Malam itu mereka berdua sudah memasuki daerah pegunungan, karena harus melakukan
perjalanan ratusan li jauhnya non stop, kuda-kuda itu sudah mulai berbuih putih, napasnya ngos
-gosan dan sukar untuk meneruskan perjalanan lagi, dalam keadaan demikian terpaksa mereka
turun dari kuda dan melanjutkan perjalanan naik bukit dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya.
Thian Ik-cu berjalan di paling depan diikuti Hoa In-liong dari belakangnya, di tengah jalan ia
sama sekali tidak bertanya kepada Thian Ik-cu, dimanakah Tang Kwik siu menyekap jago-jago
lihay yang berhasil ditawannya itu, atas kepercayaan pemuda itu kepadanya Thian Ik-cu merasa
sangat berterima kasih.
Setelah mendaki bukit melewati jeram, mendekati fajar sampailah mereka di atas sebuah puncak
gunung.
Sambil menunjuk ke lembah bukit di sebelah bawah
jago lihay itu mereka sekap dalam lembah tersebut”
Hoa In-liong coba menengok ke bawah, ia saksikan lembah dibawah bukit situ bentuknya seperti
sebuah kupu-kupu, tengah lebar dengan kedua buah mulut lembahnya sempit, pada tiap mulut
lembah berdirilah sebuah pagar kayu yang tingginya mencapai
Dalam lembah, setiap jarak tertentu berdiri pula sebuah pagar kayu yang banyaknya mencapai
empat lapis, di atas pagar kayu tadi ber dirilah kawanan jago Mo kau yang berjubah kuning
sedang melakukan perondaaan, sementara bagian tengah lembah dekat tebing curam berdirilah
serangkaian bangunan rumah.
Setelah memandang sekejap dengan terburu-buru, sambil berpaling katanya, “Tampaknya
penjagaan disana ketat sekali, tempo hari dengan cara apa tootiang berhasil masuk ke dalam?”
“Tempo hari pinto berhasil masuk ke dalam karena menguntit di belakang serombongan murid
Mo kau yang ditugaskan keluar gunung untuk membeli bahan makanan, karena orang-orang itu
tengah malam buta baru kembali ke dalam lembah, maka pinto menyembunyikan diri dalam
sebuah kereta.
“Lantas kawanan jago lihay itu disekap dimana?” tanya Hoa In Liong lebih lanjut.
Jilid 7
Sambil menunjuk ke arah rangkaian bangunan rumah dibawah
“Dibelakang bangunan rumah itu terdapat sebuah gua yang tembus ke lambung bukit, didalam
gua itulah kawanan jago tersebut di sekap, dalam gua terdapat dua buah pintu masuk”
Meminjam sinar fajar yang hampir menyingsing, Hoa In-liong mencoba untuk memeriksa
keadaan disana, sekalipun ketajaman matanya melebihi orang lain, sayang gua itu tidak
tertampak karena tertutup oleh bangunan rumah, maka diam-diam pikirnya, “Kalau dilihat dari
penjaga yang berlapis-lapis, rasanya bukan suatu pekerjaan yang gampang bila ingin menolong
orang dalam gua tanpa diketahui para penjaga”
Sementara ia masih termenung, Thian Ik-cu telah berkata lagi, “Ketika tempo hari pinto berhasil
menyusul ke dalam gua, hal itu sesungguhnya lantaran nasibku yang sedang mujur dan akhirnya
pada pintu gerbang kedua jejakku ketahuan, setelah berlangsungnya suatu pertarungan seru,
akhirnya aku baru berhasil kabur dengan selamat”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
133
Hoa In-liong mengerutkan dahinya rapat-rapat, katanya kemudian, “Kalau toh totiang berhasil
mengetahui rahasia mereka, mungkinkah Tang Kwik-siu masih akan menyembunyikan
tawanannya disini?”
Thian Ik-cu kembali termenung sejenak, lalu sahutnya, “Menurut dugaan pinto, bangunan
markas semacam ini bukan bisa dibangun dalam sehari semalam, tidak mungkin Tang Kwik-siu
akan melepaskan bangunan tersebut dengan begitu saja, karena pernah munculnya jejak musuh
disitu, aaai………. kalau Tang Kwik-siu benar-benar telah mengangkut pergi semua orang orang
itu, hingga kedatangan kita hanya sia-sia belaka, pintolah yang akan menjadi orang berdosa”
“Tidak perlu totiang terlalu menyesali diri sendiri, bila kedatangan kita hanya sia-sia belaka,
anggap saja hal ini sebagai nasib, maka kalau ingin menyalahkan, kita hanya bisa menyalahkan
akan kelicikan Tang Kwik-siu”
Lalu setelah memeriksa sekali lagi seluruh lembah tersebut, ia berkata lebih jauh, “Entah jagojago
lihay darimana saja yang berada dalam lembah ini……”
“Sekalipun ada jago lihay disitu, dengan andalkan kekuatan kita berdua rasanya masih cukup
untuk menghadapinya, yang kutakuti justru adalah kelicikan orang-orang Mokau bila mereka
tahu bukan tandinganmu lalu menutup pintu gua dan melawan secara nekad, kitalah yang bakal
kesulitan bahkan yang lebih ku kuatirkan lagi adalah seandainya mereka bunuh jago-jago yang
terkurung itu…..”
Ketika berbicara sampai disitu, mendadak ia membungkam.
Agaknya Hoa In-liong juga mendengar suara yang mencurigakan, ia lantas berbisik, “Hayo kita
menyingkir dulu”
Thian Ik-cu mengangguk, dengan posisi tak berubah mereka melompat keatas dan mencari
tempat persembunyian.
Hoa In-liong melompat naik ke atas sebuah batang pohon yang lebar, sementara Thian Ik-cu
bersembunyi diatas pohon siong.
Tak selang beberapa saat kemudian, muncul dua orang imam setengah umur yang mengenakan
jubah kuning, mereka langsung berjalan lewat sambil membicarakan sesuatu dengan suara
rendah.
Dari sorot mata mereka berdua yang tajam dan berkilat, Hoa In-liong tahu bahwa tenaga dalam
mereka tidak lemah, diam-diam segera pikirnya dalam hati, “Yang meronda gunung saja sudah
merupakan jago-jago sehebat ini, apalagi yang menjaga gua……..tampaknya urusan ini memang
rada gawat…….. aku musti lebih berhati-hati.”
Karena berpikir demikian maka diapun pasang telinga baik-baik untuk menyadap pembicaraan
kedua orang itu.
Terdengar anggota Mokau yang ada di sebelah kiri itu sedang berkata dengan suara nyaring,
“Ciu suheng, siaute rasa cingnbun suhu terlalu bertindak hati-hati, padahal toa-supek sudah
selesai dengan semedinya, dengan tiga perkumpulan besarpun kita sudah bersekutu, menjagoi
dunia persilatan hanya soal gampang untuk kita dewasa ini, kenapa musti jeri terhadap seorang
manusia yang bernama Hoa Thian-hong?”
Terdengar Ciu suheng menjawab dengan suara dalam.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
134
“Wan sute, lantaran kau tidak turut serta dalam peristiwa penggalian harta di bukit Kiu ci san,
maka kau tidak tahu akan kehe batan dari Hoa Thian-hong…….”
Tiba-tiba ia rasakan ucapannya terlalu menyanjung kehebatan orang dengan merendahkan
kedudukan sendiri, maka cepat-cepat ujarnya lagi, “Selama dua puluh tahun belakangan ini,
pengaruh dan daya kekuasaan keluarga Hoa sudah mengakar dan mendarah daging dalam dunia
persilatan, cukup dengan perbuatan putra Hoa Thian-hong di kota Si-ciu pun segera berdatangan
begitu banyak orang yang bersedia menjual nyawa kepadanya, dari pada terjadi sesuatu yang
tidak dingin kan kita memang musti bersiap lebih hati-hati”
Tampaknya Wan sute seperti dapat merasakan pula makna dari ucapan itu, segera ujarnya pula.
“Hwesio tua yang kita jumpai sewaktu di kota Kim Leng dulu juga hebat sekali, ilmu silatnya
tiada tandingan bahkan toa supek sendiripun dipaksa berada dibawah angin, apa mau dibilang
sampai ini hari Coa Goan hau belum juga mau tunduk, kalau ia sampai bekerja sama dengan
keluarga Hoa, wah! Semakin silit untuk menghadapi mere ka”
Hoa In-liong semakin menaruh perhatian lagi setelah mendengar orang orang itu membicarakan
soal Coa Goan hau.
Terdengar Ciu suheng berkata dengan dingin, “Aaah…… belum tentu demikian, asal Tok liong
wan (pil naga beracun) berhasil dibuat, hemm…..hemm….. lihat saja hasilnya nanti……!”
“Ciu suheng, benarkah Tok liong wan itu manjur sekali?” Wan sute bertanya.
Co suheng tertawa angkuh.
“Resep yang diwariskan Cosu ya mana mungkin bisa salah, asal orang-orang yang bandel itu
sudah dicekoki, ditanggung mereka akan tunduk seratus persen dibawah perintah Kita”
Mendengar ucapan tersebut, Hoa In-liong merasa amat tercekat, hampir saja dia hendak turun
tangan untuk membekuk kedua orang itu, tapi niat tersebut kemudian ditahan, ia merasa bukan
kesempatan yang baik baginya untuk melakukan segala tindakan yang diluar perhitungan.
Sementara itu, kedua orang anggota Mokau itu makin lama sudah semakin jauh dari sana,
akhirnya bayangan tubuh mereka lenyap dibalik tikungan jalan sana.
Dengan seksama Hoa In-liong mengawasi kembali sekeliling tempat itu, setelah ia yakin kalau
sepuluh kaki disekeliling tempat itu tiada seorangpun, ia baru memanggil Thian Ik-cu untuk turun
dari atas pohon.
Ketika Thian Ik-cu sudah berada disisi Hoa In-liong, dengan perasaan tak sabar pemuda itu
lantas bertanya, “Totiang, tahukah kau benda apakah Tok liang wan itu?”
Dengan wajah serius Thian Ik-cu menggelengkan kepalanya.
“Belum pernah kudengar tentang obat tersebut, tapi kalau didengar dari nada pembicaraan
mereka berdua, jelas obat itu merupakan sejenis obot pemabuk yang membuat orang hilang
pikiran, aaai… kalau dibicarakan kembali sungguh memalukan, tempo dulu perkumpulan kamipun
pernah membuat orang semacam itu……”
“Kalau begitu, bukan terhitung satu hal yang aneh” tukas Hoa In-liong kemudian. Thian Ik-cu
tertawa.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
135
“Hoa kongcu, kau musti tahu bahwa obat penghilang pikiran itu beraneka ragam banyaknya,
obat pemabuk biasa hanya bikin orang hilang ingatan tapi ilmu silat yang dimikilinya
bagaimanapun hebat dan tingginya tak bisa dipergunakan lagi, para korban biasanya menjadi
lambat dalam gerak-gerik, sama sekali tak berpendirian dan pada hakekatnya adalah seorang
manusia yang tak berguna.
Hoa In-liong seperti menyadari akan sesuatu, segera serunya, “Yaa, seandainya terdapat sejenis
obat pemabuk yang dapat menghilangkan pikiran orang, bisa memerintahnya sekehendak hati
dan ilmu silatnya tidak terpengaruh….”
“Itulah yang pinto takuti” sambung Thian Ik-cu agak kuatir, Tok liong wan adalah obat pemabuk
dari jenis ini”
Hoa In-liong menjadi sedih dan murung dengan perasaan kuatir serunya, “Waaah…..kalau
sampai mereka berhasil membuat obat tersebut, umat persilatan pasti akan terancam marah
bahaya, kita harus berusaha untuk membasmi mereka dari muka bumi”
“Tapi darimana kau tahu obat-obat tersebut di bikin dimana?” kata Thian Ik-cu dengan wajah
yang murung pula. “kalau ingin tahu, terpaksa kita harus menangkap seseorang untuk ditanyai!”
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, “Untungnya hari ini kita akan menolong orang-orang itu.
sekalipun Tang Kwik-siu bermaksud tidak menguntungkan terhadap kawanan jago itu, aku pikir
dia bakal dibuat gelagapan juga”
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Hoa In-liong, diam-diam pikirnya, “Kalau begitu
ditangkapnya empek Yu pasti di maksudkan untuk membuat obat tersebut tapi dengan sifat
empek Yu yang jujur dan gagah perkasa, mana ia sudi membantu mereka untuk membuat obat
racun seperti itu? Cuma beberapa bulan berselang anggota Hian-beng-kau telah mencuri sebuah
botol porselen dari rumah empek Yu, kalau bukan empek Yu yang memberitahukan tempat
penyimpannya, siapapun tak akan mendapatkannya, jangan-jangan ia telah melakukan suatu
persetujuan dengan gembong-gembong iblis itu? Sewaktu dilembah bukit Siong san, akupun
sempat mendengar nama-nama seperti Su bok thian wi sekalian, mungkin saja itulah bahanbahan
penting untuk pembuatan bahan obat Tok liong wan……”
Sementara ia masih termenung, mendadak terdengar Thian Ik-cu berkata, “Hoa kongcu, kini
udara masih terang benderang, suasana semacam ini tidak cocok untuk menolong orang, mari
kita atur napas dulu untuk pulihkan tenaga, menanti hari sudah gelap nanti kita baru mulai
bekerja?”
Hoa In-liong menarik kembali lamunan-nya dan memandang sekeliling tempat itu, betul juga
dalam cuaca terang benderang be gini, seluruh benda yang berada dalam lembah itu dapat
terlihat dengan jelas, itu berarti bukan suatu hal yang mungkin terjadi untuk menyusup kedalam
lembah tanpa di ketahui orang.
Sudah barang tentu, jangankan menolong orang dalam gua, untuk berdiri disana tanpa ketahuan
orang pun mustahil.
Karena itu dia lantas mengangguk. Bersama Thian Ik-cu, kedua orang itu melampaui puncak
bukit dan mencari sebuah gua yang kering dan tinggi untuk atur pernapasan sambil menanti
tibanya malam hari.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
136
Kurang lebih pukul lima sore, kedua orang itu menyelesaikan semedinya, untuk mengisi waktu,
Thian Ik-cu mengisahkan kembali pengalaman tempo hari, lalu merundingkan cara penyergapan
nanti serta menentukan jalan mundurnya.
Tebing-tebing karang dilembah itu kebanyakan menjulang tinggi keangkasa, yang paling rendah
mencapai empat lima puluh kaki, malah dibagian tengah sana mencapai enam tujub puluh kaki
lebih.
Bagi jago-jago biasa, mungkin mereka akan keder dan ketakutan, tapi tidak sampai
menyusahkan Hoa In-liong, muski demikian untuk menghindari segala sesuatu yang tak
diinginkant, mereka toh membuat juga seutas rotan yang panjangnya mencapai enam puluh kaki
lebih.
Dinding tebing karang itu curam dan amat terjal, ditambah pula gersang tiada tumbuhan apapun,
sungguh merupakan suatu tempat yang berbahaya.
Untungnya malam itu udara berawan dan tiada cahaya bintang serta rembulan, pelan-pelan
kedua orang itu merambati rotan dan meluncur turun ke bawah. Baru saja Hoa In-liong hendak
meloncat turun, mendadak dalam jarak dua kaki dibagian bawah tubuhnya secara lamat-lamat
kedengaran suara lirih, ia menjadi teperanjat dan segera berpikir, Sungguh berbahaya! Ternyata
dibawah dinding tebing sanapun ada orang yang menyembunyikan diri.
Dengan sinar mata tajam, diapun memeriksa letak tempat persembunyian orang itu.
Kemudian ia memberi tanda kepada Thian Ik-cu yang berada diatas, dan dengan suatu gerakan
cepat, tubuhnya melayang tiga kaki jauhnya ke depan, kebetulan tubuhnya tiba disudut pojok
dari antara tempat persembunyian orang.
Terdengar hembusan angin lirih berkumandang dari arah belakang, ia tahu pasti Thian Ik-cu
yang telah menyusul itu.
Penjagaan dalam lembah memang amat ketat dan keras, Thian Ik-cu sendiripun merupakan
bekas ketua dari suatu perkumpulan besar sudah barang tentu pengetahuan serta
pengalamannya luar biasa tidak mengalami kesulitan, selang sesaat kemudian sampailah mereka
didepan gua yang dimaksudkan.
Dibawah dinding tebing tersebut sebuah mulut gua yang pintunya terturup rapat, disebelah
kanan pintu batu itu terbuka sebuah lubang kecil seluas setengah depa, di depan gua berderet
rumah-rumah batu, lampu lentera tergantung disudut ruangan dan menerangi wilayah seluas
beberapa kaki disekitar tempat itu.
Beberapa orang anggota Mokau dengann senjata lengkap mondar-mandir melakukan penjagaan,
sedemikian ketatnya penjagaan disitu membuat seekor burungpun sukar melewitinya.
Sementara Hoa In-liong masih termenung sambil memikirkan cara untuk menembusi penjagaan
itu, tiba-tiba kedengaran Thian Ik-cu berbisik dengan ilmu menyampaikan suaranya, “Bila pinto
melakukan sesuatu gerakan di sebelah sana untuk menarik perhatian mereka, harap Hoa kongcu
segera mulai bertindak, bilamana perlu kita lukai mereka tanpa ampun!”
Hoa In-liong manggut-manggut tanda mengerti, pikirnya, “Satu-satunya cara untuk mengatasi
keadaan ini memang memancing harimau turun gunung…………”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
137
Betul juga, tak lama kemudian dari jarak seratus langkah disebelah kiri terdengar suara lirih,
agaknya ada batu disambit, pemuda itu segera bersiap sedia untuk menerjang masuk ke dalam
ru mah batu tersebut…..
Mendadak terdengarlah gelak tertawa nyaring, Tang Kwik-siu berkata dengan suara langlang,
“Hoa Yang, kau tidak menyangka bukan, jauh-jauh datang kemari ternyata tak lebih hanya
mengantarkan dirimu sendiri? Haaahh…. haaaahh….haaah…..Thian Ik-cu, lohu musti
mengucapkan banyak terima kasih kepadamu atas jasamu membawa orang she Hoa itu datang
kemari”
Terkejut dan merah muka Hoa In-liong menghadapi kejadian ini, segera pikirnya, “Heran,
darimana Tang Kwik-siu bisa tahu kalau malam ini aku bakal datang kemari?, Jangan-jangan
Thian Ik-cu sengaja menipuku?”
Berpikir sampai disitu, ia pun lantas berseru, Tang Kwik-siu, kata-kata yang bersifat mengadu
domba lebih baik jangan dibicarakan, kalau toh aku orang she Hoa sudah terjatuh ke tanganmu,
kenapa kalian tidak segera menampakkan diri?”
“Pasang lampu!” bentaknya.
Suara mengiakan berkumandang dari sekeliling tempat itu, mendadak cahaya api berkelebat
lewat seluruh tempat, sekeliling tempat itu menjadi terang benderang.
Hoa ln liong mencoba untuk memeriksa keadaan disekeliling tempat itu, dia jumpai Thian Ik-cu
sedang berdiri kurang lebih tujuh delapan kaki disampingnya dengan wajah gugup dan kaget,
sementara sekeliling tempat itu sudah dipenuhi oleh jago-jago Mokau yang mengangkat obornya
tinggi-tinggi.
Tang Kwik-siu yang berikat pinggang naga emas berdiri ditengah arena, sementara Leng hoa ki
dan Lenghou yu, kakak beradik yang memakai ikat pinggang naga perak berada di kedua belah
sisinya, selain itu masih ada juga Huyan Kiong serta Hong Liong.
Thian Ik-cu menghela nafas panjang, tiba-tiba ia meloloskan pedangnya sambil berkata kepada
Hoa In-liong, “Hoa kongcu, pinto tak sanggup memberi penjelasan kepadamu, tampaknya hanya
ada satu jalan…..
“Haaahhh…….haahhh………haahh……..buat apa to-heng mengelabuhi si bocah dari keluarga Hoa
lagi?” tiba-tiba Tang Kwik-siu berseru sambil tertawa tergelak, “siaute telah mengambil
keputusan untuk mengajak bocah itu bertarung secara adil, kami tidak akan melakukan tindak
penyergapan..”
Tak terlukiskan rasa gusar Thian Ik-cu menghadapi kejadian tersebut, bentaknya penuh
kegusaran.
“Tutup mulutmu!”
Tang Kwik-siu segera pura-pura tercengang, katanya, “Sekarang siaute toh sudah terlanjur
membongkar perasaan to-heng, apa gunanya to-heng musti berlagak terus?”
Kemarahan Thian Ik-cu tak terbendungkan lagi, kalau bisa dia ingin menerjang ke depan dan
beradu jiwa dengannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
138
Rasa sedih dan sesalnya kali ini boleh dibilang belum pernah dialami sebelumnya, dia tak
menyangka kalau cerita tentang di sekapnya kawanan jago disana sesungguhnya hanya suatu
tipu muslihat belaka, apa lacur, dimasa lampau ia memang bernama busuk, ditambah lagi dia
pula yang mengajak Hoa In-liong kesitu, dengan keadaan seperti ini sekalipun ia hendak
memberi penjelasan, belum tentu orang akan mempercayainya.
Tiba-tiba Hoa In-liong berkata dengan suara dalam, Boanpwe percaya kepada totiang, buat apa
kita musti menggubris taktik Tang Kwik-siu yang hendak memecah belah kekuatan kita? Harap
totiang pusatkan pikiran untuk menghadapi musuh.
Tak nyana kalau keturunan keluarga Hoa pun sangat bijaksana dan berjiwa besar, sekalipun
harus mati pinto tak akan menyesal.
Sesungguhnya dia hendak bunuh diri untuk membuktikan kebersihan dirinya, tapi sekarang ia
berubah pendapat, ia rela beradu jiwa dengan musuh demi menyelamatkan jiwa Hoa In-liong.
Sementara itu Hoa In-liong sendiri masih tetap tenang dan seakan-akan tak pernah terjadi suatu
kejadianpun, ditatapnya Tang Kwik-siu sekejap kemudian katanya, “Sekarang aku orang she Hoa
belum dibekuk, lebih baik kaucu jangan keburu merasa senang!”
Setelah berhenti sejenak, kembali katanya, “Sampai kini aku orang she Hoa cuma merasa
keheranan, darimana kaucu bisa tahu kalau aku bakal berkunjung kemari?”
Ketika dilihatnya pemuda itu masih tetap tenang dan tertawa, sekalipun keadaannya sudah
terkepung dan untuk kabur sudah tak mungkin lagi, timbul juga perasaan sayang dihati Tang
Kwik-siu.
Wajahnya yang berseri segera berubah menjadi serius, katanya sambil tertawa, “Hal ini kami
musti berterima kasih kepada Tong thian kaucu!”
Hoa In-liong tertawa dingin.
“Buat apa kaucu berusaha mengadu domba terus? Bocah berumur tiga tahun pun tak akan
percaya, apa kau tidak kuatir kehilangan ke-wibawaanmu sebagai seorang ketua?”
Diam-diam Tang Kwik-siu menyumpah dalam hati, “Bajingan terkutuk, akan kulihat sampai kapan
kau dapat bersilat lidah terus?”
Dia lintas memberi tanda, lalu bersama dua bersaudara Lenghou, Huyan Kiong dan Hong Liong
melompat turun ke bawah.
Seluruh anggota Mokau lainnya tetap memperketat pengepungan disekeliling tempat itu”
Setelah melompat turun dari atas atap rumah, Tang Kwik-siu berpaling ke arah Thian Ik-cu,
kemudian ujarnya sambil tertawa, “Keadaan situasi yang terbentang didepan mata sekarang
sudah cukup jelas, jika To heng bersedia untuk bekerja sama dengan kami, siaute akan
menyambutnya dengan senang hati, kalau enggan bekerja sama, kamipun mengingikan to-heng
untuk pergi jauh ke ujung dunia, buat apa kau musti melakukan perjalanan bersama-sama bocah
dari keluarga Hoa ini……..?”
Dengan kukuh Thian Ik-cu menggelengkan kepalanya.
“Pinto sudah bersumpah akan mati atau hidup bersama Hoa kongcu!” katanya serius.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
139
“Hidung kerbau tua!” teriak Hong Liong dari samping dengan wajah menyeramkan, “tak
kusangka kalau kau dapat begitu setia mengabdi untuk orang lain, Hmm! Rupanya cara keluarga
Hoa dalam membohongi orang memang cukup hebat!”
Thian Ik-cu berpaling dan memandang sekejap kearah Hoa Liong dengan pandangan dingin.
Menyaksikan sikapnya itu, Tang Kwik-siu segera tahu bahwa dibujuk lebih jauh pun tak ada
gunanya, maka sambil berpaling lagi ke arah Hoa In-liong, ujarnya sambil tertawa, “Dengan
mengandalkan kepandaiannya Hoa Thian-hong mengangkangi seluruh dunia, lohu merasa sangat
tidak puas kepadanya, tapi kau dengan usia yang begitu muda teryata bisa menaklukan Tong
thian kaucu yang tersohor namanya sehingga bersedia menjual nyawa untukmu, untuk
keberhasilan ini lohu merasa kagum sekali”
Hoa In-liong segera menjura, katanya hambar, “Aku binal dan bodoh, tingkah lakuku hanya
menambah kerisauan orang tuaku saja, Tang Kwik kaucu terlalu memuji”
Tang Kwik-siu tertawa angkuh, katanya, “Hoa Yang, kalau meninjau situasi yang terbentang
dihadapan matamu sekarang, bagaimanakah penilaianmu?
Hoa In-liong tertawa hambar.
“Bila hari ini aku orang she Hoa ingin mundur dari sini dengan selamat, rasanya memang teramat
sulit, cuma anggota kaucu pun pasti akan banyak yang jatuh korban, mungkin juga diantara
sutemu ada satu dua orang yang akan mengiringi kepergianku menuju ke sorga atau neraka”
Huyan Liong teramat gusar melihat cara pemuda itu berbicara, apalagi senyuman yang selalu
menghiasi bibirnya, kendatipun keadaan jiwanya sudah terancam.
Sambil tertawa dingin segera ujarnya.
“Bocah cilik dari keluarga Hoa, kali ini tak akan ada bajingan baju putih yang akan menolongmu
lagi, ada pesan terakhir tidak? Kalau ada lekas diucapkan, memandang pada wajahmu mungkin
saja aku bersedia merawat mayatmu!”
Yang dimaksudkan sebagai bajingan baju putih adalah sastrawan baju putih Swan Wi yakni hasil
penyamaran dari Coa Wi-wi.
Oleh serangan racun ular keji yang dilepaskan Huyan Kiong tempo hari, tidak sedikit penderitaan
yang telah di alami Hoa In-liong selama ini, mendengar ia buka suara, amarahnya segera
berkobar. sambil marah serunya, “Huyan Kiong, keluar kau! Dengan mengandalkan sepasang
kepalanku ini, aku orang she Hoa ingin melayanimu, jika dalam lima puluh gebrakan tidak
berhasil menangkapmu, aku rela kau jatuhi hukuman”
Huyan Kiong tidak tahan menerima tantangan tersebut, dengan langkah lebar ia segera maju ke
depan.
Ketika mendengar perkataan itu, Tang Kwik-siu merasa amat girang, pikirnya, “Untuk
menangkap bocah diri keluarga Hoa dalam keadaan hidup, jelas merupakan suatu pekerjaan
yang sulit, untuk membinasakannya merupakan suatu perbuatan yang terpaksa, kalau aku bisa
menawannya hidup-hidup, hemm…..hehhm……..waktu itu Thian Ik-cu pasti akan menyerah juga,
bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk menangkap dua orang jago lihay sekaligus…….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
140
Berpikir sampai disitu, karena kuatir Hoa In-liong menyesal, ia lantas berseru lantang, “Hoa
Yang, seandainya dalam lima puluh gebrakan kau dapat menangkan sute ku, lohu ijinkan kau
keluar dari lembah ini”
Baik, kita berjanji dengan sepatah-kata ini, kalau aku gagal menangkan sutemu dalam lima puluh
gebrakan, aku akan menyerahkan diri kepadamu!”
Huyan Kiong benar-benar amat gusar, sambil tertawa dingin serunya, “Orang she Hoa, masuk
hitungan tidak perkataanmu itu?”
“Belum pernah keturunan keluarga Hoa bicara mencla-mencle, apa yang pernah diucapkan tak
pernah akan diingkari lagi!”
Sambil tersenyum, Tang Kwik-siu segera menyela, “Janji dari orang keluarga Hoa bisa
diandalkan, Ngo sute tak perlu sangsi lagi!”
Sebaliknya Thian Ik-cu merasa amat murung, sebab ucapan seorang kuncu bagaikan sebuah
cambukan diatas tubuh kuda, sekali sudah lari sukar ditarik kembali, andaikata Hoa In-liong
gagal menangkan Huyan Kiong dalam lima puluh gebrakan, untuk mempertahankan nama baik
keluarganya terpaksa ia harus memenuhi janji.
Kini urusan telah berkembang jadi begini sekalipun dia ada maksud untuk beradu jiwa juga tak
ada artinya.
Diam-diam ia merasa murung sekali, tapi dalam pergaulannya selama beberapa hari, diapun tahu
kalau Hoa In-liong bukan seseorang yang bertindak gegabah, tanpa keyakinan yang masak tak
mungkin anak muda itu akan mengambil tindakan tersebut.
Sementara itu para anggota dari Mokau rata-rata menganggap Hoa In-liong pasti akan kalah
dalam pertarungan itu.
Sebagaimana diketahui, Huyan Kiong adalah adik seperguruan dari Tang Kwik-siu, tentu saja
ilmu silat yang dimiliki olehnya sangat hebat sekali, jangankan orang lain, Tang Kwik-siu
sendiripun tidak berkeyakinan bisa meraih kemenangan dalam lima puluh gebrakan.
Semua orang tahu bahwa keluarga Hoa mengandalkan ilmu pedangnya yang tiada tandingan,
tapi Hoa In-liong sekarang melepaskan kesem-patannya untuk menggunakan pedang dan malah
memilih menggunakan ilmu pukulan, hal ini sangat tidak menguntungkan posisinya.
Yang penting lagi dalam pertarungan dibukit Yan san setengah tahun berselang, sekalipun dalam
ratusan gebrakan Hoa In-liong berhasil menangkan Huyan Kiong dengan sebuah serangan jari,
bicara soal tenaga dalam sesungguhnya mereka seimbang, mustilah kalau Hoa In-liong dapat
peroleh kemajuan yang pesat hanya didalam tujuh delapan bulan.
Tang Kwik-siu adalah seorang manusia licik yang banyak tipu muslihatnya, dari sikap Hoa Inliong
yang tenang dan mantap, diam diam ia lantas berpikir, “Sebodohnya bajingan ini, tak
mungkin ia memilih jalan kematian untuk diri sendiri, jangan-jangan ia memang punya
pegangan?”
Sekalipun demikian, ia toh cukup merasa bahwa Hoa In Iiong telah melangkah diatas jalan
kematiannya sendiri.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
141
Semenjak tadi Huyan Kiong sudah tak tahan untuk menghadapi sikap pandangan enteng
musuhnya, sambil tertawa seram segera teriaknya, “Hoa loji, lohu ingin tahu kepandaian sakti
apakah yang belakangan ini berhasil kau latih?”
Sambil maju ke depan, sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan ketubuh anak muda itu.
Hoa In-liong berkelit kesamping sambil membacok pergelangan tangan musuh, sebuah
tendangan dikirim menghajar pusar Huyan Kiong sambil serunya dingin, “Ilmu silat mah cuma
seperti dulu, tapi ini sudah lebih dari cukup untukmu!”
Diam-diam Huyan Kiong merasa amat gusar, badannya berkelebat dan ganti menyerang sayap
kiri anak muda itu, tubuhnya bergerak maju mengikuti gerak pukulan, makin menyerang semakin
ganas, suatu pertarungan sengit pun segera berkobar.
“Beruntun beberapa gebrakan kemudian, suatu bentrokan tak dapat dihindari lagi, dua orang itu
sama-sama saling beradu sekali, a-kibatnya Hoa In-liong tetap berdiri ditempat semula, tapi
Huyan Kiong terdorong sejauh tiga langkah ke belakang.
Kejadian ini cukup menggemparkan orang-orang Mokau, paras muka semua orang hampir saja
berubah hebat, lebih-lebih Huyan Kiong sendiri, saking kagetnya ia sampai tertegun, ia tak habis
mengerti mengapa tenaga dalam Hoa In-liong bisa peroleh kemajuan sepesat itu.
Hoa In-liong mendengus dingin, sepasang bahunya bergerak, sekali lagi ia menerjang ke muka.
Huyan Kiong merasa mendongkolnya bukan kepalang, terpaksa sambil menggertak gigi ia layani
serangan musuh. Mendadak terdengar Tang Kwik-siu berseru, “Sute, perketat posisi pertahanan
layani serangan-serangan dengan hati yang tenang”
“Mendengar seruan itu, Hoa In-liong berpikir pula dalam hati.
Sebagai ketua dari Seng-sut pay yang merupakan aliran sesat, Tang Kwik-siu termasuk seorang
jago yang licik dan banyak tipu mus lihatnya, sekalipun aku dapat ungguli Huyan Kiong dalam
lima puluh gebrakan, belum tentu ia bersedia pegang janji.
Berpikir sampai disitu, timbullah niatnya untuk satu lawan satu dan baik buruk menghancurkan
dulu sebagian dari tenaga inti pihak Mokau.
Berpikir sampai disitu, berkobarlah hawa nafsu membunuhnya, dia memutuskan untuk
menyelesaikan pertarungan secepat mungkin, dengan wajah sedingin es, Hoa In-liong segera
merubah gerakan pukulannya dan meneter Huyan Kiong habis-habisan.
Selama tinggal dikota Si ciu, boleh dibilang Hoa In-liong telah mendalami ilmu Thian-hua cahi ki
serta melatihnya dengan tekun, karenanya setiap jurus serangan yang ia pergunakan selalu
berhasil mematahkan serangan dari Huyan Kiong ditengah jalan.
setelah berulang kali menghadapi mara bahaya, Huyan Kiong merasa terkejut bercampur takut,
jurus serangannya segera dirubah, dengan mengandalkan ilmu Ngo-kui-im hongjiau (cakar angin
dingin lima setan) dan Tong pit mo ciang (ilmu pukulan iblis lengan panjang) dari perguruan, ia
berusaha memperbaiki posisinya.
Hoa In-liong tertawa tergelak, ilmu Ci-yu jit ciat (tujuh kupasan dari Ci yu), Hu im ciang hoat
(ilmu pukulan naga tunggal) serta Su siu hua heng ciang (pukulan empat gajah berubah bentuk)
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
142
dari keluarga Coa di pergunakan silih berganti, jurus-jurus aneh digunakan tiada habisnya
dengan perubahan perubahan yang tak terhitung banyaknya.
Dalam waktu singkat, napas Huyan Kiong sudah terengah-engah dibuatnya, ia semakin payah
dan keteter hebat.
Tempo hari sewaktu Hoa Thian-hong berjumpa dengan Tang Kwik-siu untuk pertama kalinya di
kota Lok-yang, dengan mengandalkan aneka macam ilmu pukulan dari Thian-hua-cha-ki itulah
Tang Kwik-siu pernah diserang, mendadak Hoa Thian-hong sehingga tak punya tenaga untuk
melancarkan serangan balasan dan kini sejarah terulang kembali cuma posisinya justru
kebalikan.
Menyaksikan hal tersebut, Tang Kwik-siu lantas jadi teringat kembali dengan peristiwa lama
dibukit Kiu ci san tempo hari, ia teringat dengan dendam sakit hatinya ketika dipaksa Hua Thian
Hong untuk menyerahkan kitab Thian hua coa ki kepadanya,
Sekalipun demikian, sebagai seorang jago yang berhati licik, ia dapat menekan rasa dendamnya
yang membara itu, pikirnya, “Bila Huyan sute dapat menahan sepuluh gebrakan lagi, lima puluh
jurus akan segera tercapai, akan kulihat apa yang bisa dikatakan lagi oleh bajingan dari keluarga
Hoa!”
Sementara itu kedengaran Hoa In-liong sedang membentak dengan suara berat, “Huyan Kiong,
coba akan Kulihat kau bisa bertahan beberapa gebrakan lagi?”
Diantara seruan tersebut tangan kirinya mendadak melancarkan sebuah serangan dahsyat, jari
tangannya menotok jalan darah Ki bun hiat di tubuh Huyan Kiong, sementara tangan kanannya
dengan mengandung tenaga penuh melepaskan sebuah pukulan dahsyat ke muka.
Waktu itu Huyan Kiong sudah bermandi keringat karena kepayahan, ketika secara tiba-tiba ia
jumpai titik kelemahan diatas iga kiri lawan, tanpa berpikir panjang lagi, dengan jurus Siau kui tui
mo (setan cilik mendorong gilingan), ia menyergap ke depan.
Tiba-tiba pandangan matanya terasa kabur, bayangan tubuh Hoa In-liong lenyap tak berbekas,
sebagai gantinya segalung desingan angin tajam meluncur ke bawah ketiak kirinya.
Huyan Kiong sadar bahwa ia tak sanggup menghindarkan diri lagi, dengan mempertaruhkan
keselamatan jiwanya ia maju sambil menyodok, lalu telapak tangannya dibalik menghantam bahu
kanan lawan.
Dengan mengandalkan ilmu Gi hiat ki khi ceng han (menggeser jalan darah menghimpun tenaga
pantulan) yang dimilikinya, dalam keadaan terpaksa ia dapat menggeserkan letak jalan darahnya
ke samping lain, selain daripada itu iapun bisa memantulkan tenaga serangan musuh yang
bersarang ditubuhnya.
Semakin keras pukulan musuh semakin besar pula tenaga pantulan yang akan dihasilkan, cuma
kalau berjumpa dengan jago yang memiliki kekuatan melebihi dirinya, sekalipun dapat memukul
balik serangan musuh, akibatnya ia sendiripun akan terluka.
Oleh karena itulah sengaja dia menjajal kekuatan tenaga dalam lawan, kemudian setelah
mengetahui taraf kepandaian yang di miliki musuhnya baru mengambil tindakan berikutnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
143
Sekarang keadaan sudah mendesak sekali, diapun tahu bahwa tenaga pukulan musuhnya sangat
kuat, dengan perasaan apa boleh buat ia bersiap sedia untuk beradu jiwa, dalam pemikirannya
asal kedua belah pihak terluka itu berarti pertarungan seri.
Siapa tahu sejak pertarungan dibukit Yan san tempo hari, Hoa In-liong telah menyelidiki secara
khusus cara untuk memecahkan ilmu Gi-hiat ki khi ceng itu, ia merasa kepandaian tersebut ada
miripnya dangan ilmu Hui sin kang dari keluarga Hoa, maka dengan dasar kecerdasan otaknya
tak lama kemudian ditemukanlah cara penang-gulangannya.
Kedengaran Hoa In-liong tertawa dingin, lalu serunya, “Akan kucoba kepandaian saktimu yang
tidak mempan tenaga pukulan itu….!”
Totokan yang hampir bersarang ditubuh lawan mendadak berubah menjadi serangan kebasan, ia
menyapu bahu kiri Huyan Kiong.
Kontan saja Huyan Kiong merasakan desingan hawa murni yang menyusup kedalam tubuhnya
dan langsung menyerang jalan darah Tay yang sam ciau, Yang beng tay cong serta Tay yang
sing cong, tiga buah nadi penting didalam tubuh.
Tidak ampun lagi ia mendengus tertahan dan roboh tak sadarkan diri.
Dengan cepat Hoa In-liong menyambar tubuhnya dan mengempit Huyan Kiong dibawah ketiak.
Bayangan manusia secara berkelebat lewat, dengan suatu gerakan yang sangat cepat, Tang
Kwik-siu menerjang ke muka, kelima jari tangannya seperti cakar setan langsung mencengkeram
tubuh Hoa In-liong,
Thian Ik-cu membentak marah sambil mengeluarkan pedangnya, ia ikut menerkam pula ke
depan.
Lenghou Ki bersuit nyaring, sebuah pukulan dahsyat dibacokkan ke tubuh Thian Ik-cu,
sementara Lenghou Yu, dan Huyan Liong menerjang ke arah Hoa In-liong.
Thian Ik-cu mendengus dingin, pedangnya digerakkan keatas lansung merotok jalan darah Tay
yang-hio ditubuh Huyan Liong, ditengah jalan, mendadak serangan itu berubah menyambar
tubuh Leng Hoa ki, lalu serangannya ditarik dan gantian membacok Lenghou Yu.
Lenghou Yu dan Hong Liong seperti didesak balik ke posisi semula, sedangkan Lenghou Ki pun
terpaksa buru-buru menghindari serangan.
Thian Ik-cu sebagai bekas ketua Tong thian kau dimasa lalu memang memiliki pengalaman yang
cukup luas dalam pertarungan, dalam satu gebrakan dengan tiga gerakan, ternyata dalam waktu
singkat ia berhasil memaksa tiga orang jago lihay seng sut-pay sama sekali tak mampu berkutik.
Sementara Hoa In-liong sudah melompat tiga depa ke samping untuk menghindarkan diri dari
sergapan Tang Kwik-siu, lalu dengan gusar ia membentak, “Tahan!”
Tang Kwik-siu pura-pura tidak mendengar, secepat kilat ia menubruk ke depan sambil
melepaskan sebuah pukulan.
Dengan ilmu Hu-im ciang hoat, Hoa In-liong menyambut serangan dahsyat itu dengan tangan
kanannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
144
“Plaaak………..!” meminjam tenaga dorongan yang sangat kuat itu badannya melompat, mundur
sejauh beberapa kaki, setelah berhasil menekan pergolakan hawa darah didalam dada,
bentaknya keras, “Tang Kwik-siu! Kau sudah tidak mau nyawa sutemu lagi?”
Mendengar ancaman tersebut, terpaksa Tang Kwik-siu harus menghentikan serangannya, sambil
tertawa serak ia berkata, “Hoa kongcu, kalau ada persoalan mari kita bicarakan secara baik baik,
tolong lepaskan dulu suteku!”
“Hoa In-liong melirik sekejap kearah Thian Ik-cu, ketika dilihatnya tosu itu terdesak hebat
dibawah kerubutan dua bersaudara Lenghou dan Hong Liong, sambil tertawa dingin ia lantas
berkata, “Harap kaucu perintahkan dulu orang-orang untuk menghentikan serangan, setelah itu
kalau mau bicara baru berbicara lagi!”
Tang Kwik-siu termenung sejenak, akhirnya ia berpaling sambil membentak keras, “Berhenti!”
Sesungguhnya Hong liong dan dua orang bersaudara Lenghou ada maksud untuk menyingkirkan
Thian Ik-cu lebih dulu, tapi sesudah mendengar bentakan itu terpaksa mereka menarik kembali
serangannya sambil mundur, menggunakan kesempatan itu Thian Ik-cu segera melompat ke
depan dan berdiri berdampingan dengan Hoa In-liong.
Menanti Thian Ik-cu sudah berdiri disampingnya, Hoa In-liong baru berkata dengan hambar,
“Tang Kwik-siu apakah perjanjian kita barusan sudah dibatalkan?”
Tang Kwik-siu segera tertawa hambar.
“Lohu bukan seorang manuusia yang mengingkari janji, silahkan saja pergi dari sini!” katanya,
Tapi setelah berhenti sebentar, sambil tertawa licik ia menambahkan
“Cuma Thian Ik-cu terpaksa muski tinggal disini, sebab ia tidak terhitung dalam perjanjian kita
tadi”
Hoa In-liong berpikir sebentar, betul juga, apa yang dikatakan memang tidak salah, diam-diam ia
lantas menyumpah dihati, “Tua bangka sialan, kau memang betul-betul licik sekali!”
Tiba-tiba terdengar Thian Ik-cu berkata, “Hoa kangcu, harap kau keluar dulu dari tempat ini,
pinto segera akan menyusulmu!”
Tentu saja Hoa lu liong tahu bahwa ia cuma menghibur hatinya belaka, dengan jumlah anggota
Mokau yang begitu banyak sementara Thian Ik-cu hanya seorang diri, mana mungkin ia dapat
meloloskan diri?
Sementara itu Tang kwik Siau telah menegur, “Hoa In-liong, bagaimana denganmu?”
“Seandainya aku bersikeras hendak melakukan perjalanan bersamanya, bagaimana pendapat
kaucu?” Hea In liong balik bertanya dengan alis mata berkedip,
kontan saja Tang kwik Siau tertawa dingin.
Kalau begitu, berarti kau hendak mengingkari janji, tentu saja lohu akan berusaha untuk
menghalanginya!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
145
Menyaksikan keadaan yang terbentang di hadapan mukanya, Thian Ik-cu segera menghela nafas
panjang, Hoa kongcu, silahkan kau pergi seorang diri, pinto merasa masih sanggup untuk
menjaga diri.
Hoa In-liong berpikir kembali, “Jika aku menggunakan keselamatan Huyan Kiong sebagai
sandera, takutnya Tang Kwik-siu akan menyerangku tanpa memperdulikan keselamatan sutenya,
sekalipun aku hendak pergi seorang diri, dengan keganasan wataknya, Hemm! Mungkin juga
akan turun tangan, saat ini paling juga ia sedang memancingku masuk jebakan!”
Meskipun usianya masih muda, tapi otaknya encer dan ia cukup memahami segala kelicikan serta
kebusukan hati orang, kalau tidak karena kelebihan tersebut, tak mungki Bu Tay-kun berani
mengutusnya turun gunung untuk menyelidiki sebab sebab kematian Suma liang cing dan
melimpahkan tanggung jawab itu diatas bahunya.
Begitulah, setelah berpikir sejenak dia memutuskan untuk coba menyerempet bahaya dengan
mencobanya.
Dengan ilmu menyampaikan suara ia berbisik kepada Thian Ik-cu, “Totiang. Ingat baik baik! Jika
kau tidak berhasil meloloskan diri, selembar jiwa boanpwe pun akan ikut berkorban!”
Thian Ik-cu tertegun.
Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Hoa In-liong telah berkata kepada Tang Kwik-siu.
“Boleh saja kulakukan seperti yang dijanjikan, cuma sutemu itu baru akan kulepaskan setelah
sampai dimulut lembah nanti!”
Semua orang menjadi tertegun, siapapun tidak menyangka kalau dia akan berkata demikian.
Dengan marah Lenghou Yu berkata.
“Huuh! anggota keluarga Hoa ngakunya saja seorang pemimpin persilatan yang gagah perkasa,
tak tahunya cuma manusia-manusia yang takut mampus”
Tiba-tiba Hoa In-liong membentak keras, “Totiang, serbu!”
Badannya berkelebat lewat dan melompat naik keatas atap rumah.
Thian Ik-cu tak berani bertindak gegabah, cepat-cepat dia menyusul dari belakangnya.
Kawanan jago Mokau disekitar gelanggang yang menyaksikan kejadian itu serentak
menggerakkan senjata dan pukulan mereka untuk menyerang Hoa In-liong, untuk sesaat
lamanya bentakan nyaring menggelegar diangkasa, hembusan angin pukulan dan bayangan
senjata tajam berkilauan dimana-mana, keadaan sungguh mengerikan.
Hoa In-liong cukup mengerti, andaikata dia sedikit teledor saja akibatnya Tang Kwik-siu pasti
sudah menyusul kesitu, waktu itu kesempatan untuk kabur tentu sulit sekali.
Sebab itulah tidak berayal lagi ia gunakan tubuh Huyan untuk menghadapi serangan-serangan
itu.
Akibat lantaran kuatir melukai tubuh Huyan Kiong, kawanan jago dari Mokau itu tak berani
sembarangan berkutik, buru-buru mereka buyarkan serangan dan melompat kebelakang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
146
Hoa In-liong dan Thian Ik-cu segera manfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya, secepat kilat
mereka menerobos keluar dari kepungan.
Setelah berlangsungnya pertarungan, kedudukan Tang Kwik-siu, dua bersaudara Lenghon dan
Hong Liong berubah jadi membelakangi rumah batu, waktu itu Tang Kwik-siu mengira ikan yang
masuk jaring tak akan terlepas lagi, maka mereka kurang begitu merasakan kuatir.
Siapa tahu justru keadaan semacam itulah telah dimanfaatkan Hoa In-liong dan Thian Ik-cu
dengan sebaik-baiknya.
Kemarahan Tang Kwik-siu betul-betul memuncak, segera bentaknya keras keras, “Hoa Yang,
mau kemana?”
Ia berusaha melakukan pengejaran, tapi jalan perginya justru terhalang oleh anak buahnya yang
bersiap-siap diatas atap rumah.
Lenghoa hengte dan Hong Liong ikut membentak keras sambil melakukan pengejaran.
Tampaklah Hoa In-liong dan Thian Ik-cu dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat meluncur ke
arah mulut lembah.
Anak murid Mokau yang berada disepanjang jalan buru-buru berusaha menghadang jalan pergi
mereka, tapi semuanya dapat di halau oleh Hoa In-liong yang berjalan dipaling muka sambil
memutar tubuh Huyan Kiong.
Jangankan melancarkan serangan secara langsung, senjata rahasiapun tak berani di lepaskan
secara sembarangan.
Kenyataan tersebut semakin mengobarkan kemarahan Tang Kwik-siu, ia berteriak-teriak seperti
orang kalap, “Orang she Hoa kau punya muka tidak”
Dengan garangnya ia menerjang ke muka.
“Jangan ribut dulu!” seru Hoa In-liong sambil mencibirkan bibirnya, “pokoknya setelah sampai
dimulut lembah nanti, sute mu pasti akan kulepaskan…..”
Dalam waktu singkat, suasana dalam lembah itu menjadi kacau balau, kawanan jago dari Mokau
bersama-sama melakukan pengejaran dan penghadangan-penghadangan, suara bentakan dan
makian bersimpang siur, bayangan manusia berkelebat, bayangan golok berkilauan…….
Apa lacur semua murid kepercayaan Tang Kwik-siu ditugaskan menjaga gua, padahal ilmu silat
mereka terhitung lihay dan luar biasa, kini yang tergabung dalam penjaga lembah hanya mereka
yang berilmu kelas dua, sudah barang tentu tiada kegunaan sama sekali kekuatan mereka ini.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah melewati dua buah pos penjagaan, asal melewati
dua pos penjagaan lagi, niscaya mereka sudah akan tiba diluar lembah.
Waktu itu naga telah kembali ke samudra, burung terlepas dari sangkarnya, Tang Kwik-siu hanya
bisa menggigit jari saja.
Untunglah ia tak malu disebut seorang pemimpin dari suatu perguruan besar, dalam kejut dan
marahnya ia berusaha mengendalikan golakan emosi itu dengan suara lantang segera teriaknya,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
147
“Semua anggota perkumpulan, dengan cara apapun hadang jalan pergi bujingan licik dari
keluarga Hoa serta Thian Ik-cu si tosu bangsat, kalian tak usah mamperdulikan lagi keselamatan
jiwa Huyan susiok sekalian.
“Sreet……! Sreet……! Sreet…..!” berbareng dengan turunnya perintah dari Tang Kwik-Siu,
serentak orang orang Seng sut-pay mulai turun tangan, senjata rahasia berhamburan ke arah
mereka berdua ibaratnya hujan badai yang menderu-deru.
Dalam keadaan demikian, sekalipun Hoa In-liong menyandera Huyan Kiong yang juga tak ada
gunanya, maka tubuh huyan Kiong yang lemas tak bertenaga itu dibuang keatas tanah, setelah
itu sambil tertawa terbahak-bahak ejeknya, “Haaah….. haaah…… haaah….. Tang Kwik-siu
tampaknya hubungan persaudaraan kalian kurang akur? Maka sudah tidak memper-dulikan
keselamatan dari Huyan Kiong lagi”
Setelah merontokkan senjata rahasia yang menuju ketubuhnya, ia melayang kemuka melampaui
pagar kayu ketiga, bentaknya garang, “Siapa berani menghadang jalan pergiku, mampus!”
Kawanan jago dari Mokau yang berdiri berderet diatas pagar kayu tak berani kabur dari situ,
kendatipun mereka tahu kelihaiyan musuhnya, penghadangan toh tetap dilakukan.
Salah seorang diantaranya, sambil mengayunkan goloknya dengan gaya Thay-san-ya-ting
(gunung Thay san menindih kepala) langsung membacok batok kepala anak muda itu dengan
buasnya.
Hoa In-liong segera memutar telapak tangan kanannya, dengan jurus “menyerang sampai mati”
ia melancarkan sebuah serangan dari Ci yu jit ciat tersebut, dua orang itu langsung termakan
serangan dan mampus seketika itu juga.
Dipihak lain Thian Ik-cu telah bertindak pula dengan garang, pedangnya kembali membacok
mampus seorang musuh.
Dalam repotnya Hoa In-liong sempat berpaling kebelakang, ia saksikan Tang Kwik-siu sudah
makin mendekat tiga kaki dari jarak mereka karena penghadangan tersebut, matanya mencorong
sinar tajam, rupanya merasa gusar sekali.
Dua bersaudara Lenghou dan Hong Liong justru berada dua kaki dibelakang ketuanya.
Hoa In-liong tidak berani berayal lagi, dia mengeluarkan sekeping uang perak, memencetnya
sampai remuk lalu disebarkan ke be lakang, kemudian tubuhnya melompat turun dari pagar kayu
dan bersama sama Thian Ik-cu kabur menuju ke mulut lembah.
Dalam beberapa kali lompatan saja mereka telah tiba di pos penjagaan pertama, baru saja Hoa
In-liong enjatkan badan untuk melewati pagar kayu itu, mendadak terdengar suara bentakan dari
Tang Kwik-siu yang menyeramkan itu telah berkumandang dari belakang, “orang she Hoa, mau
kabur kemana kau?”
Sambil berkata, Hoa In-liong merasakan tibanya segulung angin pukulan yang sangat digin
bagaikan es menyergap punggungnya.
Sianak muda itu merasa sangat terkejut, berada ditengah udara tanpa berpling lagi pedangnya
diputar lalu ditusuk ke belakang, ke tika ujung pedang mencapai jarak tiga empat depa dari
tubuh Tang Kwik-siu, segulung desingan angin tajam menyerang alis matanya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
148
Sungguh bebat serangan hawa pedang dari Hoa In-liong ini, serangan tersebut merupakan salah
satu hasil ciptaan Hoa Thian-hong selama dua puluh tahun belakangan ini.
Dalam kejut dan ngerinya Tang Kwik-siu tidak menjadi gugup, buru-buru badannya menyingkir
ke samping untuk menghindarkan diri, tapi dengan demikian angin pukulan yang ia lepaskan pun
ikut miring ke samping dan menyambar lewat dari atas bahu kanan Hoa In-liong.
Akan tetapi justru lantaran Hoa In Iiong harus mempergunakan serangan hawa pedang yang
belum berhasil dikuasainya dengan sempurna itu untuk menghalau serangan lawan, hawa
murninya menjadi buyar, tubuhnya yang sudah berada lima kaki dari ujung pagar kayupun gagal
dilewati,
“Aduuh celaka!” pekik si anak muda itu dalam hatinya,
Padahal Thian Ik-cu melompat bersama-samanya, tapi oleh karena Tang Kwik-siu amat
membenci Hoa In-liong hingga merasuk ketulang sum sumnya, hal ini malah justru
menguntungkan dirinya, dengan mudah ia berhasil melampaui pagar kayu itu.
Tosu itu agak kaget juga melihat tubuh Hoa In-liong merosot kebawah karena kehabisan tenaga,
dengan suatu gerakan cepat ujung bajunya segera dikebaskan kebawah kaki Hoa In-liong,
meminjam tenaga sapuan tersebut anak muda itu segera melompati pagar kayu dan kabur
menuju ke luar lembah, Thian Ik-cu menghimpun tenaga murninya dan ikut melompat turun,
mendadak kaki kanan-nya terasa kaku menyusul kemudian terdengar seseorang mengejek
sambil tertawa seram, “Heeehh…..heeehh…..heeehh….. Thian Ik-cu tosu bajingan, kau sudah
terkena jarum Ngo-tok-ci at mia ciam (jarum lima racun pencabut nyawa) dari perguruan Kami,
nyawamu sudah tak akan berta han lebih lama lagi……!”
Sambil menggigit bibir, Thian Ik-cu melompat turun dan siap memutar badannya untuk beradu
jiwa, tapi tiba-tiba saja ia teringat dengan pesan Hoa In-liong pikirnya, “Kalau aku yang mampus
masih mendingan tapi kalau gara-garaku sampai menyeret pula dia…. wah, akulah yang akan
menjadi orang paling berdosa didunia ini!”
Karena berpikir demikian diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan daya
kerja racun jahat itu, kemudian buru-buru menyusul si anak muda itu kabur keluar lembah.
Ketika Tang Kwik-siu sekalian menyaksikan rencana mereka mengalami kegagalan total, tentu
saja tak rela melepaskan musuhnya dengan begitu saja, dengan sinar mata berapi-api, ia
memerintahkan Lenghou hengte dan Hong Liong sekalian untuk melakukan pengejaran terus
secara ketat.
Akan tetapi bukit itu penuh diliputi hutan yang lebat, ketika Hoa In-liong dan Thian Ik-cu berhasil
menyusup kedalam hutan itu, jejak mereka seketika itu juga lenyap tak berbekas.
Makin dipikir Tang Kwik-siu semakin naik darah, sekalipun ia tahu harapannya untuk mengejar ke
dua orang itu tipis sekali, tapi ia toh memerintahkan juga segenap anak murid Seng sut-pay
dengan lima orang membentuk satu kelompok untuk melakukan penggeledahan secara besarbesarn
di sekitar lembah.
Sementara itu Hoa In-liong dan Thian Ik-cu sedang menyusup ke dalam hutan lebat, mendadak
tosu tua itu mendengus tertahan dan roboh diatas tanah.
“Totiang, bagian mana dari tubuhmu yang kurang enak?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
149
Thian Ik-cu membuka matanya sambil tertawa getir.
“Sungguh hebat racun itu, tampaknya pinto sudah tak dapat bertahan lebih lama lagi!”
“Dimanakah letak lukamu itu?” tegurnya Thian Ik-cu segera menuding kearah kaki kanan-nya
seraya tertawa.
“Tuh dikakiku! Pinto sudah termakan oleh permainan busuk tua bangka tersebut!”
Dengan sangat hati-hati Hoa jubah pendeta Thian Ik-cu, tampaklah bagian bawah lututnya telah
disambung dengan kayu, tapi pada pahanya tertancap sebatang jarum yang setengah bagian
diantaranya masih berada diluar.
Jarum itu berwarna kebiru-biruan, jelas mengandung sejenis racun yang jahat sekali.
Diam-diam ia lantas berpikir”
“Sepasang kakinya sudah cacad, tapi gerak geriknya masih tetap lincah dan gesit, bagi orang
yang tidak mengetahui latar belakangnya, mereka pasti tak akan percaya kalau dia itu seorang
yang cacad!”
berpikir sampai disitu, diapun Lantas bertanya, “Siang locianpwe sudah tewas banyak tahun,
sampai sekarang apakah totiang masih mendendam kepadanya?”
Thian Ik-cu segera tertawa terbahak bahak.
“Haaahh……haaahh……..haah sayang sekali kaki yang dilenyapkan Siang lo ji dimasa lampau
adalah kaki kiriku dan bukan kaki kanan, coba kalau kebalikannya, hari ini akupun pasti akan
terhindar pula dari bencana ini”
Hoa In-liong kembali berpikir, “Sekalipun nyawanya sudah berada diujung tanduk, ia masih bisa
bergurau secara wajar, kebesaran jiwanya benar-benar amat mengagumkan, siapapun tidak
akan percaya kalau manusia semacam ini sesungguhnya adalah bekas ketua Tong thian kau
yang tersohor itu!”
“Karena berpikir demikian, rasa hormatnya semakin meningkat beberapa bagian, katanya sambil
tertawa, “Aku pikir kalau cuma racun dari Seng-sut-pay sih masih terhitung luar biasa hebatnya”
Dari sakunya dia lantas mengeluarkan dua botol porselen setelah jarum racun itu dicabut keluar,
dengan cepat ia taburkan bubuk Pah-tok-san disekitar mulut luka, lalu menggeluarkan pula dua
butir Cing-hiat wan dan menyuruh Thian Ik-cu menelannya.
Begitu bubuk Pah-tok san ditaburkan di sekitar mulut luka, Thian Ik-cu segera merasakan
tubuhnya menjadi segar kembali, buru-buru Cing-hiat Wan ditelan ke dalam perut, kemudian
ujarnya, “Obat ini betul-betul mujarab sekali, yaa lagi-lagi selembar nyawaku berhasil direbut
kembali”
Karena harus mengerahkan segenap tenaganya untuk kabur, ia tak bisa menggunakan sepenuh
kekuatannya untuk melawan racun, ketika itu hawa racun ada sebagian yang sudah menyusup
ke dalam isi perut maka setelah menelan pil mujarab buru-buru ia pejamkan matanya untuk
mengatur pernapasan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
150
Mendadak Hoa In-liong mendengar suara dedaunan yang disingkap orang ditempat kejauhan
sana, alis matanya kontan berkeryit, bisiknya, “Sungguh tak kusangka Tang Kwik-siu masih juga
melakukan pengejaran tiada hentinya, mari boanpwe menghantarmu untuk mencari sebuah
tempat yang sepi dan aman!”
Tidak menunggu jawaban dari Thian Ik-cu lagi, ia segera membopong tosu tua itu dan kabur
menuju ke tenggara.
Tak lama kemudian ia berhasil menemukan sebuah gua yang tersembunyi letaknya, setelah
meletakkan Thian Ik-cu diatas tanah untuk mengatur pernapasan, si anak muda itu sendiri
segera duduk bersila pula di mulut gua itu.
pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, ketika terbayang kembali petualanganya ketika
kabur dari kepungan tadi sekalipun ia bernyali besar tak urung hatinya merasa terkejut juga.
Padahal ia tahu ilmu silat yang dimiliki Tang Kwik-siu jelas berada diatas kepandaiannya, dua
bersaudara Lenghou, Hong Liong serta Huyan Kiong juga terhitung jago-jago silat yang berilmu
tinggi, coba kalau Huyan Kiong tidak terlalu mengandalkan ilmu Gi-biat-ki-khi ceng-han tay-hoat
tersebut, mungkin agak sulit bagi Hoa In-liong untuk berhasil membekuknya.
Selain itu, diapun tahu diantara kawanan jago Mokau masih terdapat banyak sekali jago-jago
kelas satu, maka kalau dibilang ia bisa lolos dengan selamat dari kepungan mereka kali ini, hal
tersebut benar-benar merupakan suatu keberuntungan.
Berpikir sampai disana, iapun mulai merenungkan kembali kecurigaannya terhadap Tang Kwik-siu
yang tahu akan jejaknya sehingga sebelum itu mengadakan persiapan dahulu untuk
menjebaknya, ia berpikir, “Tidak mungkin kalau rahasia kepergianku ini dibocorkan oleh Ting Jisan,
Ho Kee-sian, Cia Sau yan atau dua bersaudara Kiong, yaa, dipikir pikir maka kecurigaan
terbesar berada pada murid-murid Thian Ik-cu sendiri!”
“Ia pun berpikir juga bahwa kehadiran Thian Ik-cu tempo dulu disarangnya telah mempertingkat
ke waspadaan Tang Kwik-siu, atau mungkin juga lantaran jejaknya sewaktu melakukan
perjalanan telah diketahui mereka, maka Tang Kwik-siu lantas menduga arah kepergian mereka
berdua.
Sementara ia masih terpikir tiba-tiba dari luar gua berkumandang suara teguran seseorang
dengan suara yang menyeramkan, “Hoa yang, keluar kau!”
Hoa In-liong sangat terkejut, ia mencoba untuk berpaling memandang keadaan thian Ik-cu,
tampak asap putih dengan mengepul dari atas batok kepalanya, itu menandakan semedinya
sedang mencapai pada keadaan yang paling kritis.
Terpaksa sambil menggigit bibir, ia meninggalkan beberapa tulisan diatas dinding gua, kemudian
baru melompat keluar dari gua itu.
Dibawah cahaya bintang, tampak seorang kakek berjubah kuning yang kurus kering tinggal kulit
pembungkus tulang, dengan lengan yang panjang melewati lutut dan mengenakan ikat pinggang
naga perak telah berdiri dihadapannya bagaikan sesosok sukma gentayangan.
Hoa In-liong berusaha keras untuk menenangkan hatinya sambil berpikir.
“Ketika ada di lembah Yu, kok tadi aku tidak berjumpa dengan kemunculan Seng Tocu. Tidak
disangka kalau gembong iblis inipun telah datang pula disini”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
151
Kedengaran Seng Tocu dengan suaranya yang mengerikan sedang berkata, “Hoa Yang, tahukah
kau bahwa pada malam ini lohu pun berada didalam lembah?”
Hoa In-liong tertegun lalu berseru dengan nada keheranan, “Kalau remang begitu, kenapa kau
tidak ikut turun tangan? Asal kau munculkan diri, niscaya aku sulit untuk melepaskan diri diri
kepungan orang banyak”
“Mengembut dengan mengandalkan jumlah banyak bukan perbuatan lohu!” kata Seng Tocu
dingin
“Ooooh…! Kalau begitu kau menang lebih berjiwa ksatria dari pada sute-sutemu itu!”
Setelah terhenti sejenak, ia melanjutkan, “Sekarang kau telah datang seorang diri, apakah kau
bermaksud hendak mengajakku untuk berduel satu lawan satu?”
Seng Tocu mengangguk.
“Sebenarnya lohu belum sampai memandang sebelah mata kepadamu, tapi sejak kemunculan di
markas besar kami didaratan Tionggoan malam ini, tiba-tiba saja aku merasa bahwa membiarkan
kau tetap hidup didunia ini sesungguhnya merupakan suatu tindakan yang keliru”
Suara pembicaraannya sangat hambar, seakan-akan baginya pekerjaan untuk membunuh Hoa
In-liong adalah suatu pekerjaan yang gampang sekali.
Hoa In-liong mengerutkan dahinya ia bermaksud untuk balas mengejek lawannya, tapi setelah
berpikir sebentar tiba-tiba ia mengangguk.
“Berbicara dari dasar kepandaian yang kau miliki, ucapan semacam itu memang pantas kau
ucapkan cuma seandainya aku tak mampu untuk menandingimu, toh aku masih dapat melarikan
diri!”
Seng Tocu menjadi tertegun sesudah mendengar perkataan itu, sebab bagi kebiasaan orang
persilatan, mereka lebih suka mati dimedan pertarungan dari pada angkat kaki untuk melarikan
diri, tapi sekarang Hoa In-liong telah mengucapkan kata-kata tersebut secara wajar, bahkan
sama sekali tidak merasa malu, tak heran kalau hal ini malah mencengangkan jago lihay
tersebut.
Setelah termenung sejenak, katanya kemudian dengan hambar, “Jika akau ingin kabur dengan
hutan belantara yang terdapat disekitar tempat ini, tentu saja lohu tak akan bisa berbuat apaapa,
tapi Thian Ik-cu belum selesai dengan semedinya, aku pikir kau pasti tak akan kabur dengan
meninggalkan kawan bukan?”
Mendadak ia menyingsingkan ujung bajunya, lalu melemparkan sebilah pedang pendek ke arah
Hoa In-liong seraya berkata, “Lohu telah berhasil juga menangkap seorang majikan dan seorang
pelayan dari keluarga Si, apakah kau hendak menjumpai mereka?”
Dalam sekilas pandangan saja Hoa In Hong telah kenali pedang pendek itu sebagai milik Si Lengjin,
cepat ia menerima sambitan tersebut.
Tapi seketika itu juga ia merasakan telapak tangannya menjadi panas, nyaris pedang tersebut
terlepas kembali dari tangan nya, diam-diam hatinya merasa terkejut sekali.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
152
“Aku lihat, kau sebagai seorang cianpwe mempunyai kedudukan yang tinggi sekali” katanya
sambil tertawa dingin, “masa seorang cianpwe sudi sudinya menghina kaum perempuan?”
Seng Tocu mendengus dingin.
“Pokoknya asal kau bersedia bertarung seorang lawan seorang denganku tanpa bermaksud
melarikan diri, lohu siap melepaskan mereka dari cengkeramanku!
Sekali lagi Hoa In-liong merasakan hatinya tercekat, pikirnya, “Dengan segala daya upaya dia
memaksaku untuk bersedia melayani pertarungannya, jangan-jangan ia memang bermaksud
untuk membunuh aku?”
Sementara ia masih termenung, Seng Tocu telah berkata lebih jauh, “Terus terang saja
kukatakan kepadamu meskipun tenaga dalam yang dimiliki Goan-cing hwesio jauh diatasku, tapi
sejak kehilangan banyak tenaganya, selama tiga sampai lima tahun tidak mungkin baginya untuk
memulihkan kembali seluruh kekuatan tubuhnya seperti semula, kendatipun berhasil, dengan
usianya yang sudah begitu lanjut, masa kematiannya pun semakin dekat, manusia semacam itu
masih bukan terhitung suatu ancaman bagi kami, sebaiknya ayahmu Hoa Thian-hong meski
berilmu tinggi dan berjiwa gagah, itupun hanya terbatas pada ia seseorang”
Setelah berhenti sejenak, terusnya, “Tapi kau, bukan saja otaknya cerdas, punya bakat, punya
nyali dan punya rejeki, temanmu juga banyak, maka lohu,……”
“Mau apa kau?” seru Hoa In-liong tanpa terasa.
Dengan hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, sepatah demi sepatah kata
jawab Seng Tocu, “Demi kejayaan serta kecemerlangan nama Seng Kut pay, terpaksa lohu tak
akan mengijinkan manusia berbakat seperti kau untuk melanjutkan hidupnya didunia ini”
“Aku merasa bangga sekali bisa mendapat perhatian khususmu!” Seru Hoa In-liong kemudian
dengan kening berkerut.
“Apa yang hendak kau lakukan sekarang” “Akan kuusahakan untuk membantu terwujudnya citacita
kalian itu!”
Mencorong sinar tajam dari balik mata Seng Tocu, tampaknya ia merasa agak gusar tapi
kemudian setelah mendengus, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berlalu dari sana.
Hoa In-liong juga sadar bahwa pertarungan yang bakal berlangsung nanti lebih banyak
bahayanya daripada keberuntungannya tapi bagaimanapun juga ia tak tega membiarkan Si Lengjin
terjatuh ke tangan orang-orang Mokau, maka setelah menghela napas panjang ia segera
menyusulnya sambil berseru,
Jilid 8
“Seng Tocu! Kau tidak membawa serta orangnya? Tanpa berpaling Seng Tocu menjawab, “Aku
hendak menitahkan segenap anggota Mokau agar kembali ke markas, masalah tentang Thian Ikcu
juga tak perlu kau risaukan”
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong berpikir didalam hati, “Gembong iblis ini tak sudi
mengandalkan jumlah banyak untuk meraih kemenang an, diapun enggan menunggangi
kesempatan dikala orang lagi kesulitan, jiwa gagah semacam ini sungguh amat sulit dijumpai
dalam kalangan kaum sesat macam dia.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
153
Gerakan tubuh Seng Tocu benar benar amat cepat seperti terbang, sekalipun Hoa In-liong telah
mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, itupun hanya bisa mengi kuti secara paksa.
Dengan dasar ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang itu, tak selang beberapa saat
kemudian mereka telah melewati tebing itu dan tiba di sebuah hutan bambu, setelah menerobosi
hutan bambu sam pailah mereka disebuah tanah kosong, diatas tanah kosong berdiri sebuah
rumah gubuk.
Tiba tiba Seng Tocu menghentikan langkahnya, sambil berpaling ia berkata, “Jalan darah mereka
dalam keadaan terto tok dan berada dalam rumah itu, lohu akan menanti kedatangan dipuncak
bukit sana!”
Selesai berkata, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi ia lantas berlalu dari situ.
Hoa In-liong termenung sejenak, akhirnya ia mendekati rumah gubuk itu, mendorong pintunya
dan…….
“Krek!” pintu rumah terbentang lebar.
Suasana dalam ruangan itu gelap gulita, tapi dengan ketajaman mata, Hoa In-liong masih dapat
melihatnya dengan jelas.
Rumah itu terdiri dari sebuah ruangan tengah, diruangan itu hanya terdapat sebuah meja
dengan dua buah kursi, d sudut dinding terletak sebuah pembaringan kayu, diatas pembaringan
berbaring dua sosok tubuh manusia…….
Orang yang berbaring di sebelah luar adalah Si Leng-jin, bibirnya yang mungil, hidungnya yang
man cung menambah kecantikan raut wajahnya.
Meskipun ia dalam keadaan berbaring, sepasang biji matanya yang bening dan jeli sedang
meman dang kearah luar dengan termangu-mangu, tampak nya dia pun sudah mendengar suara
napas manusia, biji matanya tampak berputar putar.
Orang yang berbaring menghadap ke dalam adalah Si Nio yang mukanya penuh dengan luka, ia
berada dalam keadaan pulas.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Hoa In-liong berjalan mendekatinya, lalu tangannya
ditepuk diatas jalan darah Thian leng hiat ditubuh Si Leng-jin untuk membebaskan jalan
darahnya yang ter-totok.
Si Leng-jin segera merasakan segulung hawa panas mengalir turun lewat jalan darah Pek-hwe
hiat, dimanca aliran hawa panas itu mengalir lewat, seluruh tubuhnya menjadi segar dan semua
jalan da rah yang tertotok secara otomatis bebas dengan sendirinya.
Gadis itu segera melejit bangun dan duduk ditepi pembaringan
Dengan terbiasanya berada diruang gelap, lamat-lamat gadis itu dapat pula menyaksikan bentuk
tubuh Hoa In-liong, seketika itu juga perasaannya terasa tersumbat, seakan akan ada beribu
kata terkandung dalam hatinya namun tak sepatah katapun sanggup diutarakan keluar, mukanya
termangu-mangu persis seperti seseorang yang baru sadar dari impian.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
154
Menyaksikan keadaan dara itu Hoa In-liong segera menghela napas panjang, katanya, “Nona apa
yang kau rasakan sekarang?”
Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba butiran air mata jatuh berlinang dari mata Si Leng-jin.
Hoa In Hong segera berpikir, “Sudah pasti kedua orang ini mempunyai penga laman hidup yang
amat getir, apalagi setelah bertemu dengan gembong iblis macam Seng Tocu, tentunya banyak
sudah pengalaman seram yang di rasakan……..”
Berpikir sampai disana, timbul perasaan iba dan kasihannya dengan lembut ia berkata,
“Pertolonganku datang agak lambat tentunya nona sudah banyak mengalami kejadian yang
mengejutkan hati”
“Hoa kongcu……” bisiknya.
Untuk sesaat dia tak tahu apa yang musti diucapkan, air mata bercucuran amat deras, kalau bisa
ia ingin menangis sepuasnya
Tapi dia adalah seorang gadis yang berhati sekeras baja, air matanya segera dibesut dan ia
berusaha keras untuk menahan rasa pedih didalam hatinya.
Mendadak Hoa In-liong teringat kembali akan janjinya dengan Seng Tocu, hatinya merasa amat
terkejut, ia merasa sudah membuang waktu terlalu lama, pikirnya, “Dalam pertarunganku
melawan Seng Tocu sembilan puluh persen jiwaku tiada harapan bisa selamat, padahal obat
Yau-ti-wan ini menyangkut jiwa dari beribu-ribu orang jago du nia persilatan, aku harus
mengatur segala sesuatunya secara tepat.”
Berpikir sampai disitu, dengan wajah serius ia lantas berkata, “Nona Si, aku ada satu persoalan
ingin minta tolong kepadamu, apakah kau bersedia membantu?”
“Kongcu ada pesan apa?” tanya Si Leng-jin dengan air mata bercucuran.
“Sesungguhnya persoalan ini menyangkut mati hidupnya seluruh dunia persilatan……”
Mendadak ia berhenti ditengah jalan, pikirnya kembali, “Ilmu silat yang dimiliki Si Leng-jin tidak
terlalu tinggi, kalau suruh dia yang membawa pusaka ini rasanya terlampau berbahaya……”
Rupanya Si Leng-jin dapat menduga jalan pemikiran pemuda itu, segera ujarnya, “Kalau Kongcu
dapat mempercayai diriku apa yang kau pesankan pasti akan kulakukan dengan sebaik-baiknya”
Setelah berhenti sejenak ia menyambung, “Cuma ilmu silatku amat cetek, aku kuatir tak dapat
melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya”
Hoa In-liong segera tersenyum, ia telah mengambil keputusan didalam hati, sambil
mengeluarkan botol porselen yang berisi pil Yan ti-wan itu dan menyerahkan kepada Si Leng-jin,
ia berpesan, “Isi botol porselen ini adalah obat mustinya, dari sini harap nona menuju ke barat
dan melewati dua buah bukit, diujung sebuah lembah terdapat sebuah gua yang tertutup oleh
tumbuhan rotan, temuilah Thian Ik-cu………”
“Thian Ik-cu?” seru Si Leng-jin dengan wajah terkejut.
“Harap nona jangan kaget, kini Thian Ik-cu sudah bertobat dan kembali ke jalan yang benar!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
155
Mendengar jawaban tersebut, Si Leng-jin tertegun sejenak, kemudian katanya pula, “Kalau toh
cuma sedekat ini, kenapa Hoa kongcu tidak menyerahkan sendiri kepada Thian Ik-cu?”
Hoa In-liong tertawa-tawa.
“Saat ini pihak Seng-sut-pay sedang melakukan penggeledahan bukit secara besar-besaran, nona
musti bertindak hati-hati, andaikata Thian Ik-cu tidak berhasil ditemukan, mintalah tolong kepada
temanku untuk mencarinya sampai ketemu!”
Selesai berkata dia letakan botol porselen itu ke tanah, lalu pedang pendek Si Leng-jin ikut pula
diletakkan disana, sehabis menotok bebas jalan darah Si Nio, ia melompat keluar dari rumah,
menerobosi hutan bambu dan berangkat ke puncak bukit.
Kendatipun tingkah laku pemuda itu tetap tenang dan wajar, toh Si Leng-jin merasakan juga
sesuatu yang tak beres, dia segera memburu keluar rumah, kemudian teriaknya keras-keras,
“Hoa kongcu!”
“Harap nona baik-baik menjaga diri!” seru Hoa In-liong kedengaran dari kejauhan.
Si Leng-jin merasa tertegun, dengan cepat ia memburu ke dalam rumah, menyambar botol
porselen itu dan masukkan ke sakunya, lalu menyelipkan pedangnya ke pinggang dan siap keluar
lagi dari rumah itu.
Mendadak ia batalkan niatnya itu, sambil berpaling diawasinya Si Nio sekejap, ketika dilihatnya
perempuan itu masih tertidur pulas, butiran air mata jatuh berlinang membasahi pipi Si Leng-jin,
gumamnya dengan suara lirih, “Selama banyak waktu ini, aku betul-betul telah menyiksa
dirimu……”
Akhirnya sambil menggertak gigi, ia melompat keluar dari rumah gubuk itu dan berangkat kearah
dimana Hoa In-liong berlalu.
Sementara itu Hoa In-liong telah berlarian menuju kepuncak bukit dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya yang sempurna, tak selang seperminuman teh kemudian ia sudah tiba
ditempat tujuan.
Dengan sikap yang mengerikan seperti sesosok sukma gentayangan, Seng Tocu berdiri diatas
puncak, sekalipun disekelilingnya sangat indah, tapi dengan kehadirannya disana membuat
suasana puncak tersebut seakan-akan diliputi selapis hawa setan, membuat siapapun merasa
bergidik.
“Maaf kalau kau harus menunggu agak lama!” katanya.
Seng Tocu memicingkan matanya.
“Lohu sedang heran kenapa begitu cepat kau sudah datang kemari. Sudah kau atur baik-baik
kekasihmu itu?” katanya.
Hoa In-liong menjadi meringis ketika melihat orang itu salah mengira Si Leng-jin sebagai
kekasihnya, namun diapun enggan memberi penjelasan, maka sambil ulapkan tangannya, ia
berkata, Lebih baik tak usah membicarakan hal yang bukan-bukan, bila kau ingin mencoba
kelihaiyan dari ilmu silat Liok-soat-san-ceng kami, sekarang sudah boleh dimulai.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
156
Pedangnya lantas dicabut keluar dan dilintangkan didepan dada, sekokoh batu karang ia berdiri
disana, dalam waktu singkat semua masalah tentang rejeki atau bencana, mati atau hidup
tersapu lenyap dari benaknya, apa yang dipikirkan sekarang adalah bagaimana caranya
mempertahankan diri serta bagaimana caranya merobohkan musuh.
Seng Tocu tak berani memandang enteng musuhnya, sepasang mata yang biasanya dipejamkan
rapat-rapat kini mencorong sinar yang tajam sekali.
Seketika itu juga kabut pertarungan menyelimuti seluruh puncak bukit tersebut.
Mendadak Hoa In-liong membentak keras, pedangnya digetarkan dan hawa pedang memancar
melancarkan serangannya yang pertama.
Serangan ini cukup dahsyat dan mematikan, andaikata orang tak berilmu tinggi niscaya akan
terluka diujung senjatanya.
Bocah muda, belum terhitung hebat ilmu pedangmu itu!”
Sambil maju kemuka dia melepaskan sebuah serangan hebat, seakan-akan ia sama sekali tak
terpengaruh oleh kehebatan ilmu pedang lawan.
Siapa tahu, ketika pedang itu sampai, ditengah jalan mendadak hawa pedangnya sirap,
kemudian tanpa menimbulkan sedikit suara pun mengancam pinggang orang itu.
Seng Tocu amat terkejut, buru-buru ia tarik nafas panjang tanpa berkutik lain sambil bergeser
tiga depa kesamping, pujinya, “Bocah muda! Kau memang pantas melangsungkan pertarungan
melawan diriku”
“Kau terlampau menilai tinggi dirimu sendiri!” dengus Hoa In-liong.
Sementara dihati kecilnya ia berpikir, “Tenaga dalam yang dimiliki gembong iblis Ini memang
betul-betul hebat sekali hanya mengandalkan tarikan nafas saja tubuhnya dapat bergeser
tempat, bahkan sempat berbicara juga, aku tak boleh menilai terlalu rendah musuhku yang ini.”
Setelah berlangsungnya pertarungan pertama, kedua belah pihak sama-sama telah mengetahui
kehebatan dari ilmu silat masing-masing, hal ini menambah semangat bagi kedua belah pihak
untuk melangsungkan pertarungan lebih jauh.
Setelah dipaksa berada diposisi bawah angin, Seng Tocu merasa penasaran sekali, timbul rasa
ingin menang dihatinya, sambil mendengus ia menerjang kemuka sambil melepaskan pukulan.
Dalam sekejap mata, suatu pertarungan sengit yang jarang terjadi dalam dunia persilatan pun
berlangsung dengan serunya. Setelah sepuluh jurus lewat, Hoa In-liong, mulai terdesak dibawah
angin, melihat posisinya ini, pemuda itu segera mengambil pedang, dimainkan sedemikian rupa
sehingga menciptakan selapis dinding baja yang airpun tak tembus, sementara tiap kali ada
kesempatan ia melancarkan serangan balasan.
Tujuh delapan puluh jurus serangan telah dilancarkan Seng Tocu. akan tetapi dia belum berhasil
juga mengalahkan Hoa In-liong, hal ini menimbulkan perasaan malu dalam hatinya.
Ia merasa dengan usianya sekarang, andai kata dalam seratus gebrakan tidak berhasil
mengalahkan anaknya Hoa Thian-hong, maka peristiwa ini akan sangat mempengaruhi nama
baiknya,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
157
Berpikir demikian, tiba-tiba serunya, “Hoa Yang, dalam sepuluh jurus lohu akan mengalahkan
dirimu!”
Ditengah pembicaraan tiba-tiba serangan nya berubah, ia bergerak mengitari disekeliling badan
Hoa In-liong, sepasang telapak ta ngannya diayunkan berulang kali menghantam tempat-tempat
kosong disekeliling tubuh si anak muda itu.
Hoa In-liong tidak habis mengerti dengan tindakan-nya itu, namun ia tak berani bertindak
gegabah, sebaliknya pertahanan disekitar tubuhnya malahan diperketat.
Sungguh hebat tenaga dalam yang dimiliki Seng Tocu, dalam waktu singkat ia sudah mengitari
anak muda itu sebanyak dua tiga puluh kali lingkaran, kemudian tubuhnya menerobos keposisi
tiong-kiong dan sebuah pukulan segera dilontarkan ke depan.
Hoi In liong memutar pedang antiknya membacok kebawah, tapi dengan cepat ia merasakan
sekeliling tubuhnya seakan-akan telah membeku, bacokan pedangnya yang mengarah tubuh
lawan pun segera meleset kesamping.
Pertarungan antara jago lihay mana boleh meleset seincipun? Terdengar Seng Tocu tertawa
terkekeh-kekeh, sebuah pukulan dahsyat segera di lontarkan ke dada lawan.
Sesungguhnya serangan ini sulit sekali untuk di hindari, untungnya Hoa In-liong cerdas dan ilmu
silatnya sudah mencapai kesempurnaan, apalagi pengalamannya yang cukup selama berkelana
dalam dunia persilatan, membuat ia tidak panik dalam menghadapi bahaya maut.
Dalam keadaan kritis, telapak tangan kirinya diayun ke depan menyongsong datangnya ancaman
tersebut.
“Plaak…..!” sepasang telapak tanpanrya segera menempel antara yang satu dengan lainnya.
Tujuan Seng Tocu yang sebenarnya memang demikian, maka serentak hawa murninya
disalurkan keluar dengan dahsyatnya untuk menerjang tubuh Hoa In-liong.
Buru-buru si anak muda itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk melakukan perlawanan
sementara pedang ditangan kanannya langsung membacok ke bawah.
Seng Tocu bergerak cepat, tangan kirinya segera diayun ke depan untuk mencengkeram urat
nadi pada pergelangan tangan Hoa In-liong.
Telapak tangan kiri Hoa In-liong yang digunakan untuk melawan tekanan hawa murni dari Seng
Tocu hampir telah mempergunakan segenap kekuatannya, karena keadaan terdesak terpaksa ia
membuang pedangnya dan berganti menotok jalan darah tay-ciu-hiat pada belakang telapak
tangan Seng Tocu.
Sebelum pedang yang terjatuh mencapai tanah, kedua orang itu sudah melangsungkan
pertarungan sebanyak empat lima jurus dengan menggunakan segenap kekuatan yang
dimilikinya.
Harus diketahui bahwa tenaga dalam yang dimiliki Seng Tocu jauh lebih hebat dibandingkan Hoa
In-liong, hal ini sudah merupakan kenyataan yang terbukti, sudah barang tentu Hoa In-liong
yang mengetahui kelemahannya berusaha keras untuk menghindari suatu pertarungan beradu
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
158
kekuatan, sayang posisi Seng Tocu berada diatas angin, sehingga mau tak mau mereka harus
menempelkan kembali sepasang telapak tangannya untuk beradu tenaga.
Betapa girangnya Seng Tocu karena niatnya tercapai, segenap kekuatan tubuhnya segera
dikerahkan keluar dengan maksud untuk membinasakan anak muda itu dalam sekali pukulan,
siapa tahu tiba-ti ba ia merasakan hawa murninya tergelincir kearah samping lain hilang lenyap
tak berbekas.
Kejadian ini sangat mengejutkan hatinya, ia lantas berpikir, “Tenaga dalam apaan ini?”
Haruslah diketahui bahwa pertarungan adu tenaga dalam merupakan suatu pertarungan yang
paling jujur, orang tak mungkin bisa menggunakan akal muslihat untuk peroleh kemenangan.
Tapi kenyataanya Hoa In-liong sanggup mengalihkan kekuatan musuhnya kearah lain, kejadian
aneh semacam ini hakekatnya belum pernah terjadi dalam dunia persilatan, tak heran kalau Seng
Tocu dibikin terperanjat oleh kejadian itu.
Akan tetapi dia bukan manusia sembarangan, begitu hawa murninya dihimpun, kembali Hoa In li
ong segera merasakan sepasang telapak tangannya seperti menahan bukit Tay san, sukar
baginya untuk melenyapkan Kembali daya kekuatan tersebut
Kendatipun begitu, Seng Tocu sendiripun tidak berhasil merobohkan Hoa In-liong, ia merasakan
betapa anehnya tenaga dalam yang dimiliki si anak muda itu, setiap kali kalah sebagaian maka
kekuatannya akan bertambah besar sebagaian, makin sulit pula baginya untuk mendesak anak
muda tersebut.
Akan tetapi tenaga dalam memang merupakan urusan terpenting dalam pertarungan ini, tak
sampai seperminum teh kemudian, peluh telah membasahi seluruh badan Hoa In-liong, pakaian
yang di kenakan telah basah kuyup dibuatnya.
Selama pertarungan berlangsung, secara diam-diam Seng Tocu memperhatinkan terus paras
muka Hoa In-liong, ia saksikan sinar matanya memancarkan cahaya berkilat, tampaknya makin
bertarung semakin kuat, hal ini segera mengingatkannya akan suatu peristiwa, tiba-tiba timbul
perasaan menyesal dalam hatinya.
“Rupanya si hwesia tua itu kehilangan hawa murninya sewaktu ada di Yu hoa-tay karena
mewariskan kekuatannya kepada bocah ini, kalau pertarungan adu tenaga ini dilanjutkan niscaya
aku akan kehilangan banyak tenaga, dan tindakanku ini sama artinya seperti membantu bocah ini
mencapai kesuksesan…..”
Keadaan sekarang ibarat menunggang dipunggung harimau, mau berhenti ditengah jalanpun tak
mungkin bisa, maka kuputuskan mumpung Hoa In-liong belum berhasil meresapi inti kekuatan
yang diwariskan Goan-cing taysu kepadanya, ia akan membunuhnya lebih dulu, sebab kalau
menunggu sampai inti kekuatannya telah menggabung dengan kekuatannya, menang kalah akan
semakin sulit untuk ditentukan.
Karena berpikir demikian, dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya ia segera
menyerang dengan hebatnya.
Hoa In-liong yang didesak terus menerus betul-betul keteter hebat, akan tetapi ia tetap
melawannya dengan gigih, sedikitpun tiada tanda-tanda hendak menyerah kalah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
159
Dalam waktu singkat dua jam sudah lewat, kedua orang itu masih juga saling menempel antara
yang satu dengan lainnya, air muka Hoa In-liong ketika itu sudah berubah menjadi merah
padam, peluh sebesar kacang membasahi sekujur tubuhnya sedangkan Seng Tocu telah menarik
pula wajahnya yang kaku dan tanpa emosi itu.
Pada saat itulah dari bawah tebing sebelah barat merangkak naik seorang gadis berbaju hitam,
tubuhnya ramping dan wajahnya cantik, sebilah pedang pendek tergantung di pinggangnya, dia
tak lain adalah Si Leng-jin……
Ternyata ia menyusul Hoa In-liong kesana, tapi berhubung ilmu silatnya selisih jauh bila
dibandingkan pemuda itu, maka sampai sekarang ia baru sampai disana.
Dengan sepasang matanya yang jeli dia perhatikan keadaan disekeliling tempat itu, akhirnya
dibawah cahaya bintang ia saksikan ada dua orang berdiri saling berhadapan dengan sepasang
telapak tangan saling menempel antara satu dengan lainnya, kejadian itu membuatnya tertegun.
Apalagi setelah mengetahui Hoa In-liong berada di posisi bawah angin, dalam kagetnya tanpa
berpikir panjang ia cabut keluar pedangnya dan menubruk ke depan, pedangnya langsung
ditusukkan ke punggung Seng Tocu.
Mendadak Hoa In-liong membentak keras, Seng Tocu mendengus pula dengan dingin, bukan
saja pedangnya itu tak berhasil menusuk punggung Seng Tocu, bahkan muncul segulung tenaga
dahsyat yang menyusup lewat pedangnya menghantam gadis itu.
Si Leng-jin menjerit tertahan, kulit tangannya pecah, dan pedang pendeknya mencelat dari
pegangan, kemudian dengan sempoyongan badannya mundur sejauh lima enam langkah,
lengannya linu dan kaku, hampir saja tak sanggup digerakkan lagi, ditambah telinganya
mendengung keras dan rasanya sakit sekali.
Belum habis rasa kaget dan takutnya, telapak tangan kedua orang yang saling menempel itu
sudah berpisah dan masing-masing mundur dua langkah.
Seng Tocu hanya tergetar sedikit tubuhnya lalu berdiri tegak kembali.
Sebaliknya Hoa In-liong dengan wajah pucat pias seperti mayat melirik gadis itu sekejap, tibatiba
ia muntah darah segar, lalu roboh terjengkang ke atas tanah.
Si Leng-jin agak tertegun sejenak, kemudian sambil menangis tersedu-sedu teriaknya, “Ooh, Hoa
kongcu!”
Seperti dua buah sungai, air matanya bercucuran dengan derasnya, ia maju menghampirinya lalu
berlutut disisi Hoa In-liong dan bermaksud membopong tubuhnya.
Waktu itu sebenarnya Seng Tocu sedang memejamkan matanya sambil mengatur pernapasan,
tiba-tiba ia membuka matanya sambil membentak, “Jangan dibopong!”
Si Leng-jin agak tertegun, lalu sambil berpaling teriaknya, “Menyingkir kau dari situ!”
Agaknya dia tak tahu kalau Seng Tocu adalah seorang gembong iblis yang berilmu tinggi, setelah
membentak kembali, ia berpaling dan siap membopong anak muda itu lagi.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
160
Kemarahan Seng Tocu langsung berkobar, lengan kanannya segera diangkat siap dihantamkan
keatas batok kepala Si Leng-jin akan tetapi ketika dilihatnya wajah sinona begitu mengenaskan ia
menjadi tak tega.
Serangan bacokan dirubah menjadi tenaga lembut yang membawa tubuh Si Leng-jin mencelat ke
samping.
“Kau tahu isi perutnya sekarang telah bergeser dari tempat kedudukannya semula?” demikian ia
menegur ketus, “kini hanya tinggal segulung hawa murni yang melindungi jantungnya, bila kau
gerak-kan tubuhnya maka ia akan tewas seketika itu juga”
Si Leng-jin menjadi tertegun, tiba-tiba ia mendekam ditanah sambil menangis tersedu-sedu.
“Budak ingusan, apa yang kau tangisi?” kata Seng Tocu dengan hambar, “berbicara sesungguh
nya bocah muda she Hoa itu bisa menjadi begitu adalah gara-gara perbuatanmu”
Mendengar perkataan itu, Si Leng-jin segera menghentikan tangisannya dan menengadah
memandang ke arah Seng Tocu, wajahnya menampilkan rasa kaget dan tidak habis mengerti.
Melihat gadis itu sudah mengalihkan perhatian kepadanya, Seng Tocu berkata kembali,
“Perhatikan baik-baik, selama hidup lohu paling tak ambil perduli terhadap segala kebaikan,
kejahatan ataupun segala kedengkian tapi terhadap segala persoalan selamanya aku tak pernah
merahasiakan keadaan yang sebenarnya”
Ia memandang sekejap Hoa In-liong yang pucat pias dalam keadaan sekarat itu, kemudian
melanjutkan.
“Demikian terhadap keadaan sesungguhnya dari pertarungan malam ini, akupun tak ingin
merahasiakannya kepada orang lain”
Si Leng-jin membelalakkan sepasang matanya sambil berpikir, “Menang kalah dari pertarungan
ini sudah jelas tertera, kenyataan apa lagi yang hendak dia bicarakan?”
Tiba-tiba teringat kembali dengan perkataan dari Seng Tocu yang mengatakan bahwa dialah
yang telah mencelakai Hoa In-liong, segera hatinya bergetar keras.
Terdengar Seng Tocu berkata kembali, “Mula-mula lohu merasa yakin kalau tenaga dalamku
amat sempurna dan jauh diatas kekuatan bocah dari keluarga Hoa itu, mala sengaja kupaksa
dirinya untuk melangsungkan ada kekuatan tenaga dalam, siapa tahu kenyataannya….
Tiba tiba wajahnya memancarkan sinar keraguan, tanyanya kemudian, “Hei budak cilik, tahukah
kau tenaga dalam yang dipelajarinya itu berasal dari perguruan mana?”
“Tentu saja pelajaran dari keluarganya!” jawab Si Leng-jin.
Seng Tocu segera gelengkan kepalanya berulang kali.
Meskipun lohu tidak begitu memahami Gin hoat tenaga dalam dari keluarga Hoa, tapi aku yakin
tenaga dalam yang dipelajarinya bukan berasal dari aliran keluarga Hoa, sebab tenaga dalamnya
sangat kuat bagaikan gelombang yang berlapis-lapis, gelombang yang satu jauh lebih hebat dari
gelombang berikutnya, lagipula aliran hawa murninya itu sebentar mengalir secara lurus sebentar
mengalir kembali secara terbalik, tenaga dalam aliran keluarga Hoa tidak mempunyai gejala
semacam ini.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
161
“Soal ini boleh tak usah kita bicarakan, dengan mengandalkan tenaga dalam yang sangat aneh
ini Hoa In-liong ternyata sanggup mempertahankan diri dari seranganku, bahkan semakin lama
pertarungan berlangsung ternyata tenaga dalam yang dimilikinya semakin dahsyat dan
kuat……..”
“Aneh sekali!” seru Si Leng-jin tanpa terasa.
“Saat itulah lohu baru sadar bahwa ia telah mencapat bimbingan dari seorang jago lihay” kata
Seng Tocu lebih jauh, “bila ditinjau dari keadaan itu, kemungkinan besar ilmu yang sedang
dipelajarinya adalah ilmu sebangsa Tin goan ing tok (bimbingan tenaga dalam untuk
menyeberang) yang justru kesempatan semacam itu merupakan kesempatan yang terbaik
baginya untuk membaurkan tenaga murni yang didapat dengan tenaga murni yang telah dimiliki
dalam tubuhnya……..”
“Apakah yang disebut Tin goan ing tok tersebut?” tanya Si Leng-jin tiba-tiba.
Seng Tocu memandang sekejap kearahnya kemudian menjawab, “Sebenarnya dalam soal ilmu
tenaga dalam, kemajuan hanya bisa dicapai bila seseorang tekun melatihnya, tapi lain ceritanya
jika dia mempunyai sebangsa obat yang dapat mengganti tulang merubah otot, selain daripada
itu jika ada seorang tokoh sakti yang rela menghadiahkan tenaga dalam hasil latihannya kepada
orang lain tentu saja hal inipun bisa terjadi, dan cara yang terakhir inilah yang dinamakan
sebagai Tin-goan-ing-tok tersebut.
“Apa susahnya ini?” pikirnya.
Tampaknya Seng Tocu dapat menebak suara hatinya, dengan dingin ia berkata, Cara semacam
ini tampaknya saja gampang padahal jauh lebih sulit prosesnya daripada mempergunakan obat
mustika, sebab pertama sedikit kesalahan saja akan berakibat fatal, kedua, tokoh sakti semacam
ini sukar ditemukan didunia ini, yang lebih penting lagi orang-orang itu biasanya enggan
memberikan hasil yang luar biasa kepada muridnya tanpa si murid harus bersusah payah.
Tampaknya Seng Tocu merasa bahwa pembicaraannya sudah terlanjur terlampau jauh cepatcepat
katanya kembali, Berbicara kembali kesoal kami tadi, waktu itu lohu merasa menyesal
sekali, aku tahu jika keadaan ini dibiarkan berlangsung terus maka pada akhirnya bocah dari
keluarga Hoa itulah yang bakal peroleh kemenangan mutlak.
“Lantas dia…….kenapa dia….?”
Seng Tocu segera ulapkan tangannya, bukan menjawab dia malah balik bertanya, “Kaukah yang
menyergap diriku?”
Waktu itu Si Leng-jin sudah tidak terlampau merisaukan kesel-amatan diri, mendengar
pertanyaan itu dia lantas mendengus dingin.
“Hmm! Sudah tahu pura-pura bertanya lagi!”
Bukannya menjadi gusar, Seng Tocu malahan tertawa terbahak-bahak,
“Haaahh……haaahh…….haaahh………hei budak, tahukah kau ketika lohu dan bocah muda she
Hoa itu sedang melangsungkan pertaru ngan adu tenaga, sekeliling tubuh kami telah dilapisi
hawa murni pelindung badan? Apabila dari luar ada serangan yang datang maka akan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
162
memancarlah tenaga gabungan dari kami berdua, siapakah didunia ini yang sanggup menerima
tenaga gabungan dari kami berdua ini? Bukankah kau mencari jalan kematian buat diri sendiri?”
“Tapi aku toh masih hidup segar bugar?”
Seng Tocu segera mendengus dingin.
“Kau masih hidup segar bugar?” katanya. “Kau tahu? Kenapa sampai sekarang kau masih tetap
segar bugar?”
Tidak menanti jawaban dari Si Leng-jin, dengan marah ia berkata lebih lanjut, “Kau tahu?
Seseorang yang hampir saja tiada tandingannya dikolong langit, telah hancur lebur dan lenyap
tak berbekas, gara-gara perbuatanmu itu?”
Suaranya keras dan tegas, sama sekali berubah dari sikap semulanya yang hambar dan berbau
hawa setan itu.
Si Leng-jin termenung sebentar, mendadak dengan wajah berubah hebat serunya, “Jangan,
jangan……”
“Betul!” tukas Seng Tocu, “gara gara ingin menyelamatkan jiwamu dan lagi diapun tak ingin
menangkan aku dengan cara tak adil, akhirnya ia malah berubah menjadi begini rupa”
Dibalik ucapannya itu lamat-lamat kedengaran pula nadanya yang bersedih hati.
Haruslah diketahui, barang siapa telah menjadi seorang ahli dalam suatu kepandaian, tentu akan
timbul suatu perasaan sayangnya terhadap genera si penerus yang memiliki bakat bagus.
Selama hidupnya boleh dibilang Seng Tocu ha nya terjun dalam bidang ilmu silat, sudah barang
tentu dia menaruh rasa sayang terhadap setiap o-rang yang berbakat bagus dan berilmu tinggi.
Sayangnya Hoa In-liong bukan berasal dari Seng-sut-pay, malahan merupakan musuh tangguh
partainya, rasa dengki telah menindas rasa sayangnya. Akan tetapi disaat keadaan Hoa In-liong
terancam bahaya, rasa dendamnya seketika lenyap tak berbekas, sebagai gantinya timbul rasa
sayang dan kasihannya.
OOOOOOOOOOOOOO
47
Dengan tatapan sinar kosong Si Leng-jin memandang awan di angkasa, lama sekali ia berdiri
termanggu, lalu dengan wajah yang sedih, guman-nya lirih, “Aku………… akulah yang telah
mencelakainya…………….tak kusangka…..tak kusangka…..!”
Tiba-tiba sinar matanya membentur dengan pedang antik yang tergeletak ditanah, tanpa berpikir
panjang lagi ia menyambar senjata itu dan menggorok keleher sendiri.
Kelihatan-nya pedang itu segera akan melukai tenggorokan si nona dan gadis yang cantik jelita
segera akan berpulang ke alam baka….
Mendadak Seng Tocu merampas pedang itu sambil ujarnya dengan suara yang dingin, “Sampai
kini orang she Hoa itu belum mati, buat apa kau buru-buru hendak mampus” Si Leng-jin
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
163
tertegun, mendadak ia menengadahkan kepalanya sambil berkata, “Apakah kau dapat
menyelamatkan jiwanya?”
“Seng Tocu hanya dapat menyelamatkan jiwanya selama sepuluh hari, bila ingin menolong
jiwanya kecuali kau bisa mendapat jin som berusia seribu tahun atau bahan obat mujarab lain
seperti Leng ci dan lain sebagainya…..”
“Ke mana aku harus mencari Jin som berusia seriba tahun dan Lengci itu?” tanya Si Leng-jin lagi
dengan wajah penuh pengharapan.
Seng Tocu mengerutkan dahinya, lalu menjawab, “Benda-benda yang langka didunia ini hanya
bisa ditemukan dan tak mungkin diharapkan tapi bagaimana caranya untuk menemukan bendabenda
mustika itu?”
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, katanya kemudian, “Keluarga Hoa tersohor
didunia persilatan sebagai tempat yang dimiliki pelbagai mustika, siapa tahu dirumahnya tersedia
bahan obat-obatan seperti itu? Cuma saja sekalipun ada, jaraknya dari sini menuju ke bukit Im
tiong san ada tiga empat ribu li, dalam sepuluh hari tak mungkin bisa tiba ditempat tujuan
kecuali terbang, apa lagi dirumahnya toh belum tentu ada benda tersebut………?”
Mendengar ucapan itu tiba-tiba Si Leng-jin seperti teringat akan sesuatu, ia teringat dengan botol
porselen yang baru saja diserahkan Hoa In-liong kepadanya itu, siapa tahu kalau isi botol
porselen itu adalah obat mujarab?
Dengan cepat botol itu diambil keluar, tapi baru saja hendak membuka penutupnya, sebagai
seorang gadis yang cukup berpengalaman dan mengetahui bahayanya orang persilatan, dengan
cepat ia teringat kalau disana masih ada Seng Tocu, andaikata isinya betul-betul adalah obat
mustika, lalu Seng Tocu hendak merampasnya, apa yang bisa dia lakukan?
Seng Tocu bukan manusia kemarin sore, dari sikap si nona yang mengeluarkan sebuah botol
berbentuk aneh tapi segera membatalkan niatnya untuk membuka penutup botol itu, dengan
cepat ia dapat menebak suara hatinya.
Sambil mendengus dingin katanya kemudian, “Kau anggap Lohu ini manusia macam apa? Tak
akan kurampas benda milikmu, baiklah! Memandang Hoa yang sebagai seorang lelaki ksatria,
lohu akan memperpanjang umurnya selama sepuluh hari”
Begitu selesai berkata, tanpa menantikan jawaban dari Si Leng-jin lagi ia lantas maju ke depan
dan secara beruntun melepaskan tujuh belas buah pukulan keatas dada Hoa In-liong.
Si Leng-jin dapat menyaksikan bahwa dalam setiap pukulannya itu selalu disertakan tenaga yang
cukup kuat, tempat yang di incarpun merupakan jalan darah penting, berdebar juga jantungnya
menyaksikan kejadian itu, untuk sesaat ia hanya bisa memperhatikannya tanpa berkedip.
Dengan sebuah kebutan ujung bajunya, Seng Tocu membalikan tubuh Hoa In-liong, kemudian
menotok pula beberapa buah jalan darah penting di punggungnya itu, secara beruntun ia
lepaskan lima belas buah pukulan, hanya kali ini gerakannya dilakukan lambat sekali.
Pukulannya yang terakhir itu ditujukan pada jalan darah Thian-teng hiat ditubuh Hoa In-liong,
setelah itu ia baru menghembuskan napas panjang dan membesut keringat yang telah
membasahi jidatnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
164
Sekarang Si Leng-jin baru tahu bahwa Seng Tocu telah mengor-bankan banyak sekali tenaga
dalamnya untuk memperpanjang usia Hoa In-liong selama sepuluh hari, bagaimanapun juga
gadis itu tercengang juga oleh tindak tanduk gembong iblis tersebut yang ternyata bersedia
berkorban demi musuhnya……..
Sementara itu Seng Tocu telah memutar balik tubuh Hoa In-liong, dari sakunya ia mengeluarkan
sebuah botol porselen berwarna hijau dan mengeluarkan sebutir pil warna hitam yang besarnya
seperti gundu.
“Eeh, obat itu terbuat dari bahan apa saja? Kenapa jelek amat warnanya…………….?” tiba-tiba Si
Leng-jin menegur.
Suara itu amat lirih, seakan akan sedang bergumam seorang diri.
Seng Tocu segera mendengus dingin, sahutnya, “Jika lohu berniat untuk mencelakainya buat apa
musti melakukan banyak perbuatan yang tak ada gunanya?
Ia membungkuk dan membuka mulut Hoa In-liong lalu masukkan pil berwarna hitam itu ke
mulutnya, kemudian sambil membopong tubuh si anak muda itu ia siap berlalu dari sana.
Si Leng in menjerit kaget, sambil melompat bangun teriaknya, “Hei, mau apa kau?”
Seng Tocu menghentikan langkah kakinya seraya berpaling, lalu dengan nada tak sabar katanya,
“Hmm……! Dengan mengandalkan sedikit kepandaian yang kau miliki itu dianggapnya bisa
membawa turun seorang yang terluka parah dengan selamat? Lohu akan menghantarkannya ke
rumah gubuk itu, urusan selanjutnya terserah padamu.”
Setelah berhenti sebentar ia menambahkan.
“Dasar pikiran perempuan memang selalu picik tubuhnya cuma curiga melulu………….
Hmm! Brengsek!”
Merah padam selembar wajah Si Leng-jin karena jengah, ia segera maju dua langkah seraya
berkata, “Kalau begitu harap locianpwe sudi membawa serta diriku!”
Tanpa mengucapkan sepatah katapun Seng Tocu menyambar tubuh Hoa In-liong dengan tangan
kanan dan menggenggam lengan Si Leng-jin dengan tangan kirinya.
Tiba-tiba gadis itu berseru lagi.
“Eeeh….tunggu sebentar!”
Seng Tocu mengernyitkan alis matanya seperti tidak sabar, tapi ia toh melepaskan juga
genggamannya.
Si Leng-jin segera menghampiri pedang milik Hoa In-liong dan mengambilnya, lalu mencari pula
pedang pendek miliknya sendiri, tapi pedang itu lenyap tak berbekas, tahukah nona itu ada
kemungkinan pedangnya sudah terjatuh ke bawah jurang.
Sebagaimana diketahui, pedang pendek itu tajamnya luar biasa, selama ini ia selalu
menyayanginya, kini setelah terbukti hilang sedikit banyak nona itu merasa sayang juga, tapi
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
165
karena lebih menguatirkan keselamatan Hoa In-liong, maka buru-buru ia kembali ke tempat
semula.
Seng Tocu sudah tak sabaran lagi, lengan kanannya segera disambar dan dibawanya turun ke
bawah tebing.
Separjang jalan Si Leng-jin hanya merasa desingan angin kencang menyambar lewat dari sisi
telinganya, pemandangan alam di sekitarnya sukar di perhatikan dan kakinya seakan akan tidak
menempel tanah, diam-diam terkejut juga si nona itu oleh kebebatan ilmu silat yang dimiliki Seng
Tocu
“Bila dilihat dari kepandaian silat yang dimiliki iblis ini tak mungkin kemenangan bisa kuraih bila
terjadi pertarungan yang saling berhadapan muka, mumpung sekarang ada kesempatan lebih
baik kutusuk punggungnya secara diam-diam dengan begitu dendam sakit hati Hoa kongcu pun
bisa terbalas, toh bagaimanapun juga yang bakal celaka juga aku seorang, kenapa tidak beradu
jiwa dengannya?”
Berpikir sampai disini dengan hati-hati sekali dia mengangkat pedangnya, karena sudah punya
rencana, maka pedang itu tidak dikembalikan kepada Hoa In-liong, sebaiknya digenggang
ditangan kirinya, Tiba-tiba ia teringat pula bahwa tindakannya ini pasti akan berakibat tewasnya
Hoa In-liong pula, sekalipun kini nyawa anak muda tinggal sepuluh hari Saja tapi baginya
sepuluh hari itu adalah wak tu-waktu yang berharga sekali, ini semua menyebabkan ragu-ragu
untuk melanjutkan rencananya itu.
Belum lagi keputusannya diambil, tiba-tiba mereka sudah berhenti dan Seng Tocu telah
melepaskan tangannya, ternyata mereka telah tiba di depan rumah gubuk itu. Diam-diam ia
menyesal karena telah menyia-nyiakan suatu kesempatan baik.
Tiba tiba terdengar Seng Tocu berkata, “Hei budak cilik tadi kenapa kau tidak jadi menusuk
punggungku?”
“Oh rupanya dia sudah tahu!” pikir Si Leng-jin.
Ia menjadi sangat mendongkol, dengan gusar serunya, “Aku hanya merasa bahwa selembar
jiwamu itu sekalipun hidup seratus tahun lagi juga tidak menangkan kehidupan Hoa kongcu
sendiri, bukan berarti aku jeri kepada ilmu silatmu”
Seng Tocu tidak gusar sebaliknya malah tertawa, katanya, “Budak cilik ternyata kau memang
betul-betul sedang mabuk cinta, cuma lohu tidak mengerti, kenapa kau masih memanggil bocah
muda itu sebagai Hoa kongcu?”
Walau pun Si Leng-jin merasa girang dihati, merah padam juga selembar wajahnya karena
jengah, buru-buru ia berseru.
“Kau tak usah ngaco belo tak karuan, aku dengan Hoa kongcu sama sekali tak punya hubungan
apa-apa”
“Hmm! Lain dimulut lain dihati” dengus Seng Tocu.
Si Leng-jin menjadi marah katanya, “Hmmm, Dia adalah putra Thian cu kiam, asal usulnya
tersohor dan punya kedudukan terhormat, sebaliknya aku tak lebih cuma seorang gadis yang tak
dikenal…..”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
166
Teringat dengan asal-usulnya sendiri, rasa sedih segera menyelimuti perasaannya, apalagi
teringat keadaan Hoa In-liong yang terluka parah, seketika itu juga ia menangis terisak.
“Aku enggan mengetahui apa hubunganmu dengan bocah muda dari keluarga Hoa ini” Seng
Tocu berkata, “baik-baiklah biarkan dia hidup selama beberapa hari, bila ada pesan-pesan lebih
baik dikatakan pula sejak sekarang”
Lalu setelah melirik sekejap wajah Hoa In-liong, ia menambahkan, “Sekarang isi perutnya sudah
bergeser, untuk mengharapkan penyembuhan hanya ibarat orang bermimpi. Daripada dikirim
balik ke perkampungan Liok-soat-san ceng lebih baik temanilah dia hidup selama beberapa hari
disini, lohu akan pergi menghalangi orang-orang yang mungkin akan datang mengacau”
Selesai berkata, ia letakkan tubuh Hoa In-liong keatas tanah dan sekali berkelebat tubuhnya
telah lenyap dari pandangan mata.
Buru-buru Si Leng-jin membopong tubuh Hoa In-liong sambil menyumpah, “Seng Tocu setan
tua, kau betul-betul menggemaskan! Kau toh mengerti kalau Hoa In-liong lagi terluka parah,
masa ditengah malam buta yang berkabut tebal kau geletakkan tubuh ke tanah dengan begitu
saja?”
Baru habis ia berkata, pandangan matanya menjadi kabur dan tiba-tiba Seng Tocu teah muncul
kembali dihadapan-nya.
Sesudah memandang sekejap wajah si nona, pelan-pelan katanya.
“Bila dia telah sadar nanti, katakanlah bahwa lohu sangat berharap agar lukanya cepat sembuh,
sebab lohu ingin sekali dapat bertarung sekali lagi dengannya”
“Aku pasti akan menyampaikan kepadanya, sekarang kau boleh pergi dari sini!”
Terhadap sikap kasar dari Si Leng-jin ini, ternyata Seng Tocu tidak merasakan reaksi apa-apa,
dia hanya mendengus dingin lalu berkelebat pergi dari situ, sekejap mata kemudian bayangan
tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
Tiba-tiba terdengar suara dari Si Nio berkumandang dari samping, “Nona, bagaimana dengan
Hoa kogcu?”
Sambil menahan rasa sedih dalam hatinya, Si Leng-jin berpaling lalu sahutaya, “Seandainya ia
tewas, maka ia tewas lantaran aku……..”
Air matanya kembali bercucuran membasahi pipinya, ia menjadi sesunggukan dan sambil
membopong tubuh Hoa In-liong masuk ke dalam ruangan.
Diatas wajah Si Nio yang penuh kerutan tampak agak gemetar keras, dia ikut melangkah masuk
ke dalam ruangan.
Dengan sangat hati-hati, Si Leng-jin membaringkan tubuh Hoa In-liong diatas pembaringan, lalu
melepaskan sarung pedangnya, menya rungkan pedang dan menggantungkan diatas dinding.
Setelah itu ia melepaskan sepatu dan kaus kaki dari Hoa In-liong, dan menutupi badannya
dengan selimut.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
167
Si Nio mengira ia sudah selesai bekerja, baru saja akan bersuara mendadak dilihatnya gadis itu
berdiri termenung sejenak lalu membetulkan kembali letak bantal, ternyata gerak geriknya amat
le mah lembut dan penuh perhatian.
Ketika semuanya telah selesai dan dilihatnya Hoa In-liong tidak berbaring dalam keadaan tak
enak, ia baru duduk ditepi pembaringan dan memandang wajahnya dengan termangu, lama
sekali ia tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Si Nio yang menanti disampingnya, lama kelamaan menjadi tak sabar, ia lantas menegur,
“Nona!”
lima depa disisi Si Leng-jin, semestinya siapapun akan mendengar panggilan tersebut, akan
tetapi gadis itu tetap tak berkutik, ia sama sekali tak mendengar panggilan dari pelayan setianya
ini.
Terpaksa Si Nio harus mempertinggi suara panggilannya, “Nona…”
Tanpa berpaling Si Leng-jin ulapkan tangannya “Sst….jangan berisik!”
Si Nio betul betul dibikin tertegun, agaknya kecuali Hoa In-liong ketika itu ia sudah melupakan
segala persoalan yang ada didunia ini.
Satu ingatan segera melintas dalam benak pelayan tua itu, tiba-tiba ujarnya!, “Setelah sadar
nanti apa yang dibutuhkan Hoa kongcu? Apakah nona perlu mempersiapkannya?”
Ternyata ucapan itu manjur juga, Si Leng-jin segera menjawab, “Ehhmm….coba periksalah
apakah didapur masih ada makanan, kalau ada bawa saja kemari!”
Sekalipun mulutnya menjawab, sepasang matanya yang jeli itu masih mengawasi wajahnya Hoa
In-liong tanpa berkedip.
Diam-diam Si Nio berpikir, “Ai…orang she Hoa ini betul-betul penyakit, kalau nona begini terus
keadaannya bagaimana jadinya nanti?”
Setelah berpikir sebentar, terpaksa ia menuju kedapur.
Tak lama kemudian ia telah muncul kembali sambil membawa sebuah baki yang berisi dua
mangkuk bubur panas serta tiga macam sayur.
Setibanya dibelakang Si Leng-jin, perempuan itu berseru, “Nona, hidangan telah tiba!”
“Nanti saja,” jawab si nona, “ia toh masih belum sadar!”
Sekali lagi raut wajah Si Nio yang jelek bergetar keras, katanya setelah merenung sejenak,
“Nona, lebih baik kau makan lebih dulu!”
“Tidak usah!”
Kembali Si Nio menjadi tertegun, akhirnya dia menghela napas panjang, dengan perasaan apa
boleh buat terpaksa ia menarik meja itu ke sisi pembaringan lalu setelah meletakkan baki ke atas
meja ia duduk dibangku dan memperhatikan gerak gerik majikannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
168
Dalam kebeningan malam yang mencekam diantara tiga orang yang ada dalam ruangan, dua
duduk berjaga satu tidur dengan pulasnya, tanpa terasa fajar mulai menyingsing.
Tiba-tiba Hoa In-liong menghembuskan napas panjang dan pelan-pelan membuka mulutnya.
Leng-jin girang, Si Leng-jin menyaksikan kejadian itu, segera serunya, “Kau telah sadar?”
Diam-diam Hoa In-liong mencoba untuk mengatur hawa murni yang dimilikinya sudah tak ada,
iapun menemukan isi perutnya sudah tergeser dan jiwanya terancam bahaya maut, diam-diam ia
merasa terkejut sekali.
Kendatipun demikian, sambil tertawa hambar ia toh berkata juga, “Kemana perginya Seng
Tocu?”
Dengan sikutnya menyangga badan, ia mencoba untuk bangkit dan duduk.
Buru-buru Si Leng-jin menahannya sambil berkata, “Lukamu sekarang parah sekali lebih baik
jangan sembarangan bergerek dan terbaring saja”
Ketika Hoa In-liong mencoba menggadakan tenaga, ia segera merasakan kepalanya pusing dan
dadanya sesak, ia sadar tak boleh banyak berkutik lagi, maka sambil berpaling kembali katanya
seraya tertawa, “Waahh….. baru pertama kali ini kurasakan keadaan seperti ini, hitung-hitung
aku punya jodoh juga dengan keadaan seperti ini”
Si Leng-jin yang menjumpai anak muda itu sama sekali tidak memperhatikan mati hidup sendiri,
apalagi teringat dengan ucapan Seng Tocu yang mengatakan bahwa nyawa Hoa In-liong tinggal
sepuluh hari lagi, hatinya menjadi sedih sekali bagaikan disayat-sayat dengan pisau, air matanya
segera bercucuran membasahi pipinya.
Hoa In-liong tersenyum,kembali ujarnya, “Aku tahu waalaupun keras hati dan gagah, di hari-hari
biasa jarang sekali melelehkan air mata, persoalan apakah yang membuat kau bersedih hati……?”
Sekalipun dalam keadaan terluka, ternyata ucapan-nya masih lemah lembut, Si Leng-jin benarbenar
tak kuat mengendalikan emosinya lagi, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan
membenamkan kepalanya ke pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
Si Nio bangkit berdiri sambil membuka mulutnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi ia
segera membatalkan niatnya, setelah menghela napas sedih, dengan air mata membasahi
pipinya diam-diam ia mengundurkan diri dari situ.
Hoa In-liong palingkan wajahnya kearah si nona, lalu dengan lembut katanya, “Persoalan apa
yang telah menyedihkan hatimu? Coba ceritakanlah kepadaku”
“Aku benci!” seru Si Leng-jin sambil menangis tersedu-sedu.
“Membenci siapa” tanya Hoa In-liong sambil menggerutkan dahinya.
“Aku membenci Seng Tocu” Hoa In-liong segera tertawa, katanya, “Ia pernah menganiaya diriku,
melukai aku pula, kau memang pantas membencinya”
Dengan suara tersendat-sendat Si Leng-jin melanjutkan kembali kata-katanya, “Aku lebih
membenci pada diri sendiri!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
169
“Waah……… ini tidak boleh terjadi, mana ada orang yang membenci diri sendiri? kata pemuda itu
sambil tersenyum.
“Akupun membenci dirimu!” sambung gadis itu gemetar.
Hoa In-liong mengernyitkan alis matanya, tapi setelah membenarkan letak tubuhnya ia
mengangguk.
“Yaa, pastilah aku telah membuat kesalahan kepadamu”
Si Leng-jin menengadahkan kepalanya, dengan air mata bercucuran ia berkata, “Aku membenci
dirimu, membenci kepada mu kenapa terlalu memikirkan keselamatan jiwaku? seharusnya kau
gunakan kesempatan itu untuk membunuh Seng Tocu si iblis tua itu, aku mati juga tidak
mengapa, daripada hidup sengsara didunia ini”
Hoa In-liong segera tertawa.
“Pepatah kuno mengatakan: Daripada mati secara baik-baik lebih baik hidup agak sengsara,
meskipun didunia ini penuh dengan orang jahat, namun tidak mengurangi kecantikannya, meski
aku harus mati secara mengenaskan, itupun kulakukan dengan hati yang berat, sebaliknya kau
masih muda, mana cantik lagi, kenapa musti mengucapkan kata-kata yang begitu tak sedap
didengar?”
Si Leng-jin menundukkan kepalanya sambil menangis tersedu-sedu ia tidak berbicara pun tidak
berhenti menangis.
Melihat gadis itu tak bisa dihibur diam-diam Hoa In-liong berkerut kening, tapi setelah berpikir
sebentar ia lantas berkata, “Coba dongakkan kepalamu!”
Dengan lemah lembut Si Leng-jin mendongakkan kepalanya, meski ia tidak habis mengerti
dengan maksud tujuan pemuda itu.
Dengan sinar mata yang cerah Hoa In-liong mengamati sekejap wajahnya yang basah oleh air
mata itu, kemudian dengan wajah bersungguh-sungguh ujarnya, Sewaktu kau lagi menangis
ternyata jauh lebih menarik daripada sewaktu kau lagi tertawa, dulu aku tak punya kesempatan
untuk memperhatikannya, sekarang bisa mendapat rejeki besar seperti ini, rasanya lukaku ini
pun ada harganya”
Si Leng-jin tidak mengira kalau dalam keadaan seperti ini pemuda itu masih punya kegembiraan
untuk menggodanya, ia menjadi tersipu-sipu dibuatnya.
Ketika itulah Si Nio muncul sambil membawa sebuah baki penuh dengan bubur yang masih
mengepul panas, bubur yang telah dingin tadi diambilnya kembali.
Setelah digoda oleh Hoa In-liong barusan, rasa sedih di hati Si Leng-jin menjadi jauh berkurang,
ketika mencium bau harumnya bubur ia terasa lapar sekali, segera pikirnya, “Dia pasti merasa
lapar sekali!”
Berpikir demikian, iapun membimbing bangun anak muda itu, letak bantalnya dibelikan sehingga
pemuda itu dapat setengah berbaring, lalu diambilnya bubur dan secara telaten menyuapi anak
muda itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
170
Diam-diam Hoa In-liong lantas berpikir, “Padahal ia sendiri sedang lapar, tapi aku yang diurusi
lebih dulu”
Maka sambil gelengkan kepalanya dia berkata, “Lebih baik kau makan duluan, aku belum lapar!”
Si Leng-jin mengerutkan dahinya, dengan wajah cemberut ia berseru, “Kalau kau tidak makan
duluan, mana aku tega untuk makan?”
“Sebaliknya kalau kau tidak makan, aku pun merasa tak enak untuk makan lebih dulu” sambung
Hoa In-liong sambil tertawa.
Tiba-tiba Si Leng-jin mengucurkan air mata kembali, katanya dengan sedih, “Kau bisa menjadi
begini, semuanya adalah gara-gara aku……..”
“Baik, baiklah aku makan duluan!” buru-buru Hoa In-liong menukas sambil tertawa.
Ia mencoba untuk mengambil mangkuk sendiri, ternyata lengannya terasa lemas sekali, sewaktu
di angkat ternyata lengan itu gemetaran keras.
Si Leng-jin teramat sedih melihat kejadian itu, hatinya serasa disayat-sayat dengan pisau, nyaris
ia melelehkan air matanya.
Ia tak mengira seorang jago silat yang tak terkalahkan dalam dunia dewasa ini, kini berubah jadi
begitu lemah sehingga untuk menggerakkan lengan sendiripun susah sekali.
Akan tetapi lantaran ia kuatir Hoa In-liong tak senang hati maka buru-buru ia berpaling ke arah
lain sambil diam-diam menyeka air matanya, kemudian sambil tertawa paksa katanya, “Lebih
baik kau jangan mempersoalkan segala tata cara yang tetek bengek, biar kusuapin untukmu!”
Hoa In-liong tertawa getir, terpaksa ia biarkan Si Leng-jin menyuapi untuknya.
Sambil menyuapi bubur untuk pemuda itu, secara ringkas Si Leng-jin menceritakan apa yang
telah terjadi setelah pemuda itu tak sadarkan diri, hanya soal usia yang tinggal sepuluh hari ia
rubah menjadi harus beristirahat sehingga dapat sembuh seluruhnya.
Tentu saja hal tersebut tak dapat mengelabuhi diri Hoa In-liong, cuma ia pun tidak membongkar
rahasia itu.
Ketika dua mangkuk bubur sudah habis, ceritapun telah berakhir, sambil menghela napas Hoa
In-liong lantas berkata, “Ternyata Seng Tocu bersedia mempergunakan ilmu Thian mo hu ti
sinkang untuk menyembuhkan lukaku, hal ini betul-betul merupakan suatu kejadian yang sangat
aneh”
“Thian mo hu ti?” kata Si Leng-jin dengan dahi berkerut, kok kedengarannya berbau hawa setan?
Jangan-jangan secara diam-diam ia telah melukai dirimu?”
Hoa In-liong segera tertawa.
“Walaupun kedengarannya tak sedap, sesungguhnya ilmu itu adalah cara pengobatan yang
paling hebat dari pihak Mokau, tidak mungkin Seng Tocu akan bertindak pengecut seperti itu”
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
171
“Dikemudian hari, akupun harus menolong jiwanya satu kali!”
Mendengar itu Si Leng-jin lantas berpikir”.
Nyawamu saja tinggal beberapa hari lagi mana mungkin bisa menolong orang lain??
Dengan perasaan yang amat pedih seperti diiris-iris dengan pisau, ia mencoba tertawa paksa,
kemudian katanya, “Sekalipun mampus, iblis tua itu juga rada keenakan, buat apa kau musti
menolongnya?”
“Yaa, barang siapa telah berhutang budi, apakah tidak pantas untuk membalas budi itu?”
katanya.
Tapi kalau dibiarkan hidup terus, entah berapa banyak orang yang bakal dicelakai oleh iblis tua
itu??
“Tidak mungkin, aku tahu bahwa dia adalah seorang yang tinggi hati, tak mungkin ia akan mau
turun tangan terhadap orang biasa, asal orang itu bisa ditaklukan, dia pasti akan mengasingkan
diri, tak nanti akan mencelakai dunia”
Ketika Si Leng-jin menyaksikan pemuda itu sudah menunjukkan tanda-tanda lelah setelah
berbicara sekian lama, buru-buru katanya sambil tertawa, “Bagaimana kalau kau berbaring dulu,
aku hendak bersantap”
Dalam keadaan terluka parah, keadaan Hoa In-liong memang lemah sekali, ia merasa agak lelah
setelah bercakap-cakap sekian lamanya, maka diapun mengangguk.
Si Leng-jin buru-buru memayangnya untuk berbaring kembali.
Tak lama kemudian Hoa In-liong sudah pulas dengan nyenyaknya.
Dengan termangu-mangu Si Leng-jin mengawasi terus wajah pemuda itu, ia tidak bersantap dan
entah apa saja yang dipikirkan, sebentar senyuman dikulum sebentar lagi parasnya berubah dan
air mata bercucuran, tapi karena kuatir menyadarkan Hoa In-liong dari tidurnya ia tak berani
menangis hingga bersuara.
Selama ini Si Nio hanya mengawasi terus dari luar pintu, menyaksikan keadaan tersebut dia
segera lari masuk sambil serunya, “Nona, kalau begini terus keadaanmu, bagaimana jadinya
nanti?”
Si Leng-jin menghela napas sedih, sahutnya dengan lirih, “Si Nio, jika ia mati akupun mati!”
Dua patah kata “mati” itu ibaratnya martil berat yang mengetuk hati Si Nio, kontan saja ia
menjerit sekeras-kerasnya, “Mati? Nona, kau sudah gila?”
Si Leng-jin berpaling, wajahnya menunjukkan kekerasan hatinya yang telah bulat.
“Tidak, aku tidak gila! Aku waras dan segar bugar”
“Nona tak ada harganya kau berbuat demikian” kembali Si Nio berseru dengan perasaan gelisah.
“Kenapa tak ada harganya?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
172
“Sebab bocah muda dari keluarga Hoa ini pada hakekatnya adalah seorang kongcu romantis
yang suka bermain perempuan…”
“Jangan kau hina dirinya dengan kata-kata yang tak senonoh!” hardik Si Leng-jin marah.
Si Nio agak tertegun, lalu serunya lagi, “Tapi ia memang menebarkan bibit cintanya kepada
siapapun, belum tentu dalam hatinya terdapat bayangan nona!”
Perkataan itu diucapkan dengan suara keras dan nyaring. Si Leng-jin segera kuatir kalau ucapan
itu menyadarkan Hoa In-liong dari tidurnya, ia berpaling sekejap kearahnya, ketika dilihatnya
Hoa In-liong masih tertidur pulas, hatinya baru merasa lega.
katanya kemudian, “Pergilah beristirahat, lebih baik persoalan ini tak usah dibicarakan lagi”
Si Nio tertegun dan berdiri melongo, tapi bagaimanapun juga dia adalah pelayan dari keluarga Si,
dengan mata kepala sendiri dia saksikan Si Leng-jin tumbuh jadi dewasa, karena itu diapun tahu
bahwa keputusan yang telah diambil selamanya tak dapat dirubah kembali.
“Semua ini timbul gara-gara karena lelaki hidung bangor itu, lebih baik kubunuh saja Hoa Inliong”
Berpikir sampai disitu, hawa nafsu membunuh segera memancar keluar dari sorot matanya,
tanpa sadar diapun berpaling dan melotot sekejap kearah sianak muda itu.
Si Leng-jin yang menyaksikan keadaan tersebut menjadi gelisah sekali, tiba-tiba dia berkata, “Bila
kau berani berbuat sesuatu yang tidak menguntungkan bagi Hoa kongcu, seketika itu juga aku
akan mati. Seluruh kulit wajah Si Nio yang menyeramkan itu mengejang keras, ia menggertak
gigi dan tidak menjawab.
Si Leng-jin segera berkata.
“Kau anggap aku cuma bermain-main saja?”
“Nona, apakah kau lupa dengan Joya-cu?” tiba tiba Nio menjerit keras.
Mendengar jeritan itu, Si Leng-jin merintih pelan, sepasang tangannya menekan dadanya keraskeras
seperti menahan rasa sakit yang luar biasa, kemudian hembuskan nafas panjang katanya
dengan sedih, “Kau boleh keluar lebih dulu, aku…..akan…..kupikirkan kembali….akan kupikirkan
lagi”
Si Nio amat sedih sekali hingga air matanya bercucuran, tapi ia pun tidak berbicara lagi dan
segera keluar dari ruangan itu.
Selama lima hari berikutnya Si Leng-jin tak pernah bergeser dari tempatnya semula, ia selalu
menjaga ditepi pembaringan, kalau lelah iapun tidur di bawah kaki Hoa In-liong, sekalipun anak
muda itu berulang kali mencegahnya tapi percuma saja, maka akhirnya diapun tidak banyak
bicara lagi.
Selama ini semua kebutuhan makanan dan minuman diurusi oleh Si Nio, untungnya Seng Tocu
telah menyiapkan bahan makanan yang cukup disitu, sehingga mereka tidak takut kekurangan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
173
Sepanjang hari Hoa In-liong selalu duduk bersila sambil mengatur pernapasan dengan harapan
bisa menyembuhkan luka yang dideritanya, sayang tiada perkembangan apapun, hanya secara
dipaksakan dapat mencegah keadaannya berubah menjadi makin buruk.
Hari itu ia merasa hawa murninya sudah betul-betul tak terhimpun lagi, bahkan urat-urat
pentingnya mulai tersumbat dan ia merasa amat mederita, dalam keadaan demikian pemuda
itupun berpikir, “Tampaknya keadaan lukaku tak bisa disembuhkan lagi dengan mengandalkan
kekuatan sendiri, yaa apa boleh buat, terpaksa aku harus mempergunakan obat Yau ti wan
tersebut untuk menolong diri”
Berpikir sampai disitu, dia lantas berpaling hendak minta botol berisi Yau ti wan itu dari Si Lengjin
akan tetapi ketika dilihatnya gadis itu sedang tidur dengan nyenyaknya, ia menjadi tak tega
untuk membangunkannya kembali.
Karena iseng, diam-diam ia amati wajah gadis itu dengan seksama ketika dilihatnya gadis itu
jauh lebih kurus dengan mata yang membengkak setelah kelelahan selama beberapa hari ini,
dengan perasaan terharu pikirnya, “Aaai……. selama beberapa hari ini ia terlalu payah dan
menderita……. kasihan betul…..”
Sementara ia masih melamun, tiba-tiba dilihatnya Si Leng-jin mengernyitkan alis matanya lalu
mengigau, “Ayah, cepat kemari…….. In liong, Jangan pergi……. tolonglah aku…..”
Hoa In-liong menjadi tertegun, pikirnya, “Ia mempunyai asal-usul yang amat mengenaskan, saat
ini penghidupannya amat sengsara dan penuh penderitaan…….. kalau dilihat dari igauannya yang
memanggil namaku, terbukti bahwa ia sangat mempercayaiku, bagaimana pun juga aku harus
membantu tenaga untuk melepaskan nya dari lautan kesengsaraan…..”
Dengan perasaan sayang diapun berbisik lembut, “Jangan kuatir aku tak akan pergi!”
Tiba tiba Si Leng-jin tersentak bangun dari tidurnya dan terduduk dengan termangu, kemudian
setelah berhasil menenangkan hatinya, ia baru bertanya dengan suara lirih, “Barusan apa yang
kau katakan?”
“Tempo hari karena ada persoalan pembicaraan kita terhenti ditengah jalan lalu selama beberapa
hari ini karena perhatianku tertuju untuk meyembuhkan luka, aku selalu tak sempat menanyakan
asal usulmu, mumpung sekarang ada waktu bersediakah kau memberitahukan soal ini
kepadaku?”
Si Leng-jin menghela napas panjang.
“Aaii…..soal ini lebih baik kita bicarakan lagi sesudah lukamu sembuh nanti”
Hoa In-liong manggut-manggut.
“Baiklah, apakah botol porselen yang kutitipkan kepadamu itu masih ada….?”
“Masih” sabut Si Leng-jin setelah tertegun sejenak, “mau apa kau?”
Dari sakunya ia mengeluarkan botol itu dan di serahkan kepada Hoa In-liong, kemudian katanya
lagi, “Sebenarnya sejak semula obat ini hendak kuberikan kepadamu, tapi berhubung Seng Tocu
ada disamping dan kaupun tak mampu berkutik maka niatku ini kemudian kubalalkan”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
174
Hoa In-liong tertawa hambar, “Kini apakah lukaku bisa disembuhkan atau tidak, terpaksa kita
harus menggantungkan pada kemujaraban obat ini”
“Obat mustika apakah itu? Bagaimana kemanjurannya?” tanya Si Leng-jin tercengang.
“Pil ini bernama Yau ti, dibuat oleh Bu seng (malaikat ilmu silat) pada tiga ratus tahun berselang”
“Malaikat ilmu silat?” tanya Si Leng-jin sambil membelalakan sepasang matanya lebar-lebar.
“Yaa, malaikat ilmu silat Im locianpwe yang namanya pernah tersohor dalam dunia persilatan
pada tiga ratus tahun berselang…..
…” sahut Hoa In-liong sambil tertawa.
“Kenapa aku tidak mengetahui tentang lo-cianpwe ini” tukas Si Leng-jin tiba-tiba,” padahal
persoalan sekitar keturunan malaikat ilmu silat tak ada yang lebih jelas dari pada keluargaku”
Mendengar ucapan tersebut, hati Hoa In-liong segera tergetak, pikirnya kemudian, “Aaaa, kalau
begitu dia pastilah keturunan dari Tin Hoo yang ada diluar perbatasan, kalau tidak kenapa ia
mengucapkan kata-kata ini?”
Jilid 9
Tiba-tiba terdengar Si Leng-jin berseru, “Kalau toh kau mempunyai obat mujarab ini kenapa tidak
kau makan sejak dulu dulu?” Hoa In-liong menghela napas panjang.
“Aaaai….. kau tidak tahu, obat ini sebenarnya hendak kugunakan untuk menolong kawanan jago
yang terkena racun ular putih dari Mokau, bila kugunakan sekarang, hal ini sesungguhnya karena
keadaan yang terlalu terpaksa”
“Sekalipun demikian, semestinya kau terangkan dulu kepadaku!” Si Leng-jin kembali menegur.
Hoa In-liong tertawa.
“Seandainya kuterangkan kepadamu, maka kau pasti akan memaksaku untuk minum pil itu,
padahal aku lebih suka mengobati luka itu dengan caraku sendiri dari pada membuang obat
mustika itu secara percuma”
Kejut dan girang Si Leng-jin setelah mengetahui bahwa pemuda itu bakal tertolong jiwanya, dia
hanya menggerutu karena pemuda itu tak mau bicara sejak semula, dikerlingnya sekejap dengan
cemas.
Kembali Hoa In-liong tersenyum katanya, “Dalam obat ini terkandung juga jin som berusia seribu
tahun, Hu-leng dan bahan obat lain…..
“Aku tahu obat ini adalah obat mustika yang dibuat Bu seng pada tiga ratus tahun berselang”
tukas Si Leng-jin cepat, “dengan obat mustika semacam ini, lukamu seratus persen pasti akan
sembuh”
Tiba-tiba suatu perasaan masgul muncul dalam hatinya, untuk sesaat ia merasa hubungannya
dengan Hoa In-liong menjadi terpaut jauh sekali.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
175
Sebagaimana diketahui Si Leng-jin adalah seorang gadis yang tinggi hati dan angkuh,
pemandang remeh soal hubungan cinta antara muda mudi, tapi perempuan semacam ini bila
sekali jatuh cinta maka ukurannya adalah mati dan hidup.
Sudah beberapa kali ia berjumpa dengan Hoa In-liong, berjumpa yang berulang membuatnya
jatuh hati oleh kegagahan serta kejantanan-nya itu, dengan lagi terlukanya Hoa In-liong kali ini
adalah gara-gara ulahnya, diam-diam ia telah bersumpah kehendak hatinya, maka ia melupakan
ketinggian hatinya dan tanpa ragu-ragu merawat si anak muda itu dengan penuh kesabaran,
dalam pembicaraan pun penuh perasaan cinta dalam pemikirannya asal Hoa In-liong sudah
meninggal maka diapun akan bunuh diri untuk menyusulnya.
Tapi dikala Hoa In-liong secara tiba- tiba bisa tak usah mati, meskipun ia merasa gembira tapi
sedikit banyak timbul juga perasaan bahwa pada akhirnya mereka bakal berpisah.
Sesungguhnya perasaan itu kan ia sendiri hampir saja tidak merasakannya.
Mendadak Si Leng-jin tersentak bangun dari lamunannya, dengan suara rendah ia berkata, “Biar
kuambilkan air untukmu, harap kongcu segera menelan obat itu sehingga kesehatanmu cepat
pulih kembali seperti sedia kala”
Selesai berkata, ia lantas bangkit dan menuju ke dapur.
ketika secara tiba-tiba mendengar gadis itu merubah panggilannya menjadi “Kongcu”, Hoa Inliong
agak tertegun, lalu pikirnya, “Kenapa secara tiba-tiba ia malah bersikap asing padaku?
Entah apa sebabnya?”
Sementara ia masin berpikir, Si Leng-jin sambil membawa air teh dan sebuah botol masuk ke
dalam ruangan, air teh ia letakkan di meja dan penutup botolpun dibuka, bau harum semerbak
segera tersiar ke seluruh ruangan membuat orang jadi segar rasanya.
Hoa In-liong segera menunjuk ke tepi pembaringan sambil berkata dengan serius, “Cepat atau
lambat menelan pil ini kasiatnya toh sama saja, lebih baik kau duduk dulu, aku ingin bercakapcakap
denganmu”
Mendengar ucapan tersebut dengan kaku Si Leng-jin duduk kembali ketepi pembaringan dan
menutup botol itu. Lama sekali suasana dalam keheningan, akhirnya Hoa In-liong bertanya
dengan suara lirih, “Apakah aku telah membuat kesalahan kepadamu?”
Si Leng-jin gelengkan kepalanya dan tidak berbicara.
“Kalau begitu kau merasa tidak puas kepadaku?” kata si anak muda itu lebih lanjut.
Si Leng-jin berdiam diri beberapa saat lamanya, kemudian menjawab dengan hambar, “Bagiku
kau adalah segala budi kebaikan, jika aku tidak puas lagi kepadamu, maka aku jauh lebih rendah
dari binatang”
“Kalau begitu aku menjadi tidak habis mengerti…..”seru Hoa In-liong dengan kening berkerut.
“Kau tidak perlu mengerti, tukas si nona.
Tiba-tiba ia letak-kan botol obat itu dimeja, keluar dari ruangan itu.
Ia merasa hatinya amat gundah dan masgul, kalau bisa ia ingin menangis sepuasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar