“Masih ada beberapa persoalan penting lagi yang hendak kusampaikan kepada rekan-rekan
sekalian, harap rekan semua bersedia untuk memperhatikan!”
Sebenarnya semua orang hendak mengajukan pertanyaan sekitar pembunuhan atas diri
SumaTiang cing, akan tetapi karena didahulu pemuda tersebut, maka terpaksa mereka pasang
telinga baik-baik dan mendengarkan dengan seksama.
Dengan suara dalam Hoa In-liong berkata, “Kiu im kaucu yang sekarang adalah murid dari kaucu
generasi lalu, dia seorang perempuan yang bernama Bwe Su-yok, meskipun usianya masih muda
tapi ilmu silatnya sangat tinggi, aku harap rekan semua mau memperhatikan hal ini. Kemudian
dari pihak Mo kau yang menyerbu kedaratan Tionggoan secara besar-besaran, terdapat seorang
yang bernama Seng To cu adalah kakak seperguruan Tang kwik Siu, tenaga dalamnya jauh
diatas Tang kwik Siu sendiri, orang ini merupakan orang kedua yang harus rekan semua
perhatikan. Sedang mengenai perkumpulan Hian-beng-kauw, oleh karena struktur organisasi
tersebut sangat rahasia, sampai sekarang belum kuketahui siapa kaucu nya tapi yang pasti jagojago
mereka sangat banyak dan rata-rata berilmu tinggi, diantaranya seperti Thamcu markas
besar mereka adalah
tersebut sudab dapat diduga kalau cita-cita mereka adalah musuhi keluarga Hoa kami. Markas
besarnya berada dibukit Gi hong-san!”
Berbicara sampai disitu, dia menyapu sekejap sekeliling tempat itu. lalu bertanya lagi, “Apakah
ada pertanyaan diantara rekan sekalian? Jika kurang terang, silahkan ditanyakan!”
Seorang pemuda berpakaian ringkas warna hitam segera bangkit, tanyanya dengan lantang,
“Bagaimanakah ilmu silat Bwe Su-yok jika dibandingkan dengan Hoa kongcu….?”
Hoa In-liong, membatin, “Kalau dibandingkan sekarang tentu saja tenaga dalamku jauh melebihi
dirinya!”
Tapi diluar dia menyahut, “Siaute pernah beradu kekuatan dengan perempuan ini ketika berada
dikota Kim-leng, rasanya ilmu silat kami seimbang!”
Tiba-tiba Tu Cing san bertanya pula, “Hoa kongcu, Seng To cu yang dikatakan sebagai kakak
seperguruannya Tang kwik Siu itu macam apa orangnya? Sampai dimana taraf ilmu silat yang
dimiliki? Dan kenapa sewaktu mencari harta di Kiu ci san tempo dulu, orang ini tidak kelihatan?”
“Orang itu raempuuyai ilmu silat yang luar biasa lihaynya, jika rekan sekalian bertemu dengan
orang ini, lebih baik menyingkir saja….!”
Setelah berhenti sebentar, dia berkata lagi, “Menurut dugaanku ketidak munculannya dalam
penggalian harta di bukit Kiu ci san tempo dulu, mungkin disebabkan waktu itu Seng To cu
sedang menutup diri”
Banyak orang yang merasa tidak puas dengan perkataan itu, malah ada diantara mereka yang
bermaksud mencari Seng To cu untuk diajak beradu kepandaian, mereka semua adalah jagojago
persilatan, apa yang dipikirkan sebera terlihat pula diatas wajahnya, melihat itu Hoa In-liong
mengeluh dan tidak berkata apa-apa lagi.
Tiba-tiba terdengar Cia Yu cong berkata, “Hoa kongcu, bersediakah engkau untuk melukiskan
tampang dari Seng To cu itu, agar kawan-kawan persilatan dapat menghindarinya jika secara
kebetulan mereka sampai bertemu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
714
“Orang yang usianya sndah lanjut memang jauh lebih dapat menggunakan otak daripada orang
muda” pikir Hoa In-liong.
Dia lantas tersenyum, jawabnya, “Gampang sekali untuk mengenali Seng To cu, asal saudara
sekalian bertemu dengan seorang kakek yang memakai ikat pinggang naga perak bermuka kaku
menyeramkan seperti mayat yang baru bangkit dari liang kuburnya, itulah orangnya!”
Tiba-tiba Kongsun Peng menimbrung kembali.
“Menurut pembicaraan Hoa kongcu, semua murid Hian-beng-kauw diberi nama Ciu Hoa
(Mendendam kepada keluarga Hoa), boleh aku tahu sebetulnya dendam sakit hati apakah yang
sudah terjadi antara Hian-beng Kaucu itu dengan keluarga Hoa?”
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, kembali dia berpikir, “Meskipun Thia Lo cianpwe
menerangkan bahwa Hian-beng Kaucu mempunyai dendam sakit hati dengan pihak kami
lantaran gurunya dibunuh ayah, tapi aku sendiripun kurang jelas tentang soal ini, rasanya
mereka juga tak akan dapat menduganya”
Ia merasa ada baiknya kalau persoalan itu jangan dibicarakan dulu, maka katanya, “Tentang soal
ini, terpaksa kita harus menanyakan secara langsung setelah bertemu dengan Hian-beng Kaucu
dilain waktu!”
“Hoa kongcu!” Cia Yu-Cong kembali berkata, “hawa siluman telah muncul kembali menyelimuti
seluruh dunia persilatan, kekuatan mereka tak boleh dianggap enteng, tolong tanya kapan
ayahmu baru akan munculkan diri antuk menyapu hawa siluman tersebut?”
Kembali Hoa In-liong berpikir, “Nenek dan ayah telah melimpahkan tanggung jawab yang sangat
berat ini ke atas pundakku, itu berarti mereka tak akan terjun kembali kedalam dunia persilatan,
jika ucapan terlalu jujur, orang orang ini pasti akan kecewa karena memandang usiaku yang
muda, kepandaianku yang terbatas dan pengetahuanku yang cetek mereka pasti berpendapat
bahwa aku tak akan mampu….”
Karena berpendapat demikian, pelan-pelan dia berkata, “Bagaimanakah rencana ayah, sebagai
putranya aku tak berani menduga secara sembarangan, tapi saudara sekalian tak usah kuatir,
sebagai bagian dari masyarakat dunia persilatan, keluarga Hoa kami pasti tak akan berpeluk
tangan belaka, dalam usaha melenyapkan kaum iblis dan durjana dari muka bumi, kami pasti
akan menyumbangkan pula tenaga kami!”
Perkataan ini mengambang sifatnya dan tidak menentu, banyak orang tidak puas, tapi tak
seorangpun yang berani membuka suara untuk bertanya lagi….
Tiba-tiba seorang kakek kekar yang duduk dimeja utama bangkit berdiri seraya berkata, “Hoa
kongcu, dilihat dari keberanian kongcu untuk menantang tiga perkumpulan tersebut, mungkinkah
kongcu sudah mengetahui jelas kekuatan mereka sebenarnya? Dan mungkinkah kongcu sudah
menyusun suatu rencana yang masak untuk menghadapi mereka?”
Hoa In-liong menarik kembali sorot matanya, semua orang yang duduk dimeja utama dikenalnya
dengan jelas diapun mengenali kakek tersebut sebagai Huan Tong, seorang jago yang merajai
wilayah Lam-cong dengan ilmu Poh ka sinkun (ilmu pukulan sakti pemecah perisai)nya.
Dia lantas tersenyum, katanya, “Mempunyai rencana yang masak sih tidak, cuma berbicara
menurut situasi sekarang ini, dengan mundurnya Kiu im kaucu dan kedudukannya digantikan
oleh Bwe Su-yok yang masih muda, kendatipun dia mempunyai bakat yang bagus dan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
715
kecerdasan otak yang luar biasa, tak mungkin kehebatannya bisa melampaui iblis tua itu, ini
berarti Kiu im kau merupakan perkumpulan terlemah diantara tiga perkumkulau yang ada.
Sedang pihak Mo kau mempunyai Tang kwik Siu dan kakek seperguruannya untuk bersama
menghadapi musuh, kekuatan mereka cukup tangguh. Sementara Hian-beng-kauw tak diketahui
kekuatan yang sebenarnya, menurut pendapatku, mungkin kekuatan mereka jauh diatas
kemampuan Mo kau”
“Jadi kalau begitu seandainya terjadi bentrokan kekerasan, maka kita akan membasmi Kiu im kau
lebih dulu?” tanya Huan Thong.
“Tidak!” dengan cepat Hoa In-liong menggeleng, “tiga perkumpulan telah membentuk
perserikatan, jika seujung rambut mereka diganggu seluruh badan perserikatan akan maju
bersama, tak mungkin mereka akan membiarkan kita untuk menghancurkan mereka satu demi
satu”
Setelah berhenti sebentar, kembali katanya, “Apalagi yang lemah belum tentu lemah, yang
tangguh belum tentu tangguh, siapa tahu kalau sampai akhirnya Kiu im kau lah merupakan
perkumpulan yang paling tangguh?”
“Perkataan dari Hoa kongcu memang benar” sahut Huan Thong sambil mengangguk, “sudah
menjadi kebiasaan bagi kaum durjana, sebelum sam pai akhirnya siapapun tak mau
mengerahkan segenap kemampuannya”
Tiba-tiba Cia Yu cong menimbrung, “Tentang mundurnya Kiu im kaucu secara tiba-tiba, menurut
Hoa kongcu hal itu pertanda baik atau jelek buat kita?”
“Hoa In-liong termenung sebentar, kemudian jawabnya, “Kiu im kaucu adalah seorang manusia
yang licik, lihay dan banyak tipu muslihatnya, aku rasa tindakannya itu pasti mengandung
maksud-maksud tertentu. Berbicara dari segi baiknya, mungkin saja dia mengandung maksud
untuk merubah keadaan permusuhan menjadi persahabatan. Berbicara dari segi jeleknya dia
hendak mengundurkan diri kebelakang layar dan dari sana menyusun rencana jahat untuk
menghancurkan kita. Pokoknya baik itu bermaksud baik atau jelek, akhirnya pasti akan
berkembang dan diketahui umum, dan aku rasa tak ada manfaatnya untuk kita duga mulai
sekarang”
Dalam perjamuan yang diselenggarakan kali ini, semua orang jarang menggerakkan sumpitnya
untuk mengambil sayur, kebanyakan mereka cuma memegang cawan sambil mendengarkan
pembicaraan yang sedang berlangsung, meski Hoa In-liong tidak mempersilahkan mereka
minum, para jago persilatan itupun tidak terlalu menaruh perhatian.
Perjamuan itu berlangsung hampir dua jam lamanya, sampai lohor perjamuan baru bubar, tentu
saja Hoa In-liong tak dapat menghantar semua tamunya, banyak terhadap belasan orang
tamunya yang berada dimeja utama, dia tak berani berayal dan menghantarnya sampai didepan
pintu.
Sebelum pergi, Huan Thong sempat berkata dengan suara lantang, “Hoa kongcu bila teringat
kembali pada peristiwa penggalian harta mustika di bukit Kiu ci san, seandainya tak ada ayahmu,
belum tentu kitab pusaka keluarga kami dapat didapatkan kembali. Aku tahu ilmu silat ayahmu
sangat lihay, tak mungkin dia akan mengharapkan balas budiku, maka setelah berjumpa sendiri
dengan kegagahan Hoa-kongcu hari ini, aku jadi terbayang kembali akan kegagahan ayahmu
dimasa lalu. Mulai saat ini, bila kongcu membutuhkan bantuanku, katakan saja berterus terang,
tak usah sungkan-sungkan, lohu pasti akan menyumbangkan tenagaku”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
716
“Locianpwe ini gagah dan memahami perasaan orang, dia memang seorang sahabat yang dapat
di percaya” pikir Hoa In-liong.
Dengan perasaan berterima kasih dia lantas tertawa nyaring, katanya, “Dalam pencarian harta
dibukit Kiu ci san tempo hari, ayahku berbuat demi kepentingan umum, cianpwe mengambil
barang milik cianpwe sendiri, darimana bisa dikatakan sebagai suatu hutang budi?”
Lalu dengan wajah serius dia berkata lebih lanjut, “Kalau toh cianpwe sudah berkata demikian,
boanpwe pun tak akan bertedeng aling-aling lagi, bila berbicara soal balas budi, sama artinya
dengan cianpwe memandang keluarga Hoa kami sebagai sekawanan manusia rendah”
Mula-mula Huan Thong agak tertegun, menyusul kemudian tertawa terbahak-bahak, diapun tidak
banyak berbicara lagi, setelah berpamitan lalu mohon diri.
Cia Yu cong pun merasa kagum atas tindak-tanduk Hoa In-liong yang cekatan serta penuh rasa
percaya pada diri sendiri itu, sambil mengelus jenggotnya dia tertawa.
“Sebagai tuan tanah disini, lohu memang tak becus dibidang lain, namun soal anak buah sih
masih punya beberapa orang, untuk mencari berita, sebagai pesuruh, mereka masih dapat
melakukannya. Maka bila Hoa kongcu membutuhkan mereka, harap kau tak usah sungkansungkan
untuk mengutarakannya keluar”
Hoa In-liong tidak sungkan-sungkan lagi, sambil menjura dia lantas berkata, “Kesediaan Cia lo
enghiong untuk menyumbangkan tenaga sangat mengharukan hatiku, aku tidak memohon apaapa,
hanya seandainya dikota Si ciu telah kedatangan manusia yang berwajah atau berbadan
aneh, tolonglah memberi kabar kepadaku”
“Aaah…. kalau cuma urusan sekecil itu sih tak menjadi soal, Hoa kongcu tak usah kuatir” kata Cia
Yu cong sambil tertawa, maka diapun berpamitan.
Sesudah perjamuan bubar dan semua tamu telah mengundurKan diri, rumah makan Kwang koan
lo yang luas terasa menjadi hening, lenggang dan sepi.
Hoa In-liong tidak berdiam lama disitu, setelah berpesan sepatah dua patah kata dengan pemilik
rumah makan, diapun ikut meninggalkan tempat itu dan lenyap di perapatan jalan sana.
Lama setelah keheningan mencekam sekeliling tempat itu, tiba tiba dari depan rumah makan itu
melompat turun seorang perempuan berbaju putih yang menyoren pedang di punggungnya.
Dia naik keloteng Kwang koan lo dan memeriksa sekejap, disana kecuali beberapa orang pelayan
yang sedang membereskan sisa sayur, tak seorang jago persilatanpun yang masih tertinggal
disana.
Berdiri diruangan yang lenggang, peremouan itu bergumam seorang diri dengan suara yang lirih.
“Hmm….! Sekembalinya ke markas besar, empek Beng, Empek-Toan bok dan suheng sekalian
telah mengatakan putranya Hoa Thian-hong begini begitu….Huuuh, padahal sepersenpun tak ada
harganya, buktinya dia toh tak bisa berbuat apa-apa terhadapku?”
Sambil tertawa ringan dia lantas melompat turun dari atas loteng dan bergerak menuju ke luar
kota, dalam ruangan hanya tertinggal bau harum badannya yang semerbak.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
717
Ketika kawanan pelayan yang sedang mengumpulkan sisa sayur itu mendengar suara tertawa,
serta merta mereka menengok ke sekeliling situ, namun karena tak sesosok bayangan
manusiapun yang tampak mereka jadi merinding karena ngeri.
Sementara itu, nona tadi sudah tiba diluar kota tiba-tiba suara bentakan memecahkan
keheningan, “Harap berhenti nona!”
Perempuan itu tertegun, sebelum ia sempat berbuat sesuatu, angin berhembus lewat dan tahutahu
kain cadar penutup mukanya sudah dibuka orang….
Ia kaget dan cepat mundur, seorang pemuda tampan yang gagah perkasa tahu-tahu sudah
berdiri dihadapannya, anak muda itu menggoyangkan kipasnya dengan tangan kiri, sedang
ditangan kanan nya menenteng sebilah pedang mustika dan jari tangannya menjepit selembar
kain cadar, dia berdiri dergan senyuman dikulum.
Orang itu bukan lain adalah Hoa In-liong….
Sementara itu Hoa In-liong masih berdiri dengan senyuman dikulum, setelah berhasil membuka
kain cadar yang menutupi wajah nona itu, ia dapat menjumpai seraut wajah yang cantik jelita
bak bidadari dari kahyangan.
Tapi anehnya, gadis itu mempunyai raut waajah yang tujuh puluh persen mirip dengan wajah
ibunya yaitu Pek Kun gie.
Dengan perasaan tercengang dia lantas berpikir, “Seandainya aku tidak mengetahui lebih dulu
kalau paman Bong hanya mempunyai seorang putra saja, dan usianya sebaya dengan adik Wi,
mungkin aku bisa mengira perempuan ini sebagai familiku sendiri”
Nona berbaju putih itu tampak tertegun pula, tiba-tiba dia merasa pedang yang ditangan Hoa Inliong
sangat dikenal, tangannya segera meraba kebelakang bahu, ternyata entah sedari kapan
pedang nya sudah lenyap tak berbekas.
Dalam malu bercampur gusar, dia lantas berteriak keras, “Hayo cepat kembalikan kepadaku!”
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh….baik, aku akan menurut perintah nona.
Sambil terbahak-bahak Hoa In-liong masukkan kipasnya kedalam saku, lalu pedang yang berada
ditangan kanannya itu diangsurkan ke hadapan sang nona.
Rupanya nona berbaju putih itu tak menyangka dia berani berbuat demikian, sebab dengan
ujung pedang tertuju pada dada sendiri sedang gagang pedang diberikan kepada musuhnya,
tindakan ini merupakan suatu tindakan yang berbahaya sekali, seandainya musuh berhasil
memegang gagang pedang itu lalu mendorongnya ke depan, maka walaupun seseorang memiliki
ilmu silat yang tinggi, belum tentu dia dapat meloloskan diri dari ancaman dengan mudah.
Rupanya nona itu menyangka Hoa In-liong hendak menipunya, untuk sesaat dia tak berani
menerima angsuran pedangnya itu.
Tunggu punya tunggu ketika dilihatnya nona itu tidak berani untuk menerima pedangnya juga,
Hoa In-liong segera menggelengkan kepalanya, samhil menghela napas, “Aaaai….benar-benar
tak kusangka kalau nona adalah seorang manusia bernyali tikus!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
718
Nona berbaju putih itu tak tahan mendengar hasutan, ia tertawa dingin, lalu dengan cepat
merebut kembali pedangnya, ternyata senjata tersebut dapat di ambil kembali dengan sangat
mudah.
Mula-mula ia rada tertegun, kemudian sambil menggetarkan pedangnya ia melancarkan sebuah
tusukan ke dada Hoa In-liong.
Sejak semula Hoa In-liong memang telah bersiap sedia, sambil tertawa terbahak-bahak dia
menyentil dengan jari tangan kirinya.
Secara tiba-tiba saja jalan darah Ci ti hiat di lengan kanan nona berbaju putih itu menjadi kaku,
pedangnya tak mampu dicekal lagi dan segera terjatuh ke tanah.
Dengan suatu kecepatan luar biasa, Hoa In-liong menggerakkan lengan kanannya, tahu-tahu
pedang itu kembali sudah berpindah tangan.
Kejut dan ngeri si nona baju putih itu menghadapi kejadian didepan mata, untuk sesaat dia tak
tahu apa yang musti dilakukan.
“Kalau berhati busuk dan jahat kedengaran Hoa In-liong membentak dengan marah, “orang
semacam kau tak bisa dibiarkan hidup terus!”
Cahaya putih berkelebat lewat, tahu-tahu pedang itu sudah menyambar dihadapannya.
Keadaan si nona baju putih itu boleh di bilang tersudut, dia tak mampu melakukan perlawanan
lagi, menghadapi kejadian semacam itu, dia hanya bisa pasrah, memejamkan matanya dan
menunggu saat kematian merenggut nyawanya.
Tapi…. ternyata tunggu punya tunggu tiada rasa sakit yang dirasakan, cepat dia membuka
matanya kembali, tampak Hoa In-liong berdiri dihadapannya dengan senyuman dikulum,
kipasnya sudah berada ditangannya kembali bahkan digoyangkan dengan santai, sementara
pedang mustika itu sendiri sudah lenyap tak berbekas, entah kemana larinya?
Sekali lagi dia meraba kepunggungnya, ternyata pedang tersebut sudah tersoien kembali di
dalam sarungnya.
Rupanya Hoa In-liong cuma ingin menakut-nakuti lawannya dengan gertakan sambal, padahal
maksud sebenarnya hanya ingin mengembalikan pedang itu ke dalam sarungnya.
Sekarang, si nona baju putih itu baru keder, dia merasa bulu kuduknya pada berdiri semua.
Kendatipun pedangnya berhasil direbut kembali, akan tetapi ia tak berani sembarangan bergerak,
ditatap nya Hoa In-liong dengan sinar mata ketakutan, jelas kelihatan kalau dia gugup, panik dan
sedikit gelagapan.
Padahal, berbicara yang sesungguhnya, ilmu silat yang dimiliki gadis itu terhitung kelas satu,
seandainya Hoa In-liong tidak mempersiapkan diri lebih dulu, sekalipun dia tak becus, juga tak
akan sampai menderita kekalahan sedemikian rupa.
Hoa In-liong mendekatkan kain cadar yang berhasil dirampasnya itu ketepi hidung, lantas dibau
nya sebentar, lalu dia mengeluarkan kertas dari sakunya dan dibau pula, akhirnya dia bergumam,
“Yaaa, tak salah lagi, baunya memang serupa!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
719
Nona berbaju putih itu dapat mengenali kertas tadi sebagai surat yang ia tinggalkan dalam kamar
penginapan, rasa malu dan marah segera bercampur aduk dalam perasaannya.
“Tak kusangka keturunan keluarga Hoa adalah manusia rendah yang tak tahu malu!” teriaknya.
Hoa In-liong tersenyum, pikirnya, “Rasain sekarang, baru tahu kalau aku orang she Hoa bukan
manusia yang bisa dipermainkan seenaknya sendiri….”
Kertas dan kain cadar itu dimasukkan kembali ke sakunya, lalu sambil memberi hormat kepada si
nona berbaju putih itu katanya, “Harap nona jangan marah, secara tiba-tiba saja aku teringat
dengan seorang sahabat karibku, maka bila ada perbuatanku yang kurang hormat, harap nona
bersedia memaafkan!”
Meskipun si nona baju putih itu tahu kalau lawannya hendak main setan dihadapannya, toh tak
tahan dia bertanya juga, “Sahabat karibmu itu bernama siapa? Macam apakah orangnya?”
“Aku sendiripun kurang begitu tahu tentang nama sahabat karibku itu” jawab Hoa In-liong
dengan wajah serius, “tapi….”
“Aaah…. kalau namanya saja tidak tahu, dari mana bisa dikatakan sebagai sahabat karib?” tukas
nona berbaju putih itu dingin.
“Yaa, aku memang tak tahu siapa namanya, tapi aku hanya tahu kalau dia adalah seorang nona
yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan!”
Merah padam selembar wajah si nona berbaju putih itu saking jengahnya, dengan marah dia
membentak, “Tutup mulut!”
Hoa In-liong pura-pura tertegun, lantas bertanya, “Eeeh…. aneh benar nona ini, apa yang
menyebabkan kau menjadi marah marah besar?”
Nona berbaju putih itu merenung sejenak, lalu katanya dengan dingin dan kaku, Eeeh…. mau
bunuh mau cincang silahkan kau lakukan dengan segera atas diriku, tapi kalau Cuma
mengumbar kata-kata yang tidak senonoh…. hmm! Tidak takutkah kau kalau perbuatan ini akan
menurunkan martabat dari keluarga Hoa sendiri?”
“Pintar betul perempuan ini bersilat lidah” pikir Hoa In-liong, “dia memang seorang musuh yang
tangguh!”
Maka sambil tertawa tergelak dia lantas menjura, ujarnya, “Teguran nona memang betul sekali,
bolehkah aku tahu siapa nama nona….?”
Nona berbaju putih itu termenung sebentar, kemudian jawabnya dengan dingin, “Dengarkan
baik-baik, aku bernama Gie Pek (rindu dengan Pek)!”
Terperanjat Hoa In-liong setelah mendengar nama itu, segera dia berpikir kembali, “Menurut
Gwakong, Hian-beng Kaucu kenal dengan mama, ooh…. jadi rupanya begitu! Sayang ayah tak
pernah menceritakan soal tersebut kepadaku, coha kalau tidak, mungkin dari kejadian-kejadian
masa lalu aku bisa meraba siapa gerangan Hian-beng Kaucu itu!”
Dalam hati dia berpikir demikian, diluar katanya lagi, “Lantas kau mengikuti nama marga yang
mana?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
720
“Nama margaku sama dengan nama guruku!” jawab nona itu ketus.
Hoa In-liong tertawa.
“Tolong tanya apakah gurumu berasal dari marga Cia?” desaknya.
Nona berbaju putih itu menggigit bibirnya kencang-kencang, dia membungkam dalam seribu
bahasa, Karena nora itu enggan menjawab, Hoa In-liong tidak mendesak lebih jauh, diapun
berkata, “Nona tempat seliar ini bukan tempat yang serasi untuk bercakap cakap, bagaimana
kalau kita kembali kerumah penginapan dan melanjutkan pembicaraan disana?”
“Dari sini menuju kerumah penginapan tersebut terlampau jauh, aku rasa tak usah?”
Hoa In-liong tersenyum.
“Tuan rumah yang baik akan berusaha memenuhi keinginan tamunya, baiklah, terserah kemauan
nona”
Kontan saja nona berbaju putih itu tertawa dingin.
“Heeehhh…. heeehhh…. heeehhh…. kalau kau ingin menjadi tuan rumah yang baik serta
berusaha memenuhi keinginan tamunya, biarkan siau li meninggalkan tempat ini”
Selesai berkata dia putar badan dan siap berlalu dari sana.
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, sekali lagi dia menghadang dihadapan nona itu.
“Tunggu sebentar nona!” serunya.
Nona berbaju putih itu memang sudah menduga kalau Hoa In-liong tak akan membiarkan dia
pergi dengan begitu saja, sambil menggigit bibir, tiba-tiba ia melancarkan serangan kilat untuk
menotok jalan darah Thian tee ditubuh anak muda itu.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahh…. nona memang kelewat kejam” ujar Hoa In-liong sambil
tertawa tergelak, “masa setiap serangan yang dilancarkan, tentu mengarah jiwa manusia!”
Dengan cekatan lengan kanannya diputar kebawah. Nona berbaju putih itu segera merasa
pergelangan tangannya mengencang dan tahu tahu sudah berada dalam cengkeraman Hoa Inliong.
Dia berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman tersebut, sayang makin dia meronta
cengkeraman tersebut semakin mengencang hingga akhirnya ibarat jepitan besi, bagaimanapun
dia meronta, toh tak berhasil untuk melepaskan diri.
Merah padam selembar wajahnya karena jengah, dia lantas membentak dengan marah, “Lepas
tangan!”
Hoa In-liong terbahak-bahak, serunya, “Nona, engkau terlampau liar, kalau tak dikasih sedikit
pelajaran, bisa membahayakan jiwaku. Yaa, apa boleh buat, terpaksa aku harus menyiksa
sebentar diri nona,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
721
Saking gemasnya, kalau bisa nona berbaju putih itu hendak menghadiahkan sebuah tendangan
ke tubuh lawan, tapi dia kuatir bila sampai berbuat demikian maka Hoa In-liong akan semakin
membuat dia malu….
Terbayang kembali semua kejadian yang dialaminya, nona itu mulai menyesal, dia menyesal
kenapa tak mau menuruti nasehat gurunya, coba dia mau menuruti perkataan gurunya dan tidak
bersikeras datang kemari untuk mencoba kekuatan Hoa In-liong, tak mungkin dirinya akan
dipermalukan oleh anak muda tersebut.
Tiba-tiba Hoa In-liong melepaskan tangannya, lalu berkata, “Nona, bagaimana kalau kita
membicarakan persoalan ini secara baik-baik saja tanpa menggunakan kekerasan?”
“Huuuh….siapa yang kesudian disebut kita bersama manusia macam kau?” protes nona itu
marah.
Hoa In-liong tertawa tergelak .
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh…. baik, baiklah, bagaimana kalau kau dan aku berbicara secara
baik-baik?”
Nona berbaju putih itu mendengus, sambil meraba pergelangannya yang bekas dicengkeram itu
dia ambil sikap acuh tak acuh.
Diam diam Hoa In-liong tertawa geli, dari sakunya dia mengeluarkan selembar saputangan, lalu
ditebarkan diatas sebuah batu yang bidang, sesudah itu sambil menggerakkan tangannya
membuat gerakan mempersilahkan dia berkata, “Silahkan duduk nona manis!”
Setelah berulang kali menemui kegagalan, hilang sudah kepercayaan nona itu terhadap
kemampuan sendiri, dia tahu kaburpun tak ada gunanya, maka tanpa membantah dia duduk
diatas batu tersebut.
Hoi In liong sendiri juga mencari sebuah batu dan duduk seadanya.
Menyaksikan sikap sianak muda tersebut, walaupun dihati kecilnya nona itu tertawa dingin, toh
hatinya tergerak juga.
Dalam pada itu, Hoa In-liong telah berkata kembali setelah berpikir sebentar, “Ketika berada di
kota Lam-yang tempo hari aku pernah berjumpa dengan seorang nona yang usianya hambir
sebaya dengan nona, dia mengenakan baju warna ungu dan membawa sebilah pedang pendek,
kemauapun dia pergi, pelayannya yang bernama Si Nio selalu mendampinginya….”
“Oooh…. kau maksudkan Siau Leng jin si budak ingusan itu?” tukas si nona tak sabaran.
Sungguh gembira hati Hoa In-liong setelah tanpa sengaja mendapat tahu nama dari nona baju
ungu itu, dia tertawa.
“Mungkin memang dia orangnya, apakah nona kenal baik dengan dia?” kembali dia mendesak
Rupanya si nona berbaju putih menyadari kalau ia salah berbicara, cepat serunya dengan ketus,
“Maaf, aku tak dapat memberitahukan kepadamu!”
“Wah, kalau didengar dari nadanya, jangan-jangan diantara mereka mempunyai permusuhan?”
pikir Hoa In-liong.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
722
Tentu saja ingatan tersebut tidak diutarakan keluar, sambil tertawa katanya kemudian, “Kalau
dugaanku tidak keliru, suhu nona pastilah Hian-beng Kaucu si ketua dari perguruan neraka itu,
boleh aku tahu siapa nama gurumu?”
“Tidak boleh!” jawaban nona itu lebih ketus.
Keketusan yang berulang kali tidak merubah sikap Hoa In-liong yang ramah, sekulum senyuman
tetap menghiasi bibirnya.
“Konon perkumpulan Hian-beng-kauw mempunyai jago silat yang tak terhitung jumlahnya,
apakah kau bersedia menyebutkan satu dua orang di antaranya sehingga menambah
pengetahuanku?” kembali pintanya.
“Hmm! Jangan mimpi!” tukas si nona sambil mencibirkan bibir.
“Boleh aku tahu permusuhan apa yang terikat antara suhumu dengan keluarga Hoa kami?”
Ketika mendengar pertanyaan tersebut, tiba-tiba hawa napsu membunuh memancar keluar dari
mata nona baju putih itu cuma mulutnya tetap membungkam dalam seribu bahasa.
“Waaah….celaka ini!” lagi-lagi Hoa In-liong berpikir, “dilihat dari cemberutnya, jelas rasa benci
mereka sudah merasuk sampai ke tulang sumsum, cuma herannya dendam apakah itu? Kenapa
mereka bisa mengikat dendam sedalam lautan dengan keluarga Hoa?”
Berpikir sampai disitu, maka dia mengalihkan kembali pokok pembicaraan….
“Nona, beberapa orang Ciu Hoa yang berkeliaran dalam dunia persilatan apakah merupakan
kakak seperguruanmu?” ia bertanya.
Si nona baju putih tertawa dingin.
“Heeehhh…. heeehh…. heeehhh…. sayang kau tak sampai mampus dibunuh mereka!”
Jilid 36
“HAAAHHH….HAAHHH….HAAHHH…. aku lihat ilmu silat yang dimiliki suheng-suhengmu masih
terpaut jauh bila dibandingkan ke pandaian nona, nona saja sudah berbelas kasihan kepadaku,
apalagi subeng-suhengmu itu….Huuh, memangnya mereka bisa apakan diriku”
“Hei, siapa yang berbelas kasihan kepadamu?” teriak si nona dengan marah, merah jengah
selembar pipinya.
“Haaahhh….haaahhh….haaahhh….betul-betul memang bukan berbelas kasihan, tapi nona kan
sudah mengalah kepadaku bukan?”
Si nona baju putih itu tertunduk ketus, dia membungkam dalam seribu bahasa.
Diam diam Hoa In-liong coba putar otak serta menganalisa semua keadaan yang dihadapinya, ia
merasa peristiwa pembunuhan atas diri Suma Tiang-cing dan asal usul ketua Hian-beng-kauw
hanya bisa diketahui dari mulut sinona berbaju putih ini, sudah barang tentu ia tak sudi
melepaskan mangsanya dengan begitu saja.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
723
Sekalipun ia pingin cepat-cepat mengetahui keadaan sebenarnya, Hoa In-liong pantang memaksa
dengan kekerasan, ia tak tega berbuat begini terhadap seorang nona cantik seperti gadis berbaju
putih ini.
Tentu saja diapun sadar bahwa gadis itu terlampau keras kepala, biasanya orarg yang keras
kepala pantang diajak bekerja sama, namun Hoa In-liong tidak putus asa, dia adalah seorang
pemuda yang cerdik dan cekatan, tiada persoalan di dunia ini yang bisa menyulitkan dirinya.
Hanya sebentar saja dia termenung, sebuah akal bagus telah didapatkan, bibirnya lantas
bergetar hendak melaksanakan siasatnya itu.
Namun sebelum rencananya itu terlaksana, mendadak dari tempat kejauhan terdengar seseorang
berteriak keras, “Hei….anak liong!”
Hoa In-liong tertegun, pikirnya, “Heran, siapa yang lagi memanggilku?”
Lantaran keheranan maka diapun berpaling.
Sang surya sudah tenggelam di langit barat, pelangi yang indah menghiasi cakrawala dunia,
pemandangan ketika itu sangat indah dan mempesona.
Diantara pantulan sinar kelabu ditengah senja tampaklah beberapa sosok bayangan manusia
berlarian datang dari tempat kejauhan.
Tenaga dalam yang dimiliki Hoa In-liong sekarang cukup sempurna, meskipun suasana telah
berubah menjadi remang-remang, namun cukup dalam sekilas pandangan ia telah melihat bahwa
orang-orang tersebut adalah tiga orang gadis berdandan suku Biau.
Ketika itu, si nona baju putih ikut pula menengadah, tapi ia tidak melihat dengan jelas siapa
pendatang tersebut.
Tiba-tiba ia menyaksikan Hoa In-liong melonjak kegirangan, kemudian kedengaran pemuda itu
bersorak sorai, “Hei Toa kokoh, ji kokoh, sam kokoh kenapa kalian muncul semua di daratan
Tionggoan?”
Ketika mendengar teriakan tersebut bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, ketiga
orang itu bergerak menghampiri ke arahnya.
Ketika sianak muda itu berdiri membelakangi, diam-diam sinona baju putih berpikir, “Bila
kumanfaatkan kesempatan yang baik ini dengan melancarkan serangan maut, aku yakin jurus
Teng liong kui ci (naga sakti sembilan menukik) cukup membuat dia koit, hmmm….konon kungfu
yang dimiliki Hoa In-liong lihay sekali, aku tak boleh sembarangan bergerak, bisa bisa malah aku
sendiri yang kena terhajar….”
Lantaran berpendapat demikian, maka rencana yang telah dipersiapkan segera dibatalkan
kembali.
Dalam pada itu, beberapa sosok bayangan manusia tadi sudah makin mendekat, sekarang nona
itu dapat menyaksikan dandanan mereka dengan amat jelasnya.
Ternyata pendatang tersebut adalah perempuan-perempuan suku Biau yang cantik jelita, mereka
bertubuh setengeah telanjang, kaki dan tangannya yang putih mulus tertera nyata sekali,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
724
terutama bagian payudaranya yang setengah menongol keluar bikin hati orang bergairah saja
rasaaya….
Sementara si nona masih melamun, Hoa In-liong telah memberi bisikan kepadanya dengan ilmu
Coan im mi (Ilmu Menyampaikan Suara).
“Nona, ketahuilah bahwa ketiga orang bibiku berasal dari wilayah Biau, mereka paling
mendendam terhadap segala kejahatan dan manusia manusia kaum sesat, bila ia sampai tahu
kalau kau adalah anggota Hian-beng-kauw, bisa jadi nyawamu akan direnggut. Maka demi
keselamatan jiwamu, bagaimana kalau untuk sementara waktu kau kuakui sebagai putri paman
Bong!”
Si nona berbaju putih yang berwatak tinggi hati dan keras kepala, sudah tentu tak sudi
menunjukkan kelemahannya didepan orang, ia tertawa dingin dan siap menolak kebaikan orang.
Tapi sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, Hoa In-liong telah berkata lagi, “Bagaimanapun
toh aku tidak menyuruh kau mengakui sendiri, biar aku yang berbicara bagimu!”
SESUNGGUHNYA masih banyak perkataan yang hendak diucapkan Hoa In-liong, akan tetapi
lantaran ketiga orang nyonya muda dari wilayah Biau itu sudah muncul di depan mata, mau tak
mau Hoa In Iiong musti membatalkan niatnya itu.
Sambil tertawa dia maju memberi hormat dan menegur, “Toa kokoh, kenapa kalian muncul di
daratan Tionggoan? Sesungguhnya kedatangan kalian karena apa7”
Jawab salah satu seorang nyonya berwajah cantik itu sambil tertawa, “Aku dengar kau terkena
racun ular keji yang amat jahat, sengaja kami datang kemari untuk menengok mu, baru masuk
daratan Tionggoan, kami sempat pula mendengar pergolakan yang telah terjadi dalam dunia
persilatan terutama perbuatan gilamu dikota Si ciu yang menantang tiga partai besar untuk
beradu tenaga, sebab itu kami menyusul kemari….!”
Nyonya suku Biau yang ada disebelah kiri tiba-tiba menarik nona baju putih itu sekejap,
kemudian bertanya, “Long-ji, siapakah dia?”
“Oooh….diakan putrinya paman Boag, bernama Bong Gi pek! Masa kokoh sekalian lupa?” jawab
Hoa In-liong cepat-cepat sambil tertawa menyengir kuda.
Lalu sambil menggape kepada sinona itu, katanya lagi, “Adik misanku Gi pek! Marilah
kuperkenalkan kalian, tiga orang ini adalah kokohku yang dikenal orang persilatan sebagai Biau
nia-sam sian (tiga dewi dari bukit Biau), menurut urutannya mereka adalah Lan hoa Siancu (dewi
bunga anggrek), Li hoa Siancu (dewi bunga lily) dan Ci wi Siancu (dewi bunga mawar),
kepandaian mereka adalah menggunakan racun tiada tandingannya didunia ini, jangan lewatkan
kesempatan ini untuk berkenalan dengan mereka”
“Eammm…. betul juga perkataannya, kenapa aku musti menelan kerugian yang ada didepan
mata?” pikir sinona baju putih itu dalam hati kecilnya.
Dengan lemah gemulai ia maju ke depan dan memberi hormat, lalu sapanya dengan suara yang
lembut, “Siancu cianpwe!”
Diam diam Hoa In-liong menghembuskan napas lega, ia tak mengira kalau akhirnya sinona mau
juga meuuiuti perkataannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
725
Hakekatnya raut muka nona ini ada enam tujuh bagian mirip dengan wajah Pek Soh gie, isteri
Bong Pay, sebab itu Bian nia sam sian tak ada yang menaruh curiga terhadap keasliannya,
apalagi melihat kelembutan dan kesopanan sinona, mereka bertambah girang dibuatnya.
Dengan watak terbuka mereka yang tak pernah terikat oleh segala macam adat serta peraturan,
langsung saja Lan hoa siancu memeluk nona berbaju putih itu sambil tertawa.
“Waaah…. Kau memang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, persis sekali dengan potongan
muka ibumu, eeei….nona manis, berapa usiamu tahun ini?”
“Sudah ketemu jodoh belum?” seru Li hoa siancu pula sambil menarik tangan dan cekikikan.
Ci wi Siancu tak kalah, ujarnya cepat sambil tertawa, “Kalau belum punya jodoh, bagaimana
kalau kita bantu untuk mencarikan pasangan yang pantas? Cuma entah pemuda dari mana yang
punya rejeki untuk mempersunting gadis seperti kau?”
Begitulah, untuk sementara waktu Biau nia sam sian hanya merubung si nona baju putih sambil
cuat cuit berKicau tiada habisnya, ini membuat Hoa In-liong terisolir dan harus berdiri sendian di
samping.
Betapa jengah dan rikunya nona berbaju putih itu menghadapi peristiwa semacam itu, apa yang
mereka bicarakan adalah putri orang lain, bahkan menyinggung pula soa1 mencarikan jodoh,
sekalipun serba salah nona itu dibuatnya, tapi justru karena persoalan ini rasa dendam kesumat
yang tertanam dalam hatinya berubah menjadi lebih tawar dan menipis.
Ia tertunduk rendah-rendah dan malunya bukan main, bagaimana mungkin ia dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut?
Ketika matanya coba untuk melirik ke samping dan menyaksikan Hoa In-liong berdiri disitu
sambil tersenyum-senyum penuh kebanggaan, hatinya menjadi mangkel dan dongkolnya bukan
main, kontan saja ia perseni sebuah delikan mata kepadanya.
Hoa In-liong yang masih belum hilang sifat kekanak-kanakannya, menjadi sangat gembira ketika
dilihatnya nona tersebut melotot ke arahnya dengan wajah mendongkol, cepat diapun
mengerdipkan pula matanya.
Tentu saja Biau nia sam sian tidak mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, dia masih
mengira muda-mudi itu sedang berlirik-lirikan mata tanda cinta.
Lan hoa Siancu segera berpikir, “Kalau dilihat dari hubungan mereka berdua tampaknya sudah
ada kecocokan diantara mereka, “hmmm…. ! Bong Gi pek memang seorang nona yang cantik
jelita, bak bidadari dari kahyangan, dia sangat cocok bila dijodohkan anak Liong….’.
Betul, Liong-ji adalah seorang bocah yang romantis dan banyak menyebarkan bibit cinta kemana
saja, penyakit jeleknya tentu sedikit banyak akan terobati bila di rumah sudah ada istri!”
Berpikir sampai disitu, timbullah niatnya untuk menjodohkan muda mudi itu.
Orang Biau adalah manusia manusia berjiwa hangat, biasanya apa yang dipikirkan segera
dilakukan, begitu pula dengan diri Lan hoa siancu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
726
Setelah mengambil keputusan, ia lantas mengerling sekejap kearah Li -hoa Siancu dan Ci wi
Siancu, lalu sambil lepas tangan katanya, “Kalian berbincang-bincanglah, aku hendak berbicara
sebentar dengan Liong ji”
Biau nia sam sian memang mempunyai hubungan batin yang erat, apalagi Li hoa siancu dan Ci
wi siancu memang mengandung maksud yang sama setelah bertemu deegan nona berbaju putih
itu, maka sambil tersenyum mereka menarik sinona kesamping dan diajak berbincang-bincang.
Untungnya mereka sudah lama dan terbiasa bergaul dengan orang orang Tionggoan, mereka
tahu gadis-gadis bangsa Han paling pemalu terutama dalam soal jodoh, hingga maksud hati
mereka tak sampai dikemukan secara terus terang.
Waktu itu Lan hoa siancu telah menarik Hou In liong untuk menyingkir dari sana, lalu dengan
wajah bersungguh-sungguh katanya, “Anak Liong!”
“Ada urusan apa toa kokoh?” jawab Hoa In-liong sambil tertawa, dia tak tahu permainan setan
apa yang sedang dipersiapkan para bibinya yang datang dari wilayah Biau ini.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, cepat dia membatin, “Waduh celaka! Janganjangan
kedatangan mereka untuk menyampaikan perintah dari nenek atau ayah yang
menitahkan aku segera pulang? Kalau sampai begini keadaannya, bisa rusak nama baikku!
Sekarang sandiwara baru saja dimulai, tapi kalau sampai terhenti ditengah jalan, semua orang
sudah pasti akan mencaci maki diriku habis-habisan!”
Sekalipun rasa kuatir hampir mencekam seluruh perasaannya, toh ia sempat bertanya juga.
“Apakah ada berita dari nenek atau ayah?” Lan hoa Siancu dapat merasakan ketenangan anak
muda itu, ia segera tertawa.
“Hei, tampaknya kalau begitu takut terhadap nenek dan ayahmu?”
Dari ucapan tersebut Hoa In-liong dapat menarik kesimpulan bahwa kedatangan bibi-bibinya
bukan untuk menyampaikan perintah nenek ataupun ayahnya, kenyataan ini menjadikan hatinya
lega sekali.
“Aaaai….kalau Liong-ji sih bukan takut sama nenek dan ayah saja, dengan bibi bertigapun aku
juga takut!” sahutnya sambil tertawa.
Kontan saja Lan hoa Siancu tertawa lebar.
“Hmmm….! Dasar bocah binal, dasar telur busuk kecil!”
“Toa kokoh, kenapa kau maki diriku?” keluh Hoa In-liong sambil gelengkan kepalanya dan
tertawa.
“Oooh….jadi kalau merasa tidak puas?” Lan hoa Siancu mendelik lebar-lebar, “Hmm….!Kau
memang sibinal kecil, sitelur busuk kecil! Sedangkan bapakmu adalah sibinal gede, sitelur busuk
gede, siapa yang tidak puas dengan julukan ini?”
Yaa, pada hakekatnya hanya orang orang dari wilayah Biau saja yang berani mergucapkan katakata
semacan itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
727
Banyak memang sahabat-sahabat karib Hoa Thian-hong, seakrabnya mereka bergaul toh
diantara masing-masing pihak selalu berusaha menjaga gengsi serta martabat masing-masing,
lagipula jelek-jelek begitu Hoa Thian-hong adalah seorang tokoh yang mempunyai kedudukan
tinggi dalam dunia persilatan, bersikap agak berayal saja tak berani apalagi mencaci maki
dirinya….?
Diantara sekian banyak orang di dunia ini, hanya kawanan murid dari Kiu tok sian ci yang
mempunyai pergaulan sangat akrab dengan Hoa Thian-hong, soal goda-menggoda, caci-mencaci
dan cemooh mencemooh sudah merupakan kebiasaan diantara mereka, kedua belah pihak
sama-sama tak mempunyai pantangan, sebab itu apapun juga tiga orang perempuan suka Biau
ini berani mengutarakannya.
Hoa In-liong gelengkan kepalanya sambil tertawa.
“Baik, baik, aku takluk!” Aku takluk! Kalau Toa kokoh ada perkataan, katakanlah dengan cepat”
katanya.
“Kalau sudah takluk! kenapa masih juga menggelengkan kepala?” seru Lan hoa siancu.
Sebab bila toa kokoh tidak ada persoalan lain koponakan masih harus membereskan persoalan
pribadiku!”
Agaknya Lan hoa siancu memang rada kewalahan menghadapi keponakannya ini, ia sedikit tobat
menghadapi tingkah lakunya yang binal, maka ujar nya kemudian, “Mau menuruti perkataan toa
kokoh tidak?”
“Mau! Mau! Tentu saja mau!” jawab Hoa In-liong sambil manggut-manggut cepat.
Lan hoa siancu ikut manggut-manggut.
“Bagus sekali kalau kau bersedia….”
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi dengan wajah serius, “Maksud toa kokoh, usiamu tahun
ini sudah tidak kecil, kalau setiap hari kerjamu hanya seperti kuda liar yang lari kesana lari
kemari….”
Sebelum ucapan tersebut selesai diutarakan, Hoa In-liong telah menebak apa tujuan bibirnya ini,
cepat dia goyangkan tangannya berulang kali.
“Usia keponakan masih terlampau muda, lebih baik soal itu dibicarakan beberapa tahun lagi!”
tukasnya sambil tertawa, “Eeeh….kurangajar, kau berani membangkang perintahku? Minta
digebuki pantatmu?” teriak Lan hoa Siancu marah-marah.
“Kalau toa kokoh ingin menggebuk pantatku, silahkan saja digebuk, tapi yang pasti keponakan
tak dapat menuruti perintahmu”
Lan hoa Siancu memutar biji matanya dan berpikir sebentar, lalu katanya lagi, “Kalau kau berani
berterus terang dihadapannya dan berkata kalau kau tidak tertarik kepadanya, tentu saja toa
kokoh tidak akan banyak bicara lagi, karena banyak berkatapun tak ada gunanya, sebaliknya
kalau tidak berani maka kau harus menuruti perkataanku, bagaimana? Berani tidak….?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
728
Melihat itu, Hoa In-liong segera berpikir dalam hatinya, “Kalau dilihat dari sikapnya yang begitu
kukuh rupanya keinginannya untuk menjadi mak comblang sudah amat berkobar, yaaa….aku
musti mencari akal bagus untuk melenyapkan niatnya itu”
Terbayang sampai kesitu, tiba-tiba saja bayangan tubuh dari Coa-Wi-wi melintas kembali dalam
benaknya.
Sementara dia masih melamun, Lan hoa Siancu telah berseru sambil mencibirkan bibirnya,
“Huuuh….coba libat tak nyana kalau nyalimu sekecil ini, untuk mengakui urusan sekecil inipun
tak berani”
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, ia termenung dan berpikir sebentar, lalu setelah
mengambil keputusan baru katanya, “Baiklah toa kokoh coba kau sebutkan siapa orangnya?”
“Waaah….kalau kulihat dari kekukuhanmu, rupanya hubungan cinta kalian berdua sudah terikat
semenjak dulu-dulu….atau mungkin maksud toa kokoh menjadi mak comblang hanya suatu
perbuatan yang berlebihan saja….?” kata Lan hoa Siancu sambil tertawa.
Tentu saja Hoa In-liong tidak mengerti siapa yang dimaksudkan, ia merasa kebingungan dan
tidak habis mengerti.
“Tapi yang jelas dia bukan maksudkan adik Wi!” demikian pikirnya.
Maka diapun bertanya dengan keheranan, “Hei toa kokoh! Sebetulnya siapa yang kau
maksudkan?”
“Ciiisss….! Tak usah berlagak bodoh, aku percaya dengan kecerdasanmu bisa kau tebak siapa
gerangan orang yang kumaksudkan?”
“Toa kokoh artikan….”
“Tentu saja dia yang kumaksudkan!” sambil manggut-manggut Lan-hoa Siancu menuding kearah
sinona baju putih yang sedang berdiri bersama-sama kedua orang adik seperguruannya itu.
Hoa In-liong tertegun lalu menyengir kuda, ia benar-benar dibuat menangis tak bisa tertawapun
sungkan, pikirnya, “Sialan, kau anggap siapakah nona itu? Dia adalah muridnya Hian-beng-kauw,
murid musuh besar keluarga kita! Jangan toh perkenalan baru berlangsung selama dua jam,
sampat sekarangpun belum kuketahui siapa namanya, Huuh….! Kalian memang terlalu
membayangkan hal-hal yang terlalu muluk”
Begitulah kalau kesalahan paham telah terjadi, Hoa In-liong tahu kalau nona baju putih itu
sebagai muridnya ketua Hian-beng-kauw, tentu saja ia pun menyadari bahwa perjodohan
diantara mereka tak bakal sampai terjadi….
Sebaliknya Biau nia sam sian mengira nona baju putih itu sebagai putrinya Bong Pay, dari sikap
sinona dengan Hoa In-liong mereka menganggapnya sebagai sepasang sejoli yang sudah bergaul
intim, maka timbullah riat mereka untuk memperjodohkan kedua orang itu.
“Hei telur busuk kecil” bentak Lan hoa Siancu tiba-tiba, “bagaimana pendapatmu?”
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, diam-diam pikirnya, “Kalau kubiarkan kau berterus terang
kepadanya, dalam gusar dan malunya tentu ia akan mengemukakan asal usulnya yang
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
729
sebenarnya, haaahh….haaa….haaahh….waktu itulah pasti akan muncul adegan yang menarik
hati”
Bibirnya sudah bergetar siap mengemukakan maksud hatinya itu, tiba-tiba ingatan lain melintas
dalam benaknya, cepat ia berpikir lebih lanjut, “Tidak, tidak boleh! Kalau dia sampai
menyebutkan asal usulnya yang sebetulnya, soal lainnya masih mendingan, kalau sampai ketiga
orang bibiku mengumbar watak jeleknya dan mencoba untuk membereskan jiwanya….waah, bisa
berabe jadinya”
Timbul kesalahpahaman dihati Lan hoa Siancu setelah menyaksikan pemuda itu mengurungkan
niatnya untuk berbicara, ia mengartikan pemuda itu takut malu.
Maka sambil tertawa tergelak serunya, “Haaahh….haaahhh….haaahhh….rupanya kau-pun
mengerti malu? Kalau begitu biar toa kokoh yang mengutarakannya mewakilimu, setuju bukan?”
Habis berkata dia lantas putar badan dan menghampiri si nona berbaju putih itu.
“Eeeeh….eeeeehh….tunggu sebentar!” teriak Hoa In-liong sambil narik lengannya, “Ada apa
lagi?”
“Untuk menyelamatkan selembar jiwanya, terpaksa aku harus berbuat demikian” pikir Hoa Inliong,
Meski geli rasanya, ucapnya juga dengan wajah bersungguh sungguh, “Sayang tindakan
dari toa kokoh terlalu lambat”
“Apa maksudmu?” seru Lan hoa Siancu
Setelah memperhatikan pemuda itu sekejap, ujarnya lagi.
“Air mukamu segar, sirna sekali tidak mirip orang yang terkena racun ular keji, lagipula sewaktu
ayahmu terkena Racun teratai empedu api tempo hari, meski digembar-gemborkan kalau tak
bisa beristri dan punya anak, belum pernah kudengar kalau orang yang terkena racun ular keji
juga tak dapat beristri dan punya anak”
Hoa In-liong tersenyum.
“Kalau memang sudah tahu begini, apakah aku harus menerangkan lagi secara terperinci?”
Lan hoa Siancu tertawa lebar,
“Haahhh….haaahhh….haaahhh….kalau begitu aku harus mengucapkan selamat dulu kepadamu.
Selesai berkata ia putar badan dan siap berlalu dari situ.
“Eeeeh….tunggu sebentar!” teriak Hoa In-liong gelisah.
Dihampirinya Lan hoa Siancu, lalu bisiknya dengan lirih, “Jelek-jelek kau adalah toa suci nya
ibuku, apakah kau tidak takut dengan sifat pemalu dari gadis perawan bangsa Han?”
Lan hoa Siancu berpikir sebentar, lalu tertawa.
“Yaaaa….begitulah kalau suatu bangsa terlalu banyak mempunyai peraturan-peraturan yang
aneh padahal apa perlunya mesti malu-malu kucing? Toh akhirnya juga kawin? Baiklah daripada
mencari penyakit buat diri sendiri, lebih baik aku tidak akan melakukan pekerjaan ini lagi”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
730
Tiba-tiba dari depan sana kedengaran Li hoa Siancu berteriak keras, “Toa suci, sudah selesai
belum pembicaraannya?”
“Sudah, dan rupanya kita tak perlu repot-repot lagi” jawab Lan-hoa Siancu sambil berpaling.
Kebetulan Ci wi Siancu sedang bercakap-cakap dengan kepala tertunduk, ketika mendengar
perkataan itu ia lantas menengadah dan bertanya dengan keheranan, “Hei, apa maksudmu?”
Si nona berbaju putih itu ikut dibuat kebingungan, dengan wajah tercengang ia menengadah.
Hoa In-liong kuatir Lan hoa siancu tak dapat pegang rahasia hingga salah bicara, cepat cepat
timbrungnya, “Ji kokoh, sam kokoh, kalau masih belum jelas maka ingatlah akan ibuku kalian
tentu akan mengerti dengan sendirinya”
Mula-mula Li hoa Siancu dan Ci wi Siancu tertegun, tapi menyusul kemudian biji mata mereka
berputar putar, tampaknya mereka sudah menjadi paham dengan duduknya persoalan.
Kemudian Hoa In-liong berkata dengan gelisah, “Bukankah kalian tahu bahwa ibuku halus lembut
dan kalem?”
Si nona baju putih itu tercengang dan tidak habis mengerti, ia tak tahu kenapa pemuda tersebut
berulang kali menyinggung tentang ibunya.
Terdengar Li hoa siancu berkata sambil tertawa, “Yaa….yaa….kami sudah tahu kalau kalian
bangsa Han mempunyai pelbagai adat istiadat yang aneh dan tak masuk diakal, kami tak akan
berbuat tolol, kau tak asah kuatir”
Sudah barang tentu gadis berbaju putih itu makin kebingungan dibuatnya, sebentar ia
mengawasi wajah Hoa In-liong, sebentar lagi mengawasi Biau nai sam sian, hakekatnya ia tidak
mempunyai dendam secara langsung dengan ketiga orang dewi dari suku Biau itu. Apalagi
hakekatnya kemesrahan mereka telah mengharukan hatinya yang sedang kesepian.
Kesemuanya ini membuat sikapnya terhadap Biau nia sam sian cukup ramah, malahan sedikit
kelihatan hangat dan mesrah, dia sendiripun tidak ingin membongkar rahasia dengan
mengatakan bahwa dia bukan putrinya Bong Pay.
Diam-diam Hoa In-liong tertawa geii menyaksikan sikap bibi bibinya itu, pikirnya, “Siapa bilang
kalian tidak goblok? Justru saking tololnya kalian sudah keblinger….”
Sepanjang hidupnya belum pernah ia lakukan perbuatan selucu hari ini, makin dibayangkan
pemuda itu merasa makin geli sehingga hampir saja ia tergelak gelak, meski suara tertawanya
berhasil diken-dalikan, toh wajahnya tampak berseri.
Tiba tiba ia mendengar Ci wi Siancu berseru sambil tertawa, “Bong Gi pek, kiong bie yaa
untukmu!”
Si nona baju putih itu tertegun, ia melongo dan tak tahu apa yang musti diucapkan.
Mengetahui kalau rencananya nyaris mengalami kegagalan total, Hoa In-liong gelisah sekali,
segera teriaknya keras keras, “Sam kokoh….!”
“Aah, kau tak usah kecewa!” tukas Ci wi Siancu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
731
Cepat ia berpaling kearah si nona baju putih itu dan bertanya sambil tertawa, “Beritabu
kepadaku, kapan baru diadakan?”
Si nona baju putih itu bukan seorang gadis bodoh, ia terhitung seseorang yang berotak cerdas
dengan cepat dapat tertebak olehnya apa gerangan yang sedang terjadi, kontan saja pipinya
bersemu merah karena jengah, tiba-tiba ia melengos dan memandang kearah lain.
Betapa leganya Hoa In-liong karena gadis itu tidak marah, pikirnya, “Waahh…. kalau dilihat
situasinya sekarang, jelas aku tak bisa mendesaknya untuk menanyakan asal asul Hian-bengkauwcu
serta peristiwa terbunuhnya Suma Siok ya”
Ketika gadis itu melengos kearah lain dan Hoa In-liong memandang wajahnya dari samping,
mendadak pemura itu merasa wajahnya seperti pernah ditemuinya dulu, cepat otaknya berputar.
Setelah pikir punya pikir akhirnya pemuda itu baru teringat, rupanya gadis itu bukan lain adalah
penunggang kuda yang pernah ditemuinya bersama Thia Siok bi tempo hari sewaktu mereka
bersantap dalam sebuah warung makan ditengah hutan.
“Kalau begitu, gurunya Wan Hong giok pasti mempunyai hubungan yang akrab dengan Hianbeng-
kauw, soal ini harus kuselidiki sampai jelas” pikirnya kemudian.
Sementara itu si nona baju putih juga sedang berpirir, “Kalau tidak pergi sekarang, sampai kapan
baru akan angkat kaki?”
Tiba-tiba ia memberi hormat kepada Biau nia sam sian, katanya, “Cianpwe bertiga….”
“Panggil kami Siancu, jangan sebut cianpwe….” teriak Ci wi Siancu dengan cepat.
Nona berbaju putih itu tersenyum.
“Siancu cianpwe….”
“Bosan!” omel Li hoa Siancu dengan dahi berkerut, “kenapa kata cianpwe selalu tergantung di
ujung bibirmu?” Memangnya kami sudah tua sekali sehingga bertampang cianpwe?”
Nona baju putih itu tertawa geli, pikirnya, “Kalau dilihat dari sikap kalian yang haha hihi melulu,
sudah tentu tidak mencerminkan sikap seorang cianpwe”
Tanpa terasa ia berpaling ke arah Biau Nia sam sian dan mengamati wajah mereka dengan
seksama, ia merasa ketiga orang perempuan itu masih tampak segar dan cantik lagi, sama sekali
tidak menujukkan tanda-tanda ketuaannya.
Kembali Lan hoa Siancu tertawa.
“Tidak kau sangka bukan?” katanya, “sudah hampir tiga puluh tahun lamanya nama kami
tersohor dalam dunia persilatan, coba tebak berapa umurku tahun ini?”
“Mana aku tahu? Mau ditebak juga susah rasanya” pikir nona berbaju putih itu.
Karenanya dia lantas menggelengkan kepalanya berulang kali.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
732
Li hoa Siancu menggenggam tangannya erat-erat, lalu katanya sambil tertawa, “Si nenek Lan
hoa Siancu sudah berusaha lima puluh tujuh tahun, pingin belajar tidak dasar tenaga dalam suku
Biau kami? Kalau mau, segera akan kuajarkan kepadamu, hitung-hitung anggap saja sebagai
tanda mata dalam pertemuan kita kali ini”
Selesai berkata ia lantas menutup mulutnya dan tertawa.
“Yaa…. cuma sayang Hong-ji keberatan untuk melepaskan siau-long” tiba-tiba Ci wi Siancu
menambahkan.
Nona berbaju putih itu tak tahu apa yang dia maksudkan, sepasang matanya dibelalakkan besar
kemudian dialihkan keatas wajah Ci wi Siancu.
“Masa kau tidak tahu? Hong-ji kan ibunya” kata Ci wi Siancu sambil tertawa. “Dan ibunya adalah
murid paling buncit dari guruku, dia adalah sumoay kami terkecil. Aaai…. Hong-ji memang
berhati lembek, kalau tidak tahu mungkin ibunya anak Liong bisa kawin dengan bapaknya
sekarang, dan jika perkawinan itu tidak terlaksana, otomatis didunia ini tak nanti akan bertambah
dengan seorang Hun si Mo-ong raja iblis pengacau jagad semacam dia itu”
Seraya berkata ia mengerling sekejap kearah Hoa In-liong dan tertawa lebar.
“Aaai….! Kalian ini memangnya telah menganggap dia sebagai siapa….?” pikir Hoa In-liong.
Tiba-tiba ia merasa bahwa guraunya terlalu berlebihan, andaikata rahasia ini sampai terbongkar
mungkin saja Biau nia sam sian tak akan mengampuninya dengan begitu saja.
Si nona berbaju putih itu dibuat setengah mengerti setengah tidak, tapi yang pasti perasaannya
waktu itu benar-benar terharu, maka sesudah tertegup sejenak bisiknya dengan nada lirih,
“Boanpwe….boanpwe ingin….mohon diri….”
“Apa kau bilang? Mau mohon diri?” seru Lan hoa Siancu tertegun.
Cepat ia berpaling ke arah Hoa In-liong dan memandangnya dengan keheranan.
Keinginan gadis tersebut justru merupakan pucuk dicinta ulam tiba bagi Hoa In-liong, sebab
keadaannya pada saat ini sangat tidak menguntungkan, ia tak ingin rahasia gadis itu ketahuan,
tentu saja satu-satu jalan untuk menghindari kesemuanya itu adalah berharap agar nona baju
putih itu secepatnya meainggalkan tempat tersebut.
“Sekalipun aku sangat membutuhkan kabar berita dari mulutnya, toh tak usah dilakukan pada
saat ini juga” demikian pikirnya. Maka dengan suara lantang diapun berseru, “Adik misanku Gi
pek, bila kau hendak menyelesaikan urusanmu, pergilah sekarang juga tinggalkan tempat ini”
Biau nia sam sian kembali salah mengertikan ucapan itu, mereka mengira kedua orang itu
merasa terganggu karena kehadiran mereka disana, maka dengan mengucapkan kata-kata itu
justru sedang menjanjikan tempat pertemuan ditempat lain.
Karenanya mereka cuma bertukar pandangan sekejap dan tidak menahan lebih lanjut, malah
sambil tersenyum mereka mengucapkan kata kata perpisahan….
Sampai disitu, Hoa In-liong pun harus berbisik kepada si nona berbaju putih itu dengan ilmu
menyampaikan suara, “Kau jangan terlalu bangga, ketahuilah lain kali tidak akan seenak apa
yang kau alami sekarang”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
733
Nona berbaju putih itu belum cukup sempurna untuk berbicara menggunakan ilmu
menyampaikan suara, ia tidak bisa berbuat lain kecuali tertawa dingin tiada hentinya, cepat dia
putar badan dan berlalu dari sana.
Dalam waktu singkat, bayangan tubuhnya yang ramping semampai sudah lenyap dibalik
kegelapan sana.
“Hei, apanya yang menggelikan?” tiba-tiba Lao hoa Siancu menegur dengan suara lantang.
Rupanya setelah bayangan tubuh si nona baju putih itu lenyap dari pandangan mata, Hoa Inliong
tak dapat menahan rasa gelinya lagi, kontan saja ia menengadah sambil tertawa terbahakbahak.
Sebesarnya ia bermaksud membongkar rahasia itu sesuai ter tawanya, tapi ingatan lain dengan
cepat melintas dalam benaknya, pikirnya, “Daripada membongkar rahasia, lebih baik
kurahasiakan dulu untuk sementara waktu”
Sambil tersenyum dia berkata, “Bibi bertiga, bagaimana kalau kita duduk-duduk dalam
penginapan yang keponakan sewa itu?”
“Rumah penginapan toh bukan rumahmu, buat apa kita musti berkunjung kesitu?” tukas Li hoa-
Siancu.
Dengan wajah serius Ci wi Siancu berkata pula, “Aku dengar kau sudah terkena racun keji ular
sakti, bagaimana perubahannya? Atau mungkin sudah kau punahkan sama sekali?”
“Ooooh….belum, belum sampai punah sama sekali” sahut Hoa In-liong tawar, “seorang cianpwe
berhasil mendesak sari racun itu ke dalam jalan darah Liong gan hiat dengan mengandalkan
tenaga dalamnya yang sempurna….!”
Lan hoa Siancu menangkap pergelangan tangan kirinya, lalu meminjam cahaya bintang ia periksa
ibu jarinya, benar juga di ujung jari tangan anak muda itu masih kelihatan sebuah benjolan putih
sebesar biji beras.
Menyaksikan hal itu, Lan hoa Siancu berkata dengan dahi berkerut, “Kalau begitu, cianpwe yang
menolongmu itu cuma sok baik saja, sebab dia menolong orang cuma menolong sampai tengah
jalan, coba kalau ia lakukan pengobatan beberapa jam lagi, niscaya seluruh sari racun itu
berhasil didesak keluar….ketahuilah nak, menyimpan bibit penyakit tersebut dalam tubuh benarbenar
merupakan suatu tindakan yang amat besar resikonya.”
“Li hoa Siancu serta Ci wi Siancu semuanya menguatirkan keselamatan pemuda itu, cepat
mereka berkerumun ke muka.
Hoa In-liong kuatir kalau ketiga orang bibinya mengeluarkan kata-kata yang merugikan nama
baik Goan cing taysu, karena itu sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, ia telah mendahului
sambil tersenyum, “Aku pikir, aku ingin memunahkan sendiri sari racun tersebut, sekalian untuk
melatih pula tenaga dalamku”
Seraya berkata ia menarik kembali pergelangan tangannya.
“Hmmm….! dasar bocah binal….” keluh Li hoa Siancu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
734
Hoa In-liong tersenyum.
“Kokoh bertiga, bagaimana keadaan Sian nio orang tua? Baik-baiklah beliau? Dan bagaimana
pula dengan bibi lainnya?”
Lan hoa Siancu ikut tertawa.
“Keadaan dia orang tua masih juga seperti sedia kala, cuma berapa macam tugas dalam gua
telah diarahkan kepada kami beberapa orang bersaudara….”
Setelah berhenti sebentar, ujarnya lagi sambil tertawa, “Beberapa orang bibimu sebetulnya ingin
ikut kami menengok ibumu di perkampungan Liok soat san ceng, oh betapa gemasnya mereka
kepadaku setelah aku tidak menyetujui keinginan mereka itu.
“Sekarang bibi sekalian tinggal dimina? Kalau tiada urusan lain, bagaimana kalau tinggal saja
beberapa hari di kota Si ciu ini sekalian membantu keponakan untuk meramaikan suasana”
“Hmm….! Kau sudah menyebarkan issu dan kabar bohong di kota Si ciu hingga banyak orang
kebingungan dan kelabakan, dan sekarang, kau mau mencoba menyeret kami mencebur
kedalam air keruh?” seru Ci-wi Siancu.
“Betul, apalagi kita masih ada urusan lain” sambung Li hoa Siancu, “biarlah kami mohon diri lebih
dulu, bebarapa hari lagi pasti akan kami tengok kembali dirimu”
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, cepat dia memberi hormat sebagai tanda perpisahan.
Hakekatnya, tujuan terutama dari kedatangan Biau nia sam sian di kota Si ciu adalah memeriksa
keadaan Hoa In-liong setelah mereka tahu jika keponakannya terkena racun ular sakti penggigit
hati dari pihak Seng sut pay.
Tapi setelah mereka tahu bahwa keadaan Hoa In-liong tak ada halangan, tentu saja mereka
bermaksud untuk mohon diri, sekalipun yang dimaksudkan urusan oleh mereka tak lehih adalah
mencari balas dengan pihak Mo kau serta berkunjung ke bukit Im tiong san uniuk berbincang
bincang dengan Chin si hujin dan Hoa Thian-hong.
Begitulah, sepeninggal Biau nia sam sian, Hoa Inliong kembali kerumah penginapan Thian hok,
ketika masuk diruang tengah tiba-tiba ia jumpai Kongsun Peng serta beberapa orang pemuda
duduk diruang tengah, hal ini membuat hatinya agak tertegun.
Setelah dia masuk kedalam ruangan, para jago segera bangkit seraya memberi hormat, lalu
dipimpin oleh Kongsun Peng katanya, “Sesungguhnya tidak pantas kami datang mengganggu
ketenangan Hoa kongcu, apalagi dalam suasana yang serba sibuk dan banyak urusan lain”
“Kalian tak perlu sungkan sungkan” jawab Hoa In Hong sambil tersenyum dan balas memberi
hormat, “boleh aku tahu, ada urusan apa Kongsun heng datang kemari?”
Matanya pelan pelan menyapu sekejap sekeliling ruangan, ia lihat berikut Kongsun Peng
seluruhnya berjumlah empat orang, dua diantaranya menggembol pedang, sedang orang ketiga
adalah seorang pemuda berpakaian ringkas warna hitam yang pernah ikut buka suara sewaktu
diadakan perjamuan tadi.
Sementara itu Kongsun Peng telah menuding kearah pemuda baju hitam itu sambil
memperkenalkan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
735
“Dia adalah Tan Kiat kan!”
Kemudian sambil menuding dua pemuda yang menggembol pedang, katanya kembali, “Sedang
mereka adalah Oh Keng bun dua bersaudara!”
Tiga orang pemuda itu bersama-sama memberi hormat sambil berucap, “Selamat berjumpa!”
“Selamat berjumpa!” jawab Hoa In-liong sambil balas memberi hormat.
Dari sikap maupun cara berbicara dua bersaudara Oh yang mantap dan penuh bertenaga, anak
muda itu mengerti bahwa tenaga dalam mereka jauh lebih sempurna bila dibandingkan Kongsun
Peng maupun Tan Kiat kan.
Terdengar Kongsun Peng berkata lagi, “Kami mengerti kalau ilmu silat yang dimiliki terlampau
rendah, tak mungkin bisa menyumbangkan tenaga kami untuk melakukan pekerjaan besar,
maklumlah kongcu, adapun kedatangan kami tak lain hanya ingin membantu kongcu dalam soalsoal
kecil, rasanya untuk memukul gembrengan menggoncangkan panji sambil berteriak, kami
masih mampu untuk melakukannya”
Mendengar itu, Hoa In-liong lantas berpikir, “Kehangatan mereka harus kusambut dengan
sewajarnya, sebab bila tawaran mereka sampai kutolak mentah-mentah, niscaya semangat
mereka akan merjadi kendor….”
Karena itu dia menjura sambil tertawa, katanya
“Kasih sayang saudara sekalian amat mengharukan hatiku, siaute tahu bila kebaikan saudara
kutolak dengan begitu saja, kalian tentu akan menuduh bahwa aku adalah orang yang tak tahu
diri….”
“Kalau memang begitu kebetulan sekali” seru Kongsun Peng kegirangan, “kami telah
menghubungi pula sekawanan jago-jago persilatan, mereka semua bersedia menyauabangkan
tenaga bagi Hoa-kongcu. kapan Hoa kongcu ingin berjumpa dengan mereka?”
“Yang dimaksudkan sebagai sahabat-sahabat karibnya tentulah sekawanan orang muda” pikis
Hoa In litong.
Sambil tersenyum ia berkata, “Buat siuate tentu saja makin cepat makin baik, entah sobat sobat
kalian itu sampai kapan baru ada waktu?”
Kemudian setelah berhenti sebentar katanya lebih jauh;
“Tujuan kita adalah menumpas kaum sesat dan kaum iblis bersama-sama, dalam usaha ini tiada
perintah merintah, kedudukan kita semua adalah sama, maka aku minta kata berbakti harap
jangan dipergunakan lagi….mengerti?”
Tiba-tiba Oh Keng bun berkata, “Hoa-kongcu, aku Oh Keng bun mempunyai beberapa patah
yang rasanya menganjal dalam tenggorokan bila tidak diutarakan keluar, bolehkah aku
mengucapkan sesuatu?”
“Katakanlah saudara Oh” sahut Hoa In-liong sambil menjura.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
736
“Menurut pendapatku, pepatah kuno pernah berkata: Ular tanpa kepala tak dapat berjalan,
begitu pula dengan kita jago-jago dari golongan putih, aku rasa dalam melaksanakan
pembasmian terhadap kaum sesat ini, kita harus mencari seseorang yang pantas untuk kita
angkat sebagai pemimpin rombongan, semua orang harus tunduk dibawah perintah orang itu,
sebab kalau tidak maka ibaratnya sebaskom pasir, mana mungkin kita bisa bersatu, dan apabila
tak dapat bersatu da-rimana mungkin kita bisa melakukan suatu pekerjaan besar, Maka kalau
berbicara orang yang berbudi, orang yang berilmu tinggi, orang yang luas pengetahuannya, tak
bisa lain kalau orang yang paling cocok adalah Hoa tayhiap, ayah kongcu. Walaupun demikian
bila kita tinjau dari kembali tindak tanduk Hoa kongcu selama ini dan ternyata dari pihak Liok
soat san ceng tidak memberikan reaksi apa-apa, semua orang bisa mengambil kesimpulan kalau
Hoa tayhiap telah mengundur-kan diri dan tak ingin mencampuri urusan dunia persilatan lagi!”
Mendengar sampai disitu, diam-diam Hoa In-liong berpikir, “Sekalipun mereka tidak tahu kalau
ayah mempunyai kesulitan sendiri, tapi semua orang memang bisa melihat dan merasakan kalau
ayah segan mencampuri urusan dunia persilatan lagi, entah bagaimana dengan hubungan antara
ayah dan bibi Ku….”
Sementara dia masih melamun, dirasakan sorot mata keempat orang itu tertuju semua
kearahnya dengan perasaan ingin tahu.
Ia tertawa, dengan nada minta maaf katanya, “Maaf saudara semua, sebagai seorang anak,
siaute tak berani menduga secara sembarangan atas perbuatan dari ayahku”
Oh Keng-bun manggut-manggut, lanjutnya.
“Justru karena itu menurut pendapat siaute, kursi pimpinan ini paling cocok kalau ditempati Hoa
kongcu”
Hoa In-liong tersenyum.
Siaute merasa amat bsrterima kasih atas kebaikan saudara Oh, cuma sayang didunia ini bukan
aku seorang yang pandai, beribu-ribu bahkan berjuta-juta orang pintar tersebar disegala pelosok
dunia….”
“Yaa, kami memang tahu bahwa orang pintar yang ada didunia ini tak terhitung banyaknya”
tukas Oh Keng bun, “hanya kami anggap Hoa kongcu lah orang yang paling cocok untuk
menduduki kursi kebesaran tersebut”
Sesudah berhenti sebentar, katanya lagi dengan nada bersungguh sungguh, “Jangan kau anggap
kami mengharapkan kedudukan yang mulia dengan usul ini, kami sama sekali tidak
mengharapkan kedudukan mulia, kami berbuat demikian atas dasar maksud baik yang
sesungguhnya, andaikata ada hal-hal yang dirasakan kurang sopan, tolong Hoa kongcu bersedia
memaafkan….”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya sambil berpikir, Tadinya kukira mereka berbuat demikian
hanya terdorong oleh luapan emosi, rupanya mereka memang sudah merencanakan dengan
bersungguh0sungguh….”
Maka katanya dengan wajah serius, “Terima kasih banyak atas nasehat emas dari saudara Oh,
dengan perkataanmu itu, semua kebingungan dan kemurungan yang mencekam perasaanku
justru bisa tersapu lenyap. Hanya saja, mengenai persoalan itu lebih baik kita rundingkan
kembali secara terperinci”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
737
“Hoa kongcu” tiba tiba Tak Kiat-kan berkata pula sambil tertawa, “aku orang she Tan minta
kedudukan membawa bendera memegang payung tersebut, tentunya tak ada orang lain bukan
yang akan berebutan dengan diriku….?”
“Siapa bilang tak ada? Aku yang akan ikut berebut” teriak Oh Keng bun dengan cepat.
Kembali Hoa In-liong berpikir, “Berhadapan dengan pemuda-pemuda berdarah panas macam
mereka, aku memang tak boleh berlagak sok malu sok menolak tentu mereka akan menganggap
diriku orang munafik”
Sambil tersenyum ia berkata, “Eeeh….buat apa kalian berebut menjadi pemegang bendera? Kan
lebih enak jadi kusir kereta atau penuntun kuda?”
“Haaahhh….haaahh….haaahh….betul! Kau! Kalau begitu siaute pesan dulu kedudukan tersebut!”
seru Oh Keng bun sambil terbahak-bahak.
“Eeeh…. bagaimana kau ini? Aku….akukan sudah pesan dulu kedudukan itu….?” seru Tan Kiatkan.
Maka semua orangpun tertawa berderai-derai karena geli.
Sekalipun tenaga dalam Kongsun Peng, Tan Kiat kat dan dua bersaudara Oh masih ketinggalan
bila dibandingkan Hoa In-liong, namun mereka terhitung pula jago-jago muda yang tak lemah
tenaga dalamnya, seketika itu juga gelak tertawa mereka menggetarkan seluruh ruangan,
membuat pemilik penginapan, para pelayan dan tamu-tamu lainnya harus menutupi telinga
masing-masing.
Setelah suara tertawa mereda, Kongsun Peng memanggil pelayan untuk memesan santapan
malam, sebab dia tahu Hoa In-liong belum makan karena baru saja pulang.
Hoa In-liong merasa kurang leluasa untuk bersantap ditempat umum, apalagi dia menyewa
sebuah halaman tersendiri yang mempunyai ruang tamu dan kamar tidur yang luas, maka dia
mengundang keempat orang tamunya untuk bersantap diruangan yang disewanya itu.
Tak lama kemudian sayur dan arak yang dipesan telah dihidangkan pelayan, sambil bersantap
mereka mulai berunding, semuanya dapat berjalan lancar dan penuh riang gembira karena
mereka berdiri dari orang-orang muda yang sejalan dan seperasaan.
Sampai tengah malam, dua bersaudara Oh, Kong sun Peng dan Tan kiat kan baru berpamitan
untuk pulang.
Keesokan harinya, ketika Hoa In-liong sedang berjalan-jalan dalam halaman depan, muncul
seorang pelayan yang melaporkan atas kedatangan seorang kakek.
Ketika menanyakan potongan badan dan raut wajahnya, Hoa In-liong merasa asing dan tak
kenal, cepat-cepat ia munculkan diri untuk menyambut kedatangannya.
Ternyata dia adalah seorang kakek bermuka lebar, bermata besar, berjenggot putih sepanjang
dada dan bermata tajam seperti mata elang, jelas tenaga dalam yang dimilikinya amat
sempurna.
“Heran rasa rasanya kakek yang keren dan berwibawa ini pernah kutemui, tapi dimana yaa….”
pikirnya keheranan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
738
Sementara ia masih termenung sambil mengamat-amati tamunya, kakek itu sudah berkata
sambil tertawa lantang, “Liong sauya, sudah lupa dengan aku Ho Kee sian?”
Kata “Liong sauya” hanya khusus digunakan oleh orang orang dari pihak ibunya, sebagian besar
anggota Sin ki pang (Perkumpulan Panji Sakti) adalah kawanan enghiong yang tidak pernah
mengenal arti sopan santun, mereka lebih mengutamakan perasaan dan persaudaraan daripada
soal cengli atau kebenaran.
Oleh sebab Hoa In-liong adalah putranya Pek Kun gie, maka hubungannya dengan bocah ini jauh
lebih mesrah dan akrab daripada lain lainnya, sedang terhadap toako dari Hoa In-liong yakni Hoa
See atau sam te Hoa Wi, mereka selalu membahasai dengan panggilan toa-kongcu, sam kongcu
belaka tanpa embel-embel lain.
Dengan begitu Hoa In-liong dapat segera teringat kembali kalau kakek ini adalah bekas anak
buah gwakong nya dulu.
Kakek tersebut merupakan salah satu jago yang paling tangguh dalam perkumpulan Sin ki pang
dahulu, dia menjabat sebagai Tongcu ruang Thiao leng tong dengan julukan Boan thian jiu
(telapak sakti pembalik langit).
Hoa In-liong lantas mengira kalau kedatangannya karena membawa perintah dari gwakongnya,
sambil memburu kedepan serunya.
“Empek Ho….Ho locianpwe….”
Mencorong sinar tajam dari mata Ho Kee siau, tukasnya.
“Liong sauya, dahulu apa panggilanmu kepada ku?”
Hoa In-liong tertawa lebar.
“Tentu saja empek Ho!”
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi sambil tertawa, “Tahukah kau, ketika aku berjumpa
denganmu tempo dulu, kalau tak salah waktu itu aku berumur lima tahun, aku dicaci maki oleh
ayah karena memanggilmu empek Ho, sebab katanya sewaktu ibuku masih muda dulupun
menghormati kau sebagai paman….”
Ho Kee sian tertawa terbahak-bahak.
“Haaabhh….haaahhh….haaahhh….Aku merasa bangga sekali dapat berkenalan dan bersahabat
dengan ji kohya, yang lain tak usah disinggung, cukup dengan sikap sungkan nona Kun gie,
rasanya aku sudah takluk dibuatnya”
Perlu diterangkan disini, orang-orang Sin ki pang masih memanggil Pek si hujin dengan sebutan
lamanya, yakni nona Kun gie.
Setelah berhenti sejenak, kembali katanya, “Tapi kau tak usah gubris teguran mereka, sebab aku
merasa sebutan ini jauh lebih mesrah dan hangat, tentu saja jika Liong sauya tidak menganggap
diriku sebagai seorang tua bangka yang celaka, sebutan apa saja yang kau gunakan akan
kuterima dengan senang hati”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
739
Hoa In-liong tertawa.
“Aku sendiri juga merasa kalau panggilan empek Ho jauh lebih baik, cuma kuatirnya kalau di
maki ayah”
Yaa, terhadap bekas anak buah gwakongnya ini, tak pernah Hoa In-liong memandang rendah
atau memandang hina, setiap kali bertemu ia tentu memanggil mereka dengan sebutan empek.
Terdengar Ho Kee sian sedang berkata lagi, “Jika ji-kohya menegurmu, katakan suja kalau lohu
senang dipanggil empek, aku rasa sebagai orang yang berpikiran luas dan pandai mendalami
perasaan orang, tak mungkin ji kohya akan menegur dirimu lagi”
Dari perkataan itu secara lapat-lapat Hoa In-liong dapat menangkap rasa tidak puasnya terhadap
ayahnya, dia lantas berpikir, “Mereka selalu beranggapan akibat ulah ayahkulah yang
menyebabkan perkumpulan Sin ki pang dibubarkan, merekapun merasa hidup mengasingkan diri
hanya akan menyia-nyiakan kepandaian silat mereka serta semangat mereka yang tinggi, tak
aneh kalau mereka merasa kurang senang dengan ayahku….”
Berpikir sampai disitu diapun tersenyum.
“Empek Ho sudah bertemu dengan gwakongku?” tanyanya kemudian.
“Haaahhh….haaahhh….haaahhh….akulah yang pertama menerima lencana Hong lui leng yang
diturunkan lo pangcu, aaai….! Pangcu sendiri juga sudah tua, ia sudah kehilangan kegagahan
nya seperti tempo dulu….”
Sampai akhir perkataan tersebut, ia menghela napas tiada hentinya.
Cepat-cepat Hoa In-liong mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya sambil tertawa, “Selama
banyak tahun apa yang dikerjakan empek Ho?”
“Aaai….kerjakan apa?” Ho Kee sian menghela napas, “tentu saja mencari sesuap nasi dengan
mengandalkan ilmu silat yang kumiliki”
Nadanya berat dan penuh kekesalan.
Untuk menghilangkan suasana murung yang mencekam sekeliling tempat itu, cepat Hoa In-liong
tertawa terbahak-bahak, “Haaahhh….haaahhh….haaahhh….kalau begitu si tangan sakti pembalik
langit bukankah sudah berubah menjadi tangan sakti pembalik tanah? Yaa….lumayan memang!”
Ho Kee sian ikut tertawa nyaring, tapi sejenak kemudian sudah menghela napas berat.
Hoa In-liong segera berpikir.
“Wajarlah kalau enghiong yang sudah tua akan mengeluh, ibaratnya perempuan tua yang
memurungkan kecantikan wajahnya, setiap orang pasti mengalami keadaan seperti ini, aku harus
mengobarkan kembali semangatnya….”
Berpikir demikian ia lantas bertanya.
“Apa pesan Gwakong?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
740
“Lo pangcu minta kepadaku untuk membantu Liong sauya, kecuali itu tiada pesan penting
lainnya yang barus kusampaikan kepadamu”
“Kecuali empek Ho, masih ada berapa orang lagi yang termasuk jago-jago tempo dulu?”
“Tidak terlalu banyak” jawab Ho Kee sian sambil tertawa, “paling banter cuma lima puluh orang
lebib, meski sedikit mereka semua adalah jago-jago tangguh, kini mereka sudah berkumpul
disekitar kota Si ciu dan setiap saat siap dikumpulkan”
Lima puluh orang jago tangguh dikatakan tak banyak, kekuasaan Sin ki pang dimasa lalu tentu
hebat dan luar biasa, yang dikuatirkan justru kalau mereka sampai mengganggu ketenangan
rakyat” pikir Hoa In-liong dengan perasaan cemas.
Maka iapun berkata, “Begitu banyak orang, mereka diam-diam saja?”
Sebagai orang yang berpengalaman tentu saja Ho Kee sian tahu apa yang dirisaukan, sambil
menggoyangkan tangannya ia tertawa.
“Liong sauya tak usah kuatir, mereka tidak akan menambah kesulitan dan kemurungan bagi
Liong sauya” katanya, “bukan saja mereka berpencar diempat penjuru kota, sedapat mungkin
asal usulnya juga dirahasiakan, sebab dengan begini selain bisa merahasiakan asal usul sendiri,
dapat pula menyelidiki keadaan musuh”
“Aaah….kau memang keterlaluan” pikir Hoa In-liong lagi, “mereka toh jago kawanan yang sudah
terlalu banyak makan asam garam, buat apa aku musti meuguatirkan diri mereka?”
Setelah termenung dan berpikir sebentar, katanya kemudian, “Cia Yu cong berjanji akan
memberi bantuan, konon ia mempunyai beberapa ratus orang saudara….
“Aah…. kamu anggap Ci Yu cong jagoan macam apa? Sekalipun banyak anak buahnya juga
orang-orang yang tak ada gunanya” kata Ho Kee sian sambil tertawa, “waktu aku masih
berkelana dalam dunia persilatan dulu, dia cuma manusia tak bernama, percayalah orang
orangku tak seorangpun mempunyai ilmu silat dibawahnya, buat apa Liong sauya berhubungan
dengan manusia-manusia seperti itu?”
Tentu saja Hoa In-liong tahu kalau ucapannya merupakan kenyataan, meski begitu dia cuma
tertawa.
“Aaah…. belum tentu orang lain jelek-jelek juga seorang pentolan diwilayah Wi lam, bisa menjadi
pentolan sudah tentu harus mempunyai ilmu sejati, apalagi sebagai seorang ternama, terlalu
latah tanpa dasar ilmu yang kuat sama artinya dengan mencari penyakit kuat diri
sendiri….bukankah begitu?
“Benar juga perkataannya, pikir Ho Kee sian, “Liong sauya memang membutuhkan kawanan
manusia seperti itu untuk mendukung serta memberi suara kepadanya”
Ia lantas tertawa terbahak-bahak, sahutnya, “Betul! Betul….haaahhh….haaahh….haaahhh….
perkataan Liong sauya memang betul”
Hoa In-liong tersenyum.
“Kalau toh mereka berpencaran disetiap sudut kota, bagaimana caranya untuk mengumpulkan
mereka?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
741
“Aku telah menyiapkan bom udara dari perkumpulan kami tempo dulu, asal bom udara itu
kuledakkan maka dalam setengah perminum teh kemudian sebagian besar jago dapat berkumpul
disini”
“Tiba-tiba ia tertawa tergelak dengan nyaring lalu sambil memancarkan sinar tajam dari balik
matanya ia berkata lebih jauh, “Liong sauya masih muda dan gagah perkasa, lagipula
mempunyai kepandaian daa kecerdasan yang luar biasa, suatu saat pasti akan sukses dengan
usahanya dan melanjutkan karier Ji kohya untuk menjagoi kolong langit dan tersohor di manamana.
Liong sauya! Inilah kesempatan bagimu untuk menjagoi seluruh kolong langit”
Hoa In-liong tidak segera menjawab, pikirnya, “Sekalipun mereka bermaksud baik dan ingin
membantu aku untuk menjagoi kolong langit, sayang mereka telah salah mengartikan maksudku,
aku memang berharap bala bantuan dari para jago tapi soal ini adalah demi kepentingan umum,
bila maksud pribadipun ikut kuserukan, bukankah akhlakku akan lebih rendah dari seekor
anjing?”
Berpikir sampai disitu, ia merasa bagaimanapun jua, maksud hatinya harus diterangkan lebih
dahulu, dengan wajah serius ujarnya;
“Empek Ho, masih ingatkah kau akan keadaan disaat perkumpulan Sin ki pang dibubarkan?”
Ho Kee sian tertegun setelah mendengar perkataan itu.
“Tentu saja masih ingat, hari itu pangcu mengumpulkan semua Tongcu dan Hu hoat dalam
ruangan Siang liong teng, lalu secara tiba-tiba mengumumkan akan membubarkan partai serta
memunahkan ilmu silat semua orang….”
“Yaa, ketika gwakong menceritakan kejadian ini kepadaku, aku selalu beranggapan bahwa
tindakannya ini tidak cepat” tukas Hoa In-liong secara tiba-tiba, “dia orang tua adalah pentolan
kalian, karena itu jika ilmu silat semua orang hendak dimusnahkan, pertama tama dia harus
musnahkan dulu ilmu silat yang dimilikinya”
Ho Kee sian tertawa lebar.
“Dan aku rasa cuma Liong sauya seorang berani mengucapkan kata-kata seperti itu” sambung
nya.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, segera pikirnya, “Tanpa sebab tak mungkin
Liong sauya mengucapkan kata-kata tersebut, yaa….dia pasti mempunyai tujuan tertentu”
Bila ditinjau dari kedudukannya sebagai Tongcu ruang Thian- leng tong dalam perkumpulan Siu
ki pang tempo dulu, dapat diketahui kalau orang ini memiliki kecerdasan yang melebihi siapapun,
hanya sejenak dia berpikir, maka semua isi hati Hoa Im liong berhasil ditebaknya secara jitu.
Setelah termenung sebentar, tiba-tiba ia berkata dengan nada mendongkol, “Liong sauya, buat
apa kau kerja demi kepentingan orang lain?”
Hoa Inliong tertawa.
“Dalam hal ini tak bisa dikatakan sebagai bekerja demi kepentingan orang lain, aku hanya
berjuang demi ketenteramanku sendiri”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
742
Ho Kee sian termenung sebentar, tiba-tiba katanya lagi, “Padahal kepentingan pribadipun tak
akan mengganggu kepentingan umum. selain kita basmi kekuatan Hian-beng-kauw, Mo kau dan
Kiu im kau bukankah kitapun bisa berjuang untuk menaklukkan semua orang serta menjagoi
seluruh kolong langit?”
“Siapa yang mempunyai niat tersebut, dia akan tercelaka oleh niat itu pula, siapa tidak
mempertimbangkan untung ruginya sebelum melakukan sesuatu pekerjaan, dia tentu akan
mengalami kegagalan total” tukas Hoa In-liong dengan cepat’
“Oooh….! Tak kusangka Liong sauya yang dihari biasa selalu tertawa haha-hihi, ternyata
memandang serius persoalan ini”
Hoa In-liong tertawa lebar.
“Siapa suruh empek Ho mengucapkan kata-kata yang tak teratur dan bertolak belakang dengan
kenyataan?”
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa terbabak-bahak ka tanya lagi, “Empek Ho aku tidak
bermaksud memaksa dirimu, bila kau tak sanggup bawa saja orang orangmu tinggalkan tempat
ini, gwakong sama biar aku yang atasi….”
“Liong sauya, bukankah perkataanmu itu sama artinya dengan memaki diriku habis-habisan?”
keluh Ho Kee sian sambil tertawa getir.
Tapi Hoa In-liong pura-pura tidak merasa, katanya lebih lanjut.
“Atau jika kau tak ingin langsung pulang, boleh saja berbepesiar dulu ketempat tempat yang
indah, bila dari kota Si ciu menuju ke utara, kau bisa berkunjung ke bukit Thay san, atau bila
keselatan akan sampai dibukit Kiu hoa san dan Hong san, atau juga langsung ke samudra luas
dengan berpesiar di pulau Bu Tosan, waah….pasti suatu darmawisata yang asyik sekali”
Jangan dilihat ucapan tersebut diutarakan begitu enteng dan sekenanya, padahal Ho Kee sian di
bikin menangis tak bisa tertawapun sungkan, sesudah termenung sesaat tiba-tiba ia
menengadah dan tertawa nyaring.
“Haaahhh….haahhh….haaahh…. baik, baiklah, kalau toh Liong sauya telah berkata begini, apa
yang perlu disayangkan lagi atas sisa bidup aku orang she Ho? Akan kusumbangkan selembar
jiwaku ini untuk memerangi kaum sesat didunia, anggap saja sebagai suatu penebus atas dosadosa
kami orang Sin ki pang dimasa lalu”
“Terima kasih banyak atas kesediaan empek Ho” Hoa In-liong tertawa nyaring, “padahal siapa sih
yang tidak mengharapkan nama dan pahala? Siapa tahu kalau dikemudian hari nama itu akan
kudapatkan tanpa sengaja? Kalau tanpa saatnya, tentu saja mau ditampikkan juga tak bisa”
Ho Kee sian hanya tertawa getir belaka.
Melihat itu, Hoa In-liong lantas berpikir, “Meskipun ia berbicara dengan gagah dan terbuka,
sudah pasti hatitya gundah sekali, aku harus menghiburnya dengan beberapa patah kata….”
Baru saja ia hendak menghiburnya dengan beberapa patah kata, tiba-tiba muncul seorang
pelayan yang memimpin belasan orang imam berusia setengah umur, rata-rata mereka
menggembol pedang dipunggungnya, dan orang yang berada dipaling depan tak lain adalah Bu
jian Toojin yang dulunya bergelar Cing lian.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
743
Betapa girangnya Hoa In-liong menyaksikan kehadiran imam tersebut, segera teriaknya dengan
lantang, “Hei, Bu jian toojin! Rupanya kau juga datang?”
Berjumpa dengan pemuda itu, cepat-cepat Bu jian Toojin memburu ke depan, katanya sambil
memberi hormat, “Oleh karena pinto mendengar bahwa Hoa kongcu hendak melakukan
pertarungan terbuka dikota Si ciu, buru-buru kami datang membantu”
Hoa In-liong tertawa lebar, ia memandang sekejap ketiga belas orang imam dibelakangnya, lalu
berkata, “Toatiang sekalian….”
“Mereka semua adalah suheng pinto” cepar Bu jian Tootiang menerangkan, “Cuma lantaran
sudah terlalu lama hidup mengasingkan diri, mereka kurang begitu gemar bersuara, harap Hoa
kongcu bersedia memaafkan”
Sementara itu ketiga belas orang imam tadi sudah memberi hormat kepada Hoa In-liong, cepatcepat
anak muda itu balas memberi hormat.
“Bila ditinjau dari sikap dingin dan ketus mereka, rupanya Bu-jian toojin sudah mereka sepakati
sebagai juru bicaranya” dia berpikir.
Dalam pada itu, Bu jian toojin telah memberi hormat kepada Ho-Kee sian sambil menyapa, “Ho
Lo si cu, terimalah hormat dari siau to (imam yang rendah)!”
Dengan tercengang Ho Kee sian berseru, “Siapakah engkau imam cilik? Kenapa aku tidak kenal
denganmu?”
Hoa In-liong merasa kurang begitu senang atas sikap Ho Kee sian yang sok berlagak tua itu,
pikirnya, “Orang lain tak mungkin akan melayani sikapmu itu….”
Perlu diterangkan disini, sikap Ho Kee sian terhadap Hoa In-liong boleh dibilang sangat istimewa,
ia mau mengalah dan dimana mana berusaha merendahkan diri, tapi berbeda sekali sikapnya
dengan orang lain, sebagai seorang jago yang tinggi hati, tak sudi ia tunjukkan kelemahannya
dihadapan orang.
Ternyata Bu jian Toojin tidak merasa tersinggung, malah ujarnya, “Masih ingatkah Ho lo sicu
dengan Cing lian?”
MENDENGAR nama tersebut, Ho Kee sian segera tertawa terbahak-babak.
“Haaahh….haaah….haaahh….rupanya engkau, hei, kemana larinya tua bangka hidung kerbaumu
itu? Kenapa sudah banyak tahun tak kelihatan batang hidungnya lagi?”
Hawa kegusaran seketika menyelimuti wajah belasan orang imam tersebut, bibir mereka
bergetar seperti akan mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut akhirnya diurungkan. Melihat itu,
Hoa In-liong kembali berpikir, “Anak murid Thian Ik cu menang cukup tangguh dan tak boleh
dianggap main-main”
Bu jian toojin sendiri masih tenang seperti sedia kala, ujarnya dengan lembut, “Suhu
mengasingkan diri disuatu tempat yang terpencil, beliau telah menitahkan kepada muridmuridnya
agar jangan membocorkan tempat pengasingannya, sebab itu maafkanlah siau te bila
harus membungkam”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
744
“Anak muridnya saja sehebat itu, aku pikir Thian ki lo to pasti jauh lebih tangguh daripada
keadaan tempo dulu”
Ia menyapu sekejap kawanan imam tersebut lalu ujarnya lagi, “Apakah kedatangan kalian untuk
membantu Liong sauya kami?”
Gepat cepat Hoa In-liong menimbrung dari samping, “Kedatangan tootiang sekalian tentu ingin
melenyapkan kaum iblis dari Mo kau, aku bersedia membantu usaha kalian”
“Kedatangan pinto adalah untuk menerima perintah, lain tidak!” ujar Bu jian Tootiang dengan
wajah bersunguh snngguh.
Kontan saja Ho Kee sian menengadah sambil tertawa terbahak bahak.
“Haaahhh….haaahhh…. haaahhh…. itu baru bagus namanya! Apalagi dalam pencarian harta di
bukit Kiu ci san tempo dulu, baik Thong-thian-kauw maupun Hong im hwe sudah menerima
banyak kebaikan dari Ji-kohya, tapi sewaktu pergi mengucapkan terima kasihpun tidak, tentu
saja memang sewajarnya kalau sekarang menjual nyawa buat Liong saunya”
Apa yang dipikirkan, dikatakan semuanya demi kepentingan Hoa sauyanya, otomatis
perkataannya juga penuju untuk kepentingan Hoa In-liong seorang, ini membuat si anak muda
itu gelengkan kepalanya berulang kali.
“Apakah gurumu tiada bermaksud untuk turun gunung?” tanyanya kemudian sambil tersenyum.
Bu jian toojin tertawa getir.
“Kecuali pinto gugur dalam pertempuran, kemungkinan besar guruku eoggan untuk turun
gunung lagi”
Melihat itu Hoa In-liong kembali berpikir, “Tampaknya ia berniat mengorbankan jiwanya untuk
memancing kembali kemunculan gurunya, hal ini harus kujaga dan kuhindari….”
Sambil tersenyum ia berkata, Tahukah tootiang, bila akupun mati dalam medan pertempuran,
bagaimanapun jua ayahku pasti akan muncul kembali dalam dunia persilatan”
Mula-mula Bu jian Too tiang agak tertegun, kemudian katanya sambil tertawa, “Ji kongcu adalah
tubuh emas yang amat tinggi nilainya, mana boleh disamakan dengan pinto?”
“Aaah…. siapa bilang kalau manusia itu mempunyai tingkatan? Apakah tootiang tidak merasa
bahwa perkataanmu keliru besar?” kata anak muda itu dengan dahi berkerut.
Bu jin toojin menggetarkan bibirnya seperti mau membantah, tapi Hoa In-liong sebera
menggoyangkan tangannya berulang kali.
“Jangan berbicara dulu tootiang” katanya, “apakah aku boleh bertanya, menurut anggapan
tootiang, keluarga Hoa kami adalah manusia macam apa….?”
Jilid 37
BU JIAN TOOTIANG tertegun.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
745
“Tentu saja keluarga Hoa adalah keluarga yang bijaksana dan mengutamakan ditegakkannya
keadilan dan kebenaran, siapapun didunia ini tahu, masa aku tak tahu?”
Tanpa tedeng aling-aling Hoa In-liong mendesak lebih jauh, “Kalau toh kalian sudah
menganggap keluarga Hoa bukan mendapat nama dengan menyusup atau mencuri, apakah
tootiang tidak merasa bahwa keputusan tootiang untuk mengorbankan jiwa demi memancing
kemunculan kembali gurumu adalah suatu perbuatan yang menyinggung perasaan kami? Hendak
kau taruh kemana wajah keluarga Hoa kami?”
“Maksud ji-kongcu….”
