Coa Wi-wi sama sekali tidak manfaatkan kesempatan itu untuk melanjutkan serangannya secepat
gasingan badannya berputar kemudian meneruskan kembali terjangannya ke arah gelanggang
dimana Hoa In-liong sedang terlibat dalam suatu pertarungan amat seru melawan Hoa Liong.
Sementara itu perintah dari Beng Wi-ciang untuk membentuk barisan telah dilaksanakan segera,
anggota Hian-beng-kauw serentak meloloskan senjatanya masing-masing, dibawah cahanya api
obor terasalah hawa pedang menyengat badan.
Menunggu perintahnya diturunkan, kilatan cahaya pelangi membumbung tinggi di angkasa,
selapis kabut pedang yang menggidikan hati tiba-tiba saja menggulung ke arah Coa Wi-wi.
Menghadapi ancaman yang tak terkirakan hebatnya itu, Coa Wi-wi merasa amat terperanjat, ia
hentikan gerakan tubuhnya dan melepaskan pukulan dahsyat ke depan.
Betapa dahsyatnya tenaga dalam yang dimilikinya, meskipun serangan itu tidak dilancarkan
dengan sepenuh tenaga, namun ke dahsyatannya tak seorangpun yang mampu menghadapinya.
Akan tetapi, barisan Kiu coan liong si kiam tin itupun segera unjukkan keampuhannya, begitu
badan si nona bergerak untuk meloloskan diri dari kurungan, beberapa pulung desingan angin
tajam segera menyergap kearah beberapa buah jalan darah penting di punggungnya.
Menghadapi ancaman tersebut, gadis itu harus melindungi keselamatan jiwanya lebih dulu, mau
tak mau terpaksa ia harus berhenti dan melayani ancaman musuh.
Kedua belah pihak sama-sama melakukan pertarungan dengan gerakan cepat, sekejap mata
kemudian tujuh delapan jurus sudah lewat.
Coa-Wi-wi selalu memperhatikan keadaan
oleh racun ular sakti, penggunaan tenaga yang berlebihan tidak menguntungkan bagi posisinya,
apalagi melangsungkan pertarungan dalam waktu lama.
Dalam gelisahnya, dia lantas membentak nyaring, “Eeeh….! Jika kalian menghalangi diriku lagi,
jangan salahkan kalau aku akan mulai melancarkan serangan-serangan mematikan, hayo cepat
mundur semua!”
Bukannya mundur kebelakarg, setelah mendengar teiiakan tadi, kawaran jago itu malahan
memperketat serangan mereka, lapisan kabut pedang berlapis-lapis, ibaratnya selembar baja
yang sangat kuat, muncul secara bersamaan waktunya dari tempat penjuru.
Coa Wi-wi semakin naik pitam, terutama setelah dilihatnya tak seorang manusiapun yang
menggubris peringatannya, apalagi teringat oleh Hoa In-liong yang terancam bahaya, gadis itu
segera menggigit bibir dan mengerahkan tenaganya semakin besar.
Secara beruntun dia keluarkan jurus serangan Hui yau siu cin (kunci beraneka liku meliku) serta
Jit gwat siang tui (matahari rembulan saling berdorongan), seketika itu juga terdengarlah dua ka
li dengusan tertahan berkumandang memecahkan kesunyian, dua orang laki-laki berbaju ungu
yang berada dihadapannya masing-masing terkena sebuah pukulan, sambil muntah darah segar,
tubuh mereka mencelat sejauh beberapa kali dari tempat mereka semula dan tewas seketika itu
juga. Kedua jurus serangan tersebut kesemuanya menggunakan jurus serangan yang tercantum
dalam ilmu Su siu hus heng ciang, bayangkan saja betapa dahsyatnya ancaman itu. Kendalipun
kawan laki-laki berbaju ungu itu bukan manusia sembarangan meskipun tenaga dalam mereka
rata-rata sangat lihay dan walaupun barisan Kiu coan liong-si kim tin tak terkirakan hebatnya,
tapi mana mereka sanggup menghadapi ancaman yang maha tangguh itu….
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
545
Dengan tewasnya dua orang laki-laki tersebut, untuk sesaat kekosongan dalam barisan belum
bisa terisi, suasanapun jadi kacau, ditambah lagi, sisa jago lainnya dibuat tertegun lantaran kaget
dan ngeri, maka keampuhan barisan itu terhenti untuk sejenak.
Coa Wi-wi sendiri juga kaget dan ngeri, karena baru pertama kali ini dia membunuh orang, hanya
saja karena semua perhatiannya terjatuh pada Hoa In-liong seorang, maka sesudah termangu
sesaat, cepat ia lanjutkan kembali gerakannya untuk menyusup lebih ke depan.
Sementara pertarungan berlangsung, kawanan jago dari Seng-sut-pay hanya mengurung Hoa Inliong
dan Hong Liong di tengah gelanggang, mereka hanya mengikuti jalannya pertarungan
dengan mata melotot, tak seorangpun diantara mereka yang turut campur dalam pertempuran
tersebut.
Walau agak terperanjat ketika Coa Wi-wi menerjang masuk ke dalam arena, ternyata hanya tiga
orang yang majukan diri untuk menyongsong kedatangan lawan.
Ketiga orang itu masing masing mempunyai kemampuan yang berbeda, orang yang di tengah
menggunakan ilmu totokan sian ki ci lek, yang di sebelah kanan mainkan ilmu Thian mo ciang,
sebaliknya orang yang disebelah kiri mainkan ilmu Hoa kut sin kun (pukulan sakti peremuk
tulang).
Walaupun berbeda dalam kepandaian, akan tetapi gabungan dari ketiga orang itu justru meliputi
ilmu pukulan, ilmu telapak tangan serta ilmu totokan jari.
Mengalirlah pelbagai jurus serangan yang dilancarkan bagaikan amukan angin puyuh, perubahan
demi perubahan mengalir keluar tiada hentinya.
Mereka bertiga mengira asal serangan gabungan dilarcarkan secara bersamaan, niscaya musuh
dapat ditaklukan, atau sedikitnya walaupun Coa Wi-wi berilmu tinggi untuk menahannya selama
tujuh delapan puluh jurus tentunya bukan menjadi persoalan.
Siapa tahu, setelah menghadapi rintangan demi rintangan, hawa napsu membunuh telah
menyelimuti seluruh wajah Coa W wi, ketika menyaksikan dirinya diserang kembali, dengan amat
gusarnya ia membentak, “Keparat, rupanya kalian sudah bosan hidup!”
Dengan penuh tenaga ia lancarkan serangan dengan jurus Pian-tong put ki segera disusul
dengan jurus Hui-yan-siu ciu.
Orang yang berada di tengah itu baru saja akan menyodokkan jari tangannya ke muka, ketika
secara tiba-tiba pandangan matanya jadi kabur, tahu-tahu sebuah telapak tangan yang putih
mulus sudah menghantam badan….
Ia menjerit lengking kesakitan, isi perutnya hancur lumur seketika itu juga, begitu mencelat ke
udara, tewaslah orang itu dalam keadaan mengerikan, darah kental berwarna hitam meleleh dari
ke tujuh lubang indranya.
Orang yang sebelah kiri berusaha untuk meloloskan diri dari ancaman maut, tapi Coa Wi-wi yang
sudah mata gelap mengejarnya lebih kedepan, sebuah sodokan kilat tetap menghajar jalan darah
Tiong-bu-hiat nya, tak ampun orang itu roboh terjengkang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
546
Masih berutung Coa Wi-wi jadi tak tega setelah menyaksikan kematian orang pertama dalam
keadaan mengerikan, coba serangan totokan itu dirubah menjadi serangan telapak tangan
niscaya jiwanya ikut kabur ke alam baka.
Berhasil dengan serangan-serangannya, gadis itu semakin tidak ragu-ragu lagi dengan
kemampuannya, dengan suatu gerakan cepat badannya bergerak ke depan dan langsung
menghantam punggung Hong Liong
Merasa punggungnya diserang orang, Hong Liong terperanjat, cepat-cepat ia berkelit ke samping
kiri.
Gerakan yang dilakukan Coa Wi-wi ini dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat,
menanti para anggota Mo-kauw membentak marah dan siap menghalanginya, semua kejadian
telah berlangsung.
Sesaat kemudian pertarungan terhenti untuk sejenak, tampaklah Hoa In-liong berdiri dengan
napas tersengkal-sengkal, sekujur badannya gemetar keras dan basah oleh keringat, untuk
berdiripun terpaksa ia harus menggunakan pedangnya sebagai tonggak penyanggah.
Buru-buru Coa Wi-wi menghampiri dan membimbingnya, dengan penuh kecemasan ia berseru,
“Jiko, kau…. kau….baik baik bukan?”
“Aku…. aku masih bisa….” Kata-kata dari Hoa In-liong ini kedengaran agak gemetar, meski
senyuman menghiasi bibirnya namun peluh dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.
Coa Wi-wi makin gelisah, air mata jatuh berlinang membasahi seluruh pipinya.
“Jiko, kau….”
“Adik Wi, aku hendak menyalurkan tenaga dalamku untuk mendesak racun….” tukas pemuda itu
kembali.
Tiba-tiba ia membungkam, sementara hawa sakti Bu kek teng heng-toa hoat segera disalurkan
untuk menguasahi bekerjanya sari racun dalam tubuhnya.
Berada dalam keadaan demikian, ternyata anak muda itu memutuskan untuk mengerahkan
tenaga dalamnya guna mendesak sari racun dari tubuhnya, dari sini dapat diketahui betapa
seriusnya keadaan pada waktu itu, meski Coa Wi-wi lihay dalam ilmu silat, ia dibikin gelagapan
juga menghadapi keadaan tersebut.
Sebagaimana diketahui, dalam pertarungannya barusan, Hoa In-liong telah bertarung dengan
mengandalkan keampuhan ilmu pedang Hoa si ciong kiam cap lak sin ciau.
Memang dalam soal pertahanan dan ketahuan ilmu pedang itu boleh diandalkan, sayangnya
justru kejadian tersebut sangat besar menyerap kekuatan seseorang.
Dalam keadaan demikian, otomatis sari racun ular sakti yang berasil didesak Hoa In-liong ke
dalam jalan darah Gi lam dan Gi-pinya jadi kambuh kembali dan menyerang isi perutnya.
Jikalau racun yang sudah terlanjur menyebar kembali ke dalam isi perutnya itu dibiarkan saja
menghadapi tekanan dari luar maupun dalam, seseorang pasti tak akan tahan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
547
Untunglah Hoa In-liong memiliki semangat bertempur yang tinggi, sekalipun harus mengalami
penderitaan yang luar biasa, ia masih sanggup bertahan sampai saat terakhir.
Yaa, pada hakekatnya pertarungan yang singkat itu, bagi dari Hoa In-liong ibaratnya suatu
pertarungan jarak panjang yang berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa berheti.
Dengan manik matanya yang indah Coa Wi-wi melirik sekejap sekeliling tempat itu, ia lihat
seluruh jago Hian-beng-kauw telah mengepung mereka rapat-rapat, barisan Kiu coan liong si
kiam tin yang maha tangguhpun sudah dipersiapkan sebanyak tiga lapis.
Beng Wi-cian dengan sebilah pedang mustika yang terhunus di tangan bukan saja langsung
terjun sendiri ke gelanggang untuk memimpin gerakan barisan tersebut, malah keempat orang
Ciu Hoa pun ikut menggabungkan diri dalam barisan itu.
Pada lapisan yang terdepan berjejerlah kawanan jago dari Seng sut pay, mereka membentuk
lapisan kepungan yang sangat tangguh, rupanya pihak lawan telah berkeputusan untuk menahan
mereka berdua walau dengan cara apapun jua.
Dalam sekejap mata situasi dalam arena mengalami perubahan yang dratis.
Mengetahui posisinya lebih unggul, Beng-Wi-cian tertawa terbahak bahak, katanya, “Nona Coa,
lohu anjurkan kepadamu untuk lebih baik menyerah saja, percayalah, perkumpulan kami nanti
akan melayani dirimu sebagai seorang tamu agung!”
“Huuuhh….jangan bermimpi disiang hari bolong!” teriak Coa Wi-wi sambil berusaha untuk
mengendalikan perasaannya yang kalut.
Bene wi cian tertawa mengejek.
“Heeehhh…. heeehhh…. heeehh….tentu saja aku tahu bahwa nona Coa tak akan takut
menghadapi keadaan saat ini, tapi…. apakah engkau tidak memikirkan buat keselamatan Hoa
kongcu?”
Ucapan tersebut dengan tepatnya mengena dihati Coa Wi-wi justru persoalan inilah yang dia
kuatirkan.
Cepat ia berpaling sekejap, dilihatnya Hoa In-liong masih berdiri tegak sambil mengerahkan
tenaga dalamnya untuk mengusir racun dari dalam tubuhnya, melihat itu dia lantas berpikir, “Apa
dayaku sekarang? Entah sampai kapan semedi jiko baru selesai? Untuk melindungi
keselamatanku sendiri jelas tak ada persoalan, tapi untuk melindungi pula diri jiko….
Saking kalut dan murungnya gadis itu, sehingga untuk sesaat lamanya lupa untuk menjawab
pertanyaan lawan.
Sementara itu, Hong Liong yang berada diluar gelanggang telah berseru sambil menyeringai
seram, “Beng heng, buat apa kau musti banyak cing-cong lagi dengan budak tersebut? Mau atau
tidak, suruh saja dia tentukan dalam sepatah kata!”
Beng Wi-cian tertawa seram.
“Sudah kau dengar nona manis?” serunya kemudian.
“Kalau sudah mendengar lantas kenapa?” Coa Wi-wi mengejek dengan wajah sinis.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
548
“Mau atau tidak mau, harap nona putuskan dengan sepatah kata!”
“Kalau aku mau lantas kenapa, kalau mau lalu bagaimana?” kata gadis itu lagi.
Dia memarg bertujuan mengulur waktu sebisa mungkin, maka di usahannya untuk berbicara apa
saja yang mungkin dapat dibicarakan.
Beng Wi-cian bukan manusia sembarangan, sudah tentu taktik semacam itu tak dapat
mengelabuhi dirinya.
Terdengarlah ia tertawa tergelak, kemudian berkata, “Haaahh…. haashh…. haaahh…. jika nona
bermaksud untuk mengulur waktu, maka jangan salahkan kalau lohu tidak akan berlaku
sungkan-sungkan lagi kepadamu!”
Coa Wi-wi jadi murung, kesal dan panik, ia benar-benar kehabisan akal, gadis itu tak tahu apa
yang harus dilakukannya untuk mengatasi keadaan tersebut.
Ditengah suasana yang amat kritis itulah, mendadak dari tempat kejauhan berkumandang suara
nyanyian yang nyaring dan lantang:
“Tanggul pohon liu, selokan pohon bambu.
Bayangan surya menyinari rerumputan nan kuning.
Dengan langkah perlahan kudekati dermaga nelayan.
Kulihat burung bangau dan burung manyar saling bercanda.
Bapak petani paman nelayan, banting tulang untuk menyambung hidup.
Mereka tak sadar hidup dalam lukisan.
Memandang semua pemandangan yang tertera didepan mata.
Walau tak ada arakpun orang akan mabok di buatnya….”
Suara nyanyian itu nyaring, lantang, penuh tenaga dan memekikkan telinga, siapapun yang
mendengar, siapapun tahu bahwa nyanyian tersebut berasal dari seorang tokoh silat yang
berilmu tinggi.
Berbareng dengan selesainya nyanyian tersebut, tiba-tiba terdengar, seseorang berseru dengan
suara nya yang lantang, “Cu loji besar amat seleramu untuk berannyi! Hmm bila Liong-ji sampai
menemui seauatu yang tak besar, akau kulihat sebesar wajahmu yang tua itu akan kau taruh
dimana?”
Kemudian terdengarlah Cu loji tertawa terbahak-bahak.
“Haaahh…. haaahhh…. haaahhh…. ayoh keluar, ayoh! Aku tahu kalau engkau sedang
menguatirkan keselamatan cucu luar, alasannya saja untuk melindurgi mukaku, hahhh….
haaahhh….
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
549
Dengan menggemanya suara pembicaraan dari kedua orang itu, sekalipun orangnya belum
muncul kebanyakan orang hadir dalam gelanggang telah mengetahui bahwa mereka adalah Pek
Siau thian, Sin-ki pangcu yang lalu serta si dewa yang suka kelayaban Cu Thong.
Perlahan-lahan dari balik hutan munculan, dua orang manusia.
Seorang diantaranya bertubuh tegap bagaikan batu karang, beralis mata putih dan berjenggot
putih, ia mengenakan jubah berwarna ungu, siapa lagi kalau bukan Pek Siau thian….
Disampingnya mengikuti seorang kakek cebol berbadan gemuk, kepalanya botak dengan pipi
yang montok, mukanya merah berminyak seperti muka bayi, ditanganya membawa sebuah kipas
model kecubong, kecuali si dewa yang suka kelayapan Cu Thong memang tiada orang kedua
yang berbentuk seperti ini.
Tiba-tiba terdengar Hoa In-liong berteriak penuh kegembiraan, “Gwakong! Cu yaya! Kalian sudah
datang semua?”
Mula-mula Coa Wi-wi agak tertegun, tiba-tiba ia putar badan dan jatuhkan diri kedalam pelukan
Hoa In-liong.
“Jiko, baik-baiklah kau?” saking terharunya air mata tanpa terasa jatuh berlinang.
Walaupun ia memiliki ilmu silat yang amat tangguh, tapi sebagai gadis ia tetap memiliki perasaan
sebagai seorang dara, apalagi setelah dicekam rasa kuatir selama ini serta-merta rasa kangen
dan manjanya segera dilampiaskan kepada pemuda pujaannya begitu keadaan jadi aman
kembali.
“Adik Wi, aku telah membuat kau risau!” bisik Iloa-ln-Iiong dengan penuh rasa sayang.
Sesudah berhenti sebentar, ujarnya kembali, “Racun ular sakti berhasil kusudutkan untuk
sementara waktu, tapi jika dipakai untuk bertarung lagi, racun itu akan segera kambuh
kembali….”
Mendengar pengakuan itu, air muka Coa Wi-wi kontan berubah jadi pucat pias kembali.
“Lalu apa yang musti kita lakukan?” tanyanya cemas.
Hoa In-liong tertawa.
“Yaaa, biarlah kesemuanya berkembang menurut keadaan!”
Sebetulnya Beng Wi-cian bermaksud untuk manfaatkan kesempatan sebelum Pek Siau thian dan
Cu Thong munculkan diri untuk menaklukan Hoa In-liong, dalam perkiraannya semula, dengan
pengepungan yang berlapis-lapis, kendatipun Pek Siau thian dan Cu Tong memiliki tenaga dalam
yang maha dahsyat pun tak mungkin mereka sanggup menerobosi kepungan tersebut dalam
waktu singkat.
Padahal saat itu Hoi In liong sudah lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
perlawanan lagi, dalam keadaan demikian tidaklah sulit baginya untuk membekuk si anak muda
itu.
Siapa tahu dalam waktu yang amat singkat, Hoa In-liong telah berhasil mendesak racunnya,
kehilangan kesempatan yang sangat baik itu, ia merasa benar-benar amat menyesal.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
550
000000O000000
29
BOCAH keparat ini licik sekali” demikian Beng Wi-cian berpikir, “andaikata ia benar-benar tak
mampu untuk melakukan pertarungan lagi, masa rahasianya diutarakan dengan begitu saja? Aku
musti bersikap hati-hati daripada dipecundangi oleh seorang bocah muda!”
Sementara ia masih termenung, tiba-tiba Hong-Liong membentak dengan suara nyaring, “Pek
loji!”
“Mau apa kau panggil panggil nama loya mu?” sela Cu Thong sambil menyengir.
“Kunyuk, siapa yang ajak kau orang she Cu berbicara?” teriak Hong Liong marah marah, setajam
sembilu sorot matanya.
Dalam penggalian harta karun dibukit Kiu ci san, meski Cu Thong datang agak terlambat
sehingga tak sempat berjumpa muka dengan Hong liong, akan tetapi semua sanak keluarga
maupun sahabat baik keluarga Hoa telah mereka selidiki satu per satu dengan jelasnya, dengan
tampang serta bentuk badan Cu Thong yang istimewa, sudah tentu ia dapat mengenalinya
dengan segar.
Pek Siau thian sama sekali tidak menggubris panggilan itu, dengan suara nyaring dia malah
berkata, “Liong-ji, gwakong toh pernah berkata kepadamu, ilmu silat yang kau miliki sekarang
masih belum cukup bagimu untuk malang melintang dalam dunia persilatan, sekarang telah
merasakan sedikit pelajaran, tentunya kau sudah percaya bukan?”
Walaupun ucapan tersebut diutarkan dengan tegas dan tajam, akan tetapi nada manja
sayangnya masih amat kentara.
Hoa In-liong tertawa.
“Apa yang gwakong ucapkan, selamanya didalam hati, kapan aku tidak percaya kata-kata
gwakong?”
Setelah berhenti sebentar, ia berkata lagi, “Cuma orang kuno pernah bilang: Siapa yang telah
merasakan pahit getirnya kehidupan, dialah seorang manusia yang berpengalaman, Liong-ji rasa
penderitaan yang aku alami selama ini merupakan suatu penderitaan yang amat berharga”
Berbicara pulang pergi, ia tetap memegang prinsip bahwasanya perbuatannya selama ini tak
salah, sikap serta pandangannya sama sekali tidak mengalami perubahan.
Pek Siau thian mendengus marah, pikirnya, “Kurangajar, teringat kemampuan aku orang she Pek
tempo dulu, perkumpulan Sin ki pang yang begitu besarpun dapat kuatur dengan baik dan penuh
kedisiplinan, heeehh…. hehehh…. sungguh tak nyana menjelang tuaku sudah muncul seorang
cucu luar yang tak bisa di didik, benar-benar kejadian yang ada diluar dugaan!”
Sebenarnya dia ingin menegur anak muda itu dengan beberapa patah kata, tapi hatinya merasa
tak tega, akhirnya kepada Coa Wi-wi dia berkata dengan lembut, “Nona Coa, berkat bantuanmu,
cucuku itu tak sampai berbuat malu disini, untuk budi kebaikan mu itu terlebih dulu lohu ucapkan
banyak banyak terima kasih”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
551
Mendengar perkataan itu, diam-diam Hoa In-liong merasa geli, pikirnya di hati, “Tampaktampaknya
gwakong memang sengaja ada maksud menyusahkan diriku….”
Didorongnya Coa-Wi-wi, kemudian bisiknya lirih, “Gwakong lagi ajak kau berbicara itu lho….masa
diam saja?”
Cu Thong ikut terbahak-bahak.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh….Mempunyai tulang dewa, mempunyai wajah menawan, di
tambah lagi memiliki tenaga dalam yang cukup sempurna, benar-benar jarang ditemui dikolong
langit dan tiada keduanya di atas bumi”
“Gwakong! Cu Yaya! Panggil saja aku Wi-ji!” tiba-tiba Coa Wi-wi berteriak, “kita semua ‘kan
berasal dari satu keluarga, kenapa musti sungkan-sungkan?”
Mendadak ia merasa amat jengah sehingga kepalanya ditundukkan rendah-rendah.
Dalam gugupnya dia mengikuti sebutan yang di pakai Hoa In-liong, tapi setelah itu ia baru
terbayang kembali ada sesuatu yang tak beres, kontan saja pipinya berubah jadi merah lantaran
malu.
Sejak bersembunyi didalam hutan, baik Pek Siau-thian maupun Cu-Thong sama-sama telah
mengawasi gerak gerik Coa Wi-wi yang begitu mesra terhadap Hoa In-liong, maka ketika
dilihatnya gadis itu tundukan kepala dengan wajah semu merah hingga menambah
kecantikannya, tak kuasa lagi mereka berpikir kembali, “Perempuan ini memperlihatkan rasa
cintanya tanpa tedeng aling-aling, berada dihadapan banyak orangpun sikapnya begitu mesra, ini
membutikan bahwa rasa cintanya terhadap Liong-ji tak bisa diragukan kembali…. berbicara
tentang kecantikan, ia tak kalah dari Kun-gie heeehhh…. heeeeh…. heeehhh…. memangnya
semua gadis cantik didunia ini hanya dimiliki oleh keluarga Hoa semua?”
Jilid 28
SEMENTARA berpikir sampai kesitu, terdengar Cu thong berkata sambil tertawa, “Liong ji, kau
benar-benar punya rejeki bagus! Ada seorang gadis secantik itu yang memanggil Pek loji sebagai
gwakong, aku yakin saking girangnya Pek loji sampai tak tahu apa yang musti di lakukan”
Kata-kata tersebut dilakukan secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling, tentu saja hal ini
membuat Coa Wi-wi jadi amat jengah hingga tak sanggup mengangkat kepalanya.
Beberapa orang itu bercakap-cakap sendiri tanpa mengindahkan kalau disana hadir pula orangorang
Hian-beng-kauw dan Mo-kauw, hal ini tentu saja membuat Hong Liong dan Beng Wi-cian
jadi tak enak hati.
Beng Wi-cian tertawa kering.
“Yang barusan datang apakah Sin ki pangcu serta Siau yau sian Cu tayhiap….
“Heeehhh…. heeehhh…. heeehhh….sebutan yang paling cocok untuk saat ini adalah Pek tayhiap
ejek Hong Liong sambil tertawa dingin tiada hentinya.
Jelas ucapan tersebut berada ejekan, dimana Pek Siau thian telah berpihak golongan kaum
pendekar.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
552
“Hmm….tenyata memang memperoleh banyak kemajuan!” Pek Siau-thian balas mengejek
dengan mata melotot.
Sikap gagah semacam itu tentu saja tak mungkin bisa ditiru Hong Liong, hanya sepatah kata
yang sederhana saja kesombongan Hong tertekan, malah ia tak mampu menambahi sepatah
katapun ucapan sindiran.
Hoa In-liong yang paling gembira menghadapi keadaan seperti itu, pikirnya.
“Gwakong memang tak malu menjadi seorang totoh dunia persilatan, cukup dengan sikapnya
yang gagah dan penuh kewibawaan itu rasanya masih jauh aku ketinggalan dari padanya….”
Perlu diterangkan, dalam tubuh anak muda itu mengalirkan darah Pek Siau thian, sebab itu
diapun memiliki semangat seperti yang di miliki gwakongnya, coba berganti dengan toako-nya
Hoa Si, dia pasti akan menghadapi orang dengan cara yang lembut.
Orang bilang anak menuruni watak orang tuanya, meskipun ia bukan keturunan langsung dari
Pek Siau thian, tapi oleh karena Pek Siau-thian teramat memanjakan dirinya, karena itulah watak
Hoa In-liong lebih banyak menuruni gwakongnya itu.
Dalam pada itu Pek Siau thian telah melirik sekejap ke arah Beng Wi-cian kemudian ujarnya,
“Tempo dulu, lohu pernah mendengar bahwa diluar perbatasan terdapat seorang Thian ki siusu
yang mengaadalkan Sin eng pit ciang nya menjagoi dunia persilatan….”
“Haahh…. haaahh…. haaahh…. orang liar dari perbatasan, kurang sedap untuk di singgungsinggung”
Beng Wi-cian menyela sambil tertawa tergelak.
Setelah mengelus jenggotnya, ia berkata kembali, “Lohu harus menyebut diri Pek pangcu sebagai
pangcu, ataukah sebagai tayhiap?”
“Licik benar orang yang bernama Beng Wi-cian ini” pikir Pek Siau thian dalam hatinya, “ia jauh
lebih licik bila dibandingkan Hong Liong…. aku musti berhati-hati!”
Dengan nada dingin sahutnya, “Lohu she Pek bernama Siau thian terserah kau mau sebut apa
kepadaku….”
“Kalau begitu akan kusebut sebagai Pek pangcu saja” kata Beng Wi-cian kemudian sambil
tertawa.
Dalam ucapannya itu, secara lapat-lapat ia menyindir kedudukan Pek Siau thian yang telah
berubah saat itu.
Pek Siau thian mendengus dingin.
“Beng thamcu, sampai sekarang engkau masih mengurung cucuku dan nona Coa ini, apakah kau
masih ingin melangsungkan pertarungan lagi?”
Beng Wi-cian lantas bsrpikir, “Situasi yang terbentang didepan mata saat ini sangat tidak
menguntungkan bagi kami, bila ingin peroleh keuntungan dari keadaan seperti ini, tak ubahnya
seperti orang bodoh lagi mengigau!”
Tanpa berunding lagi dengan Hong Liong, dia lantas ulapkan tangannya sambil berseru,
“Segenap anak murid Hian-beng-kauw mundur dari posisi sekarang!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
553
Bagaikan gulungan air bah, kawanan laki-laki berbaju ungu itu menyingkir semua ke belakang.
“Para jago dari Mo-kauw yang mengepung dari luar, mau tak mau harus menyingkir juga untuk
memberi jalan kepada mereka.
Ciu Hoa lotoa menunjukkan sikap tak senang hati, bibirnya bergetar seperti hendak
mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu dibatalkan, mengikuti yang lain diapun mundur ke
belakang.
Hong Liong yang marah-marah menghadapi kejadian itu, dengan ilmu menyampaikan suara dia
berseru, “Wahai oraag she Beng, memangnya kau hendak bentrok sendiri dengan kami?”
“Aku rasa Hong heng jauh lebih memahami keadaan situasi yang terbentang didepan mata saat
ini” jawab Beng Wi-cian pula dengan ilmu menyampaikan suara, “mau bertempur atau tidak, siau
te menunggu perintah diri Hong heng”
Walapun amat gusar, Hong-liong bukannya seorang manusia yang tidak mempunyai akal, ia tahu
pada hakekatnya memang tiada harapan untuk menang bagi pihaknya, sekalipun ucapan Beng-
Wi enak di dengar, seandainya benar-benar terjadi pertarungan, masih untung kalau kakinya
tidak di gaet sendiri.
Karena itu sambil mendengus marah ia berseru lagi dengan ilmu menyampaikan suara
“Baiklah orang she Beng, akan kulihat bagaimana caramu untuk mempertanggung jawabkan
kejadian hari ini kepada kaucu kalian?”
Beng Wi-cian hanya tersenyum sambil mengelus jenggotnya, ia tidak berbicara apa-apa lagi.
Hong Liong benar-benar amat gusar, setengah berpekik teriaknya.
“Segenap anak murid auri perkumpulan kami, mundur semua kemari!”
Dalam waktu singkat, suasana dalam gelanggang kembali mengalami perubahan, agaknya
mereka bermaksud menyudahi pertarungan tersebut dengan begitu saja.
Coa Wi-wi yang menjumpai hal itu tak bisa mengekang hawa napsunya, ia berseru, “Gwa….Pek
yaya, jangan biarkan mereka berhasil kabur dari sini, walau hanya seorangpun, persoalan yang
menyangkut diri empek Yu belum diselesaikan!”
Kali ini dia merubah panggilannya atas diri Pek Siau thian menjadi “Pek yaya” tentu saja Pek Siau
thian tahu bahwa muka gadis itu tipis dan gampang merasa malu, perubahan itu sama sekali
tidak menjadikan hatinya kaget.
Justru Cu Thong lah yang sangat memperhatikan penyakit-penyakit kecil semacam itu, kontan
saja ia tertawa cengar-cengir.
“Waaah….waaah….Pek loji bakal merasa kehilangan lagi, tahukah kau anak Wi?”
“Budak ingusan she Coa” mendadak Hong Liong berteriak sambii menyeringai seram, benarkah
bacotmu itu? Suatu ketika pasti akan kusuruh kau merasa kelihayan loya mu!”
Sebaliknya Beng Wi-cian tersenyum.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
554
“Nona Coa telah salah paham, pada saat ini Yu Sin-gi (Yu tabib sakit) merupakan tamu terhormat
dari perkumpulan kami, diampuni bersedia mengamalkan kepandaian pertabibannya melalui
kekuasaan perkumpulan kami untuk menyelamatkan sesama umat manusia”
Mula-mula Coa Wi-wi menyibirkan bibirnya, lalu dengan manja ia berseru, “Cu yaya, memalukan
sekali kau sebagai seorang cianpwe, jika yang tuapun tidak menindahkan ketuaannya, lain kali
akupun tak akan memanggil dirimu sebagai yaya”
Kemudian dengan bibir yeng semakin dicibirkan ia berkata kepada Hong Liong dengan nada
menghina, “Setan tua she Hong, engkau mempunyai ilmu silat macam apa lagi yang dikatakan
lihay? Kenapa tidak kau gunakan sekarang juga? Cisss…. omong membual selangit, sungguh tak
tahu malu”
Akhirnya kepada Beng Wi-cian katanya pula setelah tertawa dingin tiada hentinya, “Manusia yang
manis dimulut busuk dihati adalah manusia paling jahat. Tamu agung apaan? Terang-terangan
dia sudah kalian culik dengan kekerasan…. Hmm! Menyelamatkan umat persilatan?”
“Kenapa tidak kau terangkan saja secara blak-blakan untuk mencelakai seluruh umat persilatan
didunia ini! Memangnya keluarga Hoa dari im-tiong-san tak dapat menandingi perkumpulan sesat
aliran kiri macam kalian itu?”
Meskipun selembar bibirnya yang kecil harus menghadapi tiga arah yang berbeda, paras
mukanya ikut berubah tiga kali, tapi sikapnya yang lincah, polos dan menarik sama sekali tidak
menjadi hilang. Jangankan Cu Thong yang malahan tertawa terbahak-bahak, sampai Hong Liong
serta Beng Wi-cian juga tidak merasa kalau dirinya sedang dimaki.
Hoa In-liong yang berada disampingnya segera menowel ujung bajunya sambil berbisik, “Jangan
kau sela dalam pembicaraan yang sedang berlangsung, biarlah gwakong ku yang menyelesaikan
persoalan ini”
Coa Wi-wi berpaling dan menjawab, “Justru aku kuatir kalau gwakong tak tahu duduknya
persoalan hingga kena mereka tipu”
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong tertawa geli.
“Memangnya gwakong ku itu manusia macam apa? Gampang saja dipecundangi manusiamanusia
macam begitu? Kau tak usah kuatir!”
Setelah dikatai begitu, Coa Wi-wi baru tidak berbicara lagi.
Keadaan mesra yang diperlihatkan dua orang muda-mudi ini segera menimbulkan pelbagai reaksi
bagi yang memandangnya, ada yang memuji mereka sebagai pasangan yang paling ideal ada
yang merasa bahwa kecuali Hoa In-liong memang tiada orang lain yang pantas mendampingi
gadis secantik Coa Wi-wi, ada pula yang merasa dengki iri….
Terutama Ciu Hoa losam, rasa dengki yang membakar hatinya benar-bsnar sukar dikembalikan,
dengan langkah lebar ia menghampiri Beng Wi-cian kemudian sesudah memberi hormat katanya,
“Siautit minta diperintahkan untuk membunuh Hoa In-liong, bajingan di muka itu!”
“Harap sam kongcu mundur dulu!” tukas Beng Wi-cian sambil mengulapkan tangannya.
“Beng thamcu….” Ciu Hoa losam masih penasaran.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
555
Tiba-tiba paras muka Beng Wi-cian berubah jadi keren, ujarnya kembali dengan tegas, “Jika sam
kongcu sendiripun berusaha melanggar pertarungan, bagaimana pula dengan anak murid
perkumpulan lainnya?”
Ciu Hoa lotoa yang selama ini sudah penasaran tiba-tiba berteriak dengan lantang, “Losam, Beng
thamcu sudah punya rencana pembunuhan yang hebat, kau begitu tak tahu diri, memangnya
ingin mampus?”
Dengan ketakutan buru-buru Ciu Hoa losam mengundurkan diri ke belakang.
Beng Wi-cian mengerutkan dahinya, kemudian berkata, “Perkataan toa kongcu berlebihan, lohu
tak berani menerimanya!”
Ciu Hoa lotoa hanya tertawa dingin tiada hentinya tanpa berkata-kata lagi.
Sedangkan Beng-Wi cian menyumpah didalam hati, “Hmmm…. memang dianggapnya setelah
menjadi murid kaucu, lantas boleh malang melintang semaunya sendiri? Bila kalian dibandingkan
dengan bocah she Hoa itu…. huuuh, masih jauh ketinggalan, maju kemukapun paling-paliag
hanya menghantar kematiannya sendiri”
Sejak Beng Wi-cian memerintahkan mundurnya anggota Hian-beng-kauw sampai Ciu Hoa losam
mengundurkan diri dari gelanggang, waktu hanya berlangsung dalam beberapa saat saja.
Ketika itu Pek Siau thian sudah tidak sabaran lagi terdengar ia membentak keras, “Mau
bertempur atau damai, sudah kalian putuskan belum?”
“Pek pangcu dan Cu tayhiap tentu sudah agak lama bukan datang kemari” kata Beng Wi-cian,
“tentunya kalian juga mengetahui sendiri kalau perkumpulan kami hanya bermaksud
mengundang Hoa kongcu serta nona Coa menjadi tamu-tamu agung kami, kalau toh kalian tak
mau menerima undangan ini, tentu saja lohu juga tidak akan memaksa lebih jauh”
Habis berkata kembali ia tertawa terbahak-bahak.
Menjumpai keadaan seperti ini, Hoa In-liong lantas berpikir dalam hatinya, “Kulit muka orang she
Beng ini benar benar sangat tebal, kejadian yang barusan berlangsung bukannya tidak diketahui
semua orang, tapi ia bisa membolak balikkan duduknya persoalan tanpa berubah muka, ini baru
namanya si muka badak!”
Sudah sering ia berkumpul dengan gwakongnya, diapun cukup mengetahui keadaan, pemuda itu
tahu Pek Siau thian berbuat demikian tentu mengandung maksud-maksud tertentu, maka itupun
tidak ikut menimbrung.
Tentu saja Coa Wi-wi tak dapat menahan diri, ia kontan saja menyindir dengan suara sinis.
“Memutar balikkan duduknya persoalan, kulit mukanya betul-betul lebih tebal daripada tembok
kota!”
Cu Thong ikut tertawa,
“Haaahh…. haaahh…. haaahh…. betul, entah siapa yang telah melepaskan gas busuknya,
sampai-sampai nasi yang telah kumakan kemarin malam rasanya ikut ingin tumpah”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
556
Hong liong membungkam dalam seribu bahasa, sebaliknya Beng Wi-cian pura-pura tidak
mendengar, semuanya sedang menunggu bagaimanakah jawaban dari Pek Siau thian.
“Jikalau toh demikian, lohu sekalian hendak mohon diri lebih dulu” ujar Pek Siau thian kemudian.
Yaa, tabiat dari jago tua ini benar-benar sudah mengalami perubahan besar, coba kalau menuruti
adatnya dimasa lalu, sepatah dua patah kata sindiran tentu akan dilontarkan keluar.
Kepada Hoa In-liong dia lantas berseru, “Liong-ji, hayo kita pergi!”
Hoa In-liong berpikir sebentar, kemudian sambil menggandeng tangan Coa Wi-wi, dengan wajah
yang sama sekali tidak berubah, pelan pelan ia berjalan menuju kearah mana Pek Siau thian dan
Cu Thong berada.
Terbayang kembali kejadian yang baru dialaminya belum lama berselang.
Coa Wi-wi merasa terlalu keenakan jika membiarkan orang-orang itu berlalu dengan begitu saja,
ketika lewat dihadapan Beng Wi-cian serta Hong Liong, ia melotot sekejap kearah mereka
dengan gemasnya.
Semua jago dari Hian-beng-kauw maupun Mo-kauw hanya mengawasi gerak gerik mereka
dengan mulut membungkam, tak seorangpun yang menunjukkan reaksi apa-apa.
Menanti keempat orang itu sudah bergabung menjadi satu, Hong Liong baru berkata dengan
wajah menyeramkan, “Pek loji, marilah kira membaca buku sambil menunggang keledai, lihat
saja nanti, pokoknya hutang baru hutang lama, suatu hari pasti akan kita selesaikan sampai
beres”
“Lohu akan menunggunya setiap Waktu!” jawab Pek Siau thian tegas.
Setelah mengulapkan tangannya, ia berjalan lebih dulu keluar dari lembah tersebut, sementara
tiga orang yang lain menyusul dari belakangnya.
Diam-diam Hoa n iong merasa terkejut bahkan si dewa yang suka kelayaban Cu Thong yang
selamanya, suka tertawa haha hihi pun saat ini menyimpan kembali semuanya, dari sini dapat
diketahui betapa seriusnya keadaan pada waktu itu.
Selang sesaat kemudian mereka sudah keluar dari lembah, Coa Wi-wi baru bertanya, “Pek yaya,
Cu yaya, kenapa kalian bisa datang tepat pada waktunya….?”
Pek Siau thian masih tetap berwajah serius, ia tidak menjawab pertanyaan itu.
Sebaliknya Cu Thong telah tunjukan kembali wajahnya yang penuh senyuman cengar
cengir,ahutnya sambil tertawa, “Siapa yang bilang kebetulan? Sejak semula aku serta Pek heng
telah bersembunyi didalam lembah itu, andaikata kalian tidak menyusup masuk secara gegabah,
sekarang kami masih meneruskan penyadapan terhadap apa yang mereka bicarakan, coba
bayangkan sendiri, apakah perbuatan kalian itu tidak pantas dihukum?”
“Pantas dihukum?” Coa Wiwi mencibirkan bibirnya, “Cu yaya lah yang pantas dihukum, masa
kami sudah terancam bahayapun kalian masih belum turun tangan juga”
Cu Thong tertawa.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
557
“Yaa, benar memang pantas dihukum, cuma yang harus dihukum bukan aku melainkan Pek loji,
Pek loji menginginkan Liong-ji menerima penderitaan yang lebih banyak lagi, maka dia hanya
bersembunyi terus tidak mau keluar”
“Tidak, aku tetap akan menghukum Cu yaya” seru Coa Wi-wi dengan nada ngotot.
Cu Thong segera gelengkan kepalanya pura-pura tidak habis mengerti.
“Aaaai…. agaknya jadi orang memang lebih baik bersikap serius dan bersungguh-sungguh, sebab
orang yang sering tertawa seringkali dianggap orang mudah dipermainkan”
Mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi tertawa cekikikan.
“Siapa suruh tampang Cu yaya mirip Mi lek hud? Rasain sekarang…. Hiiihh…. hiiihh…. hiiihh….”
Selama ini Hoa In-liong hanya tersenyum belaka, ia menyaksikan percekcokan itu tanpa
menimbrung barang sepatah katapun.
Pada hakekatnya keempat orang itu semuanya merupakan jago-jago yang berilmu tinggi,
sekalipun tidak mengerahkan tenaga dalamnya, tapi hanya sekejap mata mereka sudah
tinggalkan lembah itu sejauh puluhan li lebih, tiba-tiba Pek Siau thian menghentikan gerakan
tubuhnya.
“Kita berhenti saja di sini!” katanya.
Hoa In-liong melirik sekejap sekeliling tempat itu, ia saksikan dimana mereka berada saat ini
kembali merupakan sebuah lembah yang sunyi, sekeliling tempat itu merupakan batu-batu cadas
yang berserakan serta semak belukar yang liar tiada pohon besar dan tak bisa dipakai untuk
menyembunyikan diri, jelas Pek Siau thian hendak membicarakan tentang sesuatu urusan yang
penting, karenanya dia memilih tempat semacam itu sebagai tempat pembicaraan.
Pek Siau thian duduk terlebih dahulu di atas sebuah batu cadas, menyusul kemudian Cu Thong
dengan wajah penuh senyuman ikut pula duduk pula diatas sebuah batu, Hoa In-liong serta Coa
Wi-wi segera ikut mengambil tempat pula disekitar sana.
“Gwakong apakah engkau ada urusan yang hendak dibicarakan dengan kami….?” tanya Hoa Inliong
kemudian.
Pek Siau thian tidak langsung menjawab pertanyaannya itu, sebaliknya sambil berpaling ke arah
Coa Wi-wi ujarnya.
“Nona Coa….”
Tapi sebelum Coa Wi-wi sempat menyahut sambil tertawa ia telah merubah sebutannya, “Maaf
kalau lohu hendak menyebut dirimu sebagai anak Wi!”
“Memang seharusnya demikian!” Coa Wi-wi dengan manjanya.
“Anak Wi, meskipun aku tidak tahu siapakah gurumu, tapi aku yakin dia pastilah seorang
manusia luar biasa yang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi!”
“Cousu dari adik Wi bukan lain adalah Bu seng (rasul silat) Im locianpwe…. soal Hoa In-liong.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
558
“Biar aku saja yang berbicara” Coa Wi-wi segera menimbrung dari samping, “kongcu ku sudah
menjadi pendeta, beliau bergelar Goan-cing, sedang ayahku bernama Goan hau, ibu she Kwan
bernama Bun sian, masa Pek yaya tidak tahu, mungkin ibuku sudah berada di Im tiong san”
Pek Siau thian tersenyum.
“Beberapa hari belakangan ini Pek yaya benar-benar repot sekali, aku tidak berkesempatan
mengunjungi perkumpulan Liok Soat san ceng”
Setelah terhenti sebentar, ujarnya kembali, “Sebenarnya aku ingin bertanya kepadamu tentang
cara berpandangan orang tuamu terhadap badai iblis yang menyelimuti dunia persilatan dewasa
ini, akan tetapi tak pernah kamu mengetahuinya, ini membuktikan bahwa kalian tak ingin
mencampuri urusan dunia persilatan. Tapi sekarang tidak perlu kutanyakan lagi, bukan saja
sudah berlanjut usia, lagipula dapat kusaksikan kesaktian Rasul silat merajai kolong langit,
kejadian ini benar-benar merupakan suatu keberuntungan buat kami semua”
Betapa terharunya Coa Wi-wi ketika mendengar bahwa Pek Siau-thian begitu menaruh hormat
terhadap keluarganya, ia bertanya kembali, “Kenapa tak usah ditanyakan lagi?”
“Oleh sebab gwakongku mendengar bahwa ibumu telah berkunjung ke rumahku, itu berarti
bahwa kalian telah mengambil keputusan untuk melibatkan diri dalam persoalan ini” sela Hoa Inliong.
“Yaa, aku tahu kau cerdik, makanya aku tidak tahu lantas kau musti menimbrung dari samping?”
seru Coa Wi-wi manja.
Menyaksikan tingkah laku kedua orarg muda mudi itu, Pek Siau-thian dan Cu Thong saling
berpandangan sekejap lalu tersenyum.
“Selama hampir sebulan terakhir ini, aku sudah melakukan perjalanan hampir mencapai selaksa li
lebih….” ujar Pek Siau thian kembali.
“Mengapa gwakong sesibuk itu?” tanya Hoa In-liong tak tahu.
“Mengapa? Pek Siau-thian mengerutkan dahinya, hmmm! Mengapa lagi kalau bukan lantaran kau
binatang cilik, bukan saja aku musti bersusah payah, bahkan harus tebalkan muka untuk
menggunakan kembali Hong lui leng guna memberitahukan rekan-rekan lamaku disegenap
tempat agar mereka awasi gerak gerik Hian-beng-kauw secara diam-diam!”
Setelah menghela napas, ia berkata lebih jauh, “Meraba kembali lencana Hong lui leng yang
telah berdebu itu, aku benar-benar merasa sangat terharu, sungguh tak nyana menjelang usia
tuaku aku Pek Siau tbian harus melakukan suatu tindakan yang bertolak belakang dengan
ucapanku sendiri”
Tempo dulu, sewaktu perkumpulan Sin ki-pang masih jaya-jayanya, Hong lui leng merupakan
panji kekuasaan paling tinggi daiam perkumpulan tersebut, kecuali dipegang oleh Pek siau thian
dan Pek kun gie, daiam dunia ini tidak terdapat panji yang ketiga.
Sebagai seorang tokoh persilatan yang berambisi besar, ketika membubarkan perkumpulan Sin ki
pang nya tempo dulu, sebenarnya ia hendak punahkan ilmu silat dari beberapa orang anak
buahnya yang paling diandalkan, tapi kemudian setelah dibujuk oleh istrinya Kho-hong bwe, putri
sulungnya dan Pek Soh gie, menantunya Bong pay, mengingat pula bahwa orang-orang tersebut
sudah banyak tahun mengikuti dirinya dengan setia, maka niat itu kemudian diurungkan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
559
Sungguh tak nyana, justru disaat seperti inilah ternyata tenaga mereka kembali harus digunakan.
Sekalipun kawanan jago itu sudah melepaskan ikatannya dengan Sin ki pang, bukan berarti
mereka sudah melepaskan diri secara lahir batin, karena buktinya begitu perintah Hong lui leng
diterima, serentak mereka penuhi perintah tersebut serta melaksanakannya.
Yaa, kenyataan tersebut memang kedengarannya aneh, perkumpulan telah dibubarkan tapi
perintah masih diturunkan, jadinya peristiwa tersebut saling bertolak belakang.
Tidak aneh Pek Siau thian sebagai bekas ketuanya merasa amat bersedih hati, tapi apa boleh
buat lagi? Demi keselamatan Hoa In-liong mau tak mau ia harus melakukannya juga.
Sebagai pemuda yang cerdas, tentu saja Hoa In-liong memahami kesulitan yang sedang dihadapi
gwakongnya, tak terkirakan rasa haru yang menyelimuti hatinya, air mata tanpa terasa jatuh
bercucuran membasahi pipinya.
“Gwakong, mengapa kau musti melanggar sumpahmu sendiri hanya lantaran aku seorang?”
Pek Siau thian menyahut dengan tegas, “yang paling penting adalah membalaskan dendam bagi
kematian Suma siok ya mu dan menanggulangi bencana besar yang sedang mengancam dunia
persilatan dewasa ini, Liong ji! Kau tak usah banyak bicara lagi, pokoknya aku berbuat demikian
disertai dengan maksud yang dalam!”
Hoa In-liong hanya dapat mengiakan dengan air mata yang masih bercucuran.
Memandang kegelapan yang mencekam seluruh japad, kembali Pek Siau thian berkata,
“Pertama-tama gwakong menaruh curiga atas asal usul dari Hian-beng-kauw, aku pernah
mencurigai perkumpulan tersebut didalangi oleh Si Seng tek, keturunan dari Ngo liong hau,
sebab jarang sekali ada orang lihay yang bermukim di perbatasan”
“Tidak mungkin!” Cepat Coa Wi-wi membantah “hitung-hitung Im cousu kami masih terhitung
cucu menantu luar dari Ngo liong hou, padahal dia orang tua adalah seorang tokoh silat yang
saleh, tak mungkin keturunannya mendirikan perkumpulan sesat seperti itu”
Tiba-tiba Cu Thong tertawa.
“Wiji, apakah belakangan ini keluarga Coa kalian masih berhubungan dengan keluarga Si?”
Coa Wi-wi menggeleng.
“Sejak kongcu kami empat generasi yang lalu melarang anak keturunannya melakukan
perjalanan dalam dunia persilatan, kami telah putus hubungan….”
“Nah, itulah dia!” seru Cu Thong dengan cepat, “seorang suami saja sulit untuk mencegah
istrinya nyeleweng, apalagi membiarkan anak yang tidak berbakti melakukan kontak dengan
kaum iblis dari muka bumi? Siapa tahu pada generasi yang ada sekarang mereka sudah menjadi
seorang gembong iblis yang jahat?”
Ketika Pek Siau-thian melihat Coa Wi-wi sudah siap membantah perkataan itu, buru-buru ia
menyela, “Akan Wi, Pek yaya hanya menduga saja, toh tidak menuduh secara benar-benar!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
560
Kemudian sambil mengelus jenggotnya yang putih, ia berkata lebih lanjut, “Sekalipun demikian,
bukan berarti kami menuduh sewenang-wenang tanpa dasar yang kuat, misalnya saja dengan
Beng Wi-cian yang barusan temui, dia kan pengurus rumah tangganya keluarga Si!”
“Sungguh?” Coa Wi-wi menjerit kaget, Pek Siau-thian tersenyum.
“Masa Pek yaya membohongi dirimu?” balik tanyanya.
Merah jengah selembar pipi Coa Wi-wi saking malunya, untuk sesaat ia tak mampu berkata apaapa
sementara perasaannya benar benar menderita, benar-benar bersedih hati.
Menyaksikan kejadian itu, buru-buru Hoa In-liong ikut menimbrung, “Adik Wi buat apa musti
bersedih hati? Keluarga Si adalah keluarga Si, Yan len si keh adalah Yan len si keh, apalagi
tuduhan tersebut kan belum di sertai bukti yang nyata”
“Yaa benar” ujar Pek Siau thian pula, “setelah Pek yaya adakan penyelidikan lebih jauh, kembali
kutemukan sejumlah orang lagi”
Coa Wi-wi menaruh perhatian terhadap urusan ini ketimbang orang lain, dengan cemas dia
lantas bertanya, “Siapakah mereka?”
Pek Siau thian kembali tersenyum.
“Kalau aku sudah tahu siapakah mereka, urusan kau jauh lebih beres….!”
“Dimana Pek yaya bisa menemukan kalau musti ada orang lain?” desak Coa Wi-wi lagi
keheranan.
“Tak usah gelisah, aku toh musti akan mengatakannya kepadamu” kata Pek Siau thian tertawa.
Setelah mengumpulkan kembali bahan pikirannya, ia berkata lebih jauh, “Pada waktu itu, aku
menduga orang yaag jadi kaucu dari Hian-beng-kauw adalah Si Seng tek, aku mengira ambisinya
untuk merajai dunia persilatan tak terbendung, maka ia lantas melanggar perintah dan anjuran
nenek moyangnya untuk merajai dunia, cuma aku hanya menduganya saja tanpa berani
melantarkan tuduhan secara langsung, sebab orang ini tinggal jauh diluar psrbatasan aku kurang
begitu memaham tentang karakter orang ini….”
“Hey Pek loji” tukas Cu Thong, jika kau memang tidak memahami tentang orang ini apa gunanya
kau bicarakan begitu banyak kata-kata yang tak ada gunanya?”
“Jangan menukas dulu saudara Cu, tentang hal ini aku yakin masih mengetahui sedikit”
Ucapan tersebut memang kata-kata yang sejujurnya, perlu diketahui sewaktu tiga kekuatan
besar masih merajai dunia dahulu, dialah yang paling menonjol dan perkumpulannya juga yang
paling banyak menyerap tokoh-tokoh sakti dari dunia.
Kontan saja Cu Thong tertawa menyengir.
“Memuji diri sendiri, menyombongkan diri, huuuh, segan aku mendengarnya….”
Pek Siau-thian tidak menggubris ejekan rekannya, kembali ia berkata lebih jauh, “Baiklah, aku
kupersingkat keteranganku! Kemudian aku mencurigai kalau Hian-beng Kaucu itu mempunyai
dendam kesumat dengan Hoa Thian-gong, seandainya Si Seng ek yang memusuhi keluarga Hoa,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
561
tak mungkin dia namakan semua mu ridnya sebagai Ciu Hoa (mendendam keluarga Hoa) Maka
dalam suatu kesempatan yang tak sengaja, akhirnya kuketahui bahwa Si Seng tek telah ditawan
orang, malahan akupun berhasil mengetahui jika Hian-beng Kaucu itu kenal dengan Kun-ji
(maksudnya Pek Kun gie), ini dapat kulihat dari pembicaraan pembicaraannya….”
Keterangan tersebut diberikan demikian ringkas dan singkatnya, sehingga tentang darimanakah
berita seperti ditangkapnya Si Seng tek serta darimana ia tahu kalau Hian-beng Kaucu kenal
dengan Pek Kun-gie tak pernah diutarkannya.
“Gwakong, terangkan lebih jelas lagi!” pinta Hoa In-liong dengan nada gelisah.
“Tidak ada yang harus dibicarakan lagi.“ Pek Siau thian gelengkan kepalanya beberapa kali.
Lalu sambil berpaling kearah Cu Thong, tambahnya, “Sekarang giliranmu untuk bicara!”
Betapa herannya Hoa In-liong menyaksikan tindak-tanduk gwakongnya, jelas kakeknya tidak
berniat melanjutkan kata-katanya itu, ini membuat anak muda itu harus berpikir dengan wajah
tercengang.
“Heran, kenapa gwakong musti mengelabuhi diriku? Urusan apakah yang sengaja ia selimurkan
itu? Kendatipun ibu kenal dengan Hian-beng Kaucu, toh urusannya lumrah dan bukan kejadian
besar…. Yaa. pastilah dibalik kesemuanya ini terdapat rahasia besar, tampaknya aku harus
menyelidiki sendiri….”
Dalam pada itu Cu Thong telah berkata dengan hambar, “Apa yang harus dibicarakan lagi?
Untung kau berhasil mendapatkan berita yang baik, ketimbang aku yang cuma gigit jari tidak
dapat apa-apa? Mau menyesalpun tak sempat!”
Pek Siau thian tertawa.
“Jika kau segan bicara, biar aku yang bantu kau untuk mengatakannya….”
Kemudian sambil berpaling kearah dua orang itu, terusnya, “Cu yaya mu telah berangkat kebukit
Hong san untuk memenuhi Ciu pek ya kalian!”
“Tak usah membicarakan dirinya lagi!” tiba-tiba Cu Thong berteriak marah.
“Cu yaya!” Hoa In-liong segera bertanya dengan keheranan, “mengapa kau merasa begitu tak
puas terhadap Ciu pek ya?”
Cu Thong termenung sebentar, lalu menjawab.
“Gwakong-mu toh sudah mengungkapnya, baiklah, akupun tak akan mengelabuhi darimu lagi”
Tiba-tiba dengan wajah merah ia meneruskan, “Ciu pek ya-mu itu sekarang…. heeehh….
heeeh…. heeehh…. sekarang sudah bertambah saleh!” Meskipun Hoa In-liong mengerti bahwa
Cu Thong sedang mengatakan kebaikannya, tapi ia tertawa juga, walau senyuman paksa.
“Kalau memang begitu kan baik sekali!” katanya
“Hmm….! Memang baik sekali” Cu Thong marah-marah dengan mata mendelik, “mula-mula
kukira jelek-jelek Ciu Thian hau terhitung sahabat karibnya dari siok-ya mu, yang lain tak usah
dibicarakan, cukup memandang dari hubungan mereka selama puluhan tahun belakang ini yang
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
562
seringkali minum arak dan main catur bersama, sedikit banyak mereka kan masih mempunyai
hubungan batin? Hehh…. heehhh…. heeeh….engkau tahu tahu, apa katanya setelah mendengar
berita kematian dari suma siok yamu? Dia bilang begini: Hidup seratus tahun lagi manusia toh
tetap bakal mati, apa artinya mati sekarang mati besok? Begitu selesai berkata, akupun dipaksa
pergi…. coba lihat masa begitukah cara Ciu Thian hau terhadap sahabat karibnya?”
“Tapi…. tapi…. Ciu pekya bukan manusia macam itu!” seru Hoa In-liong dengan hati berkerut.
Cu Thong mendengus.
“Kalau Ciu Thiap hau bukan manusia semacam itu memangnya aku Cu Thong adalah penipu
yang suka menfitnah orang?”
“Cu yaya, mungkin kau salah paham, mungkin kau salah mengartikan maksud Ciu pekya, aku
tahu Ciu pekya adalah seorang manusia bermuka dingin tapi berjiwa panas, bila dugaan Liong-ji
tidak keliru, mungkin kaki depan Cu yaya baru tinggalkan bukit Hong san, kaki belakang Ciu pek
ya telah menyusul pula dibelakangmu”
Tiba-tiba Pek Siau thian tertawa tergelak.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh….bagaimana?” serunya, “aku toh tidak bersekongkel dengan
Liong-ji, tapi nyatanya pendapat kita sama. Aku rasa, lebih baik berkunjunglah ke Bukit Hong san
sekali lagi, coba tengok apa yang lagi dikerjakan saudara Ciu!”
Cu Thong termenung beberapa saat lamanya, akhirnya diapun menghembuskan napas panjang.
“Aaaai….mungkin juga memang akulah yang terlalu berangasan” keluhnya, “tapi, bagaimanapun
juga Ciu loji pasti akan kucaci maki habis-habisan bila bertemu lagi nanti, apa yang diandalkan
Ciu-Thian hau itu sehingga dia pingin mengangkangi sendiri urusan ini? Memang dianggapnya
hubungan aku orang she Cu dengan Suma Tiang-cing kalah akrabnya dengan dia?”
Sekalipun ucapannya masih bernada jengkel, tapi ia sudah percaya, ia percaya memang
begitulah kenyataannya.
Padahal, Cu Thong bukanlah seorang anak kemarin sore yang masih bodoh, iapun sudah
menduga sampai kesitu, hanya rasa mangkelnya terhadap Ciu Thian hau masih mangkel dalam
hatinya ia merasa kurang puas sebelum dilampiaskan keluar.
Coa Wi-wi tidak kenal dengan Ciu Thian hau, maka dalam persoalan ini dia hanya membungkam
tanpa ikut memberi komentar.
Setelah suasana reda kembali, Hoa In-liong baru bertanya, “Cu yaya, bagaimana dengan toako
ku?”
“Sudah kuserahkan kepada ayahmu!” jawab Cu Thong hambar.
Hoa In-liong memandang ayahnya bagaikan malaikat, ia percaya kepandaian ampuh macam
apapun pasti dapat dipecahkan Hoa Thian-hong, maka setelah mengetahui bahwa Hoa Si telah di
serahkan kepada ayahnya, diapun jadi lega dan tidak banyak bertanya lagi.
“Gwakong!” ujarnya kemudian alihkan pembicaraan kesoal lain, “mengapa kau lepaskan Hong
Liong serta Beng Wi-cian dengan begitu saja? Apa salahnya kalau kita sekalian ganyang sampai
habis?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
563
Pek Siau thian tertawa geli.
“Bocah dungu, jangan terlalu pandang remeh musuh-musuhmu!” tegurnya, “kau anggap mereka
itu mudah dilawan? Ketahuilah nak, tenaga lwekang yang dimiliki Hong Liong cuma selisih sedikit
dibandingkan dengan gwakong, andaikata benar-benar terjadi pertarungan, sukar untuk
diramalkan siapa bakal menang dan siapa bakal kalah”
Coa Wi-wi yang membungkam selama ini, tiba tiba ikut menimbrung, “Aku rasa bajingan tua she
Hong itu tidak seberapa hebat. Aku tidak percaya kalau dia sanggup menerima pukalan Su siu
hua heng elang dari keluargaku!”
Mendengar komentar tersebut, Pek Siau thian tertawa.
“Anak Wi, tenaga dalammu lihay, ilmu silatmu jiga tangguh, tentu saja keadaanmu lain
dibandingkan dengan kami”
Tiba tiba Coa Wi-wi ingat, bukankah Pek Siau thian bilang tenaga dalamnya hanya selisih sedikit
dibandingkan Hong Liong? Dengan ucapannya itu bukankah secara tidak langsung ia pandang
remeh juga kemampuan Pek Siau thian?
Gadis itu jadi tersipu-sipu, bisiknya cepat, “Aaaah…. tenaga dalamku rendah sekali!”
“Tak usah merendahkan diri anak Wi, siapapun tahu bahwa tenaga dalammu sangat tinggi,
kenapa musti malu?” kata Pek Siau thian.
Ia cukup mengetahui pantangan-pantangan yang berlaku dalam dunia persilatan, karenanya
kakek inipun tidak mencari tahu lebih jauh tentang asal usul ilmu silat keluarga Coa.
Sesudah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Alasan yang paling utama dari tindakan kita ini
adalah lantaran tibanya Tang Kwik-siu di wilayah Kanglam!”
Ucapan yang sederhana tapi menimbulkan rasa kaget yang luar biasa bagi Hoa In-liong, pemuda
itu sampai melongo untuk berapa saat lamanya.
Perlu diterangkan disini, dalam peristiwa pencarian harta karun dibukit Kiu ci san, dikala Seng sut
pay kabur terbirit-birit setelah mengalami kekalahan total. Tang Kwik-siu pernah sesumbar sesaat
meninggalkan tempat itu, katanya sepuluh tahun atau seratus tahun mendatang, bila Seng sut
pay telah muncul seorang manusia yang berbakat, dia pasti akan menjelajahi kembali daratan
Tionggoan untuk merebut kembali barang-barang Seng sut pay yang tertinggal. Artinya, mereka
berhasrat untuk merebut kekuasaan tertinggi umat persilatan dari tangan keluarga Hoa.
Jelek-jelek Tang kwik Siau terhitung juga seorang tokoh persilatan yang luar biasa, orang bilang
siapa yang tahu keadaan, dialah manusia pintar.
Terhadap kemampuan Hoa Thian-hong, jagoan tersebut cukup memahaminya, karena itu dapat
ditarik kesimpulan, andaikata tiada keyakinan yang teguh tak nanti benggolan Mo-kauw itu akan
jauh-jauh berkunjung kemari hanya untuk menghantar nyawa sendiri.
Dengan perkataan lain, kemunculannya kembali di daratan Tionggoan berarti suatu tantangan
buat keluarga Hoa, suatu pertarungan yang maha serupun secara lapat-lapat sudah makin
mendekat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
564
Sesudah berhasil mengendalikan rasa kagetnya yang amat sangat, dengan tenang Hoa In-liong
berkata, “Apakah ayah Liong-ji sudah mengetahui tentang berita ini? Apakah Hian-beng Kaucu
juga sudah datang ke Kanglam?”
“Ayahmu cerdik dan berpengalaman, kurasa hal ini sudah berada dalam dugaannya, cuma bila
gwakong nilai gelagatnya sekarang, tampaknya ayahmu segan untuk turun tangan sendiri, justru
karena itulah diutusnya seorang kurcaci seperti kau untuk menanggulangi kesemuanya ini”
“Liong ji justru bersyukur karena diserahi tugas ini” seru Hoa In-liong cepat, “kalau Tang Kwik-siu
sudah datang lantas kemana? Kalau Kiu im-kaucu mau ikut-ikut kenapa? Apalagi Hian-beng
Kaucu yang main sembunyi macam kura-kura busuk itu? Hmm, jangan dianggap Liong-ji bakal
jeri. Kendatipun Liong ji masih kalah jauh dibandingkan ayah, tak mungkin akan kubuat nama
baik keluarga Hoa jadi ternoda”
Meskipun dalam hati memuji, diluaran Pek Siau thian pura-pura menjadi gusar.
“Aaaaah….Hong Liong saja tak sanggup dilawan, apalagi membicarakan diri Tang Kwik-siu….
Huuh, ngibul! Omong besar! Tidak malu kau ditertawakan orang?”
Coa Wi-wi tidak tahu bagaimanakah jalan pikiran Pek Siau thian yang sebenarnya, ia mengira
kakek itu benar-benar sedang gusar ketika dilihatnya Hoa In-liong kena dimaki, sebenarnya nona
itu ingin mengucapkan beberapa patah kata agar suasana jadi reda, siapa tahu bibirnya saja
yang dapat menganga sedang tak sepotong katapun yang sempat meluncur keluar….
Hoa In-liong sendiri, sebaliknya malah kelihatan tenang-tenang saja seperti tak pernah terjadi
sesuatu apapun.
“Yang muda sudah sepantasnya meniru yang tua”, Liong-ji tak mau terlalu merendahkan diri
sendiri sahutnya.
“Kalau memang begitu, lakukanlah seorang diri, gwakong tak mau urusi dirimu lagi”
Sambil berkata, bekas ketua Sin ki pang itu lantas bangkit berdiri dan berseru kembali, “Cuheng,
mari kita pergi!”
Hoa In-liong tertegun, tindakan kakeknya benar-benar diluar dugaannya, ia ikut berdiri.
“Gwakong, kau marah?” tanyanya.
Pek Siau thian tersenyum.
“Terhadap cucu sendiri masa gwakong tega marah?”
Agak lega juga perasaan Hoa In-liong setelah mengetahui gwakongnya memang tidak marah.
“Tapi kenapa gwakong ingin pergi?” tanyanya agak tercengang, “masih banyak urusan yang
hendak Liong-ji laporkan kepadamu!”
“Yaa benar” timbrung Coa Wi-wi pula sambil ikut berdiri, “Pek yaya, hari sudah malam apa
salahnya kalau kau orang tua beristirahat dulu di rumahku!”
“Lain kali saja! Sekarang aku dan saudara Cu masih harus menyelesaikan beberapa urusan
penting, oya…. Liong ji, gwakong ada dua urusan penting yang hendak kesampaikan kepadamu”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
565
Hoa In-liong segera pasang telinga dan siap mendengarkannya dengan wajah serius.
Terdengar Pek Siau thian berkata, “Meskipun Mo-kauw dan Kiu-im-kauw mempunyai wilayah
kekuasaan yang luar, kedua kelompok tersebut masih belum merupakan ancaman yang serius.
Menurut pandangan Gwakong, justru Hian-beng-kauw lah yang merupakan sumber segala
penyakit, siapa gerangan Hian-beng Kaucu itu musti kau selidiki sampai tahu, mengerti? Itulah
hal pertama yang harus kau ingat!”
Sementara itu Cu Thong sudah ikut bangkit, tiba-tiba ia menimbrung dari samping.
“Pek loji, kalau kau masih juga ngobrol seenak udelnya sendiri, lebih baik aku berangkat
selangkah lebih dulu”
Kemudian sambil menggoyangkan kipasnya, kepada Coa Wi-wi ujarnya kembali, “Anak Wi,
sekarang aku lagi repot dan tak sempat mampir dirumahmu lain kali saja, bila minum arak
kegiranganmu aku pasti akan hadir!”
Diiringi gelak tertawa yang nyaring dewa yang suka kelanyaban itu putar badannya dan berlalu
dari situ.
Memang dashyat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sekejap kemudian tubuhnya sudah
lenyap dibalik tikungan bukit sebelah depan sana.
Meskipun merah jengah selebar pipi Coa Wi-wi, sempat juga gadis itu berseru, “Cu yaya, kau
hendak kemana?”
Tiada jawab dari Cu Thong.
“Anak Wi tak perlu meuggubris dia lagi” Pek Siau thian yang ada disisinya menjawab sambil
tertawa.
Setelah berhenti sebentar dia baru berkata lagi, “Kau harus melindungi baik-baik si nona baju
ungu yang dan Si Nio, sebab aku curiga kalau mereka punya hubungan yang erat dengan Si
Seng tek, inilah urusan kedua yang harus kau ingat baik-baik!”
“Siapakah si nona baju ungu itu Pek yaya?” tanya Coa Wi-wi mendadak.
“Tanyakan sendiri kepada Liong-ji, dia mengetahui lebih jelas daripada Pek yaya mu!”
Tiba tiba Hoa In-liong berkata, “Liong ji telah mengingat semuanya, apakah gwakong masih ada
petunjuk lainnya?”
“Tidak ada lagi, aku hanya berharap agar kau tahu diri, jangan sampai menodai nama baik
keluarga”
Kepada Coa Wi-wi tambahnya, “Anak Wi, kita semua berasal dari satu keluarga, akupun tidak
akan banyak bicara lagi”
“Kalau Pek yaya sudah mengatakan tidak banyak bicara, baiklah, kitapun tidak akan banyak
bicara”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
566
Pek Siau thian terbahak-bahak, sekali berkelebat, tampaklah bayangan warna ungu melintas
didepan mata, kemudian lenyaplah si kakek sakti itu dari hadapan mereka.
Ketika Hoa In-liong menjumpai gadis itu masih termangu sepeninggal Pek Siau-thian,
dihampirinya nona itu dan ditepuknya bahunya seraya menegur, “Adik Wi-wi kitapun harus
pulang!”
Coa Wi-wi mengiakan, tiba-tiba ia menjerit, “Bagus! Bagus sekali! Belum pernah kau katakan
kepadaku kalau pernah perkenalan dengan seorang nona baju ungu, ayoh ngaku! kalian kenalan
dimana? Bagaimana kisah perkenalannya?”
Tentu saja Hoa In-liong mengetahui apa yang sedang dikatakan Coa Wi-wi, geli juga rasanya.
“Kau sendiripun tak pernah bertanya, masa urusan sekali inipun mesti kukatakan secermatnya
kepadamu, tapi kalau toh ingin tahu, tentu saja akan kukatakan kepadamu”
“Hayo bicara!” seru Coa Wi-wi sambil melebarkan matanya
Hoa In-liong tertawa.
“Tempat ini bukan tempat aman, mari kita jalan sambil bercerita!”
Ditariknya lengan Coa Wi-wi yang halus lalu dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna
mereka kembali ke dalam kota.
Hoa In-liong paling memahami perasaan seorang anak dara, sudah tentu diapun memahami
kecurigaan gadis tersebut, lantaran hubungannnya dengan si nona baju ungu hanya hubungan
yang lazim dan tidak disertai kontak cinta, maka sebelum diminta untuk kedua kalinya ia telah
membeberkan semua kisah perkenalannya secara terus terang.
Dengan demikian, kecurigaan Coa Wi-wi pun secara otomatis ikut terhapus dari dalam benaknya.
Padahal Coa Wi adalah gadis yang polos dan manja, ia belum mengerti apa artinya cemburu,
gadis itu hanya merasa bila tidak turut mengetahui gadis-gadis mana yang dikenal Hoa In-liong,
hal ini akan merupakan suatu bisul yang besar dalam hatinya.
Demikianlah, dengan kecepatan kedua orang itu sekejap kemudian mereka sudah berada
kembali di kota, kebetulan suara kentongan keempat berkumandang dari arah loteng Ciau lo,
karena pintu kota belum dibuka mereka masuk dengen melompati dinding kota.
Setibanya dirumah sendiri, Coa Wi-wi juga tidak mengetuk pintu depan, tapi langsung masuk
dengan melompati pagar pekarangan, dilihatnya lampu masih menerangi ruang tengah, rupanya
Kok Hong seng masih menunggu.
Coa Wi-wi mempersilahkan Hoa In-liong menunggu di ruang tengah, ia sendiri masuk seorang
diri ke halaman belakang.
Selang sesaat kemudian, gadis itu muncul kembali dengan wajah cemberut dan diliputi hawa
amarah, tiga kali Hoa In-liong menegurnya tanpa peroleh jawaban, sebaliknya dara itu malahan
ribut memerintahkan dayangnya Huan ji untuk memanggil Kok Hong seng agar menghadap.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
567
Dari sikapnya itu, Hoa In-liong lantas menduga telah terjadi sesuatu yarg tak beres di rumah itu,
tapi ia tak tahu apa yang terjadi, karena itu duduklah pemuda itu dengan tenang dan senyuman
dikulum.
Tak sampai seperminum teh kemudian, Kok Hong seng muncul diruang tengah, menyusul
kemudian Huan ji masuk kembali, rupanya sekembalinya ke kamar ia belum sempat tukar
pakaian ketika Huan-ji datang memanggilnya.
Dengan rasa kaget, tak habis mengerti dan ingin tahu, pengurus rumah tangga she Kok itu
masuk kembali ke ruang tengah.
“Siocia….” sapanya.
Sebelum ia menyelasaikan kata-katanya, Coa Wi-wi telah menukas, “Empek Kok, kemana larinya
pil Yau ti wan tersebut?”
“Apa? Yau ti wan?” Kok Hong seng mengulangi dengan nada terperanjat.
“Memangnya didunia ini masih ada keluarga kedua yang memiliki pil Yau ti wan?” Coa Wi-wi
mengernyitkan alis matanya.
Kok Hong-seng terbelalak lebar.
“Tapi….bukankah Yau ti wan disimpan oleh hujin dan siocia? Masa bisa hilang?”
“Aaaaa….sungguh menjengkelkan!” keluh Coa Wi-wi sambil mendepak depakkan kakinya
ketanah.
Dari tanya jawab tersebut, Hoa In-liong mengetahui juga apa yang telah terjadi, dia lantas
menyela sambil tertawa, “Adik wi! kok congkoan! Ada urusan marilah kita rundingkan sambil
duduk, sekalipun Yau ti wan sudah hilang, ya sudahlah apa gunanya musti ribut-ribut dengan
perasaan gelisah?”
“Huuuh….! Enak benar omonganmu” Coa Wi-wi mengeling sekejap kearahnya sambil mengomel,
tahukah kau Yau ti wan dibuat dari dewa jinsom berusia seribu tahun, Ho sio wu serta sebatang
Hu leng yang berumur tiga ribu tahun ditambah lagi dengan puluhan jenis bahan obat mustika
lainnya waktu dibuatpun cuma jadi sepuluh butir, turun temun sampai tiga ratus tahun kemudian
kini tinggal dua biji….”
“Kalau begitu adik Wi sudah makan sebutir? tukas Hoa In-liong.
“Yaa benar” Coa Wi-wi mengiakan, sewaktu kecil badanku lemah dan nyaris mati karena sakit,
karena itu aku beruntun mendapat sebutir yang mengakibatkan tenaga dalamku sekarang amat
lihay, tentunya tahu bukan betapa besarnya kasiat Yau ti-wan tersebut”
“Sekalipun tak ternilai harganya, kalau sudah hilang apa boleh buat?”
Digelisahkan juga percuma, kata Hoa In-liong sambil tertawa.
Coa Wi-wi makin mendongkol lagi setelah menyaksikan sikap acuh tak acuh dari si anak muda
itu, teriaknya, “Aku sebenarnya aku mengingkari pesan cousu ku dengan menghadiahkan dua biji
yang tersisa untukmu, tapi sekarang…. Aaaai, memang kau lagi sial!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
568
Dengan air mata berlinang, ia berpaling kearah Kok Hong-seng, lalu rengeknya, “Hayo katakan,
siapa yang telah mengambil obat itu?”
“Soal ini….”Kok Hong-seng menunduk dengan perasaan minta maaf.
Coa Wi-wi marah sekali melibat sikap congko-annya itu, dia berteriak dengan nada lengking,
“Jangan ini itu melulu, empek Kok! Bukan saja kau pandai dan cekatan, ilmu silatmu juga
terhitung nomor satu, masa dirumah sampai terja di pencurianpun kau tidak tahu, aku lihat
keluarga persilatan dari kota Kim-leng sudah waktunya untuk gulung tikar”
Dihari-hari biasa, gadis ini selalu menghormati Kok Hong seng sebaegai seorang cianpwe, tak
pernah ia bersikap kasar ataupun mengucapkan kata-kata pedas.
Tak sekarang, dalam gusarnya ia jadi lupa diri dalam perkataan pun tidak pilih bulu.
Tapi kemudian, setelah ucapan itu terlanjur meluncur keluar, anak dara itu baru merasa agak
keterlaluan, dengan nada mohon maaf ia berkata kembali, “Empek Kok, maafkanlah daku, aku
masih muda dan tak pandai berbicara, mungkin ucapan tadi telah menyinggung perasaanmu”
Sudah tentu Kok Hong seng tak dapat marah atau tersinggung oleh teguran tersebut, dengan
nada menyesal dia ikut berkata, “Apa yang siocia katakan memang benar, aku Kok Hong-seng
betul betul seorang manusia yang tak berguna”
Hoa In-liong bukan orang bodoh, tentu saja diapun tahu kecemasan Coa Wi-wi sebagai besar
adalah lantaran dia, betapa terharu dan berterima kasihnya pemuda kita.
“Adik Wi, maksud baikmu biar jiko terima dalam hati saja” katanya dengan lembut, “aku rasa
kesuksesan dalam ilmu silat harus dilatih dengan tekun dan penuh semangat, apa gunanya musti
andalkan kemustajaban suatu obat-obatan?”
“Ucapan yang bagus! Perkataan yang tepat!” tiba tiba dari pintu ruangan berkumandang suara
teguran seseorang yang sudah tua tapi nyaring sekali, “untuk mencapai suatu kesuksesan, orang
harus merasakan apa yang tak dapat dirasakan orang, melakukan apa yang tak dapat dilakukan
orang, dengan begitulah kekuatan yang digunakan pada saatnya betul betul merupakan
kekuatan sempurna yang tak perlu mengandalkan bantuan orang….”
Tak ada yang tidak merasa kaget diantara tiga orang jagoan lihay itu, pada hakekatnya mereka
merupakan jago-jago berilmu tinggi yang sudah mencapai tingkatan, mendengar suara
terbangnya bunga dan rontokannya daun dari jarak sepuluh langkah, tapi nyatanya, seseorang
berhasil menyelinap masuk ke dalam ruangan tanpa diketahui akan kehadirannya, ini
menunjukkan betapa sempurnanya tenaga lwe-kang yang dimiliki orang itu.
Serentak mereka berpaling, mengalihkan pandangan matanya kearah di mana berasalnya suara
itu.
Seorang Pendeta kurus kering, berjubah Pendeta warna abu-abu dengan muka yang penuh
berkeriput berdiri dengan agungnya dibawah sinar lampu ,orang itu tak lain adalah Goan cing
taysu.
00000O00000
30
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
569
Coa Wi-wi pertama-tama yang berteriak kegirangan lebih dulu, dia lari ke depan menyongsong
kedatangan padri itu dan jatuhkan diri kedalam rangkulannya.
“Kongkong!” serunya manja, “tahukah engkau, pil Yau ti wan milik kita telah dicuri orang?”
Dengan lembut dan penuh kasih sayang Goan cing taysu membelai rambutnya yang hitam mulus
itu, kemudian menjawab, “Kongkonglah pencurinya, tentu saja mengetahui akan kejadian itu!”
Serentak Coa Wi-wi angkat kepalanya dan menjerit lengking, “Rongkong, kau….”
Tiba-tiba ia tutup mulut kembali.
Hoa In-liong yang pernah mendapat pelajaran Bu kek teng hen sim-hoat dari Goan-cing taysu
belum pernah bertemu muka langsung dengan si pemberi pelajaran ini, tapi sebagai orang yang
cerdik dan tahu diri, tentu saja ia tahu Goan-cing tayau yang berada dihadapannya itulah yang
memberi budi kepadanya.
Cepat-cepat ia membenahi bajunya lalu memberi hormat dengan penuh hikmat.
“Boanpwe Hoa In-liong menjumpai cianpwe, terima kasih pula atas budi cianpwe yang telah
mewariskan kepandaiannya kepada aku yang muda”
Goan-cing taysu menerima penghormatannya itu, kemudian dikala ujung bajunya dikebutkan
kedepan, Hoa In-liong segera merasakan timbulnya suatu kekuatan besar yang menekan
tubuhnya, dia mana mau tak mau terpaksa ia harus bangkit berdiri.
Merasakan itu, pemuda kita lantas berpikir, “Waaah….lihay juga tenaga dalam yang dimiliki
cianpwe ini, jelas sudah mencapai titik kesempurnaan, itu berarti kemampuannya tidak berada
dibawah ayahku!”
Sementara dia masih termenung, Goan-cing tay Su telah berkata, “Nah, lolap sudah menerima
hormat itu. Nah, bangunlah sekarang!”
Setelah berhenti sejenak, ia berkata lagi, “Tahukah kau mengapa lolap menerima
penghormatanmu itu?”
Hoa In-liong termenung sebentar, lalu jawabnya dengan serius, “Boanpwe tahu, cianpwe ada
maksud untuk menjadikan diriku….”
Sebelum ucapan tersebut diselesaikan, Coa Wi-wi sudah ribut lebih dahulu, “Kongkong, tenaga
lwekangmu toh sudah mencapai tingkatan yang tak terhingga, masa kau orang tua hendak
menambah tenaga dalammu lagi dengan obat Yau li wan tersebut?”
Karena ditimbrung, terpaksa Hoa In-liong membungkam.
Dengan penuh kasih sayang Goan-cing taysu membelai rambut Wi-wi yang mulus, kemudian
tertawa.
“Kongkong sudah mendekati sembilan puluh tahun, sebentar lagi juga akan masuk kubur, buat
apa kutambah tenaga dalamku?”
Ia lantas berpaling kearah Kok Hong seng dan tegurnya, “Hong-seng, masih ingat dengan lolap?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
570
Sebetulnya sejak kemunculan pendeta itu Kok Hong-seng berdiri dengan wajah kaget dan sangsi
Setelah disapa ia baru mengucurkan air matanya sambil jatuhkan diri berlutut ke tanah.
Kiranya ketika Goan-cing taysu belum menjadi pendeta, Kong-seng lah yang melayani diri Goan
seng taysu.
Ketika itu bukan saja Kok Hoan-seng belum menjadi congkoan, usianya masih sangat muda.
Setelah lama tak berjumpa, paras muka Goan cing taysupun banyak mengalami perubahan, tak
aneh kalau ia tak dapat mengenalinya kembali meski mukanya dirasakan pernah dikenal.
Goan-cing taysu ulapkan tanganya memancarkan segulung hawa pukulan yang lembut
mengangkat Kok Hong-seng dari tanah, lalu ujarnya, “Sekarang lolap sudah bukan majikan
tuamu lagi, penghormatan semacam itu tak perlu kau lakukan lagi”
Kok Hoan-seng tertegun.
“Majikan tua….” buru-buru serunya.
Goan cing taysu gelengkan kepalanya sambil menghela napas.
“Aaaai….! Jika kalian semua hanya menangis dan merengek-rengek macam begitu saja setelah
bertemu dengan lolap, lain kali lolap tak nanti akan melangkah masuk ke Kin leng se keh lagi
walau selangkahpun”
Buru-buru Kok Hong seng menyusut air mata dan tundukkan kepalanya.
Sementara itu Coa Wi-wi yang terada dalam gendongan Goan cing taysu telah berpaling dan
memalu-malui congkoannya sambil menggoda, “Kok pepek tak malu, jenggotnya saja sudah
begitu panjangnya, tapi tingkah polanya masih seperti anak kecil, nangis lagi, idiih…. tak tahu
malu!”
“Huusss…. anak Wi tak boleh senbarangan omong!” tegur Goan-cing taysu.
Kemudian kepada Kok Hong seng ujarnya lagi, “Hong-seng, pergilah beristirahat! Disini tidak
memerlukan engkau lagi, aku aku masih ada urusan lain hendak dibicarakan dengan Hoa kongcu
serta anak Wi”
“Cianpwe” Hoa In-liong segera menyela,” lain kali panggilan boanpwe dengan sebutan anak,
karena sebutan itu jauh lebih mesra kedengarannya, kenapa kau malah menyebutnya dengan
sebutan lain?”
Goan cing taysu tersenyum.
“Baik! Lolap akan memanggil anak Liong kepadamu!”
“Kongkong!” tiba-tiba Coa Wi-wi menyela, “cianpwe dari jiko pada memanggil anak Wi kepadaku,
cianpwe dari anak Wi sudah semestinya memanggil jiko dengan sebutan anak Liong!”
Sementara itu Kok Hong seng telah berkata, “Hamba tidak lelah, lebih baik aku berada disini
saja, tanggung tak akan mengganggu majikan tua, Hong kongcu maupun siocia”
Goau cing taysu menghela napas.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
571
“Aaaai…. aku mengetahui maksud baikmu itu, baiklah, lolap juga tak akan terlalu memaksa
dirimu”
Setelah masuk ke dalam ruangan, pendeta itu turunkan Coa Wi-wi dari bopongannya, beberapa
orang impun mengambil tempat duduk sementara Kok Hong seng berdiri menanti disampingnya,
semua orang suruh ia duduk tapi congkoan itu tak mau, akhirnya mereka pun biarkan congkoan
tersebut berbuat sekehendak hatinya.
“Huan-ji, hidangkan air teh!” Coa Wi-wi kembali berteriak.
Huan-ji mengiakan dan mengundurkan diri.
Goan cing taysu tersenyum.
“Anak Wi” katanya, “kongkong juga bukan tamu, kenapa musti dihidangkan air teh?”
Justru kata-kata itulah yang ditunggu Coa Wi-wi, serentak ia menyambung dengan cepat, “Kalau
kongkong bukan tamu berarti tuan rumah, kalau jadi tuan rumah masa tidak tinggal di rumah
sendiri, kau orang tua tak usah pergi lagi….!”
Merasa tak mampu menandingi ketajaman lidah si nona, Goan cing taysu hanya bisa tertawa.
“Anak Wi, kau pandainya cuma ngaco belo saja, apakah tidak merasa kuatir lagi dengan racun
ular sakti yang mengeram dalam tubuh jiko mu?”
“Yaa, apa boleh buat lagi?” Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya, “kongkong sudah membawa kabur
Yau ti wan, padahal tanpa Yau ti wan, racun ular sakti dalam tubuhnya tak bisa dipunahkan, yaa
nasib namanya!”
Goan cing taysu tertawa lebar mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian dengan wajah
bersungguh-sungguh, “Justru kongkong kuatir engkau yang tak tahu keadaan, akan
menggunakan Yau ti-wan secara sembarangan, maka kuambil dulu obat itu untuk
disembunyikan”
Kepada Hoa In-liong ujarnya pula, “Liong-ji, apakah engkau merasa dendam atau kesal atas
tindakan yang lolap lakukan sekarang?”
“Liong-ji ji merasa tindakan yang diambil cian…. kongkong tepat sekali” jawab Hoa In-liong
dengan serius, “obat mustika itu bukan milik anak Liong, kenapa anak Liong musti dendam atau
kesal? Bukankah cara semacam itu hanya mencerminkan karakter seorang yang rendah dan tak
tahu malu?”
Dia telah menyebut Goan cing taysu sebagai kongkong, betapa gembiranya Coa Wi-wi karena
itu.
“Aku yang kesal, aku yang dendam, yaa, aku mempunyai rasa kesal dan dendam” ributnya.
Goan cing taysu tidak menggubris ribut-ribut dari cucu perempuannya, ia berpaling kearah Hoa
In-liong, ketika dilihatnya pancaran mata pemuda itu demikian lembut dan tenangnya, sedikitpun
tidak terpengaruh emosi, dalam hati ia memuji tiada hentinya.
“Ehmmm…. meskipun bocah ini agak romantis dan binal, dia memang berwatak seorang laki-laki
sejati, tak malu jadi ketururan keluarga Hoa….!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
572
Setelah termenung sebentar, kembali ia berkata sambil tersenyum, “Yau ti wan memang
merupakan obat manjur untuk melenyapkan racun ular sakti, tapi lolap tak akan
menyerahkannya kepadamu, apakah engkau merasa tindakanku ini terlalu mementingkan diri
sendiri?”
Hoa In-liong agak tertegun, lalu menjawab dengan tercengang, “Kongkong adalah seorang yang
berjiwa besar, jauh dari pikiran keduniawian, jelas bukan orang yang mementingkan diri sendiri,
namun Liong-ji memang merasa tidak habis mengerti”
Pemuda itu jujur berjiwa terbuka dan tak pernah menaruh minat terhadap Yau ti wan, sebab itu
ia tak takut dicurigai, apa yang ingin diucapkan segera diutarakan secara blak-blakan.
Goan cing taysu tersenyum.
“Lolap berbuat demikian karena tak ingin mengingkari pesan leluhur, atas penjelasan ini tentu
nya kau merasa puas bukan?”
“Kongkong!” tiba-tiba Coa Wi-wi berteriak.
Jilid 29
KAU suruh ibu terjun kembali ke dalam dunia persilatan, apakah perbuatan itu tidak melanggar
pesan leluhur? Apalagi dalam pesannya cousu hanya mengatakan bahwa pil itu tak boleh
digunakan jikalau tidak berada dalam keadaan antara mati dan hidup, beliau kan tidak
menyinggung soal lainnya. Kini jiko terkena racun ular sakti yang amat keji, keadaannya boleh
dibilang sudah mencapai keadaan yang amat kritis!”
Kok Hong seng selama ini hanya membungkam saja, kini tunjunkan pula perasaan sangsinya.
Hoa In-liong sendiri agak tertegun, tapi sesaat kemudian ia telah memahami keadaan yang
sebenarnya.
“Liong-ji percaya hatiku tulus dan jujur, aku berani bersumpah dihadapan langit dan bumi, buat
apa kongkong menolaknya terus? Ataukah meski Yau it wan dapat punahkan racun ular sakti,
namun akan mendatangkan juga kerugian?” katanya.
Diam-diam Goan-cing taysu memuji akan kecerdasanya serta kecepatannya dalam bereaksi. Ia
tersenyum.
“Bagaimanakah keadan yang sebenarnya, aku belum dapat mengatakanya secara pasti, hal ini
harus kuketahui lebih dahulu dari keadaan dikala racun tersebut mulai kambuh”
Hoa In-liong tahu bahwa hal tersebut tentu benar, maka jawabnya, “Ketika kambuh, isi perutku
terasa sakit sekali, seakan-akan digigit oleh ular beracun yang tak terhitung jumlahnya!”
Mendenar jawaban tersebut, Goan cing taysu menujukkan perasaan kecewanya.
“Hanya begitu saja?” ia bertanya.
“Kongkong tampaknya kau merasa penderitaan yang dialaminya itu kurang payah yaa?” seru Coa
Wi-wi dengan dahi berkerut.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
573
Hoa In-liong yang menangkap kekecewaan orang lantas berpikir, “Tampaknya aku tak bisa
berbohong lagi, semuanya harus kukatakan secara sejujurnya!”
Setelah merenung sebentar katanya kemudian seakan-akan tak pernah menderita, “Aku hanya
merasa hawa murni dalam nadi-nadiku berjalan tak lancar, seperti ada seperti juga tak ada,
tersendat-sendat seperti mau putus, hawa darah bahkan mengalir secara terbalik, justru ilmu Bu
kek teng heng sim hoat paling serasi untuk keadaan semacam ini, maka itu ketika Liong-ji
menekan racun tersebut dengan menggunakan kepadaian itu, sama sekali tidak merasakan
gangguan apa-apa”
“Jiko, mengapa tidak kau katakan keadaan seperti itu kepadaku?” jerit Coa Wi-wi.
Hoa In-liong tersenyum.
“Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak apa-apa? Urusan sepele semacam itu tak ada
perlunya untuk dikatakan kepadamu”
Sekalipun ucapan tersebut diutarakan dengan nada yang enteng, Coa Wi-wi bukan orang bodoh,
sudah tentu ia mengetahui betapa seriusnya keadaan, tanpa terasa air mata jatuh bercucuran
membasahi pipinya, kepada Goan cing taysu pintanya, “Gwakong, sudah tentu kau punya cara
baik untuk mengatasi keadaan semacam itu bukan?”
Betapapun sempurnanya tenaga dalam yang di miliki Goan cing taysu, betapapun teguhnya
imam pendeta tersebut, tak urung rasa girangnya tercermin juga diatas wajahnya.
“Anak bodoh, wahai anak bodoh” ia berbisik, “tahukah kau, lantaran bencana jikomu mendapat
rejeki, untuk gembirapun tak sempat masa kau malah bersedih hati?”
Coa Wi-wi merasa setengah percaya setengah tidak.
“Tiada bencanapun sudah merupakan suatu keruntungan yang luar biasa, darimana datangnya
rejeki? Kongkong bukanya lagi membohongi orang kan….?”
Ketika dilihatnya paras muka Hoa In-liong tetap tenang tanpa perubahan, kembali Goan cing
taysu menghela napas.
“Bocah ini betul-betul seorang manusia yang berbakat, bagaimanapun jua harus kucarikan
sebuah akal yang bagus untuk mengubah waktu romantisnya yang berlebihan, agar ia menjadi
seorang pemuda yang benar-benar sempurna”
Harus diketahui Goan cing taysu adalah seroang laki-laki yang jujur dan memegang teguh tradisi,
ia merupakan seorang manusia yang tak berani melanggar batas-batas sosial, karena itu melihat
Hoa In-liong yang gemar bermain perempuan, nomor satu ia merasa paling tak betah.
Kendatipun ia pintar ia berpengalaman dan punya banyak akal, pikiran punya pikir toh tak
berhasil menemukan cara yang tetap, maka sewaktu dilihatnya Coa Wi-wi lagi uring-uringan
karena pertanyaannya tidak dijawab, tertawa pendeta ini.
“Anak bodoh, buat apa kongkong membohongi dirimu?”katanya.
“Tapi bagaimana mungkin lantaran bencana mendapat rejeki, Kongkong, cepat terangkan
kepada ku!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
574
Berbicara sampai disitu, ia berpaling dan melotot sekejap kearah Hoa In-liong dengan gemas,
seakan-akan ia tunjukkan ketidak senangnya lantaran pemuda tersebut telah mengelabuhi
dirinya dalam soal yang maha penting itu.
Pelan-pelan Goan cing-taysu berkata, “Hal ini justru menyangkut tentang ilmu Bu khek teng beng
sim hoat dari keluarga kita, kepandaian tersebut mempunyai aliran yang bertolak belakang
dengan kepandaian pada umumnya, lagipula cara berlatihnya juga kebalikan….”
Sebetulnya pendeta itu hendak memberi keterangan yang terperinci, namun Coa Wi-wi tidak
sabaran, ia segera menukas dengan aleman, “Sudahlah, sudahlah, kongkong tak perlu berkuliah
panjang lebar lagi, jiko telah mengatakah kesemuanya itu kepadaku”
Goan cing taysu benar-benar pusing dibuatnya, dengan perasaan apa boleh buat dia hanya bisa
mengeluh, “Yaaa, ibumu terlalu memanjakan engkau sehingga terciptalah tabiat yang jelek!”
Sesudah tarik napas, ia berkata kembali, “Singkatnya saja, Bu kek teng heng sim hoat terbagi
dalam tiga tingkatan, tingkat pertama adalah Ni khi heng kang yakni mengalirkan hawa murni
berkebalikan dengan aliran darah, bila hawa murni sudah dapat dikuasai sehingga berjalan balik
dengan arah aliran darah, orang baru dapat meningkat kepelajaran kedua yang disebut Huay hian
pau tin (menyimpan hitam memeluk asli) tingkat ketiga merupakan pelajaran tersulit tingkat
ini disebut Ji khek bun lun (dua kutuh bersatu padu) dalam tingkatan ini aliran yang searah dari
aliran yang berlawanan arah harus mengalir dalam perpaduan yang sama dalam keadaan
demikianlah Bu khek teng heng baru dikatakan telah mencapai pada puncaknya”
“Tanpa anak Wi musti katakan, semua orang juga tahu, kau orang tua tentu berhasil mencapai
tingkatan yang tak terhingga ini pada tingkat pelajaran yang kedua bukan?” ujar Coa Wi-wi.
Goan cing taysu tersenyum.
“Lautan pelajaran tak bertepian, ilmu silat tiada ujung batasnya, siapakah yang sanggup
mencapai tingkatan tertinggi yang tak terhingga? Yang dinamakan Tay khek, tiada yang tidak
paling tinggi, tiada yang tidak paling rendah, anak Wi! Mengertikah engkau?”
“Anak Wi tidak mengerti” Coa Wi-wi gelengkan kepalanya berulang kaii, “anak Wi cuma ingin
bertanya kepada dua orang tua, sampai ketingkatan berapakah kau orang tua melatih ilmumu?
Buat apa kau katakan ujar-ujar yang maknanya susah dimengerti itu?”
“Kongkong sendiri belum pernah berhasil menembusi tingkatan Ji-khek hun lun untuk mencapai
tingkatan Bu khek teng neng, tapi jikomu….dalam waktu yang amat singkat akan berhasil
mencapai tingkatan tersebut….”
“Aaah….! Mana mungkin?” kontan Hoa In-liong membantah, “kongkong yang memiliki tenaga
dalam hasil latihan selama tujuh-delapan puluh tahun saja belum bisa mecapai tingkatan itu, apa
lagi Liong-ji yang tak becus ini?”
“Waktu Say-yang kehilangan kudanya, apa dia tahu bakal mendapat rejeki?”
“Kunci terutama dalam hal ini justru terletak pada racun ular keki yang kau idap itu”
“Waaah…. kalau memang begitu gampang sekali!” seru Coa Wi-wi dengan wajah barseri, “lain
kali akan kucari racun ular sakti dan akan kubiarkan badanku terkena, dengan demikian
bukankah aku juga dapat melihat diri hingga mencapai tingkatan Ji khek hun lun”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
575
Goan-cing taysu tertawa lebar lalu gelengkan kepalanya berulang kali.
“Aaaah….! Masa segampang itu? Kalau sungguh demikian, kongkong juga pingin melatih diri
hingga mencapai ke tingkatan yang amat tinggi! Kenapa tidak mencari racun ular sakti kemudian
melatih diri….?”
Sesudah berhenti sebentar, dengan wajah serius katanya lebih jauh, “Liong-ji, walaupun begitu
soal berhasil atau tidak masih sukar untuk dibicarakan, dan lagi untuk menembusi rintangan
tersebut harus mengalami siksaan serta penderitaan yang tak terhingga, bagaimana
pendapatmu….?”
Hoa In-liong sendiri meskipun merasa gembira bercampur terharu setelah mengetahui bahwa
lantaran bencana mengakibatkan datangnya rejeki baginya, namun paras mukanya tetap tenang
seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu apapun, apalagi setelah mendengar perkataannya yang
terakhir, kendatipun gembira juga karena tenaga dalamnya bisa mencapai tingkatan yang tak
terhingga, diapun takut sebab menurut Goan cing taysu akan mengalami siksaan serta
penderitaan yang tak terkirakan.
Setelah berpikir sejenak, dengan penuh rasa hormat ia menyahut, “Liong-ji siap mendengarkan
keputusan dari kongkong!”
“Bagus! Soal ini tak perlu ditunda lagi, sekarang juga kita berangkat ke bukit Mo san!”
Seraya berkata dia lantas bangkit berdiri dan bersiap sedia untuk berangkat.
Waktu itu sudah kentongan kelima, fajar baru menyingsing diufuk timur, baru saja si dayang
Huan-ji memadamkan lampu lentera ketika Goan cing taysu siap berangkat.
Kok Hong seng menggerakkan bibirnya seperti mau menghalangi kepergian majikan tuanya, tapi
ia tak berani berkata apa-apa, niatnya segera dibatalkan.
Coa Wi-wi paling tidak ambil gubris segala tata cara, dicekalnya ujung baju Goan cing taysu dan
rengeknya dengan wajah memelas, “Oooh…. kongkong yang baik, kenapa tidak kau latih jiko
dirumahku ini saja?”
“Tidak bisa!” jawab Goan cing taysu sambil gelengkan kepalanya, “tempat ini merupakan kota
besar yang ramai dengan segala macam manusia, kebanyakan iblis dan kaum gembong
perkumpulan sesat terhimpun disini, tempat seperti itu bukan tempat yang cocok untuk berlatih
silat”
“Kalau begitu anak Wi boleh ikut bukan?” desak si nona.
“Siapa saja boleh ikut pergi, cuma kau seorang yang tak boleh!” tukas Goan cing-taysu.
“Kenapa?” Coa Wi-wi kontan saja melototkan matanya lebar-lebar.
Goan cing-taysu menggerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi ia tidak
memberi penjelasan apa-apa.
Yang terutama ditakuti paderi ini adalah membiarkan gadis itu menyaksikan penderitaan serta
siksaan yang dialami Hoa In-liong sewaktu berlatih ilmu, ia kuatir gadis itu tega dan
mengakibatkan kerugian bagi Hoa In-liong.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
576
Hoa In-liong yang ikut bangkit bersamaan dengan berdirinya Goan-cing taysu tadi, saat itu
mendadak berseru, “Kongkong….”
Goan cing taysu berpaling kearahnya, alis matanya yang putih tampak berkerut, kemudian
sahutnya, “Kulihat kau ada sesuatu yang hendak diutarakanu, Nah, katakan terus terang!”
Hoa In-liong tertawa jengah,
“Malam nanti Liong-ji masih mempunyai janji dengan Bwee Su-yok Kiu-im-kauwcu yang berkuasa
saat ini, perempuan itu sedianya akan diadakan di kantor cabangnya untuk kota Kim-leng….”
“Yang paling penting buatmu sekarang adalah menambah kesempurnaan tenaga dalammu”
tukas Goan cing-taysu, “lebih baik janji itu dibatalkan saja!”
Hoa In-liong berpikir sebentar, lalu berkata lagi, “Liong-ji pikir, hidup sebagai manusia yang
paling penting adalah pegang janji….”
Coa Wi-wi juga ingin berkumpul lebih lama lagi dengan pemuda itu, meskipun ia tak setuju kalau
Hoa In-liong penuhi janji tersebut, toh saat ini katanya juga, “Kongkong, waktu tak akan
terbuang dengan begitu saja, sekalipun tertunda satu dua hari toh ilmu tersebut dapat dilatih
juga?”
Goan ciog taysu menyapu sekejap wajah kedua orang itu, kemudian dengan senyum penuh
berarti jawabnya, “Baiklah, aku saja yang mengalah! Nah, anak Liong tengah malam nanti
kunantikan kedatangan mu di pagoda Yu hoa tay, lolap pergi dulu!”
Begitu ucapan terakhir diutarakan, semua orang merasa pandangan matanya jadi kabur dan
tahu-tahu Goan cing taysu sudah lenyap dari hadapan mereka.
Waktu datang tidak menimbulkan suara, waktu pergi tidak meninggalkan jejak, ilmu
meringankan tubuh semacam ini sungguh merupakan suatu kepandaian yang mengerikan.
Setelah tidak tidur semalaman, Coa Wi-wi yang kuatir kesehatan Hoa In-liong terganggu apa lagi
senja nanti masih ada janji dengan Bwe Su-yok, segera memerintahkan Kok Hong seng untuk
mundur, dan ia hantar sendiri anak muda itu kehalaman belakang untuk beristirahat.
Ruangan yang disediakan bagi Hoa In-liong adalah kamar tidur yang pernah dipakai ayah Coa
Wi-wi yakni Coa Goan-hau sebelum hilang.
Gedung yang tersendiri itu terdiri dari kamar baca, kamar tidur serta sebuah ruang tamu kecil
ysng bersih dan nyaman. Meskipun sudah lama tak terpakai namun karena sering dibersihkan
maka suasana tetap nyaman dan bersih.
Kata Coa Wi-wi. Ibunya Kwan Bun-sian memerintahkan agar tempat itu diatur sesuai dengan
aslinya, agar Coa Goan hau bila pulang akan merasa kaget bercampur girang.
Dari sini dapat diketahui betapa tebalnya perasaan kasih sayang antara suami isteri berdua.
Setelah masuk kedalam ruangan, Hoa In-liong saksikan ruangan tersebut diatur dengan begitu
indahnya, disana sini penuh berisi benda antik yang indah dan tak ternilai harganya. Sepintas lalu
ruangan itu indah bagaikan rumah seorang raja muda, tapi mirip pula ruangan yang dihuni
seorang seniman.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
577
Setelah menghantar pemuda itu masuk ke ruang tidur, Coa Wi-wi siap tinggalkan tempat itu.
Tapi sebelum gadis itu melangkah pergi, tiba-tiba Hoa In-liong merangkul pinggangnya dan
mengecup bibirnya,
“Jangan begitu” seru Coa Wi-wi gelisah, “kalau sampai ketahuan para dayang….”
Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, bibirnya yang mungil telah dikecup mesra bibir anak
muda itu, dengan begitu kata selanjutnya otomatis tak sempat diutarakan keluar.
Meskipun malu tapi rangkulannya Hoa In-liong yang panas melumerkan itu segera meluluhkan
hatinya, badan jadi lemas, bukan saja ia balas memeluk tubuh Hoa In-liong yang keras bahkan
membalas pukul ciuman itu dengan lebih mesra.
Entah berapan lama sudah lewat, suasana yang penuh kesyaduhan itu tiba-tiba dicaukan oleh
teriakan Huan-ji, “Nona, Hoa kongcu, apakah sarapan perlu dibawa masuk?”
Dengan perasaan kaget Coa Wi-wi meronta dari pelukan Hoa In-liong, tampak Huan-ji berdiri
diluar ruang depan, sekalipun selisih jaraknya agak jauh, namun dalam keadaan demikian
disangkanya bayangan itu berada dekat dengan meraka.
Setelah rasa kagetnya berhasil ditengahkan, gadis itu baru marah-marah, “Aku kan sudah bilang,
sarapan tidak usah disiapkan, sebelumnya kau ini lupa atau sengaja memang hendak
mengacau?”
“Nona…. sahut Hoan-ji.
“Enyah dari sini!” teriak Coa Wi-wi lagi dengan gusar, “jiko ku perlu beristirahat dengan tenang!”
Yaa, siapa yang tidak mendongkol bila sedang asyik berciuman, tiba-tiba kesyaduhan tersebut
diganggu orang? Siapa yang tidak marah kalau suasana mesra jadi bubar gara-gara kemunculan
seseorang yang tak dikehendaki?
Tak salah lagi kalau nona itu jadi naik pitam dan marah-marah saking malu dan jengkelnya.
Huan-ji yang terbentur batunya jadi melongo, ia mencibirkan bibirnya tinggi-tinggi dari luar
ruangan, lalu dengan wajah tak senang hati berlalu dari sana.
Sepeninggal dayang itu, Hoa In-liong kembali merangkul pinggangnya yang ramping.
“Adik Wi….” bisiknya mesra.
Merah dadu sepasang pipi Coa Wi-wi karena malu, ia meronta dan melepaskan diri dari
rangkulan orang, lalu serunya aleman, “Aaaah…. kamu ini….”
Sesudah termenung sebentar, katanya lagi, “Cepatlah pergi beristirahat! Siapa tahu senja nanti
masih harus melangsungkan suatu pertarungan sengit? Sampai kini racun ularmu belum lenyap,
tak boleh sembarangan kau turun tangan, baik-baik sajalah menghimpun tenaga. Tengah hari
nanti aku datang lagi untuk mengajak kau bersantap siang”
Habis berkata, ditatapnya sekejap pemuda itu dengan pandangan mesra, kemudian dengan
perasaan berat hati meninggalkan ruang itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
578
Memandang bayang punggungnya yang lenyap dibalik ruang, Hoa In-liong tersenyum ia tutup
pintu dan masuk kedalam ruang.
Pemuda itu tidak pergi tidur tapi mengampiri kursi besar didekat pembaringan dan duduk
bersamadi disitu.
Yaa, walaupun pemuda ini romantis dan suka main perempuan, pada hakekatnya dia adalah
seorang yang tahu kewajiban. Sekalipun hanya tersedia kesempatan beberapa jam yang amat
singkat waktu yang luang itu tak pernah dia abaikan untuk melatih diri.
Mula-mula diulangnya tenaga sim hoat aliran Hoa setelah itu dia baru melatih ilmu Bu khek teng
heng sim hoat sebanyak dua kali.
“Menurut Goan cing taysu aku dapat melatih ilmu sim hoat ini mencapai ketingkatan yang paling
tinggi dengan perantara racun ular tersebut, sebenarnya bagaimanakah caranya itu?”
Pikir punya pikir tiada jawaban juga yang ditemuinya, tiba tiba timbullah kebinalannya, dia lantas
membatin, “Kalau ilmu sim hoat keluarga Hoa kulihat bersamaan waktunya dengan ilmu Bu khek
teng heng sim hoat, lantas apa jadinya?”
Dasar masih berjiwa muda, apa yang dipikir segera dilaksanakan tanpa memikirkan apa
akibatnya bila hal tersebut dilakukan.
Perlu diketahui disini, bila satu hati bercabang dua, sering kali akan mengakibatkan orang yang
berlatih diri itu mengalami penyesatan dalam aliran. Dan penyesatan tersebut akhirnya akan
menga kibatkan keadaan yang dinamakan jalan api menuju neraka.
Dasar memang masih kebocah-bocahan, pemuda itu membayangkan yang aneh-aneh,
dianggapnya untuk menggabungkan dua kekuatan yang berbeda itu sama gampangnya dengan
mencampurkan lumpur dengar air.
Akibat dari perbuatannya itu, jika berhasil memang lumayan, tapi kalau gagal? Akhirnya akan
mengalami jalan api menuju neraka, masih mendingan kalau separoh badannya jadi lumpah, jika
hawa murni yang tersesat sampai menembusi nadi-nadi lain? Siksaan tersebut bukan bisa
diterima oleh manusia biasa, karena lebih baik mati daripada mengalami siksaan semacam itu.
Andaikata keadaan baik dan keadaan jelek berbanding lima puluh dengan lima puluh, orang
masih berani menyerempet bahaya. Tapi perbandingan untuk keadaan tersebut adalah sembilan
puluh sembilan berbanding satu, kecuali dia memang bernasib sangat baik, sulit rasanya untuk
lolos dalam keadaan hidup.
Sebab itulah, selihay-lihaynya seorang jago silat, seaneh anehnya watak orang itu, tak pernah
diantara mereka berani berbuat sewenang-wenang dengan mempertaruhkan nyawanya sebagai
barang mainan.
Masih mendingan kalau ilmu yang dilatih ilmu kampungan, sebagaimana diketahui, baik Sim hot,
dari keluarga Hoa maupun Bu-khek teng heng sim hoat kedua duanya merupakan ilmu tenaga
dalam tingkat tinggi yang berbeda aliran, selihay apapun kepandaian seseorang, tak mungkin
mereka akan temukan persamaan diantara kedua jenis sim hoat tersebut yang memungkinkan
kedua ilmu tersebut dilebur menjadi satu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
579
Meskipun Hoa Inliong sebagai keturunan orang lihay mengetahui juga akan bahaya yang
membayangi perbuatannya itu, namun karena sifatnya memang gemar menyerempet bahaya,
kedua diapun belum tahu sampai sedalam manakah bahaya yang bakal dialaminya, maka
didesak oleh perasaan ingin tahunya yang besar, tanpa berpikir panjang lagi apa yang dipikirkan
segera dilakukan dengan begitu saja.
Pada mulanya, oleh karena dia sudah begitu hapal dengan Sim hoat keluarganya, setiap kali ia
berusaha bersamadi, serta-merta sim hoat tersebutlah yang digunakan.
Tapi kemudian, anak muda itu bertindak lebih berhati-hati setiap kali ada kesempatan, Bu khek
teng heng sim hoat ikut disalurkan juga bersamaan waktunya.
Dalam waktu singkat dua gulung aliran hawa sakti yang saling bertentangan mulai saling gontokgontokan
dalam urat nadinya, semakin besar niat pemuda itu untuk mengendalikan goncangan
tersebut, semakin kalut kedua gulung hawa murni itu menggulung tubuhnya, ia segera sadar
bahwa gelagat tidak menguntungkan.
Tapi sayang, pada waktu itu kedua gulung hawa murni tersebut sudah lepas dari kontrolnya lagi,
ibaratnya air bah yang menjebolkan bendungan, dengan dahsyatnya menyapu apa saja yang
dapat dilanda.
Yang paling seram lagi, justru dalam keadaan begitu racun ular sakti yang mengeram dalam
tubuhnya kambuh secara bersamaan, isi perutnya seketika itu juga terasa amat sakit bagaikan
digigit berjuta juta ekor binatang, ditambah pula hawa murni yang bergolak dibadannya
menusuk-nusuk isi perut bagaikan tusukan gunting, penderitaan semacam itu mungkin tak akan
tahan dirasakan oleh siapapun.
Seperminum teh kemudian, seluruh wajah anak muda itu telah berubah jadi merah padam, peluh
yang membasahi dadannya sebesar kacang.
Sebentar saja badannya sudah basah kuyup bagaikan baru keluar dari bak mandi.
Dalam keadaan seperti ini, anak muda itu hanya bisa pasrah pada nasib, ia benar-benar tak
mampu mengendalikan hawa murninya lagi.
“Habis riwayatku!” pekiknya dihati.
Tiba-tiba kepalanya seperti kena dihantam dengan benda berat….” biang!” pigsanlah pemuda itu.
Entah berapa lama sudah lewat ketika ia membuka kembali matanya, pemuda itu merasa
seakan-akan baru sadar dari impian, apalagi terbayang kejadian yang baru dialaminya, ia cuma
bisa teriak syukur, syukur berulang kaki.
Ia merasa sekujur badannya jadi segera dan enak, butiran keringat mendatangkan kehangatan
yang terasa nikmat, apalagi setelah hawa murni yang mengalir dalam nadinya diperiksa, pemuda
itu merasa bingung dan tak bisa mengerti ia tak tahu rejekikah? Atau bencanakah?
Ternyata ia merasa hawa murni yang mengalir dalam nadinya itu dibalik kebalikan terdapat
kelurusan dan dibalik aliran yang lurus terkandung keterbalikan, seperti lurus seperti juga
berbalik, seperti juga bukan lurus bukan juga terbalik, sampai-sampai dia sendiripun tak tahu apa
gerangan yang sebenarnya terjadi….
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
580
Tapi ada satu hal yang pasti, yakni hawa murni itu mengalir sendiri secara otomatis tanpa
rintangan, diapun tidak menemukan tanda-tanda yang menunjukan bahwa bencana sudah
diambang pintu.
Kali ini ia tak berani terlalu gegabah lagi, pemuda itu bermaksud meneruskan kembali latihannya
setelah mendapat petunjuk dari Goan cing taysu….
Sebetulnya itu semua merupakan gejala yang menunjukkan bahwa tenaga dalam yang
dimilikinya telah mendapat kemajuan yang amat pesat, sayang pemuda itu kalau sudah tidak
serius, betul-betul terlampau tidak serius, tapi kalau sudah sungguh-sungguh, sungguh sungguh
kelewat batas, begitulah kalau dia memang dasarnya mempunyai bakat yang baik dan rejeki
yang baik pula….
Sementara dia masih termenung sambil melamun mendadak dari arah pintu terdengar
serentetan suara yang amat lirih, dengan lantang ia lantas membentak, “Siapa disitu?”
Pintu dibuka orang, dan sesosok bayangan merah yang menyiarkan bau harum melintas masuk
kedalam ruangan.
“Jiko, jahat amat sih kamu ini bikin jantung orang hampir rontok saja….” tegur suara merdu
menggema di udara.
Hoa in-liong segera tersenyum.
“Aaaah. Siapa suruh kau seperti setan pengacau?”
Waktu itu Coa Wi-wi sudah berganti dengan satu stel gaun berwarna merah menyala, ia tampak
jauh lebih cantik, jauh lebih menawan dan jauh lebih mempesona hati, ibaratnya sinar emas sang
surya yang baru terbit dipagi hari.
“Hei, kenapa kamu jiko? Sudah tidak kenal lagi dengan aku?” seru nona itu sambil tertawa
manja.
Dengan tatapan mata seperti elang yang mengincar kelinci, anak muda itu mengamati gadis
tersebut dari atas hingga kebawah, kemudian baru gelengkan kepalanya sambil menghela napas.
“Yaa, aku memang sudah tidak kenal lagi!”
Sesudah berhenti sebentar, ujarnya lagi, “Setiap kali adik Wi bertukar dengan satu stel pakaian,
hampir saja aku tak dapat mengenali dirimu lagi”
“Aaaah…. kamu ini, masa cuma kenali pakaian tidak kenal orangnya!” omel Coa Wi-wi manja.
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.
“Bukan, bukan begitu, aku hanya merasa setiap kali adik Wi tukar dengan satu stel pakaian,
engkau selalu tampil dengan corak dan gaya yang berlainan, apa mau dikata setiap corak dan
gaya mu itu menampilkan pula kecantikan yang membuat seluruh wanita didunia ini seolah-olah
kehilangan keayuan mereka semua, padahal selama hidup aku tak percaya kalau dunia ini
terdapat perempuan yang demikian cantiknya, maka jangan heran kalau aku lantas curiga,
benarkah perempuan yang kujumpai itu adalah adik Wi ku yang manis!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
581
Dasar play-boy yang pintar putar lidah, entah sungguh entah tidak rayuan tersebut, tapi yang
pasti kata-kata semanis madu itu cukup membuat hati sekeras bajapun menjadi leleh.
Tentu saja Coa Wi-wi merasa senang dengan pujian anak muda itu, walau begitu toh ia
mengomel lagi, “Hmmm….! Aku tak percaya, kata-katamu itu, sudah pasti adalah kata-kata
rayuan gombal!”
Kemudian matanya celingukan kesana kemari dengan tajamnya, setelah sambil berseru tertahan
ia berkata lagi, “Oooh…. rupanya kau belum tidur, kalau kulihat dari keadaan disini, pembaringan
tersebut jelas belum terpakai…. Ehm, jadi kau baru berlatih ilmu silat? Waah kagum, kagum aku
sangat kagum dengan ketekunanmu”
“Oooh…. aku sih tak akan memiliki ketekunan seperti itu” Hoa In-liong tertawa, “lagi memuji atau
lagi menyindir!”
“Aaah…. terserah apa yang kau pikir!”
Setelah berhenti sebentar, kemudian katanya lebih jauh, “Hayo bangun dan makan siang! Atau
kau masih ingin berlatih terus ilmu silatmu?”
“Aku memang bermaksud demikian, maka jika adik Wi belum lapar, bagaimana kalau kau
turunkan dulu rahasia Su siu hua heng ciang kepadaku? Mau bukan?”
Kalau anak muda itu berpikir demikian, tidak begitu dengan jalan pikiran Coa Wi-wi, dia tak mau
pemuda itu lupa makan lupa tidur hanya gara-gara ingin berlatih ilmu silat. Maka bibirnya segera
dicibirkan.
“Kau boleh saja kalau ingin mati kelaparan, kalau aku sih ogah untuk temani kau mati karena
kelaparan, hayo makan dulu!”
Tapi sewaktu dilihatnya pemuda itu masih duduk, ia lantas maju dan menyeretnya sampai
bangun.
“Kenapa belum bangun juga?”teriaknya.
Hoa In-liong benar-benar dibikin apa boleh buat, terpaksa ia bangkit sambil gelengkan
kepalanya.
“Baik! Baik! Jangan mengomel, mari kita bersantap!”
Makan siang itu diselenggarakan dalam ruang kecil di halaman yang tersendiri itu, dayang cilik
Huan-ji melayani mereka berdua, meski cuma dua orang yang bersantap namun sayur dan
hidangan yang tersedia begitu melimpah ruah sehingga sepuluh oranpun belum tentu dapat
menghabiskan semua hidangan tersebut.
Dalam bersantap sekali lagi Hoa In-liong menanyakan rahasia ilmu pukulan Su siu hua heng
ciang. Coa Wi-wi tak tega untuk menolak permintaan orang, maka ilmu sakti itu pun diturunkan
pemuda tersebut.
Ilmu pukul Si sau hua heng ciang itu terdiri dari delapan gerakan yang mengandung makna Su si
pat kwa, dibalik gerakan mengandung pula gerakan yang saling bertautan satu sama lainnya,
dengan perubahan yang tak terhingga banyaknya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
582
Hoa In-liong dapat merasakan bahwa ilmu Ci yu jit ciat meskipun sakti dan keji hebatnya bukan
kepalang, namun tak mampu melebihi kehebatan dari ilmu pukul Su siu hu heng ciang tersebut,
yaa, pada hakekatnya ilmu sakti warisan dari Bu seng (malaikat silat) Im Ceng memang bukan
sembarang ilmu.
Rahasia ilmu pukul Su siu huan heng ciang amat singkat dan sederhana, paling banter juga
terdiri dari ratusan huruf namun makna yang lebih dalam dari tulisan-tulisan itu sudah tentu tidak
sesederhana kata-kata tersebut, bahkan tidak berada di bawah catatan ringkas Kiam keng bu kiu
yang pernah diperoleh Hoa Thian-hong dimasa lalu.
Sambil bersantap Hoa In-liong sembari putar otaknya mendalami inti sari ilmu pukul itu,
mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, sumpit yang sebenarnya sedang menjepit
seekor ikan leihi seketika terhenti ditengah udara, lama sekali dia membungkam dalam seribu
bahasa.
Huan-ji yang ada disampingnya dan menyaksikan adegan itu jadi merasa geli, cepat dia
menutupi bibirnya dengan sapu tangan lalu tertawa cekikikan.
Coa Wi-wi sendiri meski waktu itu juga merasa geli, tapi saat-saat terpenting bagi anak muda itu
sebelum ilmu silatnya mendapat kemajuan yang pesat maka matanya lantas melotot ke arah
Huan-ji sambil melarang dayangnya lebih lanjut.
“Adik Wi, sambutlah sebuah pukulanku ini!” tiba-tiba Hoa In-liong membentak nyaring.
Cepat ia letakkan sumpitnya ke meja, kemudian telapak tangan kanannya dijulurkan kedepan
seperti menekuk, jari tangannya di tegakkan sekaku baja, kemudian diserangnya Coa Wi-wi
dengan jurus Pian tong put ki (berubah tidak tetap).
Coa Wi-wi merasa terperanjat menghadapi serangan tersebut, tapi dengan cepat ia melancarkan
pula sebuah serangan balasan dengan jurus Pian tong put ki yang sama, teriaknya, “Jiko, aku tak
percaya kalau engkau lebih cerdik daripada aku dalam menggunakan jurus serangan tersebut!”
Ucapan itu ada benarnya juga, sekalipun serangan yang dilancarkan Hoa In-liong serangan
mengandung perubahan yang maha hebat, akan tetapi mana mungkin ia dapat menandingi Coa
Wi-wi yang sudah melatih ilmunya selama sepuluh tahun lebih?
Akan tetapi, apa yang kemudian terjadi ternyata sama sekali diluar dugaan, begitu sepasang
telapak tangan saling beradu, Coa Wi-wi lah yang berada di pihak yang rugi, pergelangan
tangannya tahu-tahu memekuk kebawah, badannya terjungkal ke belakang dan hampir saja ia
jatuh terjengkang kebelakang berikut kursi yang didudukinya.
Kiranya Coa Wi-wi sudah mengetahui sampai dimanakah taraf tenaga dalam yang dimiliki Hoa
In-liong, maka dalam menyambut serangan anak muda tadi, ia telah menggunakan pula tenaga
yang seimbang.
Siapa tahu tenaga dalam yang dimiliki Hoa In-liong mendapat kemajuan yang amat pesat, maka
begitu telapak tangan mereka bersentuhan, meski ia menyadari bahwa keadaan tidak
menguntungkan, toh dalam keadaan begitu tak sempat lagi baginya untuk menambahi tenaga
dalamnya.
Dengan wajah cemberut gadis itu merangkak bangun dari atas lantai, lalu serunya manja,
“Bagus! Bagus! Rupanya kau menyembunyikan kekuatanmu yang sebenarnya…. kau jahat, kau
jahat!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
583
Nanun Hoa In-liong tidak menjawab, sebab setelah melancarkan serangannya tadi kembali
pemuda itu terjerumus dalam pemikiran yang serius, tampak sepasang alis matanya berkenyit,
matanya mendelong memandang ke arah depan dan mulutnya terkatup rapat, ternyata ia tak
mendengar apa yang barusan diteriakkan gadis itu.
Saking gemasnya meskipun Coa Wi-wi ingin menggigit anak muda itu, namua ia tak berani
lantaran menuruti napsu sendiri menyebabkan ilmu silat nya terbengkalai, maka dengan kesal
gadis itu duduk membungkam.
Tiba-tiba didengarnya suara tertawa cekikikan menusuk telinga dari arah samping, dasar lagi
mangkel dan rasa mendongkol tak terlampiaskan maka bertemu dengan sasaran kontan saja
matanya melotot besar.
“Hayo tertawa…. hayo terus sampai tua! teriaknya dengan marah “apa yang kau gelikan? Enyah
ayoh cepat enyah jauh-jauh dari hadapanku!”
Huan-ji meski kedudukannya cuman seorang dayang tapi sejak kecil sampai dewasa ia hidup
bersama nonanya ini, maka boleh dibilang waktu majikannya cukup dia kuasahi. Meski melihat
nonanya marah ia tidak jadi gemetar karena takut.
“Yaa, nona!” sahutnya malah.
Tapi baru saja ia sampai di depan pintu ruangan, Coa Wi-wi sudah berterak kembali, “Hayo
kembali apa yang kau gelisahkan? Takut kutelan tubuhmu bulat-bulat hei?”
Sambil tertawa Huan-ji berjalan kembali kedalam ruangan.
Tapi Coa Wi-wi sekali lagi ulapkan tangannya sambil berseru, “Enyah! Enyah dari sini! Melihat
tampangmu saja aku sudah bosan”
Huan ji tertawa cekikikan, sekarang baru betul-betul lari keluar ruangan itu.
Selang sesaat kemudian Hoa In-liong baru menghembuskan napas panjang bisiknya kemudian,
Oooh….rupanya begitu!”
Coa Wi-wi yang paling senang dengan kejadian itu, cepat serunya dari samping, “Jiko, berapa
banyak sudah yang berhasil kau pahami?”
Barusan ketika pemuda itu masih terjerumus dalam lamunannya, ia merasa sempat mengawasi
tampang sianak muda itu sepuas-puasnya bukan saja Hoa In-liong tanpan dan romatis,
kecerdikannya juga hebat, terutama sikap serta tingkah lakunya yaug menyenangkan hati, sejak
tadi-tadi semua rasa kesal dan murungnya sudah tersapu lenyap entah kemana….
Tiba-tiba ia merasa tidak semestinya menyelesaikan urusan itu dengan begitu saja, sebab
bagaima napun juga kalau dibekukan sampai disitu, hal ini menyangkut soal gengsinya sebagai
seorang gadis remaja.
Maka sebelum Hoa In-liong menjawab pertanyaannya itu, dia sudah membentak lebih jauh,
“Sambutlah serangan ini!”
Telapak tangannya yang mulus langsung diayun kemuka melepaskan sebuah pukulan dengan
jurus Pian tong put ki.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
584
Hoa In-liong tertawa nyaring, dengan jurus Pian tong put ki yang sama ia songsong datangnya
ancaman tersebut.
“Serangan bagus!” serunya.
Ketika dua buah telapak tangan saling bertemu, kali ini Coa Wi-wi sudah membuat persiapan,
tentu saja tubuhnya sama sekali tidak bergeming dari posisinya semula.
Selain itu, rupanya nona tersebut ingin pula membalas kesalahan yang dia alaminya barusan,
sebab itu diapun ingin memberi sedikit pelajaran untuk Hoa In-liong, dalam serangannya
kemudian tenaga dalam yang dipakai mencapai delapan bagian lebih.
Apa yang terjadi? Sekalipun nona itu sudah menggunakan tenaga dalam yang sangat besar, akan
tetapi dikala sepasang telapak tangan itu saling bertemu, tiba-tiba dari balik telapak tangan Hoa
In-liong memancar keluar segulung tenaga pukulan yang sifatnya aneh sekali, bukan saja
pukulannya tidak berhasil menembusi pertahanan lawan, malahan tenaga serangannya itu
seperti ditarik oleh suatu kekuatan lain hingga mengalir kearah gang sama, ini membuat hati
nona itu jadi kaget bercampur curiga,
“Hei jiko apakah sudah telan pil Yau ti-wan tersebut?” tegurnya kemudian dengan keheranan,”
kalau tidak kenapa tenaga dalammu bisa peroleh kemajuan seperti ini? Dan lagi aku merasa
hawa murni yang terpancar keluar dari tubuhmu itu sangat aneh”
“Aaaah, siapa bilang kalau aku makan pil ti wan?”
Tapi setelah dipikir sebentar, pemuda itupun lantas menuturkan pengalamannya ketika ia
mencoba-coba untuk menggabungkan tenaga sim-hoat keluarga Hoa-nya dengan Bu kek teng
heng sim hoat.
Selesai mendengar penuturan tersebut, Coa Wi-wi jadi mencak mencak saking gembiranya. Hoa
In-liong ikut tertawa.
“Adik Wi!” katanya, “bencanakah? Atau rejekikah? Hingga kini masih merupakan suatu tanda
tanya besar, kalau dibilang terkena racun ular sakti ibaratnya Say-ang yang kehilangan kudanya,
siapa tahu kalau aku bakal mendapat rejeki. Sebaliknya kalau dibilang Say-an mendapat kuda,
siapa tahu kalau kejadian itu justru akan membawa bencana”
“Aaaah….! Janganlah mengucapkan kata-kata yang mendatangkan perasaan tak enak semacam
itu?” keluh Coa Wi-wi.
Demikianlah, percakapan itu mereka langsungkan hingga tengah hari lewat, dan akhirnya
merekapun menyinggung soal janjinya dengan Bwe Su-yok.
Pada mulanya Hoa In-liong bersikeras ingin memenuhi janji seorang diri, sebab dia yakin dengan
kemajuan pesat yang diperolehnya dalam tenaga dalam, niscaya Bwe Su-yok bukan tandingan
nya lagi, maka sekalipun dia harus memenuhi sendiri janji itu, rasanya juga tiada bahaya yang
mengancam.
Tapi Coa Wi-wi bersikeras memaksa ikut, alasannya walaupun tenaga dalam yang dimiliki Hoa
In-liong sudah mengalami kemajuan yang pesat, tapi racun ular sakti itu toh belum punah,
bagaimana kalau racun ular itu kambuh lagi dikala pertarungan sedang berlangsung?
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
585
Apalagi semua orang juga tahu, Kiu-im-kauw merupakan sarangnya jago-jago tangguh, terutama
sebagai ketua perkumpulan sesat yang tak mengikuti peraturan dunia persilatan, andaikata
mereka sampai main kerubut, sekalipun tenaga dalam Hoa In-liong lebih tinggipun percuma saja.
Setelah berdebat setengah harian, akhirnya diputuskan Hoa In-liong memenuhi sendiri janji itu,
sementara Coa Wi-wi mengikutinya secara diam-diam.
“Yaa, pada hakekatnya santapan siang itu baru berakhir setelah makan waktu yang berlarutlarut.
Selesai bersantap, mereka memperdebatkan kembali keampuan ilmu pukulan Su siu hua heng
ciang, tidak berbicara soal kemajuan Hoa In-liong yang amat pesat, keanehan tenaga dalam dari
anak muda itulah yang justru membuat Coa Wi-wi jadi kaget bercampur keheranan.
Ketika ditanyakan bagaimana caranya mengerahkan tenaga aneh itu, bahkan Hoa In-liong
sendiripun tidak mengerti, ia cuma merasa tanaga tersebut terlontar keluar secara spontan.
Tatkala sore sudah menjelang tiba dan sang surya sudah tenggelam dikaki langit sebelah barat,
berangkatlah dua orang itu menuju keluar rumah….
Karena Coa Wi-wi harus melakukan pengiutitan secara diam-diam, ia merasa warna merah yang
terlalu menyolok, maka sebulam berangkat ia tukar dengan satu stel pakaian berwarna putih.
Hoa In-ling sendiri berdandan seperti seorang kongcu yang perlente, pedang tersoren
dipinggang, kipas digenggam dalam tangan, kipas yang dibawa dari rumah sebetulnya sudah
hilang, maka kipas yang dipakai sekarang adalah kipas hadiah Coa Wi-wi.
Dengan kecepatan langkah anak muda itu, jarak antara rumah keluarga Coa sampai dikaki bukit
Ciong-san sebelah barat bisa ditempuh dalam waktu singkat.
Masih jauh ia berada di depan bangunan rumah yang mewah itu, ketika pintu gerbang tiba-tiba
di buka orang dan Seng Sin sam yang kecil pendek memimpin serombongan anggota Kiu-imkauw
menyambut kedatangannya diluar bangunan rumah.
Menyaksikan keadaan seperti itu, Hoa In-liong malahan memperlambat langkah kakinya, sambil
menggoyang-goyangkan kipasnya dia menuju kepintu gerbang.
Begitu santai lagaknya, seakan-akan kedatangannya kesitu bukan untuk memenuhi suatu
perjanjian yang menyangkut mati hidupnya, melainnya khusus datang untuk menghadiri suatu
pesta ulang tahun teman akrabnya.
Menanti ia sudah berjalan mendekat, dengan tak sabaran Seng Sin-sam merangkap tangannya
memberi hormat, kemudian berkata, “Hoa kongcu benar-benar seorang pegang janji, kaucu kami
mempersilahkan kongcu masuk ke dalami”
Hoa In-liong segera melipat kipasnya dan disimpan kedalam saku tegurnya kemudian, “Eeeh,
dimana kaucumu? Kenapa tidak menyambut sendiri kedatanganku….?”
Seng Sin sam tertawa seram.
“Hahaha…. apakah Hoa kongcu dapat mewakili ayahmu?” dia balik bertanya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
586
Maksud dari perkataannya itu sudah amat jelas, yakin Hoa In-liong masih belum cukup bergerak
untuk mendapat penyambutan dari Bwe Su-yok.
“Bukan demikian maksudku….” kata Hoa In-liong sambil membentangkan kembali kipasnya dan
digoyang-goyangkan beberapa kali.
“Lalu Hoa kongcu ada petunjuk apa?” tukas Seng Sin sam tak sabar lagi.
Diam-diam Hoa In-liong mentertawakan ketidak sabaran orang namun diluaran ia tetap bersikap
serius, jawabnya, “Bagaimanapun juga aku orang she Hoa masih terhitung sahabat karib kaucu
kalian, memandang pada hubungan persahabatan ini sudah sepantasnya kalau ia memang
mengadakan penyambutan sendiri atas kedatanganku atau mungkin karena kedudukannya
sekarang sudah terhormat, maka ia pandang remeh sahabatnya dimasa lalu?”
Pemuda itu memang sengaja menjual kecap dengan tujuan memecahkan perhatian semua jago
yang hadir disekeliling bangunan itu, dengan demikian aku cukup memberi kesempatan bagi Coa
Wi-wi untuk menyusup ke dalam bangunan rumah itu.
Seng sin sam kontan saja tertawa dingin sesudah mendengar kata-kata itu.
“Heeehh…. heeehh…. heeeh….jadi, bila kaucu tidak menyambut sendiri kedatangan Hoa kong cu
maka engkau tak sudi masuk ke dalam perkara pungan?”
“Oooh….tentu saja tidak tentu saja tidak! Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali,
sekarang kaucu kalian sudah merupakan seorang pemimpin dari suatu perkumpulan besar,
sudah mestinya kalau ia pegang gengsi dengan berlangkah jual mahal!”
Sambil menggoyangkan kipasnya, pelan-pelan ia lanjutkan kembali langkahnya menuju kedalam
ruangan.
Teng Sin sam betul-betul dibikin serba salah oleh tingkah laku pemuda itu, cepat-cepat ia
memburu ke muka seraya berseru, “Biar aku membawakan jalan untukmu!”
Meskipun rasa bencinya kepada Hoa In-liong sudah merasuk ketulang sumsum, namun ketika di
lihatnya anak muda itu berdandan perlente dengan pedang tersoren dipinggang dan kipas
digenggam dalam tangan, diam-diam ia memuji juga akan kekerenan anak muda itu.
“Emmm….! Dia memang tak malu menjadi putranya Thian cu-kiam!”
Setibanya didepan ruang mewah yang megah dengan lapisan emas meliputi tiang-tiang
penyangga dalam ruangan itu, tampaklah Bwe-Su-yok yang cantik jelita bak bidadari dari
kahyangan dengan memegang tongkat kebesaran berkepala setan menyambut kedatangan diluar
pintu, dibelakang nona itu mengikuti pula Tiamcu ruang siksa Le Kiu it, tongcu bagian tata tertib
Kek Thian tok serta Tongcu bagian proganda Huan-Tong.
Agak tertegun juga Hoa In-liong sewaktu dilihatnya Bwe Su-yok bersedia menyambut
kedatangannya dipintu ruangan, sebab menurut dugaannya semula kemungkinan besar Bwe Suyok
akan berlagak angkuh dengan maksud menghina serta mencemooh dirinya habis-habisan.
Setelah berpikir sebentar, dia lantas maju kedepan sambil memberi hormat, katanya, “Apabila
kedatangan Hoa Yang agak terlambat harap Bwe kaucu bersedia memaafkan!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
587
Bwe Su-yok balas memberi hormat, kemudian katanya pula dengan tertawa, “Bila Bwee Su-yok
tidak menyambut kedatanganmu dari jauh, harap Hoa kongcu bersedia memaklumi!”
Agak heran juga perasaan Hoa In-liong waktu itu, sebab meski nada pembicaraan nona itu dingin
dan hambar, namun tidak mengandung hawa napsu membunuh, sikap seperti ini boleh dibilang
jauh berbeda dengan sikapnya kemarin malam.
Setelah masuk kedalam ruangan, masing-masing pun mengambil tempat duduk.
Hoa In-liong menyaksikan dalam ruangan itu tersedia sebuah meja perjamuan, tak usah
disebutkan lagi tentu saja hidangannya terdiri dari hidangan yang lezat-lezat, mangkuk, baki
yang dipakai pun terdiri dari bahan-bahan perak yang berukiran indah.
Waktu itu disamping meja perjamuan berdiri tiga orang dayang, mereka tak lain adalah dayangdayang
kepercayaan Bwe Su-yok yang terdiri dari Siau bi, Siau kian dan Siau peng.
Walaupun senja sudah menjelang tiba, namun delapan buah lentera keraton yang indah telah
memancarkan pula cahayanya.
Bwe Su-yok yang duduk dimeja perjamuan tidak menawari tamunya minum arak, juga tiada
perselisihan atau perang mulut yang ramai, yang berlangsung hanya cawan yang saling beradu
serta suara sumpit yang membentur mangkok, tiada suara pembicaraan, semua orang bersantap
tanpa berbicara.
Tentu saja kejadian ini diluar dugaan Hoa In-liong, segera pikirnya, “Baik, akan kulihat kau si
dayang busuk hendak bermain setan apa dengan diriku!”
Berpikir demikian, dia lantas menahan diri sambil mengikuti perkembangan yang barlangsung
didepan mata.
Pemuda itu memiliki badan yang kebal terhadap segala macam racun, dengan tak usah kualir
keracunan, dia makan minum dengan bebasnya.
Selesai bersantap, tiba-tiba Bwu Su-yok berkata, “Hoa kungcu, apakah kau ingin tahu keadaan
dari Kanglam Ji-gi?”
“Aaah, sudah tahu pura-pura bertanya!” pikir Hoa In-liong, Namun segera jawabnya juga, “Yaa,
dengan segala kerendahan hati aku mohon agar Bwe kaucu bersedia memberi petunjuk
dimanakah empek Yu itu kini berada?”
“Heeehh…. heeehh…. heeeh…. kau anggap aku mau menjawab?” ejek Bwe Su-yok sambil
tertawa dingin.
“Nah, sudah mulai!” batin Hoa In-liong, dia lantas tersenyum.
“Aku memang datang tanpa membawa harapan yang terlalu besar!” sahutnya cepat.
Bwe Su-yok tertegun.
“Lantas karena urusan apa kau datang kemari?”
Hoa In-liong tak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya malah balik bertanya, “Aku ingin
mengajukan satu pertanyaan kepada Bwe kaucu, kendatipun Hian-beng-kauw sudah berkomplot
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
588
dengan Kiu-im-kauw, masa perbuatan dari orang-orang Hian-beng-kauw bisa kaucu ketahui
semua? Dan aku tahu bahwa orang-orang Hian-beng-kauw memandang penting soal empek Yu
ku itu, betulkah kaucu benar-benar mengetahui jejak dia orang tua?”
Bwee Su-yok cuma tertawa dingin tanpa menjawab.
Hoa In-liong segera berkata lebih jauh, “Menurut dugaanku, belum tentu kaucu mengetahui hal
itu”
“Sementara waktu jangan kita persoalkan apakah aku tahu atau tidak” kata Bwee Su-yok pelan,
“kalau toh engkau menganggap aku belum tentu tahu, buat apa pula kau dataag memenuhi
janji?”
“Tiada karena soal lain, kecuali demi kepercayaan” jawab anak muda itu sambil tersenyum.
“Ooou…. benarkah kau pandang begitu penting soal kepercayaan?” ejek Bwe Su-yok lagi dengan
nada menyindir.
“Ketat amat dayang ini menjaga rahasianya” pikir Hoa In-liong kemudian, “rupanya ia pandai
menduga suara hati orang, aku tak boleh pandang enteng dirinya….”
Begitu rencana sudah tersusun, ia baru menjawab, “Tentunya Bwe kaucu tahu bukan, sejak dulu
sampai sekarang, tanpa kepercayaan manusia itu tak bisa hidup?”
Bwe Su-yok segera tertawa ringan.
“Ooou….mungkin Hoa kongcu ingin mengandalkan ilmu silatmu yang maha tinggi?”
Dengan kerlingan mata yang jeli, ia melirik sekejap Le Kiu-it berempat, kemudian berkata lebih
lanjut, “Menurut pandangan Hoa Kongcu, bagaimana perdapatmu mengenai tenaga dalam yang
dimiliki kelima orang anak buahku itu?”
“Tak seorang pun yang bukan jago tangguh!”
Raut wajah Bwe Su-yok ysng sebetulnya sedingin es, tiba-tiba berubah jadi hangat, sekulum
senyuman cerah menghiasi bibirnya ibarat angin musim semi yang mencairkan salju, seluruh
keketusan dan sikap dinginnya tersapu lenyap.
Tapi justru karena itu wajahnya tampak semakin cantik dan menarik, ini membuat Hoa In-liong
jadi melongo saking terpesonanya. Namun kewaspadaannya juga semakin meningkat.
“Hoa kongcu!” kembali Bwe Su-yok berkata, andaikata aku dan ke empat orang anggota
perkumpulanku turun tangan bersama-sama, mampukah Kongcu lolos dari cengkeraman kami?”
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong merasa terkesiap, tapi diluar wajahnya ia tepat tenang,
seolah-olah hal itu sudah menjadi bahan dugaannya.
“Kaucu, pandai amat kau berbicara!” katanya sambil tertawa.
Yaa, pada hakekatnya orang yang hadir daiam perjamuan saat itu merupakan inti kekuatan vang
sebetulnya dari perkumpulan Kiu-im-kauw, meski sedikit jumlahnya, tapi kalau mereka sampai
menyerang bersama, kendatipun Hoa In-liong merasa ilmu silatnya sudah memperolah kemajuan
yang pesat, jagan harap bisa lolos dari situ dengan selamat. Bwe Su-yok kembali tertawa ringan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar