NERAKA HITAM
By Gu Long / Khu Lung
Translated by Tjan ID
Credit to: axd002, keisha aysel
Source: ecersildejavu.wordpress.com
Jilid 1
DALAM cerita yang berjudul Rahasia hiolo kumala, dikisahkan bahwa Hoa In-liong sedang
bercakap cakap dengan Si Leng jin membicarakan rahasia yang meliputi perkumpulan Hian-beng
kau, sebuah batu kecil disambit ke dalam jendela oleh seseorang.
Setelah dilakukan pengejaran yang amat ketat, akhirnya dapat diketahui bahwa orang itu adalah
seorang kakek berbaju hijau.
Dalam suatu perdebatan sengit yang kemudian berlangsung, Hoa In-liong bersikeras untuk
menantang kakek itu berduel.
Karena mendongkol dan jengkel setelah di desak terus menerus, akhirnya kakek berbaju hijau itu
berkata sambil tertawa keras. “Bocah cilik! Tampaknya sebelum kau di beri penjelasan yang
setimpal, kelatahanmu kini hari akan kian bertambah, baiklah! Akan kuterima tantanganmu itu.”
Sinar keemasan emas tampak berkilauan di udara, tahu-tahu di dalam pergelanggan tangan si
kakek berbaju hijau itu telah bertambah dengan dua buah gelang emas yang besarnya seperti
mangkuk dengan permukaan luarnya rata, sedang permukaan dalamnya bergerigi.
Gelang itu tidak mirip gelang baja Liong hau kang-huan, juga tidak mirip dengan gelang
pelindung tangan lu jiu huan, tapi yang jelas bentuk senjata tersebut merupakan suatu bentuk
senjata yang aneh dan istimewa sekali.
Diam-diam Hoa In-liong berpikir setelah menyaksikan bentuk aneh senjata musuhnya
“Bila dilihat dari bentuk senjata itu tam pak gerigi dibalik gelang khusus dipergunakan untuk
mengunci pedang musuh, Hmm… cuma kalau kau anggap ilmu pedang keluarga Hoa kami dapat
diatasi dengan cara semacam itu, maka keliru besarlah penghitunganmu itu…..”
Terdengar si kakek berjubah hijau berkata lagi, “Jurus seranganku dalam mempergunakan
senjata Jit gwat siang huan (sepasang gelang mata hari dan rembulan) ku ini mempunyai
keistimewaan yang berbeda jauh dengan ke adaan pada umumnya kau musti lebih berhatihati……”
“Tak usah kuatir, cuma akupun berharap agar kau lebih waspada pula sewaktu menghadapi
ancaman pedangku.”
Sekalipun nafsu membunuhnya sudah jauh berkurang anak muda itu masih tidak sudi untuk
melepaskan si kakek musuhnya dengan begitu saja, maka setelah berpikir sebentar, tubuhnya
segera menubruk ke muka, pedang antiknya langsung membabat ke pinggang lawan.
Jangan dianggap serangan itu amat sederhana dan biasa, hakekatnya dibalik kesederhanaan
tersebut justru tersimpan suatu da ya kekuatan yang amat dahsyat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
2
Kakek berbaju hijau itu terperanjat, pikirnya, “Hebat betul tenaga dalam yang dimiliki orang ini,
tak malu kalau menjadi putranya Thian cu kiam.”
Sementara otaknya berputar, dengan cekatan ia berkelit ke samping.
“Huuh…..semula kuanggap ilmu silatmu sudah lihay benar, tak tahunya cuma manusia yang
pandai berkelit” ejek Hoa In-liong kemudian sambil tertawa.
Betapa gusarnya kakek berbaju hijau itu mendengar ejekan tersebut, diam-diam ia menyumpah,
“Sialan betul kau si bocah latah, tampaknya aku harus memberi pelajaran yang setimpal
kepadamu.”
Dalam hati ia berpikir demikian, diluar katanya, “Bagus sekali! Bukankah kau akan menjadi
pemimpin umat persilatan? Ketahuilah jago-jago dalam Hian-beng-kau yang lebih li hay dari
diriku banyaknya tak terhitung, jika tak mampu menangkan aku lebih baik enyah dari sini dan
pulang saja ke perkampungan Liok-soat sanceng.”
Sambil berkata sinar emas berkilauan diangkasa, bagaikan sebuah bukit emas, kedua buah
senjata itu langsung menghantam ke atas batok kepala si anak muda itu.
Terkejut juga Hoa In-liong menghadapi keganasan serangan itu, tapi bukan berarti dia takut,
pedangnya segera diputar untuk menyongsong datangnya ancaman tersebut.
“Traang……! Traang….!” benturan-benturan nyaring menggelegar di udara menyebabkan
percikan bunga api, secara beruntun Hoa In-liong mundur tiga langkah ke belakang, tangan
kirinya menjadi kaku dan kesemutan, ini semua membuat hatinya tergetar.
Ketika ia coba menengadah, tampaklah kakek berjubah hijau itu sudah mundur beberapa tombak
dengan wajah terkejut pula, dia lantas berpikir, “Hmm……rupanya diapun tidak berhasil
mendapatkan apa-apa……
Sementara itu si kakek berjubah hijau ini sudah membentak nyaring dengan perasaan terkejut.
Beradunya gelang emas menimbulkan suara tajam yang memekikkan telinga, tiba-tiba maju lagi
melancarkan tubrukan, dengan sepasang gelang emasnya yang satu digunakan untuk
menyerang jalan darah Pen-hwe-hia sementara yang lain dipakai untuk menyerang lambung.
Hoa In-liong tetap tegak sekokoh batu karang, “Sreet…..!” secepat kilat dia tusuk dada musuh.
Kehebatan dari serangan ini justru terletak pada soal “kecepatan” sekalipun menyerang
belakangan tapi tiba duluan sebelum ancaman dari kakek berjubah hijau itu mencapai
sasarannya, pedang itu sudah tiba lebih dulu di depan dadanya.
Sungguh amat terperanjat kakek berjubah hijau itu pikirnya.
“Tak kusangka kalau ilmu pedang dari bocah ini sudah mencapai taraf setinggi ini.”
Cepat dia tarik kembali serangannya dan bergeser ke sebelah kiri Hoa In-liong.
In-liong bergerak mengikuti arah pedang, sambil memantek gerak maju kakek itu dengan
pedangnya kembali, ia berpikir, “Meskipun kemunculan kakek ini tidak mengandung maksudmaksud
tertentu, tapi belum pernah kudengar kalau diantara rekan sealiran terdapat seorang
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
3
jago yang menggunakan Jit-gwat-siang-huan sebagai senjatanya, daripada kehujanan lebih baik
aku sedia payung sebelum hujan. Bila fajar telah menyingsing dan Limpek Ngo serta saudara
Cong gi sekalian mengetahui aku telah hilang, pencarian secara besar besaran pasti akan
dilakukan, aku musti menyelesaikan pertarungan ini secepat cepatnya.”
Sesudah mengambil keputusan, ia membentak keras lalu…….
“Sreet…..! sreet,…!” secara beruntun dia lancarkan dua buah serangan berantai yang amat
dahsyat.
Kakek berjubah hijau itu memberi perlawanan yang gigih, sambil bertarung ia berpikir, “Bila
dilihat dari sikapnya itu, jelas ia telah menganggapku sebagai musuh besar, perlu tidak
kujelaskan asal usulku yang sebenarnya?”
Karena sangsi, posisinya segera didesak oleh Hoa In-liong sehingga kalang kabut.
Terdengar Hoa In-liong tertawa nyaring, secara beruntun ia lancarkan belasan buah serangan
berantai, serangan itu amat dahsyat bagaikan gulungan air sungai yang susul menyusul.
Tenaga dalam yang di miliki kakek berjubah hijau ini cukup sempurna, terutama permainan
sepasang gelang emasnya cukup menggetarkan sungai telaga, meski demikian untuk sesaat ia
kerepotan juga untuk menangkis semua serangan yang tertuju ke arahnya, dalam keadaan
begini tak mungkin lagi baginya untuk memecahkan perhatian soal lain kecuali pusatkan segenap
kemampuannya untuk melawan musuh. Keadaan si kakek berjubah hijau ibaratnya orang yang
terjerumus dalam kubangan lumpur, gerak kaki dan tangannya menjadi terbatas dan tak dapat
berbuat leluasa.
Beberapa kali dia mencoba untuk memperbaiki posisinya, tapi setiap kali selalu terdesak kembali
ke tempatnya semula.
Sebagai orang yang beradat tinggi, ia lebih-lebih segan untuk memberitahukan asal usulnya yang
sesungguhnya setelah menghadapi keadaan semacam ini.
Akhirnya setelah pikir punya pikir dia putuskan untuk menyerempet bahaya dengan membuka
sebuah titik kelemahan dalam pertahanannya………
Untuk pertarungan antar jago-jago lihay, suatu tindakan yang kurang berhati hati dapat
mengakibatkan keadaan yang lebih fatal, hakekatnya perbuatan dari kakek berjubah hijau itu tak
lain hanya menuruti emosi, padahal manfaat yang sesungguhnya kurang bisa dipertanggung
jawabkan.
Tujuan Hoa In-liong dalam melakukan serangan itu tak lain adalah berusaha mengalahkan
musuhnya, serta-merta dia keluarkan jurus
untuk menerobos ke dalam.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, “Andaikan kulakukan serangan dengan jurus ini
kalau bukan mampus paling sedikit dia bakal terluka.
Pemuda itu menjadi sangsi untuk melanjutkan serangannya, tanpa sadar gerak seranganpun ikut
terhenti di tengah jalan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
4
Justru keadaan inilah yang sedang ditunggu tunggu kakek berjubah hijau itu, sambil tertawa
nyaring gelang emasnya disodok ke depan dan menyerang secara bertubi-tubi, seketika itu juga
Hoa In-liong kehilangan posisi baiknya.
Dibawah timpaan sinar sang surya, terlihat sekilas cahaya hijau bergerak kian kemari di tengah
gulungan cahaya emas, sinar itu tajam menyilaukan sementara deruan angin tajam dari sapuan
gelang emas dan bacokan pedang antik sangat memekikkan telinga.
Terkesiap juga Hoa In-liong menghadapi keadaan tersebut, pikirnya, “Tidak salah kalau orang
mengatakan bahwa orang pintar di dunia ini lebih banyak dari pada ikan mujair di sungai, kakek
ini belum pernah ku kenal namanya, tapi kepanduan yang dimilikinya sangat luar biasa.”
Tiba-tiba kedengaran kakek berjubah hijau itu menegur dengan suara dalam, “Hoa Yang, masih
belum mau menyerah?”
“Huuuh … terlampau pagi perkataanmu itu!” jengek sang pemuda ketus.
“Traaang…….!” dalam pembicaraan tersebut pedang dan gelang emas saling membentur dengan
nyaringnya, apalagi dalam senjata masing-masing disertai juga dengan tenaga yang tangguh,
kontan saja kedua belah pihak sama-sama merasakan tangannya kesemutan.
Akibatnya pedang dalam genggaman Hoa In-liong tersampok ke samping hingga pertahanan
bagian mukanya terbuka, sebaliknya gelang di tangan kakek berjubah hijau itu kena dipukul pula
sampai mencelat.
Cahaya emas membumbung tinggi ke angkasa, kemudian sekilas pandangan lenyap tak
berbekas.
Kakek berjubah hijau itu tak sempat untuk mencari kembali gelang emasnya, sambil tertawa
terbahak-bahak, gelang emas di tangan kanannya ditancapkan ke depan menghantam lengan kiri
pemuda itu.
Serangan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, Hoa In-liong sadar bahwa
tak mungkin bisa menghindarkan diri lagi.
Maka tanpa menghindar ataupun berkelit, pedang antiknya bergerak dari kiri menuju ke kanan
langsung menusuk ke pinggang kakek berjubah hijau itu dengan jurus Liong cian yu ya (Naga
bertarung di tempat alas).
Tidak menunggu gelang emasnya menempel di ujung baju pemuda itu, si kakek berjubah hijau
menarik kembali serangannya, keberhasilan ini boleh dianggap sebagai suatu kemenangan kecil
baginya.
Meskipun begini, serangan musuh telah mencapai pula dihadapannya, kakek itu segera sadar bila
ia tidak menarik diri, niscaya akan terjadi pertarungan adu jiwa, maka dalam keadaan apa boleh
buat dia menarik kembali serangannya dan mundur dua kaki dari tengah arena.
Terdengar Hoa In-liong membentak keras, bagaikan bayangan ia menyusul dari belakang dengan
ketat pedangnya mendadak ditusuk ke muka, begitu menempel pakaian, senjatanya ditarik
kembali pula dan dimasukkan ke dalam sarung.
“Maaf bila boanpwe bertindak lancang!” katanya kemudian sambil memberi hormat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
5
Dengan geram kakek berjubah hijau itu berkata, “Bocah nakal, bila serangan gelangku tadi
dilanjutkan dengan gerakan yang sesungguhnya, sekarang kemungkinan besar kau sudah
merintih di atas tanah…….”
Hoa In-liong tertawa.
“Buanpwe telah menduga kalau cianpwe adalah seorang angkatan tua yang terhormat, tentu
saja serangan itu tak akan dilanjutkan untuk merobohkan aku.”
Kakek berjubah hijau itu tertegun “Kalau hendak mungkir?” serunya.
Kembali Hoa In-liong tersenyum. “Apalagi aku tahu kedatangan cianpwe hanya ingin mencoba
kepandaian silat serta kecerdasan boanpwe dalam menghadapi musuh tangguh, bila aku yang
muda terlalu bertindak ceroboh dan begitu saja, bukankah tindakanku ini justru malah akan
membuat cianpwe tidak senang hati?”
“Sungguh pintar bocah ini!” pikir kakek berbaju hijau itu.
Sekalipun dalam hatinya memuji, diluar katanya dengan ketus, “Sebagai seorang pemuda yang
diutamakan adalah kejujuran aku lihat bukan saja kau binal dan banyak tipu muslihatnya, jadi
orang tak bisa dipercaya, manusia semacam kau mana bisa diberi pertanggungjawaban untuk
memikul beban berat?
Sekarang Hoa In-liong semakin yakin kalau kakek berbaju hijau itu adalah seorang angkatan
tuanya, cepat ia berkata, “Nasehat dari kau orang tua akan boanpwe camkan dengan sebaik
baiknya, terima kasih banyak atas kematian cianpwe!”
Sambil berkata, ia benar-benar menjatuhkan diri berlutut.
Dengan cekatan kakek berbaju hijau itu berkelit ke samping.
“Aku pun tak berani menerima hormatmu!” katanya.
“Locianpwe, boleh aku tahu siapa namamu……?”
Hoa In-liong bertanya dengan wajah serius.
“Kau masih ingin menyayat kulit wajahku?” tukas si kakek berjubah hijau itu cepat.
Hoa In-liong segera tertawa hambar.
“Aaah, tidak, aku yang muda kuatir kehilangan hormat!”
“Hmmm……semenjak tadi kau sudah kehilangan hormat” kakek itu mendengus dingin.
“Tiba-tiba ucapannya terhenti dan sorot matanya dialihkan ke dalam hutan lebat di sebelah
kanan sana.
“Yang datang sahabat sendiri,” bisik Hoa In-liong.
Kakek itu tertawa dingin.
“Kaum wanita?” ia mengejek.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
6
Hoa In-liong mengangguk.
“Sungguh amat sempurna tenaga dalam locianpwe masih sejauh itu pun sudah kau tangkap
suara mereka!”
Paras muka kakek itu mendadak berubah membesi, katanya lagi, “Bagus sekali, dimana-mana
sudah ada teman, mmmm…hmmm…..aku tidak percaya kalau kau adalah putranya Thian-cukian.”
Hoa In-liong merasakan hatinya bergetar keras tapi dengan cepat ia tertawa.
“Locianpwe……”
Tiba-tiba kakek berbaju hijau itu menggerakkan tubuhnya menerjang kemuka, setelah
memungut kembali gelang emasnya yang mencuat, tanpa berhenti dia melanjutkan
perjalanannya menuju ke timur.
“Ehh….. locianpwe, kau hendak kemana?” Hoa In-liong segera berteriak keras.
“Aku hendak berkunjung ke perkampungan Liok-soat sanceng,” jawab kakek berbaju hijau itu
dari tempat kejauhan, “akan kusuruh ayahmu menyiapkan kayu yang paling besar untuk
menghajar pantatmu!”
Berbareng dengan selesainya ucapan tadi, kakak itupun lenyap tak berbekas dari pandangan
mata, Hoa In-liong lantas berpikir, “Kalau dikatakan mau ke rumahku, seharusnya dia berangkat
ke arah barat……ah, sudah pasti ucapan itu cuma gertak sambal belaka……”
Tiba-tiba seseorang menyapa dengan suara yang merdu, “Hoa Kongcu!”
Hoa In-liong segera memutar tubuhnya, dari balik hutan sebelah kiri pelan-pelan muncul tiga
orang gadis muda yang cantik jelita, sebagai pemimpinnya tak lain adalah murid kedua dari Pui
Chi giok yang bernama Cia Sau-yan.
Sejak semula ia sudah mengetahui akan kedatangan ketiga orang itu, maka pemuda itu tidak
nampak kaget ataupun tercengang, hanya katanya dengan hambar, “Apakah gurumu dan Ku
locianpwe juga ikut datang?”
Cia Sau-yan tertawa cekikikan.
“Wah……..tampak tampaknya Hoa kongcu tidak pandang sebelah mata kepada kami? Masa
melihat kedatangan kami, menyapapun tidak?”
Ucapan tersebut sungguh membuat Hoa In-liong tertawa tak bisa menangis pun sungkan,
terpaksa ia memberi hormat.
“Aaah…..aku memang kehilangan adat, apakah nona-nona sekalian sehat semua?”
Dengan wajah yang serius Cia Sau-yan bertiga membalas hormat, kemudian sambil tertawa
cekikikan mereka ikut bertanya, “Apakah Hoa kongcu juga baik baik?”
“Aaa…….budak budak ini semuanya binal dan nakal, terlalu membuang waktu untuk bertanya
secara langsung kepada mereka…. …” pikir Hoa In-liong dihati kecilnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
7
Karena berpendapat demikian, sambil tersenyum dia pun bertanya, “Berapa orang dari
perkumpulan kalian yang telah datang?”
Cia Sau-yan tertawa cekikikan.
“Coba kau terka!”
Dengan sorot mata yang tajan Hoa In-liong memperhatikan sekejap beberapa orang gadis itu,
lalu sambil tertawa katanya, “Aku terka cuma ada dua orang yang kabur di luar pergerakan
orang……. betul bukan?”
“Ngaco belo! Semuanya telah datang……” seru Cia San yan dengan wajah cemberut.
“Semua telah datang?” Hoa In-liong membelalakkan matanya lebar lebar.
“Bukan begitu……bukan begitu maksudku, yang ku aturkan adalah semua kekuatan inti dari
perkumpulan kami telah berkumpul semua di kota Si ciu.”
“Cia Yu cong bukan orang mampus, masa gerombolan orang-orang yang begini menyolok mata
tidak diketahui olehnya?” gumam Hoa In-liong kemudian.
Tiba-tiba si nona berbaju kuning itu tertawa cekikikan.
“Hoa kongcu, kau jangan percaya dengan obrolan ji suci kami, sekalipun segenap kekuatan inti
dari perkumpulan kami telah berangkat ke utara, namun baru kami berdua yang tiba paling dulu
di kota Si-ciu ini.”
Cia Sau-yan kontan saja mengerutkan alis matanya, lalu sambil berpaling makinya, “Budak
sialan, besar amat nyalimu, begitu berani bermusuhan denganku?”
Hoa In-liong mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…..haaahhh…..haaahhh…….” kalau begitu, aku mohon diri lebih dahulu,” katanya sambil
menjura.
“Hoa kongcu! Harap tunggu sebentar……” tiba-tiba nona berbaju merah itu berseru.
Terpaksa Hoa In-liong menghentikan langkahnya,
“Apakah nona masih ada petunjuk lain?” tegurnya sambil tertawa.
“Hoa kongcu, kau begitu terburu-buru hendak pergi meninggalkan tempat ini apakah tidak sudi
menggubris diri kami lagi?” omel nona berbaju merah itu manja.
Hoa In-liong tertawa getir.
“Aaaah…. siapa bilang begitu? Aku toh tak pernah memandang rendah siapa pun juga!” katanya.
“Hoa kongcu, sekalipun kau berkata demikian, tapi kami rasa tentunya kongcu belum tahu bukan
siapa nama kami……..”
Hoa In-liong tertawa merdu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
8
“Daya ingatku memang sangat jelek dan memalukan sekali, seringkali apa yang telah kualami
akan terlupakan kembali dengan begitu saja.”
“Nah, betul bukan perkataanku?” langsung saja si nona berbaju merah itu berseru sambil
tertawa.
“Tapi hanya nama nama bunga kenamaan di dunia ini yang tak pernah kulupakan,” lanjut Hoa
In-liong dengan cepat, “seperti bunga anggrek, bunga botan, bunga sedap malam……semua
nama-nama itu, asal sudah masuk ketelingaku maka selama hidup jangan harap bisa terlupakan
lagi.”
Tiba-tiba nona berbaju kuning itu tertawa cekikikan.
“Kalau didengar dari ucapanmu itu, tampak-tampaknya kau seperti tahu dengan pasti, coba
katakan, siapa namaku?”
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, “Haahaehh…….haaahh…..haaahh,…..tak bisa diragukan
lagi kalau nona semua sama-sama memakai nama marga Cia.”
Sambil menunjuk ke arah nona berbaju kuning itu serunya, “Nona mempunyai sebuah nama
yang tunggal di belakang huruf Cin yakni Wan jadi lengkapnya nama Cin Wan!”
Kemudian Sambil menuding si nona berbaju merah tambahnya, “Sedang nona ini bernama Cin
Lam-yan, tidak salah bukan?”
Tiga orang nona itu segera tertawa cekikikan dengan gembiranya, Hoa In-liong ikut tertawa pula.
Selang sesaat kemudian, Cia Sau-yan baru berkata, “Sumoay berdua jangan bergurau, kita harus
menyelesaikan dulu masalah yang sesungguhnya.”
Tertawa geli Hoa In-liong mendengar perkataan itu, pikirnya, “Huuuhhh…tak disangka kalau
kalian juga tahu kalau urusan penting harus didahulukan. Hmm bergurau dulu dengan kalian
baru membicarakan masalah yang sesungguhnya. Perbuatan ini pada hakikatnya tak tahu
membedakan mana yang benar dan mana yang enteng….
Sementara itu Cia Sau-yan telah berkata, “Hoa kongcu, tahukah kau, apa sebabnya kekuatan inti
dari perkumpulan kami berangkat semua ke utara?”
“Apa lagi yang muski ditanyakan?” pikir Hoa In-liong, “bibi Ku mempunyai hubungan
persahabatan yang erat sekali dengan keluarga Hoa kami, sudah barang tentu kedatangannya
adalah untuk membantu diriku.”
Tentu saja apa yang dipikirkan tak sampai diutarakan keluar, katanya sambil tertawa, “Rencana
bagus dari perkumpulan kalian tentu diatur secara cermat dan rajin, dari mana kau bisa tahu?”
“Hmm…….akupun sudah tahu, bila kau sanggup untuk menebaknya kata Cia Sau-yan sambil
tertawa merdu.
Setelah berhenti sebentar terusnya, “Ketika guruku mendapat kabar bahwa kau sedang
mencatut nama ayah mu untuk berbuat onar di kota Si cin……
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
9
“Eeehh…..aku bukan lagi menerbitkan keonaran, aku sedang melaksanakan tugas yang
sungguh-sungguh amat serius” tukas Hoa In-liong sambil tertawa lebar.
Cia Sau-yan mencibirkan bibirnya dan ikut tertawa.
“Guru pun segera mengumpulkan kami semua sambil berkata, ,Bocah keparat yang binal dan
nakal itu sedang menerbitkan kekacauan dalam masyarakat, coba menurut pendapat kalian apa
yang musti kita lakukan?’ Maka akupun menjawab, ‘Apa sukarnya? Biar dia mau mampus atau
mau hidup, apa sangkut pautnya dengan kita?’”
“Ohooh…..betapa kejinya hati nona!” pekik Hoa In-liong sambil tertawa lebar.
Cia Wan atau si nona berbaju kuning itu tertawa cekikikan.
“Jangan keburu mendamprat dulu, ada yang lebih keji lagi!” serunya.
“Siapakah dia?” tanya Hoa In-liong melebar sepasang matanya dan tertawa.
“Siapa lagi? Tentu saja aku!”
“Bagaimana pula dengan kau?”
Cia Sau-yan ikut tertawa cekikikan, katanya pula, “Kau tanya tentang dia? Dia berkata begini
caranya terlalu keenakan dia, kalau dia memang ingin memancing terjadinya badai pertarungan
dalam dunia persilatan, lebih baik kita bantu dia untuk menuntun keluar semua gembong
gembong iblis yang ada di empat penjuru dunia, agar dia membereskan mereka satu per satu
dan mengangkat dirinya menjadi tersohor”
“Suatu ide yang sangat bagus!” seru Hoa In-liong sambil tertawa, “cuma kuatirnya, sekalipup
nama besar bisa didapat, apa mau dibilang umurnya malah pendek”
“Huuuh………malah mengucapkan kata-kata yang bernada tak baik,” omel Cia Sau-yan.
Tiba-tiba wajahnya berubah amat serius, katanya lebih jauh, “Meskipun perkataan dari ji sumoay
bernada gurauan, tapi memang demikianlah kenyataannya Hoa kongcu, suhuku benar-benar
mengandung maksud untuk membantumu.”
“Apakah tidak kalian pikirkan, sanggupkah kau untuk menerima semua percobaan ini?” kata Hoa
In-liong dengan dahi berkerut.
“Hoa kongcu toh bakal mendapat bantuan dari banyak orang, apa lagi yang musti dirisaukan?
Bukankah di kota Si ciu sudah berkumpul sangat banyak kawan sealiran yaug siap
membantumu?”
“Sekalipun kawan sealiran yang berkumpul disini tak sedikit jumlahnya tapi sebagian besar
merupakan mereka-mereka yang berilmu silat amat rendah”
Setelah berhenti sebentar katanya lagi sambil tertawa, “Mungkin saja sobat sobat karib ayahku
menganggap aku terlampau tak becus sehingga enggan untuk memberikan bantuannya.”
Cia Sau-yan tertawa cekikikan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
10
“Ilmu silat yang kami miliki juga termasuk golongan kaum lemah, mungkin kurang mendapat
sambutan dihati Hoa kongcu?”
“Aaaa…..siapa bilang, aku akan menyambut kalian dengan senang hati….” sahut Hoa In-liong
dengan wajah berseri, “boleh aku tahu saat ini nona sekalian tinggal di mana?”
Tiba-tiba Cia Lam yan menimbrung sambil tertawa, “Pokoknya dari tempat kami menginap masih
sempat menyaksikan kasak-kusuk antara Hoa kongcu dengan si nona berbaju hitam itu.”
Mendengar jawaban tersebut Hoa In-liong tertegun, segera pikirnya, “Bicara menurut tenaga
dalam yang mereka miliki tak mungkin aku tak merasakan jejak mereka bila mendekati diriku
……”
Anak muda itu lantas termenung dan berpikir sejenak, akhirnya ia menduga bahwa gadis-gadis
tersebut tentunya menginap dimuka rumah penginapan Oug-keh, mungkin karena ia terlampau
teledor waktu itu sehingga lupa untuk memperhatikan keadaan disana.
Dengan sepasang biji matanya yang jeli dan penuh dengan daya pikat itu Cia Sau-yan
mengawasi Hoa In-liong beberapa saat lamanya, kemudian sambil ketawa genit ia berkata, “Hoa
kongcu, aku pengen tahu tempo hari apa yang kau lakukan di dalam kamar gelap bersama gadis
itu?”
“Sungguh besar nyali budak ini,” batin Hoa In-liong, sampai-sampai perkataan semacam inipun
berani dikatakan.
Ia lantas tersenyum dan menjawab, “Dalam kamar aku memegang sebuah lentera, masa nona
tidak melihatnya…?”
Tapi itu kan terjadi setelah kamar berada dalam keadaan gelap cukup lamaa kata Cia Sau-yan
sam-bil tertawa,
Hoa In-liong tidak berminat berdebat terus dengan mereka, maka ujarnya kemudian, “Aku
hendak pulang ke rumah penginapan, soal ini kita bicarakan nanti bila aku berkunjung ke
penginapan kalian, setuju?”
“Kitapun mau pulang ke kota, bagaimana kalau kita jalan bersama? Hoa kongcu tentunya tidak
keberatan bukan?” pinta Cia Wan sambil tertawa lebar.
“Haaahh.. .haaahh…..haaahh….” Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, “aku paling suka kalau
ditemani cewek cewek cantik, kenapa muski keberatan?”
Begituah, merekapun pulang berempat ke kota secara bersama-sama.
Dalam perjalanan pulang, Hoa In-liong menggunakan ilmu meringankan tubuhnya sebesar tiga
empat bagian, rupanya itupun su dah cukup membuat Cia Sau-yan bertiga kepayahan, makin
lama mereka tertinggal makin jauh.
Akhirnya Cia Wan tidak tahan, ia berteriak dengan suara lantang, “Hei, kalau kau kabur terus
macam dikejar anjing gila, jangan salahkan kalau aku mulai mencaci maki.”
Sesudah didamprat, Hoa In-liong baru berpaling, sekarang ia baru tahu kalau ketiga orang nona
itu sudah ketinggalan sejauh tujuh delapan tombak lebih, terpaksa dia memperlambat larinya
sedemikian rupa sehingga tiga orang itu berhasil menyusulnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
11
Dengan susah payah perjalanan dilanjutkan.
Akhirnya kota Si-ciu muncul di depan mata, serentak mereka memperlambat larinya dan masuk
kota lewat pintu utara.
Tiga orang nona cantik melakukan perjalanan bersama-sama seorang pemuda ganteng, inilah
suatu pemandangan yang sangat menyolok, apalagi yang pria begitu ganteng dan gagah, sedang
yang perempuan bak bidadari dari kahyangan, siapakah yang tidak melayangkan pandangan ke
arah mereka?
Suasana dalam kota ketika itu ramai banyak orang yang berlalu lalang disitu, mereka berjalan
sambil berdesak desak, akan tetapi dikala ke empat orang muda itu munculkan diri, serentak
semua orang menyingkir ke samping memberi jalan, tentu saja hal ini disebabkan karena Hoa Inliong
sudah menjadi orang yang termashur dalam kota Si- ciu.
Tiba di depan penginapan yang memakai merek “Ong keh” Cia Sau-yan menyapu sekejap
sekeliling tempat itu dengan sepasang biji matanya yang jeli, kemudian katanya sambil tertawa,
“Waaah……..bisa melakukan perjalanan bersama-sama Hoa-ya, nilai dari siau-li sekalian benarbenar
mengalami kenaikan beratus-ratus kali lipat……….”
Hoa In Hong melirik sekejap gedung bangunan itu, ia lihat pepohonan yang rimbun tumbuh di
sekeliling bangunan, suatu tempat penginapan yang tenang dan segar.
Dia lantas berpaling, lalu katanya sambil tertawa, “Benar-benar tenang dan nyaman tempat
tinggal kalian, aku jadi kepingin untuk pindah pula kemari!”
“Silahkan!” seru Cia Lam-yan, “suatu kejutan bila Hoa-ya sudi pindah kemari.”
Hoa In-liong tersenyum.
“Hanya kalian bertigakah dari perkumpulan kalian yang datang kemari?” tiba-tiba ia bertanya.
Cia Sau-yan tahu bahwa pemuda itu menguatirkan kekuatan mereka yang terlalu minin, maka
cepat katanya, “Kau tak usah kuatir, sebelum pihak Hian-beng-kau, Kiu im kau dan Mo kau
membereskan dirimu, aku rasa tak mungkin mereka sudi mengganggu kami manusia-manusia
kecil yang tak ada artinya.”
Hoa In-liong segera berpikir sesudah mendengar perkataan itu, “Bila didengar dari nada
ucapannya, seakan-akan keluarga Hoa kena dirobohkan, niscaya dari pihak golongan lurus tak
ada manusia lain yang bisa diandalkan lagi.
Sementara dia masih termenung, sambil tertawa, Cia Wan telah berkata lagi, “Agaknya dari pihak
perkumpulan kami tiada jago-jago tangguh yang bisa diandalkan, rata-rata kepandaian silat
mereka cetek dan tak becus seperti juga kami-kami ini.”
Hoa In-liong tidak bicara lagi, sambil tertawa dia memberi hormat dan berlalu. Baru beberapa
langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara langkah berkumandang dari arah belakang, ketika
ia berpaling maka tampaklah Cia Sau-yan sedang menyusul dirinya.
“Hoa Kongcu!” terdengar nona itu berseru.
“Ada urusan apa nona yan?” Hoa In-liong berpaling sambil bertanya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
12
Cia Sau-yan menggetarkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian
diurungkan.
Tindak tanduknya yang sangat aneh ini sangat mencengangkan Hoa In-liong, pikirnya kemudian,
“Mungkinkah mereka masih ada persoalan yang sulit untuk diutarakan keluar?”
Sementara itu Cia Sau-yan beberapa saat kemudian dengan wajah serius katanya, “Hoa kongcu
toa Suci kami titip pesan dan menyuruh aku untuk menyampaikan kepadamu.”
“Oooya? Apa pesannya?” “tanya pemuda itu sambil tersenyum.
Ketika ia mendongakkan kepalanya, kebetulan pemuda itu lihat seorang laki-laki setengah umur
sedang menyembunyikan diri ke belakang kerumunan orang banyak dengan sikap yang
mencurigakan.
Hoa In-liong mempunyai daya ingatan yang cukup baik hanya sebentar ia merenung, segera
teringat olehnya bahwa orang itu mirip sekali seperti dengan salah seorang anggota Hian-bengkau…..
Kontan saja ia bergerak cepat dengan menerjang ke arahnya lalu sekali tangannya berkelebat
tahu-tahu bahu laki-laki setengah umur itu sudah kena cengkeram olehnya.
Laki-laki setengah umur itu hanya merasakan pandangan matanya menjadi kabur, tahu-tahu
tubuhnya sudah kena tangkap.
Dalam kejut dan takutnya, ia meronta dengan sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari
cengkeraman orang………..
Sayang, kemampuan Hoa In-liong dalam mencengkeram bahunya memiliki kelebihan dari
siapapun, semakin keras ia meronta, semakin kencang cengkeraman tersebut, ia merasa
bahunya seperti dicengkeram dengan jepitan besi yang amat kuat, sakitnya sampai merasuk ke
tulang sumsum.
“Hayo jawab!” bentak Hoa In-liong kemudian, “siapa saja dari perkumpulan kalian yang telah
datang?”
Peluh sebesar kacang kedelai sudah membasahi seluruh jidat laki-laki setengah umur itu, saking
kesakitannya ia cuma bisa menggertak gigi menahan diri, tentu saja sepatah katapun tak mampu
diucapkan.
Terpaksa Hoa In-liong melepaskan cengkeramannya, lalu berkata lagi, “Hayo bicara dulu, kau
pasti akan kulepas!”
Laki-laki setengah umur itu tetap membungkam diam seribu bahasa, mendadak telapak
tangannya disodok ke depan menghantam dada Hoa In-liong………..
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dengan cekatan ia cengkeram urat nadi pada pergetangan
tangan laki-laki itu, kemudian sambil menggencetnya keras-keras, ia membentak, “Hayo cepat
jawab!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
13
Mungkin saking kerasnya tenaga gencetan tersebut, laki-laki setengah umur itu tak kuat
menahan diri, aliran darahnya menjadi tersumbat dan ia menjerit melengking karena kesakitan,
tak ampun pingsanlah orang itu,…….
“Tak kusangka kalau orang ini macam gentong nasi, tak ada gunanya!” keluh Hoa In-liong sambil
menggelengkan kepalanya berulang kali.
Terpaksa ia melepaskan cengkeramannya, kemudian sambil menyapu sekejap sekeliling tempat
itu, katanya pula, “Masih adakah sahabat-sahabat dari Hian-beng-kau yang berada di sekitar
tempat ini? Silahkan menggotong pergi sobat ini, aku menjamin tak akan membikin susah”
Tapi orang-orang yang berada di sekitarnya cuma saling berpandang pandangan, tak seorang
manusiapun yang tampilkan diri, dan tak ada pula yang pergi meninggalkan tempatnya, rupanya
mereka kuatir kalau dicurigai sebagai anggota Hian-beng-kau.
Tunggu punya tunggu tak seorangpun yang munculkan diri, akhirnya Hoa In-liong mengejek
dengan sinis, “Huuuh……..tak kusangka kalau anggota Hian-beng-kau adalah manusia-manusia
yang tak punya kesetiaan kawan…..”
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, “Baiklah aku orang she Hoa menjamin tak akan mengirim
orang untuk melakukan pengejaran, tentunya sudah berani bukan untuk tampilkan diri…….?”
Setelah mendapat jaminan, maka muncullah seorang laki-laki dari kerumunan orang banyak,
tanpa mengucapkan sepatah katapun ia membungkukkan badan membopong laki-laki setengah
umur yang pingsan itu kemudian siap meninggalkan tempat itu.
“Tunggu sebentar! tiba-tiba Hoa In-liong membentak.
Dengan perasaan tercekat laki- laki itu menghentikan langkahnya, kemudian memutar badan dan
memandang ke arah Hoa In-liong dengan sinar mata terperanjat.
“Beritahu kepada majikan kalian,” demikian Hoa In-liong berkata dengan suara dalam. “lebih baik
lain kali jangan mengirim orang yang begini tak becus untuk memata-mataiku, bukan saja bikin
malu, akupun ikut merasa malu baginya.”
Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, gayanya amat sok dan seakan akan sedang memberi
perintah pada anak buahnya sendiri, bahkan begitu selesai mengucapkan kata tersebut, dia
mengulapkan tangan.
“Nah, sekarang pergilah!” ia berseru Laki-laki itu tak berani banyak berbicara lagi, bagaikan
mendapat ampunan, cepat-cepat ia kabur dari situ.
Tiba-tiba Cia Sau-yan memberi tanda kepada dua orang sumoaynya, Cia wan manggut-manggut
seperti memahami maksudnya. Sementara itu Hoa In-liong tanpa berpaling telah berkata sambil
tertawa lebar.
“Nona Yan, lebih baik tak usah membuang tenaga dengan percuma!”
Masa kau sudah mengutus orang untuk membuntutinya? bisiknya.
Hoa In-liong kembali tertawa, dia putar badan berlalu dari sana seraya berkata, “Bila air ludah
sudah disemburkan keluar tak nanti akan kujilat kembali ludahku itu, masa aku akan mengutus
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
14
orang untuk mengikuti jejaknya? Cuma…….sekalipun aku tidak berbicara, pasti ada orang yang
melakukan tugas itu buat kita.
Kontan saja Cia Sau-yan tertawa cekikikan. Kau betul-betul seorang manusia yang licik, kalau
begitu lain hari aku musti berhati-hati daripada kena jebak…..
“Apa pesan Moa suci kalian?” tanya Hoa In-liong.
Cia Sau-yan melirik sekejap sekeliling tempat itu, lalu dengan alis berkenyit ia menjawab, “Aku
rasa kita bicarakan dilain hari saja!”
Hoa In-liong tidak terlampau bernafsu untuk mengetahui pesan apa yang hendak disampaikan
kepadanya, maka merekapun lantas berpisah.
Ketika Cia Sau-yan bertiga sudah masuk ke dalam gedung, diapun berkunjung ke rumah
penginapan Ong-keh, tapi disitu tak ada yang dijumpainya, Si Leng-jin dan Si Nio telah, pergi
tanpa meninggalkan pesan. Kenyataan ini membuat anak muda itu merasa amat menyesal,
disamping perasaan gelisah, tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi, bubur, terpaksa ia pulang
lebih dulu ke rumah penginapan.
Baru melangkah masuk, dari pintu gerbang, Coa Cong gi yang sedang berjalan mondar-mandir di
ruang depan segera menyerbu kehadapannya sambil berseru nyaring, “Hei, kemana saja kau
semalam? Tahukah kau kalau Hian-beng kaucu telah meninggalkan surat untukmu?”
Sungguh terkejut Hoa In-liong sesudah mendengar perkataan itu. serunya tanpa terasa, “Apa?”
Dengan dahi berkerut kata Coa Cong gi, “Pagi-pagi tadi, baru saja fajar menyingsing, telah
datang seorang tua bangka She Beng yang mengganggu nyenyaknya orang tidur, ia membawa
sepucuk surat dari hian-beng kaucu yang mengundangmu untuk melakukan suatu pertemuan,
katanya pertemuan tersebut tanpa diembel-embeli dengan maksud jahat. Lantaran kau tidak
ditemukan, maka untuk sementara waktu diterima oleh Ngo locianpwe, sekarang mereka sedang
berkumpul di ruang muka sambil merundingkan persoalan ini, aku segan ikut dalam rapat, ini
maka seorang diri kunantikan kedatanganmu.
“Tanpa menimbulkan gerak-gerik yang mencurigakan, Hian-beng kaucu telah melakukan
persiapan di kota Si-ciu ini, cukup ditinjau dari hal ini sudah dapat diketahui bahwa dia memang
manusia yang luar biasa,” pikir Hoa In-liong dalam hati.
Undangan dari Hian-beng-kaucu ini sangat di luar dugaan siapapun termasuk pula pemuda itu
sendiri, untuk sesaat dia jadi kebingungan dan tak tahu apa yang musti dilakukan untuk
menghadapi kejadian tersebut.
Dengan gelisah Coa Cong-gi segara berkata: “Hayo kita cepat masuk, mungkin keadaan mereka
sudah ibaratnya semut-semut di atas kuali panas.”
Dengan langkah cepat mereka berdua kembali ke ruang belakang, waktu itu Hoa Keh-sian, Yu
Siaw lam dan kawan jago lainnya sedang duduk mengelilingi meja, ketika melihat anak muda itu
munculkan diri, serentak mereka bangkit dan menyambut.
Hoa In-liong tak ada waktu untuk bersungkan-sungkan, langsung lagi di sambarnya surat di atas
meja dan membaca dengan seksama.
Surat itu berbunyi begini,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
15
“Ditujukan untuk Ji-kongcu dari keluarga Hoa.
Magrib nanti kunantikan kedatangan anda untuk membicarakan situasi dalam dunia persilatan
dewasa ini, memandang atas kegagahan kongcu, jangan kuatir kalau kami bernit jelek
kepadamu, tertanda:
Hiang beng kaucu.”
Selesai membaca isi surat itu, Hoa In-liong segera mendongakkan kepalanya sambil berkata,
“Apa pendapat saudara sekalian tentang persoalan ini?”
Kata Ho Keh-sian dengan dahi berkerut, “Nada surat itu mengandung siasat memanaskan
hatimu, sama sekali tiada kata-kata jaminan yang menyebutkan bahwa jiwa mu sama sekali tidak
akan diganggu.”
“Tapi bukankah orang she Beng itu mengatakan bahwa mereka tidak mengandung maksud
jahat?” sela Ko Siong-peng.
Ho Keh-sian segera tertawa.
“Orang she Beg itu bukan seorang pentolan, masa perkataannya dapat dipercayai?
“Perduli amat apa yang hendak mereka lakukan seru Coa Cong gi dengan luapan emosi, mari kita
pergi bersama, mau minum arak kita minum sepuasnya, mau berkelahi………hmm, siapa yang
takut kepada mereka?”
Hoa In-liong tersenyum.
“Sampai di dimanakah kekuatan yang dimiliki Hian-beng-kau, hingga kini masih merupakan suatu
tanda tanya besar, yang bisa kita ketahui bahwa Hian-beng-kau dapat menjadi pemimpin kaum
iblis, hal ini berarti kepandaian silat yang mereka miliki lihay sekali, ditambah lagi dengan anak
buahnya yang amat banyak, kendatipun jago- jago tua sekalipun ikut terjun dalam pertarungan
ini, aku kuatir kilau kerugian masih tetap berada dipihak kita.”
Kecuali Ho Keh-sian, sudah ada tiga orang jago bekas anggota Sin-ki-pang tempo hari yang hadir
disitu, mereka semua membungkam diri dalam seribu bahasa.
Di tengah keheningan inilah, tiba-tiba seorang kakek bertampang buruk buka suara, katanya,
“Siapakah Hian-beng-kaucu itu? Kenapa Liong Siuya memandang begitu tinggi akan dirinya?”
Orang ini bernama Si Jin kiu, dengan ilmu pek kut cui sim ciang (pukulan tulang putih penembus
hati)nya ia pernah mengalahkan si malaikat pertama dari Liong bun siang sat yang tersohor akan
keganasannya dulu, dia merupakan salah seorang diantara jago-jago andalan perkumpulan Sio
ki-pang.
“Aku sendiripun kurang begitu jelas siapa gerangan nama sesungguhnya dari gembong iblis itu,”
kata Hoa In-liong.
Kemudian setelah berpikir sebentar, apa yang diketahui tentang Hian-beng-kaucu pun segera
dibeberkan secara terperinci, secara sambil lalu diapun mengungkapkan soal yang menimpa Si
Leng jin serta nona berbaju putih”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
16
Selesai mendengarkan penuturan itu, tiba-tiba Ho Keh-sian bertanya, “Liong siauya, kau pernah
mengatakan Si Leng jin memiliki sebilah pedang pendek yang tajamnya luar biasa, apakah dapat
kau lukiskan bentuk senjata tersebut dengan lebih terperinci?”
Hoa In-liong lantas berpikir, “Mungkin dari senjata tersebut dapat diduga asal usul Si Leng jin……
Maka sesudah termenung dan berpikir sebentar, diapun menerangkan: “Pedang pendek itu
panjangnya dua depa, bentuknya istimewa, pada gagangnya terdapat sebuah pelindung tangan,
sedang dipegangannya seperti tampak ukiran dua huruf……”
Setelah berhenti sejenak untuk berpikir sebentar, dia melanjutkan sambil tertawa, “Tampaknya
tulisan itu adalah huruf ‘Hong-im’, cuma benar atau tidak aku tak berani terlalu memastikan.”
Hoa Keh-sian mengernyitkan sepasang alis matanya.
“Liong sau ya, sungguhkah dia she Si?” desaknya.
Hoa In-liong jadi tertegun. “Apakah ada sesuatu yang tak beres? Aku rasa tak bakal salah lagi
nama itu,” katanya.
Dengan suara dalam Hoa Keh-sian lantas berkata, “Dua puluh tahun yang lalu, pentolan dari
Hong im-hwe yang bernama Jin Hian pernah juga menggunakan pedang pendek itu.”
Ia lantas berpaling dan memandang sekejap ke arah rekan-rekannya. Si Jin kui bertiga segera
manggut-manggut tanda membenarkan.
Hoa Keh-sian berpaling kembali ke arah Hoa In-liong sambil berkata lebih lanjut, “Gadis itu
mengandung maksud-maksud yang sukar ditebak, harap liong sau-ya suka bertindak lebih
waspada lagi terhadap dirinya.”
Hoa In-liong merasa tidak senang dengan perkataan itu, namun ia tak mau banyak membantah,
pokok pembicaraan pun segera dialihkan ke persoalan lain.
“Bagaimana pendapat kalian tentang undangan dari Hian-beng kaucu ini……?” katanya.
Ho Keh-sian mengira Hoa In-liong merasa kasian dan tak tega terhadap gadis itu, diam-diam ia
lantas berpikir, “Jika watak romantis dari Liong sauya tidak mengalami perubahan, di kemudian
hari ia bisa menderita kerugian di tengah kaum wanita…..”
Hal ini membuat jago lihay dari Sin-ki pang tersebut makin lama semakin merasa kuatir.
“Bagaimana pula pendapat adik In-liong sendiri?” tanya Yu Siau-lam.
“Undangan tersebut tentu saja harus dipenuhi, bahkan aku punya rencana untuk memenuhi
undangan tersebut seorang diri.”
Li poh-seng termenung sebentar, lalu katanya pula, “Yaa, dari pada dianggap orang penakut,
undanngan ini memang harus dipenuhi!”
“Apakah kita harus mementangkan mata untuk menderita kerugian di tangan si cucu kura kura?”
teriak Coa Cong-gi.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
17
Hoa In-liong segera tertawa. “Tentu saja tidak, meskipun Han-beng kaucu yang menjuluki diri
sebagai Kiu-ci Sinkun tersebut mempunyai dendam kusumat yang amat dalam dengan
keluargaku, hakekatnya tujuan yang sesungguhnya tak lain adalah ambisinya untuk merajai
seluruh jagad, untuk mencapai cita cita tersebut, mau tak mau dia mesti menjaga martabat dan
gengsinya, maka menurut pendapat siau-te, kesempatan untuk berkelahi amat kecil.
Tiba-tiba dari luar pintu menongol sebuah kepala kecil yang memanggil dengan lirih,
“Hoa…..toako…..!”
Melihat orang itu adalah Siau-gou-ji, Hoa In-liong menghampirinya sambil tertawa. “Ada urusan
apa saudaraku??”
ADA seorang nona…..ehmm, cantik dan baik sekali, mengenakan sebuah gaun berwarna putih
mulus sedang menantimu di rumah makan seberang jalan sana.
“Masa dia yang datang?” Hoa In-liong segera berpikir, “kita berhadapan sebagai musuh, mau apa
dia datang kemari?” Sambil tertawa segera tanyanya, “Siapa namanya??”
Siau gou ji menjadi terbelalak gugup.
“Aku….aku tidak tahu……..” katanya. Tapi sesudah berhenti sebentar tambahnya, “Dia bilang
toako pasti tahu seolah melihat potongan tubuhnya!”
“Ehmm, aku sudah tahu!” Hoa In-liong manggut-manggut.
Kemudian sambil tersenyum katanya lagi, “Lain kali kau musti bertindak lebih cekatan dan pintar,
jangan disebabkan menerima kebaikan dari orang maka kau memuji orang sebagai orang baik,
coba lihat matamu sampai keblinger hingga siapa kawan siapa lawanpun tak bisa dibedakan.”
Merah padam wajah Siau gou ji menerima dampratan itu, katanya agak jengah, “Sudah
terlampau banyak orang baik dan jahat yang pernah kujumpai, siapapun jangan harap bisa
membodohi sepasang mataku.”
Lalu sambil memutar sepasang biji matanya yang jeli ia bertanya pula, “Masakah dia adalah
musuh?”
Kembali Hoa In-liong tertawa. “Secara pribadi dia adalah sahabatku, tapi secara umum dia
adalah musuhku!”
Secerdik cerdiknya Siau gou ji, usianya masih terlampau muda, ia masih kurang begitu
memahami persolan tentang budi dendam, musuh dan sahabat, apalagi sejak kecil ia dibesarkan
dalam lingkungan yang berbeda, soal dendam dan budi boleh dikata merupakan suatu hal yang
masih asing.
Maka setelah mendengar perkataan itu, dengan keheranan dan tidak habis mengerti, kembali
tanyanya, “Sesungguhnya dia adalah sahabat kita atau musuh kita??”
Tiba-tiba Coa Cong gi berteriak keras, “Hei, ngomong terus tak ada habisnya, sesungguhnya
kalian bisa berhenti berbicara atau tidak?”
Hoa In-liong lantas berkata, “Pokoknya, kalau kau anggap dia sebagai seorang sahabat, maka
perbuatanmu ini tak bakal salah lagi……”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
18
Berbicara sampai disitu dia lantas putar badan dan berjalan balik keruang tengah, katanya lagi,
“Empek berempat, saudara berempat aku hendak keluar sebentar, ada seorang teman
mengundangku untuk berjumpa di rumah makan seberang jalan sana.”
“Kenapa tidak undang dia kemari saja?” tanya Coa Cong-gi dengan wajah tercengang.
Hoa In-liong tertawa.
Dia adalah seorang nona, lagipula berasal dari pihak musuh, rasanya kurang leluasa untuk
mengundangnya kemari.
“Apakah kau tidak beristirahat dulu?” tanya Yu Siau-lam, “bagaimana pula dengan undangan dari
Hiang-beng kaucu?”
Ho In-liong termenung sebentar, kemudian sahutnya sambil tertawa.
“Bagai manapun juga undangan tersebut harus dipenuhi, aku pikir semakin persoalan ini
dipikirkan semakin merisaukan hati kita, lebih baik tak usah dibicarakan lagi, setelah beristirahat
sebentar, aku rasa tenagaku dapat pulih kembali seperti sedia kala.”
Ketika Ho Keh-sian berempat orang tua mengetahui bahwa nona itu berasal dari pihak lawan,
kontan saja mereka mengerutkan dahinya, apalagi setelah menyaksikan sikapnya yang begitu
santai meskipun musuh telah berada di ambang pintu, hati mereka lebih-lebih murung lagi.
Tapi mereka cukup mengenali tabiat dari Hoa In-liong, mereka tahu sekalipun dinasehati juga tak
ada gunanya, maka mereka cuma berpesan beberapa patah kata saja.
Tentu saja Hoa In-liong cuma mengiakan belaka semua pesan itu, cepat-cepat dia memberi
hormat lalu keluar dari penginapan itu.
Baru masuk ke pintu gerbang rumah makan, seorang pelayan telah menyambut kedatangannya
sambil berkata, “Hoa-ya, silahkan naik ke atas loteng.”
Hoa In-liong manggut-manggut dan naik ke loteng dengan langkah lebar, sinar matanya yang
tajam menyapu kesana kemari.
Baru saja dia hendak menanyakan kepada sang pelayan, dalam ruang manakah nona berbaju
putih itu menunggunya tiba-tiba dari sebuah bilik dekat jendela sana berkumandang suara dari si
nona berbaju putih itu, “Aku ada disini!”
Hoa In-liong segera membatin.
“Kalau didengar suaramu, seakan akan hendak ajak berkelahi,…uuuh, kasar benar…”
Dengan langkah lebar ia lantas menuju ke ruangan tersebut, buru-buru pelayan tadi
menyingkapkan kain gorden.
Terlihatlah nona berbaju putih itu berdiri dekat jendela, ia sedang bergendong tangan sambil
menatap ke arah jalan raya dengan termangu, meskipun tahu kalau pemuda itu telah datang,
ternyata ber paling pun tidak.
“Ambil semua hidangan di meja dan ganti yang baru!” perintahnya kemudian dengan suara
datar.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
19
“Nona, arak dan hidangan masih hangat!” kata sang pelayan keheranan.
Tiba-tiba nona berbaju putih itu berpaling seraya berseru dengan penuh kemarahan, “Cerewet
amat kau? Disuruh ganti cepat ganti, kau anggap aku tak mampu membayarnya?”
Hoa In-liong melirik sekejap ke arah hidangan di meja, benar juga masih kelihatan asap putih
dari hidangan itu, segera pikirnya, “Jelas ia lagi mendongkol kepadaku lantaran harus menunggu
terlalu lama, maka dicarinya alasan lain untuk melampiaskan rasa marahnya.”
Berpikir sampai disitu sambil tertawa nyaring dia lantas ulapkan tangannya untuk mengundurkan
pelayan itu, kemudian sambil memberi hormat, katanya, “Terima kasih banyak atas perhatian
nona, maafkanlah aku jika…….
“Kau adalah seorang toa enghiong, aku pikir tak mungkin bukan lantaran ingin mencari tahu keadaan
Hian-kongbeng yang sebenarnya maka kau gunakan kesempatan ini untuk mendesak
seorang gadis seperti aku?”
Mula mula Hoa In-liong menggeleng kemudian mengangguk pula.
“Hei, apa maksudmu?” seru gadis berbaju putih itu keheranan.
Hoa In-liong tertawa.
“Aku bukan seorang toa-enghiong, aku hanya kuatir bila sampai menyinggung perasaan nona
sekarang, maka banyak kesulitan yang akan kuhadapi dalam perjamuan malam nanti.”
Nona berbaju putih itu menutup bibirnya dan tertawa cekikikan, tiba-tiba ia menundukkan
kepalanya dan menghela napas sedih.
Dalam sekilas pandangan, Hoa In-liong dapat menyaksikan bahwa sikapnya sekarang jauh
berbeda dengan sikap tempo hari, dalam hati dia lantas berpikir, “Besar amat nyali gadis ini
untuk melanggar perintah gurunya dan bersahabat dengan orang-orang dari keluarga Hoa.”
Setelah mereka ambil tempat duduk, Hoa In-liong baru mengangkat cawan araknya seraya
berkata, “Aku dengar antara gurumu dengan keluarga Hoa terikat dendam kematian gurunya?”
“Bukan itu saja, bahkan terhitung suatu dendam kesumat yang sangat mendalam!” sahut gadis
itu dengan wajah murung.
Hoa In-liong tertawa.
“Boleh aku tahu nama gurumu……..”
Dengan cepat gadis itu gelengkan kepalanya.
“Dalam perjamuan malam nanti, guruku pasti akan memberitahukan hal tersebut kepadamu, apa
gunanya kau bertanya kepadaku?”
Hoa In-liong termenung dan berpikir sebentar, tiba-tiba katanya, “Apakah gurumu bernama Si
Biau?”
Ketika mengucapkan kata “Si Biau”, sengaja ia membacanya dengan nada sengau….
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
20
Kontan saja si gadis berbaju putih itu membelalakkan sepasang matanya.
“Dari mana kau bisa tahu?” serunya.
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, kembali pikirnya, “Hian-beng kaucu yang menyebut
dirinya Kiu-ci siukun bernama Si Biau, padahal dalam dunia persilatan belum pernah ada orang
yang bernama itu………ah betul……..sudah tentu namanya mempunyai bunyi yang hampir sama
dengan huruf Si Biau tersebut………”
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan cepat ia menyadari akan sesuatu,
sambil menengadah pemuda itu tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…….haahhhhaaa……..nona Kok, rupanya gurumu She Kok………!”
Kok Gi pek atau si nona berbaju putih itu mula-mula agak tertegun, selanjutnya dia baru tahu
kalau pemuda itu sesungguhnya belumn tahu nama gurunya.
Merasa dirinya kena dijebak, gadis itu merasa jengkel bercampur mangkel, serunya, “Hmm! Kau
tak usah berbangga hati, terus terang kuberitahukan kepadamu, semakin cepat Kau mengetahui
soal ini semakin cepat pula ajalmu akan tiba.”
Hoa In-liong tersenyum, sekarang ia sudah tahu Hian-beng-kaucu yang menamakan dirinya Koa
ci Sinkun itu tidak lain adalah bekas muridnya Bu liang Sinkun dimasa lalu yang bernama Kok See
pian.
Tentang persoalan yang menyangkut diri Kok See-piau, selain ia pernah mendapat keterangan
dari ibunya, Pek Kun gi, pemuda ini pun pernah mendapat keterangan yang lebih terperinci dari
ayahnya Hoa Thian-hong.
Tepo dulu ketika Kok See-piau mendapat perintah dari gurunya, Bu liang Sinkun untuk membuat
perhitungan dengan keluarga Chin si hijin, di kota Cin ciu, Hoa Thian-hong mendapat perintah
dari ibunya untuk membalas budi kepada keluaran Chin.
Pertemuan kedua orang ini menyebabkan terjadinya pertarungan antara Kok See-piau melawan
Hoa Thi hong
Ketika itu Hoa Thian-hong masih bernama Hong-po Seng, ilmu silatnya amat cetek dan masih
bukan tadingan Kok See-piau, sebuah pukulan Kiu pit sin ciang dari Kok See-piau nyaris
merenggut selembar jiwanya .. .
Kemudian dikala Hoa Thian-hong melakukan jari racun di kota Cho-ciu, Pek Kun ci melepaskan
rasa permusuhannya dan berubah menjadi sahabat, tindikan tersebut menyebababkan Kok Seepiau
menjadi cemburu, ia datang mencari Hoa Thian-hong untuk mengajarnya, siapa tahu dia
dikalahkan hingga terpaksa harus pulang kebukit Bu liang san.
Dalam pertemuan besar Kian ciau Tay hwte di lembah Cu bu kok, Bu Liang Sinkun berhasil di
bunuh oleh Bun Tay kun, dengan menahan rasa dendamnya, Kok See-piau melarikan diri
kemudian ia menggabungkan diri dengan perguruan Seng sut-pay dengan mengangkat Tang
kwik Sia sebagai gurunya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
21
Tapi kemudian dalam penggalian harta karun dibukit Kiu ci san, komplotan dari Tang kwik Siu
kena dihajar kocar kacir sehingga musti melarikan diri terbirit-birit, semenjak itulah jejak tentang
Kok See-piau lenyap tak berbekas….
(Untuk mengetahui kisah cinta segitiga antara Kok See-piau, Hoa Thian-hong dan Pek Kun-gi,
silahkan membaca BARA MAHARANI.)
Diam-diam Hoa In-liong lantas berpikir, “Sungguh tak kusangka Kok See-piau telah menjadi Kiuci
Sinkun, lebih-lebih tak kusangka kalau dia akan menerbitkan kembali badai darah dalam dunia
persilatan, untung keluarga Hoa kami masih berdiri tegak, jangan harap kau bisa berbuat onar
seenaknya dengan begitu saja!”
Sementara itu si nona baju putih atau Kok Gi-pek menjadi sedih lantaran pemuda itu lama sekali
tidak berbicara, dia mengira anak muda itu menjadi tak senang hati karena ucapannya tadi.
“Malam ini, lebih baik kau jangan pergi memenuhi undangan tersebut……!”
“Perjamuan itu diselenggarakan oleh guru mu, kenapa nona melarang aku pergi memenuhinya?”
kata Hoa In-liong dengan kening berkerut.
Dengan dingin Kok Gi pek berkata, “Sekarang kau telah mengetahui siapakah guruku, apakah
tidak kau ketahui dengan jelas bahwa guruku mempunyai dendam sedalam lautan dengan
keluarga Hoa kalian? Bila kau berani memenuhi undangannya, maka jangan harap kau bisa
pulang dengan selamat”
Hoa In-liong tersenyum, diangkatnya cawan arak itu dan dicicipinya setegukan, tiba-tiba ia
merasa lidahnya sakit seperti ditusuk tusuk jarum tajam, pemuda itu segera mengetahui bahwa
dalam arak telah dicampuri dengan racun jahat yang mematikan.
Kejadian itu amat menggusarkan hatinya, ia berpikir, “Bagus sekali! Tak kusangka kaudapat
menggunakan cara serendah ini untuk mencelakaiku.”
Sekalipun dalam hati kecilnya ia berpikir demikian, air mukanya sama sekali tidak menunjukkan
perubahan apapun.
Cawan itu segera diangsurkan ke hadapan Kok-Gi pek, kemudian sambil tersenyum katanya,
“Nona, bagaimana kalau kaupun mencicipi arak ini barang setegukan………….?”
Paras muka Kok Gi-pek kontan berubah menjadi merah padam, ia melompat bangun dan berseru
dengan gusar, “Kau menganggap aku sebagai manusia macam apa?”
Tapi sebentar kemudian ia telah menghela napas sedih, katanya lebih jauh, “Baiklah, kalau toh
kau menyuruh aku minum arak ini, baiklah akan kuminum setegukan untukmu!”
Dia lantas ulurkan tangannya untuk menerima cawan tersebut dan mendekatkannya ke tepi bibir.
Hoa In-liong dapat menyaksikan bahwa rasa sedih dan murung yang tercermin di wajah gadis itu
bukan seperti berpura-pura, rasa sangsi segera menyelimuti benaknya, ia berpikir, “Tampaknya
bukan dia yang mencampurkan racun itu dalam arak minumanku, tapi tempat ini tak ada orang
lain…………”
Ketika dilihatnya gadis itu sudah siap minum arak tersebut, dengan cepat cawan itu direbut
kembali, kemudian katanya sambil tertawa tawa.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
22
“Ternyata rumah makan ini dibuka oleh orang-orang dari perkumpulan kalian, jadi akulah yang
bertindak kurang hati hati!”
Cawan tadi diletakkan kembali ke atas meja. Kok Gi-pek bukan seorang yang bodoh, sebagai
gadis cerdik ia lantas menduga kalau dalam arak tentu ada sesuatu yang tak beres. Kontan saja
alis matanya berkenyit.
“Siau Kui!” tiba-tiba teriaknya dengan suara lantang.
Dalam marahnya teriakan-teriakan tersebut disertai tenaga dalam yang amat sempurna, bukan
saja seluruh ruangan mendengung nyaring, bahkan setiap orang yang berada dibawah loteng
dapat mendengar teriakan tersebut dengan amat jelasnya.
Hoa In-liong berpura-pura tidak melihat, dengan sikap yang santai seperti tak pernah terjadi
sesuatu apapun pikirnya, “Tenaga dalam yang dimilikinya sungguh amat sempurna, tampaknya
jauh lebih hebat bila dibandingkan dengan beberapa orang suhengnya!”
Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah manusia yang ramai berkumandang
memecahkan kesunyian, menyusul kemudian tirai disingkap orang dan muncullah seorang lakilaki
berusia lima puluh tahunan yang berdandan sebagai seorang pedagang.
Begitu masuk ke dalam ruangan, dengan ketakutan ia lantas memberi hormat, katanya raguragu,
“Persoalan apakah yang membuat nona menjadi marah?”
Kok Gi pek tertawa dingin.
“Haahaa…..haahhhh……… kau juga tahu kalau akupun bisa marah?”
“Hamba….hamba…..”Laki-laki tua yang bernama Siau Kui itu menjadi gelagapan.
Hoa In-liong yang menyaksikan kejadian tersebut diam-diam berpikir kembali.
“Tak kusangka gadis yang tampaknya lemah lembut terutama ketika ia harus menahan rasa
penasarannya tadi, ternyata setiap jago dari Hian-beng-kau begitu takut kepadanya.”
Sementara itu Kok Gi pek sambi mengernyitkan alis matanya, telah berkata dengan suara
dingin, “Huu…..aku tahu tak nanti kau begitu bernyali berani melakukan perbuatan tersebut,
hayo katakan siapa yang telah menitahkan kau berbuat demikian?”
Untuk sesaat Siau Kui menjadi gelagapan ia tak tahu bagaimana musti menjawab pertanyaan
tersebut.
Kok Gi pek semakin marah, teriaknya dengan gemas, “Baik,”
Secepat sambaran kilat ia sambar cawan berisi arak racun itu lalu tangannya diayun ke depan
menyiramkan isi cawan tersebut ke arah Siau Kui.
Hoa In-liong yang selama ini hanya berdiam diri, tiba-tiba mengayunkan telapak tangan
kanannya, segulung angin pukulan yang lembut segera menghantam isi cawan tersebut dan
membuat hujan arak memuncrat ke atas lantai serta membasahi permukaan seluas tiga empat
depa persegi.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
23
Sungguh lihay racun dalam arak itu, begitu menempel di atas permukaan tanah…..”Ceesss…..!,
seketika itu juga separuh bagian lantai itu menjadi terbakar dan hangus.
Sungguh tak terkirakan rasa kaget dan ngeri perasaan Siau Kui setelah menyaksikan kejadian itu,
peluh dingin membasahi hampir sekujur badannya…..
Hoa In-liong mengerutkan dahinya menyaksikan kejadian itu, sedang Kok Gi pek rupanya tak
pernah menyangka kalau racun tersebut sejahat itu, setelah tertegun sesaat hawa amarahnya
makin memuncak, ia tertawa seram……..
Baru saja dia hendak mendamprat, tiba-tiba dari luar ruangan berkumandang suara teguran
seseorang dengan nada yang serak tapi lantang, “Harap nona jangan marah, peristiwa ini tiada
sangkut pautnya dengan Siau kui, akulah yang bertanggungjawab atas kejadian ini!”
Menyusul perkataan itu, muncullah seorang kakek bermuka merah bertubuh tinggi kekar dari luar
pintu.
Begitu menjumpai kakek tersebut, Kok Gi pek segera mengernyitkan sepasang alis matanya,
kemudian berkata dengan dingin, “Kalau toh empek Tang yang memerintahkan Siau Kui
melakukan perbuatan ini, gengsi seorang yang berkekuasaan tinggi tentu saja keponakan tak
dapat berkata-kata lagi.”
Rupanya kakek She Tang itu tidak mengira kalau Kok Gi pek bakal mendampratnya di depan
orang, ia tertawa terbahak-bahak untuk menutupi rasa malunya. Kemudian sambil memberi
hormat kepada Hoa In-liong katanya, “Aku rasa saudara ini tentulah Ji kongcu dari Hoa tayhiap,
aku Tang Bong liang menyampaikan hormat.
Ketika tangannya menjura itulah segunung tenaga pukulan berhawa dingin tetapi menimbulkan
sedikit suara, langsung menyergap ke atas dada Hoa In-liong.
Diam-diam anak muda itu mendengus, dengan cepat dia pun merangkap tangannya membalas
hormat.
“Ah, aku orang she Hoa masih muda, mana berani untuk menerima salam hormatmu itu.”
Menggunakan gerakan itulah diapun melepaskan segulung angin pukulan untuk menyongsong
datangnya ancaman tersebut.
Mereka berdua berdiri dihalangi oleh sebuah meja, dengan cepatnya dua gulung tenaga pukulan
itu bertemu tepat di atas meja perjamuan.
Dalam perkiraan Kok Gi-pek semula, adu tenaga antara kedua orang itu pasi akan
mengakibatkan mangkuk cawan beterbangan di udara, siapa tahu tiada sesuatu yang istimewa
terjadi, tiada pula angin badai yang memancar kemana-mana, yang ada cuma segulung angin
lirih yang menggoyangkan kain tirai belaka.
Menyaksikan kejadian ini, gadis itupun berpikir, “Tampaknya tenaga dalam yang dimilik1 kedua
orang ini sudah mencapai taraf sempurna yang bisa dikendalikan oleh perasaan. Sorot matanya
segera dialihkan ke tengah arena, ia saksikan sepasang bahu Hoa In-liong sedikit bergetar,
sebaliknya tubuh Tang Bong liang tergetar sampai mundur tiga langkah, papan lantai yang
diinjak sampai berbunyi gemerincingan saking beratnya menahan tekanan.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
24
Ia cukup menyadari sampai dimanakah taraf tenaga dalam yang dimiliki Tang Bong liang, tapi dia
tak mengira kalau tenaga dalam dari Hoa In-liong telah mencapai taraf yang sedemikian rupa,
kembali pikirnya, “Kalau toh tenaga dalamnya telah mencapai taraf sedemikian tingginya, suhu
lebih lebih tak mungkin akan membiarkan dia tetap hidup di dunia ini….”
Makin dipikir gadis itu semakin sedih, sehingga wajahnya jauh lebih murung.
Tang Bong liang sendiripun amat terperanjat menghadapi Kenyataan tersebut, sambil tertawa
segera katanya, “Sudah lama aku dengar orang berkata bahwa Hoa kongcu bukan saja memiliki
tenaga Iwekang yang sangat sempurna, kaupun memiliki kepandaian istimewa untuk menolak
racun, sebab kurang percaya maka sengaja aku telah mencobanya dengan mencampurkan racun
di dalam arak, sebagai seorang pemuda yang berjiwa besar, tentunya Hoa kongcu tidak akan
marah kepadaku bukan??”
“Aaah..! Belum tentu….” jawab Hoa In-liong sambil tertawa, “apabila ada orang berniat
mencelakai jiwaku, terpaksa aku harus bertindak kejam pula kepadanya.
Kok Gi-pek yang berada di sampingnya tiba-tiba berkata, “Empek Tang, begitukah perbuatanmu?
Apakah kau tak sudi memberi muka kepada keponakanmu?”
“Kalau nona berkata demikian, aku menjadi tak tahu apa yang musti dilakukan,” jawab Tang
Bong-liang dengan dahi berkerut.
“Hmm……….! Sepantasnya keponakanlah yang tak tahu apa yang musti dilakukan.”
Ucapan tersebut bukan saja bernada ketus bahkan sangat menyudutkan posisi orang itu, tentu
saja hal ini membuat Tang Bong liang menjadi serba salah.
Siau Kui yang berada disampingnya lebih lebih tak berani berkutik, ia menyurut mundur ke sudut
ruangan dan membungkam diri dalam seribu basa disana.
Jilid 2
Tiba-tiba Hoa In-liong tertawa lantang, lalu selanya, “Nona Kok, silahkan duduk! Urusan sekecil
ini buat apa musti diributkan terus?”
Mendengar ucapan tersebut Kok Gi-pek tertawa dingin, tapi ia menurut, tidak banyak bicara lagi.
Ambil contoh Kok Gi pek ini, sesungguhnya bersama Tang Bong-liang mereka adalah sesama
anggota Hian-beng-kau, bahkan Hoa In-liong merupakan musuh besar perkumpulan mereka, tapi
kenyataannya dia ribut dan bahkan hampir bergebrak dengan rekannya sendiri, sebaliknya
dengan Hoa In-liong bukan saja bersikap bersahabat, bahkan kelihatan begitu tunduk dan
penurut.
Tang Bong liang yang menyaksikan kejadian ini segera berpikir, “Sudah jamak kalau hati
perempuan condong keluar, semenjak dulu sudah kuanjurkan kepada Sinkun agar jangan
menerima murid perempuan, buktinya sekarang……”
Berpikir sampai disitu, sambil tertawa dia lantas berkata, “Hoa kongcu, kau betul-betul seorang
pendekar muda yang berjiwa besar dan bijaksana.”
Hoa In-liong tertawa hambar. “Tahukah kau kalau kaucumu telah mengirim surat undangan
kepadaku?” katanya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
25
Tang Bong liang manggut-manggut.
“Mana mungkin aku tidak tahu…….”
Sebetulnya Hoa In-liong ingin menyindir musuhnya dengan beberapa patah kata pedas tapi
setelah berpikir sebentar ia membatalkan niatnya itu, katanya kemudian, “Kalau memang begitu,
akan kumohon petunjukmu setelah sampai pada waktunya nanti.”
Sesudah menjura dan memberi hormat, kembali katanya kepada Kok Gi pek, “Aku ingin mohon
diri lebih dahulu.”
“Tapi….tapi……secawan arak pun belum aku minum masa kau….. kau akan pergi dengan begitu
saja….,” kata Kok Gi pek dengan perasaan gelisah.
“Maksud baik nona biar kuterima di hati saja,” tukas Hoa In-liong sambil tertawa lebar.
Betapa gelisahnya Kok Gi pek menghadapi kejadian tersebut apa mau dikata ia teringat kembali
kedudukan mereka yang saling bermusuhan, sudah barang tentu tak mungkin baginya untuk
meraba pemuda itu secara lembut.
Dalam keadaan begini ia cuma bisa melotot ke arah Tang Bong liang serta Siau Kui dengan sinar
mata penuh kebencian.
Buat Tong Bong liang yang berkedudukan tinggi delikan mata itu masih tidak mendatangkan
perasaan apa-apa, berbeda dengan Siau Kui yang kedudukannya memang rendah bergidik
sekujur tubuhnya karena ngeri, cepat cepat ia tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Bagaimanapun juga soal cinta memang nomor satu di dunia, hal itu paling aneh, paling sensitip
dan sukar diduga, kadangkala dari musuh mereka bisa berteman, kadangkala pula dari teman
bisa menjadi musuh bahkan orang hidup-pun bisa menjadi orang mati.
Perjumpaan Kok Gi-pek dengan Hoa In-liong secara diam-diam tentu saja bukan cuma satu kali,
tapi pertemuannya secara resmi termasuk baru ini boleh dibilang baru kedua kalinya, jadi kalau
dibilang ia sudah jatuh cinta, ditinjau dari wataknya yang tinggi hati serta cara berpandangannya
yang sempit, hal ini tak mungkin terjadi.
Tapi justru karena kebiasaan memandang rendah orang lain dan kecuali suhunya, ia selalu
menganggap orang lain di dunia ini sebagai sampah yang tak berguna maka sejak kekalahan
demi kekalahan yang dideritanya di tangan Hoa In-liong, hal ini membuat watak tinggi hatinya
terpukul keras.
Mula-mula kejadian itu sangat menjengkelkan hatinya malah mendendam lagi, sepulangnya ke
rumah ia berlatih lebih tekun dan berencana pada suatu ketika ilmu silatnya harus melampaui
kemampuan Hoa In-liong. Tapi beberapa hari kemudian, rasa bencinya makin menawar,
meskipun hati kecilnya masih kangen pada Hoa In-liong, namun jauh berbeda seperti beberapa
hari berselang yang kalau bisa ingin sekali ia mencincang tubuh si anak muda itu.
Apa yang terbayang dalam benaknya ketika itu adalah ketampanan serta kegagahan anak muda
itu, terutama dibalik kekocakannya terselip kegagahan yang tak terbantahkan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
26
Gadis itu sadar bahwa perintah gurunya tak mungkin bisa dilanggar, tak mungkin ia bisa
bersahabat dengan pemuda itu, tapi entah mengapa secara diam-diam ternyata ia telah
mengundang kehadiran pemuda itu.
Sesudah bertemu tadi, ia tak tahu bagaimana harus membuka pembicaraan tersebut, kemudian
dikacau pula oleh Tang Bong liang serta Siau Kui yang menyebabkan pemuda itu segera mohon
diri, kejengkelan demi kejengkelan yang diterimanya ini akhirnya menimbulkan kemarahan yang
meluap, hanya saja ia tak tahu bagaimana cara pelampiasannya
Tiba-tiba air mata mengembang dalam kelopak matanya, dengan jengkel ia berseru, “Pergilah,
pergilah, aku tak akan menahan mu!”
Sambil menjejakkan sepasang kakinya ke tanah, ia menerobos keluar lewat jendela, lalu tanpa
memperdulikan kecengangan orang di sekitar jalan raya, ia kabur, secepat-cepatnya
meninggalkan tempat itu.
Hoa In-liong sendiri meskipun tahu bahwa urusan itu tak ada sangkut paut dengannya, tapi
sebagai seorang pemuda romantis, ia paling pantang kalau melihat ada perempuan menangis.
Baginya tangisan seorang gadis akan membuat perasaannya tidak tenteram, maka ketika
dilihatnya Kok Gi pek kabur sambil menangis, tiba-tiba ia ikut mengejarnya sambil berteriak!
“Nona Kok……..!”
Tanpa memperdulikan pandangan kaget dari para pedagang dan rakyat yang berada di sekitar
jalan raya, dua orang itu berlarian sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, untung
kejadian tersebut tidak menimbulkan kepanikan sebab belakangan ini kota Si ciu memang sudah
mulai terbiasa dengan adegan-adegan semacam itu.
Sebagaimana diketahui, ilmu silat yang dimiliki Hoa In-liong jelas lebih tangguh daripada
kepandaian Kok Gi Pek, dalam dua tiga kali lompatan saja ia berhasil menyusul gadis itu.
Tiba-tiba Kok Gi pek berpaling sambil mendengus, “Mau apa kau susul diriku?” Sekalipun nada
suaranya masih uring-uringan dan tak senang hati, toh langkah kakinya mulai mengendor.
“Ehmm…hawa amarahmu itu datang tanpa alasan,” batin Hoa In-liong dalam hati. Ia lantas
berkata dengan lembut, “Nona, aku bermaksud untuk mengundang nona pindah ke rumah
makan yang lain saja!”
Kok Gi pek segera berhenti, tegurnya dengan ketus, “Bukankah kau bermaksud untuk mohon
diri?
Hoa In-liong ikut menghentikan tubuhnya ia menjawab sambil tertawa, “Aku kuatir nona tak mau
memberi muka kepadaku, maka terpaksa kugunakan siasat ini agar berhasil.”
Dalam pada itu, Hoa In-liong berdua sedang berdiri di atas atap sebuah rumah, meskipun tempat
itu letaknya jauh sekali dari jalan raya barat yang teramai, toh banyak juga manusia yang berlalu
lalang disitu, tentu saja dengan pandangan tercengang mereka perhatikan sepasang muda-mudi
yang berada di atas atap rumah itu.
Setelah rasa sedih dan kesalnya berkurang, Kok Gi pek baru merasakan bahwa tindakannya ini
kurang baik, cepat ia melayang turun ke dalam kolong yang sepi diikuti Hoa In-liong dari
belakang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
27
“Aku ingin mencari suatu tempat yang sepi dan terpencil” kata Kok Gi pek kemudian.
“Baik!” Hoa In-liong menyetujuinya sambil mengangguk, mau tempat yang terpencil tidak sulit,
yang susah justru tempat yang sepi dan terlepas dari gangguan sebab biasanya makin terpencil
tempat itu kemungkinan semakin gaduh suasananya…!”
“Tidak menjadi soal, bagiku asal jauh dari gangguan manusia-manusia yang menjemukan itu.”
Yang dimaksudkan sang gadis sebagai “manusia manusia yang menjemukan” itu jelas tak lain
adalah para jago dari perkumpulan Hian-beng-kau.
Hoa In-liong segera tersenyum,
“Kalau begitu mari kita berjalan menelusuri jalan ini!” ajaknya.
Baru saja pemuda itu akan beranjak, tiba-tiba Kok Gi pek menarik ujung bajunya sambil berbisik.
“Eeeh…..jangan menuju ke arah sana!”
“Kenapa?” tanya Hoa In-liong sambil berpaling setelah tertegun sesaat lamanya.
“Seingatku baru saja kita datang dari arah selatan, kalau sekarang kita menuju ke sana lagi
bukankah sama artinya dengan berjalan balik ke tempat semula? Seharusnya kita menuju
kemari.”
“Huuu… urusan sepele pun dibicarakan terus tidak ada hentinya,” pikir pemuda itu dalam hati.
Maka sambil tersenyum katanya, “Baiklah, akan kuturuti kemauanmu…..”
Ia lantas putar badan dan menuju ke arah yang ditunjuk.
Sekulum senyuman secerah bunga yang baru mekar menghiasi wajah Kok Gi-pek, dengan wajah
berseri-seri karena gembira gadis itu mengikuti dari sampingnya.
Lorong itu walaupun sempit tapi panjang dan lurus, kurang lebih setengah li sudah dilewati
namun ujung jalan belum juga kelihatan.
Ko Gi pek mulai celingukan kesana kemari, akhirnya ia temukan sebuah warung mie ditepi jalan,
segera ditariknya ujung baju Hoa In-liong sambil berbisik, “Bagaimana kalau di tempat ini saja?”
Hoa In-liong berpaling ke arah yang ditunjuk, ia saksikan warung mie itu gelap kotor dan sempit
dengan alis berkernyit katanya.
“Buat aku sih tak menjadi soal…..”
“Kalau begitu kita bersantap disini saja!” tukas Kok Gi pek dengan cepat.
Selincah burung walet yang terbang di angkasa, gadis itu melompat masuk ke dalam warung dan
mencari tempat duduk.
Sudah barang tentu dalam keadaan begini tak ada pilihan bagi Hoa In-liong daripada mengikuti
kehendak si nona dan masuk dalam warung.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
28
Pemilik warung mie itu adalah seorang kakek yang wajahnya penuh keriput, ketika secara tibatiba
ia saksikan dalam warungnya kehadiran sepasang muda-mudi yang cakep masuk, sesaat
kemudian tertegun dan mengucak-ucek matanya berulang kali.
Semenjak kecil sampai tua belum pernah ia jumpai pemuda yang tampan dan gagah seperti ini
belum juga menjumpai gadis yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, tak heran kalau
kakek itu melongo dan tak tahu apa yang meski dilakukan.
Setelah berada di dalam warung, Hoa In-liong jumpai warung tersebut gelap kotor, kecuali tiga
buah meja kasar, hanya terdapat delapan buah bangku bambu, waktu itu tak seorang manusia
pun bersantap disana.
Tapi Kok Gi pek tidak ambil perduli terhadap keadaan tersebut, ia mengambil dua buah bangku
dan lantas duduk.
“Hayo duduklah!” ia berkata manja.
Hoa In-liong ikut duduk, kemudian katanya sambil tertawa, “Agaknya kau sudah jemu bersantap
di rumah makan terkenal? Sehingga warung mie macam beginipun kau datangi.”
Kok Gi-pek tertawa.
“Kau sendiri juga bukan untuk pertama kali bersantap di tempat semacam ini bukan?” katanya.
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tidak. Sewaktu masih kecil dulu aku sering turun gunung, warung-warung kecil semacam ini
banyak tersebar di sekitar bukit Im-tiong-san, bukan cuma satu kali saja aku bersantap di
warung kecil semacam ini.”
“Tapi aku dengar perkampungan Liok-soat sanceng kalian kaya raya dan hartanya menandingi
sebuah negeri, masa dirumah tak ada makanan sampai kau musti jajan di warung kecil?” kata
Kok Gi pek sambil membelalakkan sepasang matanya.
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaaah….. haaah… haaah…… bandit-bandit kecil, gelandangan-gelandangan kecil yang hidup di
sekitar bukit Im tiong san merupakan anak buahku semua, setiap hari kami selalu berkumpul dan
main bersama, tentu saja komplotan manusia semacam kami tak pantas untuk jajan di sebuah
rumah makan besar yang mentereng.”
Ketika mendengar cerita tersebut Kok Gi-pek seolah-olah membayangkan pula kebinalannya
dikala masih kecil dulu, sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibirnya.
Tiba-tiba ia merasa kakek pemilik warung itu sama sekali tidak menyapa mereka, sambil
berpaling segera bentaknya!
“Hei, tauke! Ada tamu yang datang bersantap kenapa tidak kau perdulikan sama sekali.”
Mungkin lantaran baru pertama kali ini warungnya dikunjungi sepasang muda-mudi secakep itu,
si kakek pemilik warung menjadi takut untuk menyapa, apalagi maju mendekatinya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
29
Setelah ditegur oleh si nona yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan itu, dengan gelagapan
baru katanya, “Siau loji…………”
“Soal yang lain tak usah dibicarakan lagi,” tukas Kok Gi pek sambil ulapkan tangannya, “disini
ada makanan apa yang dijual?”
“Nona suka makan apa?” kakek itu balik bertanya setelah tertegun beberapa saat lamanya. Kok
Gi pek kembali tertawa merdu.
“Makanan yang kusukai tak mungkin ada disini!” katanya.
“Coba nona sebutkan, mungkin aku si tua bisa mengusahakannya………”
Kok Gi pek segera memutar biji matanya yang jeli, lalu jawabnya satu persatu, “Aku gemar
makan Telapak tangan beruang, tonjolan daging punggung unta, bibir gorilla, ikan mujair bersirip
empat dan masih beraneka macam masakan lainnya, apakah disini tersedia hidangan semacam
itu?”
Diam-diam geli juga Hoa In Hong mendengar perkataan itu pikirnya, “Kalau dalam perjumpaan
yang lalu ia tampak seperti searang gadis yang matang dengan segala tipu daya yang sempurna,
maka sikapnya sekarang tak lebih dari seorang gadis remaja yang masih polos lucu dan binal
lagi….”
Tentu saja kakek itu terbelalak lebar matanya setelah mendengar nama nama hidangan yang
termasuk mewah itu ia menjadi gelagapan sendiri, “Kalau ini…. kalau ini…”
“Makanya tak usah membicarakan yang muluk muluk” tukas Kok Gi pek sambil tertawa,
“sebutkan saja nama-nama bakmi yang kau jual disini!”
Seperti baru saja mendapat pengumuman dari hukuman mati, buru-buru kakek itu menyebutkan
semua nama bakmi yang dijual dalam warung itu.
Kok Gi pek termenung dan berpikir sebentar, kemudian sambil berpaling ke arah Hoa In-liong
katanya, “Nama dari masakan bakmi lainnya tidak kupahami, cuma nama Yang cun mie saja…”
Tersenyum juga Hoa In-liong menyaksikan tingkah laku gadis itu, pikirnya.
Beginilah kalau di hari-hari biasa sebagai murid dari Hian-beng kaucu harus makan aneka macam
hidangan yang lezat dan mewah, sehingga terhadap makanan yang sederhana dan umum tidak
dipahami.” Maka katanya kemudian sambil tersenyum.
“Kalau Yang cun-pek-soat tentunya kau tahu bukan?”
Kok Gi-pek tertawa geli.
“Oooh…………jadi yang dimaksudkan Yangcun-mie adalah bakmi putih? Baiklah, mari kita cicipi
mie putih!” katanya.
Kemudian sambil menatap wajah Hoa In-liong dengan biji matanya yang jeli, gadis itu bertanya
lagi lembut, “Kau sendiri suka makan apa?” Hoa In-liong tertawa.
“Apa yang kau sukai akupun suka, mari kita bersama-sama mencicipi Yang cun-mie!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
30
Kok Gi-pek tertawa manis, ia lantas memberi tanda kepada kakek itu untuk membuatkan
pesanannya.
Waktu itu tengah hari sudah menjelang tiba, tapi belum ada tamu yang bersantap disana, Hoa
In-liong mencoba untuk menengok ke depan, ia temui belasan orang yang berada diluar warung
sedang menengok ke-arah mereka berdua.
Perlu diterangkan disini, tungku tempat masak dari warung mie ini letaknya ada di dekat pintu
masuk, waktu itu si kakek sambil menyiapkan mie sering kali harus menyapa pula rekanrekannya.
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki kekar yang menghampiri kakek itu, lalu membisik kan sesuatu
disisi telinga.
Sebagai seorang jagoan yang berilmu tinggi, Hoa In-liong sempat mendengar orang itu sedang
menyebutkan nama sendiri.
Benar juga, dengan terperanjat kakek itu menengok kembali ke arah tamunya, tanpa ia sadari
perasaan kagum dan hormat segera muncul menghiasi wajahnya, sedang laki-laki tadi setelah
membisikkan sesuatu segera mengundurkan diri kembali dari warung itu.
Hoa In-liong mengerti bahwa laki-laki yang berkerumun di muka warung mungkin adalah
sekawanan rakyat kecil yang hidup melarat.
Lantaran mereka menjumpai Hoa Ji kongcu berada disana, maka tak seorangpun yang berani
masuk ke warung untuk makan bersama.
Sesungguhnya pemuda itu bermaksud untuk memanggil mereka masuk dan dan makan
bersama, sehingga dagangan warung mie ini tidak terganggu tapi menyaksikan kegembiraan Kok
Gi pek waktu itu ia menjadi tak tega. Pikirnya, “Persahabatan diantara kami mungkin hanya
berlangsung kali ini saja…..”
Ai, kalau toh ia mengharapkan suasana yang tenang, lebih baik kubiarkan dia makan dengan
tenang dan tenteram, asal kubayar lebih banyak untuk kakek ini urusan toh akan beres dengan
sendirinya.”
Tak lama kemudian kakek itu sudah datang menghidangkan dua mangkuk mie sambil berdiri
disamping, katanya agak tergagap, “Hoa ya, bakmi ini….bakmi ini…..”
“Soal ini tak usah kau urusi pergilah mengundurkan diri!” kata Hoa In-liong sambil ulapkan
tangannya.
Kakek itu mengira sedang muda-mudi itu adalah sepasang kekasih yang sedang bercinta-cintaan
dan tak ingin diganggu orang, cepat-cepat mengundurkan diri dari sana.
Kok Gi pek bersantap dengan nikmatnya, sedang Hoa In-liong ikut menyupit bakmi itu dan
melalapnya beberapa kali, pikirnya kemudian, “Heran apa enaknya dengan bakmi ini…..”
Hubungan antara pria dan wanita memang sangat aneh dan ajaib, dikala tiada kecocokan meski
hidangan lezat yang mahal harganya sukar rasanya ditelan, sebaliknya bila muncul bibit cinta,
maka sekalipun makanan yang paling tak enakpun, kalau dimakan rasanya juga nikmat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
31
Terdengar Kok Gi pek berkata dengan lembut, “Bagaimana rasanya?” “Ehm,…. lumayan juga!”
jawab Hoa In-liong sambil tertawa.
Kok Gi pek seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian dibatalkan. Selang
beberapa saat kemudian baru katanya lagi, “Apakah malam nanti kau bertekad untuk
menghadirinya?”
Hoa In-liong tahu, yang dia maksudkan adalah undangan dari Kok See pian, katanya sambil
tertawa, “Apa lagi yang musti kukatakan?”
“Aaaai….tahukah kau bahwa beberapa orang suteku, Beng Wi-cian serta Toan-bok See-liang
mereka semua mendesak terus kepada guruku guna melenyapkan kau dalam perjamuan
tersebut?” kata Kok Gi pek sambil tertawa.
“Lantas bagaimana pendapat gurumu?” tanyanya.
Guruku cuma tertawa tanpa menjawab, aku rasa keadaannya sangat gawat dan sangat
membahayakan jiwamu, lebih baik kau jangan pergi kesana.
Hoa In-liong termenung sejenak, lalu katanya, Walaupun aku belum pernah bersua dengan
gurumu, tapi dapat kuduga dalam perjamuan tersebut gurumu pasti akan menyambut ke
datanganku dengan hormat dan sungkan.
Kok Gi pek menghela nafas panjang setelah mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian.
“Kalau memang begitu kau harus berhati-hati!”
Setelah berpikir sebentar, tiba-tiba katanya lagi, “Guruku berhasil meyakinkan sejenis tenaga
pukulan yang mampu menyalurkan hawa beracun ke dalam isi perut lawan tanpa disadari oleh
sang korban sendiri, daya kerja racun itu keras dan kuat. Dewasa ini belum ada tandingannya di
dalam dunia…..”
“Aku tidak mempan terhadap segala jenis racun, jadi tak usah kuatir….” tukas Hoa In-liong
sambil tertawa.
“Terhadap racun kau boleh tidak takut, tapi tenaga pukulan itu bisa menembusi lapisan
pelindung badan yang bagaimana kuatnya, orang akan terluka isi perutnya tanpa ia sendiri
menyadarinya.”
Setelah berhenti sejenak ia menambahkan sambil tertawa sedih, “Aaaai… padahal sesungguhnya
tak boleh kuberitahukan segala sesuatunya kepadamu.”
“Nona tak usah kuatir, tidak akan memanfaatkan pemberitahuan nona itu bagi kepentingan ku!”
“Kau…!” seru Kok Gi-pek dengan kesal. Kepalanya segera ditundukan rendah-rendah dan
mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
“Bagaimana kalau kita pergi?” kata Hoa In-liong kemudian sambil bangkit berdiri. Tanpa,
mengucapkan sesuatu apapun Kok Gi-pek bangkit berdiri dan mengikuti pemuda itu keluar dari
warung.
Sebelum pergi, Hoa In-liong meninggalkan sekeping uang perak ke atas meja sambil katanya,
“Sobat-sobat diluar, kujamu kalian semua.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
32
Hoa-ya, uangmu kebanyakan…………..paling-paling cuma beberapa rence yang tembaga……..”
seru kakek itu gugup.
Tapi sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Hoa In-liong sudah bertegur sapa dengan sekalian
orang diluar warung, kemudian bersama Kok Gi-pek pergi meninggalkan tempat itu, sekejap
kemudian bayangan tubuh mereka sudah lenyap di ujung lorong.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua sudah keluar dari pintu kota selatan. Hoa In-liong
segera berhenti sambil katanya.
“Selamat jalan nona, aku tidak menghantar lebih jauh!”
Kok Gi-pek menghela napas panjang.
Aaaai……..apakah kita masih boleh berkawan?” tanyanya.
“Sekarang bukankah kita sedang bersahabat?”
“Tapi bagaimana selanjutnya?” tanya Kok Gi pek sambil mendongakkan kepalanya.
Diam-diam Hoa In-liong berpikir dalam hati, “Kalau gurumu bersikeras ingin membalaskan
dendam bagi kematian gurunya, sudah barang tentu keluarga kami tidak akan membiarkan kau
bertingkah sekehendak hatinya dimuka umum, dalam keadaan begini hubungan kita ibaratnya
api dan air mana mungkin persahabatan ini bisa terjalin lebih jauh…….?”
Ketika berpikir sampai disini, ia sudah akan membuka suara untuk memberi jawaban akan tetapi
ketika dilihatnya Kok Gi pek dengan sepasang biji matanya yang bening dan jeli sedang
menatapnya tajam-tajam bahkan tubuhnya yang ramping kelihatan agak gemetar, pemuda itu
menjadi ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
Karena itu setelah termenung dan berpikir sejenak, sahutnya sambil tertawa, “Asal kau tak ingin
membunuhku, tentu saja kita boleh bersahabat terus untuk selama-lamanya.”
Sungguh lega perasaan Kok Gi pek ia tertawa manis.
Jago-jago lihay dari perkumpulan kami sebagian besar berkumpul dalam sebuah gedung besar
lebih kurang belasan li di kota bagian selatan,” bisiknya lirih, “sedangkan jago yang berada dalam
tingkatan kedua berkumpul dalam sebuah gedung dekat kota, jika dalam surat undangan tidak
dicantumkan alamatnya itu berarti perjamuan akan diselenggarakan dalam gedung yang agak
jauh letaknya dari kota, cuma…..yaa dalam perjamuan itu mungkin aku tidak ikut munculkan
diri.”
Hoa In-liong tersenyum.
“Aku sendiripun tak ingin berjumpa dengan kau dalam suasana dan keadaan seperti itu,” katanya
pula.
Sambil putar badan ia maju beberapa langkah, tapi ia berpaling kembali, dan dilihatnya Kok Gi
pek masih berdiri di tempat semula sambil memandang bayangan punggungnya dengan
termangu-mangu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
33
Hoa In-liong ulapkan tangannya bermaksud agar nona itu cepat pergi, siapa tahu bagaikan
burung walet yang kembali ke sarangnya, Kok Gi-pek malahan menerjang kehadapannya sambil
memanggil. “In-liong…”
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan, “Bolehkah aku memanggil namamu dengan sebutan
tersebut?”
Hoa liong manggut-manggut.
“Ada apa?” ia bertanya.
Kok Gi-pek tertawa jengah, agak tergagap ia menjawab, “Oooh…tidak apa-apa…”
Hoa In-liong tertawa lebar, dan segera putar badan meninggalkan tempat itu, pikirnya Kalau
begini terus-terusan pasti tiada akhirnya.
Rasa cintanya terhadap Kok Gi-pek boleh dibilang tersendat-sendat dan tidak berani berlangsung
secara bebas, bukan saja ia teringat kembali akan diri Coa Wi-wi, pemuda itupun menyadari
bahwa permusuhan antara keluarga Kok dan keluarga Hoa cepat atau lambat pasti akan
berakhir, sekalipun menu-rut anggapannya cinta adalah cinta, dendam adalah dendam dan satu
sama lainnya tak bisa dipersatukan, namun dia cukup mengerti pandangannya belum tentu bisa
sama dengan pandangan orang.
Baginya untuk melukai hati seorang gadis secantik itu bukan menjadi wataknya, maka sebelum
segalanya terlanjur dia harus bertindak lebih berhati hati lagi.
Sementara masih berpikir, tahu-tahu ia sudah tiba dimuka rumah penginapan, waktu itu Coa
Cong-gi dan Yu Siau-Lam sekalian telah keluar rumah, sedangkan Ho Keh-sian, Kok Hiong-seng
dan beberapa orang kakek tetap tinggal disana.
Dengan suara lantang Hoa In-liong segera berteriak, “Empek Ho, saudara Siau-lam sekalian telah
pergi kemana?”
Dengan kening berkerut, kata Ho Keh-sian, “Karena sampai tengah hari kau belum pulang juga,
mereka merasa tak tenang dan segera keluar rumah untuk mencarimu.”
Hoa In-liong tertawa.
Kesetiaan kawan mereka sangat terpuji, cuma mereka lupa, bahwasanya aku bukan seorang
manusia yang gampang dipecundangi orang.
Setelah berhenti sejenak, kembali tanyanya, “Apakah orangnya Cia Yu-cong sudah datang?”
Ho Keh-sian manggut-manggut.
“Menurut orang itu, setelah dua orang anggota Hian-beng-kau diikuti secara diam-diam, dapat
diketahui bahwa mereka masuk ke dalam sebuah gedung kurang lebih beberapa li diluar kota
sebelah timur”
Sambil tertawa Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tempat itu bukan gedung yang dihuni Kok See-piau, sebab mereka berada sepuluh li di selatan
kota.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
34
“Hei, mengapa kau singgung pula soal Kok See-piau si bajingan tengik itu?” tegur Ho Keh-sian
keheranan.
“Kini Kok See-piau telah menjadi seorang gembong iblis yang mengerikan, ia menyebut dirinya
sebagai Kiu ci Sinkun, setelah mendirikan Perkumpulan Hian-beng-kau, ia dipanggil orang
sebagai kaucu!”
“Aaaah… mana si bajingan tengik itu sudah berhasil mencapai kelihaian yang sedemikian
hebatnya?” seru Ho Keh-sian dengan perasaan amat terkejut.
Sebagaimana diketahui, sewaktu jaman jaya-jayanya perkumpulan Sin ki-pang, pek Siau thian
mempunyai hubungan persahabatan yang akrab sekali dengan Bu-liang sinku.
Dalam masa-masa tersebut Kok See-piau sering kali berkunjung ke bukit Tay-pa-san sebagai
tamu agung, tidak heran kalau semua anggota Sin-ki Pang kesal dengannya.
Diantara sekian banyak orang, cuma Kok Liong seng seorang yang tidak menunjukkan reaksi
apa apa, karena dia yang jarang terjun dalam dunia persilatan tidak mengenali siapakah Kok
See-piau itu.
Kedengaran Si Jin-kiu berkata dengan dingin, “Semua saudara-saudara kami telah dikumpulkan
untuk berjaga diluar perkampungan, bila gelagat tidak menguntungkan nanti, kami siap untuk
menyerbu ke dalam guna memberi bantuan.”
“Perkataan dari Si lote betul juga…..”
Ho Keh-sian manggut-manggut. “Dendam kesumat Kok See-piau terhadap keluarga Ji kongya
memang menumpuk bagaikan sebuah bukit, dari pada Liong sauya pergi seorang diri, memang
ada baiknya kalau mempersiapkan bala bantuan diluar gedung, siapa tahu kalau waktu itu
tenaga kami sangat dibutuhkan?”
Hoa In-liong tertawa.
“Empek sekalian jangan terlalu pandang rendah dirinya. Kok See-piau yang sekarang berbeda
de-ngan Kok See-piau dulu, cukup dilihat dari ambisinya yang setinggi langit dapat diketahui
bahwa manusia ini tak bisa diangap enteng.”
Kok Hong seng tertawa terbahak-bahak, dia ikut menimbrung, “Haaah…..haaah…..haaahh……
sungguh tak kusangka Han beng kaucu berasal satu marga denganku. Wah…. kalau begitu aku
musti berkenalan lebih akrab lagi dengannya.”
Tentu saja yang dimaksudkan sebagai “perkenalan yang lebih akrab” adalah suatu tantangan
untuk berduel dengan Kok See-piau.
Sementara semua orang masih berseloroh tiba-tiba terdengar suara langkah manusia
berkumandang dari luar ruangan, manusianya belum muncul suara dari Coa Cong gi sudah
berkumandang dengan lantang.
“Hai permainan setan apa yang sesunggunya sedang kau lakukan? Bukankah sudah dibilang
hanya pergi ke rumah makan sebentar? Kemana lagi kau pergi?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
35
Dengan langkah lebar ia masuk dulu ke dalam ruangan dikuti Yu Siau Lim, Li Poh seng dan Kok
Siong-peng.
“Dalam kepergianku kali ini berhasil kuketahui asal usul dari Hian-beng kaucu, dan kalian?” kata
Hoa In-liong.
Coa Cong-gi tertegun mendengar perkataan itu, segera serunya, “Siapakah bajingan keparat itu?
Cepat beritahukan kepada kami!”
Dengan ogah-ogahan Hoa In-liong menggeliat, lalu katanya, “Lebih baik tanyakan sendiri kepada
congkoanmu, karena dia adalah sanak keluarganya Kok congkoan!”
Dengan mata melotot besar Coa Cong-gi segera berpaling, kepada Kok Hong-seng segera
teriaknya, “Bagus sekali! Hei Kok congkoan! Tak ku sangka kalau kau adalah anak keluarganya
gembong iblis itu.”
Tentu saja keadaan ini menggelisahkan Kok Hiong-seng, ia benar-benar di bikin runyam mau
tertawa tak bisa mau menangis pun sungkan.
“Eeeh………eeeh….nanti dulu, nanti dulu, walaupun gembong iblis itu berasal dari marga Kok
tapi bukan sanak keluargaku. Ji-kong cu cuma bergurau saja.”
Hoa In-liong tetap tenang-tenang saja walaupun melihat kepanikan orang, seakan akan tak
pernah terjadi sesuatu ia lantas memberi hormat sambil berkata, “Untuk menghadapi pertemuan
magrib nanti, aku membutuhkan tenaga dan kondisi badan yang baik, maaf kalau aku muski
pergi beristirahat lebih dulu…….”
Selesai berkata dia lantas meninggalkan ruangan itu kembali ke kamarnya sendiri, dimana ia
duduk bersemedi sambil mengatur pernapasan, ia cukup tahu betapa seriusnya pertemuan
magrib nanti, maka persiapan yang dilaksanakan tak berani dilakukan secara gegabah.
Rekan-rekan lainnya tak ada yang berani mengganggu ketenangan pemuda itu, mereka semua
berkumpul di ruang depan untuk merundingkan cara yang terbaik dalam melindungi keselamatan
pemuda tersebut.
Ketika Hoa In-liong membuka matanya kembali, sore telah menjelang tiba, ia mendengar suara
dari Beng Wi thancu dari ruang Thian ki di dalam perkumpulan Hian-beng-kau sedang
berkumandang diluar, maka bergegas ia keluar dari kamarnya.
Ketika Beng Wi-thancu menjumpai kemunculan anak muda itu, ia segera memberi hormat sambil
berkata, Waktu sudah tidak pagi lagi, bagaimana kalau sekarang juga kita melakukan
perjalanan?”
“seharusnya memang demikian!” jawab anak muda itu.
Dengan sorot matanya yang tajam Beng Wi-cian menyapu sekejap kawanan jago yang berada di
sekeliling tempat itu, lalu kembali berkata, “Begini banyak sahabat Hoa kongcu yang berkumpul
disini, mau berangkat bersama ataukah kau hendak penuhi undangan tersebut seorang diri?” Coa
Cong gi segera membuka mulutnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian
dibatalkan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
36
Hoa In-liong lantas menduga bahwa mereka sudah mempunyai rencana tertentu, sebab kalau
tidak demikian, dengan waktu Coa Cong gi yang berangasan mana mungkin ia bisa menahan
diri?
“Tentu saja aku berangkat seorang diri!” katanya kemudian.
“Kalau begitu, silahkan!” kata Beng Wi cian sambil mengelus jenggotnya dan tertawa, ia
melangkah lebih duluan meninggalkan ruang tersebut.
sebelum berangkat tiba-tiba Hoa In-liong berpaling dan katanya dengan wajah bersungguh
sungguh, “Empek Ho, aku harap kalian jangan berjaga jaga diluar gedung, sebab kalau sampai
ketahuan mereka, tentu mereka akan mentertawakan orang-orang keluarga Hoa kami yang
dinilainya sebagai penakut semua.”
Ho Kek sian yang mendengar perkataan itu menjadi tertegun, baru saja ia hendak mengucapkan
sesuatu, Hoa In-liong sudah pergi jauh.
Setelah keluar dari rumah penginapan, ia jumpai ada beberapa orang anggota Hian-beng-kau
sedang menuntun kuda, salah seekor diantaranya berbulu hitam pekat dan sama sekali tak ada
campuran warna lain, dari kepala sampai keekor panjangnya satu koma dua tombak, tinggi besar
dan kekar sekali, jelas seekor kuda jempolan.
“Kuda bagus!” puji Hoa In-liong tanpa sadar.
Wu-im-kay soat (awan hitam menyelimuti salju) ini adalah kuda mustika kesayangan kaucu
kami,” demikian Beng Wi cian menerangkan, “oleh karena Hoa kongcu adalah seorang yang
terhormat, sengaja kami jemput kedatangan kongcu dengan kuda ini. Dari sini bisa diketahui
bahwa kaucu kami sangat menaruh perhatian terhadap diri Hoa kongcu.”
Hoa In-liong coba memperhatikan kuda itu dengan seksama, betul juga keempat buah kakinya
putih mulus bagaikan salju, maka ia cuma tersenyum belaka tanpa mengambil komentar, dengan
enteng tubuhnya melompat ke atas punggung kuda itu.
Pada umumnya kuda mustika semacam ini hanya kenal dengan majikannya, barang siapa berani
mendekatinya dia selalu berontak dan berusaha melemparkan orang asing itu dari punggungnya.
Begitu juga halnya dengan kuda ini, baru saja Hoa In-liong melompat ke atas punggungnya,
kuda itu segera meringkik panjang, sepasang kaki depannya diangkat ke atas, punggungnya
disentakkan ke belakang dan berusaha melemparkan tubuh Hoa In-liong ke udara.
Ringkikan panjang itu cukup nyaring dan menggetarkan selaput telinga, kontan saja para
penjalan kaki yang berada di sekitar tempat itu mengundurkan diri ke belakang, rupanya mereka
kuatir jika kuda tersebut mengumbar sifat liarnya.
Wu-im-kay-soat atau awan hitam menutupi salju adalah sejenis kuda jempolan yang langka di
dunia ini, biasanya jika ia sedang marah maka kuda kuda lainnya akan menjadi ketakutan dan
pada kabur dengan badan bergemetaran.
Diam-diam Beng Wi cian tertawa sinis, pikirnya, “Akan kulihat dengan cara apa kau hendak
menaklukan kuda ini…..”
Haruslah diketahui, bagi orang-orang yang berilmu silat tinggi bukan menjadi masalah Untuk
menundukkan kuda macam “Wu im kay soat” ini kendatipun kuda itu lebih hebat beberapa kali
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
37
lipat, cuma untuk menaklukan secara manis bukanlah suatu perbuatan yang gampang, apalagi di
tengah kota yang ramai, apalagi kuda itu sampai melukai orang sudah pasti Hoa In-liong akan
merasa kehilangan muka.
Siapa tahu Hoa In-liong memang sudah menduga maksud busuk orang-orang itu, menaklukan
kuda bukan sesuatu yang aneh bagi pemuda ini, apalagi dirumahnya terdapat pula “Liong ji”
sejenis kuda berkeringat darah yang lebih susah ditaklukkan maka menaklukkan kuda liar bagi
Hoa In-liong adalah suatu pekerjaan yang bisa dengan pengalaman yang matang.
Maka begitu badannya melayang turun di atas pelana, sepasang kakinya segera menjepit perut
kuda itu keras-keras, hawa murnipun disalurkan untuk memberatkan bobot tubuhnya.
Dengan berbuat demikian, maka kuda “Wu im-kay soat” tersebut segera merasakan
punggungnya seperti ditindih dengan bukit karang yang berat sekali, sekalipun ia sudah
berusaha untuk meronta kesana kemari dan mencoba untuk melemparkan penumpangnya ke
udara, usahanya itu selalu gagal total.
Lama kelamaan rupanya kuda itu mulai sadar bahwa orang yang dihadapinya cukup tangguh,
sambil meringkik panjang ia lantas berusaha menerjang maju ke depan.
Apabila kuda “Wu im kay soat” tersebut sempat menerjang ke muka secara kalap, tak bisa
dihindari lagi tentu banyak orang yang akan terluka terlanggar kakinya, suasana seketika menjadi
gempar dan semua orang melarikan diri tercerai berai.
Disaat saat yang paling kritis itulah, Hoa In-liong melompat turun ke atas tanah, dengan
sepasang tangan-nya yang kuat ia memeluk tengkuk kuda itu lalu ditekannya ke bawah.
Dengan marah kuda Wu im kay soat memberontak, kakinya dijejakkan kesana kemari sambil
meronta dengan sepenuh tenaga, pasir dan debu sampai beterbangan memenuhi angkasa tapi
tubuhnya tak bisa berkutik.
Selang beberapa saat kemudian suara ringkikan kuda “Wu im kay soat” makin melemah, Hoa Inliong
segera membentak keras, “Binatang! Kau belum juga mau takluk?”
Diam-diam hawa murninya diperbesar dua bagian kuda Wu im kay soat itu meringkik panjang
lalu tak berkutik lagi dengan kepala yang digoyang goyangkan dan ekor yang dikebaskan kesana
kemari binatang itu menunjukkan sikap mohon belas kasihan.
Setelah berada dalam keadaan begini tempik sorak mulai menggelegar dari empat penjuru
semua orang pada bertepuk tangan sambil memuji tiada hentinya.
Diam-diam Beng Wi cian pun merasa sangat kagum, sambil mengelus jenggotnya dan tertawa ia
berkata, “Tenaga dalam yang dimiliki Hoa kongcu benar-benar mengagumkan, kecuali kaucu
kami belum pernah ada orang kedua yang sanggup menaklukkan kuda jempolan ini semudah
sekarang ini.”
Dengan muka yang tidak merah, nafas tidak tersengkal kata Hoa In-liong dengan hambar,
“Kepandaian macam begitu bukan terhitung kepandaian jempolan, harap jangan kau
tertawakan.”
Beng Wi cian tidak banyak berbicara lagi ia lantas naik ke atas kudanya diikuti beberapa orang
anggota Hian-beng-kau yang lain kemudian mereka bersama-sama berangkat ke luar dari kota
selatan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
38
Hoa In-liong jalan bersanding dengan Beng Wi cian, sesaat kemudian sampailah mereka di depan
sebuah gedung.
Gedung itu besar sekali dan berdiri di tengah hutan yang lebat, meskipun luas bangunannya
tidak mentereng, jauh berbeda dengan gedung-gedung yang biasa dihuni oleh kaum hartawan.
Waktu itu pintu gerbang terbuka lebar, sepanjang jalan dari pintu gerbang sampai di luar ruang
tengah, kedua sisi jalannya penuh berdiri dengan laki-laki berbaju ungu yang menyandang golok,
jumlah mereka mencapai tiga puluh orang lebih.
Kawanan jago itu berbaris sangat rapi, masing-masing membawa sebuah obor yang diangkat
tinggi tinggi sehingga suasana dalam gedung terang benderang bagaikan di tengah hari.
Sekalipun demikian, suasana tetap tenang dan tak kedengaran sedikit suarapun, dibalik
kehening-an lamat-lamat terselip pula hawa pembunuhan yang mengerikan.
Ketika Hoa In-liong melompat turun dan kudanya, seorang anggota Hian-beng-kau segera maju
menyambut tali les kudanya.
Silahkan masuk Hoa kongcu kata Beng Wi-cian kemudian sambil memberi hormat, “kaucu Kami
sudah menunggu semenjak tadi.”
Sambil tersenyum Hoa In-liong melangkah masuk ke dalam ruangan.
Laki-laki kekar yang berdiri dikedua belah sisi jalan itu segera teriak bersama, “Hoa kongcu
tiba……”
Tenaga dalam yang dimiliki lima enam puluh orang ini rata-rata cukup sempurna, apalagi
berteriak secara serempak, hebatnya melebihi guntur yang membelah bumi di siang hari bolong
sungguh memekikkan telinga.
Tapi Hoa In-liong tetap tenang, terpengaruh barang sedikitpun tidak dia malah bersikap seakanakan
tak pernah menyaksikan sesuatu apapun, sementara dalam hati kecilnya ia berpikir, “Hianbeng-
kau merupakan suatu organisasi yang lain dari pada yang lain dengan perkumpulan lainnya
dalam dunia persilatan, tak mungkin rasanya mereka akan mencoba musuhnya dengan
menggunakan barisan golok atau sebangsanya….”
Sementara masih melamun, ia sudah tiba di depan ruangan besar, tampaklah seorang laki-laki
berjubah panjang warna merah memelihara jenggot bercabang tiga, bermuka putih tapi keren
berdiri dibarisan terdepan.
Meskipun ia cuma berdiri biasa, namun sorot matanya yang melebihi ketajaman burung elang itu
cukup membuat orang melihatnya menjadi ngeri dan bergidik.
Hoa In-liong segera mengerti, kecuali Kok See-piau sedang mengamati wajah Hoa In-liong dari
ujung rambut sampai ujung kakinya, sinar mata itu buas dan mengandung nada kebencian,
sampai Hoa In Hong yang tersohor karena keberaniannya ikut bergidik juga jadinya.
“Sungguh tak kusangka rasa bencinya terhadap keluargaku sudah mencapai tingkatan
sedemikian hebatnya…..” demikian ia berpikir.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
39
Cepat cepat ia pusatkan kembali seluruh perhatiannya, lalu setelah memberi hormat katanya,
“Aku yang muda Hoa In-liong khusus datang untuk menyambangi siokun.”
Ia menyebutkan dengan kata “siukun” bukan kaucu, hal ini dikarenakan dibalik ucapan itu masih
terkandung maksud lain yakni ia sudah mengetahui asal usul dari Kok See-piau.
Tiba-tiba Kok See-piau tertawa terbahak-bahak lalu katanya,
“Haaah…haaahh,…haaahh…,betul juga, kalau ayahnya harimau anaknya tentu ikut harimau,
sungguh gembira aku orang she Kok menyaksikan sobat lamaku bisa mempunyai keturunan
sehebat ini
Dengan hormat ia mempersilahkan masuk.
Dengan tenang Hoa In-liong mengikuti dibelakangnya masuk ke dalam ruangan, sementara
dihati kecilnya merasa terkejut sekali atas ketenangan serta kelicinan Kok See-piau.
Kalau suasana diluar ruangan tadi jelek, tua dan tak sedap dilihat maka suasana dalam ruangan
itu berputar 180 derajat, bukan saja tiang-tiangnya terdiri dari tiang besar dengan ukiran yang
indah, lampu keraton merah darah yang halus melapisi permukaan lantai, bukan begitu saja,
alat-alat makan dan minum yang tersedia di meja perjamuan rata-rata indah dan mahal
harganya, mungkin suasana itu lebih mewah dari keraton kaisar.
Setelah Hoa In-liong dan Kok See-piau masing-masing mengambil tempat duduk, kawanan jago
lainpun ikut menempati kursinya masing-masing, diantara sekian banyak orang hanya delapan
orang pemuda yang berdiri dibelakang Kok See-piau, empat diantaranya adalah para Ciu Hoa
yang pernah dijumpai Hoa In-liong, jadi jelas mereka semua adalah murid-muridnya Kok Seepiau.
Seperti apa yang pernah dikatakan Kok Gi pek, ternyata dalam perjamuan ini dia benar-benar
tidak menampakkan diri tapi Toan-bok See-liang, Beng Wi-cian serta Tang Bong-liang ikut hadir
dalam ruangan.
Terdengar Kok See-piau berkata, “Hoa kongcu, kau cerdas hebat dan luar biasa, sekalipun aku
orang she Kok berusaha untuk merahasiakan jejaknya, rupanya hal ini tak mungkin bisa
mengelabui dirimu……”
Ketika berbicara sampai disitu, ucapannya terhenti sejenak dan ditatapnya wajah anak itu tajamtajam.
“Hebat benar orang ini pikir Hoa In-liong dihati kecilnya.
Sambil tertawa dia lantas berkata, “Jejak Sinkun amat rahasia dan susah dicari, akupun musti
melacaki sedikit demi sedikit, setelah melakukan penyelidikan sekian lama cuma garis besarnya
saja yang bisa ku ketahui.”
“Kalau begitu, permusuhan antara aku Orang she Kok dengan pihak ayahmu pasti sudah Hoa
kongcu ketahui dengan jelas bukan?” kata Kok See-piau lagi pelan-pelan.
Hoa In-liong segera mengerutkan dahinya, “Apakah Sinkun hendak menggunakan kesempatan
ini untuk melakukan penyelesaian atas hutang-hutang lama kita?”
“Hmm…….jangan kau pandang begini rendah karakter aku orang she Kok………”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
40
Hoa In-liong tidak berbicara lagi, sinar matanya segera dialihkan mengamati sekejap orang-orang
yang berada di sekelilingnya.
Ia menyaksikan orang pertama yang duduk di sebelah kiri Kok See-piau adalah seorang kakek
tinggi besar berjubah panjang, disampingnya adalah kakek berambut keperak-perakan dan
berwajah merah seperti bayi, sebaliknya Toan bok See liang sebagai Cong thamcu dan Beng Wi
cian dari Thian ki thamcu rupanya bukan termasuk manusia manusia penting, ini terbukti dari
tingkat kedudukan mereka yang rendah.
Diam-diam terkejut juga anak muda itu, segera pikirnya, “Kalau dilihat dari pancaran sinar mata
mereka, jelas orang-orang itu adalah kawanan jago yang berilmu tinggi, padahal yang datang
sekarang cuma segelintir manusia belaka..,…”
Berpikir sampai disitu, sambil tersenyum ia lantas berkata, “Aku yakin semua orang yang hadir
di tempat ini sekarang adalah kawanan jago yang berilmu tinggi, sayang yang bodoh dan tidak
mengenali mereka satu persatu, dapatkah Sinkun memperkenalkan mereka kepada ku…….?”
“Seharusnya memang demikian!” sahut Kok See-piau sambil mengangguk berulang kali.
Tiba-tiba kakek nomor satu di sebelah Kok See-piau itu menyela dari samping, “Sinkun,
maafkanlah daku, harap nama hamba jangan disebutkan dihadapan orang lain.”
Kok See-piau segera mengangguk.
“Pun Sinkun dapat memahami maksud hati dari Hu-kaucu!”
Ia lantas berpaling sambil berkata lebih lanjut, “Setelah Hu kaucu kami memberi pertanyaan
yang keberatan jika namanya disebutkan, Pun Sinkun tak bisa memaksa lebih jauh, harap Hoa
kongcu bisa memakluminya.”
Tiba-tiba Hoa In-liong bangkit berdiri dan menjura kepada kakek itu, katanya, “Ga bu kaucu,
masa cuma nama pun mesti di rahasiakan? Apakah aku Hoa Yang memang belum pantas untuk
mendengar nama mu?”
Setelah mengucapkan kata-kata tadi, si kakek yang dipanggil sebagai “Wakil ketua” tadi
pejamkan kembali matanya dan duduk tak berkutik.
Tapi sekarang tiba-tiba saja matanya melotot besar dan memancarkan sinar mata setajam
sembilu, ditatapnya Hoa In-liong sekejap, kemudian katanya, “Nama besar Hoa kongcu memang
bukan cuma kosong belaka, untuk mengetahui nama margaku saja tidak banyak anggota
perkumpulanku yang mengetahuinya……”
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan, “Aku bernama Go Tang-cwan!”
Selesai berkata kelopak matanya terpejam, kembali dan sinar tajampun seketika lenyap tak
berbekas.
Hoa In-liong segera berpikir, “Manusia yang bernama Go Tang-cwan ini pastilah suaminya Thia
Siok-bi kemungkinan besar lantaran ia menggabungkan diri dengan perkumpulan Hian-beng-kau,
dalam jengkelnya I hia losianpwe lantas mengasingkan diri menjadi pendeta.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
41
Dalam pada itu Kok See-piau telah menuding kakek bermuka merah seperti bayi itu sambil
memperkenalkan, “Dia adalah Lau-san-in-siu (pertapa sakti dari bukit Lau-san)!”
Mendengar nama itu, Hoa In-liong seperti merasakan hatinya bergetar keras dengan cepat ia
memberi hormat seraya berseru, “Ooooh………. rupanya Ui Shia-ling Locianpwe, sudah lama
kudengar akan nama besarmu.”
Lau san in sia Ui Sin Ling sambil tersenyum segera balas memberi hormat..
“Hoa kongcu masih muda belia tapi sangat lihay dan tersohor sampai dimana mana, sudah lama
aku pun mengagumi nama besarmu!”
Hoa In-liong tersenyum.
“Aku lihat rupanya ketenangan Ui locianpwe dalam pertapaan sudah mulai terganggu?” sindirnya.
Pertapa sakti dari bukit Lau san Ui Shia ling cuma tertawa tawa dan tidak memberi komentar
apa-apa.
Ketika Hoa In-liong menyaksikan sindirannya tidak mendapatkan reaksi apa apa, segera sadarlah
anak muda itu bahwa Lau san in sia Ui Shia ling adalah seorang manusia yang sukar dihadapi.
Menyusul kemudian secara beruntun Kok See piku memperkenalkan pula tiga orang jagoan
tangguhnya, yakni seorang iman tua berjilbab kuning yang bernama “Ci Siau cu”, dan dua orang
iman tua berjubah hitam yang tampaknya seperti bersaudara sebagai Im san siang koay
(sepasang manusia aneh dari bukit Im san), jelas mereka adalah o-rang orang yang berasal dari
luar perbatasan.
Empat orang sisanya adalah Cong thamcu dari Hian-beng-kau, Thamcu dari Ruang langit serta
bumi, lalu Toan bok See liang dan akhirnya adalah Beng Wi ciau.
Hoa In-liong sudah mengetahui bahwa Tang Bong liang adalah Thumcu dari ruang Jin tham,
sedang yang seorang lagi seorang kakek kurus kering adalah Thamcu dari ruang Tee tham yang
bernama Cui Heng.
Diam-diam Hoa In-liong berpikir, “Kalau ditinjau dari segala sesuatu yang tertera di depan mata
sekarang, tampaknya kekuatan yang dimiliki Hian-beng-kau jauh di atas kekuatan dari Kia im kau
maupun Mo kau, aku tak boleh gegabah dan musti bertindak sangat hati hati………….”
Setelah ucapan perkenalan selesai, dengan lantang Hoa In-liong berkata, “Malam ini, aku Hoa
Yang bisa berkenalan dengan sekian banyak jago tangguh dari perkumpulan saudara, hal ini
sungguh merupakan suatu kebanggaan bagi diriku, cuma kalau boleh aku ingin tahu ada maksud
apa Sinkun mengundang kehadiranku ini?”
“Sesungguhnya tak ada urusan lain, cuma kalau toh Hoa kongcu telah berkata demikian, Pun
Sinkun ingin mengungkapkan tentang suatu persoalan kecil.”
“Harap Sinkun terangkan!”
Kok See-piau tertawa berat.
“Tahukah Hoa kongcu, julukan Sinkun yang kugunakan sekarang ini berasal dari siapa?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
42
Hoa In-liong segera tertawa ringan.
“Sejak dulu sampai sekarang hanya ada Kiu-ci Sinkun seorang dalam dunia persilatan. Tentu saja
aku tahu,” jawabnya.
Kembali Kok See-piau tertawa dingin.
Heeehh……heeehh…..heeehh………kalau aku orang she-Kok bisa mewarisi ilmu silat mendiang
guruku, apakah hasil karya dari mendiang guruku boleh juga Pun Sinkun teruskan?
Sebagai muridnya, tentu saja hasil karya dari mendiang gurunya boleh dipergunakan.
Diluar ia berkata demikian, sementara dalam hati kecilnya diam-diam tertawa dingin.
Heeeh…heeehh….heeeh ….padahal semua orang tahu, obat mustika maupun kitab pusaka yang
dimiliki Kiu ci Sinkun didapatkan dari hasil merampok sungguh tak kusangka kau Kok See-piau
begitu tebal muka dan mengaku barang barang itu sebagai hasil karya gurunya…..Huuh,
sungguh tak tahu malu.
Sementara ia masih termenung, Kok See-piau telah berkata lagi, “Kalau memang kau telah
berkata demikian, maka aku ingin bertanya kepadamu, konon sebuah tempat alas duduk guruku
yang terbuat dari kemala kini berada di rumahmu, dapatkah Sinkun men dapatkannya kembali,
Hoa In-liong bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menangkap nada sindiran yang terkandung
di balik perkataan itu, dimana seolah olah Kok See-piau mencemooh keluarga Hoa yang
dikatakan telah mencuri barang milik orang,
“Haaah…,haaahh…..haaahh„..Tentu saja setiap waktu Sinkun dapat memperolehnya kembali,
cuma aku kuatir kalau terlampau berat!”
Ciu Hoi lotoa yang berdiri dibelakang Kok See-piau tiba-tiba menyela dengan ketus”
“Hmmm… sebuah alas duduk kemala sekecil itu masih lebih berat dari sebuah bukit Thay san?
Hakekatnya kau sedang mengaco belo tak karuan…
Hoa In-liong tidak menjawab, dia hanya memandang ke arah Kok See-piau sambil tersenyum.
Dengan suara yang menggeledek Kok See-piau Segera membentak, “Disini tak ada kesempatan
bagimu untuk ikut menimbrung tahu? Tutup bacotmu!”
Ketika menyaksikan gurunya naik darah, Ciau Hoa lotoa segera menutup mulutnya dan tak
berani berbicara lagi, dia hanya melotot ke arah Hoa In-liong dengan gemasnya.
Paras muka Kok See-piau kembali berubah menjadi tenang kembali, ia tertawa tawa.
“Aku tahu, jago tangguh yang berkumpul dalam gedung rumahmu sangat banyak tak terhitung
jumlahnya, apalagi ilmu silat ayah mu memang tidak tandingannya dikolong langit, tentu saja
alas duduk kursi itu tak mungkin bisa diangkut oleh siapapun juga.”
Dengan pengakuannya yang berterus terang bahwasanya ia tak mampu mengangkut alas duduk
kumala sebagai “Yang dipertuan dalam dunia persilatan” itu, sama pula artinya bahwa di dunia
persilatan dewasa ini tak ada yang mampu menandingi kelihayan keluarga Hoa, kontan saja ke
delapan orang menunjukan rasa tidak puas, cuma mereka tak berani ikut ambil bicara
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
43
Hoa In-liong mulai menyadari bahwa bekas murid Bu Liang siokun dan Kini menjadi Kui ci sin-kuo
ini hakekatnya memang seorang pemimpin yang hebat dalam dunia persilatan, jauh berbeda
dengan bayangannya semula sebagai seorang siaujin yang sok bergaya dan sombongnya luar
biasa.
Kewaspadaan semakin dipertingkatkan dalam benaknya sambil tertawa ia lantas berkata,
“Yang Kumaksudkan bukanlah demikian!”
“Oooh…..Lantas bagaimanakah yang kau maksudkan? Pun Sinkun merasa tidak habis mengerti,”
kata Kok See-piau sambil tertawa.
Hoa In-liong mengerutkan dahinya, lalu setelah termenung sebentar katanya dengan lantang,
“Tahukah Sinkun bahwa hati manusia di dunia ini lebih berat dari jagad….?”
Paras muka Kok See-piau agak membesi sesudah mendengar perkataan itu, lama sekali ia cuma
membungkam diri tanpa mengucapkan sepatah katapun…..
Tiba-tiba Ciu Hoa kedelapan yang berada dibelakang Kok See-piau tertawa katanya, “Heehh…….
heeeh…….. heeeh…….. kalian orang-orang dari keluarga Hoa tidak lebih cuma segerombolan
manusia munafik yang pura-pura berhati mulia, dengan kebijaksanaan dan kegagahan yang
palsu kalian membohongi rekan persilatan dalam dunia agar memihak kalian, apanya yang patut
dibangga-kan dengan perbuatan semacam itu?”
Hoa In-liong berpaling, ia lihat Ciu Hoa yang berbicara itu agaknya adalah Ciu Hoa lo pat,
tampangnya ganteng dan perawakan tubuhnya gagah, bahkan sorot matanya memancarkan
sinar berkilat, dalam sekilas pandangan saja ia sudah mengetahui bahwa tenaga dalam yang
dimiliki orang ini jauh lebih sempurna dari pada rekan-rekan lainnya. Dengan suara lantang Kok
See-piau segera menegur, “Hei, Lo pat! Sampai dimana sih kepandaian silat yang kau miliki?
Berani betul memberi pandangan dan kesimpulan yang menuruti suara hatimu sendiri? Hayo
cepat minta maaf kepada Hoa kongcu!”
Diam-diam Hoa In-liong berpikir lagi, “Kalau didengar dari nada pembicaraan Kok See-piau,
rupanya ia menaruh rasa sayang dan manja kepada muridnya yang paling kecil ini, janganjangan
dia memang me nirukan sejarah lama yang menimpa diri Kiu ci Sinkun?”
Sambil menahan rasa mendongkol dan marahnya yang meluap-luap, Ciu Hoa lo-pat menjura
sambil berkata, “Aku masih muda dan tak punya pengalaman, harap Hoa kongcu sudi
memaafkan kesalahanku tadi.”
Sambil tertawa Hoa In-liong balas memberi hormat.
“Orang yang kelewat banyak memang susah dikontrol, ucapan dari Pat kongcu pasti akan kami
perhatikan sebaik-baiknya dan keluarga Hoa kami pasti akan semakin ketat mengontrol diri,
terima kasih banyak atas perhatianmu.”
Betapa gemas dan jengkelnya Ciu Hoa lo-pat, sinar mata kebencian yang disertai hawa nafsu
membunuh memancar keluar dari balik matanya, sambil menggertak gigi ia tertawa dingin tiada
hentinya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
44
Sikap permusuhan yang luar biasa ini segera mencengangkan Hoa In-liong, dia lantas, berpikir,
“Tampaknya ia sangat benci kepadaku, kalau dibilang lantaran sakit hati perguruan, rasanya
tidak mirip………”
Pikir punya pikir tiba-tiba bayangan tubuh dari Kok Gi-pek melintas dalam benaknya,ia lantas
menyadari akan sesuatu, kembali pikirnya, “Kalau dilihat dari potongan mukanya serta
kepandaian silatnya, jelas ia paling punya harapan untuk mempersunting sumoaynya, yaa dia
pasti sudah mengetahui tentang sikap Kok Gi-pek kepadaku, maka timbul rasa dendam dalam
hatinya……….kalau begitu orang yang meracuni arakku tentu dia pula biang keladinya, yaa
sekarang aku baru tahu, rencana untuk mengundangku ke sinipun pasti muncul dari idenya.”
Ternyata apa yang diduga Hoa In-liong sembilan puluh persen memang benar, dalam anggapan
Ciu Hoa lo pat, dengan tampangnya yang ganteng dan ilmu silat yang paling menonjol diantara
sesama saudara seperguruan, ia mengira dialah yang pasti akan menarik perhatian sumoaynya
Kok Gi pek, malah dia menganggap untuk mempersunting sumoaynya, hal ini lebih gampang dari
membalikkan telapak sendiri.
Siapa tahu kebiasaan bergurau dan bercanda yang setiap hari mereka lakukan tiba-tiba berubah
sama sekali sekembalinya dari bepergian beberapa hari terselang.
Bahkan sepulangnya dari bepergian ia mohon kepada gurunya agar mewariskan ilmu silat yang
le-bih hebat kepadanya, kemudian mengasingkan diri dan tak mau berjumpa dengan siapapun.
Mula-mula ia menaruh curiga, tapi setelah mengetahui bahwa somoaynya amat membenci
kepada Hoa In-liong dan bermaksud untuk membalas dendam, kewaspadaan dan kecurigaannya
jauh berkurang.
Siapa tahu belum sampai beberapa hari menutup diri, tiba-tiba Kok Gi Pek pergi lagi tanpa pamit,
hasil penyelidikannya kemudian menunjukkan bahwa adik seperguruannya sedang mengadakan
janji dengan Hoa In-liong seorang musuh besar perguruan mereka, betapa cemburu dan
marahnya pemuda itu.
Ia lantas menitahkan kepada Tang Bong liang untuk mencelakai Hoa In-liong dengan
mencampurkan racun Hwe cian tin dan Im leng dalam minumannya, sekalipun sebelum kejadian
itu ia su-dah mendengar bahwa Hoa In-liong kebal terhadap segala macam racun, tapi ia tidak
terlampau percaya.
Malam ini setelah ia berjumpa sendiri dengan Hoa In-liong, biasanya kalau ia menganggap
dirinya sebagai seorang laki-laki tampan maka setelah menyaksikan kegantengan Hoa In-liong
yang ber lipat lipat kali melebihi ketampanannya, timbul rasa rendah diri di hati kecilnya, secara
otomatis rasa dengkinya pun semakin menebal.
Dengan sorot mata yang dingin Kok See-piau memandang sekejap wajah Hoa In-liong dan
muridnya, diam-diam ia mengeluh sebab bila dibandingkan ji kongcu dari keluarga Hoa ini, maka
muridnya ketinggalan jauh sekali……
Sementara ia masih termenung, Hoa In-liong telah menjura sambil berkata, “Ada suatu hal ingin
kutanyakan kepada Sinkun, aku harap kau bersedia untuk menerangkan.”
“Katakan puo Sinkun siap mendengarkan pertanyaanmu!”
“Aku ingin tahu tentang peristiwa sekitar pembunuhan berdarah atas keluarga Suma siek ya
ku.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
45
Kok See-piau segera tertawa hambar.
“Istri Suma siok ya mu yang bernama Kwa Gi hun adalah bekas anggota Kiu im kau, tahukah Hoa
kongcu tentang hal ini?” katanya.
Hoa In-liong mengangguk.
Yaa, aku pernah mendengar tentang hal ini.
“Kalau memang begitu, kenapa tidak Hoa kongcu tanyakan langsung kepada Kiu-im kau Ci?
Tindakanmu menuntut kepada pun-sikun bukan suatu tindakan yang tepat!”
Hoa In-liong segera berpikir, “Kalau ditinjau dari caranya berbicara, persoalan ini tampaknya
terdapat banyak hal yang mencurigakan.”
Berpikir sampai disitu, ia lantas berkata, “Sudah kutanyakan persoalan ini kepada Kiu im
kaucu….”
“Kalau memang begitu, semua duduk persoalan kan sudah menjadi jelas, kenapa engkau musti
menuntut lagi kepadaku?” tukasnya.
“Ia bilang perkumpulan Hian-beng-kau terlibat juga dalam peristiwa pembunuhan ini, lagipula
apa yang diterangkan kurang jelas, maka terpaksa aku musti bertanya pula kepada Sinkun.”
“Ia benar-benar berkata demikian?” seru Kok See-piau dengan wajah agak gusar.
“Kalau Sinkun tidak percaya, kenapa tidak mengutus orang untuk menyelidikinya?”
Hawa amarah masih menghiasi di atas wajah Kok See-piau, ia termenung sejenak lalu katanya
kemudian.
“Kalau begitu jika Hoa kongcu hendak menuntut balas atas peristiwa tersebut, tak ada salahnya.
Diam-diam Hoa In-liong menaruh curiga katanya lagi, “Sinkun aku dengar dibalik perkataanmu
masih terkandung maksud lain, dapatkah kau terangkan.”
“Dibicarakan memang bukan menjadi persoalan, tapi belum tentu Hoa kongcu mau
mempercayainya, maka apa pula gunanya untuk banyak bicara yang tak berguna?”
“Mungkinkah dibalik peristiwa ini terdapat latar belakang la innya?” pikir Hoa In-liong kemudian.
Ia lantas berkata, “Dengan kedudukan Sinkun yang terhormat masa kau akan membohongi
diriku? Tentu saja aku percaya.”
Kok See-piau segera tertawa.
“Ucapan Hoa kongcu terlalu berlebihan, sudah menjadi rahasia umum kalau seseorang
menggunakan kata-kata bohong untuk menutupi perbuatannya, bukan cuma aku, siapapun juga
bisa melakukan hal ini.”
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah serius, dia lantas berkata lebih jauh, “Percayalah Hoa
koasen bila Pun Sinkun katakan bahwa dalam peristiwa kematian Suma Tiang-sing, pihak
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
46
perkumpulan kami sama sekali tidak terlibat? Sekalipun muridku pernah menyebarkan bubuk
racun di dalam peti mati, hal itu kami lakukan sesudah peristiwa pembunuhan itu berlangsung?”
Diam-diam Hoa In-liong berpikir lagi setelah mendengar jawaban tersebut, “Ahh…. kalau katakata
macam begitu sih tak bisa dipercayai, jelas ia sudah disisipkan pengakuan bohong dalam
kata-katanya itu. sebab menurut data yang berhasil dikumpulkan, justru pihak Hian-beng-kau
yang paling mencurigakan dalam peristiwa ini.”
Berpikir sampai disitu, dia lantas berkata, “Masa aku tak percaya dengan ucapan dari seorang
ketua perkumpulan yang terhormat? Cuma kalau berbicara dan ucapan Sinkun barusan, jadi
dalam peristiwa itu hanya orang-orang dari Kiu-im kau yang terlibat….?”
Kembali Kok See-piau tertawa.
“Menurut pendapatku, peristiwa berdarah itu bukan hasil pekerjaan dari Kiu-im kau, juga bukan
perbuatan dari Mo-kau”
Hoa In-lioag menjadi tertegun, serunya tercengang, “Masakah kecuali Hian-beng-kau, Kiu im kau
dan Mo-kau masih ada perkumpulan keempat? Aku rasa Sinkun pasti mempunyai data tentang
peristiwa tersebut, dapatkah Sinkun memberi sedikit petunjuk kepadaku agar apa yang
membingungkan diriku selama ini bisa terbuka?”
Kok See-piau mengangkat cawan araknya, lalu tersenyum.
“Dendam sakit hati antara keluarga Hoa dengan diriku telah diketahui setiap orang dalam dunia
persilatan, cepat atau lambat pertarungan tak bisa dihindari lagi, maka akupun rasanya tak usah
berbicara bohong. Meskipun sudah lama kupersiapkan segala sesuatunya untuk bertarung
dengan keluarga Hoa, tapi sebelum aku yakin bisa memenangkan pertarungan itu, hubungan tak
ingin ku bikin retak sendiri mungkin, karena itu antara perkumpulan kami dengan pihak Kiu-imkau
dan Mo-kau sudah terjalin kesepakatan untuk tidak bertindak secara gegabah. Sebab itu tak
mungkin kubunuh Suma Siok ya mu sehingga rencanaku terbengkalai? Nah, kalau dugaanku
tidak salah, pasti ada orang yang sengaja hendak mengadu domba kita, agar ia bisa menjadi
nelayan yang beruntung dan tinggal memetik hasilnya.”
Perkataan dari Kok See-piau ini diucapkan cukup gamblang sekalipun Hoa In-liong tidak
mempercayainya seratus persen, toh timbul juga kecurigaan dalam hatinya.
Ia tak menyangka kalau sebelum duduknya persoalan menjadi jelas, pembunuhnya belum
berhasil dilacaki, kini, timbul kembali perubahan yang sama sekali tak terduga.
1xbet korean - legalbet.co.kr
BalasHapus1xbet is a well-known bookmaker, with its excellent live betting odds 1xbet korean and generous bonus for punters and bettors alike. 1xbet is one of 바카라 사이트 the หาเงินออนไลน์ most