“Aku hendak mengueapkan sepatah kata yang kurang sedap lagi” tukas Hoa In-liong kembali,
“jelek-jelek perguruan kalian sudah mempunyai sejarah selama ratusan tahun, dengan susah
payah akhirnya berbentuklah suatu perkumpulan besar apakah kalian berharap perguruan yang
dibangun dengan susah payah oleh sucoumu akan runtuh akibat kehilangan banyak kekuatan
intinya?”
Bu jian tootiang termenung sebentar, kemudian menjawab dengan wajah serius, “Nasehat jikongcu
memang benar dan pinto mengakui kesalahan kami ini, kini pinto sekalian berdiam di kuil
Sam goan koan di selatan kota, bila kongcu ada urusan penting, berilah kabar kepada kami”
Hoa In-liong tahu kalau mereka sudah terlampau lama hidup mengasingkan diri, kehidupan
keduniawian membuat mereka tak betah, karenanya ia tidak menahan lebih jauh, rombongan itu
dihantar sampai diluar penginapan dengan senyuman dikulum.
Sekembalinya kedalam halaman, ia saksikan Ho Kee sian sedang berdiri bergendong tangan
sambil menyaksikan gunung-gunungan serta bebungahan yang rusak oleh pedang Hoa In-liong.
Ketika menjumpai anak muda itu telah kembali, ujarnya dengan dahi berkerut, “Ilmu pedang dari
Liong sauya masih belum dapat mengejar kehebatan ji kohya tempo dulu.”
“Ilmu silat ayah memang libay sekali” jawab Hoa-In liong sambil tertawa, “selama hidup aku
memang tak sanggup melampaui kehebatannya”
Setelah termenung sejenak, katanya kembali, “Empek Ho, bagaimana kalau kau berdiam disini
saja? Ruangan yang kusewa besar sekali, belasan orang menginap disinipun tak akan menjadi
soal” Ho Kee sian memang ingin selalu berada disamping Hoa In-liong, tentu saja ia
menyanggupi tawaran tersebut dengan cepat.
“Baik!” katanya sambil mengangguk.
“Kalau begitu menginaplah disini mulai hari ini!”
“Liong sauya” ujar Ho Kee sian setelah berpikir sejenak, “kalau ruangan ini bisa muat belasan
orang, bagaimana kalau kita panggil tiga empat orang lagi untuk melayanimu?”
“Memangnya kau anggap aku adalah bocah cilik?” seru Hoa In-liong sambil tertawa geli.
Ho Kee sian tersenyum dan tidak menjawab dia ulapkan tangannya lalu keluar dari rumah
penginapan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
746
Hoa In-liong tidak menghantar kakek itu sampai dipintu, ia menitahkan orang untuk memperbaiki
kebun dan bunga yang penuh bacokan pedang itu, dua tiga jam kemudian pekerjaannya telah
beres.
Tengah hari itu, Kongsun Peng mengajak sekawanan pemuda mengunjungi Hoa In-liong di
penginapan, mereka berbincang-bincang hampir tiga jam lamanya sebelum mohon diri.
Malamnya Ho Kee sian muncul kembali diiringi empat orang jago bekas anggota Sin ki pang,
rata-rata mereka berusia enam puluh tahun.
Hoa In-liong segera menitahkan pelayan untuk menambah pembaringan, suasana meujadi ribut,
akhirnya begitu urusan beres semua orangpun naik tempat tidur untuk beristirahat.
Keesokan haranya, ketika Hoa In-liong sedang berjalan-jalan dalam halaman, tiba-tiba ia
menyaksikan pelayan muncul sambil mengajak lima enam orang, sebelumnya memang sudah
berpesan bila ada orang datang berkunjung, tamunya boleh langsung dibawah masuk.
Betapa gembiranya Hoa In-liong setelah menjumpai tamunya itu, sebab empat orang pemuda
gagah yang berjalan dipaling depan tak lain adalah Coa Cong-gi, Yu Siau lam, Li Poh seng dan Ko
Siong peng, sedang dipaling belakang adalah seorang kakek gagah berusia lima puluh tahunan,
dia tak lain adalah Kok Hong seng, pengurus rumahnya keluarga Coa.
Meski gembira, diam-diam diapun curiga, pikir nya, “Aneh kenapa Kok Hong seng ikut datang?
Kenapa tidak nampak adik Wi? Juga saudara Ek bong, kemana perginya….”
Kelima orang itupun merasa gembira sekali dapat berjumpa dengan Hoa In-liong, Coa Cong-gi
yang paling berangasan tak bisa menahan diri lagi, ia memburu kedepan dan menarik sepasang
tangan pemuda itu.
“Saudara In liong!” serunya sambil tertawa, “aku telah aku mengetahui kalau kau sedang
memanggil angin menurunkan hujan di kota Si ciu….”
Kontan saja Hoa In-liong tertawa tergelak.
“Haaahhh….haaahhh…. haaahhh…. perkataan saudara Cong gi tidak cocok, kau musti tahu
hanya bangsa dewa atau siluman yang bisa memanggil angin menurunkan hujan. Siaute toh
bukan dewa ataupun siluman, nama mungkin bisa mengundang angin memanggil hujan?”
“Hmm….! Memangnya kau anggap perbuatanmu itu bukan mengundang angin memanggil
hujan?” seru Coa Cong-gi dengan mata melotot, se tiap orang persilatan yang ada didunia telah
bertumplek di kota Si-ciu, kalau bukan mengundang angin memanggil hujan lantas apa
namanya?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, keempat orang itu sudah berkerumun kedepan, Hoa
In-liong tak sempat bergojek terus, dia buru buru menjura sambil tertawa.
“Saudara-saudara sekalian, Kok congkoan, baik-baikkah kalian selama ini….?”
Ko Siong peng tertawa.
“Adik In liong, kau musti tahu, sepanjang perjalanan kami menuju kemari, yang kami dengar
hanya kata-kata sanjungan orang terhadap kehebatanmu, semua orang merasa kagum oleh
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
747
keberanian Hoa ji kongcu, yaa, tindakanmu inii boleh dibilang telah menggetarkan seluruh kolong
langit, tentu saja namamu juga ikut tersohor sampai dimana-mana”
Dengan kening berkerut Hoa In-liong menggeleng.
“Pohon yang terlalu besar hanya akan menimbulkan angin, nama yang terlalu terkenal cuma
mendatangkan bencana, kalau bukan keadaan yang memaksa tak mungkin siaute melakukan
semua perbuatan ini di kota Si ciu”
“Lantas apa yang memaksa kau berbuat demikian?” tanya Yu Siau lam dengan perasaan ingin
tahu.
“Biar aku saja yang menebak” sela Li Poh seng, “bila dugaanku tidak keliru, tentunya adik In
liong sedang mamancing perhatian umat persilatan terhadap gerak-gerik ketiga buah
perkumpulan besar itu bukan? Tentunya kau kuatir mereka disergap atau ditunggangi oleh
unsur-unsur jahat tersebut sehingga kena dilenyapkan dari muka bumi, bukan demikian?”
Hoa In-liong tersenyum.
“Aaah…. aku berbuat demikian tak lain untuk memperbaiki posisi pihak kita yang sudah kian
terdesak saja, asal kita terjaga jaga di kota Si ciu, maka andaikata pihak Hian-beng-kauw, Kiu im
kau dan Mo kau sungguh-sungguh berani datang menyerang, bukan saja kita dapat
menghajarnya sampai kepala pusing, selain itu kitapun dapat memperbaiki posisi kita menjadi
jauh lebih menguntungkan”
“Tepat sekali!” seru Coa Cong-gi sambil tertawa, “kita dapat menghajar mereka sampai terbiritbirit
dan seorangpun jangan dikasih tetap tinggal hidup”
Hoa In-liong tersenyum, tiba-tiba ia melihat seorang pelayan sedang menguber seorang
pengemis kecil yang mengenakan baju compang camping, melihat itu dia lantas berteriak,
“Berhenti!”
“Hei mau apa kamu?” seru Coa Cong-gi keheranan, “masa seorang pengemis kecilpun ikut
membasmi iblis?”
Hoa In-liong telah menduga kalau pengemis kecil itu disuruh Cia Yu cong untuk menyampaikan
kabar, ia lantas menggape seraya berseru”
“Saudara cilik, kemarilah!”
Pengemis kecil itu lari kedepan, pelayan tersebut ingin menghalangi tapi gagal, terpaksa ia
berteriak.
“Siau gau ji, tunggu sebentar, apa hakmu memasuki tempat seperti ini….?”
Sambil memburu kedepan ia berusaha menangkap bahu pengemis kecil itu, tapi dengan cekatan
pengemis tersebut berkelit kesamping, lalu sambil membelalakkan matanya ia berseru, “Kau
jangan terlalu memandang rendah diriku, apa tidak kau lihat kalau orang lain menganggap aku
sebagai tamu terhormat ? Kalau tidak begitu mana aku berani masuk?”
Hoa In-liong tertawa lebar, sambil mengulapkan tangannya kepada sang pelayan serunya,
“Saudara cilik itu adalah seorang tamu kehormatan, biarlah dia kemari!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
748
Pelayan itu agak tertegun, tapi akhirnya ia berlalu juga meski sembari menggerutu.
Betapa bangganya pengemis cilik itu, kepada pelayan tadi teriaknya dengan lantang, “Hei, coba
lihat! Bagaimana?”
Sementara itu Hoa In-liong telah mengamati wajah pengemis cilik itu, kemudian sapanya dengan
ramah, “Saudara cilik, apakah kau bernama Siau gou ji? Apakah seorang loya she Cia yang
menyuruh kau datang?”
Pengemis cilik itu agak tertegun, lalu menggelengkan kepalanya.
“Bukan! Aku disuruh orang Tan toaya menyampaikan sepucuk surat!” sahutnya.
Setelah berhenti sebsntar, ia menambahkan, “Yaa, benar! Akulah Siau gou ji”
Sewaktu mengucapkan nama tersebut, lagaknya luar biasa, seakan-akan dia adalah seorang
yang tersohor namanya dikolong langit.
“Masakah dugaanku keliru?” pikir Hoa In-liong,
Dalam pada itu Coa Cong-gi telah tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh….haaah….haaahhh….Siau gau ji? Kenapa belum pernah kudengar nama ini?” godanya.
Dengan gemas Siau gau ji melotot beberapa kejap kearah Coa Cong-gi, lalu balas ejeknya,
“Memangnya namamu pernah kudengar?”
“Kau toh belum tahu siapa namaku, darimana kau tahu kalau namaku belum pernah kau
dengar?”
“Aaaa…. pokoknya aku tahu kau toh bukan Ji-kongcu dari keluarga Hoa? Jelas namamu belum
pernah kudengar”
Yu Siau lam tersenyum.
“Dari mana kau tahu kalau dia bukan ji-kongcu? Kau tahu siapakah diantara kami yang
merupakan ji-kongcu?” katanya.
“Huuuh….masa Hoa ji-kongcu macam dia, nyentrik, jelek dan seperti orang bloon?” sambil
menuding kearah Hoa In-liong ia berkata lebih jauh, “sudah rasti dialah Jiya dari keluarga Hoa,
hmm….hmm…. coba lihat Jiya dari keluarga Hoa ini, yaa ganteng, yaa sopan, yaa pintar….”
Tiba-tiba ia terbungkam, rupanya pengemis itu kehabisan bahan untuk mengampak.
“Hei bocah busuk, pandai betul kau mengampak!” ejek Coa Cong-gi sambil tertawa tergelak.
Hoa In-liong pun mengetahui kalau Siau gou ji adalah seorang bocah yang cerdik, terutama
sepasang biji matanya yang mengerling lincah, segera pikirnya;
“Tempo dulu paman Ngo siok juga begini keadaannya, tapi sekarang dia adalah seorang jagoan
yang hebat”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
749
Tiba-tiba timbul perasaan simpatiknya terhadap bocah itu, katanya kemudian sambil tertawa,
“Saudara cilik, ada kabar apa?”
Pengemis cilik itu merogoh sakunya yang berlubang dan mencari setengah harian lamanya,
ketika dicabut kembali ternyata tangan itu hampa, ia lantas menggaruk-garuk kepalanya yang
tak gatal sembari mengomel, “Aduuuh celaka! Jangan-jangan hilang….”
“Hilang?” jerit Coa Cong-gi terkejut.
Sebaliknya Hoa In-liong segera terbahak-bahak.
“Haaahhh….haaah….haaahh….lepaskan sepatumu!” perintahnya, Siau gou ji kelihatan kaget,
cepat cepat serunya, “Aaah…. betul! Betul! Kenapa aku tidak berpi kir sampai kesitu?”
Kok Hong-seng, Yu Siau lam dari Li Poh seng ikut memperhatikan sepatu Siau gou ji, betul juga
sepatu itu masih baru, tak mungkin dikenakan oleh manusia semacam itu, tanpa terasa mereka
tersenyum penuh arti.
Siau gou ji berjongkok dan membuka sepatu barunya, betul juga disana terdapat selembar
lipatan kertas, dengan sepasang tangannya kertas itu diangsurkan kehapadan Hoa In-liong,
katanya dengan wajah murung sekali, “Hoa jiya….”
“Mau apa kau?” tegur Hoa In-liong sambil tertawa cekikikan.
“Tan toaya bilang, bila berita ini sudah disampaikan, Hoa kongcu tentu akan memberi hadiah
kepadaku”
“Kalau cuma itu, kenapa tidak kau keluarkan surat itu sejak tadi?” seru Ko Siong peng sambil
tertawa.
Merah padam selembar wajah Siau gou ji, saking jengahnya dia sampai gelagapan dan tak
mampu mengucapkan sepatah katapun.
“Kau masih belum cukup pintar” kata Hoa In-liong sambil tertawa, “dengan kemampuan seperti
itu masa hendak mengadu kepandaian denganku? Angkat dulu diriku sebagai gurumu, dan
belajar sepuluh tahun lagi….”
“Lalu sambil berpaling ke arah Kok Hong seng lanjutnya, “Kok Koankeh, dapatkah kau melayani
sejenak keperluan saudara cilik ini?”
Kok Hong seng telah menganggap pemuda ini sebagai calon Kohya dari keluarga Coa,
mendengar perkataan itu ia lantas tertawa.
“Apa perintah ji kongcu, harap utarakan saja” katanya.
Semenjak rahasianya dibongkar Hoa In-liong, Siau gou ji dibuat tak tenang hatinya, waktu itu ia
sudau siap-siap mengambil langkah seribu.
Tiba-tiba Hoa In-liong memanggilnya lagi, bahkan sambil membelai rambutnya yang kusut dan
kotor ujarnya, “Saudara cilik, bila kau suka, bagaimana kalau tinggal saja bersama-sama kami?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
750
Termenung sebentar Siau gou ji sesudah mendengar perkataan itu, tiba-tiba matanya menjadi
merah, bibirnya terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun suaranya seperti
tersumbat dalam tenggorokan, tak sepotong perkataanpun yang sanggup diucapkan.
Tapi akhirnya ia toh manggut-manggut juga, meski sejenak kemudian kembali menggeleng.
“Mei, monyet kecil! Tahukah kau bahwa tawaran ini merupakan suatu rejeki besar bagimu?”
pekik Coa Cong-gi dengan wajah tercengang.
Siau gou ji tertunduk sedih, katanya sambil menahan sesenggukan, “Aku tak pantas menerima
kebaikan ini, mana kotor mana goblok lagi, aku hanya membuat orang menjadi jemu saja”
“Aaaah…. tak usah terlampau rendah diri” hibur Hoa In-liong dengan lembut, “dulu akupun
begini juga keadaannya, tak menjadi soal”
Dia lantas mengulapkan tangannya kepada Kok Hong seng dan menitahkannya untuk membantu
pengemis itu berganti pakaian, membersihkan badan dan mengisi perut.
Li Pon seng yang menjumpai hal itu diam-diam mengerutkan dahinya, lalu berkata, “Pertarungan
terbuka sudah menjelang didepan mata, mau apa kau menyeret seorang bocah yang tak pandai
bersilat untuk turun serta dalam pertikaian ini? Tidak pantas rasanya….”
Hoa In-liong tertawa.
“Siau gou ji adalah seorang anak yang pintar, terlalu sayang kalau bocah seperti ini dipendam
bakatnya, karena itu aku ingin menghadiahkan kepada paman Ngo siok sebagai muridnya”
Kemudian kertas itu diambil dan dibawa isinya, terlihat surat itu berbunyi demikian, “Semalam,
seorang gadis cantik jelita yang membawa tongkat kepala setan dengan memimpin banyak orang
menginap di perkampungan keluarga Cho di barat laut kota, pagi ini Tang kwik Siu memimpin
belasan orang menginap di kebun keluarga Chan yang sudah tak terpakai diluar kota, sedang
dirumah penginapan keluarga Ong diutara kota agaknya dihuni pula seorang gadis baju hitam
serta pelayannya”
Dibawah surat itu tertera nama “Cia Yucong”
“Rupanya dia yang memberi kabar” pikir Hoa In-liong kemudian, “kalau diingat kembali bahwa
pertama dia adalah orang yang punya nama, kedua jasanya terlalu banyak, tak mungkin dia akan
berhubungan langsung dengan seorang pengemis cilik, ehmm….! Cara kerja orang ini boleh juga,
mana teliii mana hati-hati lagi….tak malu dinamakan orang yang berpengalaman”
“Eeeh….coba aku lihat, apa yang ditulis itu? Siapa yang menulis?” seru Coa Cong-gi tiba-tiba
dengan tak sabar.
Hoa In-liong menyerahkan surat itu kepada Coa Cong-gi, lalu katanya dengan tertawa, “Orang
yang menulis surat ini adalah seorang jagoan tersohor di wilayah utara, dia bilang Bwe Su yok
maupun Tang kwik Siu telah berdatangan semua, entah Seng To cu berada dimana sekarang?”
“Haaahhh….haaahhh….haaahhh….bagus sekali!” Coa Cong-gi terbahak-bahak, “Kalau semua
keramaian sudah berda-tangan, maka kita boleh bekerja dengan sepuas-puasnya, ganyang saja
mereka semua sampai bertobat-tobat….”
“Hei, jangan kau anggap semua urusan bisa diselesaikan secara gampang….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
751
“Lantas apakah adik In liong sudah mempnnyai rencana yang bagus untuk menghadapi musuh?”
tanya Li poh seng.
“Rencana apa? Paling-paling cuma menghadapi perubahan situasi dengan segala kemampuan
yang dimiliki”
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa getir lanjutnya, “Yang paling penting, walaupun jumlah
sahabatku terlalu banyak tapi tak seorangpun yang sanggup menghadapi kelihayan Tang kwik
siu, bila kita main kerubut, sekalipun musuh bisa kita bereskan, kerugihan dipihak kita pasti amat
besar apalagi….”
“Aaah….jangan terlalu mengunggulkan kehebatan orang lain” teriak Coa Cong-gi penasaran,
“kata kongkong, kau pasti sanggup mengalahkan setan tua itu”
Dengan cepat Hoa In-liong menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Lain kali mungkin saja bisa, tapi sekarang masih ketinggalan jauh sekali”
Kembali Coa Cong-gi menggetarkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi Hoa Inliong
sudah terlanjur berpaling ke arah Yu Siau lam sambil bertanya, “Apakah empek dan bibi
sudah ada kabarnya?”
Yu Siau lam menjadi sedih, tapi sikapnya masih tenang.
“Belakangan ini aku belum mendapat kabar apa-apa” sahutnya, “jadi aku tak tahu bagaimana
kah perlakuan orang-orang Hian-beng-kauw terhadap mereka berdua”
Terdengar Coa Cong-gi berseru, “Sebetulnya aku sudah mengusulkan, lebih baik kita satroni saja
bukit Gi bong san, semua orang mendukung usulku ini, anehnya justru dia yang tidak
setuju….coba kau pikir, mengherankan tidak?”
Hoa In-liong membatin, “Saudara Siau lam berbuat demikian tentu dimaksudkan untuk
melindungi keselamatan semua orang, ketenangan semacam ini tak mungkin bisa dilakukan
orang lain, aai….bisa dibayangkan betapa pedih perasaannya”
Sambil menghela napas katanya kemudian, “Orang baik selalu dilindungi Thian, semasa hidupnya
empek dan bibi selalu beramal bagi kesejahteraan manusia, Thian pasti akan melindungi
keselamatannya, tak usah kuatir saudara Siau lam”
Yu Siau lam manggut-manggut, katanya dengan suara dalam, “Kau tak usah mencabangkan
pikiran untuk memikirkan persoalan itu, pusatkan saja semua perhatianmu untuk bertempur
melawan tiga perkumpulan besar”
Diam-diam Hoa In-liong menghela napas.
“Kemana perginya saudara Ek hong….”ia berbisik kemudian.
Li Poh seng ikut bersedih hati, jawabnya.
“Sampai kini saudara Ek hong masih belum diketahui jejaknya, hal ini memang cukup membuat
orang merasa gelisah”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
752
Hoa In-liong termenun tidak menjawab, meskipun timbul kecurigaan dalam hatinya karena
peristiwa antara Wan Ek hong dengan Coa Wi-wi, namun ia merasa kurang baik untuk
mengutarakan persoalan itu secara terbuka, hanya secara diam-diam ia berpikir, mungkinkah
Wan Ek hong tak mau munculkan diri karena tak senang hati lantaran perkataan dari Coa Wi wi
itu?
Tiba-tiba Coa Cong-gi bertanya, “Tahukah kau kenapa adikku tidak datang?”
Hoa In-liong memang ingin menanyakan persoalan itu, karenanya cepat-cepat ia mengangguk.
“Adikku telah pergi ikut kongkong, kata kongkong dia hendak bersemedi disuatu tempat yang
terpencil untuk memulihkan kembali tenaga dalamnya, selain adikku, Cia In juga ikut….”
“Bagaimana keadaan kongkong?” jerit Hoa In-liong dengan wajah berubah hebat.
Coa Cong-gi mengerutkan dahinya.
“Kau tak perlu kaget dan tercenung, kongkong bilang keadaannya tidak apa-apa”
Hoa In-liong kembali berpikir sesudah mendengar perkataan itu, “Dengan kelapangan dada
kongkong, sekalipun didunia ini terjadi peristiwa besar, ia selalu memandangnya secara tawar,
tentu saja keadaannya tidak seenteng apa yang dikatakan….”
Tentu saja apa yang menjadi beban pikirannya tak sampai diucapkan keluar, ia coba berpaling,
dilihatnya Yu Siau lam, Li Poh-seng maupun Ko Siong peng sedang berdiri me1ongo, agaknya
mereka masih belum mengetahui tentang tindakan Goan cing taysu yang membantu
menyempurnakan tenaga dalamnya dengan ilmu Wan kong-koan teng tersebut.
Ia termenung sebentar, akhirnya ia merasa ada baiknya jangan membicarakan persoalan itu.
Tiba-tiba Coa Gong gi berkata lagi.
“Oya, kongkong menitahkan kepadaku untuk menyampaikan sepatah kata kepadamu!”
“Apa kata kongkong?”
“Kongkong bilang, hati yang bijaksana adalab hati Buddha, dengan dasar hati yang bijaksana,
kau boleh melakukan apapun juga, cuma meski kecerdikanmu cukup namun kebesaran jiwa dan
kelembutan hatimu masih ketinggalan jauh, maka kongkong menasehati kepadamu agar lebih
banyak melatih diri”
Hoa In-liong mengangguk.
“Nasehat dari dia orang tua akan selalu terukir dalam hatiku” sahutnya.
Mendadak Coa Cong-gi tertawa tergelak, katanya.
“Haaahhh….haaahhh….haahhh….padahal aku selalu berangggapan kalau kebajikan dan
kelembutan hatinya terlampau berlebihan, watak semacam itu tidak cocok dengan perasaanku.
Aaai….! Coba kalau menurut watakku, mau pukul segera pukul, mau berkelahi segera berkelahi,
buat apa membicarakan soal kelembutan hati segala?”
“Kontan saja semua orang tertawa tergelak mengiringi ucapannya yang cukup kocak itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
753
Tiba-tiba seseorang mneanggapi sambil tertawa lantang, “Tepat sekali perkataan itu, memang
sudah seharusnya begitu! Memang sepantasnya begitu!”
“Dari balik pintu ruang samping muncul Ho Kee sian yang berjalan menghampiri sambil tertawa
tergelak.
“Siapa kau?” seru Coa Cong-gi cepat.
“Dia adalah empek Ho dan beraama Kee sian” Hoa In-liong mem perkenalkan simbil tertawa
“dulu ia lebih dikenal orang sebagai Tangan sakti pembalik….”
“Cukup, cukup” tukas Ho Kee sian tertawa, “apa gunanya Liong sauya menyinggung kembali soal
julukan perampokku dimasa lalu?”
Hoa In-liong tersenyum, ia lantas perkenalkan kedua belah pihak, kemudian beberapa orang itu
masuk ke ruang tengah dan duduk tanpa urutan siapa tuan rumah siapa tamu, dan
pembicaraanpun segera berlangsung.
Hoa In-liong coba menanyakan tempat pengasingan Goan cing taysu dan Coa Wi wi serta berapa
lama waktunya, siapa tahu Coa Cong-gi sendiripun tidak tahu, ini menyebabkan soal tersebut
sementara waktu harus ditunda lebih dulu, kendatipun hatinya amat kangen.
Malam itu, Coa Cong-gi sekalian menginap di sana, untung halaman yang disewa In liong sangat
luas, bukan saja ada ruang tamunya, ada kamar tidurnya ada pula kamar bacanya, disitulah Kok
Hong seng dan Siau gou ji menginap malam itu”
Tengah malam seorang diri Hoa In-liong melayang keluar dari penginapannya menuju
penginapan Ong keh di utara kota.
Rumah penginapan itu jauh lebih kecil bentuknya daripada rumah penginapan “Thian-hok”,
disana tak ada halaman tersendiri yang disewakan kamar kelas satupun cuma terdiri dari lima
bilik, suasana gelap gulita tiada cahaya.
Dalam suratnya Cia Yu cong tidak menerangkan Si Leng jin dan pelayannya menginap dikamar
yang mana, tapi Hoa In-liong menduga mereka tentu memilih ruangan yang terpencil.
Maka sesudah termenung sebentar, timbul ingatan dalam benak anak muda itu untuk
menimbulkan suara, ia beranggapan andaikata berbuat demikian dua orang itu tentu akan
segera munculkan diri.
Tapi sebelum rencananya dilaksanakan, dari balik sebuah kamar tiba-tiba berkumandang suara
helaan napas panjang serta suara langkah kaki yang berisik, disusul kemudian ia saksikan
sesosok bayangan ramping muncul dari balik jendela secara lamat-lamat.
Satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan suatu gerakan secepat sambaran kilat ia
menerobos masuk lewat jendela.
Kamar itu memang gelap, tapi tidak menjadi batangan bagi Hoa In-liong yang mempunyai
ketajaman mata bagaikan kilat, ia sudah menyaksikan seorang gadis berbaju hitam yang
berhidung mancung, berbibir mungil dan menyoren sebilah pedang pendek di-pinggangnya
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
754
berdiri dalam ruangan itu, gadis itu bukan lain adalah gadis baju hitam yang pernah dijumpai
baik dalam gedung keluarga Suma maupun dibukit Ciong san.
Ketika mendengar suara berisik berasal dari jendela, dengan terkejut gadis baju hitam itu
memutar badannya, cahaya tajam berkilauan dan tahu-tahu pedang pendeknya sudah diloloskan.
Hoa In-liong terbahak-bahak, sambil maju kemuka memberi hormat katanya, “Bila kedatangan
telah mengganggu ketenangan nona, harap sudilah dimaafkan”
Nona berbaju hitam itu tidak nampak terkejut meski bertemu dengannya, malah sekilas perasaan
girang menghiasi wajahnya, sambil masukkan pedangnya kedalam sarung tegurnya dengan
dingin, “Tengah malam buta begini, mau apa kau datang kemari?”
“Aaah….! Kalau dilihat dari caranya bersikap mungkin ia sudah menduga akan kedatanganku”
pikir Hoa In-liong.
Sambil tertawa ringan diapun berkata, “Sehari tidak bertemu bagaikan berpisah tiga tahun,
terutama setengah tahun belakangan ini, hatiku benar-benar merasa gundah dan tidak tenang,
karenanya bila dalam tindakanku kurang hormat harap nona suka memaafkan”
Merah padam selembar wajah nona baju hitam itu, bibirnya mencibir seperti hendak
mengucapkan sesuatu, namun jengah untuk diutarakan keluar.
Mendadak dari arah pintu kedengaran suara manusia berkumandang, disusul suara Si Nio
menegur, “Nona, siapa yang datang?”
“Kau tak usah turut campur, sana, pergi tidur!”
“Apakah bocah buyung she Hoa yarg telah datang?” Si Nio kembali bertanya.
Hoa In-liong terbahak-bahak mendengar perkataan itu.
“Haaahhh….haaahh….haaahhh….pujian saudara hanya membuat aku menjadi malu saja”
“Bagus kekali perbuatanmu….” si nona baju hitam menjerit.
“Kraaaaakkk….! tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Si Nio yang berwajah penuh codet dan bekas
bacokan itu sudah muncul sambil melototi Hoa In-liong dengan mata tajam.
“Mundur dari sini!” bentak nona baju hitam itu dengan perasaan tak senang hati.
“Tapi, dia….” dengan perasaan ragu-ragu Si Nio menuding kearah Hoa In-liong.
Paras muka si nona baju hitam itu makin mengerikan, dengan gusar teriaknya lagi, “Masa
perkataanku pun tak mau kau turuti? Memangnya kau sudah tidak menganggap diriku sebagai
majikanmu lagi?”
Si Nio tercenung sesaat lamanya, kemudian setelah melotot sekejap Hoa In-liong dengan gemas,
selangkah demi selangkah ia mengundurkan diri dari situ.
Dengan lemah gemulai nona baju hitam itu maju kemuka dan menutup kembali pintu kamar.
Hoa In-liong tersenyum, katanya kemudian, “Jika dilihat dari sikapnya yang begitu garang, waah
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
755
rupanya dia hendak menelanku hidup-hidup bila aku berbuat kurang menguntungkan atas diri
nona”
“Berbicara dari ilmu silat yang dimiliki kongcu, bukankah tindakan itu sama artinya dengan
mencari kematian buat diri sendiri?”
“Haahh….haahhh….haaahhh…. nona Si….”
Hoa In-liong tertawa tergelak, tiba-tiba ia meralat panggilannya, “mungkin nona merasa heran
bukan darimana aku bisa tahu nama nona?”
Nona baju hitam itu mencibirkan bibirnya, “Huuuh…. apanya yang aneh, paling-paling kau bisa
menebaknya karena Si Nio juga berasal dari keluarga Si”
“Tapi aku mengetahui juga kalau nona bernama Leng jin, apakah nona tidak tercengang?” kata
Hoa In-liong lagi sambil tertawa.
“Betul juga, nona berbaju hitam itu menunjukkan perasaan tercengang, tapi sesaat kemudian
dengan suara hambar ia berseru, “Jadi kau sudah berjumpa dengan budak itu?”
“Rupanya antara dia dengan nona baju putih itu mempunyai hubungan permusuhan yang dalam”
batin Hoa In-liong.
Sementara itu Si Leng jin, si nona baju hitam itu sudah mendekati meja lalu mengeluarkan korek
api dan bermaksud menyulut lampu lentera yang ada dihadapannya.
Sebelum lentera itu disulut, Hoa In-liong telah merampas korek api tadi dan memadamkannya
kembali.
“Hei apa maksudmu?” teriak Si Leng jin dengan gusarnya.
“Coba nona terka” Hoa In-liong masih tersenyum.
Si Leng jin tidak langsung menjawab, diam-diam pikirnya, “Hoa In-liong adalah orang yang tidak
jujur, jangan biarkan dia melakukan perbuatan yang kurangajar….”
Tiba-tiba perasaannya bergetar keras, tanpa sadar ia meraba gagang pedangnya dan pelanpelan
mengundurkan diri ke belakang.
Dari sakunya Hoa In-liong mengeluarkan sebuah kipas bergagang emas, lalu sambil
menggoyangkannya ia berkata, “Nona tak usah kuatir, aku hanya merasa bahwa cahaya bintang
dan rembulan sudah cukup menerangi seluruh jagad, buat apa kita musti memasang lampu? Tak
usah kuatir, aku tidak bermaksud apa-apa”
“Tapi ruangan ini gelap gulita” teriak Si Leng jin gusar,” tidakkah kau merasa bahwa
perbuatanmu ini….”
Sebenarnya ia hendak berkata bahwa laki dan perempuan yang tak ada ikatan tak pantas berada
dalam satu ruangan, tiba-tiba gadis itu merasa malu untuk mengucapkannya, tentu saja
perkataanpun terhenti ditengah jalan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
756
Hoa In-liong masih tetap tenang, seakan-akan tak pernah terjadi suatu kejadian apapun, ia coba
memperhatikan suasana dalam ruangan, ternyata kecuali sebuah pembaringan, sebuah meja dan
dua buah kursi tak ada barang lainnya.
Setelah duduk, ia menuding kursi yang lain dengan kipasnya sambil berkata, “Nona silahkan
duduk pula!”
“Lebih baik aku berdiri saja, kau tak usah banyak urusan” tukas Si Leng jin ketus, bahkan berdiri
makin menjauh.
Hoa In-liong tidak berbicara lagi, dia menggoyangkan kipasnya dan berkata lagi, “Begitu nona
tahu kalau aku mengetahui nama nona, kau segera mengatakan kalau muridnya Hian-bengkauwcu
yang memberitahukan ke padaku, itu berarti orang yang mengetahui nama nona pasti
teramat sedikit sekali….”
“Tentu saja jauh ketinggalan bila dibandingkan kepopuleran Hoa ji-kongcu yang tersohor
dimana-mana” tukas Si Leng jin.
“Anehnya, kenapa kau tidak mengatakan kalau aku telah bertemu sendiri dengan Hian-bengkauwcu?
Aku rasa kaucu itu pasti mengenal diri nona bukan….?”
Ketika menyinggung soal Hian-beng-kauwcu, tiba-tiba dari balik mata Si Leng jin yang bening
memancar keluar rasa benci yang tebal, katanya lantang, “Kalau eugkau bertemu dengannya
memang dianggap sekarang kau bisa duduk dengan tenang di sini?”
“Itu berarti dia mempunyai dendam kesumat dengan Hian-beng-kauwcu” pikir Hoa In-liong.
Sementara diluaran katanya, “Ooo….benarkah Hian-beng-kauwcu adalah manusia yang demikian
lihaynya?”
“Hmmm….! Sampai waktunya bila kau bertemu dengannya, maka kau akan mengetahui dengan
sendirinya”
Tiba-tiba Hoa In-liong menyimpan kembali kipasnya, kemudian dengan wajah serius berkata,
“Nona, aku yakin apa yang kau ketahui tentu banyak sekali, bila kau bersedia memberi petunjuk,
aku pasti akan membalas budi kebaikanmu itu….”
“Kalau aku enggan menjawab?” tanya Si Leng jin sambil mencibirkan bibirnya.
“Aku tahu nona pasti mempunyai kisah pengalaman yang menyedihkan hati, sedang perbuatan
inipun hanya akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak, masa nona tidak bersedia
melakukannya dengan senang hati….?”
“Yaa, betul! Justru aku memang tak senang hati”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya serta menunjukkan perasaan tak senang hati, ia berpikir,
“Dengan maksud baik aku memohon bantuanmu, tapi kau malah menolak dengan cara yang
begini kasar, tidakkah kau merasa bahwa perbuatan ini sangat keterlaluan?”
Sementara itu Si Leng jin telah berkata lagi, “Walaupun aku berdua memiliki ilmu silat yang
rendah, meskipun kami cuma dua orang yang tak berguna, tapi selamanya tak pernah tunduk
oleh pengaruh kekuatan”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
757
“Oooh….rupanya dia adalah seorang nona yang tinggi hati dan tak suka menerima bantuan
orang” pikir Hoa In-liong.
Berpikir sampai disitu, ia lantas tersenyum dan berkata lagi, “Kalau begitu, bagaimana kalau
anggap saja aku yang memohon kepada nona?”
Si Leng jin tertegun, bibirnya bergetar keras namun tak sepatah katapun yang terlontar keluar.
“Nona….” kembali Hoa In-liong berkata dengan suara berat.
“Kraaaakk….!” tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Si Nio muncul kembali dalam ruangan tersebut.
Ia langsung menghampiri Si Leng jin, kemudian serunya dengan cemas, “Nona, kabulkanlah
permintaannya!”
Si Leng jin menunduk dan memandang permukaan lantai dengan termangu, sahutnya, “Dulu
engkau yang ngotot menolak hal ini, sekarang engkau juga yang menyetujuinya, tidak, tidak
bisa!”
Si Nio tertegun.
“Tapi….tapi….aku berbuat demikian kan demi kebaikan nona….” serunya tergagap.
“Tidak!” tukas Si Leng jin ketus.
Tiba-tiba ia memutar badannya menghadap kearah dinding, bahunya bergetar keras menahan
isak tangisnya.
Si Nio menjadi gelagapan dibuatnya, ia memandang majikannya seperti orang kebingungan.
“Nona Si masih belum puas?” Hoa In-liong berkerut kening.
“Kau cengar-cengir sedikitpun tidak menunjukkan keseriusan, siapa yang mau menyanggupi
tawaranmu?” jawab Si Leng jin tanpa berpaling.
Begitu ucapan tersebut diutarakan, tak tahan lagi meledaklah isak tangisnya yang memedihkan
hati.
“Keras kepala amat nona ini….bocah yang terlampau tinggi hati beginilah keadaannya” pikir anak
muda itu, diapun tersenyum.
“Menurut nona, lantas apa yang musti kita laku kan….?”tanyanya kemudian.
Sambil menghadap terus ke dinding kata Si Leng jin, “Bila aku tak mau menjawab, sudah tentu
Hoa kongcu pun tak mau perjalananmu sia-sia belaka, bukankah kaupun akan menahan marah
terus?”
Kerena perkataan itu diucapkan sambil sesenggukan, maka meskipun hanya dua tiga patah kata
saja, namun membutuhkan waktu setengah harian lamanya.
Tergelaklah Hoa In-liong karena geli.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
758
“Aaah…. rupanya nona telah melukiskan diriku sebagai seorang iblis sesat saja, baiklah! Kalau
kau beranggapan demikian, apa boleh buat? Terpaksa aku harus mengundurkan diri dengan
perasaan hati yang sangat kecewa”
Si Leng jin termenung beberapa saat lamanya, ia seperti lagi berpikir, tiba-tiba ujarnya, “Kalau
memang begitu, kau harus bersumpah dulu sebelum aku menceritakan keadaan yang
sesungguhnya”
Sambil berkata pelan-pelan ia memutar kembali tubuhnya.
Air mata masih membasahi pipinya, nona itu kelihatan amat bersedih hati dan bikin hati orang
iba saja hatinya, cukup mengge-tarkan perasaan siapapun jua.
Sekalipun sedang marah, lembek juga perasaan Hoa In-liong setelah menyaksikan keadaan itu,
ia berpikir, “Aaaai….walaupun kekuatan dua orang ini terlalu minim, namun kesombongan serta
keras kepala mereka luar biasa sekali, bagaimanapun juga sudah sepantasnya kalau kubantu
usaha mereka”
Berpikir sampai disitu, dia lantas tertawa getir dan berkata, “Nona, buat apa kau terlalu memaksa
orang lain? Ketahuilah, aku bersedia membantumu karena timbul dari sanubariku, buat apa kau
memaksa aku untuk bersumpah pula?”
Tiba-tiba Si Nio mengundurkan diri dari situ, kemudian merapatkan kembali pintu ruangan.
“Baiklah” kata Si Leng jin kemudian, “akan kuceritakan apa yang kuketahui, cuma tidak terlalu
banyak yang bisa kuterangkan, mungkin saja kau akan kecewa, tapi hakekatnya aku tidak akan
menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu, percayalah!”
“Untuk berterima kasihpun sudah tak sempat, mana aku berani mencurigai nona?” cepat cepat
Hoa In-liong memberi hormat.
“Mari kita bercakap-cakap diluar kota saja!” ajak si nona kemudian sambil membesut air mata.
Ia menjejakkan sepasang kakinya siap menerobos keluar lewat daun jendela.
Tentu saja Hoa In-liong tahu, ia berbuat demikian karena kuatir dibalik dinding ada telinganya,
sambil tersenyum ia menghalangi, katanya, “Aku rasa tempat inipun cukup baik, buat apa kita
musti berpayah payah makan angin malam di luar kota?”
Dia membuat api dan menyulut lampu lentera yang ada dimeja.
“Ditempat ini juga?” kata Si Leng jin sambil memutar badan.
“Yaa!” Hoa In-liong tertawa, “buat apa nona musti banyak menaruh curiga?”
Kontan saja Si Leng jin tertawa dingin.
“Heeehhh….heeehhh….heeehhh…. Hoa kongcu, kau anggap kepandaian silatmu sudau mencapai
tingkatan yang tinggi sehingga setiap musuh yang mendekati tempat ini dapat kau temukan?”
“Hmmm….yang lain tak usah dibicarakan, cukup berbicara soal jago-jago dalam Hian-beng-kauw,
jago lihay yang lebih hebat dari kongcu mungkin puluhan orang banyaknya, kau anggap
kepandaianmu sanggup mengalahkan mereka?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
759
Sekalipun mengomel terus, toh nona itu duduk juga.
“Oooh…. begitu banyakkah jago lihay dari Hian-beng-kauw?” kata Hoa In-liong kemudian dengan
dahi berkerut.
“Jadi Hoa kongcu menganggap siau li sengaja mengibul untuk menakut-nakuti dirimu?”
“Tentu saja tidak!” anak muda itu tertawa.
Betapa mendongkolnya Si Leng jin menyaksikan pemuda itu masih belum percaya juga, sambil
tertawa dingin ia mengalihkan pokok pembicaraan kesoal lain, katanya, “Kalau Hoa kongcu ingin
cepat-cepat mengetahui latar belakang perkumpulan Hian-beng-kauw, siau li….”
“Yang ingin kuketahui secepatnya adalah asal usul serta pengalaman hidup nona pribadi” tukas
Hoa In-liong tiba-tiba.
Jawaban ini membuat Si Leng jin tertegun.
“Setiap lelaki sejati selalu beranggapan bahwa persoalan yang menyangkut keadaan umum jauh
lebih penting, apalagi pengalaman hidup maupun asal usul siau li sangat biasa, lebih baik tak
usah dibicarakan”
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, ia mengambil kembali kipasnya lalu….
“Sreeeeetr….” dibentangkan lebar-lebar.
“Orang lelaki didunia ini mungkin saja akan berbuat demikian” begitu katanya, “tapi aku adalah
orang yang lain daripada yang lain, semenjak kecil aku sudah memiliki cara berpandangan yang
lain, aku lebih mengutamakan perempuan cantik….”
Panas rasanya pipi Si Leng jin karena jengah, dia melengos ke samping lain dan tak berani
menatap pemuda itu lagi.
Terdengar Hoa In-liong berkata lebih lanjut, “Apalagi menghadapi nona yang begitu cantik dan
menawan hati, apakah aku tega membiarkan kau ketimpa musibah tanpa memberi bantuan apa
apa juga? Mana hatiku bisa tenteram membiarkan kau sengsara dan tersiksa batinnya?”
Ucapan itu setengahnya benar dan setengahnya bohong, tapi sudah cukup menggetarkan
perasaan Si Leng jin.
Ia termenung sesaat lamanya, kemudian berkata, “Asal usulku mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan Hian-beng-kauw, mau membicarakan yang lama lebih dulu adalah sama saja.
karena itu lebih baik kita membicarakan soal Hian-beng-kauw saja lebih dulu”
“Terserah kemauan nona” cepat-cepat Hoa In-liong menjura.
Pelan pelan Si Leng jin berpaling, kemudian ujarnya, “Siau li sudah beberapa kali bertemu
dengan Hian-beng-kauwcu….”
“Siapakah namanya?”
“Entahlah!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
760
Tapi sesudah termenung sebentar, ia berkata lagi, “Tapi aku percaya nama yang ia sebutkan
pasti nama palsu”
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali, “Belum tentu” ia menyabut, “aku tahu Hianbeng-
kauwcu adalah seorang manusia yang tinggi hati dan latah, mungkin saja ia tak mau
berubah namanya dengan nama lain”
“Pernah kau dengar seorang jago persilatan yang bernama Si Piau?” tanya Si Leng jin sambil
tersenyum.
Hoa In-liong berpikir sebentar lalu tertawa getir.
“Mungkin seorang gembong iblis yang belum pernah terjun dalam dunia persilatan!” katanya
kemudian.
Diluar ia berkata demikian, diam-diam pikirnya, “Hian-beng-kauwcu mempunyai ikatan dendam
dengan ayah ibuku, itu berarti dahulu orang itu pernah melakukan pula perjalanan dalam dunia
persilatan, cuma….”
Walaupun ia cerdas, namun menghadapi persoalan yang aneh dan tak masuk diakai ini,
melengkong juga anak muda itu dibuatnya.
Kedengaran Si Leng jin berkata lagi, “Iblis itu masih kuat dan gagah, mukanya tidak termasuk
kategori wajah bengis, yang paling menyolok ia mengenakan sebuah jubah panjang berwarna
merah, orang perkumpulan menyebutnya kaucu, sedang ia sendiri membahasai diri sebagai
Sinkun….”
“Apakah Kiu-ci Sinkun?” tiba-tiba Hoa In-liong menyela.
“Darimana kau bisa tahu?” Si Leng jin membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar, “Tidak
aneh kalau aku merasa ilmu silat yang tercantum dalam batas buku kemala hijau itu kenapa bisa
mirip dengan ilmu silat yang digunakan beberapa orang Ciu Hoa” pikir Hoa In-liong, “ternyata
dugaanku tidak meleset, tapi….mungkinkah Kiu-ci Sinkun masih mempunyai ahli waris yang
lain….?”
Berpikir sampai disitu, diapun berkata, “Aku dapat berkata demikian, sebab aku pernah
menyaksikan ilmu silat yang digunakan Ciu Hoa mirip sekali dengan ilmu silat aliran istana Kiu ci
kiong”
“Tapi ilmu silat yang dimiliki Kiu-ci Sinkun belum pernah tersiar dalam dunia persilatan, darimana
Hoa kongcu bisa tahu?” Si Leng jin nampak sangat tercengang.
“Secara kebetulan aku pernah mendapatkan suatu benda yang memuat ilmu silat aliran Kiu-ci
Sinkun sebab itulah aku mengetahui hal ini dengan jelas”
Si Leng jin menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun akhirnya ia
tutup mulut kembali dan membatalkan maksud sebenarnya.
Tentu saja Hoa In-liong mengetahui apa yang dipikirkan, dia tersenyum lalu dari sakunya
mengambil keluar batas buku yang terbuat dari kemala hijau itu.
“Silahkan periksa nona!” katanya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
761
Si Leng jin tertegun, pikirnya, “Begitu percaya ia serahkan benda tersebut kepadaku, tampaknya
ia benar-benar telah menganggapku sebagai sahabatnya….!”
Meski begitu diapun kuatir seandainya Hoa In-liong melancarkan sergapan secara tiba-tiba, maka
sambil menengadah, ia mengawasi wajah pemuda itu dengan sepasang biji matanya yang jeli.
“Hoa kongcu” ujarnya kemudian, “aku dengan Hian-beng-kauw mempunyai ikatan dendam yang
lebih dalam dari samudra, kalau toh engkau mempunyai benda tersebut, bersediakah kau penuhi
keinginanku?”
“Benda ini tiada kegunaan yang terlampau besar bagiku, bila nona sangit membutuhkannya,
terimalah saja benda ini”
Si Leng jin tidak sungkan-sungkan, Ia menerima batas buku kemala hijau dan dimasukkan
kedalam saku.
Lalu setelah termenung sebentar, tiba-tiba katanya, “Hoa kongcu, aku merasa sedikit kurang
percaya dengan perkataanmu itu….”
Sikap maupun nada suaranya jauh lebih lembut dan lunak daripada keadaan sebelumnya.
Hoa In-liong agak tertegun, kemudian sambil tertawa ia bertanya, “Bagian manakah yang
menurut nona sangat meragukan?”
“Saat ini Hoa kongcu sedang bermusuhan dengan Hian-beng-kauw, seandainya kau ingin
menguasahi juga ilmu silat yang dimiliki Hian-beng-kauwcu, hal tersebut dapat kau pelajari dari
benda tersebut, kenapa kau mengatakan tak ada kegunaan yang besar?”
“Ooooh….rupanya nona maksudkan hal itu”
“Apakah aku salah menyangka?”
“Bukannya aku sengaja mengibul atau terlampau membanggakan diri, begitu untuk mengalahkan
orang-orang bawahan Hian-beng-kauwcu semu dah membalikkan telapak tangan sendiri,
sebaliknya untuk menghadapi Hian-beng-kauwcu tak mungkin aku bisa mengatasinya dengan
cara mempelajari pula ilmu sealiran dengannya, sebab ilmu silat iblis itu tentu sudah dilatih
sedemikian sempurna sehingga sukar ditemukan titik kelemahannya, itu berarti bukan pekerjaan
yang mudah bagiku untuk mengatasi kepandaiannya dengan kepandaian yang sealiran
dengannya”
Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan, “Tentu saja secara otomatis benda tersebut tak ada
gunanya bagiku, betul tidak?”
Si Leng jin menghela napas panjang.
“Aaaaaai….kenyataan memang begitu, dan aku pun musti menerima kebaikanmu dalam hati
saja”
Tiba-tiba ia mengeluarkan kembali batas buku kemala hijau itu lalu diangsurkan kehadapan Hoa
In-liong.
“Harap Hoa kongcu menerima kembali benda ini!” katanya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
762
Hoa In-liong termenung sebentar, lalu sambil tertawa berkata, “Waaaah….kalau begitu, aku kan
menjadi orang yang plin plan? Sudah diberikan orang lain sekarang diterima kembali?”
Sambil gelengkan kepalanya ia menerima kembali batas buku kemala hijau tersebut.
“Kau toh memang orang plin plan, apanya yang musti diherankan?” kedengaran Si Leng jin
berkata sambil tertawa.
Sebenarnya kapan saja dan dimana saja nona ini selalu diliputi kemurungan dan kesedihan,
seakan-akan tak pernah ia ketahui tingginya langit dan tebalnya bumi, dan seolah-olah pula tak
tahu kalau didunia ini penuh kegembiraan.
Sekalipun jauh berbeda bila dibandingkan dengan sikap dingin dari Bwee-Su yok, namun toh
sama-sama menimbulkan kesan bagi siapapun bahwa mereka adalah orang-orang yang tak bisa
diajak bergaul.
Tapi setelah tersenyum sekarang, ibaratnya matahari yang tiba tiba muncul dimusim salju yang
dingin, seketika melumerkan perasaan beku siapa-pun dan mendatangkan perasaan hangat.
Senyumannya begitu bebas, begitu lebar dan muncul dari sanubari yang dalam, hal ini membuat
gadis itu tampak lebih cantik, lebih menawan dan mempersonakan hati siapapua juga.
Hoa In-liong ikut berseri oleh kegirangan, segera ia berpikir, “Entah persoalan apa yang
membuat ia murung kesal dan selalu bersedih hati? Padahal dia lebih cocok merupakan seorang
gadis periang yang selalu gembira, kemurungan dan kesedihan cuma menimbulkan kesan aneh
bagi siapa pun yang memandangnya….”
Hoa In-liong merasa kemurungan dan kesedihan yang sepanjang tahun menyelimuti gadis itu
hanya merupakan siksaan yang paling kejam, ia ingin menanggulangi hal itu bagi si nona.
00000O00000
39
NONA, bolehkah aku mengetahui riwayat hidupmu….?” katanya kemudian dengan nada lirih.
“Soal itu tak usah disinggung!” tukas Si Leng jin dengan cepat.
Sesudah berhenti sebentar, katanya kembali dengan suara sedih, “Sebetulnya aku tidak ingin
mengatakannya kepadamu, tapi sekarang, aku sudah berubuh pikiran.
“Memang lebih baik kau katakan kepadaku, sebab dengan begitu akan mengurangi pula siksaan
batinmu” ujar Hoa In-liong lembut.
Si Leng jin mengangguk lirih, tiba-tiba ia tertawa.
“Ada baiknya kuceritakan dulu secara ringkas soal organisasi dalam perkumpulan Hian-bengkauw”
katanya.
Setelah berpikir sebentar, ia berkata lagi, “Dibawah kekuasaan Hian-beng-kauwcu, agaknya
masih terdapat seorang Hu kaucu….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
763
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Hoa In-liong, tiba-tiba selanya, “Siapakah
nama Hu kaucu tersebut?”
“Aku hanya mendengar orang memanggilnya sebagai Go hu kaucu, siapakah nama yang
sebenarnya aku kurang bsgitu tahu”
“Oooh….rupanya suami Thia siok bi adalah Hu kaucu perkumpulan Hian-beng-kauw saat ini” pikir
Hoa In-liong, “tak aneh kalau ia seperti segan untuk membicarakan masalah itu, akan tetapi
Hong giok….”
Kedengaran Si Leng jin melanjutkan kembali kata-katanya, “Lebih ke bawah lagi adalah
Pemimpin Markas besar, thamcu ruang langit, thamcu ruang bumi dan thamcu ruang manusia,
tiap ruang terbagi pula dalam sektor sektor bagian luar dan bagian dalam, setiap bagian
mempunyai kantor-kantor cabang disetiap wilayah, rata-rata mereka adalah kawanan jago yang
memiliki ilmu tinggi. Yang paling luar biasa adalah sekawanan manusia aneh yang dipelihara
dalam istana Ban yu tian, setiap jago yang ada disitu semuanya merupakan jago-jago lihay yang
berilmu tinggi….”
Mendengar keterangan terssbut, Hoa In-liong segera berpikir didalam hati, “Konon dalam istana
Kiu ci kiong tempo dulu juga terdapat istana Ban yu tian, jikalau iblis itu mengangkat dirinya
sebagai Kiu ci-sinkun, tentu saja istana yang dibangunpun akan mirip pula dengan istana Kiu ci
kiong tempo dulu….”
Setelah berpikir sampai disitu, ia lantas bertanya, “Selihay-lihaynya ilmu silat yang dimiliki
kawanan manusia aneh tersebut, rasanya kepandaian mereka tentu berada dibawah kepandaian
Hian-beng-kauwcu sendiri bukan?”
Si Leng jin tertegun kemudian sahutnya, “Yaa….sudah tentu kepandaian silat mereka berada
dibawah kepandaian Hian-beng-kauwcu sendiri”
Tiba-tiba Hoa In-liong menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh….haaahh….haaahh….kalau toh kawanan manusia itu tidak lebih hanya budak-budak
peliharaan Hian-beng-kauwcu, pantaskah mereka disebut sebagai sekawanan manusia aneh?”
Baru saja Si Leng jin tertegun dibuatnya, mendadak….” Sreceeett!” serentetan desingan angin
tajam menyambar masuk kedalam ruangan dan langsung menyergap tubuh Hoa In-liong.
Jelek-jelek Hoa In-liong terhitung seorang jago yang sangat tanagguh, sudah barang tentu ia
tidak membiarkan badannya termasuk oleh sambitan tersebut, kepalanya segera dimiringkan ke
samping, dengan sedikitpun tidak panik atau gugup ia membiarkan serangan tadi lewat dari
sisinya.
“Plaaaakk….!” batu itu melesat lewat dan menghantam dinding pintu ruangan.
Gelak tertawa nyaring segera berkumandang memecahkan kesunyian, seseorang berseru dari
luar jendela, “Bocah muda, kau berani sembarangan berbicara, caramu itu sudah sepantasnya
kalau diberi pelajaran yang setimpal”
Secepat sambaran kilat Hoa In-liong melompat keluar lewat jendela, lalu bertanya, “Hei
bukankah kau hendak memberi pelajaran kepadaku? Kenapa kabur dari sini?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
764
Bentakan tersebut diutarakan bagaikan guntur yang membelah angkasa, seluruh penginapan
dibuat menjadi gaduh dan tamu-tamu yang menginap disitupun tersentak bangun.
Meski demikian tak seorangpun yang berisik atau bersuara, sebab mereka tahu pertikaian antara
kawanan manusia dari dunia persilatan tak boleh dicampuri, karenanya suasana masih tetap
hening dan sepi.
Hoa In-liong sudah melompat keatas atap rumah, dari kejauhan sana ia menyaksikan sesosok
bayangan sedang meluncur kearah timur laut, satu ingatan cepat melintas dalam benaknya,
pengejaran segera dilakukan.
“Hoa kongcu….” tiba-tiba kedengaran Si Leng jin berteriak memanggil.
Hoa In-liong segera menghentikan langkah kakinya, seraya berpaling ia berkata, “Nona Si, orang
itu harus dilenyapkan dari muka bumi, kembalilah ke kamarmu dan tunggu aku disitu.”
Sementara pembicaraan sedang berlangsung, bayangan manusia itu sudah berkelebat diatas
dinding kota sana lalu lenyap.
Pemuda itu sangat gelisah, sekuat tenaga ia melakukan pengejaran.
Tiba-tiba di atas dinding kota, bayangan manusia itu kelihatan sedang berlarian puluhan tombak
jauhnya didepan sana, ia segera mengerahkan segenap tenaganya untuk mengejar.
Ia tak mau kehilangan jejak orang itu, sebab kalau didengar dari nada perkataannya jelas orang
itu anggota Hian-beng-kauw, berbahaya sekali keselamatan Si Leng jin berdua bila orang ini
dibiarkan kabur.
Pengejaran dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, dalam waktu singkat kota Si
ciu sudah jauh ketinggalan.
Pengejaran kembali dilakukan sekian waktu, mendadak Hoa In-liong menyaksikan bayangan
manusia didepan sana berhenti.
“Berbicara dari ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu. jelas ia adalah seorang jago yang
sangat tangguh” pikir anak muda itu kemudian. “Bukan pekerjaan yang ringan bagiku bila ingin
merebut kemenangan darinya….”
Sementara otaknya masih berputar, ia sudah berada dihadapan orang itu, ternyata dia adalah
seorang kakek berbaju hijau yang bermuka merah seperti apel masak.
Kedengaran kakek berjubah hijau itu tertawa terbahak-bahak.
“Haaahh….haaahh….haaahh….bocah muda, mau apa kau susul diriku?”
Hoa In-liong segera menghentikan langkahnya.
“Tak ada gunanya banyak membicarakan soal yang tak berguna, aku hanya ingin bertanya
kepadamu, mau kusekap sementara waktu ataukah hendak terkubur selamanya disini?”
Ucapan tersebut diucapkan amat santai dan enteng, seakan-akan ia tidak memandang sebelah
matapun terhadap musuhnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
765
Berkobar hawa amarah kakek itu, dengan suara keras bentaknya, “Bocah keparat, kau terlalu
latah, aku….”
Mendadak ia seperti menyadari sesuatu, sambil tertawa terbahak bahak katanya kemudian, “Licik
betul kau si bocah muda, jelek-jelek begini asam garam yang pernah kumakan jauh lebih banyak
darimu, memangnya kau anggap perahuku bakal terjungkir dalam selokan?”
Hoa In-liong memang bermaksud memanasi hatinya sehingga kesadarannya agak terganggu,
apabila hal ini sampai terjadi maka kemenangan tentu lebih mudah diraih untuk pihaknya.
Namun dia harus mengakui juga kepintaran kakek tersebut, ia memuji atas ketelitiannya
disamping memperingati diri sendiri agar jangan terlampau memandang enteng lawan.
Pedang antiknya segera dicabut keluar, lalu katanya, “Akupun bicara yang sesungguhnya, mau
dituruti atau tidak terserah kepadamu!”
Kakek berjubah hitam itu memandang pedang antik itu sekejap, lalu katanya, “Apakah sudah
bersiap sedia untuk melakukan duel satu lawan satu denganku?”
“Kalau kau sudah tahu, itu lebih bagus”
Pedangnya segera diputar sambil melancarkan bacokan ke depan.
Kakek itu tidak melirik barang sekejappun terhadap lawannya, sikapnya begitu santai seakanakan
tak pernah terjadi suatu apapun, kemudian sambil menengadah tertawa terbahak-bahak.
“Sayang….sungguh amat sayang!”
Sekalipun Hoa In-liong orangnya aneh dan binal, jiwanya tetap gagah dan perkasa, karena kakek
berjubah hijau itu tidak menangkis maupun berkelit dari serangannya.
“Apa yang patut disayangkan?” tegurnya.
“Kau anggap siapakah lohu ini?” tanya Kakek berjubah hijau sambil menarik kembali gelak
tertawanya.
“Mungkin kau adalah salah seorang diantara kawanan manusia yang dipelihara Hian-bengkauwcu
dalam istana Ban yu tian”
“Sayang….sayang…. lohu merasa sayang bagimu, sebelum duduknya persoalan diketahui dengan
jelas, ternyata kau sudah melakukan perbuatan seenaknya sendiri, padahal kau harus tahu,
dalam situasi yang amat berbahaya ini, yang paling kau utamakan adalah ketelitian….”
Diam-diam Hoa In-liong tertawa dingin, lalu ejeknya, “Waah….lagaknya saja seperti seorang
cianpwe yang sedang menasehati anak muda…. Hmm, sebutkan dulu siapa namamu!”
“Kita kan tidak akan melakukan hubungan? Buat apa musti melaporkan nama segala?”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya, lalu menjawab, “Sayang keadaan tidak mengijinkan kau
menuruti kehendak sendiri, bagaimanapun juga malam ini aku hendak menjajal kepandaianmu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
766
Bagaimana selanjutnya? Dan siapakah kakek berjubah hijau itu? Benarkah dia adalah salah satu
diantara kawanan manusia aneh yang dipelihara Hian-beng-kauwcu dalam istana Ban yu tian
nya?
Siapa pula Hian-beng-kauwcu yang mempunyai dendam lebih dalam dari samudra dengan
keluarga Hoa itu?
Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, silahkan mengikuti lanjutan dari cerita ini dalam
judul barunya, “NERAKA HITAM”
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar