Gunung-gunungan itu tingginya beberapa tombak, luasnya mencapai
karena permukaannya tidak datar dan penuh ditumbuhi pepohonan bambu, cemara dan semak
belukar, maka setibanya diatas bukit itu, cahaya tadi malah sama sekali tidak terlihat lagi.
Untunglah Hoa In-liong memiliki mata yang tajam dan lagi sumber cahaya itupun sudah diingat
ingat didalam hati. Maka setelah berdiri sebentar diatas tebing, dengan suatu gerakan yang
enteng tubuhnya berkelebat ke samping barat dari gunung-gunung itu.
Ternyata di sudut barat gunung-gunungan itu tumbuhlah sebaris bambu. Dibagian utara dari
dinding barat merupakan sebuah jendela yang luasnya tiga depa. Jendela tersebut terbuat dari
kayu dan waktu itu tertutup rapat. Cahaya api menembus dari balik jendela itu, ini menunjukkan
bahwa sinar yang tampak dari kejauhan tadi berasal dari celah-celah jendela itu. Tapi lantaran
dihadapannya tumbuh pohon bambu yang rimbun, tak aneh kalau tempat itu sukar ditemukan.
Orang bilang, “Bila ada jendela tentu ada rumah, bila ada rumah tentu ada pintu”
Menemukan segala sesuatunya itu, Hoa In-liong jadi kegirangan setengah mati. Cepat ia
menggape ke arah Coa Wi-wi, kemudian sambil menunjuk kearah jendela bisiknya, “Coba lihat
adik Wi. Dari dalam
Berjaga-jagalalah disini, aku akan mencari pintu masuknya”
Coa Wi-wi sudah mengetahui kalau disana ada jendela. Maka setelah mendengar bisikan itu dia
lantas mengangguk. “Tidak, jangan kau pergi dari sini. Lebih baik aku saja yang mencari pintu
masuknya, sedang kau bekerja disini. Bila aku sudah memberi tanda nanti, kau baru
membongkar tempat persembunyiannya”
Habis berkata dia lantas putar badan dan siap menelusuri tanah perbukitan tersebut.
“Eeeeh…. tunggu sebentar!” buru buru Hoa-In liong mencegah, “Menurut perglihatanku, orang
ini belum tentu berasal dari sekomplotan dengan para pengacau. Kalau tidak, kenapa ia berani
bercokol terus ditempai ini?”.
“Aaaai….! Belum tentu” bantah sinona, “Siapa tahu kalau mereka memang bernyali dan tak takut
mati….”
Belum habis ucapan tersebut, tiba-tiba terdengar suara teguran yang sangat merdu
berkumandang datang memecahkan kesunyian, “Terima kasih atas pujianmu. Aku berada disini,
kalian tak perlu menemukan pintu masuknya lagi”
Teguran tersebut munculnya sangat mendadak ini membuat Hoa In-liong jadi terperanjat.
Dengan cepat dia berpaling, maka tampaklah sesosok bayangan putih berdiri diatas lapangan
berumput di sebelah
Meskipun udara gelap dan cahaya bintang amat redup, namun dengan ketajaman mata yang
dimiliki
Tampaklah orang itu mengenakan baju warna putih, ditangannya memegang sebuah tongkat
berkepala sembilan. Wajahnya cantik bak bidadari dari kahyangan, tapi sikapnya dingin, kaku
dan menggidikkan hati.
Dia bukan lain adalah Bwee Su-yok, ketua baru dari Kiu-im kau.
oooOOOOooo
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
503
TIDAK tampak bagaimana caranya Coa Wi-wi menghimpun tenaga, tahu-tahu badannya segesit
turun lewat sudah melintasi kolam dan melayang turun kurang lebih satu tombak dihadapan
Bwee Su-yok.
Ketika ada dibukit Ciong-san tempo hari, gadis ini pernah bertemu dengan Bwee Su-yok,
meskipun tak pernah melangsungkan pembicaraan atau pun tegur sapa. Tapi setelah kejadian
seringkali ia mendengar tentang diri gadis itu baik dalam pembicaraannya dengan Hoa In-liong
maupun dengan kakaknya.
Meski demikian, dengan wataknya yang polos dan lincah, dara itu tak pernah menaruh kesan
jelek terhadap Bwee Su-yok, malah sebaliknya ia merasa simpatik dan kasihan.
Begitulah, sambil tertawa diapun menyapa, “Eeeh cici, apakah kau adalah enci Bwee?. Oooh….
Sungguh cantik nian wajahmu!”
Ketika Bwee Su-yok menyaksikan cara gadis itu melayang turun ke atas tanah, diam-diam
hatinya bergidik. Apalagi ketika gadis itu menerjang ke arahnya, disangkanya ia sedang diserang,
maka segenap kekuatan yang dimilikinya segera dihimpun untuk siap siaga menghadapi segeia
kemungkinan yang tak diinginkan.
Siapa tahu bukan serangan yang datang sebaliknya Coa Wi-wi malah mengajukan pertanyaan
dengan senyum dikulum. Memandang wajahnya yang cantik serta senyum yang polos. Untuk
sesaat Bwee Su-yok merasa agak sungkan untuk menghadapinya dengan sikap yang dingin.
Maka setelah tertegun sejenak, dengan sikap yang lebih lembut dia menyahut, “Akulah Bwee Suyok!”
Meskipun sikapnya telah lembut, tapi mukanya yang dingin masih jelas kentara.
Ini semua menyebabkan Coa Wi-wi kurang senang hati, pikirnya, “Waduh…. agaknya sok amat,
memangnya apa yang diandalkan? Hmmm! Sombongnya…. bukan kepalang!”.
Hoa In-liong kuatir rekannya jadi jengkel dan melancarkan serangan ketika menghadapi sikap
dingin dan sombong dari musuhnya, dengan cepat dia melayang turun disamping Coa Wi-wi, lalu
menjura. “Nona Bwee, atas keberhasilanmu menduduki jabatan sebagai seorang ketua, aku
harus mengucapkan selamat kepadamu!”
Dengan sombong Bwee Su-yok mendengus, bukan membalas hormat dia malahan berkata,
“Seharusnya untuk bersedih hatipun kau tak sempat!”
Hoa In-liong mengerti apa yang dimaksudkan, tapi ia pura pura tertegun seperti tak mengerti.
“Apa maksud nona Bwee berkata demikian?” tanyanya.
Bwee Su-yok menggerakkan bibirnya seperti akan mengatakan sesuatu, tapi tiba tiba ia batalkan
niatnya itu dan mendengus dingin. Kemudian melengos ke arah lain.
Dari mimik wajahnya orang akan tahu bahwa ia sedang iri atau cemburu karena menyaksikan
Hoa In-liong berdiri berjajar dengan Coa Wi-wi. Apalagi yang laki ganteng rupawan sedang yang
perempuan cantik jelita bak bidadari.
Dalam pikiran yang kalut ia jadi tak dapat membedakan apakah harus cemburu ataukah marah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
504
“Apa maksud nona Bwee dengan kata-katanya itu? Apakah aku boleh mengetahuinya?” desak
Hoa In-liong.
Bwee Su-yok berusaha mengendalikan perasaannya. “Apakah anak keturunan dari keluarga Hoa
adalah manusia-manusia yang tak tahu adat sopan santun?” dia menegur.
Perlu diterangkan, saat itu dia adalah seorang ketua dari suatu perkumpulan besar. Kedudukan
itu luar biasa sekali, tapi Hoa In-liong ternyata menyebut dirinya sebagai “nona Bwee”. Hal ini
benar-benar dirasakan olehnya sebagai suatu tindakan yang kurang sopan.
Tapi, pada hakekatnya Hoa In-liong memang sengaja berbuat demikian. Teguran dari Bwee Suyok
pun sudah ada dalam dugaannya semula, maka setelah mendengar perkataan itu dia
menjawab dengan nyaring, “Semua anak keturunan keluarga Hoa adalah orang orang yang tahu
akan sopan santun, kecuali aku….”
“Kenapa dengan kau?” desak Bwee Su-yok.
Coa Wi-wi mengerutkan dahinya, dia tarik ujung baju Hoa In-liong sambil berbisik. “Jiko, lagak
kaucu ini terlalu sekali, lebih….”
Tapi sebelum menyelesaikan kata-katanya Hoa In-liong telah memberi tanda kepadanya agar
mengikuti perubahan dengan tenang.
Sebenarnya gadis itu merasa tak senang karena Hoa In-liong bukannya menanyakan peristiwa
pembakaran pesanggrahan pertabiban setelah berjumpa dengan Bwee Su-yok, sebaliknya buang
waktu untuk persoalan yang tidak berarti, maka ia memperingatkan dirinya.
Tapi setelah Hoa In-liong memberi tanda, sebagai gadis yang cerdik dia lantas tahu kalau anak
muda itu mempunyai tujuan tersebut. Oleh sebab itulah ia benar-benar tutup mulut.
Setelah menghalangi Coa Wi-wi berbicara, Hoa ln-liong baru berkata lagi, “Aku? Oooh…. Aku
adalah seorang manusia yang tak usah dilukiskan suka mencari muka. Tengiknya banyak lagi
kebusukan yang tak usah dilukiskan satu demi satu”
Ternyata ia telah mengulangi kata-kata makian dari Bwee Su-yok sewaktu ada di bukit Ciongsan.
Tentu saja hal ini membuat Bwee Su-yok jadi
Tertegun. Dia tak tahu musti girang atau marah. “Sungguh tak nyana keluarga Hoa mempunyai
seorang keturunan semacam kau. Hmmm! Sudah sepantasnya kalau kekuasaannya berakhir
sampai disini saja” serunya.
Hoa In-liong tertawa berderai derai, pikirnya, “Sebelum mati, Yu Boh mengatakan ada
segerombolan manusia yang tak diketahui asal usulnya telah membakar pesanggrahan
pertabiban. Padahal jika perbuatan ini dilakukan oleh orang Kiu-im-kau, sekilas pandangan saja
siapa pun tahu. Perduli bagaimanapun jua jelas Bwee Su-yok tahu siapa yang telah melakukan
kesemuanya ini…. Hmmm! dan lagi, si budak ingusan itu sengaja berdian disini, hal itu pasti ada
sebabnya. Sekarang dia sudah merupakan seorang kaucu dari Kiu-im-kau jelas dia tak akan
datang hanya seorang diri. Tapi dimanakah anak buahnya?”
Pelbagai ingatan dengan cepatnya melintas dalam benak. Secara ringkas ia analisa semua situasi
yang ada didepan mata, kemudian terasalah olehnya bahwa titik terang pada diri Bwee Su-yok
tak boleh dilepaskan dengan begitu saja. Tapi jelas kalau persoalan tersebut ditanyakan secara
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
505
langsung, Bwee Su-yok tak akan menjawab sejujurnya. Sebab itu harus dicarikan sebuah akal
untuk menjebaknya.
Begitulah, selesai tertawa iapun berkata, “Nona Bwe, tidakkah kau rasakan bahwa sebutan nona
jauh lebih mesra kedengarannya daripada membahasai dirimu dengan sebutan kaucu….”
“Tutup mulutmu!” bentak Bwee Su-yok dengan mata mendelik.
Hoa In-liong benar-benar tutup mulut, malah di tatapnya wajah Bwee Su-yok sambil tertawa
cengar-cengirr, terutama lirikan matanya, seakan akan mengandung maksud tertentu.
Ditatap seperti ini, Bwee Su-yok merasa pipinya berubah jadi semu merah. Jantungnya berdebar
keras, cepat-cepat dia melengos ke arah lain.
Tapi secara tiba-tiba ia merasa tindakan tersebut terlampau menunjukkan kelemahan pribadi,
maka dengan sorot mata setajam sembilu dia balas menatap pemuda itu, malah sambil
mengetukkan tongkatnya ke tanah ia membentak keras, “Hoa In-liong, kau ingin mampus?”
“Mampus? Aaaah…. Itu kan kejadian biasa” ejek sang pemuda ewa.
Coa Wi-wi berkerut kening, diapun ikut berpikir, “Kurang ajar. Apa yang kau bicarakan
dengannya omongan yang tak berguna. Kalau begini caranya, mana bisa kau temukan kabar
tentang pembakaran ini?”
Berpikir demikian, cepat cepat dia menyela. “Siapa mampus siapa hidup lebih baik ditentukan
secara kekerasan saja, buat apa banyak bicara? Tapi sebelum itu, kau harus memberi
pertanggung jawaban lebih dulu tentang peristiwa yang menimpa keluarga yu”.
Bwee Su-yok tertawa dingin. “Heeh…. heeh…. heeh…. Jadi kau anggap aku yang melakukan
kesemuanya ini?”
“Sekalipun bukan kau yang melakukan, Kiu-im-kau….”
“Adik Wi, jangan sembarangan omong” tukas Hoa In-liong tiba-tiba. “Kiu-im-kau toh sebuah
perkumpulan nomor satu didunia, masa mereka sudi melakukan perbuatan membunuh dan
membakar macam tindak tanduk kaum pencoleng dan bandit?”
“Hmmm! mencari muka, kurang ajar, tengik. Benar-benar menggemaskan….!” teriak Bwee Suyok
dengan gemas.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu, maka kala-kata selanjutnya segera terhenti ditengah jalan.
Coa Wi-wi tak mau mengalah dengan begitu saja dia berseru pula dengan lantang, “Kalau aku
omong kosong, memangnya hanya kata-kata yang merupakan kata-kata sesungguhnya?”
Menyaksikan situasi sudah mulai panas Hoa In-liong berpikir dalam hatinya, “Adik Wi telah
membakar suasana dengan kata-katanya yang kaku, ini berarti tak mungkin begitu untuk
menyingkat duduknya perkara dengan cara memancing kata katanya”
Berpikir demikian dia lantas tersenyum. “Aku rasa nona Bwee pasti mengetahui dengan jelas
duduknya peristiwa” ia berkata lembut. “Dan akupun sangat berharap bisa mengetahui jejak dari
empek Yu suami istri. Maka bila kau bersedia memberi keterangan aku merasa berterima kasih
sekali”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
506
Selesai berkata kembali ia menjura dan memberi hormat nona cantik tersebut.
Bwee Su-yok sama sekali tidak tergerak hatinya oleh tindak tanduk anak muda itu, katanya,
“Kenapa kau musti berterima kasih kepadaku?
“Yaaa…. tolonglah beri penjelasan…. Membantu pasti mau kan?” Hoa In-liong menjura berulang
kali.
Ditinjau dari tampang serta tindak tanduknya seakan-akan ia sedang mengajak teman untuk
merundingkan sesuatu saja dan rasanya Ho Jiya dari keluarga Im Tiong-san saja yang mampu
melakukan hal tersebut.
Bwee Su-yok betul-betul dibuat kheki dan gemas, mau tertawa sungkan mau menangis tak bisa,
maka sesudah merenung sebentar gerutunya.
Cca Wi-wi tak dapat mengendalikan rasa gelinya lagi ia tertawa cekikikan. Apalagi setelah
menyaksikan Hoa In-liong yang kocak, rasa gelinya makin tak tertahan.
Tiba-tiba Bwee Su-yok bertanya, “Jadi…. kau sangat ingin mengetahui siapa yang membakar
pasanggrahan dari Kanglam Ji-gi (Tabib Sosial dari Kanglam)?”
Hoa In-liong merasa terkejut bercampur curiga. Bila Bwee Su-yok bersedia memberitahu
kepadanya dimanakah Kanglam Ji-gi terkurung, kejadian ini benar-benar merupakan suatu
peristiwa yang tak masuk diakal.
Meskipun curiga, ia menjawab juga, “Bila nona bersedia memberi petunjuk, tentu saja aku
merasa amat berterima kasih”
“Hmmm….! Tak ada gunanya ucapan terima kasih, aku minta suatu pembayaran yang setimpal”
kata Bwee Su-yok dengan nada ketus.
“Pembayaran apa?”
“Pembayaran itu tinggi nilainya, aku kuatir kau tak sanggup untuk membayarnya”
“Aku tak akan segan-segan membayar permintaan apapun yang kau harapkan”
Sedingin salju paras muka Bwee Su-yok, katanya kemudian dengan suara tajam, “Aku
menghendaki nyawamu, sanggupkah engkau untuk membayarnya?”
“Kentut busuk!” Coa Wi-wi tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, ia membentak nyaring,
“Kau sedang mengigau. Kau tak usah omong yang
tak genah….”
Bwee Su-yok sama sekali tidak memperdulikan dirinya. Ia malah menatap wajah Hoa In-liong
dengan pandangan dingin.
“Adik Wi, kenapa kau musti marah?” kata Hoa In-liong dengan suara hambar. “Sekalipun
permintaannya kelewat tinggi kita kan bisa menawar sesuai dengan uang pokok yang kita miliki.
Jika permintaannya belum cocok kita toh bisa merundingkannya secara pelan-pelan”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
507
“Tidak ada kesempatan untuk berunding” tukas Bwee Su-yok lagi dengan ketus, “Kalau mau
begitu, kalau tidak mau ya sudah!”
“Waaaah…. Kalau tidak jadi radaan susah….”
Hoa In-liong pura-pura mengernyitkan alis matanya, “Lantas selembar nyawaku ini musti
kupersembahkan dengan kedua belah tangan sendiri, ataukah nona yang akan mengambilnya
sendiri?”
“Pinginnya kusuruh kau persembahkan sendiri. Tapi kalau dilihat dari sifatmu yang takut
mampus, agaknya hal ini tak mungkin terjadi….”
Hoa In-liong tertawa ewa, ia sama sekali tidak gusar meskipun sudah diejek musuhnya.
Berbeda dengan Coa Wi-wi dia jadi naik pitam. “Kalau engkau tak takut mampus, kenapa tidak
kau serahkan dulu nyawamu itu kepadaku?” teriaknya.
Bwee Su-yok sama sekali tidak menggubris teriakan orang, kembali ujarnya dengan lantang,
“Tentunya engkau sudah tahu bukan dimana letaknya kantor cabang perkumpulan kami di kota
Kim-leng?”
“Oooh…. tentu saja tahu” Hoa In-liong tertawa, “Entah bagaimana dengan pohon kui yang telah
kugunakan untuk menggantung diri selama tiga hari itu? Masih seperti sedia kala atau telah
berubah?”
Bwee Su-yok adalah seorang gadis yang cerdik. Tentu saja dia tahu kalau pemuda itu sedang
menyindir kebodohan Kiu-im kaucu dimana sampai sampai pohon sebesar itupun berhasil
dirobohkan oleh Ko Thay dengan pukulannya.
Ia merasa sangat mendongkol, sebenarnya dia pun hendak menyindir Hoa In-liong dimana
pemuda itu pernah digantung selama tiga hari, tapi ketika dirasakan kemudian bahwa kejadian
itu kurang begitu menguntungkan nama baiknya, diapun membatalkan niatnya itu.
Setelah tertegun sejenak, dia lantas berkata, “Aku adalah seorang yang terhormat, tak sudi aku
berdebat dengan gelandangan macam kau….”
“Huuhh…. tak tahu malu” tukas Coa Wi-wi. “Kiu-im-kau sendiri juga sebuah perkumpulan kaum
sesat, apanya yang luar biasa?”
Mencorong sinar marah dari sepasang mata Bwee Su-yok, tapi ia masih juga tidak
memperdulikan ocehan gadis tersebut, katanya lantang, “Besok sore kunantikan kedatanganmu
diruang tengah. Jika kau ingin mengetahui berita tentang Kanglam Ji-gi, datanglah seorang
diri….”
Meski binal, Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang berotak cermat, sedikit kesempatan yang
ada, tak disia-siakan dengan begitu saja. Mendengar kata-kata itu cepat ia berseru, “Aku ingin
tahu lebih dulu, bila aku datang memenuhi janji, apakah nona Bwe juga segera memberi tahukan
jejak empek Yu suami istri kepadaku….”
“Bila kau ingin tahu, datang saja tepat pada waktunya” jawab Bwee Su-yok ketus, “Soal bicara
atau tidak, tergantung apakah besok hatiku sedang gembira atau tidak”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
508
Hoa In-liong tidak marah oleh kata-kata itu, dia malah berpikir, “Jika didengar dari ucapan
dayang tersebut tampaknya ia tidak berniat jujur dengan janjinya. Aku musti berhati-hati….”.
Maka sambil tertawa katanya, “Nona Bwee, aku rasa cara semacam ini tidaklah adil!”.
”Kalau merasa kurang adil janganlah datang. Tapi kalau sudah mau datang maka sekalipun harus
mampus juga musti rela. Aku sama sekali tidak I bermaksud memaksa dirimu”
Jawaban ini benar-benar membuat Hoa In-liong kehabisan akal dia jadi ngenes sendiri.
“Waaah…. Waaah…. Cara semacam ini namanya memaksa orang pandai amat caramu
berbicara!”
“Hmmm…. Asal kita tangkap budak busuk itu, masa dia tak mau bicara?” tiba-tiba Coa Wi-wi
berteriak marah.
Apa yang dikatakan kemudian dibuktikan. Dengan cepat, dengan telapak tangan kanannya ia
melepaskan sebuah pukulan tipuan kemudian dengan kedua jari tengahnya dan telunjuknya ia
melepaskan satu totokan maut yang dibarengi dengan gerakan tubuh yang menerkam ke muka.
Bwee Su-yok tak berani gegabah sekalipun yang terlihat olehnya hanya suatu ancaman yang
menyerupai suatu ilmu pukulan tapi bukan ilmu pukulan, ilmu totokan jari bukan ilmu totokan
jari.
Meski bergerak tanpa arah satu. Walaupun kelihatan seperti tak berkekuatan, tapi nyatanya
serangan itu sudah mengancam hampir seluruh tubuhnya terutama bagian dada dan lambung.
Jalan darah seperti Ing-cuang-hiat, Ki-bun-hiat Sin-hong-hiat, dan Hu-ciat-hiat sudah terkurung
semua dalam ancaman.
Ini semua membuat dara tersebut tercengang. “Jurus serangan apa ini?” demikian ia berpikir.
Sudah tentu ancaman yang datang tak dapat dibiarkan dengan begitu saja. Dengan jurus Kui-imcuang-
cuang (Cahaya Iblis Bergoncang- goncang) tongkat kepala setannya melancar sebuah
serangan balasan dengan sepenuh tenaga.
Sekejap mata, seluruh angkasa telah diliputi cahaya hitam yarg menyilaukan mata. Desingan
tajam mendesis di udara dan memekakkan telinga. Kesembilan buah kepala setan di ujung
tongkat seakan-akan berubah jadi sembilan buah setan hidup. Sambil unjukkan tarirg dan
cakarnya siap menerkam mangsa yang ada didepannya.
Bagaimanapun jua, Coa Wi-wi masih muda. Apalagi seorang gadis, terhadap ancaman yang tiba
ia masih tak terlalu dipikirkan dalam hati. Tapi bayangan setan diujung tongkat membuat dara itu
menjerit lengking karena ngerinya, cepat cepat dia kabur dan mundur ke belakang.
Dengan tindakan tersebut, sama artinya kalau ia kena didesak oleh serangan orang. Coa Wi-wi
kontan merasa kehilangan muka, pipinya yang putih berubah jadi semu merah.
“Bagus sekali” teriaknya dengan nada malu bercampur marah. “Permainan tongkatmu memang
cukup hebat dan anggap saja jurus Pian-tong-put-ki (Berusaha Tanda Pindah) ku tadi berhasil
kau terima. Nah! Sekarang coba rasakan sebuah seranganku lagi, akan kulihat apakah kau
mampu untuk menyambut jurus Ciu-liu-lak-si (Bergelombang dan berpusing memenuhi enam
kekosongan) ku ini”.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
509
Bwee Su-yok tahu, serangan yang bakal dilancarkan pasti suatu serangan geledek yang
mempunyai daya kekuatan luar biasa. Ia tak sempat mengejek lagi, tongkat saktinya cepat
diputar sedemikian rupa untnk melindungi keselamatan jiwanya.
“Adik Wi, tahan!” tiba-tiba Hoa In-liong berseru.
Sebenarnya Coa Wi-wi sudah melancarkan serangannya dengan telapak tangan kanan, dimana
jari tengahnya sudah dikeraskan bagaikan sebuah tombak.
Tapi setelah mendengar seruan tersebut, ia tarik kembali posisinya lalu berpaling dengan
keheranan:
Jilid 26
“ADA apa jiko?”
Hoa In-liong tersenyum, ia tidak menjawab pertanyaan tersebut, sebaliknya sambil memberi
hormat kepada Bwe Su-yok katanya, “Sampai waktunya aku pasti akan datang memenuhi janji,
silahkan Bwe kaucu berlalu lebih dulu”
Secara tiba-tiba ia merubah panggilannya dari “nona” jadi “kaucu, perubahan tersebut segera
disambut Bwee Su-yok dengan perasaan yang bergetar keras, ia merasa seolah-olah kehilangan
sesuatu hingga semangatnya secara terbang tinggalkan raga.
Untunglah perasaan semacam itu hanya berlangsung sebentar, pikiran yang bercabang dengan
cepat dapat disatukan kembali.
“Baik, akan kutunggu kedatanganmu!” katanya kemudian.
Dia lantas putar badan dan berpaling kearah Coa Wi-wi.
“Engkau adalah adiknya Coa Con-gi? Siapakah namamu?” tegurnya.
Sudah dua kali mereka saling berjumpa, tapi ke dua kalinya Coa Wi-wi berdandan sebagai pria
dengan nama samaran Cwan Wi, meski potongannya waktu itu perempuan bukan perempuan,
laki bukan laki, ketika bertemu kembali untuk ke tiga kalinya, ia segera mengenalinya kembali
dalam pandangan pertama.
Kendati begitu, ia tidak mengetahui nama Coa Wi-wi yang sebenarnya, dia hanya tahu namanya
menggunakan huruf “Wi”, sebab begitulah Hoa In-liong memanggil dirinya.
Coa Wi-wi tidak senang dengan sikapnya yang sombong, maka sahutnya pula dengan suara yang
ketus, “Aku bernama Coa Wi-wi, ingat baik-baik namaku itu!”
Bwe Su-yok tidak banyak bicara lagi dia pun lantas berlalu dari situ, tampaklah ujung gunanya
yang berwarna putih salju berkibar terhembus angin, sekilas pandangan seakan-akan lambat
padahal cepatnya bukan kepalang, sekejap mata kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap
dibalik puing-puing bangunan.
Sepeninggalnya gadis itu, Coi Wi-wi baru mengomel, “Jiko, kenapa kau bicarakan orang itu pergi
dari sini”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
510
Hoi In liong tertawa, apalagi gadis itu tampak lebih cantik dan mempesona hati dalam sikap
cemberutnya ini, ia semakin terlena oleh kecantikan si nona yang jarang dijumpainya itu.
Sambil membelai rambutnya yang hitam putus, berkatalah anak muda itu dengan lembut, “Bwe
Su-yok bukan anak kemarin sore, dia mempunyai perhitungan yang matang dalam setiap tindak
tanduknya, memang kau anggap dia berani kerkunjung kemari….”
“Aaah….omong kosong, kecuali dia, kita kan tak melihat sesosok bayangan manusiapun?” bantah
si nona.
Siapa tahu baru saja dia menyelesaikan kata-katanya, mendadak terdengar suara pekikan yang
amat nyaring menggema diudara, menyusul kemudian suara pekikan lain berkumandang saling
bersahutan, suara itu ada yang nyaring ada pula yang rendah dan berat, tapi yang pasti semua
pekikan tersebut disertai pencaran tenaga dalam yang sempurna, jelas suara-suara itu berusal
dari sekawanan jago silat yang amat tangguh.
“Bagaimana….?” goda Hoa In-liong tertawa.
Merah padam wajah Coa-Wi-wi karena jengah.
“Tidak aneh….” sahutnya tak mau kalah, “aku rasa Kiu im-kaucu juga hanya begitu-begitu saja,
sekalipun semua anak buahnya di bawa serta aku juga tidak takut, paling-paling kuhajar mereka
semua sampai kocar kacir….”
“Jangan takebur! Ketahuilah, semua jago yang tergabung dalam perkumpulan Kiu-im-kauw
memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, Bwee Su-yok sendiri merupakan seorang musuh
yang kosen, apabila mereka sampai maju bersama, bagi kita soal mundur memang bukan
persoalan, tapi kalau ingin cari keuntungan dari pertarungan itu….waah, sulit! Sulit! Benar-benar
amat sulit, makanya…. adik Wi tak boleh memandang enteng pihak mereka”
Padahal alasan yang dikemukannya itu hanya merupakan alasan nomor dua, yang terpenting
baginya adalah lantaran penyakit sayangnya terhadap gadis she Bwe itu.
Ia tahu sebagai seorang kaucu dari suatu perkumpulan besar, apalagi dengan wataknya yang
congkat dan tinggi hati, seandainya Bwee Su-yok sampai cedera atau dikalahkan oleh Coa Wi-wi,
sembilan puluh persen dalam jengkelnya gadis itu pasti akan bunuh diri.
Bila gadis itu sampai nekad mengambil keputusan pendek, berarti juga berita tentang Kanglam jigi
akan hilang dengan begitu saja.
Karena itu ia merasa lebih baik kalau peristiwa yang tak diinginkan itu jauh sebelumnya dicegah
lebih dulu.
Sudah tentu rahasia hatinya ini tak sampai di katakan kepada Coa Wi-wi, sebab bagaimanapun
juga hati perempuan memang paling sukar diduga dalamnya.
Meski begitu, Coa Wi-wi bukan orang bodoh, dengan perasaan halusnya sebagai seorang gadis,
secara lapat-lapat ia merasakan sesuatu, biji matanya lantas berputar.
“Jiko!” katanya kemudian, “sejak tadi kau main mata dan saling mengerling dengan Bwee Suyok….
“Huuuuss….! Ngaco belo, siapa yang bilang aku main mata?” bentak Hoa In-liong sambil tertawa.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
511
“Lantas kalau kau menatap dia dan dia menatapmu, jika bukan main mata lalu apa namanya?”
kata Coa Wi-wi dengan nada bersungguh-sungguh.
Hoa In-liong tertawa geli,
“Masa begitu saja disebut main mata? Kamu ini sianak kecil, tidak tahu urusan juga berani
ngomong sembarangan”
“Anak kecil? Huuhh….memangnya kau sendiri yang sudah dewasa?” Coa Wi-wi mencibirkan
bibirnya.
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dia lantas alihkan pembicaraan kesoal lain, katanya, “Adik
Wi, ilmu pukulan apa yang barusan kau gunakan? Jurus Ciu-liu luk si yang kau pakai tadi mirip
dengan Ci yu jit ciat (Tujuh Kupasan dari Cu-yu) bagian kedua, boleh kan beri tahu kepadaku?”
“Kenapa tidak boleh? Jujur kedua yang baru kupakai adalah Su siu hua heng ciang (Ilmu pukulan
empat gajah berubah bentuk) gerakan kedua dan ketujuh, ilmu pukulan tersebut merupakan inti
sari dari himpunan seluruh jurus pukulan terbagus dari dunia persilatan yang dihimpun Im cousu
kami, puluhan tahun beliau harus bersusah payah memeras keringat sebelum berhasil
menciptakan ilmu pukulan tersebut, disamping tenaga sim hoat Bu kek teng heng. Jiko! Kalau
pingin belajar, nanti kuajarkan ilmu kepandaian tersebut kepadamu”
“Itu kan ilmu rahasia dari keluargamu, mana boleh diwariskan kepada orang lain?” ujar Hoa Inliong
dengan wajah serius.
Coa Wi-wi gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tidak apa-apa! Toh Kongkong ku telah wariskan ilmu Bu kek teng heng sim hoat kepada jiko, itu
berarti beliau ada hasrat untuk waris kan kepandaian silatnya kepada jiko, maka seandainya
kuwariskan pula ilmu Su siu hua heng ciang kepadamu, tidak berarti kuwariskan kepandaian
keluargaku secara pribadi. Apalagi Cousu pernah berpe san, bila bertemu dengan seseorang yang
cocok dengan karakter kita, atau seseorang yang telah memiliki kepandaian tinggi, boleh saja
orang itu diterima menjadi murid perguruan kami, ataupun mendapat warisan ilmu silat aliran
kami tanpa harus menjadi anggota perguruan kami”
Tertarik juga Hoa In-liong oleh perkataan tersebut tapi ia tak sudi menerima pelajar silat dari Coa
Wi-wi, maka setelah merenung sebentar berkatalah dia
“Urusan tersebut lebih baik bicarakan nanti saja, sekarang yang penting adalah memeriksa dulu
ruang batu dimana cahaya terang itu berasal….”
Selesai berkata ia lantas melayang ke udara, menyeberargi permukaan air dan balik keatas bukit
dimana jendela kayu itu ditemukan.
Coa Wi-wi Segera menyusul dari belakang.
“Aku rasa sudah tak ada waktu lagi sekarang, kata pemuda itu kemudian sambil berpaling.
Tiba-tiba ditemuinya Coa Wi-wi berjalan dengan kepala tertunduk, mukanya aras-arasan dan
tidak bersemangat, jelas gadis itu lagi ngambek dan tak senang hati.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
512
Menyaksikan sikapnya itu, pemuda kita jadi tercengang, diapun menegur dengan lembut,
“Kenapa kau? Lagi ngambek lantaran perkataan ku barusan? Jangan sok serius aah….”
“Jii….! jiko….” bisik Coa Wi-wi sambil menarik wajah, suaranya agak tersendat.
“Kenapa adik Wi?” jawab Hoa In-liong lembut, “jika kurang puas terhadap jikomu, katakanlah
terus terang!”
“Bukan, bukannya tidak puas!” Kata Coa Wi-wi sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
“Aneh benar….!” pikir Hoa In-liong dalam hati, tapi diluaran cepat ia bertanya, “Lantas karena
apa?”
Coa Wi-wi berpikir sebentar, kemudinn sahutnya, “Jiko, tahukah kau tentang kisah kehidupan Im
cousu-ku dimasa yang lalu?”
Secara tiba-tiba gadis itu membawa pokok pembicaraan ke soal yang tiada sangkut pautnya
dengan kejadian didepan mata, Hoa In-liong jadi tertegun dibuatnya.
“Aku kurang begitu tahu” sahutnya.
Coa Wi-wi tarik napas panjang, lalu katanya, “Ketika Im cousu terjun ke dunia persilatan untuk
pertama kalinya dulu, ilmu silat yang dimilikinya amat rendah, bahkan ilmu silat kelas tiga pun
tidak dikuasahi olehnya, beliau dapat mempela jari tenaga dalam pun karena secara kebetulan
berhasil mempela-jarinya dari sari kepandaian Lo ho sim hoat, jurus pukulan yang dimilikinya
boleh dibilang adalah ajaran dari Coa bo semua, kendatipun demikian toh kejadian ini tak sampai
mempengaruhi kebesaran namanya sebagai Bu seng (Rasul Silat)….”
Kiranya ketika Bu-seng terjun kedalam dunia persilatan untuk pertama kalinya dulu, dia hanya
bisa serangkaian ilmu pukulan Kay-sim ciang(pukulan pembuka hati) belaka, ilmu pukulan
tersebut begitu umumnya sehingga seorang jagoan kelas satupun tak mampu ia kalahkan.
Kemudian, oleh tay hujinnya (Istri Pertama) Ko Cing ia diberi pelajaran pelbagai ilmu pukulan
yang sangat lihay, tak sampai setahun kemudian, Bu seng benar-benar sudah menjadi seorang
manusia yang amat tangguh….
Ketika dara tersebut menyinggung kembali kejadian, dengan cepat Hoa In-liong dapat
memahami maksud katinya, timbullah rasa kasihan dalam hati kecilnya setelah menyaksikan
kesengsaraannya si nona hanya dikarenakan dirinya menolak untuk menerima ajaran ilmu silat
dirinya.
Memang raut wajahnya yang cantik jelita, untuk sesaat anak muda itu lupa untuk buka suara.
Sementara itu Coi Wi wi telah berkata kembali, “Aku rasa untuk berhasil mencapai sukses dalam
masalah yang besar, orang tak perlu merisaukan hal-hal yang kecil, jiko! Kau….”
Ucapannya kembali terputus ditengah jalan, sedang biji matanya yang jeli menatap wajah anak
muda itu tanpa berkedip.
Walaupun perkataan itu amat sederhana dan umum, tapi terutama kata-kata yang menyatakan
bahwa untuk mencapai sukses dasar masalah besar yang orang tak perlu merisaukan hal-hal
yang kecil, ibaratnya suatu gelombang dahsyat dengan cepatnya menerjang masuk ke lubuk hati
anak muda itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
513
“Yaa, benar juga perkataan itu”, teriaknya dalam hati, “untuk berhasil dalam suatu masalah, aku
tak perlu merisaukan hal-hal yang kecil, bila kabut iblis telah bermunculan dari mana-mana,
suatu badai pembunuhan sudah mengancam seluruh dunia persilatan, inilah saatnya bagiku
untuk memperkuat diri, jika hal-hal yang kecilpun ikut kurisaukan, bukankah masalah besar akan
terbengkalai dengan begitu saja….?”
Harus diketahui, meskipun pemuda ini suka bermain cinta ditempat luar, diam-diam ia
menaburkan benih cinta dan gerak geriknya mirip seorang laki-laki hidung bangor, pada
hakekatnya setiap waktu setiap saat ia selalu memikirkan bagaimana caranya untuk meneruskan
cita-cita ayahnya, membasmi hawa jahat serta menegakkan keadilan serta kebenaran dalam
muka bumi.
Dan kini hawa iblis sudah muncul dari mana-mana, dalam pandangannya inilah kesempatan yang
terbaik baginya untuk mewujudkan cita-citanya itu meski sebagai anak muda ia gemar urusan,
tapi sifat gagah sifat jantan dan bijaksana dari keluarga Hoa tetap mengalir dalam tubuhnya,
membangun dunia yang aman damai adalah cita-cita luhur yang sebenarnya dari pemuda
tersebut.
Begitulah, meskipun dalam hati kecilnya timbul suatu gelombang yang amat besar, tapi ia
berusaha untuk mengendalikan pergolakan itu.
Dalam pada itu, disangkanya ia menolak penawarannya, lama sekali anak muda itu tak berkatakata,
disangkanya ia menolak penawarannya, tak tertahan lagi air mata jatuh bercucuran
membasahi pipinya.
“Saa….salahkah perkataanku?” bisiknya lirih.
“Adik Wi, hubungan kita bagaikan terhadap saudara sekeluarga, memangnya aku musti
mengucapkan terima kasih dulu kepadamu?” ujar Hoa In-liong sambil merangkul pinggangnya
yang ramping.
Setelah mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi baru tertawa gembira.
“Oooh….jiko….!” serunya.
Meskipun wajahnya berseri, butiran air mata masih mengembang dalam kelopak matanya,
ibaratnya sekuntum bunga yang basah oleh air hujan, kecantikan dari itu sukar dilukiskan
dengan kata-kata.
Semakin dilihat Hoa In-liong merasa makin tertarik, akhirnya ia tak dapat mengendalikan
perasaannya lagi, dipeluknya dara itu erat-erat, diciumnya butiran air mata yang membasahi
pipinya lalu dikecupnya bibir yang mungil itu dengan penuh kemesraan.
Sekujur badan Coa Wi-wi tergetar keras, ia mendesis lirih lalu jatuhkan diri kedalam rangkulan
Hoa In-liong dan bersandar didadanya yang dingin.
Sekalipun ia belum tahu akan hubungan antara laki dan perempuan, toh usianya tahun ini sudah
mencapai tujuh belasan, ibaratnya sekuntum bunga yang mekar, ia telah siap dihisap madunya
oleh kumbang-kumbang yang beterbangan di sekelilingnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
514
Maka, dikala bibirnya dikecup dengan mesra, untuk sesaat anak dara itu merasakan suatu
perasaan aneh yang belum pernah dirasakan sebelumnya, bagaikan kena aliran listrik
bertegangan tinggi ia merintih lirih lalu mendekap anak muda itu lebih kencang.
Harus diterangkan disini, walaupun sebelumnya antara mereka berdua telah berlangsung suatu
perselisihan, namun keadaan waktu itu jauh berbeda dengan perselisihan-perselisihan yang pada
umumnya terjadi, sebab itu Coa Wi-wi sama sekali tidak merasakan sesuatu ganjalan.
Sebelum itu, sekalipun dihati kecil sang dara hanya terhadap Hoa In-liong seorang, gambaran
tersebut masih terlalu samar baginya, tapi sekarang gambaran itu sudah semakin nyata, secara
otomatis pula perasaan cinta antara muda mudi ikut berkembang dihatinya.
Lama…. lama sekali, dua orang itu akhirnya sadar dari impian indah, Hoa In-liong angkat
mukanya lebih dulu dan berbisik lembut, “Adik Wi!”
Coa Wi-wi masih membenamkan kepalanya dalam pelukan pemuda itu, mukanya merah dadu
karena jengah, ia hanya mendesis lirih kemudian membungkam terus dalam seribu bahasa.
Menyaksikan kesemuanya itu, Hoa In-liong lantas berpikir, “Adik Wi baru mekar dan masih malumalu,
aku tak boleh membuat dia lebih jengah lagi….”
Berpendapat demikian, iapun berbisik disisi telinga Coa Wi-wi dengan suara lirih, “Tunggulah
sebentar disini adik Wi, lihatlah bagaimana caraku menangkap pencoleng!”
Setelah melepaskan rangkulannya atas gadis itu dia berseru nyaring, “Sobat, sabar amat engkau,
setelah bersembunyi sekian lama, sekarang tiba waktunya bagimu untuk menampakkan diri!”
Sembari berseru, telapak telapak tangannya segera diayun ke muka melepaskan sebuah pukulan
dahsyat yang menghancurkan jendela kayu itu.
Hancuran kayu berhamburan kemana mana, dibawah sorotan cahaya lampu tiba-tiba muncul
sekilas rentetan tajam, menyusul kemudian tampaklah sebilah pedang langsung membacok
kearah pergelangan tangan kanannya….
Kiranya orang yang bersembunyi baik untuk melancarkan mengetahui akan kelihayan Hoa Inliong
maka dia lantas menutup semua pernapasannya sambil menunggu ada kesempatan baik
untuk melancarkan sergapan.
Siapa tahu tunggu punya tunggu Hoa In-liong tidak masuk juga kedalam ruangan, pernapasan
yang ditutup jadi sesak rasanya, hingga akhirnya tak bisa ditahan lagi ia bernapas berat.
Hoa In-liong bukan seorang jago sembarangan, dengan ketajaman pendengarannya serta
hembusan napas berat itu dapat terdengar olehnya dengan nyata.
Kini, menghadapi serangan maut dari musuhnya ia lantas mendengus dingin, tangan kanannya
dengan menggunakan ilmu Menyerang sampai ma ti bagian pertama secepat kilat melepaskan
sebuah totokan maut ke arah urat nadi pada pergelangan musuh.
Orang itu menjerit kesakitan termakan oleh totokan tersebut pedangnya terlepas dari cekalan
dan terjatuh ke tanah.
Hoa In-liong tidak ragu-ragu lagi, begitu senjata musuh berhasil dirontokkan, ia lantas bergerak
ke muka dan menerobos masuk melalui jendela itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
515
Coa Wi-wi agak tertegun sebentar, kemudian dengan perasaan malu bercampur mendongkol dia
ikut menerobos masuk ke dalam ruangan.
Padahal, berbicara dari kesempurnaan tenaga dalam yang dimilikinya, seharusnya ia sudah
mengetahui akan kehadiran seseorang disana semenjak tadi, tapi lantaran pertama
pengalamannya kurang banyak, kedua segenap perhatian dan perasaannya tertuju pada Hoa Inliong
seorang, otomatis urusan lain terkesampingkan olehnya dan sama sekali tidak peroleh
perhatian apa-apa.
Tapi sekarang setelah mengetahui bahwa ada orang mengacau kemesraan mereka, dari rasa
malunya gadis itu jadi marah, hawa napsu membunuh yang belum pernah terlintas dalam
benaknya segera menyelimuti seluruh wajahnya yang cantik.
Ruang batu itu luasnya cuma dua kaki, dalam ruanganpun hanya terdapat sebuah pembaringan,
sebuah meja, tiga empat buah kursi, sebuah lampu lentera diatas meja dan tiada benda lainnya
lagi.
Orang yang barusan melancarkan serangan adalah seorang laki-laki kekar berbaju ungu, cukup
dalam sekilas pandangan saja Hoa In-liong segera mengenali kembali orang itu sebagai salah
seorang diantara delapan lelaki kekar yang muncul bersama Ciu-Hoa di ruang peti mati keluarga
Suma Tiang-cing.
Lengan kanan laki-laki itu terkulai lemas kebawah, mukanya diliputi rasa takut, ngeri yang luar
biasa, matanya celingukan kesana kemari, tampaknya ia bermaksud kabur dari situ.
Diam-diam Hoa In-liong mendengus dingin, namun diluaran sambil tersenyum sapanya,
“Sahabat, agaknya kita pernah berjumpa muka bukan? Siapa namamu?”
Laki-laki berbaju ungu itu agak tertegun, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia
putar badan dan kabur lewat pintu ruangan.
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dengan suatu gerakan yang cepat ia menghadang
dihadapannya, lalu mengejek lagi, “Sobat, masa sebelum mengucapkan sepatah katapun kau
sudah ingin kabur dari sini? Oooh…. atau mungkin kau merasa bahwa Hoa loji ti dak pantas
bersahabat denganmu?”
“Enyah kau bangsat dari sini!” teriak laki-laki berbaju ungu itu kaget bercampur marah.
Telapak tangan kanannya dengan membawa desiran angin tajam melepaskan sebuah pukulan
kencang kedada Hoa In-liong.
Coa Wi-wi mendengus dingin, jari tangannya setengah tombak disodok kemuka, dengan
kepandaian silatnya yang sangat lihay tentu saja laki-laki berbaju ungu itu tak sanggup
menghindarkan diri….
Diiringi dengusan tertahan, jalan darah Ping hong hiat di tubuhnya terkena totokan, tak ampun
badannya segera roboh terjungkal.
Melihat itu Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh…. sobat, itulah yang dinamakan arak kehormatan kau tolak
arak hukuman kau raih, siapa suruh mencari penyakit buat diri sendiri?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
516
Laki-laki berbaju ungu itu menggertak gigi sambil melotot gusar, ia membungkam dalam seribu
bahasa.
“Jiko, aku rasa sebelum digunakan siksaan dia tak akan buka suara….” seru Coa Wi-wi lagi
Hoa In-liong cukup memahami perasaan si gadis tersebut, ia tahu Coa Wi-wi lagi tak senang hati
berhubung kemesraan mereka diketahui orang tapi diapun tak ingin sampai gadis itu ternoda
oleh kejadian itu sehingga kelembutan dan kemuliaannya sebagai seorang dara tersinggung.
Maka sambil tersenyum ujarnya, “Adik Wi, bagaimana kalau urusan ini kuselesaikan, hati kecilnya
mengatakan segan toh ia mundur juga selangkah.
Setelah gadis itu mundur, Hoa In-liong baru berpaling lagi dengan muka lebih serius.
“Sobat, engkau berasal dari marga mana?”
“Tan” sahut laki-laki itu ketus, agaknya ia tahu bahwa tiada harapan lagi untuk melarikan diri
maka pertanyaan yang diajukan kepadanya harus dijawab.
“Lantas siapakah namamu?” tanya pemuda itu lagi dengan raut wajah yang jauh lebih lembut.
“Beng-tat!”
“Tan Beng-tat, ehmm…. sebuah nama yang bagus, lalu apa kedudukan saudara Tan didalam
perkumpulan Hian-beng-kauw?”
“Maaf, hal ini tak dapat dijawab”
Hoa In-liong tidak menjadi gusar oleh jawaban tersebut, dia malah tersenyum.
“Jadi kalau begitu, orang-orang dari perkumpulan kalianlah yang sudah membakar pesanggrahan
pertabiban ini?”
Tan Beng-tat termenung sebentar, kemudian baru menjawab dengan nada dingin.
“Yaa, benar!”
Mendengar pengakuan tersebut, Coa Wi-wi tak dapat mengendalikan amarahnya lagi, ia
berteriak keras, “Dendam sakit hati apakah yang telah terjalin antara empek Yu dengan kamu
semua? Mengapa kalian berbuat sekeji ini terhadap mere ka semua? Sebenarnya kalian masih
memiliki sifat kemanusiaan atau tidak?”
Dengan sinar mata yang jelalatan Tan Beng-tat melotot kearah gadis itu, bibirnya sudah bergetar
seperti mau melontarkan caci makinya, tapi ketika ditemuinya Coa Wi-wi tampak cantik jelita bak
bidadari dari kahyangan kendatipun berada dalam keadaan gusar, kontan saja ia terbungkam
dan tak mampu melanjutkan kata-kata makiannya, Hoa In-liong sendiri sebetulnya juga marah
sekali setelah mendengar ucapan tadi, namun dia masih sanggup mengendalikan perasaannya,
“Lantas empek Yu kami itu kini berada dimana?” tanyanya lebih jauh, “apakah saudara Tao
bersedia memberi tahukan kepada kami?”
“Aku tidak tahu!” sahut Tan Beng-tat dengan suara yang dingin, kaku dan tak sedap didengar.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
517
Hoa In-liong tersenyum,
“Saudara Tan, rupanya kau sudah menganggap aku Hoa Yang terlampau pelit sehingga tiada
sayur mayur dari hidangan lezat untuk menjamu dirimu, maka engkaupun segan memberi
petunjuk kepadaku?”
Tan Beng tai terkesiap, dia bukan orang goblok tentu saja maksud yang sebenarnya dari ucapan
tersebut diketahui juga olehnya, segera pikirnya di hati, “Bajingan, keparat ini jelas adalah
seorang Siau bin hau (harimau bermuka tertawa), entah siksaan kejam apakah yang hendak ia
limpahkan terhadapku?”
Ia jadi nekad, segera teriaknya dengan suara melengking, “Bocah keparat dari keluarga Hoa, kau
mempunyai permainan busuk apa saja? hayo keluarkan semua dan silahkan dihadiahkan kepada
toaya mu, jika toaya mu sampai berkerut kening, anggap saja bahwa aku bukan seorang laki-laki
sejati”
Coa Wi-wi semakin gusar lagi sehabis mendengar kata-kata musuhnya yang tak senonoh, ia
segera membentak keras, “Bangsat, rupanya sebelum diberi siksaan mulutmu tetap kotor, bagus,
tidak ada susahnya kalau kau memang ingin mencicipi bagaimana rasanya kelihaiyanku”
Berbicara sampai disitu, tangannya yang putih mulus lantas di ayun kebawah siap melancarkan
serangan.
“Eeeh….tunggu sebentar adik Wi!” buru-buru Hoa In-liong mengghalangi perbuatannya.
Kemudian dengan wajah serius dia berseru, “Hayo jawab, siapa-siapa saja yang terlibat dalam
peristiwa pembakaran terhadap pesanggrahan pertabiban ini!”
“Kau ingin tahu?” ejek Tan Beng-tat dengan wajab licik.
“Sambil menyeringai seram berkatalah Tan Beng-tat, “Mereka adalah Jin Hian, Thian Ik cu, Kiuim-
kauwcu selain tentu saja yayamu sendiri puas bukan?”
Hoa In-liong betul-betul amat gusar menghadapi perlakuan seperti ini,pikirannya, “Bajingan ini
terlalu keras kepala dan sombong agaknya jika tidak diberi sedikit pelajaran yang setimpal, dia
tak mau mengakuinya secara berterus terang….”
Berpikir demikian diapun tertawa tergelak.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaah….puas. puas, aku merasa puas sekali….!”
Secara beruntun tangan kanannya melancarkan beberapa totokan keatas jalan darah ditubuh
Tan Beng-tat.
Termakan oleh beberapa totokan tersebut, seketika itu juga Tan Beng-tat merasakan sekujur
badannya linu dan gatal, seakan-akan ada semut yang beribu-ribu banyaknya berjalan didalam
tubuhnya.
Mula-mula ia masih bertahan sambil menggigit bibir, tapi akhirnya ia merasa sekujur badannya
seperti digigit oleh berjuta-juta ekor semut, sakitnya masih bisa ditahan tapi rasa gatalnya,
benar-benar sudah merasuk sampai ke dalam, bukan hatinya saja yang gatal bahkan semua isi
perutnya ikut menjadi gatal.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
518
Sedemikian menderitanya rasa gatal itu, kalau bisa dia ingin mengorek keluar semua isi perutnya
agar rasa gatal itu berkurang, bayangkan sendiri sampai ke tingkat yang bagaimanakah
penderitaan tersebut?
Padahal ketika itu jalan darahnya tertotok, jangankan merangkak bangun, untuk bergerakpun tak
mampu, bisa dimengerti kalau laki-laki itu akhirnya tak tahan juga.
“Anak jadah she Hoa…. anak anjing budukan, laki perempuan bangka…. kalau punya kepandaian
ayoh bunuh aku kalau berani….!” makinya kalang kabut.
Apa yang diharapkan pada keadaan seperti ini hanyalah satu yakni kematian, untuk mewujudkan
keinginannya itu maka terlontarlah segala macam kata-kata makian yang paling kotorpun.
Hoa In-liong tidak menjadi marah karena itu, malah ejeknya, “Ayoh makilah, maki terus sampai
tua, haahh…. haahh…. haahh…. semakin banyak kata-kata kotormu, semakin lama pula
penderitaan yang akan kau rasakan”
Melihat makiannya tidak mendatangkan hasil, Tan Beng-tat segera berganti taktik, ia mulai
merengek-rengek, “Hoa Yang, berbuatlah sedikit kejadian, bunuhlah aku dengan sekali bacokan,
kalian keluarga Hoa….”
Berbicara sampai disini, kembali ia tak dapat mengendalikan rasa sakitnya hingga merintih ngeri.
“Diam-diam Hoa liong mengerutkan dahinya dan berpikir, “Entah siapakah Hian-beng Kaucu ini?
Betapa ketatnya peraturan perkumpulan mereka, sampai-sampai dalam keadaan demikianpun
Tan Beng-tat tak berani membocorkan rahasia perkumpulannya….”
Coa Wi-wi Juga merasa tak tega melihat keadaan tersebut, terutama setelah jalan darah Pinghong-
hiat ditubuh Tan Beng-tat tertotok, sekalipun badannya tak mampu bergerak, tapi seluruh
kulit wajahnya mengejang keras dan rintihannya semakin mengenaskan.
Sebagai seseorang yang berhati mulia, akhirnya toh gadis itu merasa tak tega, katanya
kemudian, “Jiko, aku pikir….”
Tapi dengan cepat ia membungkam kembali”.
Hoa In-liong berpaling sekejap kearahnya, ketika dilihatnya bibir gadis itu bergetar seperti
hendak mengucapkan sesuatu tapi niat itu kemudian dibatalkan, bahkan Wajahnya menunjukkan
rasa tak tega, dia lantas tahu bahwa gadis itu sedang memintakan ampun bagi Tan Beng-tat.
Namun un cukup merasakan betapa pentingnya masalah tersebut, bagaimanapun jua tak
mungkin korban tadi dilepaskan dengan demikian saja.
Akhirnya setelah mempertimbangkan beberapa saat, dia menghela napas, secara beruntun
ditepuknya beberapa buahjalan darah ditubuh orang itu hingga siksaan “digigit berjuta-juta ekor
semut” pun ikut lenyap dengan sendirinya.
“Tan Beng at!” bentaknya kemudian, “empek Yu ku itu masih hidup atau sudah mati?”
Teringat berapa tersiksanya digigit semut, setelah sangsi sejenak Ta Beng at menyahut juga,
“Masih hidup!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
519
“eandainya aku bertanya dimanakah empek Yu berada, ku yakin kau tak berani mengatakannya,
bahkan belum tentu mengetahuinya, maka aku hanya ingin bertanya kepadamu, ada utusan apa
kau seorang diri datang kemari….?”
Tan Beng at kelihatan seperti tertegun.
“Darimana kau bisa tahu kalau aku datang kemari seorang diri?” ia balik bertanya.
Hoa In ng tidak langsung menjawah diam-diam ia membatin, “Orang ini keras diluar lunak
didalam, jelas kedatangannya kemari mempunyai tugas tertentu, akan kulihat apa yang dia
lakukan disini?”
Sambil menengadah ia pun tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh…. baiklah akupun tak akan menanyakan kepada kau datang
kemari, tapi dimanakah Ciu kongcu mereka berada tentunya kau tahu bukan?”
Tan Beng-tat tidak menduga kalau secara tiba-tiba musuhnya bersikap selembut itu, ia benarbenar
merasa kaget bercampur curiga selang sejenak kemudian dia baru menyahut, “Pokoknya
ada dikota Kim-leng, Hoa jiya kan orang yang hebat dan punya kemampuan luar biasa kenapa
tidak berusaha mencari sendiri?”
“Beritahu kepadaku akan kuperkenankan kau berlalu dari sini! ujar Hoa In-liong lagi dengan
wajah serius.
Janji tersebut benar-benar ada diluar dugaan Tan Beng-tat, dia melongo.
“Bagaimana caranya aku bisa mempercayai dirimu?” serunya kemudian dengan nada sangsi.
“Dengan dasar nama baik keluarga Hoa kami, memangnya aku akan membohongi dirimu?” seru
pemuda itu lagi dengan wajah makin serius.
Yaa, memang! Pada hakekatnya keluarga Hoa semenjak dari kakek Hoa In-liong yang bernama
Hoa goan siu sudah merupakan tonggak atau tulang punggung bagi kaum pendekar dari
golongan putih, setiap perkataan yang mereka ucapkan mau pun setiap tindakan yang mereka
lakukan secara otomatis merupakan tindakan resmi dari seluruh umat persilatan golongan putih
yang didunia ini, hingga serta-merta pihak lawan pun hampir semuanya mempercayai apa yang
dikatakan orang-orang keluarga Hoa.
Tan Beng-tat agak sangsi sebentar, kemudian tanyanya, “Bila kukatakan tapi engkau tidak
percaya, apa pula yang musti kulakukan?”
“Asal kau bersedia mengatakannya, benar atau tidaknya aku Hoa loji dapat menentukan sendiri,
tak perlu kau musti repot-repot meresahkannya bagiku!”
Berkilat sepasang mata Tan Beng-tat sehabis mendengar perkataan itu, ia bertanya lagi, “Jadi
aku diperbolehkan pergi dari sini tanpa kekurangan sesuatu bendapun diri semua yang kubawa?”
“Goblok, “pikir Hoa Tn liong dengan gelinya, “dengan perkataanmu itu, bukankah sama halnya
dengan kau beritahukan rahasiamu kepadaku?”
Ia menengok kearah Coa Wi-wi, kebetulan gadis itu lagi memandang kearahnya, merekapun
saling berpandangan sambil tertawa.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
520
“Jiko!” bisik Coa Wi-wi kemudian dengan ilmu menyampaikan suaranya, “perlukah kita geledah
dulu isi sakunya?”
“Tidak usah!” jawab Hoa In-liong dengan ilmu menyampaikan suara juga, “aku mempunyai
perhitungan sendiri”
Dsngan wajah serius ia menyahut, “Boleh saja permintaanmu itu, Nah, katakanlah!”
Tan Beng-tat termenung sebentar, lalu menjawab, “Mereka berada di istana Tiau thin-kiong,
percaya atau tidak terserah padamu”
“Omong kosong, kau sedang membohong “Coa Wi-wi segera membentak nyaring, “istana Tiau
thian kioag adalah tempat umum yang dapat dikunjungi setiap orang, masa mereka bersembunyi
disana?”
Tan Beng-tat kuatir Hoa In-liong turun tangan menyiksa dirinya lagi, cepat-cepat ia berseru,
“Kami masuk dengan memanjat dinding pekarangan, istana itu luas sekali, disanapun merupakan
tempat yang bisa dipakai untuk bersembunyi, lagipula jarang ada orang yang masuk sampai
tengah istana, sudah tentu jejak kami sulit diketahui orang”
“Setelah berhenti sebentar, ia berkata lagi, “Semua jago tangguh dari perkumpulan kami telah
tiba semua disini, aku rasa tiada keharusan bagiku untuk mengelabuhi kalian semua”
Tapi setelah perkataan itu meluncur keluar, ia merasa sangat menyesal, untuk dibatalkan kembali
jelas tak mungkin, maka diapun membungkam dalam seribu basa.
Hoa In-liong termenung sejenak, lalu berpikir, “Kalau dilihat dari gerak-geriknya, apa yang di
katakan memang dapat dipercaya, coba kuselidiki lebih lanjut rahasia perkumpu-lannya”
Berpikir lebih lanjut, diapun bertanya kembali, “Siapa saja yang telah datang? Apakah ke delapan
orang Ciu Hoa juga sudah berkumpul semua disini? bagaimana dengan kaucu kalian?”
Waktu itu Tan Beng-tat sedang gelagapan lantaran salah berbicara, mendengar perkataan itu ia
jadi paik pitam.
“Wahai orang she Hoa!” demikian teguran “engkau toh cuma menanyakan dimana kongcu kami
bersembunyi, dan aku telah menjawab sejujurnya, Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak
tangannya bergerak cepat menepuk bebas jalan darah peng hong hiat yang tertotok itu.
“Baiklah, kalau begitu kau boleh pergi!” katanya
Mimpipun Tan Beng-tat tak pernah percanya kalau dirinya bakal dilepaskan dengan begitu saja
tanpa musti melalui prosedur yang menyulitkan, tidak banyak berbicara lagi dia segera melompat
bangun dan berdiri tertegun.
“Apa lagi?” tegur Coa Wi-wi dengan suara ketus, “sudah tak pingin pergi? Bagus sekali, kalau
begitu tinggal saja disini!”
Tan Beng-tat amat terkejut, dia kuatir Hoa In-liong berubah pikiran, karenanya tanpa berani
mengucapkan sepatah katapun ia kabur ke pintu ruangan, kemudian setelah menatap sekejap
kearah musuhnya dengan penuh kebencian, buru-buru dia angkat kaki dan kabur dari situ.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
521
Begitu Tan Beng-tat meninggalkan ruangan tersebut, Coa Wi-wi lantas berbisik lirih, “Jiko, ayoh
kejar!”
“Tak mungkin lolos dari kejaran kita, tunggu saja sebentar lagi” kata Hoa-In liong sedikitpun
tidak gugup.
Dengan sorot mata yang tajam ia mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, setelah
mengamatinya beberapa waktu, akhirnya pemuda itu berkesimpulan bahwa keempat kaki
pembaringan yang terbuat dari bambu itulah merupakan bagian yang paling mencurigakan
diantara sekian benda dalam ruangan tersebut.
Semenjak kecilnya pemuda ini memang bandel dan nakal, soal mencari barang yang
disembunyikan sesuatu benda boleh dikata merupakan keahliannya yang terutama, maka bila
seseorang hendak menyembunyikan sesuatu dihadapannya, tak mungkin benda tersebut dapat
lolos dari ketajaman sepasang matanya.
Begitulah, setelah menaruh curiga pada suatu bagian tempat itu, pemuda itu pun maju
menghampiri pembaringan, berjongkok ditepinya dan mulai melakukan percarian dengan
seksama, ia berusaha menemukan sesuatu yang aneh dari tempat itu. Betul juga, ternyata
diantara kaki pembaringan yang terbuat dari bambu, ada satu ruas diantaranya yang dapat
dibuka, oleh karena pandangan yang dilakukan secara sempurna, hal ini tak gampang ditemukan
orang.
Tapi apa yang ditemukan? Ketika ruas bambu itu dibuka, ternyata isinya kosong, tiada sesuatu
benda apapun di situ.
Kendatipun demikian, Hoa In-liong tidak menyerah dengan begitu saji, dengan jari tengah dan
telunjuknya ia coba mengorek tabung bambu vang kosong tadi.
Melihat tingkah laku Hoa In-liong yang tiada bosan-bosannya mengorek tabung bambu yang
kosong, habislah kesabaran Coa Wi-wi, “ia maju kesisinya lalu menegur, “Ayoh berangkat!
Aaaai…. kamu ini memang keterlaluan, andaikata benar-benar ada barangnya sudah pasti barang
itu telah dibawa lari, masa harus menunggu sampai aku datang untuk mengam bilnya?”
Hoa In lioag tertawa lirih, merasa ucapan dari gadis itu ada benarnya juga, ia siap bangkit
berdiri.
Tapi….secara tiba-tiba satu ingatau melintas dalam benaknya, ia merasa dalam tabung bambu itu
seakan-akan telah menyentuh suatu benda yang licin, jelas benda tersebut bukan merupakan
lembaran bambu.
Dalam keadaan begini, ia segan untuk membuang tenaga lagi, sekali bacok tabung bambu itu
dihajarnya sampai hancur.
Betul juga dugaannya, begitu tabung bambu terhajar pecah, dari hancuran bambu muncullah
sebuah benda panjang yang memancarkan cahaya hijau muda, menyilaukan sekali cahaya
tersebut.
Cepat dipungutnya benda tersebut, ternyata adalah sebuah penggaris kemala, diatas penggaris
terukir enam huruf besar yang berbunyi: Istana Kiu ci kiong, tempat penyimpanan kitab.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
522
Selain keenam huruf besar itu, diatas penggaris terukir pula penuh huruf kecil yang lembut dan
sebesar lalat, selain itu terukir juga lukisan manusia dilam posisi yang bsraneka ragam.
Dalam sekilas pandangan saja, pemuda itu segera mengetahuinya sebagai benda peninggalan
Kiu-ci Sinkun, hanya entah apa sebabnya ternyata bisa disimpan secara rahasia disitu.
“Apakah itu? Sebuah Giok pek-ci (Penggaris Kemala Hijau)?” tanya Coa Wi-wi sambil
menghampiri dari belakang.
Hoa In-liong tak sempat meneliti lebih jauh, seraya angsurkan benda itu kepadanya ia menyahut,
“Bukan batu kemala, sebab kalau kemala hijau, sudah pasti tak akan tahan oleh pukulan
tanganku!”
Selesai berkata, ia melanjutkan kembili penggeledahannya dengan menghancurkan tabungtabung
bambu lainnya namun tiada sesuatu apapun yang ditemukan.
Dengan patahnya keempat buah Laki pembaringan tersebut, maka dikala anak muda itu
melepaskan pegangannya, ambruklah pembaringan itu ketanah sementara, ia sendiri lantas
bangun.
“Istana Kiu ci kioag itu terletak dimana?” Coa Wi-wi bertanya lagi.
Sambil putar badan jawab Hoa In-Iiong, “Istana Kiu ci-kiong di dirikan oleh seorang jago silat
yang bernama Kiu-ci Sinkun, letaknya ada dibakit Kiu ci-san karesidenan Sam kang-siam propinsi
Kwang-see!”
Setelah berhenti ssjenak. ia berkata lagi, “Sepanjang hidupnya Kiu-ci Sinkun mempunyai banyak
pengalaman yang menarik, lain hari akan kuceritakan kesemuanya itu kepadamu, juga tentang
kisah penggalian harta Karun dibukit Kiu ci-san yang berlangsung sampai tiga kali, penuh dihiasi
oleh kejadian-kejadian yang ramai dan tegang, cuma seluruh harta karun yang tersimpan dalam
istana Kiu ci-kiong akhirnya habis terkuras dalam penggalian yang diadakan untuk ketiga
kalinya….”
Tiba-tiba ditemuinya Coa Wi-wi sedang mengawasi penggaris kemala hijau itu dengan penuh
semangat, ia lantas bertanya dengan tercengang.
“Ada apanya sih penggaris kemala hijau itu? Kok serius amat caramu memperhatikan?”
“Jiko, cepat libat, lukisan orang-orangan yang ada dipenggaris tersebut agaknya merupakan
pelajaran ilmu pukulan dan Sim-hoat tenaga dalam yang amat dahsyat “teriak Coa Wi-wi dengan
nada sangat gembira.
“Aaaah….! Masa iya?” seru Hoa In-liong pula dengan nada tercengang.
“Benar jiko, cuma ilmu pukulan dan Sim-hoat tenaga dalam itu ditulis tak berurutan, kacau kalau
tak karuan hingga sukar diikuti dengan sebaik-baiknya”
Seraya berkata, dengan hati berkerut gadis itu menyerahkan kembali penggaris kemala hijau itu
kepada Hoa In-liong.
Hoa In-liong menerima benda itu dan menyahut, “Bila dugaanku tak salah, ilmu pukulan dan simhoat
tenaga dalam itu tentulah peninggalan dari Kiu-ci Sinkun, atau mungkin juga penggaris
kemala hijau ini adalah batas bukunya”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
523
Setelah menyimpannya kedalam saku, ia berkata lagi, “Sekarang tak ada waktu lagi bagi kita
untuk menduga lebih jauh, lebih baik kita percepat lakukan pengejaran….”
Ia merasa sudah terlalu banyak waktu yang terbuang, karenanya pemuda itu tak berani berayal
lebih jauh, setelah keluar dari ruang batu, mereka memanjat sebuah pohon besar diatas bukit
gunung-gunungan tersebut, dari situ mereka arahkan pandangannya jauh kedepan.
Tiba-tiba Coa Wi-wi menunjuk kearah timur sambil berseru, “Disebelah sana ada sesosok
bayangan hitam sedang bergerak, mungkin dia adalah Tan Beng-tat!”
Hoa In-liong tahu bahwa ketajaman mata sidara manis ini jauh melebihi kemampuannya, kalau
toh ia berkata demikian, maka boleh dibilang perkataannya itu tak bakal salah.
Mereka berdua tak berani berayal lagi, dengan cepat dilakukan pengejaran ketat kedepan.
Terhadap benda penemuan yang diperolehnya tanpa sengaja itu baik Hoa In-liong mampu Coa
Wi-wi sama-sama tidak menaruh perhatian, padahal mereka tak menyangka kalau benda itu
justru merupakan modal yang paling diandalkan Hoa In-liong dalam usahanya melenyapkan
hawa iblis dari muka bumi di kemudian hari.
Yaa, kalau takdir telah menentukan demikian, siapa lagi yang dapat membantah?
Apa yang diucipkan Hoa In-liong tadipun hanya merupakan suatu dugaan belaka, tapi apa yang
diduganya itu memang sembilan puluh persen persis seperti kenyataannya,
Dahulu, penggarisan kedalam hijiu itu memang digunakan Kiu-ci Sinkun sebagai batas bukunya,
apa yang diperolehnya setiap hari boleh dibilang dicatat semua diatas penggaris tadi.
Kiu-ci Sinkun dapat berbuat demikian, boleh dibilang masih membawa suatu tujuan tertentu, oleh
sebab dia adalah seorang yang latah, ia berharap setiap benda yang pernah digunakannya
dimasa lalu akan dipandang sebagai benda pusaka oleh mereka yang menemukannya kembali
dikemudian hari, maka semua kepandaian yang diperolehnya pada waktu itu hampir boleh
dibilang tercatat semua di sana.
Penggaris kemala hijau sebagai batas bukunya itu ia selipkan di salah satu kitab-kitab pusaka
yang dimilikinya, dan secara kebetulan terselip di dalam kitab pusaka Hoa to cin keng yang
didapatkan Yu Siang tek.
Pada hakekatnya kitab pusaka yang ditemukan dalam penggalian harta pusaka di bukit Kiu ci san
itu tak terhitung banyaknya, dalam keadaan demikian, sudah tentu siapapun tidak menaruh
perhatian atas sebuah batas buku.
Menanti Yu Siang-tek menemukan keistimewaan tersebut, operasi pencarian harta karun telah
berakhir, semua orang sudah saling berpisah untuk menuju ke rumahnya masing-masing.
Sayang tenaga dalamnya amat cetek, lagipula catatan ilmu pukulan dan sim hoat tenaga dalam
yang tertera diatas penggaris kemala hijiu itu kalut dan tidak beraturan, banyak keistimewaan
dan keampuhan dari sari kepandaian itu tak berhasil ia pahami.
Timbul kemudian satu ingatan untuk mengirim benda itu keluarga Hoa dibukit Im-tiong-san, tapi
diapun merasa kuatir benda yang tak seberapa nilainya itu akan menimbulkan gelak tertawa
orang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
524
Akhirnya setelah mempertimbangkannya berulang kali, ia putuskan untuk menyimpan saja benda
tersebut sambil menunggu kesempatan baik dikemudian hari.
Kebetulan kali ini Hoa In-liong berkunjung ke selatan, sebenarnya benda itu hendak diserahkan
kepada anak muda tersebut, tapi kemudian Hoa In-liong berlalu dengan tergesa gesa, hingga
benda mustika tersebutpun untuk sementara waktu ditangguhkan penyerahan-nya.
Siapa tahu selelah mengalami pelbagai rintangan dan persoalan, akhirnya toh penggaris kemala
hijiu tersebut terjauh kembali ke tangan Hoa In-liong, boleh dibilang memang begitulah takdir
berbicara.
“Begitulah, dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, kedua orang itu melakukan pengejaran
kemuka, sekejap kemudian mereka berhasil menyusuli laki laki itu.
Benar juga, dari kejauhan tampak Tan Beng-tat melanjutkan perjalanannya sambil bersembunyi,
ia selalu memilih tempat yang gelap dan tersembunyi untuk menyembunyikan jejaknya, bahkan
sering kali menoleh ke belakang rupanya ia kuatir kalau perjalanannya dibuntuti orang.
Sampai detik itu, mau tak mau Hoa In-liong harus memuji ketajaman mata Coa Wi-wi, berganti
orang lain, mungkin sulit untuk menemukan jejak laki-laki itu.
Tiba-tiba Coa Wi-wi menempelkan bibirnya ke sisi telinga anak mudi itu, lalu berbisik, “Bajingan
ini sedang berbohong, kalau benar istana Tiau thian-kiong semestinya dia lewat pintu kota
sebelah barat, karena letak istana tersebut adalah Hu see sak shia, padahal dia perginya ke arah
bukit Ciong san pingit, sekali kubacok bangsat itu sampai modar.
Hoa In-liong tertawa.
“Kau tak usah begitu marah, pokoknya asal kita tak sampai tertipu, itu kan cukup” hiburnya.
00000O00000
28
TIBA-TIBA ia menarik ujung baju Coa-Wi-wi sambil berseru, “Eeeh….tunggu sebentar!”
Ternyata mereka berdua telah menyusul sampai jarak sepuluh kaki dibelakang sasaran, Hoa Inliong
takut pembuntutan yang terlampau dekat bakal diketahui Tan Beng-tat, maka dia usulkan
untuk berhenti lebih dulu.
“Jiko” kata Coa Wi-wi kemudian, “lebih leluasa buat kita untuk mengawasinya dari atas pohon
bagaimana menurut pendapatmu?”
Hoa In-liong mengawasi lebih dulu sekeliling tempat itu, ketika dilihatnya sekeliling tempat itu
adalah sebuah hutan yang luas, ia menyadari bahwa pengejaran yang dilakukan dari atas tanah
gampang kehilangan sasaran, maka setelah mempertimbangkannya sejenak akhirnya pemuda
itupun mengangguk.
Coa Wi-wi tidak banyik berbicara lagi, ia menarik tangan Hoa In-liong dan diajak naik keatas
dahan pohon.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
525
Hoa In-liong membiarkan dirinya ditarik, tanpa mengeluarkan sedikit tenagapun, tubuhnya sudah
melambung ke udara dan hinggap diatas dahan pohon.
Ketika ia berpaling ke arah Coa-Wi-wi, terlihat gadis itu tetap wajar dan sama sekali tidak
kelihayan payah, kenyataan tersebut membuat pemuda kita jadi kagum.
“Adik Wi!” pujinya, “sim hoat tenaga dalam dari perguruanmu benar-benar hebat sekali”
Yaa, betapapun juga, tenaga dalam yang dimiliki Coa Wi-wi memang patut dikagumi.
“Ehmm….!” sahut sang dara, “kecuali sim-hoat tenaga dalam yang hebat, masih ada lagi sebab
sebab lainnya”
“Oya? Kalau begitu kau pernah makan obat mustika atau bahan obat yang mujarab?”
“Yaa, aku pernah minum cairan sari buah yang tak ternilai harganya….” sahut Coa Wi-wi serius.
Hoa In-liong tertawa.
“Ooh…. kalau begitu, tentunya Leng ci beruSaha seribu tahun?” ujarnya kembali.
Coa Wi-wi tertawa cekikikan.
“Bukan Leng ci, melainkan buah Tho dsri perjamuan See-ong-bo di nirwana….”
Tentu saja Hoa In-liong tahu kalau gadis tersebut sedang bergurau. Ini membuat timbulnya sifat
binal dalam hati kecil anak muda itu.
“Waaah…. kalau begitu adik Wi adalah Dewi cantik dari Nirwana?” godanya, “aku si manusia
sederhana dari bumi, sungguh merasa amat beruntung dapat berkenalan dengan dirimu”
Mendengar godaan tersebut Coa Wi-wi tertawa berseri-seri.
“Kau tidak percaya yaa dengan perkataanku? Baik, sampai dirumah nanti akan kuberikan juga
cairan itu untukmu, tanggung sesudah minum cai-tay tersebut tenaga dalammu akan bertambah
sepuluh kali lipat dari keadaan sekarang ini”
“Waaah…. kalau bisa mengalami kejadian semacam itu, sembilan keturunanku pasti akan selalu
memperoleh rejeki” Hoa In-liong mendesis setengah percaya setengah tidak.
Melihat pemuda itu masih tidak percaya, Coa Wi-wi mengalihkan kembali pembicaraannya ke
soal pokok.
“Jiko, kalau toh engkau sudah tahu bahwa pihak Hian-beng-kauw lah yang telah menculik empek
Yu, aku rasa janjimu dengan Bwee Su-yok besok malam tak usah dipenuhi lagi” katanya.
Hoa In-liong tersenyum.
“Aku rasa kurang baik kalau kita terbuat demikian!”
Meskipun perkataan itu diucapkan dengan suara lembut, tapi nadanya tegas dan mantap.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
526
Tidak berhasil membujuki pemuda itu untuk membatalkan pertemuannya dengan Kiu-im-kauwcu,
Coa Wi-wi berpikir sebentar lalu bertanya lagi, “Jiko, seandainya Kiu-im-kauwcu bersedia
meninggalkan yang sesat untuk kembali kejalan yang benar, gembirakah jiko menghadapi
keadaan tersebut?”
“Sudah tentu sangat gembira, cuma…. haaahhh…. haaahhh…. haaahhh…. aku rasa hal ini
takmungkin terjadi”
“Aku mempunyai suatu akal yang bagus sekali, bukan saja dapat membuat Kiu-im-kauwcu
meninggalkan jalan yang sesat kembali kejalan yang benar, bahkan dia malahan akan membantu
pihak kita. Apakah jiko ingin mengetahuinya?”
Hoa In-liong tidak tahu permainan apa lagi yang sedang dipersiapkan anak gadis itu, tapi ketika
dilihatnya dara tersebut bicara dengan wajah bersungguh-sungguh, ia toh tertawa juga.
“Kalau engkau memang ada akal bagus, hayolah katakan kepadaku, coba kulihat sampai
dimanakah kebagusan akalmu itu!”
“Sejak dulu sampai sekarang, perbuatan paling sulit didunia ini adalah menasehati orang untuk
berbuat kebajikan, tentunya kau juga pernah mendengar bukan orang berkata begini: Mencuci
muka membersihkan hati adalah perbuatan yang sulit diatas sulit….”
“Yaa, aku sudah tahu, merubah orang sesat menjadi orang budiman adalah perbuatannya yang
paling sukar didunia ini” tukas Hoa In ling. “oleh sebab amat sukar, maka kalau engkau punya
cara yang bagus, hayolah cepat katakan kepadaku”
Coa Wi-wi tidak langsung menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dengan nada serius ia
berceramah kembali, “Sekalipun dapat menyuruh orang jahat melepaskan golok pembunuhnya
dan bertobat, orang yang memberikan nasehatnya itu entah harus menelan berapa banyak
penderitaan dan pahit getir, dulu orang pernah bilang begini: Nasehat Malaikat, membuat batu
yang keraspun menganggukkan kepala.
Dari sini dapat diterangkan betapa penderitaannya dan betapa banyaknya, pengorbanan yang
harus dikeluarkan Hoah-su itu sebelum berhasil membuat batu yang bandel menganggukkan
kepalanya belaka”
Mendengarkan ceramah tentang betapa sukarnya orang menasehati seseorang yang berbuat
kejahatan menjadi orang baik, Hoa In-liong tertawa lebar.
“Sudah, sudahlah, sebetulnya engkau mempunyai pusaka apa lagi? Ayo tunjukkan semua
kepadaku, memangnya aku bakal berbuat pahala dengan dirimu?”
Coa Wi-wi tertawa cekikikan.
“Caraku ini bukan saja merupakau cara paling jitu diseluruh dunia, bila berhasil, bukan saja akan
mendapat pahala besar, bukan su atu rejeKi nomplok yang tak terkirakan besarnya”
Begitu mendengar ucapan yang terakhir itu, Hoa In-liong segera menebak isi fikiran dari dara
tersebut, sambil menarik muka ia lantai tepuk lengannya sambil pura-pura marah.
“Omong sembarangan, lihat saja kuberi pelajaran yang setimpal tidak kepadamu”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
527
“Tapi aku bicara yang sesungguhnya! Bwe Su-yok cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, jika
kau berhasil mempersunting dirinya, bukankah tindakan ini sama halnya dengan sekali tepuk
dapat dua lalat?”
“Haahh…. haahh…. haah…. , agaknya kau sedang mengigau disiang bari boloag “kami Hoa Inliong
sambil tertawa.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, ia merasa perkataan dari Coa Wi-wi ada
benarnya juga.
Haruslah diterangkan disini, pada dasarnya Hoa In-liong memang gemar bergaul dengan para
gadis, ia binal, bertindak menurut suara harinya dan tak pernah menurut peraturan.
Baginya asal perasaan mengatakan benar maka itu berarti, dengan waktu semacam ini tentu saja
ia tak berani berbuat yang sembarangan susila, menipu perasaan orang lain.
Meski begitu, pada dasarnya bukannya ia tidak berminat terhadap Bwe Su-yok.
Tapi dengan dasar waktunya yang romatis, ia lebih suka bermain perempuan kesana kemari dari
pada menitik beratkan perhatiannya khusus untuk mencari istri.
Rasa cintanya terhadap Bwee Su-yok adalah suatu letupan cinta yang murni, dalam benaknya ia
hanya terbatas ingin mengajak gadis itu pesiar bersama saja soal mengawininya boleh dibilang
belum pernah ia pikirkan.
Bercanda, bergurau ataupun pesiar bersama bukan suatu perbuatan yang melanggar hukum tapi
kalau meningkat selangkah lebih kedepan, itu sudah menjurus perbuatan cabul.
Mendekati ia teringat kembali akan peringatan dari gwakongnya Pek Siau thian sendiri”
Berpikir tentang hal ini, anak muda tersebut jadi panik bercampur ngeri, ia mulai bertanya pada
diri sendiri, “Tindakan ku ini apakah merupakan suatu perbuatan yang telah menipu perasaan
sendiri?”
Semakin dipikir ia semakin ngeri, sehingga akhirnya kening yang berkerutpun kian berkerut.
Melihat anak muda itu membungkam terus, Coa-Wi-wi jadi tak senang hati, sapanya dengan lirih,
“Jiko!”
Hoa In-liong pura-pura tertawa dan gelengkan kepalanya berulang kali.
“Aku tidak apa-apa!” jawabnya berbohong.
Sorot matanya dialihkan kembali ke depan, tiba-tiba ia saksikan bukit yang tinggi dengan hutan
yang lebat terbentang didepan mata, ternyata mereka sudah sampai di bukit Ciong san.
Ditengah kegelapan, bukit terbebat tampak mengerikan sekali.
Tan Beng-tat masih berlarian di depan, peluh sudah membasahi seluruh punggungnya, tapi ia
masih berlarian terus. Pepohonan yang terbentang di kiri kanannya seakan-akan sedang
mentertawakan ketololan dan kepengecutan hatinya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
528
Setelah masuk bukit Ci kim-san, selang sesaat kemudian ia menelusuri sebuah lorong sempit
menuju ke dalam sebuah lembah gunung.
Lembah itu sedemikian sempitnya sehingga hanya bisa dilalui dua orang secara bersama, dinding
terjal menjulang tinggi diangkasa, sekeliling mulut lembah tumbuh semak belukar yang lebat
hingga sekilas pandangan berbentuk sebuah tanah lapang yang lebar.
Baru saji Tan Beng-tat mendekati mulut lembah, seketika itu juga muncul beberapa buah serot
cahaya lampu yang menerangi tubuhnya, menyusul kemudian seorang menghardik, “Berhenti!
sebutkan kata-kata sandi!”
Menyaksikan pemandangan tersebut, Hoa In-liong lantas berbisik dengan suara lirih.
“Adik Wi, dapatkah kau lewati tanah lapang didepan situ dan sekaligus menguasahi seluruh
penjaga yang bercokol di situ?”
Diam-diam Coa-Wi-wi memperhitungkan dulu jarak antara tanah lapang itu dengan tempat
persembunyiannya, kemudian setelah yakin kalau jaraknya hanya lima kaki, ia termenung
sebentar.
“Mungkin saja dapat kulukukan!” jawabnya kemudian.
Sementara itu Tan Beng-tat telah menyebutkan kata-kata sandinya, dari mulut lembah muncullah
seorang laki-laki berbaju ungu, selesai memeriksa tanda lencana, membuktikan kebenaran
indentitas-nya, ia baru diperkerankan masuk kedalam lembah.
“Waaah…. rupa-rupanya pemeriksaan yang dilakukan disini amat ketat “bisik Hoa In-liong lagi
sambil tertawa, “coba dengarlah dengan cermat adik Wi, bukankah hanya ada lima orang yang
menjaiga mulut lembah tersebut….?”
Coa Wi-wi pasang telinga dan mendengarkannya dengan seksama, kemudian sahutnya, “Yaa,
aku rasa cuma lima orang, kecuali ada diantara mereka yang memiliki tenaga dalam lebih tinggi
dariku, kehadiran mereka tak mungkin dapat mengelahui sepasang telingaku”
Oleh karena semakin tinggi tenaga dalam yang dimiliki seseorang jalan pernapasan makin
panjang dan dengusan napasnya makin lilih, maka bagi seseorang yang memiliki tenaga dalam
sempurna, dari pernapasan musuhnya sudah bisa menduga tinggi rendahnya kemampuan yang
dimiliki lawan, hal ini boleh dibilang merupakan suatu keuntungan yang istimewa.
“Setelah berhasil kau taklukkan kelima orang ltu “kata Hoa In-liong selanjutnya, “orang she-Hoa
itu….”
Belum habis perkataan itu diucapkan, pandangan matanya terasa jadi kabur, terasa ada
hembusan bau harum melintas didepan matanya, dan tahu tahu Coa Wi-wi sudah lenyap dari
pandangan mata.
Menyusul lenyapnya bayangan gadis itu, beberapa dengusan tertahan menggema dari arah
mulut lembah, tahulah pemuda itu bahwa musuh berhasil ditaklukkan.
“Wwoouw….sungguh cepat gerakan tubuhnya!” ia mendesis dalam hati.
Dengan suatu gerakan yang tak kalah cepatnya dia ikut menerobos masuk kearah mulut lembah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
529
Dalam waktu yang amat singkat, segenap laki-laki berbaju ungu yang ada disekitar mulut lembah
sudah roboh terkapar dalam keadaan tak sadar, a»da yang masih tersangkut diatas dahan
pohon, ada juga yang terkapar ditanah, sementara Coa Wi-wi sendiri berdiri di bawah sebuah
pohon kurang lebih tiga kaki jauhnya sambil menggape ke arahnya
Dengan gerakan cepat, ia menyusul ke situ, tampaknya Tan Beng-tat juga ikut terkapar ditanah
“Sstt…. Coba kau geladahi isi sakunya” bisik Coa Wi-wi serius, “aku agak kurang leluasa untuk
melaksanakannya sendiri”
Hoa In-liong mengangguk, ia geledah seluruh isi saku orang she-Tan itu dengan teliti kecuali
menemukan sebuah botol porselen yang tingginya dua inci didalam sepatunya, pemuda itu
menemukan juga selembar lencana tembaga serta beberapa keping uang perak.
Ia serahkan botol porselen itu kepada Coa Wi-wi, seraya ujarnya, “Mungkin botol porselen inilah
yang dimaksudkan, coba lihatlah apakah benar milik empek Yu?”
“Coa Wi-Wi menyambut botol porselen itu dan diperiksanya sekejap, kemudian diapun
mengangguk “Yaa. benar, pada dasar botol terdapat tanda milik empek Yu” sahutnya botol
itupun di masukan ke dalam saku.
Tiba-tiba ia liat Hoa In-liong sedang berusaha membuka mulut Tan Beng-tat yang terkatup dan
kedua jari tangannya mengorek sela-sela gigi orang itu seperti lagi mencari sesuatu, perbuatan
tersebut menimbulkan rasa heran dalam hatinya.
“Eeeh…. apa yang sedang kau cari?”
“Konon sementara organisasi tersembunyi telah menyiapkan obat-obatan beracun atau kipsul
berisi bisa keji diantara sela-sela gigi psra anggotnya, menurut berita tersebut jika mereka
sampai tertawan musuh maka kapsul berisi racun itu akan digigitnya dengan segera untuk
membereskan nyawa sendiri, mereka seringkali berbuat demikian demi untuk menghindari
rahasia perkumpulannya diketahui orang serta menghindari siksaan perkumpulan yang keji. Aku
pikir Hian beng-kau sebagai suatu perkumpulan rahasia tentu menyiapkan pula permainan
semacam ini bagi para anggotanya”
Rupanya Coa Wi-wi merasa tertarik sekali dengan cerita tersebut, ia berseru tertahan.
“Ooooh….jadi rupanya begitu, lain kali bila aku berhasil menawan seorang musuh, pasti akan
kugeledah dulu sela-sela giginya, daripada mereka takut disiksa dan mengambil keputusan untuk
bunuh diri”
Hoa-In liong tertawa renyah, pikirnya, “Sekarang saja, kalau bicara sok gede, padahal kalau
siksaan benar-benar sudah dilakukan, untuk menutupi mata sendiripun tak sempat”
Ternyata penggeledahan tersebut tidak menghasilkan apa-apa, dengan kecewa pemuda itu
bangkit berdiri.
“Rupanya pihak Hian beng-kau hanya dapat mengendalikan anggota-anggota perkumpulan
belaka” ia berkata.
Setelah celingukan sebentar kesana kamari, kembali ujarnya, “Para penjaga yang berhasil
dirobohkan harus disembunyikan baik-baik, kalau tidak usaha penyusupan kami ke dalam lembah
akan segera diketahui oleh mereka”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
530
Tidak menunggu jawaban dari Coa-Wi-wi lagi, dengan suatu gerakan cepat ia menyeret
beberapa orang laki-laki berbaju ungu itu ke dalam semak dan menyembunyikannya di sana.
Sejak awal sampai akhir Coa Wi-wi tak pernah berpisah sejengkalpun dengan anak muda itu,
sebagai gadis remaja yang baru mekar, ia tidak begitu memahami tentang hubungan antara
muda dan mudi, dalam perasaannya bila Hoa In-liong tidak berada disisinya, ia seakan akan
merasa seperti kehilangan sesuatu.
Karena itu, ketika dilihatnya pemuda itu menyembunyikan tawanan-tawanannya, sambil
mengedipkan matanya diapun bertanya.
“Bila kita berbuat demikian, apakah usaha penyusupan kita ini tidak mudah ditemukan?” Hoa Inliong
gelengkan kepalanya berulang kali
“Oooh….tidak semudah apa yang kau duga” jawabnya.
Ketika dilihatnya Coa Wi-wi masih kebingungan, ia menjelaskan lebih jauh, “Pihak Han beng-kau
pasti mempunyai petugas peronda yang akan memeriksa semua pos penjagaan setiap jangka
waktu tersebut, untuk sementara Waktu perbuatan kita ini memang bisa mendatangkan hasil,
tapi lama kelamaan toh bakal ketahuan juga, yaa, dalam keadaan demikian kita hanya bisa main
ulur waktu saja, bisa diulur sekian lama kita tunda sekian lama, paling-paling juga peristiwa ini
diakhiri dengan suatu pertarungan massal yang sengit”
Coa-Wi-wi masih menguatirkan racun ular keji yang masih mengeram dalam tubuhnya, cepat ia
berseru, “Seandainya terjadi pertarungan massal, kau tak boleh turun tangan sendiri, semua
urusan serahkan saja kepadaku, mengerti?”
Hoa In-liong tersenyum.
“Tahu sih sudah tahu, tapi kalau aku tak perlu turun tangan sendiri, itu bukan pertarungan
massal lagi namanya”
Ketika dilihatnya gadis itu kembali akan berdebat, cepat-cepat ia menyambung kembali, “Kita
sudah membuang waktu terlalu lama disini, ayoh cepat berangkat….!”
Hutan dalam lembah itu lebat sekali, ditambah udara gelap tak berbintang ataupun rembulan, ini
menyebabkan suasana betul-betul tercekam dalam kegelapan yang luar biasa.
Hoa In-liong mengerti bahwa sepanjang perjalanan mereka memasuki lembah tersebut, tentu
akan melewati banyak pos pos penjagaan yang ketat, karena itu dengan suatu tindakan yang
amat berhati-hati, kedua orang itu melanjutkan penyusupannya kedalam lembah.
Selain daripada itu, anak muda tersebut juga tahu bahwa usaha penyusupan mereka segera
akan ketahuan musuh, karenanya dia hendak manfaatkan kesempatan yang ada untuk mencari
tujuannya dengan sebaik-baiknya, sebab begitu jejak mereka diketahui, otomatis suatu
pertarungan tak akan bisa dihindari lagi.
Jilid 27
SELANG sesaat kemudian, kedua orang itu sudah mendekati suatu tempat yang memancarkan
cahaya api, secara latap-latap mereka pun mendengar suara pembicaraan manusia.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
531
Tanda-tanda tersebut menunjukan bahwa mereka sudah makin dekat dengan tempat
berkumputannya kawanan musuh, serta-merta gerak-gerik mereka dilakukan jauh lebih berhatihati
lagi.
Maju ke depan tiga kaki kemudian, terbentanglah sebuah tanah lapang yang luas.
Tanah lapang tersebut luasnya dua tiga puluh kaki, kecuali batu cadas yang berserakan dimanamana,
hampir boleh dibilang tak nampak sedikit rerumputanpun tumbuh di situ.
Ditengah tanah lapang membara, seonggokan api unggul yang amat besar, cahaya api yang
memancarkan keempat penjuru menerangi sekeliling tempat itu dengan terangnya.
Disimping kiri kanan api unggul, duduklah bersila dua rombongan manusia berbaju ringkas.
Disebelah kiri duduk kurang lebih lima-enam belas orang, mereka semua berdandan sebagai
seorang imam dengan rambut digulung menjadi satu memakai jubah berwarna kuning telur dan
berkerah bundar dengan bagian dada terbuka lebar, kaosnya putih setinggi lutut, sepatunya
setinggi terbuat dari kulit.
Rombongan tersebut tak usah diragukan lagi merupakan jago-jago tangguh Mo-kauw yang
berasal dari Seng sut hay.
Rombongan ini dipimpin oleh seorang imam bertampang jelek, berikat pinggang berwarna emas
dengan alis mata dan jenggot berwarna merah darah. Sejak kecil Hoa In-liong sudah sering kali
mendengar kisah pengalaman ayahnya dimasa lalu, cerita tersebut sesudah didengarnya, entah
berapa puluh kali kecuali masalah yang menyangkut soal hubungan muda mudi, tentang
pengalaman lainnya boleh di bilang sudah demikian pahamnya sehingga hapal diluar kepala.
Maka, ketika pandangan pertamanya terbentur dengan wajah orang itu, kontan saja hatinya
bergetar keras, seketika itu juga ia menduga orang tersebut sebagai murid pertama dari Tang
kwi Siu, yaitu cikal bakal pendiri Mo-kauw. Atau dengan perkataan lain kakek jelek tersebut
bukan lain adalah jago tangguh nomor dua dari Mo-kauw yang bernama Hong Liong.
Duduk disamping kanan adalah serombongan manusia berbaju ketat, mereka dipimpin oleh seo
sang kakek berjubah hitam yang mempunyai jenggot panjang dan sepasang mata yang sipit.
Dibelakang tubuhnya duduk melingkar empat orang pendekar berbaju ringkas warna hijau polos,
bermantel pendek dan menyoren sebilah pe dang antik dipinggangnya.
Keempat orang itu tak lain adalah anak murid Hian-beng Kaucu yang kesemuanya bernama Ciu
Hoa. Hoa In-Hong pernah bertemu dengan tiga orang diantaranya.
Sedang lainnya berbaju ungu semua, jumlah mereka mencapai delapan sembilan belas orang,
namun Hoa In-liong tak sempat memperhatikan mereka satu per satu.
Semua perhatian dan pendengarannya waktu itu tertuju untuk menyadap pembicaraan antara
Hong Liong dengan si kakek berjubah hitam.
Tapi, walaupun ia sudah berusaha mendengarkannya dengan seksama, kecuali beberapa patah
kata seperti “kaucu kalian” tidak bisa” dan kata-kata sederhana lainnya, oleh karena terganggu
oleh suara gemerisikan peletakan kayu bakar yang di makan api, hampir tak separah kalimat pun
yang bisa ditangkap dengan jelas.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
532
Hal ini tentu saja amat menggelisahkan hatinya, diam-diam pikirnya dihati, “Penjagaan dalam
lembah sangat ketat sekali, ini berarti perundingan yang sedang mereka selenggarakan adalah
untuk merundingkan sesuatu yang Penting, aku harus mendekati tempat psrtemuan itu lebih
kedepan”
Dengan mata yang jelalatan dia memeriksa keadaan disekitar tempat itu, tapi apa yang di
jumpainya adalah sebuah tanah lapang yang luasnya mencapai tujuh delapan balas kaki tanpa
ada sedikit tumbuhan pun yang bersemi disana
Dengan putus asa ia berpaling ke arah Coa-Wi wi, tiba-tiba dilihatnya gadis itu sedang berkerut
kening, sikapnya menunjukkan bahwa ia sedang mengikuti pembicaraan tersebut dengan
seksama, cepat tegurnya dengan ilmu menyampaikan suara, “Adik wi, apa saja yang sedang
mereka bicarakan?”
Coa Wi-wi mengernyitkan alis mainnya, ia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya malah
berseru, “Jiko, coba libat rombongan manusia yang berbaju kuning itu, oh….betapa jeleknya
tampang wajah mereka!”
Hoa In-liong ikut berpaling kembali kearah lapangan, dibawah cahaya api unggun tampaklah
orang-orang dari Seng sut pay itu makin lama kelihatan bertambah mengerikan, terutama wajah
Hong Liong, sedemikian seramnya sampai-sampai siapapun yang memandangnya merasakan
bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Hanya sekejap ia memandang ke arah mereka, kemudian tanyanya lagi, “Coba perbatikan
dengan seksama, perhatikanlah apa yang sedang mereka rundingkan?”
Coa Wi-wi segera pusatkan seluruh perhatiannya untuk mendengarkan pembicaraan tersebut
dengan seksama, selang sesaat kemudian ia baru menyahut dengan lirih, “Agaknya mereka
sedang mempersoalkan siapakah yang pantas menjadi pemimpin mereka”
“Berbicaralah dengan lebih jelas lagi!” seru Hoa In-liong penuh kegelisahan.
Coa Wi-wi memperhatikan kembali pembicaan itu, kemudian berkata, “Si jelek berjenggot merah
itu berkata begini….
“Orang itu bernama Hong Liong” Hoa In-liong menerangkan, “dia adalah tokoh nomor satu
diantara murid muridnya Tang Kwik-siu lainnya!”
“Ooooh….!” Coa Wi-wi berseru tertahan, diapun melanjutkan kembali kata katanya.
“Hong Liong berkata, “Berbicara menurut tingkat kedudukan maupun usia di masa lalu, kaucu
kalian sepantasnya menghormati guru kami sebagai Beng Cu!”
Tapi kakek baju hitam itu segera menjawab, “Untuk belajar ilmu tiada tingkatan siapa dulu siapa
belakangan, siapa yang berhasil mencapainya terlebih dulu, dialah yang kita hormati, walaupun
kaucu kalian adalah seorang jagoan berbakat, memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi kaucu kamilah
yang lebih lihay saat ini, maka sepantasnya kalau kedudukan Beng cu tersebut diberikan untuk
kaucu kami”
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong tertawa dingin tiada hentinya, agaknya ia merasa amat
gusar sekali oleh ucapan lawannya….
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
533
“Tentang ilmu silat siapa yang lebih unggul apakah Hong Liong memberikan pendebatannya?”
tukas Hoa lu-liong.
Coa Wi-wi gelengkan kepalanya berulang kali.
“Sama sekali tidak!” jawabnya.
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan kembali kata-katanya, “Tampaknya ilmu silat yang
dimiliki Hian-beng Kaucu memang benar-benar jauh dialas kemampuan Tang kwi Siu!”
Hoa In-liong termenung tidak menjawab, ia merasa terkejut bercampur sangsi.
Yaa, pada hakekatnya dia cukup memaklumi betapa lihaynya ilmu silat yang dimiliki Mo-kauw
kaucu Tang Kwik-siu sehingga Kiu-im-kauwcu yang lihay pun hanya mampu bertanding seimbang
dengannya atau lebih unggul pun hanya unggul sedikit bahkan dikolong langit dewasa ini kecuali
Hoa Thian-hong dan keluarga Coa boleh dibilang tiada seorangpun yang mampu menandinginya.
Dan kini tahu-tahu muncul pula seorang Hian-beng Kaucu yang memiliki ilmu silat jauh di atas
kepandaian Mo-kauw kaucu, terbayang kembali peringatan dari pihak Ci li-kau yang mengatakan
bahwa api iblis sudah membakar seluruh daratan tak bisa disalahkan kalau hatinya jadi murung
campur keras.
Setelah dipikir sebentar namun tidak berhasil juga mengetahui siapa gerangae Hian-beng Kaucu
tersebut, diapun bertanya, “Adik Wi, apakah mereka pernah menyebut nama asli dari Hian-beng
Kaucu sepanjang pembicaraan yang berlangsung?”
“Coa Wi-wi pasang telinga mendengakannya dengan seksama, lalu menggeleng, “Tidak! Kakek
berjubah hitam itu memyebut Hian-beng Kaucu sebagai “Kaucu kami atau kaucu perkumpulan
kami sedangkan Hong liong menyebutnya dengan sebutan kaucu kalian atau kadang-kadang
hanya membasai dengan sebutan dia tampaknya pembicaraan mereka berdua mengalami
cocokan”
Tiba-tiba ia berkata lagi, “Kedua orang itu membicarakan pula tentang diri Kiu-im-kauwcu, kalau
diderangar dari nada suaranya tampaknya mereka merasa sangat tidak puas semestinya dalam
pertemuau yang diselenggarakan malam ini pihak Kiu-im kau juga ikut hadir tapi kenyataannya
Bwe Su-yok tidak mengirim utusannya untuk menghadiri pertemuan itu….”
“Apakah mereka membicarakan juga bagaimana caranya menghapi Bwe Su-yok….?” tanya Hoa
liong lebih jauh dengan nada cemas.
Melihat kegelisahan orang, Coa Wi-wi sengaja menjawab, “Yaa mereka sedang berunding
bagaimana cara nya mecincang tubuh budak she-Bwe tersebut dan membuang ke kali untuk
makanan ikan sakit hati yaa kau!”
Hoa In-liong tertawa geli, tentu saja ia tahu kalau gadis itu sedang menggoda dirinya, karena itu
diapun tidak berani banyak bertanya lagi….
“Coba lihat tampangmu itu, hanya begitu saja sudah ketakutan setengah mati” omel Coa Wi-wi
dengan bibir dicibirkan, “mereka hanya menyinggung soal itu sebentar saja, kemudian
pembicaraan beralih lagi ke persoalan lain”
Tiba-tiba ia memasang telinga dan mendengarkannya dengan seksama, setelah itu berkata,
“Sekarang mereka membicarakan tentang diri empek Yu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
534
“Apa saja yang mereka bicarakan?”
“Agaknya Hian-beng Kaucu memaksa empek Yu untuk buatkan semacam obat obatan mula-mula
empek Yu menolak, tapi sekarang entah apa sebenarnya telah menyanggupi permintaan mereka.
“Yaaah….! Tak mungkin, hal ini tak mungkin terjadi!” seru Hoa In-liong tidak percaya, “aku cukup
mengenali watak empek Yu, dia lebih suka di siksa dan menderita daripada bertekuk lutut
dihadapan musuhnya!”
“Toh bukan aku yang mengatakannya begitu, memangnya aku sedang membohongi engkau?”
Hoa In-liong tersenyum.
“Masih ada yang lain?” tanyanya.
“Kakek berjubah hitam itu berkata bahwa semua bahan yang dibutuhkan telah siap, sekarang
tinggal mencari Su bok thian go (kelabang langit bermata empat) serta Sam ciok pek cu (labalaba
hijiu berkaki tiga), ia berharap pihak Seng sut pay mau memberikan bahan tersebut
kepadanya, sekarang Hong Liong sedang termenung memikirkan persoalan tersebut….”
Sementara itu, Hoa In-liong sembari mendengarkan penjelasan dari si dara yang merdu dan
sedap di dengar itu, sepasang matanya dengan tajam mengawasi pula gerak-gerik kakek
berjubah hitam dan Hong Liong.
Tiba-tiba dilihatnya ada seorang laki-laki berbaju ungu menghampiri kakek berjubah hitam itu
dengan langkah tergesa-gesa, melihat hal tersebut pemuda kita mengeluh, “Aduuh celaka,
ketahuan sudah jejak kami!”
Benar juga ketika laki laki berbaju ungu itu selesai membisikkan sesuatu kesisi telinga kakek
berbaju hitam itu, kontan saja dengan sorot mata setajam sembilu kakek berjubah hitam itu
mengawasi sekeliling tempat itu dengan seksama.
Kemudian sambil tertawa tergelak ia bangkit berdiri.
“Sobat dari manakah yang sudah berkunjung kemari?” tegurnya, “mengapa tidak tampil kedepan
agar aku Beng Wi-cian dapat melayani dengan sebaik-baiknya?”
Gelak tertawa maupun ucapan yang dipancarkan kakek itu langsung menggema di seluruh
lembah, membuat dahan dan ranting pohon bergon cang keras, ini membuktikan bahwa tenaga
dalam yang dimilikinya sudah mencapai tingkatan yang amat sempurna.
Berbareng dengan dipancarkannya ucapan tadi keempat orang Ciu Hoa serta sekalian laki-laki
berbaju ungu serentak bangkit berdiri, kemudian, memeriksa empat penjuru dengan katapan
tajam
Dalam keadaan begini, Hoa In-liong tahu bahwa tempat persembunyiannya bakal ketahuan
musuh, diapun berbisik lirih, “Adik Wi, bila sampai terjadi pertarungan, aku harap kau suka turun
tangan dengan keji, tak usah sungkan-sungkan lagi”
“Harus memhunuh orang?” tanya Coa Wi-wi agak gemetar, setelah tertegun sejanak.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
535
Hoa In-liong tidak menjawab, hanya dihati kecilnya ia lantas berpikir, “Adik Wi ramah dan baik
hati, aku tidak boleh memaksa dirinya untuk turun tangan keji!”
Pembicaraan tersebut dilangsungkan tanpa menggunakan ilmu menyampaikan suara, otomatis
Beng Wi-cian serta Hong Liong yang sedang mencari tempat persembunyian mereka dapat
menangkap pula gerakan irama tadi.
Dengan sorot mata setajam sembilu, pandangan mereka segera dialihkan kearah mana mereka
berada.
Hoa In-liong tertawa nyaring, pelan-pelan ia munculkan diri dari dalam hutan, lalu berkata,
“Setelah Beng cianpwe mempersilahkan kami keluar, sebagai angkatan yang lebih muda, kami
tak berani membangkang perintah orang yang lebih tua, terimalah salam hormat kami ini dengan
hati yang tenang!”
Seraya berkata, ia benar-benar menjura dan memberi hormat kepada kakek berjubah hitam itu.
Dasar binal, sekalipun berada dihadapan musuh tangguh, sianak muda itu tak dapat
meninggalkan kebiasaannya, untuk bersikap santai dan senyum cengar cengir menghiasi
bibirnya.
Beberapa orang Ciu Hoa itu berubah wajah, rata-rata mereka unjukkan sikap marah.
Ciu Hoa yang pernah munculkan diri disamping layon Suma Tiang-cing itu maju kedepan dengan
wajah menyeringai seram ia berkata, “Eeeeh….bocah keparat….”
“Tunggu sebentar toa kongcu!” tiba tiba Beng Wi-cian menghalangi orang itu.
Ciu Hoa lotoa berhenti maju, lalu berpaling.
“Apa yang hendak kau lakukan Beng-lo?” tegurnya.
Beng Wi-cian tetap kalem, jawabnya, “Kaucu telah berpesan, semua urusan yang menyangkut
operasi kita di kota Kim leng diserahkan tanggung jawabnya kepadaku, maka aku pula yang
berkewajiban menentukan setiap langkah kita”
Mendengar perkataan itu, Ciu Hoa lotoa tertegun.
“Soal ini….”
“Harap toa kongcu bersedia memberi sedikit muka kepadaku!” tukas Beng Wi-cian cepat.
Paras muka Ciu Hoa lotoa agak berubah, ia unjukkan sikap keragu-raguan, tapi toh akhirnya
mundur juga meski dengan sikap uring-uringan.
Sementara itu Hoa In-litong sudah berada kurang lebih dua kaki dari onggokan api unggun,
sedangkan Coa Wi-wi dengan manjanya mengikuti terus disisinya.
“Ji kongcu!” ucap bang Wi cian kemudian sambil menjura, baik-baikkah ayahmu? Kaucu kami
titip salam untuk dirinya!”
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, sebaliknya ia berpikir dalam hati kecilnya, Sejak tampil ke
muka, aku belum pernah melaporkan namaku, ciu Hoa juga tidak mengatakan apa-apa tapi
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
536
kenyataannya hanya sekilas pandangan saja Beng Wi-cian sudah dapat menebaknya secara jitu,
dari sini dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pihak Hian beng-kau telah menyelididiki semua
keadaan keluarga Hoa dengan sejelas-jelasaya, a-tau dengan perkataan lain, sudah semenjak
dulu mereka menaruh perhatian khusus terhadap keluarga Hoa.
Sementara ia masih melamun Beng Wi-cian telah menyinggung diri Hoa Thian-hong, maka
dengan wajah serius buru-buru ia balas memberi hor mat.
“Ayahku berada dalam keadaan sehat Wal’afiat tanpa kekurangan sesuatu apapun, terimakasih
untuk perhatian itu!”
“Cuma saja belakang ini beliau kurang nyenyak tidurnya kurang nikmat daharnya lantaran harus
memikirkan beberapa persoalan yang bikin pusing kepalanya!”
Ucapan itu penuh mengandung nada sindiran, sebagai seorang jago yang berpengalaman tentu
saja Beng Wi-cian dapat merasakannya diapun segera tertawa.
“Haaahh…. haaahh…. haaahh….ji-kongcu pandai sekali bergurau, ayahmu adalah seorang
pendekar gagah perkasa yang tak akan berubah wajahnya kendatipun Thay-san ambruk
dihadapannya, masala jadi pusing kepala hanya dikarenakan persoalan yang tak ada artinya?”
Kemudian ia berpaling kearah Coa Wi-wi dan ujarnya kembali, “Kecantikan wajah nona ini bak
bidadari dari kahyangan, lohu merasa beruntung sekali dapat menjumpainya, bolehkan
kutanyakan siapa namamu nona manis?”
Beberapa patah perkataan itu diucapkan dari hati sanubarinya yang jujur.
Hal ini dikarenakan kecantikan Coa Wi-wi ibaratnya sekuntum bunga mawar yang baru mekar,
siapapun yang memandangnya segera timbul rasa suka dan menyayanginya tidak terkecuali juga
diri Beng Wi-cian meskipun ia sudah Lanjut usianya.
Berseri wajah Coa Wi-wi maadengar pujian itu, ia merasa senang hati dengan kata kata tersebut.
“Aku bernama Coa Wi-wi!” sahutnya. Kemudiaa setelah tertawa manis, terusnya, “Aku lihat
engkau adalah seorang yang baik hati, buat apa mesti pergaulan dengan kawan manusia jahat
itu?”
Dengan wataknya yang polos dan manja timbul kesan baiknya terhadap Beng Wi-cian, karena
kata-kata pujiannya tadi terutama kata-katanya yang terakhir, boleh dibilang diucapkan dengan
nada manja sekali, tentu saja kata-kata tersebut membuat Beng Wi-cian harus meringis menahan
perasaannya
Sementara pembicaran itu berlangsung, para jago dari pihak Mo-kauw tetap duduk sila ditempat
selalu tanpa mengucapkan sepatah katapun, rupanya mereka berperinsip: Sambil berpeluk
tangan melihat harimau berkelahi.
Ditengah kebeningan yang mencekam seluruhnya jagad, tiba-tiba Hong Liong berkata dengan
wajah menyenangi seram, “Bocah cilik dari keluarga Hoa mungkin engkaulah si anak jadah yang
dipelihara Hoa Thian-hong dengan Pek Kung gie?”
Hoa In-liong berwajah tampak dan menarik dipandang kebagusan rupanya kebanyakanya diwaris
dari type wajah ibunya karena itu bagi mereka yang pernah berjumpa dengan Hoa Thian-hong
serta Pek Kun gie, tidak sulit untuk menebak indentitasnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
537
Tak terkirakan rasa gusar Hoa In-liong mendengar ayah ibunya dicemooh orang dengan ucapan
yang menghina dan tak sedap di dengar, tapi ia tidak membalas kemarahan tersebut dengan
makian langsung, sebaliknya sambil celingukan kesana kemari seperti lagi mencari sesuatu
serunya keheranan, “Aneh…. benar-benar sangat aneh, barusan kudengar dengan amat jelasnya
gonggongan seekor anjing budukan yang aneh, kenapa disekitar tempat ini tidak kutemukan
seekor anjingpun?”
Coa Wi-wi tertawa cekikikan.
“Hiiihh…. hiiihh…. hiiihh…. kalau anjing itu memakai kulit manusia, sudah tentu jiko tak akan
menemukannya!”
Tak terkirakan rasa gusar Hong Liong ketika dirinya dimaki sebagai seekor anjing budukan yang
gila, sambil menyeringai seram teriaknya penuh kegusaran, “Bajingan, kau pingin mampus!”
Dengan sepuluh jari tangannya direntangkan lebar-lebar, dari jari yang menekuk bagaikan
kaitan, membawa deruan angin pukulan sekencang geledek ia lancarkan sebuah pukulan dahsyat
ke arah dada Hoaln-liong dari tempat kejauhan.
Coa Wi-wi mendengus dingin, sambil melangkah setindak ke depan, telapak tangannya
digetarkan untuk menyambut datangnya ancaman tersebut dengan keras lawan keras.
Orang lain menyaksikan kejadian itu diam-diam merasa sayang, sebab sedemikian dahsyatnya
pukulan tersebut tak mungkin bisa disambut oleh seorang gadis semuda itu, bukankah ini sama
dengan menghantar nyawa si nona itu dengan sia-sia?
Yaa, didalam gusarnya Hong-liong telah menggunakan tenaga sebesar sembilan bagian dalam
serangannya itu, tak seorang pun percaya kalau Coa Wi-wi sanggup menerima ancaman
tersebut.
Malahan ada diantara mereka yang diam-diam memakai kepengecutan Hoa In-liong yang telah
mengobarkan nyawa seorang gadis demi keselamatan diri sendiri, bukankah perbuatan tersebut
sama dengan mencoreng nama baik keluarga Hoa?
Hong Liong sendiri meski merasa agak sayang, tapi luapan marah yang berkecamuk dalam
benaknya betul-betul tak terbendung lagi, pukulan daysyat tersebut tetap dilontarkan ke depan.
“Blaaang….! dua gulung tenaga pukulan yang sama dahsyatnya saling bertemu satu sama
lainnya menimbulkan suatu ledakan yang memekikkan telinga.
Apa yang terjadi kemudian? Oleh hasil tenaga benturan tersebut, tubuh Coa Wi-wi hanya
bergetar sedikit saja, tapi kemudian badannya tetap tegap sekokoh batu karang.
Sebaliknya Hong Liong yang menyerang dengan tenaga besar, malahan kena dipaksa mundur
selangkah kebelakang, itupun dengan susah payah dia musti menjaga keseimbangan badannya
agar tidak terdorong mundur lebih ke belakang.
Dengan kejadiannya bentrokan ini, kontan saja kawanan jago dari Hian-beng-kauw mau pun Mokauw
jadi terkejut dan berdiri terbelalak.
Perlu diterangkan disini, tenaga dalam yang di miliki Hong Liong sedemikian tingginya sehingga
Pek Siau-thian, San ki pangcu tempo dulupun belum tentu dapat mengunggulinya, tapi
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
538
kenyataannya sekarang, jago tangguh tersebut harus menelan kekalahan ditangan Coa Wi-wi,
sudah tahu kenyataan tersebut sangat menggemparkan hati semua orang.
Beng Wi-cian ikut merasa terkesiap, ia lantas berpikir, “Kalau dilihat usianya, paling-paling budak
ini baru berumur enam tujuh belas tahunan, heran, kenapa tenaga dalamnya bisa mencapai ke
tingkatan yang demikian sempurnanya? Kalau dia saja sudah selihay ini apalagi gurunya
dibelakang layar, ooouw, entah sampai dimana ketangguhannya? Celaka…. kalau dilihat sikap
mesra dayang ini terhadap bocah dari keluarga Hoa itu, cepat atau lambat mereka pasti akan
berpasangan, kalau orang tua mereka ikut bersatu dalam satu wadah, bukankah Hian-beng-kauw
cuma kebagian kekalahan yang berulang-ulang?”
Sementara itu Hong Liong sudah berhasil mengendalikan perasaannya, meski rasa ngerinya
masih menyelimuti dada, dengan nada keras ia lantas membentak nyaring, “Wahai budak cilik,
siapakah gurumu?”
“Huuhh…. kau tidak pantas untuk mengetahuinya!” jawab Coa Wi-wi sambil mencibirkan
bibirnya.
Hong Liong semakin naik darah, hanya saja meski dia adalah seorang yang berangasan namun
bukanlah manusia yang tidak mempunyai perhitungan, dia mengerti, seandainya terjadi
pertarungan, niscaya dialah kebagian yang kalah.
“Masa didunia ini benar-benar masih ada sim-hoat tenaga dalam yang jauh lebih tangguh dari
pada keluarga Hoa dari im-tiong-san?” demikian pikirnya, “andaikata….”
Berpikir sampai disini, tak terasa lagi dia berpaling ke arah Beng Wi-cian.
Kebetulan Beng Wi-cian sedang memandang pula ke arahnya, kedua orang itu segera
tersenyum, walaupun tidak berkata kata namun dari senyuman tersebut dapat diketahui bahwa
perasaan maupun jalan pikiran mereka tidaklah jauh berbeda.
Sekarang kedua orang itu mempunyai tujuaa yang sama, mereka hendak menggunakan
kesempatan pada malam ini untuk menangkap kedua orang itu walau dengan cara apapun jua,
atau paling tidak Hoa In-liong harus ditangkap hidup-hidup agar dikemudian hari memberi
kesempatan baginya untuk mundur teratur.
Ditengah keheningan yang mencekam seluruh anggota, tiba-tiba Hoa In-liong bukan
memecahkan kesunyian, “Beng cianpwe, tolong tanya apa jabatanmu dalam perkumpulan Hianbeng-
kauw?”
“Apa salahnya hal ini kukatakan kepada si bocah keparat tersebut….?” pikir Beng Wi-cin.
Ia lantas terbawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh….sekalipun lohu tidak becus, rupanya mendapat perhatian
khusus dari kaucu kami, sekarang menjabat sebagai Thamcu dari ruang Thian-ki kedudukan
yang sangat tentu akan membuat kau jadi kecewa”
“Ooouw…. aku rasa kedudukan tersebut tentulah hanya dibawah seseorang tapi diatas selaksa
orang, bukan demikian?”
“Oooh….bukan, bukan, kawanan jago yang bergabung dalam perkumpulan kami tak terhitung
banyaknya, banyak diantara mereka yang mempunyai jabatan jauh diatas diriku”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
539
Hoa In-liong tertawa.
“Oooh…. masa iya? Sekalipun demikian, dari kekuasaan yang kau miliki saat ini di mana murid
tertua dari sang kaucu pun harus tunduk dibawah perintahmu, dapat diketahui sampai
dimanakah kekuasaan yang kau miliki….”
Diam diam Beng Wi-cian menyumpah dihati, “Sialan, bocah ini benar-benar licik sekali, belum
juga aku buka suara, ia sudah mulai memancing diriku!”
Sambil mengelus jenggotnya diapun menyahut, “Keliru besar jika Hoa kongcu berkata demikian,
kalau toh pada saat ini lohu dapat memberi perintah kepada murid-muridnya kaucu, hal ini
disebabkan karena perintah langsung dari kaucu.
Oleh karena tugas yang musti kuselesaikan, mau tak mau yaa harus begitulah”
Ketika Hoa In-liong mengucapkan kata-katanya untuk pertama kali tadi, paras muka ke empat
Ciu Hoa itu berubah hebat, tetapi setelah Beng Wi-cian memberikan penjelasannya, mereka baru
menjadi tenang kembali.
Hoa In-liong yang berpandangan tajam dapat mengikuti semua kejadian itu dengan seksama,
diam-diam semua kejadian tersebut dicatat didalam hati, ia merasa kalau toh kedua belah pibak
sama-sama mempunyai penyakit hati berarti keretakan diantara mereka dapat ia manfaatkan
dengan sebaik-baiknya.
Setelah berpikir sebentar, Hoa In-liong berkata lagi, “Ooooh….jadi tingkat kedudukan dalam
perkumpulan kalian ditentukan oleh pembagian sektor, lantas dibawah sektor-sektor tersebut
apakah terdapat juga kedudukan seperti Tongcu, Tuo cu dan sebangsanya?”
“Tidak ada, perkumpulan kami berbeda dengan perkumpulan perkumpulan lain, karena itu tiada
pula jabatan-jabatan sejenis itu dalam perkumpulan Hian-beng-kauw!”
“Apakah terdapat pula bagian penerimaan anggota baru seperti yang terdapat di perkumpulan
Kiu-im-kauw?” tanya Hoa In-liong lagi.
Ciu Hoa lo san yang bermuka kuda tiba-tiba menimbrung dari samping, “Barang siapa berani
memusuhi perkumpulan kami, kecuali kcmatian tiada jalan lainnya, karena itu tak perlu ada
bagian semacam itu!”
Dengan gusar Beng Wi-cian melotot sekejap ke arahnya, kemudian sambil tertawa katanya,
“Perkataan dari sam kong perkumpulan kami hanya kata-kata gurauan belaka, harap Hoa kongcu
jangan menganggap serius”
Kemudian setelah termenung sebentar, katanya lebih lanjut, “Walaupun perkumpulan kami tidak
memiliki bidang pencarian anggota baru, tapi seandainya Hoa kongcu ada niat masuk
perkumpulan kami, lohu bersedia menjadi perantara bagimu. Mengingat kau adalah keturunan
dari sahabat lamanya dan lagi memandang kemampuan Hoa kongcu disegala bidang….
haaahh…. haaahhh…. haaahhh….siapa tahu kalau kaucu kami akan memberi jabatan di bawah
satu Orang di atas selaksa orang bagi diri kongcu?”
Hoa In-liong memang menantikan ucapannya itu, buru-buru katanya kembali, “Sebenarnya tokoh
persilatan dari manakah kaucu kalian itu? Harap Beng thamcu bersedia memberitahukan
kepadaku, agar aku Hoa Yang pun tak sampai bersikap kurang sopan”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
540
Beng Wi-cian agak tertegun setelah mendengar perkataan itu, segera jawabnya, “Asal kocgcu
telah bertemu dengannya, kau akan segera mengetahui siapakah kaucu kami itu, maaf, sebelum
mendapat perintah, lohu tak berani lancang untuk memberitahukannya kepadamu”
Pandai amat si tua bangka ini menjaga rahasia, pikir Hoa In-liong dalam hati, “agaknya untuk
menyelidiki siapa gerangan Hian-beng Kaucu itu, aku harus mengambil tindakan yang secepatcepatnya,
sebab malam yaag panjang akan menimbulkan impian yang banyak!”
Setelah mengambil keputusan, dengan wajah yang membesi diapun berkata kembali, “Jikalau
memang demikian, Hoa yang tak berani menyusahkan diri Beng Thamcu lagi, harap Beng
Thamcu memberikan penyelesaian seadil adilnya atas terjidinya peristiwa di pesanggrahan
pertabiban”
Begitu mengatakan, dia lantas berubah wajah, sampai-sampai Beng Wi-cian pun ikut merasa
diluar dugaan, segera pikirnya, “Keteguhan dan kegagahan bocah ini mirip Hoa Thian-hong,
kebinalan dan kelicikannya mirip Pek Kun-gie, dia adalah seorang manusia yang paling susah
dihadapi, heeh…. heehh…. heehh…. kalau membiarkan dia tumbuh jadi dewasa, sudah pasti
akan menjadi Hoa Thian-hong kedua, manusia semacam ini tak boleh dibiarkan hidup di-dunia
ini….”
Berpikir sampai disitu, timballah nafsu membunuh dalam hatinya, ia memutuskan bila malam ini
gagal menawan Hoa In-liong dalam keadaan hidup, maka pemuda itu harus dibunuh sampai
mati.
Hanya saja, lantaran orang lain termasuk seorang manusia yang licik dan banyak akal
muslihatnya, maka sekalipun dihati kecilnya sudah mengambil keputusan, hal tersebut tidak
sampai diperlihatkan diatas wajahnya.
Dalam pada itu Hong Liong sudah ulapkan tangannya, serentak belasan orang anggota Seng sut
pay yang berada dibelakangnya bangkit berdiri dan menyebar keempat penjuru untuk
menghadang jalan mundur Hoa In-liong serta Coa Wi-wi.
“Bocah cilik dari keluarga Hoa!” teriaknya dengan lantang, “engkau ibaratnya pausat lumpur yang
menyeberangi sungai. Menyelamatkan diri sendiri saja sulit, lebih baik janganlah mencampu ri
urusan orang lain!”
Hoa In-liong sadar bahwa keadaan sudah gawat, melihat ada kesempatan baik segera bisiknya,
“Adik Wi, serbu!”
Sambil meloloskan pedang mustikanya, dia ayun tangannya ke depan dan menerjang musuhmusuhnya.
Kebetulan dihadapannya berdiri dua orang imam berjubah kuning, seorang bersenjata ruyung
Thian ong-pian, sedang yang lain bersenjata sepasang palu tembaga Siang oh tong tui, kedua
duanya merupakan senjata berat, terutama pula tembaga itu besarnya bagaikan cawan arak, bila
seseorang tidak memiliki tenaga sebesar ribuan kati jangan harap ia dapat mainkan kedua buah
senjata tersebut dengan leluasa.
Dalam pada itu kendatipun mereka saksikan betapa dahsyatnya serangan yang dilancarkan Hoa
In-liong ternyata kedua orang itu tidak bermaksud untuk menghindari atau berkelit.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
541
Imam berjubah kuning yang mainkan ruyung Thian ong pian itu segera putar senjatanya dan
menghajar iga kanan Hoa In-liong.
Sebaliknya orang yang bersenjata sepasang palu tembaga satu dari kiri yang lain dari kanan
segera menangkis pedang dan menyerang lawan dengan jurus Siang hong kuan lo (Sepasang
angin menembusi telinga.)
Hoa In-liong menjengek sinis, badannya mengegos ke samping begitu terhindar dari babatan
ruyung Thian ong pian yang mengancam iga kanan nya pedang itu diputar ke muka mencukil
sepasang palu tembaga dan balas membabat sepasang pergelangan tangannya.
Gerakan tersebut boleh dibilang merupakan tindakan mengangkat yang berat bagaikan
melakukan yang ringan, dibalik serangan terselip pula gerakan untuk menyelamatkan diri, bukan
saja membuat orang yang bersenjatakan sepasang palu itu harus berkelit ke samping, bahkan
membuat posisi mereka berbahaya sekali.
Hoa In-liong sedikitpun tidak menghentikan gerakan tubuhnya, dalam sekejap mata ia
menyerempet lewat disisi mereka lalu menerjang keluar dari kepungan.
Tiba-tiba dari atas kepalanya terasa ada sambaran angin tajam, begitu tajamnya daya tekanan
tersebut membuat anak itu tak sanggup mengangkat kepalanya.
Hoa In-liong jadi kaget, dalam gugupnya ia gunakan jurus Pau goan sio it (menghimpun tenaga
menjadi satu) untuk melindungi sekujur badannya dari ancaman musuh, kemudian dengan
gerakan Hok-tok han thong (bangau putih menyeberangi kolam dingin) badannya melayang dua
kaki jauhnya dari tempat semula.
Orang yang barusan melancarkan serangan tak lain adalah Hong Liong, semula ia bermaksud
melancarkan sergapan secara tiba-tiba dan berusaha menangkap Hoa In-liong dalam keadaan
hidup-hidup….
Siapa tahu kedua jurus gerakan yang digunakan anak muda itu kesemuanya merupakan jurus
melindungi badan serta menghindari serangan musuh yang amat tangguh dari rangkaian Hoa si
ci-ong kiam cap lak sin cau (enam belas jurus sakti pedang bebat keluarga Hoa), bukan saja
gerakan nya amat lihay, bahkan tenaga dalam yang terpancar keluar ibaratnya dinding baja yang
tak tembus, mau tak mau gagallah ancaman yang telah dipersiapkan dengan seksama itu.
Tapi Hong Liong bukan manusia sembarangan, ia tak mau sudahi ancamannya dengan begitu
saja begitu ancamannya gagal, serentak badannya menerjang lebih jauh, serangan-serangan
mematikan pun dilontarkan secara bertubi-tubi.
Kontan saja Hoa In-liong merasakan datangnya daya tekanan seberat bukit karang, dalam
keadaan demikian, ia tak berani berayal lagi pedang mustikanya diputar secara sedemikian rupa
hingga menimbulkan desingan tajam yang memekikkan telinga.
“Sreeet….! seeeet….! seeeet…. secara beruntung ia keluarkan jurus-jurus tangguh dari Hoa si
ciong kiam cap lak sin cau untuk menghalau ancaman yang datang dari pihak lawan, jurus-jurus
itu adalah Kiu thian ci lay (sembilan langit penuh seruling), Su ku-ciong mong (keheningan
menyeli muti empat penjuru) serta Im yang ji-khek (im-yang dua kubut)….
Seketika itu juga Hoa Liong berbalik kena didesak sehingga harus mundur berulang kali ke
belakang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
542
Kenyataan ini sangat menggusarkan Hong Liong kemarahannya meluap-luap, pikirnya, “Kalau
cuma anak jadahnya Hoa Thian-hong dengan Pek Kun gie pun tak mampuku kukalahkan, betapa
malu aku?”
Ia jadi kalap serangannya makin gencar, kali ini ia menyerang dengan menggunakan ilmu ngo
kui im hong jiau (cakar angin dingin lima setan), tampaklah lima gulung waha hitam yang
membawa bau amis memancar keluar dari ujung jari tangannya, dengan membawa desingan
angin tajam, ia melepaskan ancamannya secara bertubi-tubi.
Berbicara sesungguhnya, tenaga dalan yang dimilikinya jauh lebih unggul daripada Hoa In-liong,
dengan dilancarkannya serangan secara gencar, kendatipun ilmu Hoa si ciong kiam cap lak sin
ciau tiada tandingannya dikolong langit, namun dengan tenaga dalam yang belum sempurna,
sulitlah bagi Hoa In-liong untuk membendung serangan musuh, secara beruntun ia kena di desak
sampai mundur berulang kali.
Walaupun keadaan sudah berubah, akan tetapi bila Hong Liong ingin merobohkan Hoa In-liong
dalam delapan sepuluh jurus belaka, hal ini masih merupakan suatu hal yang tak mungkin bisa
terjadi.
Ketika Hoa In-liong berteriak “Serbu!” tadi , CoaWi-wi segera menjajakkan kakinya ke tanah,
bagaikan seekor burung walet tubuhnya melambung di udara dan menerjang musuhnya dengn
kecepatan yang luar biasa.
Dua orang imam berjubah kuning yang kebetulan berada dihadapannya, cepat menggerakkan ke
empat buah telapak tangan mereka melepaskah sebuah pukulan dahsyat ke tubuh Coa Wi-wi.
Sudah tentu gadis tersebut tak pandang sebelah matapun terhadap mereka, merasakan tibanya
ancaman, telapak tangannya segera di getarkan kemuka melepaskan pukulan yang tak kalah
dahsyatnya.
“Blaaang….! Dalam waktu singkat, dua orang imam baju kuning itu merasa datangnya tenaga
tekanan yang maha dahsyat menindih dada mereka, sedemikian beratnya tekanan tersebut
membuat kuda-kuda mereka jadi rapuh dan tergempur.
Darah panas bergolak dalam dadanya, kepala terasa pusing, mata berkunang-kunang, dada
terasa mual dan badannya harus mundur lima enam langkah sebelum bisa berdiri tegak, dari
tanda-tanda tersebut jelaslah sudah bahwa isi perut mereka sudah terluka.
Masih untung Coa Wi-wi tidak menyerang secara keji, kalau tidak, niscaya dua lembar nyawa
mereka sudah terlepas dari raga masing-masing….
Meminjam daya pantulan dari tenaga serangan mereka, Coa Wi-wi melambung kembali ke udara
tangannya mendayung dan menepuk berulang kali di udara, dengan entengnya ia sudah
melayang sejauh tujuh kaki dari tempat semula.
Seandainya ia ingin berlalu dari situ, hal mana dapat dilakukan dengan sangat mudahnya, dan
siapapun jangan harap bisa menghalang-halangi kepergiannya.
Akan tetapi, sewaktu ia berpaling dan dilihatnya Hoa In-liong sedang dihadang oleh Hong Liong
dengan serangan-serangannya yang gencar, gadis iiu membatalkan niatnya untuk pergi, ia putar
badan dan menerjang kembali ke dalam gelanggang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
543
Hal inipun merupakan perhitungan dari Hong Liong, dia tahu asal Hoa In-liong dapat dihalangi
kepergiannya, niscaya Coa Wi-wi tak akan pergi dengan begitu saja, karenanya dia hanya
pusatkan segenap perhatiannya untuk menghadapi Hoa In-liong seorang.
Beng Wi-cian telah mengadakan persiapan semenjak tadi, cepat ia menuju ke muka
menyongsong datangnya gadis tersebut.
Tenaga dalamnya tidak berada dibawah kekuatan Hong Liong, dengan sendirinya seraDgan yang
ia lancarkan juga teramat tangguh, seketika itu juga jalan pergi Coa Wi-wi terhadang
Secara berturut turut gadis itu mengganti gerakannya untuk melepaskan diri dari penghadangan
lawan, namun semua usahanya gagal, lama kelamaan mendongkol juga hati dara itu.
Dengan dahi berkerut, ia berseru penuh kemarahan, “Hmmm….! Tadinya kukira kau adalah
seorang manusia baik-baik, tak tahunya kau juga sama saja. Baik, akupun tak akan berlaku
sungkan-sungkan terhadap dirimu lagi”
Beng Wi-cian tertawa.
“Maafkanlah daku nona, yaa, apa mau dikata, tugaslah yang mewajibkan lohu untuk bertindak
begitu “katanya.
Sembari berkata, dengan sepenuh tenaga dia lancarkan serangan dengan menggunakan ilmu
Sing eng pat ciang (Delapan Pukulan Elang Sakti) yang di tekuninya selama ini.
Demikian dahsyatnya serangan yang kemudian dilancarkan, ibaratnya seekor burung elang yang
menyambar-nyambar dari udara.
Coa Wi-wi mendengus dingin, telapak tangan kanannya melancarkan serangan tipuan, lalu kedua
jari telunjuk dan jari tengahnya ditegangkan bagaikan tombak, dalam ayunannya kesana kemari,
belasan buah jalan darah penting disebelah kanan tubah lawan terkurung dibawah ancamannya.
Itulah jurus Pian tong put ki (berubah tanpa bergerak), gerakan pertama dari ilmu Su siu huan
heng ciang (pukulan empat gajah berubah bantuk) yang diciptakan Bu seng (malaikat ilmu silat)
Im-Ceng.
Terkesiap hati Beng Wi-cian menghadapi ancaman yang maha dahsyat itu, ia sadar bahwa
kemampuannya tak sanggup untuk menghadapi serangan sedahsyat itu.
Buru-buru ia keluarkan jurus Sim eng ti leng (elang sakti rentangkan sayap) untuk
menyelamatkan diri.
Sepasang telapak tangan direntangkan ke samping, lalu bagaikan menepuk seperti juga
membabat, sambil putar badan ia lancarkan serangan, dengan memaksakan diri disambutnya
juga datangnya ancaman tersebut.
Kendatipun demikian, toh bahu kanannya kena diserempet juga oleh sapuan jari tangan Coa Wiwi
Rasa sakit yang merasuk ke tulang sumsum timbul dari bahu kanannya, membuat separuh
badannnya jadi kaku bagaikan lumpur, dalam gelisahnya cepat dia berteriak, “Kiu coan liong si
(lidah naga berputar sembilan kali)!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar