernama Ko siong-peng, ditambah Yu Siau-lam seorang mereka disebut Kim-leng-ngo

kongcu lima tuan muda dari kota Kim-leng.

Kelima orang itu semuanya merupakan keturunan dari keluarga persilatan, usia mereka hampir

sebaya, jiwa dan semangat mereka sama-sama gagahnya, berjiwa pendekar dan suka menolong

yang lemah menindas yang kuat.

Dihari-hari biasa mereka paling suka berpesiar ke tempat yang indah dan minum arak menikmati

hidup, apalagi ilmu silat yang mereka miliki sangat lihay, bukan saja banyak teman bahkan sering

kali suka mencampiri urusan orang lain.

Sebab itulah hampir setiap penduduk kota itu mengenal siapakah Kim-leng-ngo kongcu, sebagai

pemuda-pemuda yang gemar nama besar, tentu saja tindak tanduk mereka semakin dipelihara.

Tapi sekarang, tiba-tiba saja Yu Siau-lam berkeluh kesah, bukan saja Coa Cong-gi seorang yang

dibuat keheranan, rekan-rekan yang lainpun sama-sama memandang rekannya dengan muka

tertegun, mereka ingin tahu apa sebabnya saudara tua mereka ini berkeluh-kesah. Yu Siau-lam

menjawab..

“Yaa. dalam hal ini tak aneh kalau saudara Cong-gi merasa tercengang,” katanya, “malahan aku

sendiripun merasa sedikit bingung dan tak habis mengerti. Aai, bagaimanapun juga, dihari-hari

biasa aku memang terlalu suka bermain sehingga menghadapi urusan serius seperti hari ini tibatiba

saja sikapku jadi gugup dan gelagapan, tidak pantaskan kalau aku selalu menggantungkan

kemampuan ayahku?”

“Oooh…. jadi maksud saudara Siau-lam, dimasa lalu kau hanya tahu bermain dan menghamburhamburkan

waktu, sehingga kepandaian dari empek Yu tak dapat kau warisi dengan sempurna?”

tanya Po-seng, si anak muda yang jangkung itu dengan dahi berkerut. Yu Siau-lam mengangguk.

“Konon kepandaian ayahku dalam soal ilmu pertabiban dan kepandaian mengenali racun,

memunahkan racun, kecuali masih kalah bila dibandingkan dengan kemampuan dari Kiu-toksian-

ci yang bercokol di wilayah Biau, boleh dibilang di dunia saat ini tak ada yang bisa

menandingi lagi tapi siau-te….yaa, siau-te paling banter cuma berhasil mempelajari sedikit kulit

luar dari kepandaian ayahku, tidak pantaskah kalau hatiku jadi risau karena soal ini? Tidak

seharuskah aku berkeluh kesah?”

Coa Cong-gi yarg kekar dan berotot adalah pemuda kasar yang selamanya tak mau berpikir

dengan otaknya, mendengar perkataan itu sontak dia menjawab, “Aaaah, kalau cuma soal itu

apa susahnya? saudara Siau-lam tak usah berkeluh kesah lagi, aku lihat usiamu juga masih

muda, kalau ingin belajar dengan tekun, sekarang toh masih belum terlambat?”

Yu Siau-lam kembali tertawa getir.

“Tak salah memang ucapan itu, belum terlambat bila aku ingin belajar mulai sekarang, tapi

bagaimana dengan keadaan Hoa kongcu ini? seandainya dia sampai terjadi sesuatu, kendatipun

dikemudian hari ilmu pertabibanku lihay, lalu apa gunanya? Akhirnya toh siau-te harus

menanggung rasa menyesal sampai akhir hayat?”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

142

Coa Cong-gi melotot besar-besar.

“Apa?” teriaknya dingin dan cemas bercampur kaget, “maksudmu Hoa kongcu…”

“Engkau toh bisa melihat sendiri keadaan Hoa kongcu pada saat ini?” tukas Yu Siau-lam sambil

tertawa getir, “coba lihatlah, keadaannya seperti terluka parah tapi tidak terluka, seperti

keracunan tapi bukan keracunan, kalau dibilang jalan darahnya yang tertotok, kita tak tahu jalan

darah yang manakah yang telah tertotok, bila kita abaikan kesempatan yang sangat baik ini

untuk mengobati lukanya, kalau sampai terjadi apa-apa atas dirinya, bukankah kita semua akan

menyesal sampat akhir hayat? sebaliknya bila aku sudah berhasil menguasai ilmu pertabiban dari

ayahku, sekalipun mungkin sikapku masih kelabakan, toh perasaan hatiku jauh lebih baikan

daripada sekarang. Adik Cong-gi, ketahuilah pada saat ini aku bukan lagi berkeluh-kesah,

hakekatnya aku sedang menyesal, menyesal kenapa tidak sedari dulu baik-baik mempelajari ilmu

pertabiban tersebut dari ayahku.”

Ketika perkataan itu berakhir, tanpa terasa semua orang mengalihkan sinar matanya ke atas

wajah Hoa In-liong, tampaklah air mukanya masih tetap segar seperti sedia kala, napasnya

sangat teratur dan gejala macam begini memang bukan gejala dari orang yang keracunan atau

menderita luka dalam yang parah, karenanya kelima orang pemuda dari Kim-leng itupun berdiri

membungkam dengan dahi berkerut. selang sesaat kemudian, tiba-tiba Coa Cong-gi berseru

dengan suara lantang, “Saudara Siau-lam, kalau dibicarakan lagi, kesemuanya ini adalah

salahmu, mengapa pada saat itu tidak kau tanyakan duduknya persoalan kepada Cia In sampai

jelas?”

“Aaai memangnya Cia In bersedia untuk memberi keterangan kepada kita? selain itu yaaa, waktu

itu aku sendiripun sedang gelisah bercampur panik, tak sampai pikiranku untuk berpikir sampai

kesitu.”

“Huuuh, dengan andalkan apa dia berani tak menjawab?”

Coa Cong-gi masih juga melotot dengan mata mendelik, “Hmm….. sekarang juga aku akan ke

sana untuk bertanya kepadanya.”

Dengan langkah lebar dia beranjak dari tempatnya semula dan melangkah ke pintu luar. Ko

siong-peng cepat melangkah ke depan menghadang jalan perginya.

“Kau tak usah cari tahu,” katanya “Hoa kongcu toh berhasil kita rampas dari tangannya? Itu

berarti pada saat ini kita berhadapan sebagai musuh dengannya tak nanti perempuan itu

bersedia untuk memberi keterangan kepada kita-kita.”

“Hmm…… Masa dia berani membungkam?” dengus Co Cong-gi dengan rasa penasaran.

Dia ingin melewati Ko siong-peng dan keluar dari ruangan itu, tapi baru beberapa tindak ia

berjalan, tiba-tiba terdengar suara yang serak-serak tua berkumandang dari ruangan belakang,

“Anak Lan, bagaimana keadaan Hoa kongcu?”

Berbareng dengan berkumandangnya ucapan tadi, dari balik pintu masuklah seorang kakek yang

berjenggot panjang berambut putih, dibelakangnya mengikuti seorang bocah laki-laki yang

membawa kotak berisi obat-obatan.

Kakek itu bernama Kanglam Ji-gi (Tabib sosial dari Kang- lam) Yu siang-tek. dia tak lain adalah

ayah Siau-lam seorang dermawan yang paling dikagumi dikota Kim-leng.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

143

Coa Cong-gi segera membatalkan niatnya untuk keluar, bersama Yu Siau-lam sekalian mereka

sambut kedatangan kakek itu.

“Orang ini mirip sekali dengan Hoa tayhiap.” kata Yu Siau-lam menerangkan “ananda rasa

tentulah dia adalah putranya Hoa tayhiap.”

Sementara itu si Tabib sakti dari Kanglam telah melihat tubuh Hoa In-liong yang berbaring

dimeja, dia ulapkan tangannya dan menghampiri meja tersebut. “Apakah selama ini dia pingsan

terus?” tanyanya kemudian.

“Benar ayah, sampai sekarang dia tak sadarkan diri terus”

Kanglam Ji-gi menghampiri anak muda itu, dengan dahi berkerut diamatinya roman mukanya lalu

dia bergumam, “Dilihat dari roman mukanya, dia mirip sekali dengan Hoa tayhiap. tapi alis

matanya, bibirnya dan hidungnya mirip Pek hujin, aku rasa dia tentulah Ji kongcu dari keluarga

Hoa.”

Kakek itu membungkukkan badannya memeriksa lidah dan kelopak mata Hoa In-liong kemudian

mencekal urat nadinya dia memeriksa denyutan jantung anak muda itu.

Tiba-tiba paras muka kakek itu kian lama berubah kian serius, kurang lebih setengah perminum

teh kemudian cengkeramannya pada nadi anak muda itu baru dilepaskan.

“Hoa kongcu telah dicekoki obat pemabok,” katanya kemudian, jalan darah Ci-kan-hiat nya

belum lama tersumbat”

Tiba-tiba ia berpaling, ditatapnya Yu Siau-lam tajam-tajam kemudian bertanya, “Anak lam, dari

mana engkau temukan Hoa kongcu ini?”

” Waktu itu ananda sedang berpesiar diluar kota sebelah barat, ketika tiba diluar pintu sui-seebun,

kami telah bertemu dengan telah bertemu dengan…”

Cia In adalah seorang pelacur kenamaan, tentu saja anak muda itu jengah untuk menerangkan

hubungannya selama ini dengan seorang pelacur, tak heran kalau dia jadi gelagapan di hadapan

ayahnya dan tak mampu melanjutkan keterangannya

“Anak lam, kalau bicara kenapa musti ragu-ragu?” tegur tabib sosial itu dengan alis berkenyit,

“kau telah berjumpa dengan siapa? Ayoh lanjutkan keteranganmu itu.”

Yu Siau-lam tersipu-sipu, namun dia tahu tak mungkin keterangan tersebut dirahasiakan terus,

akhirnya sambil tebalkan muka ia terangkan semua yang dialaminya diluar pintu Sui-see-bun

tadi.

Ketika selesai mendengarkan penuturan itu, Si tabib sosial dari Kanglam sama sekali tiada

maksud untuk menegur putranya, dengan tenang diamatinya wajah Hoa In-liong tajam-tajam,

seakan-akan ada satu persoalan yang sedang dipikirkannya persoalan apakah itu? Tak

seorangpun tahu.

Bukan saja Kim-leng Ngo kongcu tak berani bergerak. bahkan sibocah laki-laki yang membawa

kotak obat pun tak berani menghembuskan napasnya terlalu keras, mereka kuatir suara-suara

yang mereka timbulkan akan mengganggu jalannya pikiran Kanglam Ji-gi, otomatis suasana

dalam ruang tengah itupun jadi sunyi sepi dan tak terdengar sedikit suarapun, semua orang

menanti dengan hati yang tegang dan detakan jantung berdebar dengan kerasnya.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

144

Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya si Tabib sosial dari Kanglam itu berseru tertahan sambil

manggut-manggut.

“Oooh kiranya begitu,” gumamnya, “aku mengerti ehm, aku sekarang sudah mengerti suatu

kepandaian yang sakti, hebat dan di luar dugaan… sungguh mengagumkan.”

Berbicara sampat disitu dia lantas membungkukkan badannya dan pelan-pelan mengangkat

batok kepala Hoa In-liong kemudian dengan hati-hati dirabanya jalan darah Giok-tin hiat di

bagian belakang batok kepala itu.

Tiba-tiba wajahnya berseri, serta-merta digendongnya tubuh Hoa In-liong dari atas meja.

“Aaai… Hoa kongcu memang rejeki besar dan bernasib baik.” katanya “sekalipun dia sudah kalian

bawa lari naik kuda, kemudian dilempar kesana kemari, toh jarum perak pembingung sukma

yang menancap diatas jalan darah Giok-tin-hiatnya sama sekali tak bergeser, anak lam Kalian

semua ikutilah diriku.”

Dengan sikap yang amat berhati-hati ia berlalu dari ruangan itu dan menuju ke belakang.

Kim leng ngo kongcu saling berpandangan dengan hati terperanjat, dengan mulut membungkam

mereka mengikuti dibelakangnya dengan langkah lebar..

Setelah melewati beranda, si tabib sosial dari Kanglam kembali berkata, “Aku lihat Hoa kongcu

mempunyai kondisi badan yang istimewa sekali, tampaknya obat pemabok sama sekali tidak

bereaksi apa-apa atas dirinya, aku pikir asal jarum perak itu sudah dicabut niscaya keadaannya

akan pulih kembali seperti sedia kala, anak Lam Kau berangkatlah lebih duluan dan beri kabar

kepada ibumu, kemudian datanglah ke kamar baca, aku ada persoalan yang hendak dibicarakan

dengan kalian”

Setelah mendengar perkataan itu, semua orang merasa hatinya jadi lega, Yu Siau-lam pun

mengiakan dan masuk ke ruang paling belakang lebih dahulu.

Selang sesaat kemudian, si Tabib sosial dari Kanglam telah membawa empat orang kongcu lain

nya masuk ke ruang baca.

Ruangan baca itu sangat bersih dan semua perabotnya diatur sangat rapi dan terawat, di sudut

ruangan dekat jendela membujur sebuah pembaringan, dia membaringkan Hoa In-liong diatas

pembaringan tersebut, setelah mengambil kotak obatnya dari tangan bocah laki-laki itu, ia

siapkan barang-barang yang dibutuhkan, lalu mulai mencabut jarum perak itu.

Kendatipun sumber penyakitnya sudah ketahuan, ternyata untuk mencabut jarum perak itu

bukanlah suata pekerjaan yang gampang.

Ketika obat-obatan yang diperlukan sudah siap, si Tabib sosial dari Kanglam meletakkan telapak

tangan kanannya diatas jalan darah Leng-tay-hiat dari Hoa In-liong, sementara tangan kirinya

mencekal sebuah besi semberani, besi magnit itu tertuju diatas jalan darah Giok tin-hiat

dibelakang batok kepala, kemudian ditekannya besi magnit itu pelan-pelan ditempat yang

tertuju.

Selang sesaat kemudian, besi magnit itu lambat-lambat ditariknya ke atas, semua orang lantas

melihat bahwa diatas besi magnit tadi tertempel sebatang jarum perak kecil yang lembut dan

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

145

panjangnya setengah inci, setelah membuang jarum tadi, diapun mengambil sebuah bungkusan

berisi bubuk obat warna kuning dan dibubuhkan disekitar lubang jarum tadi.

Semula dari bekas lubang jarum itu meleleh darah kental, tapi sesudah dibubuhi bubuk obat

warna kuning tadi, darah itupun menggumpal dan berhenti meleleh.

Operasi itu tampaknya sederhana dan tidak makan banyak waktu, namun repotnya bukan

kepalang, ketika tugas itu telah selesai, keadaan si Tabib sosial dari Kanglam ibaratnya orang

yang baru saja melangsungkan suatu pertarungan sengit, peluh sebesar kacang kedelai

membasahi jidatnya, malahan empat orang kongcu yang mengikuti jalannya operasi pertolongan

itupun ikut tegang dan berdiri dengan jantung berdebar keras. selesai membubuhi obat di mulut

luka, Tabib sosial itu menghembuskan napas panjang.

“Huuh….. Untung, sungguh beruntung andaikata sedikit saja miring ke samping, niscaya

sepanjang hidup aku Yu siang-tek akan menanggung penyesalan yang tak terkirakan,”

gumamnya.

“Pek-hu!” Coa Cong-gi yang kasar dan tak pernah pakai otaknya itu tiba-tiba menyela, “aku lihat,

mencabut jarum perak dengan magnit bukanlah suatu pekerjaan yang merepotkan.”

“Aaaai, dasar bocah, dasar bocah, pendapatnya selalu memang lucu dan menggelikan.”

Tabib sosial dari Kanglam gelengkan kepalanya berulang kali, dibereskannya alat-alat

pengobatan nya dan diserahkan kepada bocah laki-laki itu, kemudian dengan wajah bersungguhsungguh

dia melanjutkan, “Ketahuilah nak, jalan darah giok-tin-hiat merupakan salah satu jalan

darah kematian dari tiga puluh enam buah jalan darah yang berada di tubuh manusia, jalan

darah itu merupakan pintu gerbang dari Ni-wan, kunci utama dari pusat, tok-meh dan jalan

penembus dari tiga belas urat penting lainnya, coba bayangkan betapa pentingnya kedudukan

jalan darah tersebut? Mana aku boleh bertindak main-main? Aku merasa tenaga dalamku tak

mampu untuk menghisap keluar jarum perak itu dari dalam badan, maka terpaksa harus kubantu

dengan besi magnit, sekalipun demikian bahaya dan resikonya tetap sangat besar.”

“Apa resikonya?” kembali Coa Cong-gi bertanya keheranan.

“Resikonya? Aaai.. Coba bayangkan saja daya tarik yang terpancar dari besi magnit terletak di

seluruh permulaan besi itu. padahal untuk menghisap keluar jarum peraknya, maka jarum itu

harus keluar dari lubang luka yang sebenarnya, bukan saja cara kerja kita harus tenang, mantap

dan lurus, bahkan sedikit saja menggetarkan jarum perak itu akan segera mengakibatkan luka

pada urat syarafnya, kau tahu apa akibatnya jika urat syaraf seseorang terluka andaikata tidak

tewaspun akan lumpuh selama hidupnya, bayangkan sendiri besar atau tidak resikonya?”

Sekarang semua orang baru mengerti mengapa si Tabib sosial dari Kanglam harus bekerja

dengan begitu tegap, kaku, hati-hati dan bersungguh-sungguh, ternyata resikonya luar biasa

besarnya.

Lebih-lebih Coa Cong-gi, dia sampai terbelalak lebar-lebar dengan mulut melongo, kadet dan

ngerinya bukan kepalang.

“Aduuuh mak. jadi resikonya sebesar itu?” serunya sambil menjulurkan lidah, “tak heran kalau

empek sampai bermandikan keringat”

Kanglam Ji gi tersenyum.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

146

“Untunglah urusan sudah lewat, sekarang keadaan Hoa kongcu sudah tidak merisaukan lagi

seperti tadi!” serunya.

Setelah berhenti sejenak, ia memandang sekejap empat orang pemuda yang berada di

depannya, kemudian katanya lebih jauh, “Keponakanku semua, duduklah Ada sesuatu persoalan

yang selama ini mengganjal dalam hatiku, menggunakan kesempatan yang baik ini hendak

kubicarakan persoalan itu dengan kalian semua.”

Semua orang tak tahu apa yang hendak dibicarakan kakek itu, dengan pelbagai pikiran

berkecamuk dalam benak mereka, masing-masingpun mengambil tempat duduk.

Suasana hening untuk sesaat, dari luar ruangan tiba-tiba terdengar suara tongkat membentur

lantai, mula-mula suara itu kedengaran masih jauh tapi sesaat kemudian sudah berada di depan

ruangan.

Kanglam Ji-gi lantas berpaling kepada bocah laki-laki itu seraya berkata, “Hujin telah datang,

pergilah suruh orang siapkan sayur dan arak, menanti Hoa kongcu telah sadar nanti, siapkan

meja perjamuan untuk menghormatinya.”

“Baik…” bocah laki-laki itu mengiakan dan mengundurkan diri dari ruangan itu.

Yu Siau-lam dengan menemani ibunya masuk ke dalam kamar baca, empat kongcu lainnya cepat

berdiri dan menyambut kedatangan pe-bo mereka.

Yu lo-hujin melirik sekejap ke arah Hoa In-liong yang masih belum sadar itu setibanya dalam

kamar lalu kepada suaminya ia bertanya, “Lo-yacu, keadaan Hoa kongcu tidak menguatirkan

bukan?”

Nyonya tua ini rambutnya telah beruban semua, pada dadanya tergantung sebuah tasbeh,

sedang ditangan kanannya memegang sebuah tongkat berukir naga, sekilas pandangan orang

akan merasa bahwa tongkat itu berat sekali, ditambah pula sinar matanya sangat tajam,

siapapun akan tahu bahwa nenek tua ini memiliki ilmu silat yang tinggi.

“Keadaan Hoa kongcu sudah tidak menguatirkan lagi,” sahut Kanglam Ji-gi cepat, “jarum perak

itu telah kucabut keluar, sepertanak kemudian dia pasti akan sadar kembali, Hujin, silahkan

duduk Menggunakan kesempatan yang sangat baik ini aku hendak bercakap-cakap dengan anak

Lam sekalian.

“Apa yang hendak dibicarakan?” sambil bertanya Yu lo-hujin mengambil tempat duduk “apakah

menyangkut perbuatan anak Lam yang suka bermain perempuan ditempat luaran?”

“Persoalan main perempuan akan dibicarakan, urusan lainpun akan sekalian dibahas”

Jilid 08

TABIB tua itu berpaling ke arah putranya, kemudian ujarnya lebih lanjut dengan wajah serius,

“Anak Lam selama ini aku tak pernah memaksa kau berlatih silat, tak pernah paksa kau belajar

ilmu pertabiban. Sebaliknya membiarkan engkau mencari teman, bahkan mabok-mabokan dan

bermain pelacur dirumah bordil, tahukah engkau aku tidak menghalangi semua perbuatan itu?”

Merah padam selembar wajah Yu Siau-lam karena, jengah. “Sebodoh-bodohnya ananda rasanya

ananda masih dapat meraba maksud ayah yang sebenarnya,” dia menjawab, “Mungkin hal ini

dikarenakan kita keluarga Yu adalah keluarga persilatan, maka kita tak boleh lupa pada asalnya.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

147

Mencari beberapa orang sahabat, membantu orang menyelesaikan kesulitan, aku rasa

perbuatan-perbuatan semacam ini hanya ada manfaatnya dan tak akan mendatangkan kerugian,

bukan begitu ayah?”

Kanglam Ji-gi mengangguk. “Walaupun tidak terhitung mendatangkan manfaat, juga tak sampai

mendatangkan kerugian. Justru “tidak melupakan asal” itulah yang paling tepat, hanya

keteranganmu saja yang kurang cocok. Ketahuilah, dunia persilatan pada hakekatnya adalah

sumber dari segala bencana. Tempat semacam itu tidak pantas untuk di kenang, sedangkan

mengenai menolong kaum lemah merupakan kewajiban dari setiap manusia di dunia ini.

Sekalipun kita tidak melakukannya, orang lain tentu akan melaksanakannya. Jadi perbuatan

semacam itu hakekatnya tidak cocok dengan maksudku yang sebenarnya.”

“Oooh…. Ananda sekarang mengerti, seperti telah memahami sesuatu, Yu-Siau-lam berseru.

“Ayah sengaja memberi kebebasan kepada ananda, tak lain tak bukan adalah berharap agar kita

jangan melupakan budi kebaikan dari Hoa tayhiap, betulkan?”

Kata-katanya itu sebetulnya sangat tak masuk diakal, bahkan boleh dibilang bertolak belakang.

Bayangkan saja memberi kebebasan kepada putranya dengan tujuan agar jangan melupakan

budi kebaikan dari seseorang, bukankah itu merupakan sesuatu lelucon yang menggelikan?

Tapi apa yang terjadi? Ternyata dugaan Yu Siau-lam itu tepat sekali…..

“Anak Lam, kau memang cerdik, memang itulah jalan pikiran ayahmu!” puji Kanglam Ji-gi sambil

manggut-manggut, mukanya jelas bercermin rasa kagumnya.

Semua orang mengerutkan dahinya setelah mendengar perkataan itu. Memang keterangan

tersebut cukup membuat orang jadi bingung dan tak habis mengerti.

“Loya-cu!” Yu Lo-hujin segera menyela, “Perkataanmu barusan sungguh membuat aku si nenek

tua jadi bingung dan tak habis mengerti. Budi kebaikan yang pernah diberikan Hoa tayhiap

kepada kita tentu saja tak boleh kita lupakan. Cuma sayang selama ini belum ada kesempatan

untuk membalasnya, maka terpaksa aku si nenek tua memelihara lukisan dari Hoa tayhiap dan

ibunya. Dan tiap pagi dan malam berdoa bagi keselamatan serta kesejahteraan hidupnya. Dan

kenyataannya, kau memanjakan anak Lam, memberi kebebasan kepada anak Lam, tak pernah

menggembleng anak Lam, mencapai kemajuan. Perbuatanmu itu sudah merupakan kesalahan

besar. Sekarang kau melimpahkan pula semua kesalahan itu keatas badan Hoa tayhiap,

apakah….. apakah itu bukan namanya dosa besar… pikirlah!”

Terbahak-bahak Kinglam Ji-gi mendengar ucapan istrinya. “Hujin…. Oooh….. Hujin….. Haaaaa……

haaaaa……. haaa…… kau anggap anak Lam adalah seorang bocah yang tak ingin mendapat

kemajuan bagi kemampuannya?” ia bertanya.

Yu Lo-hujin tertegun, ia memandang sekejap ke arah putranya lalu berkata lagi, “Eeeh….

Sebenarnya apa yang hendak kau katakan? Kenapa tidak kau katakan saja terus terang? Kalau

begini caramu berbicara dan berbelok-belok dulu kesana kemari, aku bisa kebingungan akhirnya

kau buat!”

“Baik! Baik! Aku akan berbicara secara blak-blakan…..” kata tabib tua itu sambil mengangguk.

Dia melirik sekejap ke arah Hoa In-liong, setelah itu membuka telapak tangannya dan

menimang-nimang jarum perak lembut yang berhasil dihisap keluar tadi, katanya lebih lanjut,

“Silihkan hujin periksa, jarum perak ini berhasil kuhisap keluar dari dalam jalan darah ‘hiok-tinhiat’

dibelakang batok kepala Hoa kongcu, coba lihatlah dengan seksama!”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

148

Yu Lo-hujin menerima jarum itu kemudian diperiksanya sejenak, setelah itu baru ujarnya, “Aku

lihat diujung jarum perak ini masih tersisa sedikit bubuk obat pemabok, kenapa? Apakah

duduknya persoalan serius sekali?”

“Aaai…..? Tampaknya persoalan yang selama ini selalu kukuatirkan, kini agaknya sudah hampir

meletuk!”

“Apa?” teriak Yu Lo-hujin sangat terkejut, “Maksudmu dunia persilatan bakal menjadi

kekacauan?”

Dengan sedih Kanglam Ji-gi mengangguk.

“Kalau sudah lama kacau dunia akan menjadi tenang, kalau sudah lama dunia tenang maka itu

berarti akan terjadi kekacauan. Sejak Hoa tayhiap berhasil lenyapkan hawa siluman dari muka

bumi, sejak terbasmi dan tersingkir dari dunia kangouw, apakah kau kira siluman-siluman yang

lolos dari jaring tempo hari dan pentolan-pentolan liok-lim yang sukar ditundukkan dulu bersedia

takluk sepanjang masa? Aaaai…..! Dunia akan selalu berputar, sejarah selalu akan berubah.

Hanya tak kusangka kalau bencana kali ini bakal datang dengan begitu cepatnya.”

Yu Lo-hujin tertegun, lama sekali dia membungkam, tapi akhirnya dia coba menghibur diri

sendiri, “Oooh….. loya-cu mungkin engkau merasa risau yang berlebih-lebihan!”

“Selama hidup aku selalu gembira dari pasrah tak pernah kualami kerisauan yang berlebihlebihan”

kata Kanglam Gi-ji. “Sejak diadakannya penggalian harta karun dibukit Kiu-ci-san, berkat

di kebaikan dari Hoa tayhiap, perguruan yang sudah lenyap dan berhubung aku gemar ilmu

pertabiban dan obat-obatan, secara khusus Hoa tayhiap menghadiahkan pula sejilid kitab Hoatuo

Cin-keng kepadaku. Kesemuanya itulah membuat aku berhasil mendapat sedikit kemajuan

seperti yang kumiliki sekarang. Aaaai….. Justru karena aku terlalu gembira dan pasrah, akupun

sangat menaruh perhatian atas tindak tanduk Hoa tayhiap. Maka dalam pengamatanku waktu itu

selalu kurasakan bahwa watak Hoa tayhiap terlalu jujur, baik dan berbudi luhur, bencana yang

tak dibasmi sampai ke akar-akarnya, bila angin musim semi berhembus lewat, tentu akan

tumbuh kembali bibit baru. Karena peristiwa inilah beberapa tahun belakangan ini tiap saat selalu

kukuatirkan keselamatan jiwanya.”

Rupanya Kanglam Ji-gi dahulunya adalah seorang tianglo dalam perguruan Thian-tay-pay. Sejak

penggalian harta karun dibukit Kiu-ci-sau dan berhasil mendapat kembali kitab pusaka

perguruannya, diserahkan kembali kitab itu kepada ketuanya. Lalu karena wataknya suka hidup

sepi menyendiri, ia berpamit dengan ciangbunjinnya dan menetap dikota kim-leng dengan hidup

sebagai seorang tabib. Akhirnya menjadi seorang tabib kenamaan. Setiap penduduk kota Kimleng

rata-rata mengetahui bahwa dia adalah seorang yang sangat baik.

Sungguh tak disangka sama sekali karena rasa berterima kasihnya atas budi kebaikan yang

pernah dilakukan Hoa Thian-hong kepadanya, diam-diam diapun memperhatikan setiap gerakgerik

dalam dunia persilatan, boleh dibilang perbuatannya ini mengandung maksud yang amat

mendalam. Maka dari situ, setelah si Tabib Sosial dari Kanglam menerangkan sampai disitu,

hampir semua orang mengetahui garis besar duduknya persoalan.

Coa Cong-gi memang orangnya kasar dan tak mau pakai otaknya untuk berpikir, namun itu

bukan berarti dia bodoh, ketika Kanglam Ji-gi menyelesaikan kata-katanya, dia lantas berseru

tertahan. “Oooh……. aku mengerti sudah sekarang” Serunya. “Jadi empek memberi kebebasan

kepada kita untuk makan minum dan berpesiar tanpa dikekang, tujuannya tak lain adalah suruh

kami memperhatikan gerak-gerik serta situasi dalam dunia persilatan?”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

149

“Tujuan kaum siluman, iblis dan pentolan bajingan adalah membuat kekacauan. Kalau hanya

memperhatikan saja sama sekali tak ada gunanya,” kata Kanglam Ji-gi. “Untuk itu kalian harus

belajar sedikit-sedikit hingga akhirnya merupakan kebiasaan dan tidak meninggalkan jejak.

Dengan begitu baru ada hasil yang kita peroleh. Misalnya saja dengan peristiwa perempuan yang

bernama Cia In itu, jikalau di hari-hari biasa kalian tidak melakukan pergaulan hingga terbiasa,

mungkinkah kamu semua berhasil menolong Hoa kong-cu?”

Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya lebih jauh, “Tapi aku percaya, kalian semua

adalah anak baik-baik, sekalipun tak pernah terkekang di hari-hari biasa, kalian cukup

mengetahui diri. Karenanya akupun dengan hati lega membiarkan kalian pergi dengan bebas!”

Merah padam wajah keempat orang kongcu lainnya karena jengah.

Wan Ek-hong cepat menyela, “Jika dugaan keponakan tak meleset, rupanya empek masih

mempunyai pesan lain bukan?”

Kanglam Ji-gi manggut-manggut sambil tersenyum. “Ek-hong, kau memang sangat cerdik. Benar

aku memang mempunyai dua maksud dengan perbuatan demikian. Pertama agar kalian banyak

melakukan pergaulan sehingga cakup memahami perubahan yang terjadi dalam dunia persilatan.

Kedua agar kalian banyak mempunyai teman, sehingga bila terjadi suatu peristiwa, kamu semua

dapat membantu Hoa tayhiap melakukan suatu usaha besar. Tentu saja semua perbuatanku ini

tak lain adalah membalas budi kebaikan Hoa tayhiap pada khususnya. Selain itu akupun

menguatirkan kepentingan umat persilatan pada umumnya. Tentunya kalian tidak menyalahkan

diriku bukan?”

“Haaaa…..! Inilah tugas baik yang diberikan pek-hu kepada kita semua, siapa yang berani

menyalahkan? Hmn….. Siapa berani menyalahkan, akulah yang pertama-tama akan putuskan

semua hubungan dengannya!” teriak Coa Cong-gi dengan suara lantang.

Wan Ek-hong, Li Po-seng dan Ko Sieng-peng juga ikut berseru hampir berbareng, “Perkataan

adik Cong-gi memang benar. Inilah tugas baik yang pek-hu berikan kepada kami. Tujuan pek-hu

ibaratnya sang surya diangkasa. Tentu saja tak ada yang menyalahkan, apalagi dapat membantu

Hoa tayhiap membasmi kaum iblis dan hawa sesat serta melakukan usaha besar adalah cita-cita

kami semua. Dengan berbuat demikian kami tak akan sampai menyia-nyiakan kasih sayang pekhu

selama ini kepada kami…..”

Belum habis ucapan tersebut, Kanglam Ji-gi sudah tertawa terbahak-bahak dengan nyaringnya.

“Haaaa….. haaaa……. haaaa…… Bagus, bagus sekali! Kalau keponakan semua dapat

membedakan mana yang salah mana yang benar, hatiku pun akan jadi tenteram rasanya.”

Yu Lo-hujin yang selama ini membungkam, tiba-tiba mengayunkan jarum perak ditangannya itu

dengan kening berkerut. “Loya-cu!” tukasnya, “Apakah kemurunganmu itu bersumber dari jarum

perak ini?”

Kanglam Ji-gi berpaling dan mengangguk. “Benar, jarum perak itulah penyebab kemurunganku

selama ini. Bayangkan saja hujin, perempuan she Cia itu pandai sekali menyembunyikan

jejaknya. Bukan saja dia rela menjadi pelacur bahkan memiliki pula ilmu silat yang tinggi. Ditinjau

pula obat pemabok yang dipoleskan di ujung jarum perak ini, serta caranya menusuk jalan

darah, lalu meninjau pula sasarannya adalah keturunan dari Hoa tayhiap, jika kita gabungkan

semua masalah itu menjadi satu, bukankah itu memberi isyarat kepada kita bahwa dunia

persilatan telah menjadi perubahan besar?”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

150

Yu Lo-hujin berpikir sebentar, sementara dia akan mengucapkan sesuatu, tiba-tiba Hoa In-liong

yang ada diatas pembaringan telah rnenggerakan tubuhnya.

Cepat-cepat Kanglam Ji-gi berseru, “Hujin, tunggulah sebentar, lebih baik kita tanyakan duduk

persoalan yang sebenarnya kepada Hoa-kongcu.”

Dia bangkit lalu menghampiri sianak muda itu. Hoa In-liong sudah duduk diatas pembaringan.

Terdengar ia mengeluh, “Aduuh….. Sesak amat napasku……!”

Kanglam Ji-gi lantas menggulur tangan kirinya dan membimbing pemuda itu. “Hoa kongcu,

berbiringlah sejenak lagi……..” bisiknya.

Tiba-tiba Hoa In-liong membuka matanya lebar-lebar, dengan nada tercengang ia berseru,

“Aku…….. aku barada dimana?”

“Kongcu berada di pasanggrahan tabib di kota Kim-leng, tempat tinggal aku si orang tua.”

Hoa In-liong memandang sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya sorot matanya itu terhenti

diwajah Kanglam Ji-gi. “Lotiang, siapa kau? Siapa namamu? Boleh aku tahu?” sapanya.

“Aku bernama Yu Siang-tek, orang-orang menyebut diriku sebagai Kanglam Ji-gi, Tabib Sosial

dari Kanglam!”

“Parahkah luka yang kuderita kali ini?” Hoa In-liong bertanya lagi dengan wajah bingung.

“Tidak! Kong-cu hanya terkena suatu sistem pengendalian yang lihay, terkena jarum perak yang

dibubuhi obat pemabok.”

“Jarum perak yang dibubuhi obat pemabok?” Hoa In-liong mengerutkan dahinya rapat-rapat,

“Lotiang, katakanlah yang jelas, betulkah tempat ini adalah kota Kim-leng?”

“Benar!” Kanglam Ji-gi mengangguk tenang.

Seperti teringat akan sesuatu, tiba-tiba Hoa In-liong berseru tertahan, rupanya suatu hal telah

dipahaminya. “Aaah, sekarang aku teringat sudah kejadiannya… eeeh, dimanakah perempuan

yang bernama Cia In itu?”

“Cia In adalah pelacur dari rumah pelacuran Gi-sim-wan” hela Yu Siau-lam dari samping “tentu

saja pada saat ini……”

Belum habis ucapan itu ketika tiba-tiba Hoa In-liong meronta bangun dan meloncat turun dari

pembaringannya, “Perempuan itu bukan perempuan sembarangan serunya dengan gelisah,

Rumah pelacuran Gi-sim-wan terletak dimana? Aku harus pergi mencarinya.”

“Hoa kongcu, harap tenang dulu hatimu!” cegah Kanglam Ji-gi. “Aku tahu latar belakang dari

peristiwa ini bukanlah kejadian sederhana. Aku kuatir kalau pada saat ini perempuan tersebut

sudah tidak berada dirumah bordil Gi-sim-wan lagi.”

Hoa In-liong tertegun, sekali lagi dia menyapu sekejap semua orang yang hadir dalam ruangan

itu dan akhirnya sinar matanya itu berhenti diatas wajah Kanglam Ji-gi. “Lotiang, kau kenal aku?”

Bisiknya hampir tak percaya, “Apakah lotiang yang menolong aku sewaktu aku terkena jarum

perak yang berobat pemabuk itu?”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

151

Kanglam Ji-gi tersenyum dan mengangguk, “Ketika diadakannya operasi penggalian harta karun

dibukit Kiu-ci-san dua puluh tahun berselang, aku pernah bertemu dengan ayah ibumu. Tentang

urusan yang amat kecil ini tak perlu kongcu pikirkan selalu, apa toh artinya bantuan sekecil itu?

Oya, bagaimana keadaan Hoa kongcu sekarang? Apakah badanmu masih terasa kurang enak?”

Menyinggung sekali soal penggalian harta di bukit Kiu-ci-san, Hoa In-liong segera mengetahui

bahwa Kanglam Ji-gi adalah sahabat lama ayah ibunya. Cepat ia menjinjing bajunya dan

memberi hormat dengan penuh kesopanan. “Boanpwe Hoa In-liong, menghunjuk hormat buat Yu

locianpwe” katanya.

“Tak berani, tak berani……” Cepat-cepat Kanglam Ji-gi membalas hormat itu, “Bila Hoa kongcu

merasa ada sesuatu bagian badan yang kurang enak katakan saja terus terang! Tapi kalau

memang tak ada, aku ada beberapa persoalan yang hendak ditanyakan kepadamu.”

“Aneh benar Yu locianpwe ini,” pikir Hoa In-liong diam-diam, “kenapa sikap maupun cara berbicaranya

begitu merendahkan diri?”

Dalam hati berpikir demikian, diluaran dia menyahut, “Obat pemabok atau sebangsanya sama

sekali tidak mempan terhadap diri boanpwe, sampai sekarang boanpwe merasa tubuhku tetap

sehat dan segar seperti biasa. Bila locianpwe ingin menanyakan sesuatu, silahkan diutarakan

keluar, boanpwe pasti akan mendengarkan dengan seksama.”

“Kalau begitu bagus sekali, silahkan duduk dulu Hoa-kongcu!” kata tabib tua itu sambil tertawa.

Menyusul kejadian, diapun memperkenalkan semua orang yang hadir disana kepada Hoa Inliong,

sedang anak muda itu segera memberi hormat kepada Yu Lo-hujin dan menyapa Kim-leng

Nyo-kongcu sebelum akhirnya duduk kembali ke tempat semula.

Kanglam Ji-gi alihkan sinar matanya memandang putranya sekejap, kemudian katanya. “Anak

Lam. Coba kau ceritakan dulu kisah perjumpaanmu dengan Hoa kongcu, agar Hoa-kongcu tidak

terlampau curiga lagi.”

Waktu itu Hoa In-liong merasa amat curiga dengan keadaan sekelilingnya, ketika rahasia hatinya

itu dipecahkan orang, dia agak kikuk jadinya. “Aaiia…. agak menyesal rahasia hatiku ketahuan

juga,” batinnya didalam hati.

Yu Siau-lam sama sekali tidak memperhatikan perubahan wajah tamunya, ketika mendengar

perintah dari ayahnya, diapun menuturkan kembali kisah perjumpaannya dengan Cia In sampai

berhasil menyelamatkan anak muda itu dari tangan perempuan tersebut.

Menanti ia menutur sampai pertolongan yang diberikan di pesanggrahan tabib ini, Yu lo-hujin

segera mengacungkan jarum perak yang berada ditangannya itu sambil menambahkan,

“Tahukah Hoa kongcu kenapa selama ini jatuh tak sadarkan diri terus menerus? Itulah

disebabkan karena jarum perak yang mengandung obat pemabuk ini menancap di jalan darah

giok-tin-hiat dari Hoa kongcu.”

“Jalan darah giok-tin-hiat?” ulang Hoa In-liong sambil menjerit kaget, matanya sampai melotor

besar.

“Semua kejadian yang sudah lewat biarkan lewat” cepat Kanglam Ji gi menukas, “Tenangkan

hatimu Hoa kongcu, coba periksalah dulu apakah ada benda penting yang hilang?”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

152

Mendengar ucapan itu Hoa In-liong merasa sangat terperanjat. Kalau barang lain yang hilang,

masih mendingan. Andaikata surat pribadi dari Giok teng hujin yang dijahit dalam kutang

pelindung badannya yang lenyap, entah apa jadinya? Padahal surat itu sudah di wanti-wanti agar

jangan hilang.

Dengan jantung berdebar keras cepat ia meraba sakunya dan kaos kutang pelindung badan itu.

Untunglah kaos kutang pelindung badannya masih utuh. Tiga botol obat yang diberikan ibunya

Chin toa-hujin juga masih ada. Yang hilang cuma pedang mustika, baju yang menjadi bekalnya

serta kuda jempolan itu. Tapi benda-benda itu tak terlampau penting baginya.

Maka ketika ditemuinya surat wasiat itu masih ada dan kaos kutang pelindung badannya tak

diusik, diam-diam ia menghembuskan napas lega, “Tampaknya Cia In sama sekali tidak

menggeledah isi sakuku tentang pedang dan pakaian sih hilang biarlah hilang, soalnya barangbarang

itu tidak penting” katanya kemudian.

“Waaah, kalau begitu urusan ini jadi rada-rada aneh” seru Kanglam Ji-gi keheranan. “Semestinya

perempuan she-Cia itu tentu akan menggeledah isi sakumu. Hoa kongcu, masih ingatkah

bagaimana kejadiannya sewaktu itu kau tertangkap tempo hari?”

Air muka Hoa In-liong agak semu merah. “’Aaaai…. bila diceritakan kembali, sebetulnya kejadian

itu adalah salah boanpwee sendiri. Tidak seharusnya kalau aku bertindak terlampau gegabah.”

Pemuda itupun menceritakan bagaimana kisah perkenalannya dengan Cia In sampai bagaimana

kemudian jalan darahnya tertotok. Sebagai akhir kata ia menambahkan, “Boanpwee terlalu

percaya pada kondisi badanku sendiri. Karena aku yakin obat pemabok tak akan berpengaruh

apa-apa bagiku, apalagi cuma bubuk pembingung sukma yang bikin orang mabok selama tujuh

hari, maka aku pura-pura mabok. Sungguh tak kusangka kalau diam-diam jalan darahku juga

ikut tertotok. Menanti aku sadar akan gelagat yang tidak menguntungkan, kesadaranku

berangsur telah hilang. Karena itu boanpwee sama sekali tidak tahu kalau setelah aku pingsan,

dia menusuk pula jalan darah giok-tin-hiat ku dengan jarum yang dibubuhi obat pemabok.”

Ketika Kim-leng ngo-kongcu mendengar bahwa Hoa In-liong tidak mempan diracuni, mereka

merasa sangsi dan setengah percaya setengah tidak. Sebaliknya Kanglam Ji-gi mendengar semua

kisah cerita itu dengan tenang sambil putar otaknya berpikir, menanti pemuda itu selesai

bercerita, dia masih juga dibikin tak habis mengerti kenapa Cia In tidak menggeledah saku anak

muda itu.

Untuk sesaat suasana dalam ruangan baca itu jadi hening. Suasanapun ikut berubah jadi agak

tegang dan serius, seakan-akan disekitarnya terdapat sebuah jepitan besi yang mencengkeram

perasaan masing-masing. Setiap orang merasakan dadanya jadi sesak.

Akhirnya Coa Cong-gi yang tidak tahan, ketika ditunggunya belum ada juga yang berbicara tibatiba

ia berteriak lantang, “Eeeh….. sudah, sudahlah, kalian tak usah berpikir lagi! Pek-hu

bagaimana kalau kami pergi mengunjungi rumah pelacuran Gi-sim-wan sekarang juga?”

“Benar!” Ko Siong-peng menanggapi dengan cepat “Perduli Cia In telah kembali ke rumah

pelacuran Gi-sim-wan atau tidak, mengunjungi rumah bordil itu memang tak ada salahnya. Yu

pek-hu! Keponakan akan menyaru sebagai laki-laki hidung belang malam nanti dan mengunjungi

rumah bordil itu untuk mencari keterangan”

‘Hmmmm…. apa yang dikatakan Siong-peng memang masuk diakal” Yu Lo-hujin mendukung usul

itu sambil mengangguk “Cia In selama ini hidup dirumah pelacuran Gi-sim-wan, kemungkinan

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

153

besar Gi-sim-wan itulah merupakan sarang yang sebenarnya dari komplotan mereka. Aku akan

pergi kesana mencari keterangan bukanlah suatu cara yang melanggar tata kesopanan!”

“Jangan…. Jangan….. kalian tak boleh kesana!” tukas Kanglam Ji-gi sambil goyangkan kepalanya

berulang kali “Kalau kalian kesitu, berarti tindakan ini merupakan memukul rumput mengejutkan

ular. Semua usulmu dimasa lampau segera akan sia-sa belaka.”

“Aaaai…. Loya-cu, watakmu dari dulu sampai sekarang belum juga berubah?” omel Yu Lo-hujin,

“kalau sikapmu selalu ragu-ragu untuk mengambil keputusan, bagaimana mungkin bisa

melakukan, tugasmu dengan sebaik baiknya? Biarlah mereka pergi, aku si nenek tua akan

menjadi tulang punggung mereka.”

Tertawa gelak tabib sosial itu mendengar ucapan isterinya. ”Haaaa… Haaaah…. Haaaahhhh….

hujin kau sudah tua, kalau ingin menjual nyawa, lebih baik jual nyawamu dikemudian hari saja.

Sebab kemungkinan besar jiwamu lebih bermanfaat untuk dikorbankan dilain waktu. Sedang

dalam persoalan hari ini, yang akan dituju adalah rumah pelacuran Gi-sim-wan, bukannya

mencegah anak-anak pergi ke tempat itu, kenapa hujin malah mau menjadi tulang punggung

mereka? Kan lucu jadinya.”

Mula-mula Yu Lo-hujin agak tertegun, menyusul kemudian paras mukanya berubah hebat,

tampaknya dia akan ribut-ribut.

Hoa In-liong yang merasa gelagat kurang enak cepat bangkit berdiri, katanya, “Hujin harap

jangan marah, bagaimana kalau dengarkan dulu sepatah dua patah kata boanpwe?. Semula,

maksud boanpwe membiarkan diriku dibekuk adalah ingin menggunakan kesempatan itu untuk

menyelidiki asal usul Cia In yang sebenarnya dan sekarang kalau toh sudah diketahui bahwa Cia

In menang tinggal di rumah pelacuran Gi sim-wan, boanpwe dapat menyelesaikan sendiri

persoalan itu sebaik-baiknya. Untuk budi kebaikan dan budi pertolongan yang telah Yutooianpwe

serta saudara-saudara sekalian berikan kepadaku, biarlan boanpwe ucapkan banyakbanyak

terima kasih, soal pemberian bantuan, boanpwe terima saja didalam hati.”

Selesai berkata dia lantas merangkap tangannya dan menjura kepada semua orang yang hadir

dalam ruangan.

Coa Cong-gi tak suka menerima penghormatan semacam ini, cepat-cepat ia berteriak keras,

“Hei….. Kau ini, kenapa jadi orang begitu seenaknya dan tak tahu diri……”

Wan Ek-hong kuatir saudaranya ini melakukan kesalahan dalam berbicara cepat-cepat dia

menukas, “Hoa kongcu, penolakanmu itu ini artinya memandang asing diri kami semua. Kami

tahu bahwa persoalan yang dihadapi ayahmu aneka ragam banyaknya dan diliputi pelbagai

macam persoalan. Sedang kami beberapa orang tak hanya ingin bekerja membonceng

keberhasilan orang. Masing-masing bekerja demi kepentingan pribadi. Jika kau berbuat demikian,

bukankah sama artinya bahwa semua persoalan hanya akan kau kangkangi sendiri demi

keuntungan pribadi?”

Ucapan itu tajamnya melebihi sebilah golok. Hoa In-liong merasa hatinya terperanjat dan berdiri

terbelalak. Untuk sesaat lamanya dia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

Wan Ek-hong segera merangkap tangannya memberi hormat. Setelah tertawa terbahak-bahak

katanya lagi, “Haaaa…… Haaaa….. haaa……. Hoa kongcu, anggap saja kata-kataku ini hanya

kata-kata mainan belaka, jangan kau anggap sebagai sungguhan. Maksud siau-te, setiap

perbuatan yang dilakukan pihak Liok-soat-sang-ceng adalah demi kebaikan orang banyak. Sudah

banyak manfaat yang diterima orang persilatan dari perbuatan kalian. Sedang maksud kami

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

154

mengikuti jejakmu, pertama adalah ingin belajar cara kerja ayahmu. Kedua ingin menggunakan

segenap ke-mampuan yang kami miliki untuk melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat bagi

kepentingan umum. Jikalau Hoa kongcu tidak membiarkan kami ikut serta didalam persoalan ini

terus terang kami semua merasa tidak puas.”

Kali ini perkataannya jauh lebih lunak dan halus, tapi nadanya masih tajam setajam sembilu,

membuat orang yang mendengar tak dapat menampik dengan begitu saja.

Untuk sesaat lamanya Hoa In-liong berdiri termangu-mangu. Akhirnya dia merangkap tangannya

memberi hormat. “Kalau toh saudara Wan telah berkata demikian, siau-te tak bisa bicara apaapa

lagi,” katanya. “Cuma bila saudara sekalian memang benar-benar tak pandang asing pada

diriku, harap sebutan ‘Hoa kongcu’ jangan dipakai lagi. Siau-te menduduki urutan nomor dua

dalam keluarga, bernama Hoa Yang alias Hoa In-liong. Harap dikemudian hari kalian panggil saja

aku Hoa Yang atau Hoa In-liong atau Hoa loji, terserah pada kalian akan panggil apa saja. Bila

ada diantara kalian ada yang memanggil aku dengan sebutan kongcu lagi, jangan salahkan jika

siau-te akan segera angkat kaki tanpa pamit!”

Coa Cong-gi paling berangasan diantara saudaranya segera dia bersorak kegirangan sambil

bertepuk tangan.

“Haaaaa… puas..… puas.…. aku betul-betul puas! Hoa loji, kita tetapkan begini saja, pokoknya

siapa memanggil kongcu lagi kepadamu, dia itu manusia macam begini…..”

Sambil berkata dia lantas tunjukkan gerakan tangan cucu kura-kura, seketika itu juga semua

orang tertawa terbahak-bahak.

Ditengah gelak tertawa yang sangat ramai, Yu Lo-hujin mengetokkan tongkatnya berulang kali

keatas tanah, disertai suara serak teriaknya keras-keras, “Sudah……. sudah…… jangan tertawa…

Jangan tertawa lagi! Lebih baik kita bicarakan persoalan yang sebenarnya”

Dimulut nyonya tua itu mengatakan ‘Jangan tertawa lagi’, hakekatnya dialah yang tertawa paling

keras diantara orang-orang lain. Yu Siau-lam kuatir nafas ibunya jadi sesak, sambil berusaha menahan

gelak tertawanya dia uruti panggung ibunya berulang kali.

Saat itulah seorang pelayan datang melapor , “Lapor Lotay-ya, arak dan sayur telah siap, tolong

tanya perjamuan akan diadakan dimana?”

“Ruang tamu sebelah dalam!” jawab si Tabib Sosial dari Kanglam sambil menahan rasa gelinya.

Kembali ia bangkit berdiri, dengan sikap hormat lanjutnya, “Engkoh cilik Ling, aku akan menurut

kehendak hatimu dengan menyebut kau sebagai engkoh cilik. Mari, silakkan! Mari kita sambil

bersantap sambit bercakap-cakap, baik atau buruk kita harus merundingkan suatu cara yang

paling baik untuk mengatasi persoalan ini.”

“Memang seharusnya begitu….” ucap Hoa In-liong.

“Aaaai….. Aku lihat engkau baru benar-benar sudah pikun” terdengar Yu Lo-hujin sedang omeli

suaminya, “Sudah beberapa hari Hoa lo-ji tak sadarkan diri, badannya tentu penuh debu dan

kotor. Sebelum dipersilahkan membersihkan badan dan menyisir rambut, masa disuruh

bersantap?”

Gelak tertawa kembali berkumandang memenuhi seluruh ruangan. “Aaaah, iya, aku memang

betul-betul sudah pikun” gumam si Tabib Sosial itu, “Anak Lam, ajak Hoa…. Ajak engkoh cilik

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

155

Liong untuk membersihkan badan, sedang hiantit sekalian silahkan menunggu sebentar. Hujin!

Mari kita menunggu di ruang tamu.”

Dengan begitu, suasanapun jauh lebih santai dan ringan, suami istri yang sudah tua itu berlalu

lebih dulu menyusul kemudian masing-masing yang lainpun pergi membersihkan badan.

Perawakan tubuh Yu Siau-lam kebetulan seimbang dengan Hoa In-liong. Dari dalam kamarnya

dia siapkan satu stel baju baru dan diserahkan kepada anak muda itu untuk menukar bajunya

yang sudah kotor.

Hoa In-liong memang seorang yang supel dan gemar berkawan, bahkan ia merasa cocok sekali

dengan rekan-rekan barunya. Selesai membersihkan badan dan berganti pakaian, ia rampak

lebih segar dan tampan.

Secara beruntun pemuda-pemuda itu muncul kembali di ruang tamu sebelah dalam, masingmasing

bergaul dengan santai tanpa adanya pembatasan-pembatasan yang membuat suasana

jadi kaku. Dengan demikian suasanapun jauh lebih akrab dan penuh rasa persaudaraan.

Rupanya si Tabib Sosial dari Kanglam dan istrinya memang pandai bergaul dengan kaum muda.

Pesta perjamuan itu berlangsung sampai kentongan pertama sebelum akhirnya bubar dengan

masing-masing merasa sangat puas.

Dalam perjamuan itu, Kanglam Ji-gi sempat pula bertanya kepada Hoa In-liong mengapa ia jauh

meninggalkan rumah?

Tanpa merahasiakan segala sesuatunya, Hoa In-liong membeberkan semua tugasnya untuk

menyelidiki pembunuh Suma siok-ya serta semua pengalaman yang dijumpainya sepanjang

jalan.

Mendengar penuturan tersebut, selain merasa sedih dan murung atas kematian Kiu-mia kiam-kek

suami istri, semua orangpun merasa amat gusar dan benci atas kekejaman serta kemisteriusan si

pembunuh keji itu. Tapi didalam pembicaraan yang kemudian diadakan, semua orang akhirnya

berkesimpulan bahwa ‘bencana besar sudah menjelang tiba’. Sejak itu dunia persilatan yang

sudah aman selama dua puluh tahun kembali akan dikacaukan oleh pelbagai peristiwa besar.

Berbicara soal bencana besar yang menjelang tiba, Kanglam Ji-gi selalu menyinggung secara

garis besarnya saja tanpa memberikan keterangan yang lebih terperinci.

Setiap kali membicarakan persoalan yang dibahas, atau manusia-manusia lihay yang disinggung,

ia selalu mengawali pembicaraan itu dengan perkataan ‘mungkin persoalan ini ada sangkut

pautnya’ atau ‘mungkin orang ini ada sangkut pautnya’. Pokoknya semua keterangannya tidak

membahas sampai terperinci. Tiap kali Hoa In-liong mendesak lebih jauh, tiba-tiba saja tabib itu

mengalihkan pembicaraannya ke soal lain.

Kendatipun demikian, tabib tua ini sangat setuju kalau Hoa In-liong melakukan perjalanannya

menuju wilayah Lam-huang, sekalipun tanpa disertai alasan apapun.

Hoa In-liong sendiri, oleh karena merasa bahwa masalah Cia In adalah masalah paling serius

yang dihadapinya sekarang, maka tentang persoalan lainpun ia tidak banyak bertanya lagi.

Mengapa Cia In yang berilmu tinggi bersembunyi dalam sarang pelacuran?. Semua orang merasa

hal ini merupakan suatu teka teki besar.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

156

Lalu apa tujuan perempuan itu menculik Hoa In-liong? Kembali suatu teka teki yang tak

terjawab.

Mengapa pula ia tidak menggeledah saku Hoa In-liong ketika pemuda itu berhasil diringkus?

Kembali suatu teka teki.

Diberondong oleh serentetan teka teki yang membingungkan hati, pemuda Hoa In-liong merasa

pusing tujuh keliling, tentu saja ia segan membahas masalah lain sebelum pertanyaanpertanyaan

yang dianggap sangat penting itu belum memperoleh jawaban yang memuaskan

hati.

Oleh karena itulah, setelah dilakukan pembicaraan yang lebih mendalam, akhirnya si Tabib Sosial

dari Kanglam setuju dengan pendapat Kim-leng ngo-kongcu yakni menyaru sebagai laki-laki

hidung bangor dan mencari berita ke rumah pelacuran Gi-sim-wan.

Sekalipun setuju mereka meninjau rumah pelacuran itu, tabib tua tadi hanya setuju kalau Hoa

In-liong cuma ditemani oleh Yu Siau-lam seorang sedangkan yang lain dilarang ikut serta.

Tabib tua itu beranggapan bahwa Cia In telah kabur bersama begundal-begundalnya, jadi

meninjau rumah pelacuran secara berombongan hanya merupakan tindakan yang berlebihan.

Sedang mengenai apa sebabnya dia hanya setuju kalau Hoa In-liong ditemani oleh Yu Siau-lam

seorang? Menurut kakek itu, karena persoalan ini mengangkut kepentingan mereka berdua.

Memang kalau dipikir, alasan itu cukup berbobot.

Katanya, “Andaikata rumah pelacuran Git-sim-wan adalah sarang bajingan, maka orang-orang di

rumah bordil itu pasti tahu tentang perbuatan Cia In menculik orang dan dapat diduga

perempuan yang bernama Cia In itu tentunya sudah menyembunyikan diri, maka untuk

melakukan penyelidikan harus dipilih orang-orang yang tepat.

Setelah Hoa In-liong tertolong, sewajarnya kalau Yu Siau-lam sebagai orang kota Kim-leng yang

mengenal jalan dan seluk beluk rumah pelacuran menghantar pemuda itu untuk mencari tahu

jajak Cia In, sekalipun mungkin penyelidikan mereka tidak mendatangkan hasil apa-apa, toh tak

akan sampai perbuatan itu diketahui pihak Gi-sim-wan sehingga meningkatkan kewaspadaan

mereka.

Perhitungan dari Tabib sosial ini memang cukup cermat disertai persiapan langkah-langkah

berikutnya. dia tak ingin kalau sampai jejak yang Cuma ada satu-satunya itu putus di tengah.

Tentu rekan-rekan dari Kim-leng ngo-kongcu yang lain tak ada yang mengajukan keberatan,

kecuali satu orang yakni Coa Cong-gi yang berangasan itu.

Agaknya Coa Cong-gi merasa amat cocok sekali dengan watak Hoa In-liong, ia tak mau berpisah

dengan pemuda itu malahan bersikeras membantu mengatakan bahwa diapun berkepentingan

dengan persoalan itu, sebab sewaktu menolong Hoa In-liong diapun ada disana.

Sampai perjamuan bubar, dia masih ribut terus tiada hentinya. Lama kelamaan Tabib Sosial dari

Kanglam dibikin kewalahan juga oleh tingkah polah anak muda itu. Terpaksa dengan perasaan

apa boleh buat ia menyetujui juga kehendak pemuda itu untuk ikut.

Mendengar persetujuan itu, tak terkirakan rasa girang Coa Cong-gi, sontak ia meloncat bangun

sambil berteriak, “Siapkan, kuda! Siapkan kuda!”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

157

Melihat itu, Kanglam Ji-gi cuma bisa gelengkan kepalanya sambil mengurut dada.

“Cong-gi….. Cong-gi.….” katanya, “Kau musti ingat jika kepergian kalian saat ini bukan berpesiar,

tapi untuk mencari berita. Bila kau tak dapat menahan diri dan berkaok-kaok seperti saat ini, bisa

jadi urusan engkoh In-liong akan terbengkalai di tanganmu!”

“Keponakan mengerti, keponakan sudah mengerti jelas,” sahut Coa Cong-gi sambil mangutmangut,

“Pokoknya setelah tiba di rumah pelacuran Gi-sim-wan aku pasti akan menutup mulutku

rapat-rapat!”

Semua orangpun pelan-pelan tinggalkan ruang tamu menuju ke halaman depan. Disana pelayan

telah siapkan tiga ekor kuda.

“Nah….. Naiklah keatas kuda!” ajak Kanglam Ji-gi kemudian sambil ulapkan tangannya, “Cepatlah

pergi dan cepatlah kembali. Bila berhasil mendapatkan sesuatu keterangan, lebih baik malam ini

jangan sampai turun tangan lebih dahulu.”

Beberapa patah kata terakhir itu mungkin saja tak dipahami orang lain, tapi Hoi Liong yang

cerdik segera dapat memahami arti dari perkataan itu.

Ia tersenyum, sahutnya sambil menjura, “Boanpwe tentu akan baik-baik menjaga diri. Malam

sudah makin kelam, udara amat dinguin, silahkan locianpwe masuk ke dalam ruangan!”

Setelah menerima tali les kuda dan meloncat naik keatas punggung kudanya, ia berseru pula ke

pada rekan-rekan lainnya, “Sampai jumpa lagi saudara-saudaraku!”

la lantas membedal kudanya menyusul Yu Siau-lam berdua.

Malam itu udara bersih, rembulan dan bintang memancarkan sinarnya dengan redup, dengan ketajaman

mata dari tiga orang itu mereka membedal kudanya cepat-cepat, dalam suasana yang

sepi dan lenggang mereka tidak kuatir terjadinya sesuatu diluar dugaan.

Akan tetapi setelah melewati loteng tambur dan masuk jalan besar See-ong-hu, mereka terpaksa

harus menjalankan kudanya pelan-pelan, sebab manusia yang berlalu lalang disitu terjejal-jejal.

Tiga orang itu semuanya berdandan sebagai putra hartawan, bukan saja wajahnya tampan, kuda

merekapun kuda jempolan. Sepanjang jalan mereka banyak menarik perhatian serta pandangan

kagum khalayak ramai.

Yu Siau-lam mempunyai julukan sebagai Say-beng-siang (Beng Siang Sakti). Bagi orang yang

kenal Kim-leng ngo-kongcu tentu kenal pula pemimpinnya. Sepanjang jalan banyak pula orangorang

yang seagaja maju menyapa, hal ini menyebabkan perjalanan mereka semakin lambat.

Coa Cong-gi adalah seorang pemuda yang tak dapat menyembunyikan perasaan sendiri. Sewaktu

dalam hatinya ada urusan maka ia lantas tunjukkan sikap kurang sabar terhadap mereka yang

sengaja menyapa. Dengan sikap acuh tak acuh sepasang alis matanya yang tebal berkenyit

kencang.

Hoa In-liong sendiri juga tak sabar lagi, tapi oleh karena baru pertama kali ini ia berkunjung ke

kota Kim-leng, apa yang terlihat di sekelilingnya terasa masih segar, maka untuk membuang

kekesalan hatinya sebentar-sebentar dia celingukan ke sana ke mari.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

158

Selang sesaat kemudian, tiba-tiba Hoa In-liong menyaksikan Coa Cong-gi duduk di kudanya

dengan alis mata berkenyit. Tanpa terasa diperhatikannya pemuda itu dengan seksama,

kemudian pikir, “Saudara Coa paling blak-blakan dan suka bicara tanpa tedeng aling-aling.

Manusia beginilah terhitung manusia paling jujur dan tak kenal arti tipu muslihat. Jangan dilihat

alisnya tebal dan matanya besar, berbicara soal ketampanan, belum tentu dia kalah dengan yang

lain-lain, malahan bisa jadi dialah paling tampan diantara Kim-leng ngo-kongcu. Cuma

ketampanannya selalu tertutup oleh kerutan alisnya yang tebal itu. Aku tak boleh menyia-nyiakan

kesempatan yang sangat baik ini untuk berkenalan dirinya, sebab pemuda ini sangat jujur dan

merupakan sahabat yang paling dapat dipercaya!”

Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja kegembiraan hatinya berkobar kembali, dia lantas

menjalankan kudanya kes amping begitu, lalu tegurnya, “Saudara Cong-gi apakah keluargamu

juga menetap di kota Kim-leng ini?”

Waktu itu Cong-gi sedang merasa kesal sekali, ketika mendengar pertanyaan itu, alisnya yang

berkerut segera mengendor kembali, dan mukanyapun kembali berseri, “Haaa…… Haaa……

Haaa…… Benar, aku berasal dari kota Kim-leng. Bagaimana dengan kau?”

Tiba-tiba ia merasa bahwa pertanyaan macam itu sebenarnya tidak perlu ditanyakan cepat

lanjutnya kembali, “Eee…… kita harus sebutkan tanggal lahir masing-masing, coba lihat

siapa yang lebih tua diantara kita! Dengan begitu untuk menyebut “kakak atau adik” pun tak

usah ngawur seenaknya bukan begitu saudara Hoa In-liong?”

Hoa In-liong tersenyum den mengangguk. “Siau-te dilahirkan pada tahun Jin-seng, bulan Cingwe

tanggal sembilan besar, tahun ini berusia delapan belas tahun, bagaimana dengan saudara

Cong-gi?”

Pemuda ini masih teringat terus akan pesan neneknya maka dia selalu menghapalkan tanggal

dan tahun kelahirannya setahun lebih tua. Otomatis dalam setiap pembicaraanpun tanpa terasa

dia selalu menyebut tanggal kelahirannya secara komplit.

Cong-gi yang tak pernah mau berpikir dengan otaknya sudah tentu tak akan mengira kalau tahun

kelahiran pemuda itu sebetulnya palsu, ia lantas tertawa terbahak-bahak. “Haaaa….. haaaa…..

Haa..… Kalau begitu akulah yang menang. Aku dilahirkan tahun Sim-wi, jadi persis lebih tua

satu tahun daripada kau……!” katanya

Hoa In-liong ikut tersenyum.

“Siau-te tidak merasa dirugikan dengan kemenangan Cong-gi heng, sebab itu di kemudian hari

aku akan diperhatikan baik-baik olehmu…..”

“Haaa….. haaaa….. haaa….. sudah sepantasnya kita saling memperhatikan! Sepantasnya kita

saling memperhatikan!” gelak tertawa Coa Cong-gi amat nyaring. Ini menunjukkan kalau pikiran

maupun perasaannya telah lapang kembali.

Melihat sikap saudaranya itu, tiba-tiba Hoa In-Liong berpikir dalam hati, “Orang ini mengetahui

cara sopan santun dan merendahkan diri, ini berarti bahwa dia sebenarnya tidak bodoh!”

Selang sesaat kemudian ia bertanya lagi, “Cong-gi heng, siapakah gurumu?”

“Oooh….. ilmu silatku adalah warisan keluarga, jadi aku bisa bebas bergerak tanpa musti

dikekang oleh peraturan perguruan”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

159

Diam-diam Hoa In-liong tertawa geli, katanya pula, “Apakah Pek-hu Pek-bo berada dalam

keadaan sehat walafiat? Berapa orang saudaramu?”

“Ayahku sudah meninggal banyak tahun. Di rumah aku cuma mempunyai seorang adik

perempuan”

Tiba-tiba sepasang matanya dibelalakkan lebar-lebar, dengan wajah bersungguh-sungguh

ujarnya lebih jauh, “Eeh….. aku hendak memberitahukan satu hal kepadamu, tahukah engkau

bahwa adik perempuanku adalah harimau betina yang galaknya bukan kepalang? Kalau kau

bertemu dikemudian hari, mustilah sedikit berhati-hati.”

Sebelum Hoa In-liong memberikan tanggapannya, tiba-tiba terdengar Yu Siau-lam telah berseru,

“Hati-hati sedikit! Kita sudah sampai di tempat tujuan.”

Ternyata dalam bercakap-cakap tadi, tanpa terasa mereka sudah tiba di pintu gerbang rumah

pelacuran Gi-sim-wan. Ramai sekali suasana di sekitar tempat itu.

Sementara Hoa In-liong dan Coa Cong-gi masih tertegun keheranan, tiba-tiba seorang pegawai

rumah pelacuran itu maju menyongsong kedatangan mereka. Sambil membungkukkan badannya

memberi hormat kepada Yu Siau-lam katanya sambil tertawa tengik, “Yu-ya baru sekarang kau

datang? In cici telah siapkan meja perjamuan dan kini sedang menunggu di dalam kamar”

Kejadian ini benar-benar diluar dugaan. Ketika mendengar perkataan itu, untuk sesaat mereka

bertiga jadi tertegun dan lupa melompat turun dari kudanya.

Ketika Yu Siau-lam menghadang jalan pergi Cia In diluar pintu Gui-tee-bun kemudian merampas

tawanannya, perempuan itu pernah mencabut pisau belatinya untuk melakukan perlawanan.

Semenjak itu kedua belah pihak telah saling berhadapan sebagai musuh.

Kini, tawanannya telah ditolong orang, ternyata bukannya kabur jauh-jauh dari situ Cia In malah

tetap berdiam disana, bahkan telah siapkan meja perjamuan untuk menantikan kedatangan

mereka. Meski hal itu memang merupakan janji dari Cia In waktu masih berada diluar kota, tapi

yang mengherankan, apakah dia takut Hoa In-liong meluruk kesitu dan membongkar rahasianya?

Waktu itu kaum pelancong yang berpesiar di sekitar kuil Hui-cu-bio luar biasa banyaknya,

terutama tamu-tamu yang berkunjung ke rumah bordil Gi-sim-wan, boleh dibilang bagaikan

aliran air sungai yang mengalir silih berganti.

Yu Siau-lam tertegun sejenak, kemudian sempat berpikir panjang lagi dia melompat turun dari

kudanya seraya ulapkan tangan.

“Bawa jalan buat kami!” perintahnya.

“Baik tuan!” Pelayan itu bungkukkan badan sambil mengiakan, dia putar badan lalu berteriak ke

arah halaman rumah pelacuran itu, “Yu kongcu telah tiba!”

Dengan langkah yang sengaja dibuat tegap, ia membawa tamu-tamunya masuk ke dalam.

Dalam waktu singkat seruan ‘Yu kongcu telah tiba’ tadi sudah disampaikan secara berantai ke

ruang paling dalam. Suara yang keras bagaikan gembrengan itu membuat orang merasa

semangatnya berkobar kembali.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

160

Yu Siau-lam tersenyum, dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Hoa In-liong serta Coa

Cong-gi, lalu katanya, “Nona Cia betul-betul seorang yang dapat dipercaya. Silahkan saudara

sekalian!”

Tali les kuda mereka telah diterima oleh seorang pelayan dan dibawa masuk ke kandang. Hoa Inliong

tidak banyak bicara lagi, dia manggut-manggut sambil menirukan lagak rekannya.

“Ehmmm….. memang dapat dipercaya! Dapat dipercaya! Silahkan saudara Siau-lam”

Mereka bertiga masuk bersama dengan langkah lebar. Ditengah jalan, Yu Siau lam diam-diam

berbisik dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara.

“Sungguh diluar dugaan Cia In tidak berusaha menghindarkan diri, Hoa-heng! Bagaimana

rencanamu berikutnya?”

“Lebih baik kita bertindak menurut keadaan, coba lihat dulu bagaimanakah tanggapan serta

tanggung jawabnya terhadap peristiwa itu!” sahut Hoa In-liong dengan ilmu menyampaikan

suara pula.

“Jika dia bersikeras mungkir atau memberikan yang alasan berbelit-belit bagaimana sikapnya

pada kita? Atau bila perlu kita gunakan saja kekerasan untuk memaksa perempuan itu mengaku?

Kadang kala memang ada orang yang baru mau mengaku jika dipakai kekerasan!”

“Aku pikir tak usah gunakan kekerasan!”

ooooooOoooooo

“CONG-GI adalah seorang pemuda yang ringan mulut dan seringkali gampang menyemburkan

kata-kata yang kasar tanpa tedeng aling-aling, aku kuatir kalau sampai waktunya dia banyak mulut”

kata Yu Siau-lam mengutarakan kekuatirannya.

“Aku pikir pendapat ayahmu sangat tepat. Bila jejak ini kita bikin putus dengan kekerasan, tentu

tiada hasil yang bisa kita capai. Alangkah baiknya kalau dalam segala tindak tanduk nanti,

nantikan dulu maksud hatiku,” pesan Hoa In-liong.

“Baiklah!” sahut Yu Siau-lam sejenak kemudian, “Aku akan bertindak mengikuti kerlingan mata

Hoa-heng”

Menyusul kemudian dengan ilmu menyampaikan suara diapun berpesan beberapa patah kata

kepada Coa Cong-gi.

Semenjak permulaan tadi, Coa Cong-gi sudah menganggap Hoa In-liong sebagai pemimpinnya,

tentu saja ia tidak mengemukakan pendapat apa-apa. Pemuda itu hanya mangut sebagai tanda

bahwa semua pesan itu telah diingatnya semua.

Cahaya lampu menerangi seluruh ruangan Gi-sim-wan, suasana disitu ramai dan gaduh. Suara

tertawa, suara pembicaraan dan suara orang bergurau serasa memekakkan telinga.

Sementara mereka bertiga berjalan masak ke dalam, seringkali muncul perempuan-perempuan

cantik dengan aneka macam potongan badan serta kegenitan berjalan mondar-mandir disana

sambil tiap kali mengerling genit ke arah mereka.

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

161

Perlu diketahui, baik Yu Siau-lam maupun Coa Cong-gi kedua-duanya adalah langganan tetap

rumah pelacuran Gi-sim-wan. Hampir tiap hari mereka bermain disitu lagipula jadi orang royal

tak heran kalau sebagian besar pelacur-pelacur disana kenal dengan tampang ‘cukong cukong

muda’ mereka ini.

Berbeda sekali dengan kedatangan mereka kali ini. Dengan membeban tugas penting, sejak

masuk ke rumah pelacuran itu mereka telah pasang mata baik-baik memperhatikan keadaan

disekeliling tempat itu. Bukan saja mereka tidak merasakan pengaruh apa-apa oleh kerlingan

maut pelacur-pelacur tersebut, malahan memandang tubuh mereka yang berliuk-liuk padat, tibatiba

saja timbul rasa jijiknya yang tebal. Mereka segera merasa bahwa itulah profil dari seorang

pelacur.

Cia In berdiam di sebuah gedung berloteng yang mungil dan indah. Loteng itu berpagar bambu

dengan tirai tipis yang berwarna merah muda. Di sekeliling gedung penuh pohon bambu yang

rindang. Jauh di ujung sana terdapat sebuah kolam dengan air yang jernih. Bebungaan yang

beraneka macam menyiarkan bau harum semerbak, ditambah pula suara keliningan yang

dipasang diatas wuwungan rumah, suara ‘ting-tang ting-tang’ yang merdu membuat semaraknya

suasana disana.

Seorang pelacur ternyata mempunyai tempat tinggal yang begitu tenang, nyaman dan indah,

dari sini dapat diketahui bahwa kedudukan Cia In di tempat itu boleh dibilang cukup tinggi.

Setelah tiba di tempat itu, pelayan rumah pelacuran yang membawa jalan tadi segera berhenti.

Sambil menuding ke dalam katanya, “Yu kongcu, silahkan melihat sendiri, In Ci-ji sudah menanti

ditepi pagar, silahkan masuk! Silahkan masuk! Tan-ji mohon diri lebih dahulu.”

Meskipun diluaran dia bilang mau mengundurkan diri, tapi badannya cuma membungkuk belaka

sama sekali tak ada tanda-tanda akan mengundurkan diri dari situ.

Melihat sikap pelayan itu, sebagai langganan lama tentu saja Yu Siau-lam cukup mengetahui

akan maksudnya, dia tersenyum, “Terima kasih banyak, terima kasih banyak atas bantuanmu.

Nah! ini persen untukmu, harap saja tidak terlampau kurang bagimu…..!” Seraya berkata dia

mengambil satu tahil perak dan dilemparkan ke arah pelayan tadi.

“Tan-ji mengucapkan banyak terima kasih.”

Cepat-cepat pelayan itu berseru dengan wajah berseri.

Ketika berbicara sampai disitu, uang perak itu sudah tiba di depan matanya, cepat dia bangkit,

berdiri dan menerimanya.

Yu Siau-lam gemas oleh tingkah laku pelayan itu. Selain itu diapun ingin menjajal apakah pelayan

itu berilmu atau tidak? Maka ketika uang perak itu disentil ke depan, sengaja dia menyertakan

pula tenaga dalamnya yang lihay.

Maka bisa dibayangkan apa akibatnya ketika uang perak itu disambut oleh pelayan tadi, bukan

saja uang itu tak sempat ditangkap, malahan tonjolan yang menongol keluar pada uang perak itu

sempat menggesek telapak tangannya.

Pelayan itu menjerit kesakitan, sambil menggertakkan gigi dia mengaduh tiada hentinya.

Telapak tangan lecet dan berdarah, sekalipun sakitnya bukan kepalang rupanya pelayan itu lebih

mementingkan uangnya daripada badan sendiri. Tak sempat memeriksa luka lecet itu lagi, cepatGrafity,

http://mygrafity.wordpress.com

162

cepat dipungutnya uang perak itu kemudian sambil memegangi telapak tangannya yang terluka

ngeloyor pergi dari situ.

Melihat setelah pelayan itu berlalu, Hoa In-liong bertiga saling berpandangan sambil tertawa

mereka lantas menyeberangi kebun kecil itu dan naik ke atas loteng.

Cia In yang cantik jelita dengan dandanan yang indah telah menanti kedatangan mereka di mulut

anak tangga.

Ketika tamunya muncul, dia lantas memberi hormat sambil berkata,

“Rembulan terasa redup, bintang amat jarang,

embun malam terasa dingin…..

Rumah nyanyian, gedung pelacuran, sudah berapa rumah kau kunjungi…..?

Yu-ya, apakah kau sudah tidak kenal jalanan lagi?”

Mendengar bait syair tersebut, Yu Siau-lam segera tertawa tergelak.

“Kekasihku Lau dari Thian-tay terpikat oleh gua kuno….. Sekalipun harus mabok, mati pun

terima….. Setelah mengetahui nona Cia menyiapkan perjamuan untuk kami, sekalipun aku sudah

tak kenal jalan lagi, akan kupinjam burung bangau sakti untuk menghantar aku kemari,

haaaaa….. haaaaa…. haaaaaa…..”

Cia In mengerling genit, bibirnya mencibir lalu serunya, “Eeeh….. kau pingin mampus rupanya!

Masa di hadapan sahabat baruku, begitu bertemu kau lantas hendak cari untung? Sayang gua

kuno sudah tertutup, mau terpikat, pergilah terpikat sendiri!”

Dia membalikkan tubuhnya, lalu dengan langkah yang lemah gemulai berjalan masuk ke dalam

ruangan.

Untuk kesekian kalinya Hoa In-liong bertiga saling berpandangan sambil tertawa. Tanpa

berbicara lagi mereka ikut masuk ke dalam ruangan itu dibelakang Cia In.

Setelah berbelok ke arah timur, ditengah-tengah gedung itu merupakan sebuah ruang tamu yang

besar. Lampu lentera tergantung disana sini. Meja benar-benar telah tersedia disana.

Siau-in-ji segera maju menyongsong kedatangan tamu-tamunya, sambil memberi hormat

katanya, “Yaya bertiga, jika kalian tidak datang sesaat lagi, tentu arak dan sayur telah menjadi

dingin semua!”

Ketika berjumpa dengan Siau-in-ji, tiba-tiba Coa Cong-gi merasakan hatinya agak bergerak, dia

lantas merogoh ke dalam sakunya dan mengambil sekeping uang perak, katanya kemudian,

“Selama kami minum arak, tolong layanilah kami baik-baik. Nah! Uang perak ini persen bagimu

untuk membeli pupur.”

Jari tangannya lantas disentil ke depan. Uang perak itu dengan kecepatan bagaikan kilat

meluncur ke depan.

Tiba-tiba Cia in maju ke depan, ujung bajunya segera dikebut kedepan, tiba-tiba uang perak itu

sudah tergulung masuk ke dalam ujung bajunya. “Coa-ya, kau benar-benar berjiwa sempit”

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

163

katanya sambil tertawa genit. “Toh rahasiaku sudah ketahuan, buat apa Coa-ya menjajal kami

lagi?”

Berbicara sampai disitu, dia lantas berpaling ke arah Siau-in ji dan menambahkan, “Pergilah

kedalam dan ambil keluar pedang mustika serta buntalan milik Hoa kongcu, agar dengan begitu

orang yaya ini jadi berlega hati kalau kami memang tidak bermaksud jahat.’“

Perkataan itu diucapkan dengan blak-blakan namun dia sendiri sama sekali tidak menunjukkan

sikap marah. Hal ini membuat Coa Cong-gi merasa pipinya jadi merah karena jengah. Untuk

sesaat dia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang musti dikatakan.

Hoa In-liong maupun Yu Siau-lam sendiri pun tertegun, mereka benar-benar merasa tak habis

mengerti, dengan maksud apakah Cia In menyiapkan meja perjamuan untuk menjamu mereka?

Selang sesaat kemudian, Siau-in-ji telah muncul kembali sambil membawa pedang mustika dan

buntalan milik Hoa In-liong, segera ujarnya sambil tertawa, “Hoa-ya, apakah engkau akan

periksa dulu barang-barang milikmu ini…….?”

Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. “Haaa..… haaa….. haaa….. aku tidak kuatir kehilangan

barang milikku, yang aku kuatirkan justru kalau sampai jalan darah giok-tin-hiat ku ditusuk lagi

dengan jarum!”

Cia In ikut tertawa cekikikan sehabis mendengar sindiran tersebut.

“’Hiii….. hiii….. hiii….. Mungkin sepanjang hidupku sudah tak akan mempunyai kesempatan lagi

untuk membekuk engkau. Jika kau tidak takut bila arak dan sayur ini sudah kucampuri racun,

silahkan mengambil tempat duduk.”

Hoa In-liong tertawa, dia tidak banyak berbicara lagi, segera pemuda itu beranjak dan menuju ke

meja perjamuan.

Setelah masing-masing orang mengambil tempat duduk, In-ji maju memenuhi cawan tamutamunya

dengan arak.

Tiba-tiba Hoa In-liong ulapkan tangannya mencegah dayang cilik itu bekerja lebih jauh serunya,

“Eeeh….. tunggu sebentar, akan kuperiksa dulu dengan seksama, apakah teko arak ini adalah

teko yen-yang-hu atau bukan?”

Senyuman lirik tersungging di ujung bibirnya, tentu saja pemuda itu tidak berniat sungguhsungguh

untuk memeriksanya.

Menggunakan kesempatan itu Cia In menjual lagaknya, dengan sikap manja direbutnya teko arak

itu dari tangan In-ji, kemudian serunya dengan muka cemberut, “Tidak boleh dilihat!. Terus

terang kuberitahu kepadamu, teko ini bukan teko yen-yang-hu, tapi araknya adalah arak Yenyang-

ciu, lebih baik Hoaya jangan minum!”

Yu Siau-lam segera membungkukkan badan dan merebut kembali teko arak itu dari tangan Cia

In, kemudian sambil memenuhi cawan araknya perlahan-lahan dia bersenandung,

“Dewi cantik bidadari ayo berkumpul dalam khayangan…..

Suasana semarak menghilangkan derita…..

Grafity, http://mygrafity.wordpress.com

164

Mengagumi burung yan-yang, jangan mencemooh bidadari…..”

Cia In mengerdipkan matanya dan ditujukan sikap yang aleman, serunya kemudian dengan

manja, “Siapa toh yang kau maksudkan burung yan-yang dan siapa pula bidadarinya?. Iiiiih….

Yu-ya benar-benar tak tahu!”

Ia memutar biji matanya, lalu sambil berpaling kepada In-ji katanya lagi, “Oooh….. In-ji yang

nakal! Uang persenan ‘kan sudah kita terima, masakah kau benar-benar akan suruh ya ya

sekalian menuang arak sendiri?”

Setelah ada perintah dari majikannya, In-ji baru menerima teko arak itu dan menuangkan arak

bagi cawan-cawan tamunya.

Setelah semua isi cawan dipenuhi, Cia In mengangkat cawan araknya kehadapan Hoa In-liong

kemudian katanya, “Pertama-tama akan kuhormati dulu Hoa-ya dengan secawan arak. Semoga

dengan secawan arak ini Hoa-ya dapat memberi maaf kepadaku karena sepanjang jalan telah

menyiksa diri Hoa-ya.”

Sekali teguk dia menghabiskan isi cawannya.

Hoa In-liong tertawa tergelak.

“Haa.…. Haa….. haa….. kebetulan aku memang sedang berpesiar ke tempat-tempat indah.

Sudah lama aku punya rencana untuk berkunjung ke wilayah Kanglam. Haaaaa… ha….. haaa…..

Sekalipun sepanjang perjalanan tak sempat kunikmati keindahan alam, paling sedikit ‘kan aku

sudah mengirit beberapa tahil perak ongkos jalan. Siapa bilang aku menderita? Malahan aku

bersedia merasakan keadaan semacam itu sekali lagi.”

Dia ikut meneguk habis isi cawan sendiri.

Menggunakan kesempatan itu Yu Siau-lam melirik sekejap ke arah Hoa In-liong. Ketika dilihatnya

pemuda itu picingkan mata kanannya dan janggutnya ditarik sedikit sebagai tanda anggukan,

tahulah dia bahwa arak itu memang tak beracun.

Dengan hati lega pemuda she Yu ini mengangkat cawan araknya sendiri dan berkata sambil

tertawa, “Ditemani perempuan cantik dalam sekereta sekalipun tak dapat menikmati keindahan

alam, hal itu juga bukan kejadian yang patut disesali. Nona Cia aku pesan tempat dulu ya?, kalau

lain waktu ada kesempatan semacam itu, tolong nona Cia beri kabar padaku. Hanya suasana

romantis macam begitu baiknya jangan dirusak karena jalan darahku kau totok…”

Tiba-tiba Cia In picingkan sebelah matanya sambil menyela, “Aduuh….. Aduuuh…… katanya saja

seorang taki-laki sejati yang gagah perkasa, kenapa pandangan serta jiwamu begitu picik?. Aku

‘kan sudah mengaku salah? Masa itu tidak cukup? kenapa musti pakai main sindir terus

menerus?”

Cia Cong-gi yang tadi ikut-ikutan berbicara mengikuti jejak rekannya, siapa tahu ketanggor

batunya, sampai sekarang hatinya masih merasa tak enak. Sebagai seorang pemuda yang

berjiwa terus terang, ia selalu teringat akan tujuan kedatangan mereka. Maka ketika dilihat

datangnya kesempatan yang baik, dia lantas tertawa kering dan menyela, “Si penjagal mau

bunuh babi, tapi sudah salah bunuh manusia. Apakah kau anggap hanya mengaku salah saja itu

sudah cukup? Paling sedikit musti kau terangkan dulu apa sebabnya kau culik saudara kita dari

keluarga Hoa……?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar