Setelah keluar dari ruangan, gadis itu kabur ke hutan bambu, ketika tiba ditanah lapang, ia
menjatuhkan diri, menangislah gadis itu sejadinya.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya ia berhenti menangis, dadanya terasa lebih nyaman
dan lega.
Pada saat itulah terdengar Si Nio memanggil dengan lirih, “Nona!”
Ketika Si Leng-jin berpaling maka terlihatlah sendiri entah dari kapan Si Nio telah berdiri
dibelakangnya, buru-buru ia menyeka air mata dan bangkit berdiri.
Si Nio menghela napas panjang katanya, “Kalau memang jiwanya sudah tidak terancam lagi mari
kita tinggalkan tempat ini”
“Tidak!” Si Leng-jin gelengkan kepalanya berulang kali “sekalipun hendak pergi, kita harus
menunggu sampai lukanya betul betul sembuh kembali!”
Si Nio menggerakkan bibirnya seperti hendak menggucapkan sesuatu, tapi belum sempat
berbicara Si Leng-jin telah berkata lagi.
“Dahulu sifat terlalu mementingkan diri sendiri ku terlalu berat kini aku sudah mulai sadar
kembali. Asal masih bisa berjuang dengan kekuatan sendiri, aku orang she Si tidak akan
memohon kepada orang!”
Saking emosinya mungkin, perkataan itu diucapkan sampai beberapa kali banyaknya.
Menyaksikan sikap nonanya, terpaksa Si Nio berkata, “Baiklah segala sesuatunya terserah kepada
nona
Setelah berhenti sejenak ia menambahkan, “Aku lihat orang she Hoa itu lumayan juga, baik
kecerdasan maupun ilmu silatnya tak ada yang cacad, walaupun waktunya terlalu binal itupun
bukan suatu cacad benar…..”
“Bahkan akupun sudah menjadi paham, kenapa kau malah tak habis mengerti?” tukas Si Lengjin.
Setelah tertawa getir ia melanjutkannya.
“Benar, aku mencintainya tapi bagaimana sikapnya kepadaku aku tak dapat dan tak ingin
mengetahuinya sekarang…..lebih baik persoalan ini tak usah dibicarakan lagi, mari kita pergi?”
“Sekarang, bagaimana pula dengan nona?” tanya Si Nio kebingungan.
Si Leng-jin tertawa katanya, “Biarpun sikapku terlalu tak sopan, sekarang aku hendak minta maaf
kepadanya”
Melihat diantara senyumannya terselip kegetiran, Si Nio tertegun, ketika dilihatnya gadis itu
sudah maju ke depan, buru-buru ia mengikuti dibelakangnya.
Tiba tiba Si Leng-jin menghela napas panjang, lalu berkata, “Si Nio, demi keluargaku kau telah
mengorbankan segala-galanya, sebaliknya keluarga kami sama sekali tidak pernah membalas
budi kebaikanmu itu…..
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
177
“Nona, mengapa kau mengucapkan kata-kata semacam itu?” seru Si Nio dengan cemas, “sekali
pun aku harus mati seratus kali demi majikan tua itu pun sudah sepantasnya”
Si Leng-jin sedih, ia melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruangan gubuk itu.
Si Nio sambil mengikuti dibelakangnya, diam-diam berpikir, “Watak nona selalu keras kepala,
kesulitan apapun selalu hanya disimpan dihati, kalau dilihat dari mimik wajahnya itu rupanya ia
telah mengambil suatu keputusan, semoga saja jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, kalau tidak dimana aku musti taruh wa jahku bila bertemu dengan arwah majikan di
alam baka nanti?”
Pikir punya pikir akhirnya semua kesalahan ia limpahkan keatas pundak Hoa In-liong, diam-diam
sumpahnya.
“Sialan betul bajingan muda itu, kalau nona sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku
pasti akan beradu jiwa denganmu!”
Selang sesaat kemudian mereka sudah tiba kembali didepan rumah gubuk itu.
Si Leng-jin segera menerobos masuk kedalam ruangan, ia jumpai Hoa In-liong masih berbaring
dipembaringan, obat itu belum di makan dan botolnya masih berada ditempat semula.”
Ketika menjumpai gadis itu berjalan masuk ke dalam ruangan, sambil tertawa ia lantas berkata,
“Aku mengira kau tidak akan kembali lagi”
Si Leng-jin tertegun, bibirnya bergetar seperti ingin mengucapkan suatu tapi tenggorokannya
serasa tersumbat dan tak mampu mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba ia menubruk ke
dalam rangkulan Hoa In-liong dan memeluknya erat-erat.
“Belum pernah ada orang yang begitu memperhatikan diriku…..” bisiknya sambil menangis,
Dengan penuh kasih sayang, Hoa In-liong membelai rambutnya, lalu berbisik lembut, “Aku tahu
kau sangat menderita, banyak persoalan yang telah menyiksa dirimu selama ini”
Sambil menangis tersedu-sedu Si Leng-jin berkata, “Ketika aku berusia lima tahun, ibu telah
tiada, ayah mempunyai ambisi yang sangat besar untuk membangun suatu kekuasaan besar
didunia, ia tak punya cukup waktu untuk berkumpul denganku…….”
Diam-diam Hoa In-liong berpikir, “Sejak kecil ia sudah kehilangan kasih sayang, ayahnya jauh
pula darinya, seorang anak yang tanpa kasih sayang dari orang tuanya memang merupakan
suatu kejadian yang tragis”
Terdengar Si Leng-jin berkata lagi sambil menangis terisak, “Ketika aku berusia sepuluh tahun,
tiba-tiba muncul Hian-beng-kaucu Ki ci Sinkun, dalam suatu pembicaraan yang kemudian terjadi
merekapun bersahabat dan saling berjanji akan bersama-sama menguasai dunia”
Ketika berbicara sampai disini, mendadak ia mendongakkan kepalanya sambil menambahkan,
“Kau tahu ayahku……”
“Han Seng tek!” tukas Hoa In-liong sambil tertawa, “bukankah dia adalah keturunan dari Tin wan
ho yang ada hubungan famili dengan Bu seng pada tiga ratus tahun berselang?”
“Jadi kau sudah tahu?” tanya Si Leng-jin tercengang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
178
Hoa In-liong kembali tersenyum.
“Gwakong yang memberitahukan kepadaku, dia orang tua adalah bekas ketua Sin-ki-pang
dimasa lalu, katanya juga bahwa ayahmu sudah kena ditangkap orang……”
Setelah berhenti sebentar, kembali ujarnya, “Menurut pembicaraan tadi, ayahmu dan Kok Seepiau
yang mengaku bernama Sinkun itu mempunyai hubungan yang intim, sesungguhnya apa
yang telah terjadi?”
“Aaaai…….hubungan apa? Apalagi kalau bukan mengundang setan masuk rumah”
“Bersediakah kau memberi penjelasan lebih mendalam lagi?”
Si Leng-jin manggut-manggut.
“Peristiwa itu terjadi pada dua tahun berselang, entah dengan cara apa ternyata Kok See-piau
berhasil menyuap seorang pelayanku yang bernama Si Thong pada waktu itu, diam-diam bangsat
tersebut telah mencampuri makanan dan minuman ayahku dengan racun pembuyar tenaga yang
bekerja lambat, menanti ayahku menyadari akan hal ini keadaan sudah terlambat, maka setelah
membunuh penghianat tersebut, beliau menitahkan kepada Si Nio untuk mengajakku melarikan
diri”
Sambil menggigit bibir tambahnya kemudian dengan nada penuh kebencian”
“Wajah Si Nio, telah hancur ditangan bajingan anjing she Kok tersebut!”
“Sungguh kejam hati Kok See-piau, sungguh busuk perbuatannya” kata Hoa In-liong kemudian
sambil mengerutkan dahi, “hmmm…, hmmm……aku ingin melihat perbuatan terkutuknya itu
dapat bertahan sampai berapa lama?”
“Yaa, dendam berdarah ini bagaimanapun juga harus dituntut balas!” katanya.
Hoa In-liong termenung sebentar, lalu katanya kemudian, Lantas dengan cara apakah kalian
melewati penghidupan selama dua tahun belakangan ini?”
Mula-mula kami kabur kebarat lalu ketimur untuk mencari keselamatan, untungnya Kok See-piau
tidak terlampau memandang serius atas diriku dan Si Nio, selain daripada itu sebagian anak buah
Hian-beng-kau sekarang adalah anak buah ayahku, sejak ayahku tertangkap, mereka dipaksa
untuk menggabungkan diri, sekalipun ada juga di antaranya yang rela berpihak kepada musuh
tapi sebagian besar masih setia kepada kami, mereka terpaksa harus menjalankan perintah
musuh lantaran ayahku masih berada ditangan mereka, sebab itulah merekapun tak berani
memberontak, tapi kemudian……,
Ketika berbicara sampai disitu, mendadak ia tutup mulut.
“Bagaimaaa selanjutnya?” tanya Hoa In-liong.
Agak merah wajah Si Leng-jin karena jengah, katanya.
“Kok See-piau mengutus orang untuk menyampaikan pesan kepada kami yang katanya bila kami
dapat membunuh salah seorang anak dari Thian-cu-kiam, maka dia akan segera membebaskan
ayahku!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
179
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong segera berpikir, “Oooh……… rupanya beginilah duduknya
persoalan, tak heran kalau niat mereka untuk membunuh adalah begitu besar dan berkobarkobar,
terutama dalam perjumpaan yang pertama kalinya dulu……..”
Berpikir demikian, diapun tertawa tergelak, lalu katanya, “Kematianku sih urusan kecil cuma
benarkah Kok See piu mau menepati janjinya?”
“Hei, orang kan sedang menyesal setengah mati, kenapa kau bicarakan kembali persoalan itu?”
bisik Si Leng-jin.
Setelah berhenti sejenak, ia berkata lagi, “Cuma, aku rasa ia pasti akan menepati janjinya untuk
melepaskan diri ayahku”
“Oya? Darimana kau bisa berkata demikian….?” tanya Hoa In-liong sambil tertawa”
“Kepandaian silat yang dimiliki ayahku telah punah sama sekali, hakekatnya beliau tak lebih
hanya seorang cacad, jelas bukan merupakan suatu ancaman serius baginya, ditambah pula jika
kami berhasil memenuhi syaratnya, itu berarti kami dengan keluarga Hoa telah saling
berhadapan sebagai musuh bebuyutan, tentu saja dia tak usah kuatir kalau kami kabur ke
pihakmu dengan membocorkan rahasianya, selain dari pada itu, ia berambisi menguasahi dunia
persilatan, itu betarti ia harus memupuk kewibawaan baginya sendiri, jika tidak pegang janji,
siapa pula yang akan bersedia menjual nyawa baginya?”
“Sungguh cermat sekali jalan pikirnya” pikir Hoa In-liong, “agaknya ia tak akan melakukan segala
tindakan secara gegabah”
Maka sambil tersenyum ujarnya, “Tenaga dalam ayahmu telah buyar, seandainya kau berhasil
menyelamatkan dirinya, apa pula yang hendak kau lakukan?” Sahut Si Leng-jin dengan sedih,
“Seandainya Thian mengabulkan permintaanku dan membiarkan kami ayah dan anak bisa
berkumpul kembali, Aku Si Leng-jin pasti akan mengajak ayahku untuk hidup mengasingkan diri,
apa lagi yang bisa kuinginkan? Sekalipun ilmu silat ayahku telah punah, toh jiwanya masih
dilindungi Thian, hal ini sudah merupakan suatu keberuntungan ditengah kemalangan.
Diam-diam Hoa In-liong merasa kagum sekali atas kebaktian gadis itu terhadap ayahnya,
mendadak ia seperti teringat akan suatu persoalan, segera tanyanya, “Sebenarnya, siapakah
pembunuh sebenarnya dari kasus pembunuhan atas keluarga Sumi? Apa bukan Yu si dan Cia
Hoa yang turun tangan? Kok See-piau dan Kiu-im-kaucu mendalangi dari belakang??
Hoa In-liong termenung sejenak kemudian katanya, “Kok See-piau dan Kiu-im-kaucu memang
tak dapat terlepas dari persoalan ini, cuma kemungkinan besar masih ada latar belakang lainnya”
Setelah berhenti sejenak, katanya lebih lanjut dengan suara nyaring, “Leng-jin, tentang
persoalanmu sesungguhnya akan menjadi beres asal perkumpulan Hian-beng-kau berhasil
dimusnahkan, cuma hal itu merupakan suatu pekerjaan yang sulit, maka lebih baik janganlah
berbuat secara sembrono lebih dulu. Nah, sekarang aku hendak makan obat dulu untuk
menyembuhkan lukaku”
Untuk pertama kalinya ini ia memanggil nama Si Leng-jin secara langsung, gadis itu segera
merasakan hatinya menjadi hangat dan manggut berulang kali, iapun mencabut penutup botol
itu dan mengeluarkan dua butir pil sebesar kelengkeng yang menyiarkan bau harum semerbak,
sambil diangsurkan ke hadapan Hoa In-liong katanya, “Pil mustika semacam ini kebanyakan akan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
180
hancur begitu kena air liur, percuma mengambil air sebagai pendorong, hayo telanlah obat ini
dengan cepat”
Melihat tangan si nona yang halus dan lembut dan hampir sebanding dengan pil Yau ti wan
tersebut, Hoa In-liong begera berseru memuji, Walaupun pil mustika itu mujarab tapi jauh lebih
menyenangkan tangan yang halus itu, mari biar kurabahnya dulu.
Merah padam wajah Si Leng-jin karena jengah, serunya cepat, “Kalau kau ngaco belo lagi, aku
segera akan pergi dari sini dan perduli dengan mati hidupmu”
“Obat itu cukup sebutir saja, tolong kembalikan yang lain kedalam botol!”
“Lukamu begini parah, dua butir pil pun belum tentu sembuh, perduli amat dengan kawanan
jago yang sedang keracunan itu? Apa lagi untuk membebaskan pengaruh racun jahat, toh belum
tentu musti mempergunakan obat mustika ini” kata si nona manja.
Dengan wajah serius Hoa In-liong berseru, “Leng-jin, menjadi orang kita tak boleh terlalu
mementingkan diri sendiri, kita jangan melupakan kepentingan umum, nah simpanlah baik-baik
obat tersebut”
Melihat keseriusan orang, Si Leng-jin tak berani bergurau lagi, dia simpan baik-baik sebutir obat
mustika itu dan memberikan yang lain kepada pemuda itu.
Setelah menelan pil Yau ti wan, Hoa In-liong pejamkan mata dan mulai duduk bersila sambil
mengatur pernafasan.
Si Leng-jin duduk menanti di sampingnya, dengan wajah yang terang dan sinar mata yang tajam,
ia awasi wajah Hoa In-liong lekat-lekat, rasa girang membuat wajahnya berseri, kesedihan dan
kemurungan yang dulu menghiasi wajahnya kini tersapu lenyap tak berbekas.
***
Kota Wi Leng sian terletak dipantai selatan Hway-ho, tempat itu merupakan persimpangan lalu
lintas penting yang menghubungkan kota Hway-im dengan Si ciu.
Suatu hari, dari selatan pintu kota Wi-leng sian telah muncul seorang kakek dan dua orang gadis
muda.
Yang tua bertubuh kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, mukanya penuh keriput,
jenggot sepanjang dada, membawa tasbeh, memakai jubah abu-abu khas kependetaan dan
bersepatu rumput, tampaknva dia adalah seorang pendeta tua yang hidup dengan berkeliling.
Sedangkan yang muda adalah dua orang gadis cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, mereka
mengiringi ke kiri kanan pendeta tua tersebut………
Gadis disebelah kiri memakai baju ungu dengan sanggul yang tinggi, gaun panjang dan berwajah
lembut.
Sebaliknya gadis yang ada disebelah kanan mempunyai wajah yang luar biasa cantiknya, ia
bermata jeli, berhidung mancung, berbibir kecil dan bertubuh ramping, suatu tipe gadis ideal
yang sukar dicarikan keduanya didunia ini.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
181
Ternyata ketiga orang itu tak lain adalah Goan cing taysu keturunan dari Malaikat silat beserta
buyut perempuannya Coa Wi-wi dan murid Pui Che-giok, itu kaucu dari Cian li kau yang bernama
Cia In.
Seorang pendeta tua melakukan perjalanan bersama-sama dua orang gadis muda hal ini sudah
merupakan suatu pemandangan yang amat mencolok, ditambah lagi kecantikan Coa Wi-wi dan
Cia In menawan hati orang, kehadiran mereka semakin banyak menarik perhatian orang yang
bersama-sama mengalihkan pandangannya ke arah rombongan mereka.
Melihat itu, Coa Wi-wi mengerutkan dahinya sambil menyumpah.
“Huuuh, sialan!” Kepada Cia In tambahnya, “Betul bukan enci In?”
Cia In hanya tersenyum dan tidak memberi tanggapan.
Melibat rekannya cuma diam saja, Coa Wi-wi segera berseru lagi dengan manja, “Hmm, Makin
lama enci In semakin membisu macam patung, seakan akan berubah menjadi orang lain saja,
tidak bisa tidak, kau harus menjawab pertanyaanku dengan segera”
Lantaran didesak terus, terpaksa Cia In menyahut setelah tertawa-tawa.
“Kecantikan adik Wi bak bidadari dari kahyangan, tentu saja sepanjang kehadiranmu memancing
perhatian mata para lelaki”
“Beeh……….tampaknya enci In lagi menyindir diriku? Kenapa tidak kau katakan kalau lantaran
kau?”
Cia In tersenyum.
“Aku jelek dan berwajah tak sedap dilihat, mana berani dibandingkan dengan adik Wi?” katanya.
Coa Wi-wi hendak mendebat lagi tapi Goan cing Taysu segera menukas, “Anak Wi, jangan kau
ganggu terus enci In mu itu!”
“Huuuh, semuanya ini adalah hasil pelajaran dari kongkong” seru Coa Wi-wi sambil mencibirkan
bibirnya yang kecil, “Kalau tidak, mana mungkin enci In dapat berubah menjadi begini rupa?
Kalau lain waktu enci In masih saja disuruh membaca kitab Kim cong ceng atau sebangsa kitab
sembayangan lainnya, akan kubakar buku-buku itu sampai habis……!”
“Ngaco belo!” bentak Goan cing taysu sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, “kau tahu
perbuatan itu dosa?”
“Aku tak ambil perduli dosa atau tidak, pokoknya aku tak mau kalau sepanjang hari enci In cuma
membungkam melulu macam sebuah patung arca saja”
“Andaikata kongkong menerangkan terus isi pelajaran Buddha kepadaku mau apa kau? kata Cia
In kemudian.
Coa Wi-wi kontan saja melotot, serunya cepat “Aku akan memukul tambur disampingnya dengan
keras akan kulihat dengan cara apa dia akan memberi pelajaran kepadamu”
Mendengar perkataan itu, baik Goan cing taysu maupun Cia ln segera tersenyum.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
182
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki berdandan pelayan menghadang jalan pergi mereka, sambil
memberi hormat katanya.
“Rumah makan kami mempunyai hidangan yang lezat, silahkan taysu mampir?”
Goan cing taysu diam diam berpikir, “Ooh…..rupanya ada warung makan yang menarik pendeta
untuk mengunjunginya?”
Pada dasarnya ia memang seorang pendeta yang tidak terikat ketat oleh peraturan, diapun tidak
kuatir orang-orang itu main gila kepadanya, ia segera mengangguk.
“Harap tunjukan jalan kepada kami!” Pelayan itu kembali memberi hormat.
“Harap taysu dan nona berdua mengikuti hamba.
Cia In adalah seorang pendekar perempuan yang telah berkecipung dalam dunia persilatan
semenjak kecil, sekilas pandang saja setelah mengetahui bahwa urusan agak kurang beres tapi
ia tidak berbicara apa-apa.
Sebaliknya Coa Wi-wi pada dasarnya memang tak berminat untuk mengurusi hal-hal tersebut
maka tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berjalan mengikuti dibelakang kongkongnya.
Tak lama kemudian sampailah mereka didepan sebuah rumah makan yang mentereng sekali,
kehadiran mereka diantar langsung oleh ciangkwe keatas loteng.
Setelah ambil tempat duduk, ciangkwe itu lantas bertanya kepada Cia wi wi dan Cia In, “Tolong
tanya apakah nona berdua…..”
“Akupun berpantang makan barang berjiwa” tukas Cia In cepat.
Dengan suara rendah Coa Wi-wi segera berbisik, “Hei, sepanjang jalan begini terus makan yang
kau pesan padahal usiamu toh masih muda, kenapa musti begitu?”
Cia In pura-pura tidak mendengar, hal mana membuat Coa Wi-wi segera mencibirkan bibirnya
yang kecil karena mendongkol.
Sementara itu sang ciangkwe telah berpaling kearah Coa Wi-wi sambil bertanya, “Dan nona
pesan apa…….”
“Sama seperti pesanan mereka!” seru Coa Wi-wi sambil ulapkan Tangannya dengan mendongkol,
Ciangkwe pun mengiakan berulang kali dan mundur dari situ.
Tak lama kemudian hidangan telah siap dan mengalir datang dengan cepatnya, semua hidangan
itu berbau harum dan tampaknya lezat, tempat sayurpun terbuat dari tembikar dan sendoknya
terbuat dari perak.
Menyaksikan kesemuanya itu, dengan dahi berkerut Coa Wi-wi segera berseru, “Buat apa
sebanyak ini? Kami toh cuma bertiga saja”
Untuk menghormati keturunan dari Bu Seng, mana boleh hanya menghidangkan beberapa
macam sayur saja” sambung Cia In sambil tertawa.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
183
Kemudian sambil menuding sendok-sendok itu terusnya, “Coba lihatlah, untuk menghilangkan
kecurigaan kami, sengaja mereka memakai sendok yang terbuat dari perak untuk kita”
Coa Wi-wi memang seorang gadis yang cerdik, begitu diingatkan diapun menjadi paham kembali
dengan duduknya persoalan, dia lantas berbisik dengan lirih, “Dari pihak Hian-beng-kau? Ataukah
Kiu-im-kau?”
“Tempat ini dekat dengan Lu Lam, aku rasa lebih besar kemungkinannya dari pihak Hian-bengkau”
sahut Cia In sambil tersenyum.
“Nah, mereka sudah datang” tiba-tiba Goao cing taysu berkata.
Coa Wi-wi pusatkan perhatiannya untuk memeriksa sekeliling tempat itu, kemudian katanya,
“Aaah benar, ada orang sedang bertanya kepada ciangkwe, kita ada dimana, Ciangkwe
menjawab kita ada diruang nomor empat, ehm! Dia sudah naik keatas”
Buru-buru Cia In mengerahkan tenaga dalamnya ke telinga untuk ikut mendengarkan
pembicaraan tersebut tapi tiada suara apapun yang terdengar, sambil tertawa ia lantas berseru,
“Waah, tampaknya tenaga dalam yang dimiliki orang itu jauh lebih tinggi daripada aku”
“Siapa suruh waktumu kau habiskan diatas kitab sembayangan daripada kemajuan yang kau
capai….”
Tiba-tiba tirai disingkap orang dan masuklah seorang kakek berkulit merah dan bertubuh tinggi
besar, Coa Wi-wi segera menutup mulutnya rapat-rapat.
Kakek bermuka merah itu memandang sekejap ketiga orang itu, kemudian memperhatikan pula
wajah Coa Wi-wi sekejap, akhirnya sambil menjura kepada Goan cing taysu katanya, “Hanya
hidangan yang tak seberapa untuk menyambut kedatangan taysu, bila ada kesalahan mohon
maaf”
Goan cing taysu segera membalas hormat sambil menyahut, “Terima kasih atas sambutan dari
sicu, maaf jika mata lolap………”
Sambil tertawa seram kakek bermuka merah itu menukas, “Lohu adalah Tang Bong liang, atas
kebaikan sinku kini menjawab di bagian bidang administrasi”
“Ooooh rupanya adalah Tong thamcu, maaf kalau lolap kurang hormat”
Setelah berhenti sejenak, ia bertanya lagi, “Dengan maksud apa Tong thiamcu datang kemari?”
“Lohu sedang menjalankan tugas dari sinku untuk menyampaikan surat undangan.
Dari sakunya ia mengeluarkan sepucuk surat undangan merah dan diangsurkan ke depan,
katanya lagi, “Sebenarnya sudah lama surat undangan ini di bagi, tapi berhubung kedudukan
taysu berbeda maka sinkun khusus mengutus lohu untuk menyampaikan sendiri, sebab itulah
tertunda sampai sekarang”
Melihat pihak lawan datang dengan sikap hormat, Gon cing taysu tak berani berayal, setelah
menyambut uudangan tersebut sahutnya sambil tersenyum, “Aaah, lolap tak lebih hanya
manusia dari gunung, sikap atasanmu yang begitu memandang tinggi diriku sungguh membuat
lolap merasa malu sendiri”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
184
Undangan itupun dibuka dan terbaca tiga baris kata, “Ditujukan untuk yang terhormat Gon cing
taysu.
Pada hari Toan yang nanti, kami hendak menyelenggarakan upacara peresmian perkumpulan
kami di Ou gou penag dalam wilayah Ci mong mengharapkan kedatangan saudara”
Dibawahnya tertulis tanda tangan pengundang nya.
“Murid angkatan kedua dari Bu liang-san, ketua perkumpulan Hian-beng-kau, Kok See-piau”
Diam-diam Goan cing taysu berpikir, “Sepanjang jalan sudah kudengar kalau Hian-beng-kaucu
adalah Kok See-piau bekas murid Bu liang sin kun, padahal Li Bu-liang tewas ditangan Bun Tay
kun, dengan dicantumkannya tulisan Bu liang san, jelas Kok See-piau bertekad hendak
membalaskan dendam bagi kematian gurunya”
sementara ia masih termenung, Tang Bong liang telah berkata lebih lanjut, “Undangan nona Coa
disertakan pada orang tuanya, sedang nona Cia turut dalam perkumpulan Cian li kau, oleh sebab
itu undangan nona berdua tidak dihantar secara khusus”
Coa Wi-wi menyambut undangan dari tangan Goan cing taysu dan dilihatnya sekejap, kemudian
sambil mendongakkan kepalanya ia berkata, “Oooh, kalau itu sih urusan kecil, cuma ada
beberapa persoalan yang membuatku tidak habis mengerti, apakah Tong thamcu bersedia
memberi petunjuk?”
Tang Bong-liang segera tertawa terbahak-bahak. “Haahh……….haaahhh……..haaahhh………harap
nona katakan! “
“Konon perkumpulan anda akan diresmikan pada bulan empat tanggal enam, kenapa sekarang
dirubah menjadi pada hari Peh-cun?”
“Yaa, karena persiapan yang terlambat terpaksa harus diundur sejauh itu” sahut Tong Bong liang
sambil tertawa kering. Coa Wi-wi tertawa dingin, kembali katanya, “Disini dicantumkan Bu liang
san dan Kiu ci san, jelas nama-nama itu menunjukkan dua tempat yang berbeda, kenapa bisa
kau kaitkan menjadi satu hal ini sungguh membuat orang tak habis mengerti”
Paras muka Tang Bong liang agak berubah setelah mendengar perkataan itu, tapi sebentar
kemudian telah pulih kembali menjadi sedia kala, sahutnya, “Sinkun mula-mula mendapat
pelajaran dari Linkong Bu liang sinkun yang berdiam di Bu liang san, selanjutnya memperoleh
warisan kitab silat dari Sinkun generasi berselang, karena tak ingin melupakan asal mulanya
maka kedua nama itu dicantumkan menjadi satu”
“Pandai juga orang ini berbicara pikir Coa Wi-wi, “dengan ucapannya tersebut seolah olah Hianbeng-
kaucu benar-benar adalah seorang manusia berbudi yang tidak lupa dengan asalnya”
Bibirnya lantas bergetar hendak mengucapkan sesuatu lagi tapi Goan cing taysu tak ingin
perdebatan itu berlangsung terus, sambil tersenyum katanya kemudian, “Undangan untuk Hoa
tayhiap apakah telah di sampaikan?”
“Perkampungan Liok soat san ceng adalah pusat kekuatan dunia persilatan, tentu saja
perkumpulan kami tak akan lupa untuk mengundangnya”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
185
Goan cing taysu kembali berpikir setelah mendengar perkataan itu, “Kalau Hian-beng-kaucu tidak
yakin dengan ilmu silatnya yang lihay sehingga berani mengundang kehadiran Hoa Thian-hong,
sudah tentu ia mempunyai rencana busuk lainnya……”
Berpikir sampai disitu, sambil tertawa-tawa katanya kemudian, “Lolap adalah manusia berwatak
orang gunung, tulang belulangku sudah kaku dan enggan untuk kuatirnya aku hanya akan
menyia-nyiakan harapan atasan kalian saja”
Ucapan itu jauh diluar dugaan Tang Bong liang, untuk sesaat ia menjadi tertegun.
“Taysu, bila kau tidak pergi sehingga dari pihak Malaikat Silat tak ada wakilnya, hal mana tentu
akan mengurangi kesemarakannya upacara peresmian itu” Goan cing taysu tertawa-tawa.
“Selama hidup lolap tak pernah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, aku pun tidak
mempunyai nama besar, hadir atau tidak sebetulnya tak usah dipersoalkan secara serius”
Diam-diam Tang Bong liang gelisah sekali, biji matanya segera berputar, lalu sambil sengaja
tertawa angkuh ujarnya, Sinkun ada maksud untuk membuka suatu pertemuan ilmu silat dalam
upacara peresmian itu, mengingat banyaknya manusia yang mencari nama dalam dunia
persilatan, sudah barang tentu mereka yang mencabut nama besar belaka tak akan berani hadir
pada waktunya……..
Coa Wi-wi mendengus dingin, tiba-tiba selanya, “Jadi kau ingin menyaksikan kehebatan dari Bu
seng? Itu sih gampang, nah sambutlah sebuah pukulan ini.”
Telapak tangannya sudah diangkat keatas siap untuk melepaskan sebuah pukulan.
Tang Bong liang merasa terkesiap, segera pikirnya, “Ditinjau dari beberapa kali pengalaman
pertarungan yang berlangsung, agaknya ilmu yang dimiliki dayang ini jauh diatasku, apa lagi
dengan demikian akan mengakibatkan terjadinya bentrokan langsung dengan keluarga Coa, aku
harus menahan diri…,…..”
Berpikir demikian ia tidak menyambut ataupun menghindar, sebaliknya malah mendongakkan
kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Sudah barang tentu Coa Wi-wi tak dapat turun tangan terhadap orang yang tidak membalas,
dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia menarik kembali telapak tangan-nya sambil berkata,
“Kalau toh kau berani pandang remeh ilmu silat Bu seng, mengapa tak berari menyambut
seranganku ini?”
“Aaah…………siapa bilang kalau lohu pandang remeh?” kata Tang Bong liang sambil berhenti
tertawa.
“Sudah jelas kau bilang…………..” teriak Coa Wi-wi dengan gusar.
Mendadak is sadar bahwa dalam perkataan Tang Bong liang tadi meski ada nada memandang
remeh, sesungguhnya yang dimaksud adalah mereka-mereka yang tidak menghadiri pertemuan
yang akan dise-lenggara kan Hian-beng-kau, maka iapun berkata kembali, “Apanya yang luar
biasa dengan upacara peresmian perkumpulan Hian-beng-kau? Berani betul mengundang para
enghiong dari seluruh kolong langit……?”
Tang Bong liang hanya tertawa-tawa belaka, sinar matanya segera dialihkan ke wajah Goan cing
taysun.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
186
Sementara itu Goan cing taysu termenung sebentar, tiba-tiba sepasang matanya dipentangkan
dan memancarkan sinar yang amat tajam.
Ketika sinar mata Tang Bong liang saling membentur dengan sepasang mata Goan cing taysu, ia
merasakan bahwa ketajaman mata pendeta itu ibaratnya dua bilah pisau yang tajam sekali
menusuk ke ulu hatinya, ia merasa amat terkesiap.
“Tajam amat penglihatan hwesio ini” sempurna betul tenaga dalamnya…” demikian ia berpikir.
“Omitohud?” Goan cing berseru memuji keagungan Buddha. “lolap merasa tak berilmu dan tak
berani menghadiri pertemuan semacam itu…..
“Jadi taysu bersedia untuk menghadirinya sekarang?” sela Tang Bong liang cepat.
“Tak usah kuatir Tong tham cu, sampai waktunya lolap pasti akan sampai…..”
Diam-diam Tang Bong liang merasa girang, katanya kemudian, “Kalau memang taysu bersedia
datang, upacara peresmian perkumpulan kami nanti tentu akan berttambah semarak, para jago
yang hadir dalam pertemuan ini pun dapat menyaksikan, kelihayan dari jurus silat malaikat
silat…..hal ini akan merupakan suatu atraksi yang menarik”
Sinar matanya dialihkan kembali ke wajah Coa Wi-wi, kemudian ujarnya sambil tertawa.
“Nona Coa sekalian menempuh perjalanan melewati tempat ini apakah kalian hendak ke kota Si
ciu?”
“Buat apa tanya-tanya?” kata Coa Wi-wi ketus. Tang Bong liang tertawa tergelak.
“Haah…..haaa….aaah….bi1a kalian bukan pergi mencari Hoa ji-kongcu, tentu saja lohu tak usah
banyak bicara tapi kalau memang benar……
Coa Wi-wi dapat menangkap bahwa dibalik ucapannya masih ada perkataan lain, dengan
perasaan tercekat dia lantas berseru, “Kenapa dia?”
Paras muka Cia In pun berubah hebat, dengan sinar matanya yang jeli ia berpaling pula ke arah
orang she Tang itu.
Tang Bong liang kembali tertawa terbahak-bahak “Haaah… hahh…..haaah..
kurang lebih setengah bulan berselang, Tong thian kaucu Thian Ik-cu salah seorang pentolan
dari tiga maha besar dunia persilatan muncul secara mendadak dikota Si ciu dan mencari Hoa
kongcu, pertarungan seru yang berlangsung mendadak terhenti dan merekapun masuk ke dalam
gedung sambil bergandeng tangan”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “kemudian apakah Hoa kongcu dan Thian Ik-cu
menjadi bersahabat atau bermusuhan terus lo hu kurang lebih tahu”
Meskipun Coi wi wi tidak begitu Jelas dengan manusia yang bernama Tiga pembawa bencana itu,
tapi dari namanya bisa diketahui bahwa orang itu adalah seorang manusia jahat yang berhati
busuk.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
187
Berbeda dengan Cia In, gurunya Pui Che-giok dahulunya adalah dayang Giok teng hujin dan ikut
menyusup dalam tubuh Tong thian kau, dia tahu bagaimanakah kebiasaan dari orang-orang
perkumpulan tersebut, hatinya kontan bergetar keras sehingga tanpa sadar serunya?”
Tang Bong liang melirik sekejap kearahnya, lalu menyabut, “Konon Hoa kongcu dan Thian Ik-cu
telah berangkat secara rahasia pada malam harinya, kemana mereka pergi hingga kini belum ada
kabarnya, itupun berbasil lohu ketahui sewaktu sedang membagi undangan”
Cia In dan Coa Wi-wi saling berpandangan sekejap, lalu sama sama memperlihatkan wajah yang
murung.
Terdengar Tang Bong liang berkata lebih berlanjut, “Dari sini menuju ke utara, dalam setiap kota
besar tentu ada rumah makan yang khusus disediakan perkumpulan kami untuk menerima tamu
agung, saudara sekalian boleh makan minum dan menginap secara gratis”
Sampai disitu diapun menjura sambil menambah, “Kini tugas lohu telah selesai, aku ingin mohon
diri terlebih dahulu….”
“lolap tak akan mengantar lebih jauh lagi!” Goan cing taysu merangkap tangganya balas
memberi hormat.
Tanpa berbicara lagi, Tang Bong liang segera putar badan dan mengundurkan diri dari situ.
Sepeninggal jago dari Hian-beng-kau itu, Coa Wi-wi lantas bertanya, “Kongkong, menurut
pendapatmu mungkinkah jiko telah ketimpa musibah…..?”
Walapun dihati kecilnya merasa murung dan kuatir, senyuman masih tetap mengahiasi ujung
bibir Goan cing taysu, sahutnya, “Jangan lagi kepandaian dan keberesan Liong ji luar biasa,
berbicara diri raut wajahnya dapat diketahui bahwa ia bukan manusia yang berumur pendek,
harap kau tak usah kuatit”
Mendadak Cia In bangkit sambil berkata, Aku akan mencoba untuk mencari berita dari kantor
cabang perkumpulan kami yang ada dikota ini.
“Ehm, cepatlah pergi dan cepat kembali” katanya.
Buru-buru Cia In beranjak dan meninggalkan rumah makan itu, tak lama kemudian ia muncul
kembali dengan wajah masih murung
“Enci In, kabar apa yang kau peroleh?” Coa Wi-wi segera berseru.
Cia In tertawa paksa, sahutnya, Orang-orang yang berada disini mempunyai jabatan yang
terlampau rendah, mereka tidak begitu jelas, rasanya jika ingin tahu keadaan yang sebenarnya
kita harus kekota Si ciu.
Goan cing taysu mengangguk.
“Yaa, dari sini sampai Si ciu hanya terpaut dua ratus li, asal berangkat sekarang sore nanti pasti
telah sampai!”
Berbicara sampai disitu, mereka bertiga pun tidak banyak bicara lagi, tanpa bersantap mereka
turun untuk membayar rekening, tapi ciangkwe tak mau menerima bayaran, karena enggan
banyak ribut, Coa Wi-wi melemparkan sekeping uang kemeja lalu berlalu dari situ.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
188
Setelah keluar dari pintu kota, mereka tidak ambil perduli lagi apakah jalanan ramai atau tidak,
tanpa sangsi lagi mereka bertiga mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk melakukan
perjalanan.
Goan cing taysu kuatir tenaga dalam Cia In masih ketinggalan jauh, maka ia tarik tangan
kanannya dan menyeret gadis itu untuk melakukan perjalanan dengan cepat.
Kepandaian silat yang dimiliki Coa Wi-wi memang betul-betul amat sempurna, apalagi
kepandaian yang dimiliki Goan cing taysu, sore itu mereka telah sampai dikota Si Ciu.
Baru masuk kekota, mereka telah bertemu dengan Cia Sau yan, kontan saja Cia In bertanya,
“Hoa kongcu berada di mana?”
Cia Sau-yan tidak menjawab secara langsung, ia memberi hormat lebih dulu kepada Goan cing
taysu, kemudian baru menyapa Coa Wi-wi.
“Tak usah banyak adat” katanya.
“Enci Yan, sebenarnya jiko berada di kota Si ciu atau tidak?” dengan tak sabar Coa Wi-wi
bertanya.
Cia Sau yan memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil tertawa paksa katanya,
“Bila ada persoalan lebih baik kita bicara saja dalam rumah!”
Ia memutar badannya dan berjalan lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian mereka berempat tiba digedung tersebut dan langsung masuk ke ruang
dalam.
Waktu itu dua bersaudara Kiong sedang duduk dalam ruang tengah, ketika mendengar suara
langkah manusia ia maju menyongsong ke depan pintu, tapi begitu menjumpai Coa Wi-wi
mereka agak tertegun.
Secara ringkas Cia Siau yan memperkenalkan mereka semua, lalu tak sempat duduk lagi dia
berkata, “Setengah bulan berselang, Hoa In-liong dan Thian Ik-cu telah berangkat ke bukit Ho
san di wan see”
“Mau apa dia kesana?” tanya Coa Wi-wi.
“Menurut perkataan Thian Ik-cu, katanya ada sekelompok jago dari daratan Tionggoan yang
terkena racun jahat ular emas dan tersekap di bukit Ho San, mendengar berita itu Hoa kongcu
segera berangkat untuk memberi pertolongan!”
“Apakah waktu itu Somoay juga hadir disana?” tiba-tiba Cia In bertanya.
“Yaa, aku hadir!”
Dengan dahi berkerut dan suara menegur, Cia in segera berseru, “Sumoay, bukankah dihari-hari
biasa suhu selalu memperingatkan kita bahwa Tong thian kau adalah sekawanan manusia licik
yang banyak tipu muslihatnya, mengapa kau tidak mencoba untuk menghalanginya? Semuanya
ini, kaulah yang salah”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
189
Dengan wajah malu Cia Sau yan menundukkan wajahnya rendah-rendah.
Pergaulan selama beberapa hari ini diantara dua bersaudara Kiong dengan Cia sau yan membuat
hubungan mereka bertambah intim, melihat keadaan itu, Kiong Gwat hui segera menyela, Dalam
masalah ini enci Yan tak bisa disalahkan, waktu itu kami dua bersaudara, Siang huan toh mi
(sepasang gelang pencabut nyawa) Ting Ji-san dan Ho Kee-sian dari Sin-ki-pang hadir pula
ditempat tersebut, tapi ling dan Ho dua orang cianpwe sama sekali tidak bermaksud untuk
menghalangi kepentingan”
“Ooooh….. begitu!” dengan nada minta maaf, coa In berkata kemudian, “kalau begitu akulah
yang telah salah menegur, harap sumoay sudi memberi maaf”
Cia Sau yan menghela napas panjang, katanya, “Siau moay memang bersalah. Cuma siapakah
yang bisa mengurusi persoalannya Hoa kongcu? Apalagi menurut pengamatan Siau moay atas
tingkah laku Thian Ik-cu, kami benar-benar tidak menemukan sesuatu gejala yang
mencurigakan”
“Tapi betapa jahatnya Thian Ik-cu itu?” seru Coa Wi-wi dengan cemas, “bagaimanakah tingkah
lakunya ketika itu?”
“Urusan yang lewat lebih baik tak usah dibicarakan lagi” Kata Cia Sau yan kemudian setelah
berpikir sebentar, “biarlah kuceritakan kembali keadaan waktu itu”
Setelah berhenti sebentar, diapun mulai menceritakan bagian ketika Thian Ik-cu mendatangi kota
Si ciu, menjajal kepandaian Hoa In-liong, lalu bagaimana masuk kerumah untuk berunding dan
bagaimana berusaha untuk menolong orang…….
Ketika selesai bercerita, dengan sinar mata berkilat ia berkata kembali, “Kakek nona Coa, Ting Jisan
dan Ho Kee-sian sekalian telah berangkat untuk memberi pertolongan, tapi sampai sekarang
mereka masih belum juga kembali”
“Tentu saja” seru Coa Wi-wi, “kalau engkohku sudah mengetahui akan urusan ini, sudah pasti dia
tak akan berdiam diri saja”
Cia Sau yan berkata kembali, “Murid Thian Ik-cu dengan suka rela bersedia disekap beberapa
lama sampai ada kabar berita tentang gurunya dan Hoa kongcu”
“itu semua cuma urusan kecil” tukas Coa In, “masih ada yang lain?”
Cia Sau yan ragu ragu sejenak, kemudian katanya, “Menurut laporan Ho Kee-sian, Ting Ji-san
locianpwe dan Coa kongcu telah berjumpa dengan Sing Tocu, suheng dari Tang Kwik-siu
ditengah jalan, nyaris jiwa mereka melayang dengannya, terpaksa buru-buru mereka menarik
diri”
Mendengar itu, Coa Wi-wi lantas berpaling ke arah Goan cing taysu dan berkata dengan cemas,
“Kongkong, apakah Jiko sanggup untuk menandingi Sing Tocu?”
Selama ini Goan cing taysu hanya duduk membungkam sambil mendengarkan pembicaraan
mereka, ketika mendengar perkataan itu dengan ham bar sahutnya, Meskipun tak sanggup
menandinginya, bukan suatu urusan yang susah baginya jika ingin kabur!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
190
“Kalau ia tak sudi kabur?” sambung Coa Wi-wi dengan perasaan cemas bercampur gelisah. Goan
cing taysu segera tertawa. “Liong ji adalah seorang manusia yang tahu diri, tak mungkin ia
berani mengajak musuhnya beradu jiwa bila tiada manfaat apapun.
Coa Wi-wi merasa sangat tak lega, serunya tiba-tiba, “Kalau begitu biar ku berangkan kebukit Ho
san”
Cia In berpaling sekejap memandang ke arah Goan cing taysu, meskipun tidak mengucapkan
apa-apa tapi jelas kalau gadis inipun ingin menyusul ke sana.
Goan cing taysu lantas berkata, “Dari sini menuju ke bukit Ho-san ada seribu empat lima ratus li,
sampai di wilayah Gi mong pun ada seribu li pula, padahal saat peresmian perkumpulan Hianbeng-
kau telah tinggal belasan hari saja, tak sempat lagi…….”
Coa Wi-wi segera mengerutkan dahinya.
“Wi ji ogah menghadiri peresmian itu, apa sih yang hebat untuk dilihat……?” serunya.
Goan cing taysu gelengkan kepalanya berulang kali sambil berpaling katanya, “Nona Yan, berapa
orang yang mendapat undangan dari pihak Hian-beng-kau…..?”
Setelah membungkukkan badan memberi hormat sahut Cia Sau yan, “Kau orang tua terlalu
sungkan, boanpwe mana berani menerimanya”
Setelah berhenti sejenak, katanya lebih jauh, “Boanpwe rasa setiap orang yang punya nama,
baik ia masih berkelana atau telah mengasingkan diri, pihak Hian-beng-kau pasti telah
menyampaikan undangan kepada mereka, yang tidak mendapat bagian undangan tapi i-ngin
melihat keramaianpun sebagian besar sudah berangkat, dewasa ini tak sedikit jumlahnya
manusia yang telah meninggalkan kota Si ciu.
“Apakah dari pihak keluarga Hoa telah melakukan suatu tindakan?”
“Bun tay kun belum melakukan tindakan apa-apa, Hoa tayhiap juga belum turun gunung, ketika
urusan yang mengirim undangan tersebut tiba ditengah bukit ia telah dihadang oleh kuasanya,
jadi belum sampai bertemu langsung dengan Hoa tayhiap.
Setelah menghela napas, lanjutnya.
“Keluarga Hoa selalu dianggap sebagai keluarga pesilatan nomer satu didalam dunia persilatan
tapi sikapnya yang sukar diraba ini benar-benar membuat umat persilatan didunia ini menjadi
bingung dan tidak habis mengerti”
Kiong Gwat hui yang berada disampingnya tiba-tiba menyela.
“Sewaktu turun gunung, kali ini kami berdua sempat pula mengunjungi perkampungan Liok soat
san ceng dan menyambangi Bun Tay kun, Hoa tayhiap dan dua orang Hoa hujin”
“Kalian telah bertemu?” tanya Goan cing taysu sambil tersenyum.
“Ketemu sih sudah ketemu, cuma saja Bun Tay kun sedang memusatkan semua perhatiannya
untuk mendidik Suma Jin, putri pendiam Suma tayhiap, mengenai yang lain penghidupan
berjalan biasa, hanya Koa toako Koa samet dan dua orang sumoay yang secara diam-diam
membicarakan segala sepak terjang dan Hoa jiko, selain itu masih ada pula seorang Coa hujin…..
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
191
“Dia adalah ibuku!” kata Coa Wi-wi dengan mata mendelik, “bagaimana dengan dia orang tua?
“Ibumu dan kedua orang hujin bergaul dengan riang gembira, dan berpesan kepadaku bila
datang ke timur maka kami diminta mampir di Kota Kiam leng dan mengajak kau bermain”
“Kenapa cici berdua tidak membicarakannya sejak tadi?” seru Coa Wi-wi sambil bertepuk tangan
kegirangan.
Kiong Gwat hui tertawa, sahutnya.
“Tadi kau buru-buru ingin mengetahui nasib Hoa jiko, kami mana berani untuk mengganggunya
Sementara itu Goan cing taysu sedang berpikir, Wiji hanya menguatirkan keselamalan jiko nya,
ilmu silat In-ji amat cetek, beberapa orang gadis inipun tak bisa menghadapi masalah besar ini
dengan sempurna…….”
Setelah berpikir sebentar, serunya kemudian, “Anak Wi!”
Menyaksikan paras muka Goan-cing taysu amat serius, buru-buru Coa Wi-wi meluruskan
tangannya ke bawah sambil bertanya, “Kongkong ada pesan apa?”
“Upacara pembukaan perkumpulan Hian-beng-kau mempunyai arti penting bagi keselamatan
umat persilatan didunia, karenanya aku harus berangkat untuk melakukan penyelidikan lebih
dulu, kau boleh menyusul kemudian.
Setelah berhenti sebentar, kembali ia berkata, “Sedangkan urusan Liong ji, lebih baik kita
pikirkan selesai upacara peresmian itu, mau kebukit Ho san juga tak bisa sekarang, aku harap
kau dapat mengingat selalu pesan leluhur kita yang lebih mengutamakan kepentingan umum dari
pada kepentingan pribadi. Begitu juga dengan anak ini!”
Selesai berkata, ujung bajunya segera dikebaskan dan tahu-tahu bayangan tubuhnya sudah
lenyap tak berbekas.
Bagi Goan cing taysu yang sepanjang hidupnya berkelana diluar, kepergiannya tidak
meninggalkan kesan apa-apa tapi berbeda dengan Coa Wi-wi dan Cia In. mereka merasa seperti
kehilangan sesuatu, sambil memburu ke tepi jendela, titik air mata jatuh berlinang membasahi
pipinya.
Tiba-tiba Kiong Gwat hui berkata, “Ilmu silat yang kami berdua memiliki amat cetek, jarak dari
sini sampai bukit Gi sanpun tidak dekat, bila ingin menghadiri pertemuan tersebut, kita harus
melakukan perjalanan mulai sekarang”
Diam diam Co wi wi berpikir, “Terpaksa persoalan tentang jiko harus ditunda untuk sementara
waktu.
Padahal bicara dari kepandaian yang di milikinya, tak mungkin sampai terjadi peristiwa, mungkin
juga kita akan berjumpa dalam pertemuan nanti….”
Berpikir demikian ia lantas berkata, “Enci Kiong, bagaimana kalau melakukan perjalanan bersama
sama……?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
192
Kiong Gwat hui memegang tangan Coa Wi-wi dan tertawa merdu, serunya, “Kau benar benar
cantik jelita seperti bidadari yang turun dari kahyangan, kami berdua sungguh merasa tak
sanggup untuk melakukan perjalanan bersamamu”
“Kau iri hati?” goda Kiong Gwat lan sam bil tertawa.
Kiong Gwat hui ikut tertawa. “Yaa, tentu saja iri sekali!” “Kenapa?” tanya Coa Wi-wi sambil
tertawa, sekalipun sedang menguatirkan keselamatan Hoa In-liong, sempat pula dia untuk
bergurau.
Kiong Gwat hui dapat merasakan bahwa dibalik kecantikan gadis itu terkandung juga kepolosan
dan kelembutan, sama sekali tidak menaruh rasa iri atau dengki, hal mana membuatnya
menghela napas panjang.
Sambil menarik tangan Coa Wi-wi, katanya kemudian, “Terus terang saja aku mengaku, bahwa
aku merasa iri sekali ketika untuk pertama kalinya mengetahui akan dirimu, tapi sekarang semua
kedengkian itu sudah lenyap tak berbekas”
Mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi menjadi tertegun, ia tak habis mengerti kenapa gadis itu
bisa menaruh perasaan dengki ketika berjumpa untuk pertama kalinya tadi.
“Malam ini kita beristirahat dulu, besok pagi baru melanjutkan kembali perjalanan kita” tiba-tiba
Cia In berkata.
***
Jalan raya yang menuju ke Lu lam selama beberapa hari ini mendadak menjadi ramai, sebagian
besar orang yang menempuh perjalanan disana adalah kawanan jago persilatan.
Pengaruh Hian-beng-kau memang benar-benar besar dan luas, dengan bukit Gi san sebagai
pusat seribu li disekitar tempat itu telah tersebar tempat-tempat penyambutan, terutama sekali
dikota-kota besar, baik rumah penginapan tersedia, makanan terjamin, yang melayani
merekapun rata-rata gadis cantik jelita yang bertubuh indah.
Alunan musik yang indah, tempat yang nyaman, hidangan yang lezat dan pelayan yang
memuaskan, sungguh membuat siapapun menjadi kerasan.
Sudah terlalu lama dunia persilatan berada dalam keadaan tenang, banyak yang sudah lama
tenangpun berbondong-bondong memunculkan diri, sebagian besar adalah bermaksud untuk
melihat keramaian, hanya sebagian kecil saja yang benar-benar menguatirkan ambisi orang yang
bermaksud menguasai jagat.
Waktu itu, Coa Wi-wi, Cia In dan dua bersaudara Kiongpun sedang melakukun perjalanan ke
utara, untuk menghindari tempat-tempat penyambutan yang disediakan pihak Hian-beng-kau,
mereka khusus memilih jalanan yang kecil dan terpencil.
Empat orang gadis itu berencana akan tiba ditempat peresmian itu sehari sebelumnya, maka
sepanjang jalan mereka banyak berpesiar dan bersantai-santai.
Senja itu mereka telah tiba diluar kota Gi sun shia, oleh karena empat orang gadis itu tak tahu
dimanakah letaknya Ou gou peng, setelah berunding sejenak akhirnya diputuskan kalau malam
itu akan mendatangi gedung penerima tamu guna melakukan penyelidikan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
193
Malam itu keempat gadis itu masuk ke dalam kota dan langsung menuju ke gedung penerima
tamu dari Hian-beng-kau.
Ditengah jalan, mendadak Coa Wi-wi berhenti dan berpaling ke arah sebelah kiri.
Melihat gadis itu berhenti, tiga orang lainnya pun ikut berhenti dengan wajah tertegun.
“Apa yangg terjadi?” Kiong Gwat lan segera berbisik lirih.
“Bwe Su-yok telah datang!” sahut Coa Wi-wi sambil menatap terus ke depan”
Cia In dan dua bersaudara Kiong segera berpaling pula ke arah mana yang ditujukan.
Tapi Coa Wi-wi gelengkan kepalanya sambil berkata, “Ia sudah keluar dari kota, tidak terlihat
lagi”
Cia In termenung sebentar kemudian ujarnya.
“Dibalik ucapan peresmian perkumpulan Hian-beng-kau kali ini sesungguhnya mereka bermaksud
untuk menantang para jago dari kalangan lurus sebagai seorang ketua dari Kiu-im-kau, sudah
barang tentu Bwe Su-yok harusnya berada dimarkas Hian-beng-kau, daripada berkeliaran
ditempat luaran”
“Jadi maksudmu, Bwe Su-yok sedang melakukan suatu pekerjaan?” tanya Kiong Gwat hui.
Cia In mengangguk.
“Semestinya memang begitu!” sahutnya,
“Enci In, bagaimana kalau kita ikuti dirinya?” bisik Coa Wi-wi mendadak dengan suara lirih,
diantara keempat orang itu usia Cia In paling tua dan pengalamannya paling luas oleh sebab itu
dalam menghadapi pelbagai persoalan, dia juga yang mengambil keputusan.
Padahal Cia In sudah jemu dengan persoalan tentang dunia persilatan, tapi dalam keadaan
demikian mau tak mau dia harus juga membangkitkan semangat untuk menghadapinya.
Diam-diam Cia In berpikir, “Kedatangan Bwe Su-yok ke tempat ini pasti karena urusan penting,
seandainya ia memang bermaksud tidak menguntungkan untuk golongan kami, memang ada
baiknya jika mencari kesempatan untuk mengacaunya”
Berpikir sampai disitu, diapun lantas mengangguk, sahutnya, “Bagaimanapun juga kita memang
tidak repot, tak ada salahnya untuk melihat-lihat.
Mendengar ucapan tersebut, Coa Wi-wi segera berangkat lebih dulu untuk membawa jalan dan
menuju kearah mana Bwe Su-yok melenyapkan diri.
Sesaat kemudian sampailah keempat orang itu ditengah sebuah hutan yang lebat.
Mendadak Coa Wi-wi berhenti sambil berbisik, “Sudah sampai!”
“Dimana?” tanya Kiong Gwat hui karena tidak menyaksikan sesosok bayangan manusia pun.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
194
Baru saja akan menjawab, air muka Coa Wi-wi mendadak berubah, serunya kemudian dengan
cemas, “Cepat menyembunyikan diri!” Meskipun agak keheranan, tiga orang itu tahu bahwa
ucapan tersebut pasti ada alasan tertentu, maka masing-masing mencari sebatang pohon dan
menyembunyikan diri.
Baru saja selesai bersembunyi, bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu ditempat mereka
berada tadi telah muncul dua orang laki-laki bertubuh kekar.
Agak merah wajah Kiong Gwat-hui karena jengah, pikirnya kemudian, Yaa, pasti ucapanku terlalu
keras tadi sehingga mengagetkan penjaga di sana…….”
Dengan sepasang mata yang tajam, dua orang laki-laki kekar itu memeriksa sekejap sekeliling
tempat itu, kemudian salah seorang diantaranya berkata, “Lo tan, kentut busukpun tak ada,
mungkin kau salah mendengar?”
“Tidak mungkin” jawab laki laki kekar yang bernama lo tan itu dengan suara berat, “dengan jelas
kudengar ada suara perempuan yang berkumandang dari sini……”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Sudah pasti orangnya bersembunyi, lo Thio, mari kita
geledah sekeliling tempat ini!”
Ia mencabut keluar sebatang tombak pendek dan siap melakukan penggeledahan.
“Tunggu sebentar!” seru lo thio tiba-tiba sambil menarik lengan rekannya itu.
“Eeh… kenapa kau musti mengulur waktu terus? dengan gusar lo tan berteriak, “coba kalau
sampai urusan menjadi berantakan akan kulihat beberapa butir batok kepala yang kau miliki?”
Lo Thio mendengus dingin.
“Kalau begini cara penggeledahan yang kita lakukan, jika sampai terkena sergapan, siapa yang
bakal rugi? Lebih baik kita melepaskan tanda bahaya saja untuk mengundang bala bantuan
“Bajingan cilik!” diam-diam Kiong Gwat hui menyumpah.
Sambil menggigit bibir, ia tetap bersiap sedia untuk menyerempet bahaya dengan menaklukan ke
dua orang itu.
Baru saja ingatan tersebut melintas dalam benaknya, tiba-tiba bayangan manusia berkelebat
lewat, diam-diam Coa Wi-wi menerjang turun ke bawah….
Ilmu silat yang dimiliki kedua orang laki-laki kekar itu memang bukan kepandaian sembarangan
apalagi berada dalam keadaan siap siaga namun di bawah sergapan dari Coa Wi-wi ternyata tak
sanggup untuk meloloskan diri.
Terdengar Lo Thio mendengus tertahan dan roboh ke tanah, sedangkan lo Tan menggerakkan
tombaknya siap berteriak tapi sebelum sempat melanjutkan gerakannya, ia sudah ditotok jalan
darah pingsannya oleh Coa Wi-wi dan roboh dan tak berkutik diatas tanah.
Setelah dua orang manusia ditaklukan, Kiong Gwat hui baru melompat keluar sambil memuji,
“Siapapun diantara kedua orang ini memiliki ilmu silat jauh diatas kepandaianku, tapi tanpa
mengeluarkan sedikit tenagapun kau berhasil menaklukan mereka, bahkan menjeritpun tak
sempat, ini membuktikan bahwa kau memang betul betul hebat”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
195
Cia In tertawa ringan, katanya, “Dua orang itu masih belum terhitung seberapa, ilmu silat
sesungguhnya dari adik Wi belum pernah kau lihat, coba kalau sudah tahu…..tanggung kau akan
kagum”
Kiong Gwat hui mengerdipkan sepasang matanya, kemudian berkata, “Semoga saja pada malam
ini bakal ada suatu pertarungan yang seru, sehingga menambah pengalaman”
Setelah menyembunyikan dua orang tawanan-nya, beberapa orang itu melanjutkan kembali
perjalanannya untuk menyusup ke depan, tak sampai sepuluh kaki kemudian dengan dahi
berkerut dan mengerahkan ilmu menyampaikan suaranya, Coa Wi-wi berbisik kepada ketiga
orang itu, “Semakin masuk kedalam, para penjaganya memiliki ilmu silat yang semakin tinggi,
bila kita memaksa untuk maju lebih ke depan, niscaya jejak kita bakal ketahuan”
Baik Cia In maupun dua bersaudara Kiong sama-sama tak dapat berbicara dengan
menyampaikan suara, merekapun tahu kalau gadis itu menguatirkan keselamatan mereka
bertiga.
Maka setelah termenung sebentar, Cia In lantas berbisik ditepi telinganya, “Bagaimana kalau kau
masuk saja seorang diri?”
Coa Wi-wi mengangguk tapi menggeleng pula, bisiknya dengan ilmu menyampaikan suara
“disinipun boleh juga, Aku duga Kiu-im-kau sedang memasang jebakan disini untuk meringkus
seseorang, sebentar aku akan tahu siapakah sasarannya itu”
Cian In tahu kalau Coa Wi-wi kuatir bila ia dan dua bersaudara Kiong tak sanggup menandingi
jago-jago dari Kiu-im-kau, maka ia sengaja tetap tinggal disini.
Pikirnya kemudian, “Bila tujuan Kiu-im-kau memang sedang mencegat seseorang, berada disini
pun sama saja dapat menyelidiki jejak mereka, baiklah ditunggu sebentar lagi,……”
Berpikir demikian, diapun mengangguk.
Ke empat orang itupun segera berhenti di sana sambil memasang telinga baik-baik untuk
memperhatikan keadaan di sekitar sana.
Kurang lebih setengah jam kemudian, tiba-tiba Coa Wi-wi mendengar ada suara ujung baju yang
tersampok angin berkumandang datang dari kejauhan dan makin lama makin mendekati tempat
itu.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu tinggi sekali, dalam waktu singkat jaraknya
tinggal sepuluh kaki saja.
Pada saat itulah tiba tiba terdengar seorang membentak keras,
Jilid 10
“Ku Ing ing, berhenti!”
Sinar lampu segera menerangi empat penjuru, menyusul kemudian bayangan manusia yang
entah berapa banyak jumlahnya bermunculan disekeliling hutan itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
196
Diam-diam terkejut juga Coa Wi-wi mendengar seruan tadi, pikirnya, “Oooh…..rupanya bibi Ku
yang sedang mereka hadang!”
Ketika berpaling, tampak olehnya Cia In pun sedang berada dalam keadaan tertegun dengan
wajah kaget.
Ia mencoba pula untuk mengawasi sekeliling sana diatas sebatang dahan pohon sepuluh kaki
dihadapannya sana, berdirilah seorang tokoh berusia setengah umur yang cantik jelita, tokoh itu
membawa sebuah Hud tim bergagang pualam di tangan kirinya.
Meski hanya memakai sebuah jubah pendeta yang berwarna hijau, namun tidak
menyembunyikan kecantikan wajahnya yang mempesonakan hati itu.
Dan dia memang bukan lain adalah Giok teng Hujin Ku Ing ing yang kini bernama Tiang heng
Tokoh.
Hanya sebentar terkejut, Tiang heng Tokoh segera dapat menenangkan kembali hatinya, dengan
sepasang biji matanya yang jeli ia mengawasi sekejap sekeliling tempat itu….
Disebuah tanah lapang didepan sana, tampaklah Bwe Su-yok yang berwajah cantik tapi dingin itu
berdiri angker sambil memegang tongkat kepala setannya, dikiri kanannya masing-masing berdiri
Lei Kiu-it dan seorang kakek berbaju hitam yang bertubuh ceking sekali, sementara sayap kiri
dan sayap kanan masing-masing berdiri dua baris anak buahnya.
Diarah kiri dan kanan masing-masing berdiri kawanan jago yang dipimpin Kek Thian tok, Seng
Sin san dan Huan Tong untuk menghadang jalan mundur orang, kalau dilihat dari tampangtampang
kawanan jago dari Kiu-im-kau itu, bisa diketahui bahwa mereka bukan manusia
manusia yang berilmu cetek.
Setelah menyaksikan keadaan tersebut, Tiang beng Tokoh baru merasa terkesiap pikirnya.
“Celaka, kalau dilihat dari posisi yang terbentang didepan mata sekarang, rasanya untuk kabur
dari sini jauh lebih sulit dari pada mendaki ke langit!”
“Ku Ing-ing!” kedengaran Lei Kui it membentak, “kenapa kau masih belum juga memberi hormat
kepada Kiu-im-kaucu?”
Setelah mengasingkan diri selama belasan tahun, kemampuan Tiang heng Tokoh untuk
mengendalikan perasaan sungguh mengagumkan sekali.
la tertawa-tawa, sambil melompat turun dari atas dahan, dan memberi hormat kepada bwe Suyok
sapanya.
Bwe Su-yok berlagak tidak melihat, ia berdiri angkuh disitu sementara sinar matanya berkilat
tajam, tampaknya terjadi pergolakan hebat di dalam hati kecilnya.
Ku Ing Ing, apakah kau sudah lupa dengan asalmu?” kakek berjubah hitam yang bertubuh
ceking itu kembali membentak dengan suara dingin.
Tiang heng Tokoh mengalihkan sorot matanya ke arah orang itu, lalu tanyanya, Siapa kau? maaf
bila pintoi tidak mengenalinya!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
197
Lohu adalah Sik Bio Ciao pelinduag hukum dan kaucu angkatan kedua, sekalipun belum pernah
berjumpa tentu pernah mendengar bukan?” kata kakek ceking berbaju hitam itu lagi dengan
dingin.
Terkesiap juga Tiang heng Tokoh sesudah mendengar nama tersebut, segera pikirnya, “Ooooh…
rupanya dia!”
Ternyata Sik Ban-cian si kakek ceking berjubah hitam itu adalah salah satu diantara empat orang
pelindung hukum dari Kiu-im-kaucu angkatan kedua, dimasa itu empat orang pelindung hukum
dari Kiu-im-kaucu ini disebut orang persilatan sebagai Kiu im su-ciat (empat yang luar biasa dari
Kiu-im-kau cu).
Berbicara tentang kesuksesan Kiu-im-kau dimasa lampau, ada separuh bagian diantaranya
adalah berkat perjuangan keempat orang itu, coba kalau keempat orang itu tidak tersekap
dibukit Wu san pada lima tahun berselang tak mungkin Kiu-im-kau bakal di paksa orang untuk
kabur ketengah samudra dan hidup terombang ambing tanpa tujuan.
Tiang heng Tokoh menjadi murid Kiu-im-kau justru disaat Kiu-im-kau sedang mengalami masa
runtuh, diapun kemudian mendapat tugas untuk menyusup ke tubuh Tong thian kau sambil
menunggu saat yang baik untuk muncul kembali dalam dunia persilatan.
Karenanya ia belum pernah berjumpa dengan keempat orang itu, tapi pernah mendengar
kelihayan mereka berempat.
Maka sambil menghela napas diam-diam berpikir, “Waah…….rupanya aku bakal mampus hari ini”
Tapi pertapaannya selama ini membuat hatinya setenang air, dengan sikap yang tenang ia
memberi hormat kepada Sik Ban-ciau, la lu katanya, “Rupanya kau adalah cianpwe pinni,
maafkanlah bila Tiang heng bersikap kurang hormat kepadamu”
“Hmm, apa kau anggap setelah mengenakan jubah kependetaan maka urusan dimasa lalu bisa
diselesaikan dengan begitu saja?”
Tiang heng tokoh tertawa hambar, sahutnya, Sudah lama pinni bukan anggota Kiu-im-kau lagi.
“Ku Ing ing, kau berani menghianati su-cou?” bentaknya.
Pinni bernama Tiang heng. Ku Ing Ing sudah mati semenjak dua puluh tahun berselang.
Sekalipun Ku Ing ing belum mati, tapi setelah menjalankan hukuman Im-hwe-lian-hun (api dingin
melelehkan sukma) aku sudah bu kan terhitung anak murid Kiu-im-kau lagi.
Ucapan tersebut membuat Sik Ban-cian tertegun, ia lantas berpaling ke arah Bwe Su-yok.
“Yaa, memang ada kejadian tersebut!” Bwe Su-yok segera mengangguk tanda membenarkan.
Kiranya dalam peraturan Kiu-im-kau ada tercantum bahwa barang siapa telah menjalani
hukuman Api dingin melelehkan sukma maka ia sudah bukan termasuk anggota Kiu-im-kau lagi.
Sebagaimana diketahui, siksaan Api dingin melelehkan sukma adalah siksaan paling kejam
didunia ini, belum tentu setiap manusia bisa menahannya, barang siapa t lah menjalaninya
selama tujuh hari tujuh malam tubuhnya akan berubah menjadi sesosok mayat kering.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
198
Peraturano itu sebenarnya diujukan untuk anggota perkumpulan yang telah melakukan
pelanggaran besar, agar setelah mati pun tak dapat menjadi murid Kiu-im-kau.
Siapa tahu dikala Giok teng hujin menjalani siksaan di kota Cho ciu, Hoa Thian-hong telah datang
tepat pada waktunya, karena menguatirkan ilmu silat Hoa Thian-hong yang lihay, terpaksa Kiuim-
kaucu membatalkan hukuman-nya ditengah jalan, sebab itulah Giok Teng hujin bisa hidup
sampai sekarang.
Kenyataan mana segera membuat Sik Ban-cian menjadi serba salah, sebab menurut peraturan
setelah Giok teng hujin tidak menjadi murid Kiu-im-kau, maka peraturanpun tidak berlaku lagi
baginya, atau dengan perkataan lain diapun tidak berhak lagi untuk menuntutnya.
“Ku lng ing” mendadak Lei Kiu-it membentak dengan dingin, “hukuman api dingin melelehkan
sukma yang semuanya berlangsung selama tujuh hari tujuh malam belum kau laksanakan hingga
selesai, itu berarti kau masih belum terlepas dari ikatan peraturan perkumpulan kami”
Dengan langkah lebar ia lantas maju ke depan dan melepaskan sebuah pukulan ke arah Ku Ing
ing, seraya membentak, “Akan kulihat sampai dimanakah kemajuan yang berhasil kau capai
selama beberapa tahun ini?”
Ku Ing ing tersenyum, hud tim ditangan kanannya menggulung keatas..
Terdengar suara benturan seperti benda retak, hawa pukulan langsung membuyar keempat
penjuru dan membuat kobaran api obor menjilat-jilat tiada hentinya.
suasana dalam hutan itupun menjadi mengerikan sekali seperti ada setan-setan yang sedang
bergentayangan.
Lei Kiu-it mundur selangkah dengan cepat sementara ujung baju Tiang-heng Tokoh berkibar
keras terhembus angin.
Kejadian itu segera membuat semua anggota Kiu-im-kau menjadi terperanjat, dalam bentrokan
yang baru terjadi terbukti bahwa kepandaian yang dimilikinya memang hebat.
Padahal sebagai seorang jago dibawah ruangan Yu beng thiam, kepandaian silat yang dimiliknya
masih berada di bawah dua istana dan tiga ruangan, tapi kenyataannya dia masih berada diatas
kepandaian Lei Kiu-it.
Tiba tiba Bwe Su-yok menegur dengan dingin, Lei tiamcu, apakah aku menitahkan kepadamu
untuk turun tangan?
Paras muka Lei Kiu-it agak bsrubah, buru-buru ia memberi hormat kepada Bwe Su-yok sambil
menyahut, Hamba melakukannya karena buru-buru ingin menangkap penghianat tersebut.
“Mundur kau!” tukas Bwe Su-yok cepat.
Lei Kiu-it agak ragu-ragu sejenak, kemudian setelah sangsi beberapa waktu diapun
mengundurkan diri dari sana.
Bwe Su-yok mendengus dingin, setelah melirik sekejap kearah Sik Ban-cian katanya, “Sik hu
hoat, bagaimana menurut pendapatmu??”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
199
Sik Ban-cian memberi hormat lalu sahutnya, Walaupun peraturan dalam perkumpulan kita
memang berbunyi demikian, tapi menurut pendapat lohu, Ku Ing ing tak dapat dile paskan
dengan begitu saja.
“Kalau peraturan yang telah adapun tidak dipegang teguh, perkumpulan macam apakah
perkumpulan kita ini? Dan bagaimana pula bisa merajai dunia persilatan?” tegurnya.
Mendengar itu diam-diam Sik Ban-cian berpikir, “Kalau didengar dari perkataannya itu, agaknya
dia berniat untuk melindungi Ku Ing ing perempuan rendah itu, hmm! Orang bilang dia ada main
dengan bocah muda dari keluarga Hoa, rupanya perkataan tersebut tak bakal keliru lagi.”
Berpikir demikian iapun lantas berkata, “Menurut peraturan perkumpulan, orang harus menjalani
hukuman api dingin melelehkan sukma sukma tujuh hari tujuh malam, walaupun tidak
dicantumkan keterangan lalu tapi artinya sudah jelas, harap kaucu bersedia untuk
memahaminya”
Paras muka Bwe Su-yok mulai tampak agak sangsi, namun diapun tidak banyak berbicara lagi.
Diam-diam Tiang beng Tokoh berpikir kembali, “Aaai….” Keadaan telah berkembang menjadi
begini, rasanya diapun tak akan mampu untuk membentak diriku lagi, janganlah lantaran
persoalan membuat kewibawaannya dibadan anak buahnya merosot, semoga bocah ini dapat
membawa perkumpulan Kiu-im-kau menuju ke jalan yang benar….”
Berpikir demikian, ia merasa enggan untuk menyulitkan Bwe Su-yok lagi dalam persoalan ini, ia
lebih rela beradu iiwa daripada menyulitkan orang lain.
Maka sesudah berpikir sejenak, katanya sambil tersenyum, “Kaucu…..”
Setajam sembilu Bwe Su-yok berpaling, ketika dilihatnya paras muka Tiang heng Tokoh yang semula
sedih kini berubah jadi cerah, dengan cepat ia dapat menebak suara hatinya, iapun lantas
berpikir, “Bila membiarkan ia mati dihadapanku, jika sampai diketahui olehnya, niscaya dia akan
membenciku setengah mati!”
Walaupun sikapnya yang istimewa dimasa dalam pertemuan yang pertama dengan Tiang beng
Tokoh, ia telah menyebutnya sebagai cianpwe dan sikapnya menunjukan penuh kesopanan dan
rasa hormat mempunyai penjelasan tertentu, namun kesemuanya ini dia lakukan jelas
disebabkan oleh Hoa In-liong.
Kalau tidak demikian, mungkin sedari tadi ia telah menuduh Tiang heng Tokoh sebagai seorang
penghianat.
Maka dari itu ketika dilihatnya Tiang heng Tokoh ada maksud untuk mengakui kesalahannya di
hadapan umum, ia menjadi cemas bercampur gelisah, tiba-tiba bentaknya dengan keras, “Tutup
mulut!”
Kemudian sambil berpaling kearah Sik tan cian, katanya lagi, “Sik Hu hoat, dalam usaha
penghadangan terhadap Ku Ing ing ini, kaulah yang memimpin langsung semua penjagaan disini,
apakah cukup rapat dan kuat penjagaan di sekeliling tempat ini?”
Coa Wi-wi yang mendengar sampai disitu hatinya lantas bergerak, pikirnya, “Jangan-jangan Bwe
Su-yok memang bermaksud memancing ke-datanganku ke tempat ini”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
200
Berpikir demikian, iapun melirik sekejap kearah Cia In, ketika empat mata saling bertemu, Cia In
segera mengangguk, rupa nya mereka berdua mempunyai pendapat yang sama.
Sik Ban-cian agak tertegun setelah mendengar dibalik perkataan Bwe Su-yok masih ada
perkataan lain, dengan tenaga dalam yang dimilikinya, asal memasang telinga baik baik maka tak
sulit baginya untuk menemukan tempat persembunyian dari Cia ln serta dua bersaudara Kiong,
maka sorot matanya lantas dialihkan ketempat persembunyian empat orang gadis itu kemudian
tertawa panjang.
Sungguh amat sempurna tenaga dalam ysng di miliki Sik Ban-cian, gelak tertawanya melengking
dan membelah keheningan malam hingga membuat Cia In dan dua bersaudara Kiong yang
berada pada jarak agak jauhpun merasakan gendang telinganya menjadi amat sakit, kepalanya
pusing tujuh keliling, hampir saja ia tak tahan.
Menyaksikan kejadian itu Coa Wi-wi menjadi amat gelisah, kontan saja ia membentak nyaring.
Dalami keadaan cemas dan gelisah bentakan tersebut telah disertai dengan tenaga dalam yang
cu-kup empurna, bahkan saja berhasil mengimbangi gelak tertawa Sik Ban ciao, bahkan
menusuk pendengaran lawan.
Bwe Su-yok maupun Lei Kiu-it yang sama sekali tidak bersiap sedia hampir saja merasakan
dadanya bergolak keras apalagi murid-murid Kiu-im-kau lainnya, mereka merasa seperti
disambar guntur, tubuhnya sampai bergoyang keras.
Dengan wajah tertegunn Sik Ban ciao tutup mulut tapi sejenak kemudian dengan suara dalam
serunya, “Rupanya ada jago tangguh yang berada disini, bagaimana kalau tampilkan diri
sebentar?”
Coa Wi-wi tahu bahwa kemungkinan besar ia tak dapat mengundurkan diri dari situ dengan
aman pada malam ini, maka dengan suara setengah berbisik katanya, “Tiga orang saudaraku,
jago-jago tangguh dari Kiu-im-kau telah berkumpul semua disini, kalian bukan tandingannya,
maka jika sampai terjadi bentrokan nanti, lebih baik hindari jago-jago tangguh, cari saja para
anak buahnya yang agak cetek kepandaian silatnya.
Sebetulnya ucapan semacam ini pantang di utarakan keluar, sekalipun merupakan suatu
kenyataan, untung saja ketiga orang gadis itu berhati polos dan tidak menaruh perasaan tak
senang atau perasaan lainnya, mendengar perkataan itu serentak mereka manggut manggut.
“Jangan kuatir!” kata Giong Gwat lan sambil tertawa “sebetulaya aku memang cuma ingin
berpeluk tangan belaka, ingin kulihat sampai dimanakah kehebatan ilmu silat yang kau miliki itu”
Coa Wi-wi tersenyum, diapun berjalan keluar lebih dulu dari tempat persembunyian nya disusul
ketiga orang lainnya.
Ketika Tiang heng Tokoh melihat Coa Wi-wi dari depan, dengan heran iaberseru.
“Anak Wi, rupanya kau!”
“Bibi Ku” kata Coa Wi-wi dcngsn manja, “aku harus berterima kacih kepada pihak Kiu-im-kau
karena berhasil mengurung dirimu disini kali ini aku tak akan biarkan kau kabur dengan begitu
saja”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
201
Tiang heng Tokoh tersenyum, sinar matanya pelan-pelan dialihkan kewajah Cia In serta dua
bersaudara Kiong, kemudian sambil menggape katanya, “Anak In, kau dan nona berdua
dibelakangku saja”
Dalam sekilas pandangan saja, Sik Pan cian telah mengetahui bahwa kepandaian silat yang
dimiliki keempat orang ini amat cetek, tapi setelah mengetahui bahwa orang yang membentak
amat dahsyat tadi adalah seorang gadis belia yang cantik jelita, ia menjadi tercengang.
“Aaali…..!” serunya tertahan.
“Budak ini bernama Coa Wi-wi, keturunan dari Bu seng (malaikat ilmu silat)!” demikian Bwe Suyok
berkata dingin.
Paras muka Sik Ban-cian berubah hebat, serunya dengan suara lantang, “Wahai budak she Coa,
ape hubungan mu dongan Coan cing si keledai tua gundul?”
Tak terkirakan rasa gusar Coa Wi-wi mendengar orang itu mengejek kakeknya, biji mata yang jeli
berputar-putar, lalu sahutnya dingin, “Setan tua, apa yang kau ngaco belokan?”
“Budak sialan!” teriak Sik Ban-cian penuh kegusaran, selanglah demi selangkah ia maju ke
depan.
Coa Wi-wi tidak berani bertindak gegabah, diam-diam ia menge rahkan tenaga dalamnya untuk
bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, sementara Thian heng Tokoh mempersiapkan
senjata Hud timnya untuk melancarkan Serangan.
“Setan tua, lihat toya saktiku!” mendadak seseorang berseru dengan suara lantang.
Belum lagi ucapan tersebut selesai diucapkan, sesosok bayangan hitam dengan membawa
desingan angin tajam langsung menerjang kearah Sik Ban-cian.
Melihat datangnya ancaman, Sik Ban-cian memutar telapak tangan-nya melancarkan serangan
balasan, tiba-tiba ia merasa keadaan tidak betul, bawa murninya segera ditarik kembali lalu dari
pukulan merubahnya menjadi cengkeraman, ia cakar punggung bayangan hitam tersebut.
Benar juga ternyata orang itu adalah anggota Kiu-im-kau yang dilemparkan orang ke arahnya.
“Sik lo ku!, kau memang hebat” suara itu memuji lantang, “untung matamu cukup jeli sehingga
nyawa seorang anak buahmu berhasil diselamatkan
Habis sudah kesabaran Sik Ban-cian, karena gusarnya ia tertawa terbahak-bahak, lalu menerjang
ke atas sebatang pohon besar yang rimbun lebih kurang sepuluh kaki dihadapannya sana,
bentaknya penuh kegusaran, “Kawanan tikus darimana yang telah datang? Hayo cepat menggelinding
keluar dari tempat persembunyianmu!”
Belum lagi tubuhnya menerjang tiba, sepasang telapak tangannya telah dilontarkan ke depan,
gulungan angin pukulan yang maha dahsyat segera menyambar tubuh lawan,
“Blaaaar……….!” getaran keras yang memekik-kan telinga berkumandang memecahkan
keheningan, batang pohon yang lima kaki tingginya itu segera terhantam telak sehingga patah
menjadi dua dan roboh ketanah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
202
Diantara daun-daun dan ranting-ranting yang beterbangan diudara, terdengar gelak tertawa panjang
yang memekikkan telinga berkumandang memecahkan keheningan, sesosok bayangan
hitam melompat keudara lalu berseru sambil tertawa, Sungguh suatu tenaga pukulan yang amat
hebat, cuma sayang hanya bisa dilampiaskan pada batang pohon.
Sik Ban ciat makin marah, teriaknya keras-keras, “Manusia sialan, jangan kabur kau!”
Dia melompat keudara dan meluncur ke depan melakukan pengejaran..
Semua orang telah dapat melihat bahwa orang yang mengejek Sik Ban-cian itu memiliki ilmu silat
yang maha hebat, sudah jelas kepergian Sik Ban-cian kali ini tak pasti akan berhasil menyusul
lawan.
Diam-diam Tang heng Tokoh berpikir, “Walaupun Sik Ban-cian berhasil dipancing pergi, tapi
ketiga orang Thamcu dari Kin im kau serta Bwe Su-yok masih ada di sini, belum tentu anak Wi
sanggup menghadapinya, lebih baik mumpung masih ada kesempatan aku kabur saja lebih dulu.
Satelah mengambil keputusan, iapun berbisik, “Anak Wi, buka jalan! Nona berdua dan anak In
ditengah, mari kita berangkat!”
Coa Wi-wi mengangguk, ia bersiap-siap untuk berangkat mening-galkan tempat itu.
Mendadak terdengar suara pujian kepada sang Buddha berkumandang diudara, seorang, tauto
(hwesio yang memelihara rambut) dengan rambut yang terurai sepundak, berwajah pualam dan
berikat kepala perak, dengan memakai jubah pendata warna abu-abu dan membawa sebuah
senjata sekop dari perak melayang turun ketengah arena.
“Siapa sebutanmu taysu?” tanyanya.
“Pinceng adalah Cu Im!” jawab si Tauto.
Kemudin sambil berpaling kearah Tiang heng Tokoh, katanya, “Nona Ku, apakah masih kenal
dengan pinceng?”
Tiang heng Tokoh tertawa getir.
Budi kebaikan taysu dan suma tayhap yang jauh-jauh datang memberi bantuan tak akan Tiang
heng lupakan untuk selamanya, mana mungkin pinceng lupa dengan taysu?!!
Tiba-tiba paras muka Cu Im taysu berubah menjadi amat sedih, dia berkata memuji keagunggan
sang Buddha.
“Omintahud!” Kini Suma loce telah berpulang kelangit barat sementara pinceng masih
kelayappan dialam semesta. Aai..Kejadian dalam dunia memang berubah dengan cepatnya.
Semuanya itu akan menambah kenanggan dan kepedihan dihati orang saja.
Tiba tiba Lei Kiu-it berkata dengan dingin.
“Cu Im tauto, tempat ini bukan tempat bagi kalian untuk mengenang kembali kejadian-kejadian
dimasa silam, aku pikir bila kau sudah bersiap mencampuri urusan ini, tak berguna banyak bicara
lagi, mari kitalangsung saja beradu kekuatan.
Cu Im taysu tertawa-tawa.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
203
“Lei sicu, cukup tajam perkataanmu itu, pinceng kagum sekali, cuma berilah kesempatan lebih
dulu kepada pinceng untuk bercakap cakap dengan kaucu kalian”
“Taysu hendak membicarakan soal apa?” tanya Bwe Su-yok.
Cu Im taysu lantas berpaling, diawasinya sekejap wajah Bwe Su-yok, kemudian sambil
merangkap tangannya didepan dada ia berkata, “Bwe kaucu adalah seorang perempuan yang
pintar dengan hati yang bijaksana, masa jaya Kiu-im-kau tak lama lagi pasti akan tiba, pinceng
akan menyampaikan selamat lebih dahulu”
Bwe Su-yok terpaksa membungkukkan badan membalas hormat.
“Aku tak berani menerima ucapan selamat dari taysu” cepat sahutnya.
Cu Im taysu menghela napas panjang, katanya, “Bwe kaucu, dua puluh tahun berselang nona Ku
sudah melaksanakan hukuman im hwe lian nun (api dingin melelehkan sukma) selama sehari dua
malam, keadaannya mengerikan sekali…….”
“Taysu!” tukas Bwe Su-yok, “jika ingin mengucapkan sesuatu, katakan saja berterus terang, aku
pikir kau tak perlu berbelok-belok lagi dalam pembicaraan”
“Pinceng hanya ingin berkata bahwa menurut peraturan, semestinya Kiu-im-kau sudah tidak
berhak lagi untuk mencampuri urusan nona Ku, sebab nona Ku telah menjalankan siksaan
tersebut”
Bwe Su-yok tertawa dingin.
“Heeehh…..heeeh….heeeh…..hebat betul taysu, rupanya kau pandai mengupas masalah
peraturan dari pertarungan kami.
“Maksud Bwe kaucu…..” Cu Im Taysu mengernyitkan sepasang alis matanya.
Tidak menanti ia menyelesaikan kata-katanya, dengau dingin Bwe Su-yok telah berkata, “Semua
persoalan tentang perkumpulan kami, tak akan mengijinkan orang lain untuk mencampurinya.
Setelah kejadian berkembang jadi dingin, demi menjaga nama baik serta martabat Kiu-im-kau,
terpaksa ia tak dapat mundur dengan begitu saja, padahal hati kecilnya merasa salah, coba kalau
tidak terikat oleh budi kebaikan dari gurunya, ia sudah tinggalkan kedudukannya sebagai kaucu
dan mengasingkan diri ditempat yang terpencil.
Ketika mendengar perkataan itu, Lei Kiu-it sekalian segera merasakan semangatnya berkobar
kembali, rasa antipati yang timbul dalam hati merekapun segera tersapu lenyap.
Tiba-riba terdengar suara parau berkumandang memecahkan kesunyian.
“Hei hwesio tua, sekalipun kau berhati baik, sayang sekali si keras kepala enggan
menganggukkan kepala, lebih baik simpan saja hati baikmu dan mengangkat senjata.”
“Siapa disitu?” bentak Lei Kiu-it.
“Ciu Thian-hau dan gunung Hong-san” jawab orang itu dingin.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
204
Paras muka semua jago dari Kiu-im-kau segera berubah hebat, sebab keadaan yang terbentang
didepan mata mereka sama sekali diluar dugaan siapapun.
Kepandaian Giok teng Hujin sudah tidak seperti kepandaian yang dulu, ilmu silat Coa Wi-wi tiada
tandingannya dan pernah dibuktikan sendiri oleh para jago Kiu-im-kau, kini Sik Ban-cian
dipancing orang dan belum kembari, ditambah Ciu Thian-hau dan Cu Im taysu telah muncul
dipihak lawan, sudah bisa dipastikan Kiu-im-kau berada dalam keadaan kalah.
Dalam pada itu, Kek Thian tok, Seng Sim san dan Huan Tong yang menyaksikan kepungan
mereka tak mungkin mendatangkan hasil, dengan cepat mereka mundur ke samping Bwe Suyok.
“Ciu Thian hau!” bentak Huan Tong dengan gusar “jelek-jelek kau juga punya nama, kenapa
tidak segera menampilkan diri? Memangnya malu untuk bertemu orang?”
Ciu Thian hau mendengus dingin.
“Hmm…..! Hanya kawanan setan gentayangan yang ada disitu, lohu malas untuk bertemu
dengan kalian”
Menggunaakan kesempatan ketika Huan tong sedang bertanya jawab dengan Ciu Thian hau,
Bwe Su-yok berpaling ke arah Kek Thian tok sambil bertanya dengan suara lirih, “Bagaimana
pendapat Kek tongcu?”
“Hamba rasa tiada berharga buat kita untuk beradu kekerasan” bisik Kek Thian tok. “lebih baik
kita tunggu saja sampai saat peresmian perkumpulan Hian-beng-kau, waktu itu sekalian kita
turun tangan membasmi kawanan musuh besar kita ini*
“Bagaimana dengan pendapat kalian?” Bwe Su-yok berpaling ke arah para jago lainnya.
Seng Sim sam menghela napas, katanya, “Padahal rencana kita diatur sangat rahasia, entah
kenapa mereka dapat mengetahui rahasia ini sehingga pada berdatangan kemari, kalau tahu
begini keempat huhoat kita diajak kemari semua dengan kekuatan yang tangguh kita tak usah
takut pada mereka lagi, yaa, apa boleh buat, terpaksa kita harus berbuat demikian”
Bwe Su-yok tersenyum, tiba-tiba ia maju lima langkah ke depan, dengan sorot mata yang tajam
ia menatap sekejap wajah Tiang beng Tokoh, kemudian katanya, “Ku….. Tiang heng Tokoh, jika
kita langsungkan pertarungan, yakinkah kau dapat menangkan pertarungan ini?”
Tiang heng Tokoh agak tertegun, lalu pikirnya, “Kek Thian tok merekapun bermaksud lepas
tangan, kenapa kau malah tak mau mengundurkan diri?”
Dalam hati berpikir demiktar, diluar hati ujarnya sambil tersenyum, “Masakah pinto dapat
menandinggi kehebatan Kui im kaucu, tentu saja aku yang bakal kalah”
“Coa Wi-wi yang berada disisinya lantas berpikir, “Jika bibi Ku sampai bertarung dengan Bwe Suyok,
dan karena tak beruntun sampai kalah, nama baiknya pasti akan ikut ternoda, hal ini sangat
tidak berharga baginya”
Berpikir demikian, diapun menampilkan diri, seraya berkata, “Bwe Su-yok, mana mungkin bibi Ku
mau bertarung dengan seorang boanbwe seperti kau, kalau ingin bertarung, hayo kita saja yang
bertarung”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
205
Bwe Su-yok pura-pura tidak mendengar, kembali ujarnya, “Sebelum pertarungan dilangsungkan,
sukar untuk menentukan menang kalahnya, tapi berbicara menurut pendapat umum aku lebih
banyak bera-da dipihak yang kalah dari pada menang”
Setelah berhenti sejenak, katanya kembali, “Dalam pertarungan ini, bila kau dapat menang, sejak
hari ini Kiu-im-kau tak akan mencarimu lagi, tapi jika aku yang menang, maka terpaksa aku
harus membawamu pergi”
Tiang heng Tokoh tidak langsung menjawab, diam-diam pikirnya kembali;
“Terhitung lumayan juga ia bisa berpikir sampai kesitu, cuma jelas aku tak boleh kalah, padahal
sebagai seorang kaucu tak mungkin akan membiarkan dirinya sampai kalah”……..
Berpikir sampai disitu, diapun melirik sekejap kearah Cu Im taysu, ia berharap paderi itu bisa
membantunya berbicara.
Cu Im taysu mengernyitkan, alis matanya, lalu berkata, “Bwe kaucu!”
Bwe Su-yok tertawa angkuh, katanya, “Apakah taysu bermaksud untuk memberi petunjuk
kepadaku?” Cu Im taysu tertawa.
“Pinceng sudah tua, enggan rasanya aku untuk bermain kekerasan, apalagi melangsungkan
pertarungan dengan orang muda”
Setelah berhenti sebentar, ia berkata lebih jauh, “Menurut pendapat pinceng, mumpung saat
peresmian perkumpulan Hian-beng-kau tinggal beberapa hari, lebih baik kita selesaikan masalah
ini dihadapan para enghiong hohan dari kolong langit, bukankah hal ini jauh lebih baik?”
Bwe Su-yok termenung dan tidak berbicara padahal memang itulah yang diharapkan, segera
pikirnya, “Dalam peresmian perkumpulan Hian-beng-kau nanti, seluruh jago dari pelbagai tempat
bakal berkumpul semua disitu, keadaan nya pasti kacau balau tak karuan, bila ingin
membereskan pertikaian dalam ke adaan seperti ini, jelas hal ini bukan suatu pekerjaan yang
gampang…..
Baru saja berpikir sampai disitu, tiba-tiba berkumandang suara pekikan nyaring yang
memmbelah udara, Sik Bon cian bagaikan seekor burung raksasa melayang masuk ke dalam
gelanggang.
Di bawah cahaya api, tampak wajarnya berubah menjadi hijau membesi, ujung baju sebelah
kanannya terpapas kutung sebagian.
Ia melirik sekejap kearah Cu Im taysu kemudian sambil tertawa seram bentaknya.
“Cu Im, siau pwe darimanakah itu?”
“Haputule!” jawab Cu Im taysu dengan kening berkerut.
“Belum pernah kudengar nama orang itu, siapa gurunya?”
“Aku rasa kau pasti telah merasakan pedang mestika itu, pedang emas tersebut merupakan
pedang paling tajam dikolong langit, rasa nya tidak sulit bukan bagimu untuk menebak asal
perguruannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
206
“Lohu tidak menyangka bakal…..”tapi sampai ditengah jalan, Sik Ban-cian telah mengalihkan
pembicaraannya ke soal lain “apakah dia muridnya It kiam kay tionggoan (Pedang sakti yang
menyelimuti daratan Tionggoan) Siang Tang lay, si setan tua itu?”
“Huh, sungguh tak tahu malu” ejek Coa Wi-wi sambil tertawa dingin, “tak mampu mengalahkan
orang, berkaok-kaok juga ditempat ini, kau pamerkan kepada siapa lagakmu itu?”
Kegusaran Sik Ban-cian ketika itu sedang mencapai pada puncaknya, mendengar perkataan itu
ibaratnya minyak yang bertemu api, kontan saja ii menyeringai seram.
“Budak sialan!” teriaknya menahan geram, Coa Wi-wi sama sekali tidak menghindar atau pun
berkelit, tetapi tangannya segera digetarkan dan langsung menyambut nya tubrukan lawan.
Kedua orang itu asma sama maagandalkan tenaga pukulan dingin yang bersifat lembut, apalagi
serangannya sama-sama dilancarkan tanpa menimbulkan sedikit suarapun, maka ketika dua
kekuatan saling bertemu………”Blaar!” pancaran hawa sakti menyebar ke empat penjuru.
Cu Im taysu yang berada didekat sana segera merasakan tenaga tekanan yang maha kuat
menghantam dadanya, dengan hati terkejut ia awasi Coa Wi-wi beberapa kejap, kemudian
pikirnya, “Dengan tubuh yang begitu ramping dan lemah lembut ternyata memiliki tenaga dalam
sehebat itu, sungguh merupakan suatu kejadian yang sama sekali diluar dugaan”
Dalam pada itu, Sik Ban-cian mendengus gusar, lengan kanannya diangkat, siap melancarkan
serangan lagi, tapi ia segera berubah ingatan, pelan-pelan dihampirinya Bwe Su-yok, lalu
bibirnya berke mak-kemik entah apa yang diucapkan, sebab ia mengirim suaranya dengan ilmu
menyampaikan suara.
Mendengar bisikan tersebut paras muka Bwe Su-yok berubah hebat, dengan cepat ia
menengadah sambil berkata, Jika taysu memang berpendapat demikian, baiklah persoalan ini
kita undur sampai diselengarakannya peresmian perkumpulan Hian-beng-kau nanti.
Tidak menunggu jawaban dari Cu Im taysu lagi, tongkat kepala setannya segera digetarkan lalu
mengundurkan diri dari situ.
Sik Ban-cian serta Kek Thiann tok sekalian menyusul dibelakangnya, sementara para jago dari
Kiu-im-kau sama-sama memadamkan obor dan mundur ke dalam hutan, sekejap kemudian tak
seorangpun yang tertinggal disitu.
Dengan keheranan Coa Wi-wi lantas berkata, “Mereka mundur dengan begitu tergesa gesa,
jangan-jangan Kiu-im-kau telah tertimpa suatu musibah?”
Cu Im taysu gelengkan kepalanya berulang kali “Entahlah pinceng sendiripun kurang jelas”
Kemudian sambil berpaling dengan wajah lembut katanya, “Nona Coa……”
“Panggil aku anak Wi!” sela Coa Wi-wi manja.
Cu Im taysu tersenyum, ujarnya, “Baiklah, tiga puluh tahun berselang, pinceng pernah bertemu
dengan kakekmu dan ayahmu sewaktu berpesiar ke kota Kiui leng, aku memang pantas
memanggilmu sebagaia anak Wi!”
“Kenapa kau tak pernah mendengar ibuku membicarakan persoalan ini….?” tanya Coa Wi-wi
sambil membelalakkan matanya yang jeli.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
207
Cu Im taysu tertawa.
“Waktu itu usia ayahmu maupun aku masih amat muda, ketika kakekmu mengetahui bahwa
pinceng adalah orang persilatan, beliau enggan bersahabat lebih akrab denganku, Cuma saja
lantaran ayahmu begitu dimerahasiakan dirinya, maka hingga kini pinceng baru tahu bahwa
keluargamu adalah keturunan dari Bu seng,.
Coa Wi-wi menggerakkan bibirnya hendak menjelaskan pesan dari Kakek moyangnya yang
melarang anak keturunan-nya berkelana dalam dunia persilatan.
Tapi ia sebelum ia sempat berbicara, tiba-tiba terdengar Tiang-heng Tokoh bertanya.
“Kenapa Ciu tayhiap masin belum juga munculkan diri?”
Cu Im taysu memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil menghela nafas
panjang, sahutnya, “Karena kematian suma lote, ia telah bersumpah tak akan berjumpa dengan
sahabat-sahabat lamanya sebelum pembunuh itu berhasil ditemukan dan lehernya digorok untuk
membalas dendam”
Thiang heng Tokoh lantas berpaling ke arah hutan, kemudian serunya, “Ciu tayhiap bisa begitu
setia kawan, hal ini sungguh membuat Thiang heng merasa kagum, cuma saja tindakan
semacam ini apakah tidak terlalu……..”
“Percuma banyak bicara, mungkin ia sudah pergi meninggalkan tempat ini” sela Cu Im taysu dari
samping.
“Cu pekya malahan merasa tak senang hati lantaran Ciu pekya enggan turun gunung!” sela Coa
W i wi dengan manja.
Sementara itu Thian heng Tokoh sedang berpikir.
“Jika tidak pergi meninggalkan tempat ini, aku akan sulit untuk kabur setelah direcoki budak
tersebut.”
Selama banyak tahun belakangan ini, dia selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari
pertemuan dengan sanak keluarga, maka ketika kemunculan Ciu Thian-hau justru mencocoki
selera hatinya, maka sambil tersenyum katanya, “Kalian bicaralah pelan-pelan disini, karena
masih ada sedikit urusan, pinto harus mohon diri lebih dulu”
Lalu sambil berpaling kearah Cia In, katanya lagi, “Anak In, guruku telah berangkat ke utara
lebih dulu untuk menyelidiki gerak-gerik dari tiga perkumpulan besar, sepanjang jalan, ia
meninggalkan tanda rahasia, pergi susullah dia, kalau bisa bergabung saja dengan gurumu!
Cu Im taysu bukan orang bodoh, segera dia pun berpikir, “Setelah kepergiannya, sudah pasti
jejaknya akan semakin rahasia, selanjutnya kemana aku harus pergi untuk mencarinya?”
Berpikir demikian, buru-buru ia berkata, “Nona ku, harap tunggu sebentar, Haputule dari See ih
ingin bercakap-cakap denganmu”
“Lain kali saja!” jawab Thiang heng Tokoh.
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Pinto bernama Thiang heng, jika taysu masih juga
memanggil nama ku dulu, maaf jika pinto tak akan menggubris lagi.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
208
Haputule dan Hoa Thian-hong berhubungan lebih akrab dari saudara sendiri, sudah tentu ia
lebih-lebih tak ingin berjumpa de ngannya, belum lagi kata-katanya selesai dia ucapkan, senjata
Hud timnya telah dikebaskan siap meninggalkan tempat itu.
“Omintohud!” Cu Im taysu berseru memuji keagunggan sang Buddha, senjata sekopnya
langsung dilintangkan di depan dada, sepasang kakinya menjejak ketanah dan melayang turun
bersamaan waktunya dihadapan Thiang heng Tokoh, sehingga jalan perginya segara terhadang.
Melihat itu, Thiang heng Tokoh mengerutkan dahinya, lalu berseru dengan nada yang tenang.
“Apakah taysu melarang pinto pergi dari sini?”
“Ah, mana pinceng, berani?” buru-buru Cu Im taysu menjawab.
“Kalau begitu, minggirlah dari situ!”
Pelbagai ingatan berkecamuk dalam benak Cu Im taysu, untuk sesaat ia tak berhasil menemukan
cara yang baik untuk menahan Thiang heng Tokoh disitu……
Tiba tiba Cia In berseru lantang.
“Oh supek! Bukankah kau telah berjanji dengan pihak Kiu-im-kau untuk menyelesaikan pertikaian
ini pada saat peresmian perkumpulan Hian-beng-kau….? Jika kau orang tua pergi, bukankah Cu
Im taysu yang membuat perjanjian ini akan kehilangan kepercayannya?”
“Perkotaan sutit memang benar” cepat-cepat Cu Im taysu berseru dengan gembira, “harap nona
Ku jangan menyusahkan pinceng.
Ia masih tetap memanggil Tiang heng Tokoh dengan sebutan “nona Ku” maksudnya dia hendak
menginggatkan Giok teng hujin Ku lng ing bahwa hubungannya dengan keluarga Hoa
sesungguhnya erat sekali.
Diam-diam Thiang heng Tokoh merasa marah sekali, segera serunya.
“Budak sialan, kau berani barsekongkol dengan mereka untuk menghadapi aku?”
Cia In segera bertekuk lutut dan menjatuhkan diri berlutut dihadapan supeknya lalu sambil
menengadah katanya dengan suara gemetar.
“Ooh supek, kenapa kau orang tua musti bersusah payah berbuat demikian?
Keponakan murid rela dijauhi hukuman mati asal kau orang tua bersedia untuk bertemu dengan
Hoa tayahiap!”
Dua bersaudara Kiong saling berpandangan sejejap, kemudian bersama-sama memberi hormat
kepada Tiang heng Tokoh.
Kata Kiong Gwat hui.
“Kiong Gwat hui dan Gwat lan dari perguruan MHa san memberi hormat buat cianpwe”
“Tidak berani” jawab Thiang heng Tokoh sambil tersenyum, “baik baikkah kakekmu?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
209
“Dia orang tua ada dalam keadaan baik-baik dan boleh dibilang sehat walafiat”
Berbicara sempai disini, ia lantas mengedipkan matanya memberi tanda kepada Gwat lan untuk
berbicara.
Semenjak tadi Kiong Gwat lan telah berniat untuk berbicara, melibat itu buru-buru ia menyambung.
“Ku locianpwe, kejadianmu dimasa lalu yang penuh kegembiraan maupun kesedihan telah
banyak kami dengar, hanya sayang boanpwe sekalian tak sempat menjumpaimu, sungguh
beruntung malam ini kami bisa berjumpa muka….”
“Tak usah mengumpak” tukas Thiang heng Tokoh sambil tertawa, apa yang kau ucapkan
katakan saja terus terang!”
Maaf cianpwe, apakah kau tidak merasa terlalu manja sekali?”
Kiong Gwat lan dengan wajah serius.
“Aaah, kalian anak kecil cuma tahu satu tak tahu dua, apa yang hendak kalian bicarakan?”
dengan gusar Thiang heng Tokoh berseru.
Aku tak ambil perduli soal satu atau dua, seru Coa Wi-wi dengan capat, Pokoknya kau musti
berjumpa dengan empek Hoa, kalau tidak tinggalkan alamatmu, aku pikir empek Hoa pasti akan
berkunjung kesitu untuk minta maaf”
Melihat gelagat tak baik, Tiang beng Tokoh segera berpikir, Wah, mereka pada mengerubuti aku
seorang, kalau begini terus caranya, tidak memakai sedikit akal jelas aku tak bakal bisa loloskan
diri dari sini.
Berpikir demikian, diapun berkata, “In jin, hayo bangun! Supek tak akan menyalahkan kamu lagi”
Cia In menyembah beberapa kaki kemudian baru bangkit berdiri, wajahnya kelihatan sedih, ia
seperti mau mengucapkan sesuatu namun maksud tersebut kemudian diurungkan.
Diam-diam Thiang heng Tokoh menghela napas panjang sambil berpaling ke arah Cu Im taysu,
katanya, “Taysu, persoalan antara Kiu-im-kau dengan pinto biarlah diselesaikan saja pada
ucapacara peresmian Hian-beng-kau nanti, kalau toh demikian untuk sementara waktu,
bagaimana kalau jangan kita bicarakan lagi?”
“Apakah sampai waktunya, nona Ku pasti akan tiba?” Cu Im taysu masih kelihatan sangsi.
“Yaa, sampai waktunya Ku Ing ing pasti akan datang!”
Begitu selesai berkata, ia lantas melejit ke udara dan melayang pergi dari situ.
Cu Im tsysu masih juga agak sangsi tapi terbayang bahwa orang persilatan selalu memegang
janji yang telah diucapkan, apalagi Tiang beng Tokoh pun telah berjanji akan datang, maka dia
tidak menghalangi lagi jalan perginya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
210
Sebab bagaimanapun juga cukup mengerti, apa bila ia sampai mengucapkan kata-kata yang bernada
tak percaya akibatnya bisa terjalin perselisihan paham, karena itulah ia selalu tak berani
mengucapkan kata-kata yang bermaksud menghalangi niatnya.
Setelah berjalan sejauh beberapa li, mendadak Tiang hen tokoh merasa gelagat tak benar, tibatiba
ia berpaling kebelakang, maka tampaklah Coa Wi-wi dengan senyuman dikulum sedang
mengikuti di belakangnya, jelas ia sudah cukup lama membuntuti disana.
Ketika Coa Wi-wi menjumpai jejaknya ketahuan, kontan saja ia tertawa cekikikan.
“Bibi Ku, aku ingin mengikutimu! Tiang heng Tokoh segera terhenti, serunya, “Budak cilik,, kau
berani tak pacaya dengan perkataanku?”
Coa Wi-wi tertawa cekikikan, serunya, “Hei, apa yang kau katakan?”
“Aku bilang…” mendadak ia terbungkam.
Kembali Coa Wi-wi tertawa.
Biar aku saja yang mengatakannya untuk bibi Ku, waktu itu Bibi ku berkata bahwa Ku Ing ing
pasti akan datang, padahal bibi Ku pernah berkata bahwa kau sudah bukan Giok teng hujin Ku
Ing ing lagi, kalau memang demikian, itu berarti sudah tiada hubungannya lagi dengan Tiang
heng Tokoh, sampai waktunya asal kau mengirim orang yang mengabarkan bahwa Giok teng
hujin sudah tiada lagi, otomatis Thiang heng Tokoh tak perlu memenuhi janji tersebut. Yaa,
taysu itu terlampau jujur, tentu saja ia tak da-pat menangkap rencanamu itu”
Padahal memang begitulah rencana Tiang heng Tokoh, setelah rahasianya ketahuan, ia pun tak
sanggup tertawa lagi.
“Anak Wi, kau memang pintar, tapi setiap orang mempunyai jalan pemikiran yang berbeda, buat
apa kau memaksa terus……”
“Maka dari itu, aku sudah bertekad untuk mengikuti terus bibi Ku!” sambungnya.
Tiang hieng Tokoh agak tertegun, tiba-tiba wajahnya berubah mem besi, kemudian serunya,
“Bila kau mengejar diriku lari, hati-hati kalau kuanggap dirimu sebagai musuh besarku.”
Sepasang mala Coa Wi-wi berubah menjadi merah, katanya, “Pukullah aku, pokoknya aku tak
akan pergi!”
Karena gadis itu sudah tersengguh hendak menangis, buru-buru Tiang heng Tokoh
mengendorkan sikap kerasnya, sambil tertawa ia berkata, “Ah, ucapan bibi Ku memang kelewat
berat, anak Wi. Kenapa musti kau msukkan kedalam hati”
”Kalau bibi Ku mengijinkan aku mengikutimu” kata Coi Wi wi lagi sambil lertawa.
Tingkah polahnya yang tak menentu itu sungguh membuat Tiang heng Tokoh kehabisan akal,
apa lagi Coa Wi-wi pada dasarnya memang polos dan lembut ibarat bidadari dari kahyangan,
siapapun yang bertemu dengan nya lantas akan merasa cocok dan senang sekali untuk bergaul
dengannya.
Betulkah, dengan perasaan apa boleh buat, Tiang heng Tokoh berkata sambil tertawa, “Siapa
yang berani melarangku?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
211
Tiba-tiba terdengar suara Haputule berseru, “Setelah ada nona Coa yang mengiringi perjalanan,
siaute akan mohon diri sampai disini saja!”
Sesosok bayangan hitam menerjang keluar dari balik hutan, lalu seperti seekor burung elang meluncur
ke arah barat laut.
Tiang heng tokoh agak tertegun, kemudian serunya dengan lantang, “Bagus sekal”, hei
Haputule! Kau berani bermain gila dengan pinto”
“Harap nona Ku suka memaafkan kesalahanku ini” jawaban dari Haputule datang dari kejauhan,
“siaute……”
Mungkin lantaran sudah amat jauh, suara selanjutnya tak dapat terdengari lagi dengan jelas.
Melihat itu, Tiang heng Tokoh pun bergumam, “Tampaknya ilmu silat yang di miliki sudah
berhasil menyusul kehebatan gurunya ketika mengetarkan daratan Tionggoan tempo hari”
Lalu sambil berpaling ke arah Coa Wi-wi, katanya lagi sambil tertawa.
“Hei, budak cilik bukankah semenjak tadi kau sudah tahu kalau ia sedang menguntil di belakang
ku?”
Coa Wi-wi tertawa cekikikkan.
“Masa kau tak bisa menangkap nada ucapannya? Muugkin sudah banyak waktu ia menguntil
dibelakangmu, hanya saja kau tidak merasakan hal itu, kalau tidak kenapa Cu Im taysu dan Ciu
tayhiap, bisa berdatangan kemari secara kebetulan”
Thiang heng tokoh gelengkan kepalanya sambil tertawa getir, katanya kemudian, “Hayo kita
berangkat!”
***
Upacara perkumpulan Hian-beng-kau di selenggarakan ditebung Ui gou peng diatas bukit Gi san.
Nama Ui gou peng tersebut tak akan di kenal orang lain, sekalipun bertanya pada orang sedesa
pun, rupanya nama tersebut diberikan sendiri oleh orang-orang Hian-beng-kau.
Menurut keterangan dari orang-orang Hian-beng-kau, letaknya berada disebelah selatan bukit Gi
san, ditengah lekukan bukit yang bersusun dan menghadap ke arah bukit Mong-san, jaraknya
kira-kira seratus li dari kota Gi sui shin.
Kira-kira mendekati akhir bulan empat, semua rumah penginapan yang berada dikota-kota
sekitar bukit Gi mong san, seperti kota Gi sui shia, Leng hou shia, An khu shia, Mong im shia,
hampir boleh dibilang penuh oleh tamu.
Setelah mengalami masa tenang selama banyak waktu dengan keluarga Hoa saja yang paling
menonjol dalam dunia persilatan, sebagai besar umat persilatan merasa gembira sekali
menyambut ter-jadinya peristiwa besar ini, berbondong-bondong mereka berdatang dari segala
penjuru tempat untuk ikut meramaikan suasana.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
212
Ketika bulan lima tanggal satu, orang sudah mulai mendaki bukit, sepanjang jalan tentu saja
orang-orang Hian-beng-kau sibuk menyiapian tempat penginapan dan hidangan untuk menjamu
tamu-tamunya itu.
Hari ini adalah bulan lima tanggal empat, sebagian besar tamu sudah naik gunung ketika mendekati
senja, kembali ada sekelompok orang yang berdatangan.
Setelah menembusi sebuah jalan usus kambing yang dihimpit dua buah bukit karang menjulang
ke langit, didepan sana adalah sebuah tempat terbuka yarg dikelilingi bukit dengan bentuk
seperti kerbau, itulah sebabnya tempat itu dinamakan Ui gou peng.
Dikeliling puncak bukit terdapat sebuah tanah lapang yang bertumbuh pohon siang, kicauan
burung berbunyi memeriahkan suasana, keadaan terasa nyaman sekali.
Didepan sana terbentang sebuah jalan batu yang lebar, dihadapannya berdiri sebuah tugu
kumala putih yang bertulisan “Kun leng thian he” (Aku merajai kolong langit) empat huruf besar
yang terbuat dan emas.
Tertimpa sinar senja, huruf-huruf itu memantulkan sinar emas yang amat menyilaukan mata.
Tiba-tiba salah seorang kakek berjubah hijau mendengus dingin, kemudian gumamnya, “Hmm,
takabur amat!”
“Tam tayhiap, persoalan apa yang membuatmu merasa kurang puas?” seseorang menegur
menda-dak.”
Ketika semua orang alihkan sinar matanya, tampaklah seorang kakek berjenggot cabang tiga dengan
sinar mata yang tajam dan mengenakan jubah hitam berdiri disisi jalan.
Kakek berbaju hijau itu tampak agak terkejut, lalu pikirnya, Padahal aku sudah banyak tahun tak
pernah muncul dalam dunia persilatan, tapi orang itu dapat segera menyebut namaku, Hianbeng-
kau benar-benar bukan suatu perkumpulan yang boleh dianggap remeh.
Ternyata kakek berbaju hijau itu shi Tam bernama Si bin berasal dari perguruan Thian tay-pay
dan terhitung kakak seperguruan dari Kanglam Sin-ih Yu Siang-tek, ilmu silatnya jauh melebihi
adik seperguruannya.
Kalau Kanglam Sin-ih (tabib sakti dan Kanglam) lebih menitik beratkan perhatian-nya untuk
memperdalam ilmu pertabiban-nya sehingga dalam ilmu silat ia ketinggalan jauh, maka Tam Sibin
menetap terus di Thian tay sambil berlatih ilmu dengan tekun.
Ketika Kanglam Sin-ih Yu Siang-tek diculik orang, seluruh partai Thian tay-pay menjadi gempar,
sebagai orang yang berilmu paling tinggi dalam partai Thian tay, sudah barang tentu ia tak dapat
berpeluk tangan belaka, maka di pimpinnya beberapa orang murid untuk turun gunung.
Kebetulan mereka menjumpai perayaan tersebut, maka kesempatan baik ini pun segera
dimanfaatkan, mereka bermaksud menyelidiki markas besar Hian-beng-kau, sebab dengan
kedudukannya sekarang, jelas sulit akan dikenali orang lain.
Siapa tahu, baru saja sampai di tengah jalan, indentitasnya sudah diketahui orang.
Dengan perasaan bergetar keras, dia pun bertanya, “Siapa kau?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
213
“Aku bernama Cui Heng, menjabat kedudukan seorang Thamcu dari ruangan Tee it tham!”
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Tam Si-bin, segera ia menjura, lalu katanya,
“Oooh……..rupanya kau adalah It pit kon hua (pit sakti penggaet sukma) dari wilayah tian liong
yang termashur karena ketujuh puluh dua jurus ilmu Poan koan pit Kui seng tiam goan, maaf…..
maaf!”
Pit sakti pengaet sukma Cui Heng segera menjura, katanya pula, “Mana, mana, cukup
memandang ilmu Kui goan sinkang dari Tam heng yang sudah beratus tahun lenyap dari
peredaran dunia bisa disimpulkan bahwa partai Thian tay bakal merajai kembali dunia persilatan”
Semakin terkesiap Tam Si-bin setelah mendengar perkataan itu, pikirnya, “Aku sudah tiga puluh
tahun lamanya mengundurkan diri dari dunia persilatan untuk melatih ilmu sakti tersebut, bahkan
anak muridku pun tak, kenapa Hian-beng-kau sudah bisa menyelidiki persoalan ini begitu
jelasnya?”
Terdengar Cui Heng berkata lagi, “Saudara Tam, bolehkah aku tahu, apakah pelayanan dari
perkumpulan kami sepanjang jalan kurang sempurna sehingga tak berkenan dihatimu, harap
saudara Tam katakan padaku dengan terus terang, siaute pasti akan menghukum berat mereka
yang bersalah”
Tam Si-bin segera tertewa terbahak-bahak.
“Haaahh…..haaahh….haahh….pelayanan dari perkumpulan kalian cukup baik dan menyenangkan,
masa siaute tidak merasa puas”
“Kalau begitu tolong tanya karena persoalan apakah saudara Tam tak senang hati?”
“Sialan betul orang ini” maki Tam Si-bin dalam bati, “sudah tahupun pura-pura tidak mengerti,
sialan!”
Maka sambil menuding huruf “Kun leng thian he” yang tercantum diatas tugu, ia tertawa
terbabak-bahak, kemudian katanya, “Siaute memang bodoh sekali, apakah Cui thamcu bersedia
menjelaskan arti daripada ke empat huruf tersebut?”
Ciu Heng memutar sekejap matanya, lalu tertawa-tawa.
“Oooh, jadi saudara Tam tak senang hati karena persoalan itu” katanya.
Jika sekarang saudara Tam masih tak paham, maka selesai upacara nanti kau akan mengerti
dengan sendirinya.
Sudah jelas arti lain dari perkataan itu adalah, sejak kini perkumpulan Hian-beng-kau bakal
menguasahi seluruh kolong langit!
Tam Si-bin tertawa dingin, tiba-tiba sambil menjura ia berkata!, “Dalam penemuan nanti siaute
ingin mo hon petunjuk dari saudara Cui!”
“Siaute pasti akan melayaninya!” jawabnya.
Setelah memberi hormat, ia lantas putar badan dan berjalan menelusuri jalan kecil itu, sekejap
kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
214
Tiba-tiba terdengar seseorang berkata sambil tertawa, “Tam cianpwe, kionghi! kionghi! Rupanya
ilmu sakti partaimu telah berhasil di kembangkan kembali!”
Ketika Tam Si-bin berpaling, maka tampaklah seorang laki-laki setengah umur yang berwajah
bersih dan berdandan seorang sastrawan, dengan tangan kirinya membawa sebuah kipas yang
terbuat dari baja, sedang berjalan menghampirinya.
Ia merasa teramat asing dengan orang itu, maka setelah ter-menung subentar, katanya sambil
tertawa, “Lote ini adalah……..”
“Tam locianpwe, masih ingatkah kau dengan Yau Tiang li dari partai Tian cong?” sapanya.
Tam Si-bin baru teringat kembali, segera pikirnya, “Ooohhhh………….. rupanya dia!”
“Tiba-tiba paras mukanya menjadi dingin.
“Oh, ternyata adalah Yau lote, konon pada sepuluh tahun berselang kau telah menjadi seorang
ketua dari suatu perguruan, ke jadian ini patut diberi selamat”
Lalu satelah memberi hormat, ia menambahkan, “Disini banyak orang dan tidak leluasa untuk
berbicara, maaf……”
Tak mau banyak berhubungan dengan orang ini, maka dengan membawa anak buah, segera
melanjutkan kembali perjalanan menuju ke depan.
Bila sewaktu Tam Si-bin berbicara dengan Cui Heng tadi, sebagian besar jago pada ikut berhenti
dan menonton keramaian, maka setelah berbisik-bisik sejenak, merekapun melanjutkan kembali
perjalanan menuju ke dalam lembah, suasana pulih kembali dalam keheningan.
Kiranya partai Cian cong terhitung pula aliran kaum pemdekar, tiga puluh tahun berselang ketika
mereka kekurangan orang berbakat, tiba-tiba diumumkan bahwa perguruan menutup pintu dan
tak mengadakan hubungan lagi dengan dunia persilatan, walaupun ketika itu hawa jahat
menyelimuti angkasa, kejahatan merajalela bahkan pertemuan besar Pak beng hwe maupun
Kian-ciau tay-hwee, tidak hadir pula. Karenanya Tam Si-bin memandang sinis orang tersebut.
Tiba tiba Yau Tiong-in berteriak kembali, “Tam locianpwe, harap tunggu sebentar, silaukan kau
dengarkan dulu perkataan dari aku Yau Tiong-in”
Tam Si-bin pura-pura tidak mendengar dan meneruskan perjalanannya menuju ke depan.
Melihat itu, Yau Tiong-in mengerutkan dahinya, kemudian berseru dengan lantang, “Tam
locianpwe, masakah sepatah katapun tak kau ijinkan kami Tiam cong pay memberi penjelasan?”
Setelah berkata demikian, tentu saja Tam Si-bin tak bisa berpura-pura lagi, ia putar badan dan
berkata dengan hambar, “Apa lagi yang hendak kau katakan?”
Yau Tiong-in maju tiga langkah ke depan, ia saksikan hanya terpaut sedikit waktu saja mereka
berdua telah tertinggal sejauh beberapa kaki dari rombongan lainnya.
Maka sambil maju menghampiri Tam Si-bin dengan serius dia berkata, “Ketidakhadiran kami
dalam penemuan Pak beng hwe, maupun Kiau ciau tay hwe bukau disebabkan karena takut mati,
tapi sesungguhnya guru kami……”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
215
Agaknya ia merasa sukar nntuk meneruskan perkataan itu tapi setelah berheeti sejenak, ia pun
melanjutkan, “Sesungguhnya guru kami telah dikalahkan oleh Bu liang Sinkun, oleh sebab itu
partai kami harus menepati janji dengan menutup diri selama puluhan tahun lamanya”
Berkenyit sepasang alis mata Tam Si-bin setelah mendengar perkataan itu, cepat dia berseru.
“Oooh, kiranya begitu! Cuma pegang janjipun harus dibedakan atas urusan yang serius dan
urunan yang tidak serius, jika persoalan su- dah menyangkut mati hidupnya dunia persilatan,
tidak betul kalau partai Kalian hanya berpeluk tangan belaka, untung ada Hoa tayhiap dan ibunya
coba kalau tidak demikian, entah bagaimanakah keadaan dunia persilatan dewasa ini…..”
“Perkataan locianpwe memang benar!” tukas Yau Tiong-in sambil tertawa getir, “sebenarnya
suhu pun hendak berbuat demikian, beliau rela mengingkari janji dan ditertawakan orang, dari
pada tidak turut serta dalam usaha melenyapkan hawa sesat dari dunia persilatan……”
Sesudah menghembuskan napas panjang, ia melanjutkan, “Cuma saja, pada waktu itulah tibatiba
kami temukan bahwa kecuali sebagian kecil anggota perguruan, hampir seluruhnya telah
terkena racun jahat yang membuat kami kehilangan tenaga dan tak mampu bertarung lagi
dengan orang lain”
Setelah mendengar sampai disini, dengan nada minta maaf buru-buru Tam Si-bin berseru,
“Oooh, selama ini lohu tak tahu duduk perkara yang sesungguhnya, jika telah melakukan
kesalahan, harap Lote sudi memaafkan!”
“Partai kami tak pernah mengungkapkan persoalan yang sesungguhnya, tak heran kalau
menimbulkan kesalahpahaman semua orang!”
Agaknya ia merasa amat murung dan sedih, setelah menghela napas panjang katanya lebih jauh,
“Akhirnya suhu kami nanti dengan membawa duka nestapa, sebelum meninggal beliau berpesan
agar kami balaskan dendam sakit hati ini, tiga puluh tahun kemudian partai kami dapat muncul
kembali dalam dunia persilatan, sesungguhnya dendam sakit hati ini hendak kami tuntut balas,
tapi Bu Liang loji sudah keburu mampus ditangan Bun Tay-kun, partai kami tiada kesempatan
lagi untuk membalas dendam, tak tahunya murid dari setan tua itu, Kok See-piau berani
menyebar undangan untuk mendirikan perkumpulan disini, maka kehadiran partai kami kali ini
pasti akan membalas dendam sakit hati itu dihadapan para enghiong hohan”
“Semoga saja usahamu itu berhasil!” kata Tam Si-bun sambil menghela napas panjang.
Sesudah berhenti sebentar, ia menambahkan.
“Sudah tahukah kalian, siapa yang melepaskan racun keji itu sehingga membuat sengsara semua
partai?”
Yau Tiong-in menggeretakan giginya kencang-kencang menahan luapan emosi, katanya, “Sudah
bisa dipastikan tak akan terlepas dari Bu-liang si bajingan tua itu!”.
Diam-diam Tam Si-bin lantas berpikir, “Dendam sakit hati sedalam ini sudah pasti akan dituntun
balas oleh semua kekuatan dari Thiam cong pay, itu berarti pertumpahan darah pasti akan
menghiasi seluruh pertemuan ini”
Setelah berpikir sebentar, ia merasa tidak baik jika berhenti terlalu lama disitu, maka sambil
berjalan ke depan, ia bertanya lagi, “Berapa banyak jago yang telah kau bawa kali ini?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
216
Angkatan mudanya tidak dihitung, dari angkatanku saja ada sembilan orang, ditambah lagi
dengan kedua orang susiokku!”
Mencorong sinar tajam dari balik mata Tam Si-bin, serunya dengan cepat, “Asal Thiam cong
siang kiam (sepasang pedang dari Thian cong) maka kekuatan kita untuk menumpas hawa
sesatpun akan bertambah tangguh!”
Rupanya cianpwe terlalu tinggi menilai Hian-beng-kau!”
Tampak Si bin menghela napas panjang.
Aaaai… pada mulanya lohu pun berpendapat demikian, sebagai seorang angkatan muda
seberapa besar yang bisa dimiliki Kok See-piau dengan ilmu silatnya, tapi sekarang hatiku betulbetul
amat murung. Ternyata kehebatan Kok See-piau jauh melebihi Kiu ci sin-kan dimasa lalu,
bahkan lebih sulit dihadapi kami kalau Hoa tayhip hadir, aaai……! andaikata ada Hoa jikongcu,
paling tidak keadaanpun rada mendingan, sayangnya iapun tidak diketahui kemana perginya!”
Kiu Tiong in segera menunjukkan rasa tidak puasnya, ia berkata, “Ilmu silat Hoa tayhiap tiada
keduanya dikolong langit, hal mana sudah jelas diketahui setiap orang tapi Hoa ji kongcu masih
muda, apakah locianpwe tidak menilai dirinya terlalu tinggi?”
Tam Si-bin tersenyum.
“Tidak, sama sekali tidak, kecerdasan Hoa ji kongcu tiada duanya didunia ini berbicara soal ilmu
silat, secara diam-diam lohu pun pernah menjajalnya ketika hendak menghormati secawan arak
kepadanya…….”
“Sekalipun Hoa ji kongcu berasal dari keluarga persilatan yang termashur, masakah ia sanggup
menandingi kehebatan cianpwe?” tukas Yau Tiong-in tidak percaya
Tim Si bin gelengkan kepalanya berulang kali sambil tertawa, Sekalipun sepintas lalu orang
mengira kekuatan kita seimbang, padahal lohu tahu bahwa tenaga dalam yang dimiliki Hoa ji
kongcu jauh diatas kemampuanku”
Yau Tiong-in menjadi tertegun, segera pikirnya, “Telaga dalamnya ini tergantung dari hasil
latihan, usia Hoa yang paling banter berusia dua puluh tahunan, masa dia dapat menandingi mu,
sudah tentu kau ingin memopulerkan namanya saja…….”
Sementara itu mereka berdua telah tiba di ujung jalan berbatu itu, setelah melewati dinding
tinggi, mereka pun menjadi tertegun.
Kiranya setelan melewati dinding tinggi maka semua pemandangan dalam lembah dapat terlihat
dengan jelas.
Kiranya dihadapanya terbentang sebuah lapangan yang amat luas dengan ubin putih yang amat
indah sebagai alasnya.
Sebuah bangunan istana yang bersusun-susun tertera nyata nun jauh didepan, pada pintu istana
terukir empat buah huruf besar terbuat dari emas berbunyi “Kiu ci-piat-kiong”
Tempat ditengah tanah lapang, dibangun sebuah panggung tiga tingkat yang sangat besar,
sebuah permadani berwarna merah darah menghiasi permukaan lantai dari pintu istana hingga
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
217
bawah panggung tersebut, sementara dikiri kanannya masing-masing berdiri sebuah barak besar,
sekalipun dibangun dengan tergesa-gesa namun tidak berkurang keindahanya.
Pada saat itu baik panggung upacara maupun barak besar tak nampak seorang menusia pun, ditengah
tanah lapang yang luaspun hanya ada belasan orang jago Hian-beng-kau yang berlalu
lalang sehingga suasana terasa begitu lenggang.
Diam-diam kedua orang itu merasa terperanjat, mereka tidak mengira kalau Hian-beng-kau bisa
membangun istana seindah ini ditengah bukit yang gersang, cukup melibat arsitek bangunan,
bisa diketahui betapa besar biaya dan tenaga yang telah mereka hamburkan.
Tam Si-bin mencoba untuk memeriksa keadaan disekeliling tempat Itu, tiba-tiba ia menemukan
bahwa dalam tebing Ui gou beng tersebut hampir boleh dibilang tiada jalan tembus lain kecuali
jalan usus kambing tersebut, sekeliling lembah hanya ada dinding-dinding bukit yang terjal dan
menjulang keudara.
Dengan hati terkesiap diam-diam dia pun berpikir, Seandainya terjadi pertarungan nanti, asal
pihak Hian-beng-kau menutup mulut lembah, sekalipun kita punya sayap juga tak mungkin bisa
kabur dari sini dengan selamat.
Sementara mereka berdua masih mengamati keadaan, mendadak muncul dua orang bocah
berbaju hijau yang menghampiri mereka.
Melihat langkah kaki kedua orang bocah berbaju hijau yang ringan itu, Tam Si-bin menjadi
tertegun, kemudian pikirnya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar