RAHASIA HIOLO KUMALA
By Gu Long / Khu Lung
Translated by Tjan I.D
Credit to: axd002, keysha aysel
Source: ecersildejavu
Jilid 1
Di perkampungan Liok-soat sanceng yang letaknya dibukit In-tiong-san dalam bilangan propinsi
San-se, hiduplah seorang pendekar besar yang namanya tersohor dimana-mana.
Pendekar besar itu she Hoa bernama Thian-hong, ilmu silatnya tinggi dan tiada tandingannya di
kolong langit, orang persilatan menyebutnya dengan julukan Thian-cu-kiam, pedang raja langit.
Dua puluh tahun berselang, kaum iblis dan manusia jahat menguasai dunia persilatan waktu itu
suasana dalam sungai telaga tak aman, kejahatan merajalela, banyak pertikaian dan perselisihan
terjadi dimana-mana.
Seorang diri dengan kekuatan yang dimilikinya Hoa Thian-hong telah tampilkan diri untuk
menegakkan keadilan serta kebenaran.
Setelah berulangkali mengalami kejadian-kejadian besar yang mempertaruhkan jiwanya, hawa
sesat dan hawa iblis dapat dilenyapkan dari muka bumi, dunia persilatan telah memasuki babak
kehidupan baru.
Selama dua puluh tahun terakhir, dunia persilatan aman tenteram tak pernah terjadi peristiwa
apapun, keamanan dan kedamaian tersebut boleh dibilang berkat kebijaksanaan serta kebesaran
jiwa Hoa Thian-hong.
Tahun ini Hoa Thian-hong telah memasuki usia setengah baya, ilmu silatnya mencapai tingkatan
yang lebih tinggi dan nama besarnya ibarat matahari ditengah awan, setiap umat persilatan
memandangnya sebagai tulang punggung sungai telaga, malahan para pekerja dan rakyat
kecilpun mengenal siapakah Hoa Thian-hong itu.
Tengah hari baru lewat, sebuah kereta kuda tiba-tiba muncul dari balik pepohonan dan dilarikan
secepat cepatnya menuju tanah perbukitan In-tiong-san….
Di bawah terik sang surya yang menyengat badan, kusir itu sudah bermandi keringat, tapi tak
mengenal lelah, cambuknya diayun berulang kali mengiringi hardikan-hardikan pendek, kudanya
dilarikan amat kencang.
Selang sesaat, kereta itu sudah menembusi sebuah lembah yang dalam, dan perkampungan
Liok-soat sanceng pun muncul di depan mata.
Kusir itu tidak mengurangi kecepatan lari keretanya, malahan ia mengayun cambuknya semakin
gencar.
Derap kaki kuda, gelindingan roda kereta yang ramai memekikkan telinga, sehingga mengejutkan
penghuni perkampungan itu, Tiong Liau pelayan tua perkampungan itu cepat memburu keluar
dari halaman.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
2
Ketika melihat sebuah kereta kuda menerjang masuk ke dalam perkampungan dengan kecepatan
tinggi, cepat menjura sambil menyapa, “Tahan! Tolong tanya tamu dari mana yang telah
berkunjung……?”
“Nona Suma dari kota Lam-yang!” sahut laki-laki kusir kereta itu dengan lantang.
Tiong Liau, pelayan tua itu tampak tertegun, sementara ia belum mengucapkan sesuatu, kereta
kuda itu sudah menerjang tiba dengan cepatnya, terpaksa dia menyingkir ke samping.
Dengan disertai suara derap kuda dan gelindingan roda yang ramai, kereta itu lewat di sisinya
dan menerjang masuk ke dalam perkampungan.
Sementara itu beberapa orang telah muncul di depan pintu gerbang dipaling depan adalah
seorang laki-laki berperawakan tinggi tegap dengan memakai jubah berwarna hijau, dialah tuan
rumah perkampungan ini atau lebih dikenal sebagai pedang raja langit Hoa Thian-hong.
Di samping laki-laki itu menyusul putra sulungnya yang bernama Hoa Si, kemudian dipaling
belakang adalah beberapa orang pelayan.
Sekejap mata kemudian kereta itu sudah tiba di depan pintu gerbang, ketika dilihatnya kusir
kereta itu tak mampu mengendalikan lari kudanya, seorang pelayan segera melompat ke depan,
sepasang telapak tangannya segera direntangkan dan serentak kedua ekor kuda itu mengangkat
sepasang kaki depannya ke atas, Liong Liau si pelayan tua yang telah memburu datang, segera
menarik tali les kuda itu dan keretapun tertahan secara paksa.
Setelah kereta berhenti, hordenpun tersingkap menyusul dua orang gadis berpakaian kabung
meloncat turun sambil memayang seorang gadis berbaju putih blaco dengan sepasang mata
yang merah membengkak kebanyakan menangis.
Mengetahui siapa yang datang, Hoa Thian-hong amat terperanjat, cepat ia maju menyongsong
sambil menegur, “Si-moay, apa yang telah terjadi….?”
Gadis berbaju putih blaco itu bernama Suma Jin, dia adalah putri tunggal dari Suma Tiang-cing,
seorang pendekar persilatan yang amat tersohor namanya dalam sungai telaga.
Suma Tiang-cing adalah saudara angkat ayah Hoa Thian-hong, oleh sebab itu walaupun usia
Suma Jin masih muda, ia berada satu tingkatan dengan Hoa Thian-hong, dan merekapun saling
menyebut saudara dalam tingkat kedudukan yang seimbang.
Bertemu dengan Hoa Thian-hong, gadis Suma Jin tak dapat mengendalikan rasa sedihnya lagi, ia
menangis tersedu-sedu, sambil memberi hormat serunya dengan nada pilu, “Ooh….toako…”
Tiba-tiba gadis itu mundur dengan sempoyongan, kemudian roboh tak sadarkan diri di atas
tanah.
Dua orang gadis berkerudung yang ada di sisinya cepat memburu maju dan memayang Suma Jin
yang pingsan.
“Ikuti aku,” kata Hoa Thian-hong kemudian sambil ulapkan tangannya dan melangkah masuk ke
dalam ruangan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
3
Sewaktu berjalan melewati sebuah serambi, seorang dayang cantik baju hijau muncul dan
memberi hormat, kemudian berkata, “Lapor toaya, Lo Taykun ada perintah untuk mengundang
nona Suma masuk ke ruang dalam untuk minum teh!”
Dalam pada itu Suma Jin telah sadar kembali dari pingsannya, Hoa Thian-hong lantas membawa
mereka mengitari sebuah serambi samping, menembusi sebuah jalan setapak yang dikelilingi
semak dan pepohonan siong yang rindang, akhirnya masuk ke dalam sebuah bangunan megah.
Di dalam bangunan megah inilah Bun Taykun ibu Hoa Thian-hong berdiam, waktu itu kedua
orang istrinya yakni Chin si atau nama aslinya Chin Wan hong dan Pek-si atau nama aslinya Pek-
Kun-gi menyambut di depan pintu.
Berjumpa dengan kedua ensonya, kembali Suma Jin merasakan suatu pukulan batin yang keras,
ia menjerit, “Oooh, enso….” untuk kesekian kalinya dara itu menangis tersedu-sedu dengan
sedihnya.
Dua orang nyonya itu jadi terperanjat, cepat mereka membimbing Suma Jin masuk kedalam
ruangan.
Bun Taykun yang sudah beruban rambutnya duduk bersila di atas sebuah kursi terbuat dari kayu
cendana, sebelum nyonya tua itu buka suara Suma Jin telah menjatuhkan diri berlutut seraya
menangis tersedu-sedu, bagaikan bendungan yang jebol air matarya jatuh bercucuran
membasahi pipi dan bajunya.
“Anak Jin, jangan menangis dulu!” ujar Bun Taykun dengan wajah setenang-tenangnya “Coba
terangkan, mengapa kau datang kemari dengan mengenakan pakaian berkabung? Janganjangan..”
“Oooh, bibi….!” jerit Suma Jin sambil menangis sedih, “Ayah dan ibu.. mereka….”
Tiba-tiba gadis itu jatuh semaput lagi.
Toa-hujin (nyonya pertama) Chin Wan-hong segera maju memayang bangun Suma Jin dan
mendudukkan di kursi, secepat kilat ia menotok tiga buah jalan darah penting di depan dada
gadis itu.
Selang sesaat kemudian, Suma Jin tarik napas panjang dan sadar kembali dari pingsannya,
seorang dayang cantik lari ke kamar belakang dan mengambil sebutir obat penenang, Chin-si
lantas melolohkan obat tersebut ke mulut dara itu.
Dari sikap serta tindak tanduk yang ditunjukkan Suma Jin secara lapat-lapat semua orang sudah
mendapat firasat jelek, mereka menduga bahwa keluarga Suma sudah tertimpa tragedi yang
memilukan hati, perasaan hati mereka mulai tak tenang.
Setelah Suma Jin dapat sadar kembali, Bun taykun nyonya tua itu barulah bertanya, “Anak Jin,
apa yang telah terjadi? Siapa yang tertimpa kemalangan? Engkau harus berbicara dengan hati
tenang, hilangkan dulu rasa sedihmu, dan kisahkan apa yang telah terjadi?”
Suma Jin masih terisak katanya tersendat-sendat, “Ayah dan ibu… mee… mereka berdua…te…
telah mati dibunuh orang….!”
“Apa?!” seru Bun Taykun dengan terperanjat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
4
Suma Jin menggetarkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi hanya isak tangis
yang kedengaran, sambil meninju dada sendiri kembali dara itu menangis menggerung-gerung.
Kendatipun semua orang sudah mendapat firasat bahwa keluarga Suma telah tertimpa bencana
namun setelah berita itu muncul sendiri dari mulut Suma Jin, tak urung semua orang terkesiap
juga dibuatnya, sekejap mata semua orang berdiri dengan kepala tertunduk, ditengah
keagungan yang mencekam ruangan itu hanya isak tangis yang kedengaran.
Tiba-tiba Suma Jin meronta bangun, sambil jatuhkan diri berlutut di hadapan Bun Taykun,
keluhnya sambil menangis, “Ayah dan ibu Jin-ji telah mati dibunuh orang, Jin-ji mohon sudilah
kiranya bibi mengingat hubungan keluarga kami, agar mengambilkan keputusan bagi keponakan
perempuanmu ini!”
Titik air mata jatuh berlinang di atas pipi Bun Taykun yang keriput, ia menghela napas panjang
dan sahutnya, “Bagaimanapun juga, sakit hati harus dituntut balas, aku akan mengaturkan
tindak pembalasan ini bagimu, cuma… engkau tak boleh terlalu bersedih hati, karena kepedihan
dapat merusak kesehatan tubuhmu!”
Suma Jin masih tetap menangis, katanya, “Keponakan tak dapat menahan rasa pedih yang
serasa menyayat-nyayat hatiku…”
Air mata mulai mengembang dikelopak mata Hoa Thian-hong, ujarnya pula, “Adikku, janganlah
terlalu bersedih hati, kisahkan dulu apa yang telah terjadi, setelah kami tahu duduknya
persoalan, akan kami susunkan rencana besar untuk melakukan pembalasan dendam.”
Terkenang kembali kematian yang mengenaskan dari ayah dan ibunya, Suma Jin merasa hatinya
sakit seperti ditusuk pisau, sambil menahan isak tangisnya ia menyahut, “Ibu tidur dalam kamar
belakang sedang ayah tidur di kamar luar, kedua orang itu dibunuh orang secara bersamaan
dalam semalaman!”
Bun Taykun tidak langsung menanggapi, ia berpikir dalam hati, “Kasihan bocah ini, saking
sedihnya karena ketimpa bencana, sampai bicarapun tak karuan…”
Ia menghela nafas panjang, lalu bertanya, “Kapan terjadinya peristiwa ini??”
“Empat hari berselang!” sahut Suma Jin sambil menyeka air matanya yang meleleh keluar.
“Apakah di atas layon paman dan bibi terdapat bekas-bekas luka yang kentara?” tanya Hoa
Thian-hong.
Sambil menggigit bibir menahan emosi sahut Suma Jin, “Luka-luka itu semuanya berada di atas
tenggorokan… luka… luka itu bekas gigitan yang rata, seakan-akan seperti digigit oleh sejenis
makhluk yang buas”
Bun Taykun berkerut kening, lama sekali dia termenung lalu baru berkata lagi, “Kiu-mia-kiam-kek
(jago pedang bernyawa sembilan) merupakan seorang jago lihay yang berilmu tinggi, tak nanti
jenis makhluk buas macam apapun sanggup melukai tenggorokannya, apalagi sampai merenggut
selembar jiwanya!”
Suma Jin dapat menangkap bahwa dibalik ucapan Bun Taykun terdapat banyak hal yang patut
dicurigai, ia menangis semakin menjadi.
“Lelayon ayah dan ibu hingga kini belum dikubur…” rintihnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
5
Mendadak seperti teringat akan sesuatu, ia menengadah dan melanjutkan lagi kata-katanya,
“Oooh iya…pembunuh keji itu meninggalkan sebuah tanda lambang……”
“Apakah tandanya itu?” Bua Taykun cepat bertanya.
Dengan air mata masih bercucuran Suma Jin menjawab, “Sebuah hiolo kecil yang terbuat dari
batu kumala hijau!”
Dia lantas merogoh ke dalam sakunya dan mengambil keluar sebuah hiolo kecil kumala hijau
yang tingginya dua inci dan lebarnya beberapa inci, indah dan menarik sekali bentuk serta ukiran
benda itu.
Paras muka Bun Taykun, Hoa Thian-hong beserta kedua orang nyonya yakni Pek-si dan Chin-si
segera menunjukkan perubahan hebat, wajah maupun sikap mereka penuh diliputi emosi.
Suasana dalam ruangan itu jadi sunyi tak kedengaran sedikit suarapun, jarum yang jatuhpun
mungkin kedengaran amat jelas!
Bun Taykun berempat hanya bisa saling berpandangan, delapan buah sorot mata sama-sama
tertuju pada hiolo kumala yang berada ditangan Suma Jin, rasa murung, heran, bingung, gelisah
dan tercengang bercampur aduk dalam perasaan hati mereka, dapat melihat betapa kalut dan
kacaunya pikiran keempat orang itu.
Suasana serba misterius dan aneh dengan cepat menyelimuti seluruh ruangan yang sepi itu,
mereka yang merasa tingkat kedudukannya rendah tak berani buka suara ataupun mengajukan
pertanyaan, ini menyebabkan setiap orang merasa tak tenang, setiap orang merasa tegang dan
memandang serius masalah yang sedang dihadapinya.
Tiba-tiba Suma Jin menangis menjadi semakin menjadi, katanya sambil menahan isak tangis,
“Apa sebabnya kalian membungkam? Apakah dalam dunia persilatan dewasa ini, masih ada
orang yang ditakuti dan disegani oleh keluarga Hoa.?”
Makin dipikir gadis itu merasa makin sedih, isak tangis yang memecahkan kesunyianpun
kedengaran makin mengenaskan hati.
Dengan lembut Bun Taykun berkata, “Nak, engkau tak usah banyak memikirkan soal yang
bukan-bukan, ketahuilah bahwa apa yang telah kujanjikan selamanya tak akan kuingkari kembali,
tadi aku kan sudah berjanji akan balaskan dendam sakit hati atas kematian ayah ibumu…”
“Oooh.,.. bibi, beritahu kepadaku, siapakah pembunuh yang telah membinasakan ayah ibu Jin-ji?
Lambang siapakah hiolo kumala kecil ini….? Bibi jawablah pertanyaanku ini!”
“Suatu tanda yang begini kecil belumlah cukup untuk membuktikan bahwa pemilik benda inilah
pembunuh orang tuamu, kau harus tahu bahwa manusia dalam dunia persilatan kebanyakan licik
dan banyak tipu muslihatnya, mereka gemar memutar balikkan duduknya persoalan, maka
sebelum urusan ini dibuktikan sampai jelas, lebih baik tak usah bersikeras untuk menjatuhkan
tuduhan atas diri seseorang!”
“Benar, engkau tak usah terlalu kuatir” Chin Wan-hong, nyonya pertama menanggapi pula
dengan wajah serius, “Setelah dia orang tua berjanji, maka walaupun harus menghadapi
kesulitan macam apapun, dendam sakit hati dari paman Suma pasti akan dituntut balas!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
6
Pek Kun-gi, nyonya kedua tiba-tiba berpaling ke arah suaminya, kemudian bertanya, “Apakah
engkau dapat membuktikan bahwa hiolo kumala ini adalah barang asli?”
Hoa Thian-hong agak tertegun sesudah mendengar pertanyaan itu kemudian katanya, “Si-moay,
bolehkah kau pinjamkan hiolo kumala itu padaku?”
Buru-buru sama Jin serahkan hiolo kumala itu kepada saudaranya, setelah menerima benda itu
Hoa Thian-hong menelitinya dengan seksama, kemudian meletakkan benda itu di atas sebuah
meja kecil.
Mendadak ia gigit jari tengah sendiri sampai robek, darah segar yang meleleh keluar segera di
tampung ke dalam hiolo kumala tersebut.
Tinggi hiolo kumala itu tak lebih cuma beberapa inci, dengan sendirinya takaranpun kecil sekali
sebentar kemudian darah segar telah memenuhi isi hiolo tersebut.
Dengan sorot mata setajam sembilu, Hoa Thian-hong mengawasi hiolo kumala itu tanpa
berkedip, rupanya ia sedang memperhatikan sesuatu yang sangat menarik.
Diantara sekian banyak orang yang hadir dalam ruangan itu, hanya Hoa Thian-hong seorang
yang mengenal sifat dan keistimewaan hiolo kumala itu, Bun taykun sendiripun tak tahu maka
ketika melihat ia penuhi hiolo tersebut dengan darah, semua orang lantas menunjukkan wajah
tercengang dengan tatapan mata tak berkedip mereka awasi terus hiolo kumala kecil itu.
Lama… lama sekali… hiolo kumala itu masih tetap berwarna hijau tua, sama sekali tidak
menunjukkan perubahan apapun, namun paras muka Hoa Thian-hong makin lama semakin
memucat akhirnya sekujur badannya ikut gemetar keras.
Kiranya pada permukaan bagian luar dari hiolo kumala itu muncullah beberapa baris titik merah
yang makin lama semakin nyata, oleh karena Hoa Thian-hong menghadapkan bagian yang
bertitik merah itu ke hadapannya sendiri, tentu saja kecuali dia seorang, orang lain tidak berhasil
menemukan sesuatu apapun.
Setelah sekian lama dibiarkan, garis-garis merah yang timbul diluar permukaan hiolo tersebut
makin kelihatan jelas, dan akhirnya terbawalah empat baris syair dengan masing-masing baris
terdiri dari lima buah huruf.
Tentu saja huruf-huruf merah itu kecil sekali, sebab hiolonya sendiri cuma beberapa inci, dengan
sendirinya tulisan pada permukaannyapun jauh lebih lembut.
Kendatipun begitu, huruf-huruf yang kecil itu bukan suatu hitungan bagi Hoa Thiia-hong untuk
membacanya, dengan tenaga dalam yang sempurna dia memiliki pula ketajaman mata yang
melebihi orang lain, mata terbacalah tulisan tersebut berbunyi demikian, “Bibit cinta adalah
kebencian, pedang mustika menghibur hati yang duka, setitik air mata kepedihan, kutitipkan
pada orang yang tak setia pada cinta.”
Membaca isi bait syair tersebut, Hoa Thian-hong tak dapat mengedalikan kepedihan hatinya lagi,
dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, ia bergumam, “Setitik air mata kepedihan,
kutitipkan pada orang yang tak setia pada cinta…”
“Blaaanng!” mendadak ia menghantam meja kecil itu keras-keras sehingga hiolo kumala itu
mencelat ke udara, darah segar yang berada dalam hiolo itupun berhamburan ke empat penjuru
dan menodai sekujur badan Hoa Thian-hong.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
7
Semua orang terperanjat sementara Chin-Wan hong dan Pek Kun-gi segera menghampiri
suaminya dan menghibur dengan kata-kata yang lirih.
Hoa Thian-hong ulapkan tangannya mencegah ke dua orang istrinya buka suara, dia alihkan
sorot matanya ke wajah ibunya, sementara rasa gugup bercampur menyesal menghiasi raut
wajahnya.
Dengan sorot mata dalam Bu Taykun menatap wajah putranya, kemudian seraya menggelengkan
kepala ia berkata, “Engkau tak usah gelisah ataupun terbawa oleh emosi, akan kuatur sendiri
semua persoalan ini hingga beres!”
Dengan sedih Hoa Thian-hong tundukkan kepala, lalu menghela napas panjang.
Seorang dayang cantik baju hijau muncul dari ruang dalam dengan membawa satu stel baju
baru, kemudian melayani majikannya untuk menggantikan baju yang ternoda oleh darah itu
dengan pakaian yang baru.
Sementara itu, suasana dalam ruangan tercekam kembali dalam kesunyian, tak kedengaran
sedikit suarapun disana, Bun Taykun duduk sambil memejamkan mata, ditengah keheningan
semua orang-orang terbuai oleh jalan pemikirannya masing-masing, siapapun tak berani buka
suara untuk mengacaukan suasana disaat itu.
Tiba-tiba Suma Jin meraba hatinya dingin separuh, suatu perasaan hampa dan kecewa yang
aneh dari dasar lubuk hatinya dan menyelimuti seluruh perasaan hati dara itu.
Dahulu ia menganggap Hoa Thian-hong dan ibunya lebih agung dan lebih hebat dari malaikat
dalam anggapannya kelihayan Hoa Thian-hong dan ibunya sudah mencapai puncak yang tak
terhingga sehingga siapapun tak akan berani mengusik mereka.
Maka tatkala ayah dan ibunya dibunuh orang, tidak menunggu sampai layon mereka
dikebumikan, gadis itu segera berangkat ke perkampungan Liok-soat sanceng.
Dalam pikirannya, asal ia dapat berjumpa dengan Hoa Thian-hong berdua niscaya sakit hati
kematian orang tuanya bakal terbalas.
Tapi sekarang ia mulai sangsi, ia mulai merasa bahwa duduknya persoalan tidak segampang apa
yang diduga semula meskipun untuk sesaat ia belum dapat menebak sebab musababnya tapi
secara lapat-lapat dara itu sudah mempunyai suatu perasaan, suatu firasat bahwa soal
pembalasan dendam akan mengalami banyak kesulitan, tidak semudah dan selancar apa yang
diduganya semula.
Tiba-tiba Bun Taykun membuka matanya kembali, setajam sembilu sinar mata nyonya tua itu,
ujarnya dengan lambat, “Aaak Jin, tahukah engkau sampai dimana akrabnya hubungan
kekeluargaan antara keluarga Hoa kami dengan keluarga Suma kalian??”
Suma Jin agak tertegun, lalu sahutnya agak gelagapan, “Keponakan hanya tahu bahwa ayah dan
empek Hoa adalah saudara sehidup semati!”
“Itu berarti hubungan mereka sudah melampaui hubungan antara sesama saudara kandung
bukan?” sambung Bun Taykun dengan suara dalam, sesudah berhenti sebentar, ujarnya pula,
“Tiga puluh tahun berselang, golongan lurus dan golongan sesat telah mengadakan suatu
pertemuan besar di Pak-beng-hwe, dalam pertarungan yang kemudian terjadi banyak jago silat
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
8
dan kaum pendekar dari golongan lurus yang menemui ajalnya, termasuk pula empek Hoa mu,
dia tewas dalam pertempuran yang amat seru itu!”
Menyinggung kembali peristiwa lama, semua anggota keluarga Hoi jadi bersedih hati, air mata
jatuh bercucuran, kaum wanitanya malahan menahan isak tangis.
Terdengar Bun Taykun berkata lebih jauh, “Pada waktu itu, aku dengan menahan rasa sedih dan
benci menerjang keluar dari kurungan musuh, dan selanjutnya selama sepuluh tahun belakangan
bersama Hoa toakomu berdiam dibukit Hu ou san, di sana kami hidup mengasingkan diri, setiap
hari kerjanya hanya melatih dari dengan tekun dan rajin. Belasan tahun kemudian kami baru
muncul kembali di dunia persilatan, sekali lagi kami bertarung melawan golongan sesat dan
golongan hitam, Akhirnya setelah melampaui pertarungan di lembah Cu bu kok, kaum lurus dan
golongan pendekar dapat menongol kembali dalam dunia persilatan….”
(Untuk mengetahui cerita tersebut, silahkan membaca cerita silat yang berjudul: Bara Maharani,
disadur oleh penyadur yang sama).
“Keponakan sudah seringkali mendengar ayah menceritakan tentang kegagahan dan kehebatan
bibi serta Hoa toako, sewaktu ayah masih hidup, beliau paling mengagumi kalian berdua,” ujar
Suma Jin dengan pedih.
Bun Taykun tertawa ewa.
“Kata kagum lebih baik tak usah kau singgung lagi. Aku bercerita demikian adalah berharap agar
engkau mengerti bahwa keluarga Hoa bukanlah keluarga yang melupakan mana budi mana
dendam, dimana kebenaran itu harus ditegakkan kami berani pertaruhkan jiwa dan raga kami
untuk membangunnya kembali, ketahuilah aku dan Hoa toakomu bukan manusia-manusia
sebangsa kurcaci yang takut menghadapi kematian.”
“Tentang soal ini, keponakan telah mengetahuinya,” kembali Suma Jin mengangguk.
“Kalau engkau sudah tahu itu lebih bagus lagi,” ujar Bun Taykun dengan serius, “Sekarang aku
ingin bertanya padamu, engkau berharap kami yang balaskan dendam bagimu, ataukah kau
sendiri yang akan membalaskan dendam bagi kematian orang tuamu? Ambillah keputusan yang
tegas!”
“Keponakan…” Gadis she Suma ini tak sanggup melanjutnya lagi, air matanya bercucuran dengan
derasnya.
Bun Taykun melanjutkan ucapannya, “Dengarkan dulu ucapanku hingga selesai, Bila kau
berharap agar kamilah yang membalaskan dendam bagimu, maka dalam satu tahun mendatangi
aku akan bertanggung jawab untuk serahkan batok kepala pembunuh itu kepadamu, sebaliknya
bila kau ingin membalas sendiri dendam sakit hati orang tuamu itu, maka engkau harus
mengikuti aku selama tiga tahun. Dalam dua tahun yang pertama, akan kuwariskan semua
silatku, kemudian pada setahun yang terakhir engkau belajar pedang dari Hoa toakomu, setelah
tiga tahun melatih diri, aku tanggung ilmu silat yang kau miliki pasti jauh di atas kepandaian
pembunuh itu, dan soal membalas dendam hanyalah suatu, pekerjaan yang sangat mudah!”
Mendengar ucapan tersebut, tanpa berpikir panjang lagi Suma Jin menyahut, “Dendam sakit hati
orang tua lebih dalam samudra, hidup sebagai putri manusia, siapa yang tak ingin membalas
sendiri sakit hati orang tua..? Keponakan rela mengikuti bibi selama tiga tahun, keponakan ingin
manfaatkan waktu yang ada untuk memperdalam ilmu silat kemudian akan kubunuh musuh
besarku dengan tanganku sendiri.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
9
“Bagus! bagus! Anak baik, kau punya semangat” puji Bun Taykun dengan senyum dikulum “mulai
sekarang engkau harus dapat mengendalikan emosi, simpanlah rasa sedihmu itu dalam-dalam
pusatkan semua perhatian dan pikiran untuk berlatih ilmu, akulah yang akan mengatur segala
sesuatunya bagimu.”
Suma Jin mengiakan berulang kali, dia lantas jatuhkan diri berlutut dan mengucapkan rasa
terima kasihnya karena akan diberi didikan ilmu silat.
Terdengar Bun Taykun berkata lagi, “Selama beberapa hari ini kau selalu dicekam oleh
kesedihan, apalagi harus menempuh pula perjalanan jauh untuk datang kemari, sekarang
pergilah untuk beristirahat, jangan biarkan badanmu diserang oleh penyakit yang akan
melemahkan diri sendiri.”
Lalu sambil berpaling pada cucu laki dan cucu perempuannya, ia menambahkan, “Kalian semua
boleh segera mengundurkan diri, temani bibi Jin untuk pergi beristirahat”
Mendengar perkataan itu, terpaksa Suma Jin harus mohon diri untuk berlalu dari sana,
sementara Hoa Thian-hong dengan memimpin adik-adiknya mengundurkan diri pula untuk
menemani Jin kokohnya.
Sepeninggalnya beberapa orang itu, dalam ruangan tinggal Bun Taykun, Hoa-Thian-hong, kedua
orang hujinnya serta dayang cantik baju hijau itu.
Tampak Bun Taykun termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia menghela napas panjang
dan bergumam, “Agaknya beban yang amat berat ini terpaksa harus dilimpahkan di atas bahu
loji!”
“Ibu….” Chin Wan hong berseru tertahan, tampaknya ia terkejut oleh keputusan ibu mertuanya.
Bun Taykun menatap sekejap pada menantunya lalu berkata lagi, “Kecuali berbuat demikian,
rasanya tiada jalan lain yang lebih baik, yaa…. apa boleh buat?”
Paras muka Chin Wan hong diliputi kemurungan, ia melirik sekejap ke arah suaminya, waktu itu
Hoa Thian-hong sendiripun tampak sangat murung, maka sorot matanya dialihkan kembali ke
arah ji hujin Pek Kun gi.
Waktu itu Pek Kun-gi sedang duduk menjublak di atas kursinya, seperti disambar guntur disiang
hari bolong, nyonya cantik itu duduk termangu air matanya seperti layang-layang putus benang
meleleh membasahi pipinya yang halus.
“Panggil Ji kongcu untuk menghadap!” kembali Bun Taykun berseru dengan suara dalam.
Dayang cantik baju hijau itu mengiakan. ia lantas mengundurkan diri dari ruangan tersebut.
“Ibu!” kata Pek Kun-gi kemudian sambil menahan isak tangisnya, “Anak Liong nakal dan tak bisa
bekerja, kalau biarkan dia berkelana seorang diri dalam dunia persilatan, apa…apakah tidak
terlalu berbahaya?”
Bun Taykun menghela napas panjang, “Aaai…! Ketika Thian-hong mulai berkelana dalam dunia
persilatan tempo hari, ia baru berusia enam-tujuh belas tahunan, sedang Liong-ji kendatipun
nakal dan tak tahu aturan, tapi dengan usianya sekarang sudah sepantasnya untuk berkelana
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
10
dalam dunia persilatan serta melakukan beberapa buah perbuatan mulia untuk kepentingan umat
manusia.”
“Apakah dalam persoalan ini tak dapat diwakilkan kepada menantu saja untuk diselesaikan?”
pinta Pek Kun gi.
“Aaai….! Bila engkau dapat menyelesaikan persoalan ini, berarti aku pun bisa menyelesaikan pula
masalah ini bukan begitu?”
Air mata bercucuran makin deras dipipi Pek Kun gi, ia berpaling ke arah suaminya dan
menatapnya dengan penuh permohonan.
Hoa Thian-hong menggerakkan bibir ingin mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut akhirnya
dibatalkan dan kepalanya tertunduk rendah-rendah, meskipun ia merasa berat hati untuk
melepaskan putranya pergi, tapi apa boleh buat?
Tiba-tiba dayang cantik baju hijau itu masuk kembali ke dalam ruangan dengan langkah tergesagesa,
katanya, “Lapor Lo Taykun, Ji kongcu tidak berada dalam perkampungan budak telah
mengutus orang untuk keluar kampung mencari jejaknya.”
“Apa nona-nona sekalian ada di dalam perkampungan?” tanya Bun Taykun setelah berpikir
sebentar dengan dahi berkerut, “Semua nona berada dirumah!”
Bun Taykun kembali terpikir lalu katanya lagi, “Di lembah bukit sebelah selatan tinggal
sekeluarga pemburu mereka mempunyai seorang anak perempuan yang bernama….”
“Ji- kongcu sudah tidak bermain lagi dengan nona itu……” cepat dayang cantik baju hijau itu
menukas. “Walau begitu budak telah mengutus orang untuk mencarinya kesitu!”
“Apakah dia punya kenalan nona-nona cantik diluar bukit?” tanya Wan-hong mendadak.
“Ada memang ada, cuma Ji kongcu jarang pergi mencari mereka, adalah nona nona itu yang
sering datang mengganggu Ji kongcu!”
“Blaammm…..!” tiba-tiba terdengar suara meja di pukul keras-keras, menyusul Hoa Thian-hong
berseru gemas, “Binatang cilik, benar-benar bikin hatiku jadi keki!”
Semua orang dibikin terperanjat oleh tindakan tersebut, Bun Taykun menatap putranya sekejap
dengan pandangan dingin, dibalik sinar matanya itu penuh mengandung nada menegur, Hoa
Thian-hong merasa sangat tak enak hati, dengan tundukkan kepalanya ia memohon maaf,
“Ananda telah hilaf, harap ibu jangan marah!”
Bun Taykun mendengus dingin, sorot matanya beralih kembali ke wajah Chin Wan-hong, katanya
kemudian, “Aku punya rencana untuk mengutus Liong-ji segera berangkat, ambillah kaus kutang
pelindung badan itu.”
Ch|n Wan-hong tampak tertegun, tapi ia segera beranjak seraya menyahut, “Menantu terima
perintah!”
Diapun mengundurkan diri dari ruangan itu, sepeninggal Chin-si, Pek Kun-gi juga berkata, “Ibu,
menantu ingin membenahkah sedikit bekal untuk anak Liong, sebentar aku kembali lagi kesini.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
11
“Cepatlah pergi dan cepat kembali kesini,” sahut Bun Taykun sambil ulapkan tangannya,
“berkelana dalam dunia persilatan berbeda dengan melakukan perjalanan untuk melancong,
sebilah pedang yang tajam sudah lebih dari cukup!”
Pek Kun-gi mengiakan berulang kali, diapun berlalu dari ruangan tersebut.
Sementara itu Hoa Thian-hong sudah termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia berkata
kepada ibunya, “Ibu, Liong-ji terlalu romantis dan suka pelesiran, ia nakal dan lagi susah
dididik….”
Mendadak ia temui paras muka ibunya agak tidak beres, maka kata selanjutnya lantas ditelan
kembali.
Dengan dingin Bun Taykun berkata, “Kejadian yang ada didunia ini ibaratnya orang yang bermain
catur, seringkali tanpa diminta seseorang akan mengalami kejadian yang sama sekali diluar
dugaan. Bayangkan sendiri dengan tabiatmu yang polos dan sederhana, toh setiap kali
menghadapi kejadian yang hebat maka urusan dapat kau selesaikan dengan sendirinya? itulah
sebabnya aku berani mengutus Liong-ji untuk menyelesaikan persoalan ini, karena sampai
dimanakah kemampuan Liong-ji, kita kan tak dapat menerka sebelumnya??”
Hoa Thian-hoag menghela nafas panjang.
“Aaaaii….! Bagaimanapun juga, ananda selalu merasa bahwa kecerdikan binatang itu ada
batasnya, ketebalan imannya masih kurang teguh dan dia bukan seorang yang berbakat untuk
diserahi tugas berat, aku kuatir kalau dia tak akan mampu untuk memikul beban seberat ini.”
“Aaaai! sekalipun tak mampu untuk memikulnya, dia harus memikulnya juga!” sahut Bun Tay kun
dengan suara dalam, keresahan terlintas di atas wajahnya.
Hoa Thian-hong tertegun, katanya lagi dengan tergagap, “Ananda tetap merasa, lebih baik
ananda sendiri yang menyelesaikan persoalan ini….”
Sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya dengan wajah sedingin salju Bun Taykun, telah
mendengus dingin, dengan ketakutan buru-buru Hoa Thiau-hong membungkam dan tundukkan
kepalanya.
Melihat keadaaan puteranya, Bun Taykun kembali menghela nafas panjang, kepada dayang
cantik berbaju hijau itu katanya, “Ambilkan kotak kayu cendana itu!!”
“Baik…” jawab sang dayang dengan cepat.
Ia lari masuk ke dalam ruangan, selang sesaat kemudian muncul kembali dengan membawa
sebuah kotak kayu cendana warna merah dan diletakkan dihadapan Bun Taykun.
Menyusul kemudian toa-hujin Chin Wan-hong masuk ke dalam ruangan dengan membawa kaos
kutang pelindung pedang, dan akhirnya Pek hujin masuk dengan membawa sebilah pedang antik
yang panjangnya empat depa.
Bun Taykun lantas berkata lagi kepada dayang baju hijau itu, “Perbanyak orang-orang yang
melakukan pencarian, sebelum matahari tenggelam di langit barat, Ji kongcu sudah harus
ditemukan!”
Dayang baju hijau itu mengiakan, buru-buru ia berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
12
Keheningan kembali mencekam seluruh ruangan itu, empat orang duduk membungkam di sana
sambil menunggu Ji kongcu Hoa yang kembali.
Suasana dalam ruanganmu ibaratnya gendewa yang sudah ditarik hingga menegang, begitu
sesaknya hingga sukar digunakan untuk bernapas.
Mendadak Hoa Thian-hong buka suara keras sekali nadanya, “Bagaimanapun juga, aku tetap
beranggapan bahwa binatang cilik itu kurang cerdik, susah untuk diserahi tugas seberat ini.”
Chin Wan hong berpaling dan memandang mertuanya, lalu berkata dengan suara lirih, “Apa
salahnya kalau kita utus anak Si saja? Ibu, Si-ji adalah putra sulung kita, usianya jauh lebih tua,
sepantasnya kalau dia kita kirim untuk mencari pengalaman.
“Kalian hanya tahu satu tak tahu dua, latar belakang yang menyelimuti masalah ini sebetulnya
sangat ruwet dan sukar diraba dengan kata-kata, meskipun Si-ji lebih tua dan lebih matang, tapi
kurang cekatan menghadapi setiap perubahan, jika kita suruh dia yang memikul tugas ini, maka
keadaannya akan jauh lebih berbahaya lagi.”
Suara langkah manusia berkumandang dari luar kamar, menyusul seseorang berseru dengan
nyaring, “Nek! Nek….! Engkau yang mencari aku? Liong-ji sudah pulang…”
Seorang pemuda tampan dengan jubah warna hijau dan menggoyangkan sebuah kipas muncul
dalam ruangan itu, senyum manis tersungging di ujung bibirnya.
Pemuda tampan ini tak lain adalah putra kedua dari Hoa Thian-hong yang bernama Hoa Yang
dengan nama kecil In-liong, seharian dipanggil Liong-ji atau anak Liong, tahun ini berusia
delapan sembilan belas tahunan, dibandingkan toakonya Hoa Si, lebih mudah dua tahun.
Semuanya Hoa Thian-hong mempunyai tiga orang putra dan dua orang putri, Putra sulung, putra
bungsu dan dua orang putrinya dilahirkan oleh Chin Wan-hong istri pertamanya, sedangkan
putranya kedua In-Liong dilahirkan oleh Pek kun gi istrinya yang kedua.
Semasa masih muda, Pek Kun-gi adalah seorang dara yang cantik jelita bak bidadari dari
kahyangan, bahkan terkenal sebagai Bu-lim-tit-it-bi-jin atau, perempuan yang tercantik di dunia
persilatan.
Hoa In-liong dilahirkan oleh ibunya yang cantik, tak heran kalau wajahnya tampan dan memiliki
daya pesona yang gampang membuat orang jatuh hati kepadanya.
Bun Taykun tersohor karena memiliki peraturan rumah tangga serta sistim pendidikan yang ketat
dan keras sedang Hoa Thian-hong adalah lelaki yang jujur, bijaksana dan sangat berbakti pada
orang tuanya.
Putranya yang sulung Hoa Si merupakan seorang pemuda pendiam yang lebih mirip dengan
watak ayahnya, putranya yang bungsu Hoa Wi baru berusia empat belas tahun, meskipun
merupakan kesayangan semua orang, namun tiap gerak-geriknya harus pula menurut aturan.
Sedangkan mengenai nona-nona lainnya, oleh karena merupakan kaum hawa, maka dapat
dibayangkan betapa ketatnya mereka harus mengikuti peraturan dan pendidikan kampung.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
13
Hanya Hoa In-liong seorang yang tak pernah dikekang, semenjak kecil ia sudah suka pelesir dan
bermain sebebas-bebasnya, ia tak mengenal apa artinya peraturan serta larangan, setelah
menginjak dewasa, sifatnya jadi amat romantis, seringkali ia terbitkan keonaran di sana sini,
main perempuan ganti pacar sudah merupakan acara tetapnya setiap hari.
Tentu saja wataknya ini sangat tidak serasi dengan cara berpandangan serta sistim pendidikan
yang diterapkan nenek serta orang tuanya, baik Bun Taykun sendiri maupun Hoa Thian-hong
suami istri telah berusaha dengan segala daya upaya untuk merubah sifat romantisnya ini namun
usaha tersebut selalu sia-sia belaka.
Hanya untungnya walaupun ia romantis dan suka berganti pacar, pada hakekatnya tidak cabul
dan melanggar tata kesopanan, maka meskipun wataknya tak disukai orang tuanya, dari pihak
orang tuapun tak bisa berkutik terhadap putranya ini.
Dengan begitu, lama kelamaan wataknya ini jadi suatu kebiasaan, suatu kebiasaan yang
merupakan “Trade mark” dari Hoa In-liong.
Sementara itu dengan wajah berseri-seri Hoa In-liong berjalan masuk ke dalam ruangan, tapi
tiba-tiba ia merasa gelagat tidak beres, ditemuinya bekas air mata masih menodai wajah ibunya
diam-diam ia terkejut.
Sambil jatuhkan diri berlutut, serunya kemudian, “Liong-ji menghujuk hormat untuk nenek!”
“Bangun!” kata Bun Taykun hambar.
Hoa In-liong makin gugup, ia putar badan dan memberi hormat kepada Hoa Thian-hong, “Liongji
memberi hormat untuk ayah!”
Hoa Thian-hong ulapkan tangannya tanpa menjawab.
Maka Hoa In-liong pun berpaling ke arah Chin si hujin sembari memanggil, “Ibu!”
Air mata masih mengembang dalam kelopak mata Chin-si hujin, ujarnya dengan lembut, “Anak
Liong, kau tentu lelah bukan? Duduk dan beristirahatlah sebentar.,.”
Hoa In-liong mengiakan, dia melangkah maju dan berdiri di samping ibunya, sementara sinar
mata yang tajam menyapu sekejap kaus kutang mustika, pedang mustika beserta hiolo kumala
yang masih berisi darah segar di atas meja kecil.
Selang sesaat kemudian, ia baru bertanya dengan lirih, “Ibu, persoalan apakah yang telah
membuat hatimu jadi sedih, apakah ananda telah melakukan keonaran lagi??”
Ji-hujin Pek Kun-gi menggeleng, ucapnya tersendat, “Kau jangan ribut dulu, nenek ada
perkataan hendak disampaikan kepadamu….!”
Berbicara sampai di situ, tak kuasa lagi dua titik air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
Terdengar Bun Taykun berkata dengan serius, “Liong-ji, tahukah kau bahwa keluarga Suma siokya
mu dikota Lam-yang-hu telah tertimpa bencana besar??”
Hoa In-liong terkejut, capat ia menggeleng.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
14
“Liong-ji tak tahu, waktu itu ananda sedang bersama-sama seorang teman di puncak bukit
sebelah belakang, ananda dengar Tiong Liau…”
“Panggil Lo-koan-keh!” bentak Hoa Thian-hoig penuh kegusaran.
“Baik!” cepat Hoa In-1iong menyahut dengan lirih, “ananda dengar lo-koan-keh memanggil
ananda untuk pulang, maka Liong-ji pun lantas pulang ke rumah, sepanjang perjalanan tidak
kutemui siapapun, karenanya tidak tahu pula apa yang sebetulnya telah terjadi.”
Berbicara sampai disitu, kebetulan dayang cantik baju hijau itu sedang masuk ke ruangan, cepat
Hoa In-liong alihkan sorot matanya ke arah dayang itu dengan tatapan ingin tahu apa gerangan
yang terjadi ditempat tersebut.
Tentu saja dayang baju hijau itu tak berani menanggapi pertanyaannya, cepat kepalanya
ditundukkan.
“Kau berlutut lebih dulu!” tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak dengan suara berat, “nenek
hendak memberikan sesuatu padamu!”
Paras muka Hoa In-liong berubah hebat, dengan agak takut ia maju ke muka lantas jatuhkan diri
berlutut di atas tanah.
Agaknya Bun Taykun sedang merasakan suatu kepedihan yang tak terkatakan, lama sekali ia
murung sebelum akhirnya menghela napas dan berkata, “Liong-ji, ingatlah baik-baik! Suma siokya
serta siok-cu-bo mu itu telah dibunuh orang dikala sedang tertidur nyenyak, mulut lukanya
berada di tenggorokan dengan bekas gigitan yang nyata, agaknya mereka mati digigit oleh
sejenis makhluk binatang.”
“Aaah.,. jadi ada peristiwa seperti ini?” seru Hoa In-liong sambil berkerut kening, “bukankah
Suma siok-ya adalah seorang tokoh persilatan yang punya nama besar selama puluhan tahun,
dengan ilmu silat yang dimilikinya jarang sekali ada orang yang bisa menandingi kehebatannya
lagi.”
Tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan kata-katanya Bun Taykun segera menukas dengan
dingin, “Ketahuiah di atas langit masih ada langit, di atas manusia yang pintar masih ada
manusia yang lebih pintar, kata-kata tanpa tandingan merupakan suatu perkataan yang terlalu
berlebihan!”
Ji-hujin Pek Kun-gi cepat menambahkan, “Liong-ji, di dalam dunia yang amat lebar ini, manusia
pintar tokoh lihay banyaknya sukar dihitung dengan jari tangan, apa yang kau lihat dalam dunia
persilatan tak lebih hanya merupakan sebagian kecil saja, dan sebagian kecil yang kau lihat
belumlah mencakup keseluruhannya, bila di kemudian hari berkelana dalam dunia persilatan,
kata-kata tersebut haruslah kau ingat selalu di dalam hati!”
“Lioag-ji akan mengingatnya selalu!” sahut Hoa In-Uong seraya mengangguk.
Setelah berhenti sebentar, dengan kening berkerut ujarnya lagi, “Menurut apa yang Liong-ji
ketahui Suma siok-ya bukanlah seorang manusia sembarangan, paling sedikit ia memiliki ilmu
silat yang bisa digunakan untuk membela diri, makhluk binatang apakah yang dapat mencelakai
jiwanya? Benar-benar satu kejadian yang aneh!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
15
“Yaa…. api mau dikata bila kenyataan mengatakan demikian? sekalipun tidak percaya, terpaksa
kita harus mempercayainya juga, apalagi apa yang kita ketahui justru diceritakan sendiri oleh Jin
kokoh mu!”
“Sekarang Jin kokoh berada dimana?” tanya si anak muda itu kemudian dengan muka
tercengang.
“Sekarang dia berada dalam kampung kita, oleh sebab kesedihan yang mencekam hatinya sudah
terlampau mendalam, kuperintahkan dirinya untuk pergi beristirahat”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya, dengan pandangan yang tajam ia melirik sekejap ke arah
Hiolo kumala hijau di atas meja.
Sebelum pemuda itu buka suara, Bun Taykun telah berkata lebih dahulu, “Hiolo kumala itu
adalah tanda yang ditinggalkan pembunuh Suma-siok-yamu, bila ingin menyelidiki jejak dari
pembunuh tersebut maka benda itulah merupakan satu-satunya pertanda yang bisa kau selidiki.”
Hoa Thian-hong mengambil hiolo kumala itu dan diletakkan di atas tangannya, kemudian berkata
pula, “Benda ini adalah sebuah hiolo kecil yang terbuat dari batu kumala hijau, ingat saja
bentuknya di dalam hati, tak usah kau bawa serta benda tersebut.”
Mendengar perkataan itu kembali Hoa In-liong mengerutkan dahinya, diam-diam berpikir dihati,
“Kalau toh aku Hoa Yang yang bakal diutus untuk melakukan penyelidikan atas terjadinya
peristiwa pembunuhan ini, sepantasnya kalau hiolo kumala hijau itu diserahkan kepadaku, atau
paling sedikit aku diberi kesempatan untuk memeriksanya dengan seksama….”
Sebagaimana telah kita ketahui, di atas permukaan hiolo kumala hijau itu terukir empat bait syair
Hoa Thian-hong tak ingin putranya mengetahui isi syair tersebut, maka selesai berbicara dia
lantas ambil keluar secarik sapu tangan dan membungkus hiolo kecil itu dengan hati-hati.
Hoa In-liong bukan seorang manusia bodoh, tentu saja ia dapat menebak bahwa dibalik kejadian
itu tentulah ada hal-hal yang tidak beres, namun ia tidak memaksa lebih jauh, kemala neneknya
ia berkata, “Nek ada urusan apakah nenek mengundang kedatangan Liong-ji kemari? Apakah
nenek suka menerangkan?”
Bun-Taykun menghela napas panjang, sahutnya, “Keluarga Suma telah tertimpa bencana besar,
menurut pandanganmu, apa yang harus dilakukan oleh orang-orang keluarga Hoa kita untuk
mengatasi masalah ini?”
Tanpa berpikir panjang Hoa In-liong menjawab, “Dendam terbunuhnya orang tua lebih dalam
dari samudra, apa bila Jin kokoh punya semangat, dia pasti berharap akan membunuh
pembunuh tersebut dengan tangannya sendiri sehingga sakit hati ini bisa terlampiaskan…!”
“Jin kokohmu memang bermaksud begitu.”
“Kalau toh memang begitu, sudah sepantasnya kalau nenek menahannya untuk berdiam di sini
serta mewariskan beberapa macam ilmu silat kepadanya, agar ia mempunyai kekuatan untuk
membalas dendam dan membinasakan pembunuh besarnya itu, hanya saja…”
Tiba-tiba pemuda itu membungkam.
“Hanya saja kenapa?” tanya Bun Taykun dengan nada ewa.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
16
Hoa In-liong termenung dan berpikir sejenak lalu menjawab, “Sekalipun membinasakan
pembunuh keji itu adalah tugas dan kewajiban dari Jin kokoh, bagaimanapun juga sudah
sepantasnya kalau kita orang-orang keluarga Hoa menyumbangkan pula segenap tenaga dan
pikiran untuk membantu bibi untuk melaksanakan pembalasan dendam ini, dengan begitu
kitapun tidak sampai menyia-nyiakan hubungan antar kekeluargaan yang telah dipupuk selama
ini.”
Perlahan-lahan Bun Taykun mengangguk, “Aku sendiripun mempunyai pendapat demikian,”
katanya, “atau paling sedikit kita harus melakukan penyelidikan lebih dulu siapakah pembunuh
keji tersebut, dengan begitu bila Jin kokoh-mu akan melakukan pembalasan dendam di kemudian
hari, diapun tak usah kelabakan untuk mencari tahu siapa gerangan musuh besarnya.”
Tiba-tiba Hoa Thian-hong menyela dengan ketus.
“Nenekmu dan aku telah mengambil keputusan engkaulah yang akan kami utus untuk memikul
tugas berat ini, kaulah yang harus melakukan penyelidikan siapakah pembunuh yang telah
melakukan pembunuhan secara demikian kejinya ini.”
Hoa In-liong mengerutkan kening, dalam hati ia berpikir, “Peristiwa ini sungguh aneh dan
mencengangkan hati….aku tak tahu duduknya perkara, darimana bisa melakukan penyelidikan…”
Rupanya Pek-si hujin atau Pek Kun-gi mengetahui kesulitan putranya, cepat ia menimbung,
“Liong-ji, bila engkau menjumpai hal-hal yang menyulitkan, katakan saja kepada nenek, siapa
tahu kalau nenek akan merombak kembali semua rencana besarnya.”
Bisa dimaklumi betapa erat dan akrabnya hubungan antara anak dan ibu, apalagi anak kandung
yang keluar dari rahim sendiri, tidak heran kalau Pek Kun-gi amat menyayangi putra tunggalnya
ini.
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, dalam hati ia berpikir, “Berbicara menurut aturan,
semestinya neneklah yang harus turun tangan sendiri untuk melakukan penyelidikan, apalagi
dalam adanya nenek dan ayah, aku Hoa Yang masih jauh ketinggalan dengan kehebatan toako,
tapi… Apa sebabnya bukan yang diutus untuk melakukan tugas ini, melainkan pilihan terjatuh
pada aku Hoa Yang? Sudah pasti dibalik kesemuanya ini ada hal-hal yang lebih mendalam
artinya.”
Terpikir sampai disitu, mendadak dia berkata dengan lantang, “Ibu, tahun ini Liong-ji sudah
meningkat dewasa, sudah sepantasnya kalau Liong-ji mendapat tugas untuk melaksanakan
pekerjaan yang sungguh-sungguh karena dengan begitu maka pengalaman dan pengetahuan
Liong-ji pasti akan peroleh banyak kemajuan.”
Ji-hujin Pet-Kun-gi menggerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, namun niat itu
akhirnya dibatalkan perempuan tersebut tak dapat menahan rasa sedihnya lagi, air mata tampak
mengambang dalam kelopak matanya dan perlahan-lahan meleleh ke bawah.
Bun Taykun mendehem ringan, mendadak serunya dengan suara lantang, “Liong-ji, dengarkan
baik-baik perkataanku.”
“Katakanlah nenek, cucunda akan mendengarkannya dengan seksama!”
Dengan wajah serius, Bun Taykun berkata, “Dua puluh tahun berselang! dalam dunia persilatan
terdapat seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dia she Ku bernama Ing-Ing, orang
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
17
persilatan menyebutnya sebagai Giok-teng hujin (nyonya hiolo kumala), benda hiolo kecil yang
terbuat dari batu kumala hijau itu tak lain adalah tanda pengenal miliknya.
“Asal nama dan she-nya sudah diketahui, persoalan ini tentunya lebih gampang untuk
diselesaikan!” seru Hoa In-liong tanpa terasa dengan semangat berkobar.
“Hmmm! Kalau persoalannya semudah ini, tak nanti kami utus dirimu untuk melakukan
penyelidikan,” kata Bun Taykun dengan ketus, “justru menurut apa yang berhasil kami ketahui,
sudah lama Giok-teng hujin meninggalkan dunia yang fana ini.”
“Aaaa…..! Jadi ia sudah mati?” kata Hoa In-liong tercengang, “berita itu hanya berdasarkan cerita
yang beredar dalam dunia persilatan, ataukah ada orang yang menyaksikan dengan mata kepala
sendiri??”
“Ehmm…tak nyana kau cukup teliti dan seksama dalam mengupas setiap persoalan yang sedang
dihadapi, dengan begitu kamipun dapat merasa berlega hati.”
Tiba-tiba dia menepuk kotak kayu cendana yang berada di atas meja kecil, kemudian lanjutnya
terlebih jauh, Giok-teng hujin pernah mengirim sepucuk surat kepada kami dan sekarang surat
tersebut masih tersimpan disini, menurut isi surat tersebut, tentu saja kami menganggap bahwa
ia telah meninggalkan dunia yang fana ini dan telah berpulang ke alam baka.”
Hoa In-liong termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian menjawab, “Jadi kalau
begitu, pembunuh dari Suma siok-ya kalau bukan ahli waris dari Giok-teng hujin, tentu ada orang
telah menggunakan tanda pengenalnya itu untuk mengelabuhi serta membohongi mata dan
pendengaran umat manusia di dunia ini.”
“Aaaai…! Tentang soal ini, sulit sekali untuk dikatakan,” ucap Bun Taykun sambil menghela
napas.
Hoa Thian-hong yang berada disisinya, cepat menyambung, “Untuk membahas dan memecahkan
setiap persoalan yang berhubungan dengan dunia persilatan, janganlah kau mengupasnya
menurut keadaan pada umumnya, sebab seringkali kenyataannya berbeda jauh dengan kejadian
yang kita anggap umum. Demikian pula dengan masalah Giok teng hujin, kemungkinan juga
bahwa sampai sekarang dia masih hidup di dunia ini.”
“Kenapa dengan Giok-teng hujin?” pikir Hoa In-liong dihati, “Sekalipun dia masih hidup di dunia
ini, toh tak akan membuat jeri kita anggota keluarga dari perkampungan Liok-soat-sanceng!”
Tampaknya Bun Taykun dapat menebak apa yang sedang dipikirkan si anak muda itu cepat
katanya dengan dingin, “Ketahuilah, hubungan budi dan dendam antara Giok-teng hujin dengan
keluarga Hoa kita sukar untuk diketahui siapa benar siapa tidak, dan keputusan yang tegas tak
mungkin bisa dijatuhkan Sebab alasan dari persoalan ini tak mungkin bisa diterangkan dengan
sepatah-dua-patah kata saja atau tegasnya andaikata Giok-teng hujin masih hidup di dunia ini,
maka kendatipun kita memiliki ilmu silat yang maha tinggi, juga tak mungkin untuk
melangsungkan pertarungan dengan dirinya.”
Chin-si-hujin atau Wan-hong yang selama ini membungkam terus, tiba-tiba menambahkan
dengan air mata bercucuran, “Dalam suatu masalah kita telah berbuat salah padanya, kami
merasa tak pernah punya muka untuk berjumpa muka dengan dirinya!”
Ucapan ini sangat menggetarkan hati Hoa In-liong, serunya agak terbata-bata, “Laan… lantas
bagaimana baiknya?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
18
Dengan tegas Bun Taykun menjawab, “Bagi kita orang-orang keluarga Hoa, lebih baik kepala
dipenggal darah berceceran daripada melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, aai….
cuma, kadangkala takdir memang mempermainkan orang, ada kalanya sekalipun hati ada
keinginan namun tenaga tidak mengijinkan, dalam keadaan begitu…. yaa apa boleh buat
lagi…….”
Sementara perasaan Hoa In-liong jauh lebih ringan daripada semula, perlahan-lahan berkata,
“Kalau toh kita tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan siapapun, persoalan ini lebih
gampang untuk diselesaikan.”
Bun Taykun tertawa getir, perlahan-lahan dia membuka kotak kayu cendana itu dan mengambil
keluar sepucuk surat lama yang ditaksir sudah berusia dua puluh tahun, sebab kertas surat itu
sudah berubah warnanya menjadi kuning.
Seterang sang surya sorot mata Hoa In-liong, cepat serunya dengan nada lantang, “Inikah surat
yang ditulis sendiri oleh nyonya yang bernama Giok-teng hujin itu?”
“Benar!” sahut Bun Taykun dengan serius “tapi engkau tak boleh mencuri lihat isi surat ini, bila
berani melanggar pantangan tersebut, maka selamanya engkau bukanlah anak cucu dari
keluarga Hoa kami!”
Hebat sekali perubahan wajah Hoa In-liong buru-buru dia menyahut pula dengan serius,
“Sepanjang masa cucunda tak berani melupakan peringatan dari nenek ini….”
Bun Taykun mengangguk, dia serahkan surat tersebut kepada dayang baju hijau yang ada
disisinya lalu memerintahkan, “Bungkuslah sampul surat ini dengan selapis kain berminyak
kemudian jahit dibalik kaus kutang pelindung badan itu!”
“Biar aku saja yang menjahitnya!” seru Pek-si hujin segera.
Buru-buru dayang baju, hijau itu serahkan surat tersebut kepada nyonya majikannya setelah
menyiapkan kain minyak, jarum dan benang maka Pek Kun-gi turun tangan sendiri untuk
menjahit bungkusan berisi surat itu dilapisan paling bawah dari kaus kutang pelindung badan itu.
Sejak awal sampai sekarang Hoa In-liong berlutut terus dihadapan Bun Taykun, oleh karena
neneknya tidak menitahkan kepadanya untuk bangkit, maka pemuda itu terpaksa harus berlutut
terus tanpa bergerak.
Ji-hujin amat sedih melihat keadaan putranya, cepat dia menjahit surat itu di lapisan bawah kaus
kutang pelindung badan, kemudian katanya, “Surat itu penting sekali artinya, sekarang juga
kenakanlah kaus kutang pelindung badan ini!”
Hoa In-liong mengiakan dan bangkit berdiri, setelah melepaskan baju bagian atasnya, ia kenakan
kaus kutang pelindung badan tersebut di tubuhnya.
“Hayo berlutut lagi!” tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak.
“Ya ayah!” sahut Hoa In-liong dengan kepala tertunduk sekali lagi ia berlutut di hadapan
neneknya.
Dengan lembut Bun taykun berkata, “Mengertikah kau apa yang diharapkan ayahmu dari
sikapnya ini? Kau harus mengerti bahwa kejadian yang telah menimpa kita pada hari ini
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
19
menyangkut soal kejayaan serta kehancuran bagi keluarga Hoa kita, di samping itu
mempengaruhi juga soal mati hidup kita semua, dan tanggung jawab yang amat berat ini telah
kami bebankan di atas pundakmu, jika engkau mengerjakan tugas ini semaunya sendiri, maka
hancurlah nama baik keluarga Hoa kita di tanganmu!”
Tercekat perasaan Hoa In-liong setelah mendengar perkataan ini, jantungnya berdebar keras.
“Liong-ji tak berani bertindak secara gegabah!” segera sahutnya dengan serius.
Bun Taykun menghela napas panjang.
“Aaai….! Kaus kutang pelindung badan ini adalah hadiah dari kawan-kawan persilatan wilayah
Kanglam ketika toakomu genap berusia satu tahun, besar sekali manfaatnya bagimu. pertama
bisa dipakai untuk melindungi badan, dan kedua dikala musim dingin kau tak akan kedinginan, di
musim panas kau tak akan kepanasan, janganlah kau anggap remeh kehebatan mustika tersebut
“
“Liong-ji mengerti, Bagaimana dengan suratnya?” kata pemuda itu dengan kepala tertunduk.
Suara Bun Taykun makin nyaring, paras mukanya makin serius, sahutnya, “Tujuanmu
mengarungi dunia persilatan kali ini adalah mencari tahu siapakah pembunuh sebenarnya yang
telah mengakibatkan kematian Suma Siok-yamu berdua. Andaikata pembunuhnya hanya ahli
waris dari Giok-teng hujin atau ada orang yang mencatut nama baiknya, maka persoalan ini pun
menjadi sederhana sekali.”
“Seandainya Giok-teng hujin masih hidup di dunia ini dan dialah yang merupakan otak dari
pembunuhan ini, apa yang harus Liong-ji lakukan??” tanya sang pemuda.
“Andaikata begitu kejadiannya maka dihadapan mukanya kau serahkan kembali surat tersebut
kepadanya.”
“Kemudian…?”
Paras muka Bun Taykun jadi murung, setelah menghela nafas panjang sambungnya, “Kejadian
selanjutnya sukar untuk diduga, terpaksa kita harus nantikan saja, perubahan yang bakal
terjadinya.”
Dengan wajah murung Pek-si hujin berkata pula, “Dalam dunia persilatan pasti akan terjadi
peristiwa yang jauh lebih besar dan hebat, engkau harus bertindak dengan hati-hati dan setiap
masalah dihadapi dengan serius, pusatkan saja semua perhatianmu untuk menyelidiki persoalan
ini, tak usah mencampuri urusan orang yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan
dirimu.”
“Dan masih ada satu lagi yakni kebiasaanmu yang jelek itu,” sambung Hoa Thian-hong dengan
dingin, “lebih baik rubahlah kebiasaan tersebut sehingga tidak mendatangkan kesulitan bagimu!”
“Ananda akan mengingatnya selalu!” jawab Hoa In-liong dengan penuh rasa hormat.
Bun Taykun menghela napas panjang, ia mengerling sekejap ke arah Pek Kun gi, lalu angkat
tangan kirinya dan memberi tanda.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
20
Mendadak air mata bercucuran membasahi pipi Pek-si hujin yang cantik, dengan tangan gemetar
ia cabut keluar pedangnya, kemudian berseru sambil menahan isak tangisnya, “Liong-Ji… kee..
kemarilah……”
Hoa In-liong bangkit berdiri dan menghampiri ibunya, ia bertanda dengan wajah keheranan,
“Ibu, mengapa kau kuatir? Liong-ji pasti akan menghadapi setiap persoalan dengan otak dingin
tak usahlah kau bersedih hati!”
“Aaaai…! Kun-gi, serahkan saja pedang mustika itu kepadaku!” tiba-tiba Bun Taykun berkata
sambil menghela nafas.
Pek-si hujin tampak agak tertegun, kemudian sambil menyeka air mata menyahut, “Biar menantu
lakukan sendiri!”
Semua tindak tanduk dan perkataan yang aneh ini mencengangkan hati Hoa In-liong, dalam hati
ia lantas berpikir, “Sungguh aneh kejadian ini, selama hidup aku tahu bahwa ibu adalah seorang
perempuan yang keras hati, sekalipun dikala sedih dia mengucurkan pula air matanya, “tapi
kesedihannya pada hari ini luar biasa sekali, mungkinkah dia sedih lantaran aku akan
meninggalkan dirinya pergi jauh? Atau kah mungkin disebabkan oleh alasan lain??”
Sementara Hoa In-liong masih termenung, Pek si hujin dengan pedang terhunus telah
menghampirinya, kemudian berkati sambil menahan sesenggukan, “Anakku, rentangkan telapak
tangan kirimu kemudian angkatlah ke depan dada, apa yang hendak kau lakukan?” meskipun
keheranan bercampur curiga pemuda itu merentangkan juga telapak tangan kirinya.
“LIONG-JI, ibu hanya ingin mengukir sebuah huruf di atas telapak tanganmu itu,” sahut Pek-si
hujin dengan pedih.
“Engkau masih ingat dengan gaya tulisannya?” terdengar Bun Taykun bertanya.
“Menantu masih ingat!” Pek-si hujin mengangguk.
Hoa In-liong pun berkata dengan lembut, “Ibu, ukirlah tulisan tersebut ditanganku, hanya
siksaan sekecil itu tak nanti Liong-ji pikirkan dihati.”
Dengan air mata meleleh dipipinya, Pek-si hujin angkat pedangnya ke depan, ujung senjata itu
tertuju pada telapak tangan putranya, setelah menenangkan hatinya, tiba-tiba ia menggigit bibir,
pergelangan tangannya tergetar keras dan cahaya kilatpun menyambar lewat.
Menyusul kemudian Ji-hujin membuang pedang itu ke tanah, dan sambil mendekap muka sendiri
ia menangis tersedu-sedu.
Hoa In-liong sendiri hanya merasakan telapak tangannya jadi dingin, tatkala ia membentangkan
kembali telapak tangannya itu, maka terbacalah sebuah huruf “BENCI” yang masih berdarah.
Dalam pada itu Toa hujin Chin Wan hong serta dayang baju hijau itu sudah maju
menghampirinya, luka yang menggores di telapak tangan itu diberi selapis salep, kemudian di
bungkus dengan kain putih.
Tiba-tiba wajah Hoa In-liong berubah jadi pucat pasi, bisiknya dengan hati tercekat, “Ibu, kau
membenci Liong-ji?”
“Tidak…” jawab Pek Kun-gi sambil menggeleng.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
21
Bun Taykun yang ada disisinya segera menukas pula dari samping, “Tak ada seorang ibu yang
membenci putra kandungnya sendiri, Liong-ji! jangan berpikir yang bukan-bukan.”
Sementara itu Pek Kun-gi telah berkata lagi dengan air mata bercucuran membasahi wajahnya,
“Makna yang sebenarnya dari tulisan itu akan kau pahami dengan sendirinya, sekarang tak
usahlah banyak bertanya!”
Hoa In-liong mengangguk.
“Asal ibu tidak membenci pada Liong-ji, tentu saja ukiran huruf itu tak akan menjadi soal bagi
ku!”
Tiba-tiba Bun Taykun menengadah, lalu menegur, “Apakah Siau-wan-ji di situ?”
Selembar wajah kecil mungil yang cantik muncul dari luar pintu. menyusul bocah itu menyahut
dengan suara manja, “Nenek, aku ingin masuk!”
Nona kecil itu adalah putri bungsu dari Hoa Thian-hong, dihari-hari biasa sangat disayang, oleh
karena banyak persoalan mengusik pikiran nenek tua ini, tentu saja diapun tidak berhasrat untuk
bermain dengan cucu perempuannya.
Sambil berkerut kening, ia lantai ulapkan tangannya sambil menghardik, “Nenek sedang ada
urusan, bermain ke depan sana!”
Siau-wan-ji tampak agak tertegun menyaksikan paras neneknya yang keren, setelah menyapu
sekejap sekeliling ruangan itu, pergilah nona cilik itu dari sana.
Tiba-tiba Bun Taykun membentak lagi, “Liong-ji, dengarkan baik-baik!”
“Silahkan nenek memberi perintah!” sahut Hoa In-liong sambil tundukkan kepala.
“Ada beberapa persoalan harus kau ingat dengan sebaik-baiknya. Pertama, kecuali dikembalikan
langsung kepada Giok-teng hujin, siapapun tak boleh melihat atau membaca isi surat yang
kuberikan kepadamu itu, bilamana keadaan terpaksa, hancurkan dan musnahkan saja surat itu!”
“Cucunda tak akan melupakan pesan ini!”
“Kedua, siapapun yang bertanya kepadamu tentang ukiran tulisan yang berada di telapak tangan
kirimu itu, maka kau harus menjawab bahwa tulisan tersebut sudah ada semenjak dari kecil!”
Sekali lagi Hoa In-liong mengangguk “Akan cucunda ingat pula nasehat ini!”
Setelah berhenti sebentar, Bun Taykun berkata lagi, “Jikalau ada orang menanyakan berapa
usiamu, maka engkau harus memberitahukan satu tahun lebih tua, katakan bahwa engkau
dilahirkan pada tahun Jin-seng bulan cia-gwee tanggal sembilan belas, jadi tahun ini berusia
delapan belas tahun lebih, ingat!”
“Yaa ingat!” sahut Hoa In-liong dengan dahi berkerut, “Liong-ji sudah mengingatnya baik-baik
aku dilahirkan tahun Jin-seng bulan cia-gwe tanggal sembilan belas dan berusia delapan balas
tahun lebih!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
22
Tiba-tiba Bun Taykun menghela nafas panjang. “Aai…… Di antara anak cucu keluarga Hoa hanya
engkaulah gemar berbohong dan engkau pula yang suka bicara tak jujur, maka sekarang kami
akan mengandalkan kemampuan berbohongmu itu untuk bekerja!”
Merah padam wajah Hoa In-liong setelah mendengar sindiran tersebut, dengan gelagapan
sahutnya, “Bila tugas ini telah Liong-ji selesaikan, maka selamanya Liong-ji tak akan berbohong
lagi!”
Bun Taykun mengangguk.
Jilid 02
“SETELAH kepergianmu mengarungi dunia persilatan, maka segala sesuatunya tergantung pada
kemampuanmu sendiri, ketahuilah sekalipun engkau menghadapi mara bahaya, belum tentu
kami dapat menyelamatkan jiwamu.”
“Liong-ji mengerti dan Liong-ji akan baik-baik menjaga diri.”
Mendadak terdengar suara langkah kaki berkumandang dari luar ruangan, menyusul suara Hoa Si
menggema memecahkan kesunyian, “Lapor nenek, cucunda ingin berjumpa!”
“Ada urusan apa?” tanya Bun Taykun. Sambil tetap berdiri di depan pintu, sahut Hoa Si,
“Mendengar dari ucapan Ngo-moay (adik kelima), katanya Ji-te ada urusan akan pergi jauh,
cucunda…”
“Urusan itu tak ada sangkut pautnya dengan dirimu, kau boleh segera mengundurkan diri!”
bentak Bun Taykun.
Hoa Si tampak agak tertegun, tapi dengan cepat sahutnya, “Yaa nenek!”
Ia putar badan dan segera mengundurkan diri.
Sepeninggal Hoa Si, Bun Taykun tundukkan kepalanya dan berpikir lagi beberapa waktu,
kemudian sambil menatap wajah Hoa In-liong katanya, “Sekarang coba pikirlah dengan teliti,
apakah masih ada hal-hal yang mencurigakan, bila sudah tak ada lagi, kau boleh segera
berangkat”
Tanpa berpikir panjang, si anak muda itu menjawab, “Liong-ji masih ada satu hal yang merasa
kurang begitu paham.”
“Dalam hal apa?”
“Apakah diantara Suma siok-ya dengan Giok teng hujin mempunyai perselisihan atau dendam
sakit hati??”
Bun Taykun segera menggeleng.
“Sama sekali tak ada perselisihan atau dendam sakit hati, malahan pada hakekatnya Suma siokya
mu justru berhutang budi kepada Giok-teng hujin.”
“Liong-ji ingin sekali berjumpa dengan Jin kokoh, ingin kutanya lagi dirinya dengan lebih
seksama.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
23
“Tak usah” tukas Bun Taykun dengan cepat. “apa yang dia ketahui telah kau ketahui semuanya.”
Mendengar jawaban tersebut Hoa In-liong lantas berpikir dihati, “Aku lihat dalam masalah ini
banyak terdapat hal-hal yang mencurigakan serta bagian-bagian yang tidak jelas, kalau toh
nenek tak mau memberi penjelasan, terpaksa aku harus melakukan penyelidikan sendiri ditempat
luaran.”
Berpikir sampai disini, diapun lantas memberi hormat seraya berkata, “Apabila nenek tiada
petunjuk lain, Liong-ji ingin segera mohon diri..”
“Cita cita seorang pria sejati berada di empat penjuru, melakukan perjalanan dalam dunia
persilatan bukanlah suatu peristiwa yang besar, baik-baiklah menjaga diri.”
Hoa In-liong mengiakan berulang kali, kemudian jatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali.
Bun Taykun mengangguk, ia berpaling ke arah Hoa Thian-hong dan berkata, “Hantar dia sampai
diluar lembah, tak usah membuang banyak waktu lagi.”
Buru-buru Hoa Thian-hong bangkit berdiri, sementara dua orang ibunya juga sudah menghampiri
pemuda itu.
Pek Kun-gi dengan air mata bercucuran mengikatkan pedang putranya, sementara Chin Wanhong
menyerahkan tiga buah botol porselen kepada pemuda itu yang mana segera disimpan
baik-baik dalam sakunya.
Setelah itu ia baru pamitan kepada kedua orang ibunya kemudian berlalu dari ruangan itu
dengan mengikuti dibelakang ayahnya.
Dibawah pelataran samping, pengurus perkampungan Tiong Liau telah menyiapkan seekor kuda
jempolan berwarna merah membara, Hoa si, Hoa Wi serta saudara-saudara lainnya berdiri
menghantar disitu selain itu terdapat pula seorang dayang yang montok dan berparas cantik.
Hoa Thian-hong tidak berhenti disana, ia langsung menuju keluar perkampungan, melihat itu
semua orangpun dengan mulut membungkam ikut menuju keluar perkampungan.
Dayang montok yang berwajah cantik itu bernama Pek Giok. dia adalah dayang kepercayaan dari
Pek Kun-gi menggunakan kesempatan yang ada diam-diam ia mendekati Hoa In-liong, kemudian
sambil mengangsurkan kipas indah, bisiknya lirih, “Dalam buntalan di atas kuda terdapat seuntai
mutiara, ditaksir harganya mencapai tiga ribu tali emas, sewaktu bermalam dan bersantap harap
siau koan-jin baik-baik menjaga diri.”
Hoa In-liong melirik sekejap ke arah ayahnya yang berjalan di depan, lalu memberi tanda kepada
Pek Giok untuk memperkecil bisiknya.
Selang sesaat kemudian mereka sudah tiba diluar pintu perkampungan, waktu itu pelbagai
pikiran sedang berkecamuk dalam benak Hoa Thian-hong, ditambah pula menyaksikan gaya Hoa
In-liong yang mirip anak hartawan itu, sikapnya yang begitu acuh tak acuh membuat ia semakin
murung. Akhirnya sambil ulapkan tangannya, ia berseru, “Hayo naik kuda dan berangkat, aku
tidak akan menghantar engkau lebih jauh lagi.”
Dalam perkiraan Hoa-In liong, sebelum berangkat ayahnya pasti akan melontarkan pelbagai
nasehat dan peringatan yang kurang sedap didengar, apa mau dikata ternyata dugaan itu sama
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
24
sekali meleset, bukan saja ayahnya tidak mengucapkan sesuatu, malahan menyuruh dia cepatcepat
berangkat.
Tindakan ini membuat perasaan jauh lebih lega, cepat dia berpamitan kepada ayahnya,
kemudian melompat naik ke atas kuda dan melarikannya cepat cepat…
Beberapa hari kemudian ketika senja baru tiba, Hoa In-liong, tuan muda nomor dua dari
perkampungan Liok-soat-sanceng telah muncul diluar pintu utara kota Lam-yang-hu.
Meskipun dandanan si anak muda itu amat sederhana, namun keserhanaan itu tak dapat
menutupi ketampanan wajahnya. Pedang yang tersoren, kuda yang jempolan serta kipas yang
mahal harganya membuat dandanan pemuda itu tak ubahnya seperti dandanan seorang putra
pembesar atau seorang putra usahawan kaya raya, wajahnya sedikit pun tidak nampak letih
walaupun baru saja menempuh perjalanan yang sangatjauh.
Waktu itu malam sudah menjelang tiba, lampu lentera yang terang benderang telah menghiasi
setiap rumah dalam kota itu sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan, pemuda itu menikmati
keindahan malam yang sejuk dengan senyuman dikulum.
Ramai sekali manusia yang berlalu lalang dalam kota itu, sebagaimana tuannya, kuda itupUn
berjalan dengan gagah perkasa, suara keleningan yang berbunyi tang-ting tang-ting
mendatangkan suatu kewibawaan yang membuat orang tak berani beradu pandang dengan
mereka.
Selang sesaat kemudian, kuda merah yang tinggi besar itu berhenti di depan pintu gerbang
sebuah rumah penginapan yang memakai merek “Ko-seng-kek” dengan dikerumuni oleh pelayan,
Hoa In-liongpun dipersilahkan untuk masuk kedalam.
Ko-seng-kek merupakan rumah penginapan mewah yang terbagus dan terindah di kota Lamyang
shia, setelah mendapat kamar dan cuci muka, hidanganpun telah datang.
Sebelum pelayan tersebut mengundurkan diri dari kamarnya, tiba-tiba Hoa In-liong menggape
sembari berkata, “Pelayan, jangan pergi dulu, aku hendak mengajukan satu pertanyaan
kepadamu.”
Pelayan itu tertawa paksa, sambil menghampiri tanyanya, “Kongcu-ya ingin bertanya apa??”
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, ia teguk dulu isi cawannya satu tegukan, kemudian baru
sahutnya, “Aku ingin mencari tahu tentang diri seseorang “
“Ooooh….siapa yang hendak kongcu-ya cari??” senyum yang menghiasi wajah pelayan itu
semakin dibuat buat.
“ orang itu bukan manusia sembarangan, dia punya nama besar yang amat tersohor dikota ini,
she-Suma dan bernama Tiang-cing….”
“Kongcu-ya “ mendadak pelayan itu berseru dengan tergagap. paras mukanya berubah hebat.
Hoa In-liong menunjukkan sikap yang keren kembali bentaknya dengan keras, “Gampangnya
saja, katakan rumah kediaman dari Suma wangwe?”
Pelayan itu agak tertegun, akhirnya ia berbisik dengan lirih, “Dijalan besar sebelah timur, keluar
dari pintu berbelok kekanan, jalanan ketiga itulah letaknya di depan rumahnya.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
25
“Cukup,” tukas Hoa In-liong sambil ulapkan tangannya.
Kemudian ia serahkan sekeping perak kepada pelayan itu sambil menambahkan, “Itu, ambillah
persen buatmu.”
Betapa gembiranya pelayan itu menerima persenan, sambil mengucapkan banyak terima kasih
dia mengundurkan diri dari situ.
Sambil bersantap dan minum arak Hoa In-liong diam-diam memutar otak memikirkan persoalan
itu, batinnya, “Berita tentang terbunuhnya Suma siok-ya sudah tersebar luas diseluruh kolong
langit, tentu kejadian itu merupakan berita yang sangat menggemparkan kota Lam-yang-shia ini,
aaai… banyak manusia banyak ragam pula ceritanya, entah siapa yang benar entah siapa yang
salah, semua orang tak tahu siapakah pembunuh yang sebenarnya, tampaknya untuk
menemukan siapa pembunuh yang sebenarnya bukanlah suatu pekerjaan yang terlalu
gampang…”
Kentongan ketiga baru saja lewat, suara kentongan baru kedengaran berkumandang dari tengah
jalan, Hoa In-liong segera menggembel pedangnya dipunggung, menutup pintu kamarnya dan
diam-diam menyelinap keluar dari penginapan tersebut menuju kejalan raya sebelah timur.
Selang sesaat kemudian, ia sudah menemukan gedung tempat tinggal dari Suma Thiang-cing,
dengan gerakan yang enteng pemuda itu melayang masuk kedalam halaman rumahnya.
Gedung itu gelap gulita dan sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, begitu heningnya
sehingga mendatangkan perasaan seram dan bergidik bagi siapapun yang mendekati gedung
tersebut.
Hoa In-liong berputar menuju ke bangunan sebelah belakang, setelah berputar satu lingkaran
dan membuktikan kalau isi gedung itu benar-benar kosong, dia baru berputar kembali keruang
depan dan membuka pintu.
Ruang dalam itu gelap gulita, bau minyak cati dan batu kapur yang tajam tersiar keluar dari
ruangan tersebut, baunya tak enak dan sangat menusuk hidung.
Pemuda itu seakan-akan mencium bau kematian, bau elmaut yang menyeramkan, membuat
sekujur tubuhnya bergidik dan bulu kuduknya pada bangun berdiri, serentak ia ambil keluar api
dan memasang ober.
Sinar terang memancar keempat penjuru, mengusir kegelapan yang mencekam ruangan
tersebut, pandangannya yang pertama terbentur pada sebuah kain horden yang terkulai jatuh
kebawah lantai, dibalik horden tersebut terbujurlah dua buah peti mati.
Di depan horden terletak sebuah meja sembahyangan disitu terletak papan nama dari Suma
Tiang-cing suami istri, di sampingnya terletak sebuah lampu lentera, ketika lentera tersebut
diamati ternyata minyaknya sudah kering, disisi lain terdapat tempat lilin, cuma lilinnya sudah
habis dan tinggal dua gumpalan ampas lilin yang membeku.
Hoa In-liong berulang kali mengerutkan keningnya, dengan tatapan tajam ia menyapu kembali
sekeliling tempat itu, dilantai ia temukan setumpuk uang kertas emas dan perak yang belum
habis terbakar, maka dia lantas menyulut kertas-kertas itu dan membakarnya, cahaya api yang
berkobar digunakan sebagai sinar penerangan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
26
Suma Tian-cing bergelar Kiu-mia-kiam-kek (jago pedang berjiwa sembilan), semenjak masih
muda sudah mempunyai nama yang amat tersohor, dia adalah saudara angkat dari kakek Hoa
In-liong.
Diam-diam pemuda itu berpikir lagi, “Bagaimanapunjuga toh aku sudah sampai disini, sudah
sepantasnya kalau kusumbang dan ku hormati lelayon mereka.”
Karena berpendapat begitu, maka diapun menjatuhkan diri berlutut di depan peti mati itu dan
menyembahnya beberapa kali.
Si anak muda itu ingin mengucapkan sepatah dua patah kata doa, tapi oleh karena kertas uang
itu sudah habis dan apipun akan padam, cepat ia bangkit dan mengambil kertas uang lagi untuk
membakarnya.
“Blaaang…,” tiba-tiba berkumandang suara benturan keras, pintu ruangan terhembus angin
hingga terpentang lebar, angin dingin yang sangat menggidikan berhembus masuk ke dalam
ruangan mengobrak-abrik kertas uang yang akan dibakar itu hingga tersebar ke empat penjuru,
kobaran apipun seketika menjadi padam.
Hoa In-liong sangat terperanjat, timbul rasa bergidik dalam hati kecilnya, disaat abu kertas uang
beterbangan d iempat penjuru dan jilatan api hampir padam, tiba-tiba ia menemukan sesuatu,
hampir saja ia menjerit kaget.
Sesosok bayangan manusia muncul dari balik kain horden, bayangan itu berwarna putih dan jelas
seorang perempuan… dia berdiri kaku di samping peti mati tersebut.
Cepat Hoa In-liong menekan perasaan ngerinya, sambil berusaha untuk menenangkan diri dan
menyeka keringat dingin pada telapak tangannya menegur, “Siapa yang berada di belakang
horden sana?”
Suasana hening sesaat, kemudian dari balik kain horden muncul suara jawaban, suara itu
memilukan hati, “Aku yang rendah adalah Yu-si, boleh aku tahu siapa nama kongcu?”
“Aku bernama Hoa Yang, berasal dari perkampungan Liok-soat-sanceng…” sahut pemuda itu
berkerut kening.
“Oooh, kiranya Ji kongcu yang telah datang.”
Cahaya api berkilat menerangi seluruh ruangan dari belakang kain horden itu perlahan-lahan
muncul seorang nyonya berbaju kabung putih, mukanya murung dan penuh diliputi kesedihan.
Perempuan itu masih muda dan sedang mencapai usia mekar-mekarnya bunga, cantik jelita
paras muka perempuan itu, meski memakai baju berkabung yang serba putih, namun tidak
menutupi kecantikannya wajahnya yang menawan hati.
Waktu itu Hoa In-liong berdiri di depan meja sembahyangan, ketika ia menatap kemuka,
tampaklah Yu-si berdiri dengan tangan kanan memegang lampu lentera, tangan kiri membopong
sesosok makhluk seperti bayi, satu ingatan cepat melintas dalam benaknya, “Nyonya yang
mengaku she-Yu ini mengenakan pakaian berkabung yang lengkap. itu menunjukkan kalau dia
masih sanak keluarga dari su ma siok-ya, lalu bayi siapa yang dibopongnya itu, apa bayinya
Suma siok-ya dengan perempuan ini?
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
27
Sementara si anak muda itu masih termenung, Yu-si telah meletakkan lampu lentera itu, di atas
meja kemudian perlahan-lahan memutar badan.
Hoa In-liong segera mengalihkan sorot matanya ke arah “bayi” yang berada dalam pelukan
nyoaya itu, tapi apa yang dia lihat? Hampir saja pemuda itu meloncat saking kaget.
Makhluk kecil yang dibopong nyonya Yu itu bukan bayi apa yang dia sangka, tapi makhluk ke cii
itu tak lain adalah seekor kucing, seekor kucing berwarna hitam pekat.
Bulu kucing itu hitam gelap dan bersinar mengkilat begitu hitamnya sehingga boleh dibilang tak
ada warna lainnya, dibawah sorot cahaya lampu, tampaklah sepasang biji matanya yang
berwarna emas memandang kesana kemari dengan jelalatan. sementara itu Nyonya Yu sudah
memberi hormat sambil menegur, “Ji kongcu, apakah kedatanganmu kemari adalah lantaran
mendapat tugas dari orang tuamu?”
Hoa In-liong menenang kang perasaan hatinya yang kalut, kemudian balas menghormat.
“Betul, aku mendapat perintah dari ayahku untuk datang memberi hormat kepada lelayonnya
Suma siok-ya.”
“Apakah nona kami juga sudah tiba diperkampungan Liok-soat-san-cung??”
Hoa In-liong mengangguk.
“Suma kokoh sudah sampai disana, boleh aku tahu apa hubungan nyonya dengan Suma siok-ya
ku itu?”
Nyonya Yu menatap sekejap ke arah pemuda itu lalu sambil menundukkan kepalanya ia
menjawab, “Aku yang rendah adalah bini peliharaan dari lo-wangwe”
“Ooooh Rupanya dia adalah gundiknya Suma siok-ya.” begitulah Hoi In-liong membatin,
“Yaaa… memang tak bisa disalahkan kalau Suma siok-ya pelihara gundik, habis dia sangat
menginginkan anak laki, tapi istrinya melahirkan seorang putri dan kemudian tak punya anak
lagi, siapa tahu dari gundiknya ini ia bisa beranak lagi…”
Setelah mengetahui kalau nyonya itu adalah istri muda Suma siok-yanya, kembali pemuda itu
memberi hormat.
“Aaah… rupanya engkau adalah Ji-hujin (nyonya kedua), maaf bilamana boanpwe kurang hormat
kepadamu.”
“Aku yang rendah tak berani menerima penghormatan sebesar ini dari Ji kongcu.”
Hoa In-liong termenung dan berpikir sebentar kemudian tanyanya lagi, “Apakah dalam gedung
ini hanya tinggal ji hujin seorang diri?”
Nyonya Yu menghela napas panjang, “Aaaai… sebelum nona meninggalkan rumah, semua
dayang dan pelayan telah ia bubarkan, oleh karena aku yang rendah masih teringat oleh budi
kebaikan dari lo-wangwe maka kuputuskan untuk tetap menjaga lelayonnya seorang diri.”
Ji-hujin dapat mengingat kebaikan orang, sungguh hal ini merupakan suatu sikap yang baik,
boanpwe merasa kagum sekali, kata pemuda itu makin menghormat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
28
Kembali Nyonya Yu menghela napas panjang, ia seperti hendak mengucapkan kata-kata
merendah tapi niat tersebut akhirnya diurungkan, kepalanya ditundukkan rendah-rendah, lama
sekali baru katanya lagi, “Ji kongcu, maksud kedatanganmu kemari kecuali untuk menghormati
jenasah dari lo wangwe kami ini, apakah masih ada urusan yang lain.”
“Boanpwe mendapat tugas dari ayahku untuk menyambangi jenasah Suma siok-ya, selain itu
juga hendak mencari tahu siapakah pembunuh yang telah menghabisi nyawa Suma siok-ya kami
itu.”
“Jadi Hoa tayhiap tidak turun tangan sendiri untuk mengatasi peristiwa ini?” tanya nyonya Yu
dengan dahi berkerut.
“Ayah telah serahkan tanggung jawab ini kepada boanpwe, jadi boanpwelah yang akan mewakili
dia orang tua untuk mencari tahu siapa gerangan pembunuh sadis itu.”
Suatu perobahan yang sangat aneh menghiasi paras muka nyonya Yu sehabis ia mendengar
perkataan tersebut, tapi hanya sebentar saja sikap aneh itu sudah lenyap kembali tak berbekas,
sebagai gantinya ia tunjukkan kembali wajah yang kesal dan murung.
Melihat itu Hoa In-liong berpikir dalam hati, “la nampak murung sekali, pastilah dia anggap aku
terlalu muda dan kepandaianku terbatas, maka tugas berat ini tak dapat kupikul “
Sementara masih termenung, tiba-tiba pemuda itu merasakan sesuatu yang aneh, ia merasa
kucing hitam yang berada dalam pelukan nyonya Yusedaag mengawasi dirinya tajam-tajam,
sinar mata berwarna keemas-emasan itu melotot ke arahnya dengan penuh sikap permusuhan,
hal ini lantas menggerakkan hatinya. Ia tertawa nyaring, kemudian menegur. “Rupanya nyonya
suka dengan kucing?”
“Aaai… Rumah hancur manusia pada binasa, sekarang aku hidup sebatang kara, Hek-ji inilah
satu satunya sahabat karibku.”
“Oooh… rupanya kucing hitam itupun punya nama benar-benar menarik hati…” pikir pemuda itu
Terdengar nyonya Yu berkata lebih jauh, “Lo-wangwe kami adalah seorang pendekar besar yang
kenamaan dalam dunia persilatan, meskipun ilmu silat yang dimilikinya belum setanding dengan
kehebatan ayahmu, akan tetapi ia terhitung juga seorang tokoh silat kelas satu dalam dunia
persilatan, itu berarti pula bahwa orang yang bisa membunuh wangwe kami pastilah bukan
manusia sembarangan. sekarang, Hoa tayhiap tak sudi turun tangan sendiri melainkan hanya
mengutus Ji kongcu untuk menyelidiki persoalan ini, apakah hal ini…”
Tampaknya perempuan itu tak ingin banyak bicara, belum selesai ucapan tersebut, tiba-tiba dia
menghela nafas dan membungkam…
Mendengar ucapan tersebut, Hoa In-liong segera tersenyum, katanya, “Tentang soal ini nyonya
tak perlu kuatir, kendatipun boanpwe bodoh dan tak berkemampuan apa-apa, akan kucoba
untuk menggunakan segenap kemampuan yang kumiliki untuk memecahkan misteri ini, dan aku
percaya tugas ini pasti dapat ku laksanakan dengan baik.”
“Aaai…” nyonya Yu menghela nafas lagi “ Kalau toh Ji kongcu sudah mempunyai keyakinan
setebal itu, aku yang rendahpun tidak akan banyak bicara lagi.”
“Semoga nyonya suka memberi petunjuk kepadaku.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
29
“Hmmm Apa yang kuketahui terbatas sekali dan aku rasa nona kamipun tentu sudah
menceritakan segala sesuatunya kepadamu,” sahut nyonya Yu dingin.
Hoa In-liong dapat memaklumi keketusan orang ia berpikir, “Biasanya, kalau seseorang baru
ketimpa bencana maka wataknya jadi lebih kasar dan berangasan demikian pula dengan nyonya
Yu ini, maklum kalau ia begitu kasar dan dingin sikapnya padaku….”
Karena berpikir begitu, maka diapun berkata.
“Menurut apa yang berhasil boanpwe dengan katanya sebab kematian yang menimpa Suma siokya
adalah bekas gigitan yang berada pada tenggorokannya…”
“Nyonyapun mengalami nasib yang sama.” nyonya Yu menambahkan dengan cepat.
“Mumpung tutup peti mati belum dipaku, ingin sekali boanpwe periksa keadaan luka yang berada
pada teng gorokan mereka.”
“Silahkan,” kata nyonya Yu hambar, “yang ada disebelah kiri adalah jenasah dari nyonya.”
Seraya berkata dia ambil kembali lampu lentera itu dari meja, kemudian menghampiri peti mati
itu.
Hoa In-liong sendiripun tidak sungkan-sungkan ia menghampiri peti mati yang ada disebelah kiri,
sepasang tangannya lantas mencengkeram tutup peti mati itu dan siap membukanya .
Ketika itu nyonya Yu berada disebelah kanan Han in-liong, tangan kirinya masih membopong
Hek-ji kucing hitam itu, sedang lentera ditangan kanannya dipegang tinggi-tinggi.
Mendadak si anak muda itu membatalkan niatnya untuk membuka, sebab secara tiba-tiba ia
mengendus sesuatu, mengendus bau harum pupur yang tipis tapi cukup menarik perhatiannya.
Pupur tersebut adalah sejenis pupur keraton yang mahal harganya, tidak sembarangan orang
bisa memakai pupur seperti itu, dan lagi sekalipun punya uang banyak belum tentu orang bisa
mendapatkannya.
Hoa In-liong berasal dari keluarga kenamaan, sejak kecil ia sudah romantis dan paling suka
bermain dan bergaul dengan kaum hawa yang suka memakai pupur wangi seperti itu, maka
dengan sendirinya diapun ahli sekali dalam soal jenis pupur yang sering dipakai kaum hawa.
Ia tampak agak tertegun, ketika coba diperiksa asal mula bau tersebut, segera ditemuinya bahwa
bau itu berasal dari tubuh nyonya Yu, ini membuat anak muda kita diam-diam tertawa geli,
batinnya, “Tak heran kalau nyonya Yu bisa menarik perhatian Suma siok-ya sehingga akhirnya
dikawini menjadi istri mudanya, memang perempuan ini memiliki kelebihan dari pada perempuan
biasa….”
Sementara ia masih termenung, tiba-tiba nyonya Yu berkata lagi, “Ji kongcu, kenapa engkau
ragu ragu…?”
Hoa-In liong tertawa tawa, hawa murninya lantas disalurkan kedalam telapak tangan dan sekuat
tenaga ia coba mengangkat tutup peti mati itu. Mendadak… satu ingatan kembali melintas dalam
benaknya, “Aaai… tidak benar gejala ini Kalau toh nyonya Yu benar-benar berkabung oleh karena
kematian suaminya, mengapa ia masih memakai pupur wangi. Padahal Suma siok-ya sudah mati
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
30
belasan hari, sekalipun masih ada sisa baupupur dari tubuhnya, tak mungkin kalau bau tersebut
seharum dan setajam ini… jelas pupur itu belum lama dipakai pada tubuhnya.”
Menyusul kemudian ia berpikir lebih lanjut, “Eehmm… kalau kuteliti pula sikap serta gerakgeriknya,
gejala ini makin tak beres, kalau toh perempuan ini benar-benar bersedih hati karena
kematian suaminya, maka dia tak akan memusingkan masalah lain, jangankan memakai pupur,
sisir rambutpun belum tentu berminat. …tapi sekarang, bukan saja nyonya Yu mengenakan
pupur wangi, diapun kesana kemari membopong kucing hitam, macam apakah itu??”
Pada dasarnya Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang aneh, kalau toh pada mulanya ia
belum curiga maka segala sesuatunya tidak terpikir olehnya, tapi sekarang, setelah timbul
kecurigaan dalam hati kecilnya, serta-merta banyak hal yang tak beres ditemukan secara
beruntun, dia merasa makin diperhatikan semakin banyak persoalan yang berlawanan dengan
keadaan pada umumnya.
Sementara itu nyonya Yu sudah berkata lagi sambil menghela nafas, “Keadaan lo-wangwe
menjelang saat ajalnya mengerikan sekali, lebih baik Ji kongcu tak usah melihatnya lagi.”
“Benar-benar, perkataan nyonya memang sangat tepat” sahut Hoa In-liong sambil mengangguk
berulang kali.
Tiba-tiba dia alihkan pokok pembicaraan kesoal lain katanya, “Sepantasnya kalau dalam ruangan
sembahyangan ini diberi serentetan lampu lentera yang bersusun-susun, kenapa tak ada benda
tersebut ditempat ini….?”
Mula-mula nyonya Yu agak tertegun, menyusul kemudian sambil menghela napas sedih
sahutnya, “Setelah terjadinya peristiwa ini, aku yang rendah dibikin kalang kabut dan
kebingungan sendiri, sampai segala sesuatunya jadi kelupakan., aaai maklumlah kalau orang lagi
kesusahan.”
“Sekalipun kau lagi berpura-pura, sepantasnya kalau air matamu ikut perkuat sandiwaramu itu,”
pikir Hoa In-liong dihati, “masa bodoh sampai detik ini tak kulihat engkau mengucurkan air
mata…. kan aneh toh kalau seorang istri walaupun cuma istri muda tidak melelehkan air mata
karena kematian suaminya…”
Tiba-tiba ia membentak keras, “Nyonya, hati-hatilah kau, boanpwe akan membuka peti mati ini!”
Sekali disendat, tutup peti mati itu segera terangkat olehnya, setelah tutup peti mati itu terbuka,
bau kapur segera tersebar keempat penjuru diantara bau kapur yang tajam dan menusuk
penciuman itu secara lapat-lapat terselip bau harum bunga yang tipis.
Perlu diketahui daya penciuman Hoa In-liong sangat tajam dan melebihi daya penciuman siapa
pun, begitu tercium bau campur aduk yang aneh dan tak sedap itu, pikirannya lantas terbuka
dan menjadi terang, cepat dia berteriak dengan logat yang aneh, “Aduuuuh mak….harum
sungguh harum.”
Sengaja ia mengeryitkan hidungnya dan tarik napas panjang beberapa kali.
Nyonya Yu tertegun menyaksikan peristiwa itu dia heran mengapa hawa racun yang tersiar
keluar dari balik peti mati itu tidak berhasil merobohkan pemuda tersebut
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
31
Dalam kagetnya telapak tangan kanannya segera ditekan kebawah, lalu menghantam batok
kepala Hoa In-liong dengan lampu lentera, sementara kaki kirinya melancarkan sebuah
tendangan kilat ke arah pinggang si anak muda itu.
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dia putar telapak tangan kanannya dan secara tiba-tiba
mencengkeram lengan nyonya Yu, kemudian menyeret perempuan itu dan ditekannya kedalam
peti mati tersebut.
Sejak penutup peti mati itu dibuka, nyonya Yu sudah menutup semua pernapasannya, tapi
sekarang oleh karena lengannya yang dicengkeram terasa amat sakit, dalam kaget dan
cemasnya dia menjerit tertahan, serta-merta hawa racun itu terkesiap masuk ke lubang
hidungnya, kontan saja perempuan itu roboh tak sadarkan diri.
Semua kejadian ini berlangsung dalam sekejap mata baru saja Hoa In-liong menaklukkan nyonya
Yu, tiba-tiba terasa segulung desingan angin tajam menyergap punggungnya dari belakang.
Sungguh kaget dan tercekat hati Hoa In-liong untung dalam gugup dan cemasnya ia tak sampai
gelagapan secepat kilat badannya menyusup ke arah samping untuk menghindar.
“Breeet…” kendatipun pemuda itu sudah menghindar dengan cepat, tak urung robek juga
sebagian baju yang dikenakannya.
Sementara itu suasana dalam ruangan tengah jadi gelap gulita, sukar melihat kelima jari tangan
sendiri, sebelum Hoa In-liong sempat berdiri tegak. desingan angin tajam itu kembali menyergap
dari belakang.
Buru-buru si anak muda itu berkelit ke samping dengan manis ia menghindarkan diri dari
sergapan maut itu.
Sebagai keturunan jago kenamaan, Hoa In-liong memang cukup mengagumkan, kendatipun
harus bertarung ditengah kegelapan yang sukar untuk melihat kelima jari tangan sendiri, dia
masih sanggup untuk melayani dengan sebaik-baiknya.
Detik itu juga, ia dapat mengetahui siapakah penyergapnya itu, ternyata “Dia” tak lain adalah
“Hek-ji” kucing hitam yang berada dalam bopongan nyonya Yu tadi.
Rasa mangkel, jengkel dan geli bercampur aduk dalam hati pemuda itu, tatKala untuk ketiga
kalinya kerlipan sinar tajam itu menyusup datang segera ia berkelit kesamping, lalu melancarkan
sebuah tendangan kilat ketubuh kucing itu.
Kalau lawannya hanya kucing biasa, tendangan itu niscaya akan menghancur lumatkan tubuhnya
tetapi kucing ini bukan kucing sembarangan, kucing hitam ini keluaran wilayah se-ih yang
termasuk sejenis makhluk buas, karena sudah mendadak pendidikan yang lama, maka tubrukan
serta sergapannya secepat kilat dan jarang meleset dari sasarannya.
Baru saja Hoa In-liong melepaskan tendangan itu gagal mencapai sasaran, malahan sekarang
kucing hitam itu menerjang paha kanannya.
Si anak muda itu tertawa terbahak-bahak, “Haaahhh….haaahhh…haahhh….. Binatang cilik hari ini
saya akan menangkapmu hidup-hidup “
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
32
Timbul kembali sifat kekanak-kanakannya dalam hati kecil pemuda ini, tiba-tiba ia bertekuk lutut
dan berjongkok kebawah, sementara tangan kirinya meraba pakaiannya yang robek tercakar
tangan kanan yang menganggur secepat sambaran petir mencengkeram leher kucing hitam itu.
Tiba-tiba… dari balik horden berkumandang suara suitan tajam yang tinggi melengking.
Suitan tajam itu sangat pendek tapi nyaring, begitu mendengar suitan tersebut, Hek-ji segera
mendekam di tanah, lalu menyusup masuk kebalik horden.
“Bangsat mau kabur kemana?” bentak Hoa In-liong.
Ia menerkam ke depan, ekor Hek-ji lantas di sambarnya dengan cepat, apa mau dikata tiba-tiba
Hek-ji putar badannya sambil menggigit.
Si anak muda itu jadi amat terperanjat sambil menjerit kaget ia tarik kembali tangannya ke
belakang.
Suara langkah kaki manusia bergema dari belakang bangunan, sekejap kemudian suasana pulih
kembali dalam kesunyian.
Secepat sambaran petir Hoa In-liong menerjang ke depan, ia temukan dibalik horden terdapat
sebuah pintu kecil, dibalik pintu terdapat sebuah lorong yang panjang, ketika dia mengejar
sampai kedalam lorong itu, bayangan musuh sudah lenyap tak berbekas, Hek-ji si kucing hitampun
lenyap entah kemana perginya.
Kejadian ini membuat Hoa In-liong jadi terperangah, ia mencoba untuk memeriksa keadaan dl
sekitar tempat itu namun tidak berhasil menemukan sesuatu, tiba-tiba teringat kembali akan
perempuan “nyonya Yu” yang masih pingsan ditepi peti mati.
Cepat-cepat pemuda itu kabur kembali keruang tengah, setelah pasang lentera diperiksanya
sekitar sana, namun apa yang dilihat hanya peti mati belaka, sedangkan nyonya Yu entah sedari
kapan telah dibawa kabur oleh rekan-rekannya.
Tutup peti mati itu masih terbuka, bau kapur yang tajam bercampur harum bunga kui yang tipis
menciptakan suatu campuran bau yang aneh memuakkan dan bikin orang pingin muntah.
Sambil menutup pernafasannya Hoa In-liong mendekati peti mati itu dan melongok kedalam,
jenasah Suma Tiang-cing telah di make-up sehingga tidak nampak sesuatu yang aneh atau
mencurigakan.
Ketika pemuda itu menyingkap bajunya, maka tampaklah pada tenggorokannya terdapat sebuah
lubang sebesar cawan arak. di sekitar lubang itu tertera nyata bekas gigitan yang tajam dan rata,
sudah pasti bekas gigitan dari sebangsa makhluk binatang buas, karena saluran pernafasannya
telah tergigit putus, tentu saja korbannya mati sesak nafas.
“Sreeeett…” tiba-tiba muncul lagi sesosok bayangan manusia, bayangan itu keluar dari bawah
kolong meja, dengan kecepatan seperti anak panah yang terlepas dari busurnya ia melayang ke
udara kemudian kabur menuju keluar pintu, Hoa In-liong segera tertawa tergelak katanya,
“Haaahhh….. haaahhhh…. haaahhh…. nyali kalian memang benar-bsnar besar sekali, Hmm
Apakah tindakanmu itu tidak kelewat pandang rendah jiwa mu?”
Tidak menunggu sampai menutup kembali peti mati itu, ia lantas melompat keudara dan secepat
kilat meluncur ke muka melakukan pengejaran.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
33
Dibawah cahaya bintang, tampaklah bayangan itu mempunyai tubuh yang ramping menawan
hati, ia mengenakan baju ketat warna hitam gelap. sebilah pedang pendek tersoren dipinggang,
usianya masih amat muda, dari gadis ini berparas cantik.
Hoa In-liong melompat dia mengejar dengan cepatnya, dalam beberapa kali lompatan ia sudah
mencapai di samping dara tersebut, sambil menepuk bahunya pemuda itu menegur, “Hey,
kenapa tidak segera berhenti?”
Dengan langkah sempoyongan gadis itu maju beberapa langkah lagi ke depan hampir saja ia
jatuh terjengkang ke atas tanah, untungnya di depan sana adalah sebuah dinding pekarangan,
cepat ia memegang dinding tersebut sehingga tubuhnya tak sampai jatuh tertelungkup.
Tiba-tiba ia mengambil keluar secarik sapu tangan dan menutupi bibirnya yang kecil, kemudian
berbatuk-batuk keras sampai air matapun ikut jatuh berlinang.
Kiranya gadis itu bersembunyi di bawah meja sembahyangan sambil menutup napas, karena
letaknya tertutup oleh kain, kolong meja sembahyangan memang merupakan tempat
persembunyian yang sukar ditemukan orang.
Tetapi karena terlalu lama menahan panas, dan lagi hawa racun yang tersebar keluar dari peti
mati itu kian lama kian menebal, akhirnya gadis itu tak sanggup mengendalikan diri lagi, ia
dipaksa untuk meninggalkan tempat persembunyiannya guna menghirup udara segar.
Dalam pada itu Hoa In-liong telah mengawasi gadis baju hitam itu dengan pandangan tak ber
kedip. diam-diam ia membatin, Dara ini punya pinggang yang ramping, tubuh yang tinggi
semampai serta kulit yang putih halus….eehm, memang tak salah lagi kalau disebut gadis cantik
bak bidadari dari kahyangan.”
Meskipun dalam hati ia sedang berpikir, mulutnya tidak membungkam, tegurnya sambil tertawa,
“Eeh…. eeh…, kenapa kok menangis? aku toh tidak sampai melukai dirimu mau apa kau
mengucurkan air mata?”
Bersemu merah selembar wajah dara baju hitam itu, mendadak ia cabut keluar pedang
pendeknya lalu berseru dengan suara dalam, “Nona mu sama sekali tak ada hubungannya
dengan kematian dari anggota keluarga Suma, keadaan kita ibaratnya air sungai yang tidak
melanggar air sumur, biarkanlah aku pergi dari sini.”
“Haaahhh… haaahhh… haaahhh kalau toh engkau tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa
pembunuhan ini mau apa kau bersembunyi di bawah kolong meja sembahyangan?”
Gadis berbaju hitam itu mendengus dingin, ia melejit dan melayang ke arah pintu gerbang.
Sekali lagi Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak.
“Haaahh… haaah… haaaah… kau toh belum menjelaskan duduknya persoalan, mau apa buru
buru pergi dari sini??”
Sekali melompat, ia sudah menghadang kembali jalan pergi dari dara baju hitam itu.
Agaknya gadis berbaju hitam itu sudah menduga bahwa musuhnya bakal berbuat demikian,
pedang pendek yang sudah diloloskan mendadak ditusuk ke depan, bersamaan itu pula sepasang
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
34
kakinya menjejak tanah dan melayang keudara, kemudian meluncur melewati tembok
pekarangan.
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. ditengah gelak tertawa yang amat nyaring itu, ia
melancarkan sebuah cengkeraman dan menangkap ujung pedang pendek itu.
Kilatan cahaya tajam memancar keluar dari balik pedang pendek itu, memang senjata itu
merupakan sebilah pedang mustika yang tajam sekali, namun dalam cekalan Hoa In-liong
seakan-akan pedang mustika itu bukan sebuah senjata yang tajam melainkan cuma pedang kayu
yang tumpul.
Padahal waktu itu gadis baju hitam tadi sedang melambung diudara, karena merasa berat hati
untuk membuang senjatanya, terpaksa dia tarik nafas panjang dan melayang kembali ke tanah.
Karena gadis itu sudah melayang turun, maka Hoa In-liong pun melepaskan cengkeramannya ia
tertawa lalu berkata, “Nona bolehkah aku tahu siapa nama nona?”
Kejut dan gelisah bercampur aduk dalam hati gadis baju hitam itu, bukan menjawab ia malah
berseru dengan marah, “Berulang kali aku kan sudah menerangkan bahwa aku sama sekali tak
tersangkut dengan peristiwa pembunuhan atas keluarga Suma, buat apa engkau musti banyak
bertanya?”
Hoa In-liong tidak marah, meskipun nada gadis itu kasar malahan dengan senyum dikulum
ujarnya, “Selama hidup aku paling suka berhubungan dengan anak gadis, bila nona tidak
memberi penjelasan seterang-terangnya, jangan harap bisa tinggalkan tempat ini dengan begitu
saja.”
Gadis berbaju hitam itu agak tertegun, lalu makinya, “Huuh, katanya saja keturunan dari
keluarga kenamaan tak tahunya cuma manusia tengik yang suka menggoda kaum lemah.”
“Haaah haaah haah kalau kakakku. memang keturunan tulen dari keluarga kenamaan,
sedangkan adikku Hoa Wijuga benar-benar seorang keturunan keluarga bernama besar,
sedangkan aku sendiri…haaah…haaahh….”
“Kenapa dengan kau?” seni gadis itu ketus. Dengan wajah bersungguh-sungguh Hoa In-liong
berkata, “Aku tak pernah memperdulikan ocehan orang lain, watakku paling aneh dan aku paling
suka berbuat sesuatu menurut suara hatiku sendiri, nona manis….wahai nona manis… setelah
kau terjatuh ketangan Hoa jiya, maka itu sama artinya bahwa kau bakal sial”
Perkataan itu membuat gadis baju hitam tersebut jadi melengak.
Ia lantas berpikir, “Orang she-Hoa ini memang kukoay dan anehnya luar biasa, ia berilmu silat
tinggi, jelas aku bukan tandingannya, mau kabur juga tidak bisa… bagaimana aku sekarang? Apa
yang harus kulakukan??”
Otaknya berputar keras dan berusaha untuk menemukan jalan untuk melarikan diri, Mendadak.
satu perasaan aneh muncul dalam hati kecilnya, merah padam selembar wajahnya, dengan
wajah kemalu-maluan ia tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Sebagaimana diketahui, Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang sangat tampan,
ketampanannya begitu menawan hati membuat setiap nona yang bertemu dengannya boleh
dibilang lebih banyak terpikat daripada tidak.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
35
Kebetulan dara berbaju hitam itu sudah mencapai usia dewasa, dan lagi semenjak kecil jarang
bergaul dengan kaum lelaki lawan jenisnya, maka sewaktu ia merasa bahwa pihak lawannya
adalah seorang pemuda yang sangat tampan, serta-merta hatinya yang baru mekar jadi terpikat,
kontan saja jantungnya berdebar keras, suatu perasaan jengah yang aneh muncul dari hati
kecilnya.
Melihat keadaan sang dara itu, Hoa In-liong tertawa, dari sakunya dia mengeluarkan kipas
bergagang emasnya, kemudian sambil menggoyang-goyangkan kipas itu tegurnya lagi, “Nona,
siapa namamu?”
Dara berbaju hitam itu menengadah dan memandang sekejap ke arah sang pemuda kemudian
sahutnya dengan lirih.
“Kita toh tidak saling mengenal, buat apa musti saling menyebutkan nama?”
“Haaahhh…. haaahhh ….haaahhh kalau memang nona merasa keberatan untuk mengucapkan
namamu, akupun tidak akan memaksa lebih jauh”
Tiba-tiba ia simpan kembali kipasnya, kemudian sambil menunjukkan sikap mempersilahkan
tamunya masuk. Ia menambahkan
“Mari nona, kita berbicara dalam ruang tengah situ saja.”
Gadis berbaju hitam itu agak tertegun, lalu menjawab, “Dalam peti mati itu ada racun kejinya,
sekalipun kongcu tidak takut dengan racun tersebut, siau li tak kuat untuk menahan diri,”
Kali ini nada perkataannya jauh lebih lunak lagi daripada ucapannya pertama kali tadi.
“Darimana kau bisa tahu kalau dalam peti mati itu ada racun kejinya…?” tiba-tiba pemuda itu
balik bertanya.
“Sudah berulang kali kukunjungi tempat ini, sewaktu mereka mengatur jebakan tersebut, secara
diam-diam dapat kulihat semuanya.”
“Mau apa nona datang kesini??”
Sekilas lasa sedih dan kesal melintas di wajah dara baju hitam itu, selang beberapa saat
kemudian dia baru menjawab, “Siau-Ii msmpuayai kesulitan yang tak bisa di katakan kepada
orang lain, pokoknya aku sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa pembunuhan di
keluarga Suma.”
Hoa In-liong termenung dan berpikir sebentar kemudian katanya pula, “Baiklah, akan kututup
peti mati itu agar hawa racun tak sampai menyebar kemana-mana, ikutilah aku.”
Pada hakekatnya pembunuhan atas diri Suma Tiang-cing tidak meninggalkan jejak barang
sedikitpun juga, bisa dibayangkan sudikah pemuda itu melepaskan dara baju hitam itu dengan
begitu saja setelah ia berhasil menemukannya? Begitu selesai berbicara, dia lantas masuk lebih
dulu kedalam ruang tengah.
Ruangan itu gelap gulita, Hoa In-liong memasang api dan menutup kembali peti mati tersebut
kemudian baru berseru lantang, “Nona, sekarang engkau boleh masuk ke dalam.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
36
Waktu itu nona baju hitam itu berdiri diluar ruangan, ia jadi tercengang bercampur keheranan
ketika melihat pemuda itu bisa masuk keluar dalam ruangan itu sambil tertawa dan berbicara,
sedikitpun tidak takut dengan hawa racun yang menyebar keluar dari balik peti mati tersebut.
Baru saja dia akan menggeserkan kakinya untuk melangkah masuk kedaiam ruangan itu,
mendadak satu ingatan terlintas dalam benaknya, ia terkesiap. tiba-tiba sambil putar badan gadis
itu kabur terbirit-birit dari situ Hoa ln-liang tertawa tergelak. ejeknya, “Nona manis… wahai nona
manis… aku toh sudah bilang, tak nanti kau bisa lolos dari tanganku, mengapa kau sengaja ingin
melarikan diri.?”
Sekali menjejak kakinya ke atas tanah, nona baju hitam itu sudah meloncat, ke atas dinding
pekarangan dengan enteng, tapi baru saja dia akan melompat turun, tiba-tiba pinggangnya jadi
kencang dan tahu-tahu sudah dipeluk erat-erat oleh si anak muda itu. sambil tertawa terbahakbahak
pemuda Hoa mengejek katanya, “Haaahh… haaahhh haaahhh…. jangan nona anggap aku
mau mencari untung dengan pelukan ini, siapa suruh nona tak pegang janji tak mau menuruti
perkataanku… sekarang, janganlah menyalahkan diriku kalau terpaksa memakai cara ini.”
Merah padam selembar wajah dara baju hitam itu karena jengah, tiba-tiba ia menarik muka dan
berseru dengan dingin.
“Hoa kongcu, ilmu silat siau-li memang terlampau cetek dan bukan tandinganmu akupun bukan
manusia yang tak tahu diri, harap kau segera lepas tangan.”
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. la lantas melepaskan pelukan itu dan merangkap
tangannya di depan dada, katanya dengan wajah bersungguh-sungguh, “Harap nona jangan
marah dan mengumbar kegusaran padaku, anggaplah siau-seng bertindak terlampau kasar,
terimalah permohonan maaf ku ini janganlah memikirkan kejadian yang baru lewat ke dalam
hati.”
Berbicara sampai disitu dia benar-benar menjura dihadapan gadis itu, ini membuat dara baju
hitam itu mau menangis tak bisa mau tertawapun sungkan, setelah istirahat sebentar, akhirnya ia
baru berkata lagi dengan ketus.
“Tak usah banyak adat, bila kongcu tiada petunjuk lagi, aku yang rendah ingin mohon diri.”
“Sudah terang gadis ini mempunyai asal usul yang mencurigakan,” pikir Hoa In-liong dihati, tapi
lagaknya saja sok serius dan bersungguh-sungguh, sudah pasti dibalik keseriusannya ini
tersembunyi maksud-maksud yang licik.
Berpikir sampai disitu, dia lantas berkata, “Setelah Suma tayhiap mengalami musibah dan mati
terbunuh, aku mendapat perintah dari ayahku untuk mencari tahu siapa gerangan pembunuh keji
tersebut, sungguh beruntung aku telah bertemu dengan nona yang merupakan satu-satunya titik
terang yang berhasil kutemukan, bayangkan, sendiri nona, apakah aku bersedia untuk
melepaskan dirimu dengan begitu saja?”
Dara berbaiu hitam itu tertawa dingin.
“Heeehhh…heeehhh…heeehhh, tahulah aku sekarang, rupanya kongcu menaruh curiga bahwa
aku yang rendah termasuk komplotan dari pembunuh tersebut?”
Hoa In-liong tersenyum.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
37
“Aku cuma mengharapkan petunjuk dari nona, siapa bilang kutuduh nona berkomplot dengan
para pembunuh? Aku tak akan mencelakai orang secara diam-diam, apalagi menfitnah orang
baik-baik”
Pada mulanya pemuda itu mengatakan bahwa gadis baju hitam itu adalah “titik terang” yang
berhasil ia peroleh, kemudian mengatakan pula bahwa dia adalah seorang baik-baik, pada
hakekatnya bicara pulang balik tujuannya cuma satu yakni dia hendak mengorek keterangan
yang sebanyak-banyaknya dari mulut gadis ini.
Tentu saja gadis berbaju hitampun mengetahui akan tujuan lawan, sebab itulah dengan wajah
yang dingin membesi ia menatap wajah pemuda itu tanpa berkedip, mukanya menunjukkan rasa
marah dan tak senang hati.
Sekalipun gadis itu berdiri dengan dahi berkerut dan muka cemberut, namun justru dibalik ke
cemberutannya itu terpancar suatu daya pikat yang mempesonakan hati. Hoa In- Hong sama
sekali tidak menggubris kelembutan , lawan, malahan dengan senyum dikulum ia menatap wajah
gadis itu lekat-lekat, seakan-akan ia sedang manfaatkan kesempatan yang ada untuk menikmati
keindahan dara tersebut.
Nona berbaju hitam itu jadi melongo, ketika dilihatnya pemuda itu tidak marah pun tidak
menunjukkan tak senang hati, sebaliknya hanya tersenyum sambil memandang ke arahnya, ia
semakin dibikin apa boleh buat.
Setelah berpikir sebentar, tiba-tiba dengan wajah serius dan nada bersungguh sungguh dia
berkata, “Hoa kongcu sungguhkah engkau ingin menyelidiki serta membekuk pembunuh dari
Suma tay-hiap?”
Cepat Hoa In-liong merangkap tangannya memberi hormat, dan menyahut, “Aku mendapat
tugas dari ayahku untuk menyelidiki serta membikin terang masalah pembunuhan berdarah ini,
sebelum tugas tersebut berhasil kuselesaikan, tak mungkin aku bisa pulang ke rumah untuk
memberi pertanggungan jawab, oleh sebab itu aku mohon kepada nona agar bersedia untuk
membantu usahaku ini.”
Gadis berhaju hitam itu tertawa dingin, katanya kemudian, “Baik siau-li akan membantu usahamu
ini…”
Selesai memberikan kesediaannya, dia lantas putar badan dan lari menuju keluar ruangan
tersebut.
Menyaksikan tindak tanduk gadis itu, Hoa In-liong tercengang dan penuh diliputi kecurigaan tapi
ia tahu bahwa gadis baju hitam ini meski bukan sekomplotan dengan para pembunuh, namun dia
adalah seseorang yang sangat paham dengan duduknya persoalan ini, tidak sangsi lagi dia
menyusul dibelakangnya dengan langkah lebar.
Setelah keluar dari kota Lam-yang, mereka melakukan perjalanan cepat selama setengah jam
dan akhirnya sampai disuatu tempat yang sepi dan penuh dengan semak belukar yang lebat.
Diantara semak belukar yang tumbuh dengan liarnya itu, tampak sebuah bangunan rumah gubuk
bangunan itu berdiri sendiri dikelilingi alas yang lebat.
Empat penjuru penuh semak belukar hamparan pepohonan dan boleh dibilang tiada jalan tembus
sebuahpun pemandangannya amat seram dan penuh diliputi hawa misteri yang tebal.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
38
Sambil menyingkirkan semak yang menghadang jalan majunya, gadis baju hitam itu berjalan
menuju ke depan pintu gubuk tersebut lalu sambil mengetuk pintu katanya.
“Si Nio, buka pintu!”
Cahaya lentera memancar keluar dari gubuk tersebut, menyusul seseorang bertanya dengan
suara yang parau, “Apakah nona diluar sana?”
“Tentu saja aku, kalau tidak siapa lagi?” sahut dara itu dengan nada ketus.
Suasana hening untuk sesaat, kemudian terdengar suara parau itu berkumandang lagi, “Siapa
rekan yang lain itu??”
“Suruh kau buka pintu mengapa tidak cepat buka pintu? Buat apa engkau banyak bertanya? “
teriak gadis baju hitam semakin marah.
Semenjak tadi Hoa In-liong sudah mengetahui bahwa sipembicara dalam rumah gubuk itu sudah
berdiri dibelakang pintu, nyatanya pintu kayu tersebut masih tertutup rapat, kendatipun berulang
kali dara itu sudah berteriak. ini berarti bahwa orang itu memang tak berminat membukakan
pintu bagi mereka.
Tampaknya kemarahan nona baju hitam itu sudah mencapai pada puncaknya, untuk kesekian
kalinya ia menghardik, “Kurang ajar, rupanya kau sudah bosan hidup?” Dengan sepenuh tenaga
telapak tangannya ditolak ke depan.
“Kraaaak….” ternyata pintu itu tidak terkunci, tatkala didorong otomatis pintu itu membuka
dengan sendirinya, Redup sekali cahaya lentera yang menyinari rumah gubuk itu, dibalik pintu
adalah sebuah ruangan kecil, dalam ruangan itu hanya terdapat sebuah meja kayu yang sudah
bobrok serta dua buah kursi barabu, peralatan lain tidak nampak.
Waktu itu tak seorangpun berada dalam ruangan, dengan penuh kegusaran gadis baju hitam itu
menerjang masuk kedalam rumah, kemudian teriaknya dengan marah, “Si Nio, kau….”
“Nona tak usah mencari lagi, Si Nio yang kau cari sudah berada disini,.” tukas Hoa In-liong.
Seseorang mendengus dingin, kemudian menjawab, “Benar, aku memang berada disini, tajam
amat pendengaran serta penglihatanmu.”
Berbareng dengan selesainya perkataan itu, sesosok bayangan manusia muncul dari balik pintu
dan menghadang arah pandangan Hoa In-liong ke ruang sebelah dalam.
Masih mendingan kalau si anak muda itu tidak memandang tampang perempuan yang bernama
Si Nio itu, begitu sinar matanya beradu tatap dengan orang tersebut, kontan sekujur badannya
gemetar keras, hawa bergidik yang dingin muncul dari alas kaki mencapai ke atas dada, ia bersin
beberapa kali sementara bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Pemuda itu kaget bukan lantaran dia pernah kenal dengan perempuan yang bernama Si Nio itu
adalah oleh karena tampang Si Nio benar-benar mengerikan sekali, ibaratnya setan alas yang
tiba-tiba muncul dihadapan matanya.
Usia Si Nio belum mencapai empat puluh tahu saja, rambutnya masih ber warna hitam pekat dan
kulit tubuhnya tampak putih bersih, sayang raut wajahnya penuh dengan bekas-bekas luka yang
mengerikan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
39
Berpuluh-puluh buah bekas bacokan yang melekuk ke dalam dan berwarna merah karena
kelihatan daging dalamnya tersebar di sana sini, seakan-akan mukanya itu pernah dicincang
dengan senjata hingga hancur mumur, mengerikan sekali bagi siapapun yang memandang.
Waktu itu Si Nio berdiri di hadapan Hoa In-liong dengan sorot mata penuh tanda tanya,
sementara mulutnya masih tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Dalam pada itu, dara baju hitam itu sudah keluar dari ruang dalam, dia lantas membentak, “Si
Nio benarkah engkau sudah bosan hidup? Mau apa kau berdiri mematung di sana? Hayo cepat
mengundurkan diri dan hidangkan air teh untuk tamu kita ini.”
Si Nio sama sekali tidak berpaling, setelah memandang lagi wajah Hoa In-liong dengan
termangu-mangu, ia baru beranjak dan menuju ke ruang dapur di belakang sana.
SETELAH berhasil menguasahi perasaannya, diam-diam Hoa In-liong memperhatikan cara Si Nio
berjalan, ia lihat sepasang kaki perempuan itu menempel tanah dan sama sekali tak berbeda
dengan manusia biasa, diapun tidak menunjukkan gerakan seakan-akan sedang mengerahkan
ilmu meringankan tubuh, walau begitu langkah kakinya sama sekali tak bersuara, seolah-olah
perempuan itu memang sama sekali tak berbobot.
Hoa In-liong memang pemberani dan berilmu tinggi, tapi berada dalam keadaan seperti sekarang
tak urung tercekat juga hatinya, peluh dingin serasa membasahi seluruh tubuhnya.
“Hoa- kongcu, silahkan duduk,” terdengar nona baju hitam itu berkata dengan dingin.
Cepat Hoa In-liong mendusin kembali dari lamunannya, ia tertawa menyengir dan menjawab.
“Oooh, silahkan duduk, silahkan duduk, nonapun duduklah.”
Dua orang muda mudi itu mengambil tempat duduknya masing-masing, lalu gadis itu berkata lagi
dengan serius.
“Hoa kongcu, pernahkah engkau tahu tentang Masalah Sin-ki-pang, Hong im-hwe dan Tong-thian
kau tiga buah kekuatan besar dalam dunia persilatan dimasa lalu?”
“Aaah… itu toh kejadian pada dua puluh tahun berselang,” sahut Hoa In-liong sambil berkerut
kening. “Aku dengar, dahulu dalam dunia persilatan terdapat perkumpulan Sin-ki-pang, Hong-im
hwe dan Tong-thian kau, masing-masing pihak berdiri di suatu daerah dan menguasahi suatu
wilayah yang besar,”
“Sebagai keturunan keluarga persilatan tentunya kongcu mengetahui sangat jelas bukan dengan
peristiwa yang pernah terjadi dimasa lampau?”
Hoa In-liong tersenyum.
“Perkumpulan Hong-in hwe serta Tong-thian kau sudah lama musnah dari muka bumi,
sedangkan perkumpulan Sin-ki-pang juga telah membubarkan diri apa sebabnya secara tiba-tiba
nona menyinggung kembali peristiwa lama yang sudah berlangsung pada dua puluh tahun
berselang??”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar