BARA MAHARANI
By Gu Long / Khu Lung
Transated by Tjan ID
Credit to: axd002, Truno Glathik, masroni maniso, Tanjung dan keysha aysel
Source: ecersildejavu
Jilid 01
Malam telah kelam, suasana di seluruh jagad sunyi tak kedengaran sedikit suarapun, cahaya
rembulan lapat-lapat muncul dari balik awan yang gelap…. angin malam berhembus sepoi-sepoi
menggoyangkan daun dan ranting pepohonan di sekeliling
Jauh memandang ke depan yang nampak hanya hutan belantara, gonggongan srigala
menimbulkan suasana yang ngeri di malam itu…..
Sebidang tanah kecil muncul di tengah hutan belantara, sebuah gubuk reyot berdiri disisi sebuah
kuburan yang usang.
Dibawah sinar purnama tampak seorang pemuda berusia enam tujuh belas tahunan berlutut di
depan kuburan itu, sebuah kuburan tak bernisan, wajahnya hitam pekat dengan alis yang tebal
dan badan yang kekar.
Disisi pusara terletak sebuah kursi peyot, seorang perempuan cantik berwajah agung duduk
dengan penuh kewibawaan disitu.
Angin berhembus makin kencang, kerlipan kunang-kunang seakan-akan api setan yang muncul
dari neraka…kecuali isak tangis yang lirih hanya bintang nun jauh disana menemani jagad yang
sunyi dan sepi.
Tiba-tiba perempuan cantik itu menyeka air mata yang membasahi wajahnya, kemudian berkata,
“Anak Seng, waktu sudah tidak pagi lagi, tenangkanlah hatimu dan dengarkanlah pesan ibumu
baik-baik!”
“Ibu, katakanlah! Ananda akan memperhatikannya dengan seksama!” buru-buru pemuda itu
putar badan seraya berlutut dihadapan ibunya.
“Aaai…!” helaan napas panjang membelah kesunyian yang mencekam seluruh jagad, “Situasi
dalam dunia persilatan dewasa ini tidak aman, kejahatan merajalela. suasana diliputi kegelapan
bagaikan hutan belantara, kau harus ingat baik-baik pesanku, setiap orang yang memiliki ilmu
silat jauh lebih kuat darimu, sembilan bagian pastilah kaum durjana yang mengacau
masyarakat….”
Sepasang alis pemuda itu menjungkit, di atas wajahnya yang hitam itu tiba-tiba terlintas cahaya
yang tajam, sorot mata mengerikan memancar dari balik kelopak matanya yang basah oleh air
mata.
“Anakku kau tak boleh bekerja menuruti angkara murka,” ujar perempuan cantik itu sambil
membelai rambut puteranya. “Dalam pertempuran berdarah yang berlangsung dalam
pertempuran Pak Beng-Hwie sepuluh tahun berselang, seluruh kekuatan inti kaum lurus dan
sesat telah bertemu satu sama lainnya sayang kaum lurus berhasil ditumpas hingga ludas dan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
2
kaum sesat malah merebut kemenangan! Aaai…. dunia telah berubah, badai darah melanda dimana-
mana.”
Ia mendongak dan menghela napas panjang.
“Anakku, kau harus ingat! Dalam perjalananmu di dunia persilatan janganlah terlalu menuruti
suara hati, jangan mendatangkan bencana bagi dirimu sehingga menyia-nyiakan pendidikan
serta pelajaranku selama sepuluh tahun.”
“Ananda akan ingat selalu pesan ibu,” sahut pemuda itu sambil menyeka air mata. “Kehormatan
serta martabat pribadi adalah urusan kecil, melenyapkan kaum durjana serta menolong umat
manusia dalam dunia persilatan barulah pekerjaan yang maha besar!”
Perempuan cantik itu mengangguk
“Sebelum kau berhasil menumpas kaum durjana lenyap dari permukaan bumi, janganlah sekali
menikah dan punya istri, dari pada persoalan keluarga mengacaukan pikiran serta konsentrasimu
dalam usaha untuk menumpas kaum iblis dari muka bumi dan menyelamatkan umat manusia
dari lembah kehancuran.”
Pemuda tersebut baru berusia enam tujuh belas tahun, tentu saja ia belum sampai memikirkan
soal pacar, isteri apalagi menikah dan punya anak, sekalipun begitu ia tahu pesan ibunya pasti
ada maksud tertentu maka ia mengangguk berulang sebagai pernyataan bahwa dia akan
mengingatnya selalu didalam hati.
Perempuan cantik tadi merandek sejenak, kemudian seraya berpaling ke arah kuburan disisi
tubuhnya, ia berkata lagi dengan nada sesenggukan, “Demi keadilan dan kebenaran, kau tak
boleh bersifat pengecut dan mencari keselamatan diri sendiri….”
Teringat akan situasi yang mencekam dalam dunia persilatan dewasa ini, perempuan itu tak
dapat menahan lagi dan menangis terisak!
“Ibu, legakanlah hatimu!” buru-buru si anak muda itu menghibur ibunya dengan suara halus,
“Ananda pasti akan menjunjung tinggi semangat serta kebesaran jiwa ayahku almarhum, aku
pasti akan berjuang mati-matian demi kebenaran dalam dunia persilatan.”
Perempuan cantik itu mengangguk, demikianlah ibu dan anakpun saling berpandangan dengan
air mata bercucuran, membuat hutan belantara itu seakan-akan diliputi kabut hitam,
menyirnakan cahaya rembulan dan menutupi seluruh jagad.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya perempuan cantik itu berhasil menguasai diri, sambil
menyeka noda air mata di pipinya ia berkata lagi, “Anakku, dengarlah baik-baik! Didalam
Keng-Chin terdapat seorang lelaki she-Chin bernama Pek-Cuan, ia mempunyai ikatan dendam
kesumat sedalam lautan dengan seorang gembong iblis yang bergelar Boe Liang sinkoen dari
gunung Boe-Liang-san dalam bilangan Propinsi In-Lam, dendam ini sudah terikat banyak tahun
lamanya dan Boe Liang Sinkoen pernah bersumpah akan mencabut jiwa seluruh keluarga Chin!”
Ia merandek sejenak untuk tukar napas, kemudian terusnya, “Dalam pertemuan Pak Beng Hwie
yang telah berlangsung tempo dulu, ayahmu telah menantang Boe Liang Sinkoen untuk turun
tangan terlebih dahulu dalam babak pertama, maksudnya ia hendak gebah pergi lebih dahulu
musuh paling tangguh yang berkepandaian lihay, agar kaum pendekar bisa mendapatkan sedikit
harapan untuk hidup. Aaaai! meskipun pada akhirnya Boe Liang Sinkoen berhasil dikalahkan dan
mengundurkan diri dari pertemuan tersebut namun tenaga murni ayahmu pun mengalami
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
3
banyak kerusakan dalam suatu pertempuran berdarah yang kemudian berlangsung akhirnya ia
menemui ajalnya dan gagal menolong kaum pendekar lolos dari bencana!”
Sembari berbicara sinar mata kedua orang itu tanpa terasa sama-sama memandang ke arah
pekuburan disisi mereka, empat pasang mata menyorotkan cahaya redup yang diliputi kesedihan.
Terdengar perempuan cantik itu berkata lebih jauh, “Sebelum pertarungan antara ayahmu
dengan Boe Liang Sinkoen dilangsungkan, mereka telah mengadakan pertaruhan yang diliputi
jangka waktu sepuluh tahun, seandainya salah satu diantara mereka menderita kalah maka sang
pecundang harus mengurung diri selama sepuluh tahun. Ahirnya sebagaimana kau ketahui Boe
Liang Sinkoen lah yang menderita kekalahan maka dia harus mengasingkan diri selama sepuluh
tahun. Sesaat sebelum meninggalkan pertemuan tadi ia telah sesumbar dan mengatakan bahwa
siapapun yang ada di dunia kangouw dilarang mencabut jiwa Chin Pek Cuan kecuali dia seorang.
Kaum sesat yang merajai Bu-lim sebagian besar punya hubungan erat dengan dirinya, ada pula
yang jeri terhadap dirinya, maka dalam pertemuan tadi kendati ilmu silat yang dimiliki Chin Pek
Cuan amat rendah tetapi dia berhasil mengundurkan diri dalam keadaan selamat. Sekalipun
begitu dengan kekuatan yang dimilikinya sudah tentu ia masih bukan tandingan dari Boe Liang
Sinkoen, sekembalinya ke rumah terpaksa ia harus lawatkan sisa hidup sepuluh tahun yang
terakhir ini dengan tenang sambil setiap saat menantikan kedatangan musuhnya untuk mencabut
jiwanya.”
Sang pemuda yang selama ini membungkam, kini segera menimbrung dari samping, “Ibu, waktu
sepuluh tahun cukup panjang dan lama, apakah Chin Pek Cuan tak bisa menyingkir atau
menyembunyikan diri disuatu tempat yang terpencil misalnya?”
“Chin Pek Cuan adalah seorang lelaki berhati keras bagaikan baja, dia tak sudi bertekuk lutut
terhadap siapapun, kalau suruh dia menyembunyikan diri sebagai kura-kura hanya disebabkan
untuk hidup lebih lanjut, sudah tentu tak sudi ia lakukan!”
“Oooh, kiranya begitu!” pemuda itu manggut mendengarkan perkataan ibunya lebih lanjut.
“Pertarungan sengit di dalam pertemuan Pak Bang Hwie akhirnya selesai juga, ayahmu menemui
ajalnya disaat itu juga sedang ibumu menderita luka parah, sebenarnya pada waktu itu aku ada
niat untuk menyusul ayahmu, apa daya ada beban kau yang hidup di dunia, maka atas bantuan
serta perlindungan para Too yu, aku berhasil menerjang keluar dari kepungan dalam keadaan
selamat…..“
Ia menghela napas sedih, matanya sayu dan jauh memandang ke depan….
“Ibumu dapat hidup hingga kini sebagian besar adalah berkat bantuan dari Chin Pek Cuan, dia
pula yang membopong janasah ayahmu turun dari pertemuan tersebut.”
“Budi pertolongan yang demikian besar sudah sewajarnya kalau kita balas, ananda berjanji pasti
akan menemukan orang itu dan membalas budinya.”
“Aaai…! Dewasa ini jiwa Chin Pek Cuan sekeluarga terancam bahaya maut, sedang luka parah
dari ibumu belum sembuh, keadaanku bagaikan orang cacad yang kehilangan segenap kekuatan
tubuhnya, tidak mungkin aku bisa menandingi Boe-Liang Sinkoen dalam keadaan begini,
darimana kita dapat membalas budi yang amat besar itu.”
“Bagaimana kalau ananda yang berangkat ke
keluarga Chin dari ancaman maut???” seru si anak muda itu setelah termenung dan berpikir
sejenak. “Mungkin dengan kecerdikan kita masih sanggup menggebah pergi Boe-Liang Sinkoen!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
4
“Hmm! Dengan kecerdikan apakah kau hendak mengakali Boe Liang Sinkoen, dengan kekuatan
apa kau hendak mengalahkan gembong iblis itu?” seru sang ibu sambil tertawa dingin.
“Bukankah baru saja kukatakan kepadamu, melakukan segala persoalan janganlah mengikuti
nafsu serta angkara murka, kenapa kau sudah melupakan pesan ibumu?”
Manyaksikan wajah ibunya yang keren dan penuh berwibawa, pemuda itu segera tundukkan
kepalanya rendah-rendah dan segera mohon maaf.
Tiba-tiba terdengar perempuan itu menghela napas.
“Anakku! Ibu selalu berharap agar kau bisa meneruskan cita-cita ayahmu almarhum yang mulia
dan luhur itu! Aku harap kau bisa berjuang guna menyelamatkan seluruh umat manusia dari
cengkeraman iblis dan durjana, di samping itu akupun berharap kau tidak menjumpai bencana
dan bahaya maut hingga bisa hidup seratus tahun lamanya dan tidak memutuskan keturunan
ayahmu. Bagaimana kau hendak mengatur diri…. hal ini terpaksa harus kuserahkan pada
keputusanmu sendiri.“
“Ananda mengerti, ananda pasti tak akan menyiakan harapan ibu dan ayah!”
Dalam hati perempuan cantik itu menghela napas, setelah termenung beberapa saat lamanya
daridalam saku dia keluarkan sepucuk
anak muda itu, “Sudah banyak tahun aku memutar otak mencari akal yang baik untuk
menyelamatkan keluarga Chin dari bencana maut, namun apa daya tak sebuah carapun yang
berhasil aku dapatkan maka apa boleh buat terpaksa kugunakan siasat penangguhan serangan
untuk mengundurkan persoalan ini beberapa waktu lagi.”
Menyaksikan
dalam sakunya mendadak ia teringat bahwasanya udara malam sangat dingin, segera serunya
sambil tertawa paksa, “Ibu, marilah kita kembali ke dalam rumah dan lanjutkan pembicaraan
disitu saja, mau bukan??”
Setelah membiarkan puteranya berlutut semalaman suntuk, perempuan cantik itu merasa tidak
tega membiarkan dia tersiksa lebih jauh maka dia segera mengangguk.
Begitulah setelah berlutut dan memberi hormat di hadapan nisan ayahnya, si anak muda itu
segera menggandeng tangan ibunya berjalan masuk ke dalam rumah.
Sakembalinya ke dalam rumah, perempuan cantik tadi berkata kembali, “Boe Liang Sinkoen
adalab seorang jagoan yang berotak cerdas, setelah batas waktu sepuluh tahun telan lewat
pertama dia pasti akan mendatangi
Pek Cuan sekeluarga karena itu setelah fajar menyingsing nanti kau harus segera turun gunung
sebelum bulan dua belas tanggal delapan belas kau harus sudah berjaga-jaga diluar rumah
keluarga Chin Pek Cuan, nantikanlah kedatangan Boe Liang Sinkoen disini, sebab menurut
dugaanku, sebelum tengah malam pembunuh itu pasti sudah datang.“
“Kalau memang kita kenal dengan Chin Pek Cuan apa lagi sahabat karib, kenapa aku tak
diperkenankan mendatangi mereka?”
“Aaaai..! Semasa ayahmu masih hidup, dia adalah pujaan kaum pendekar dan orang gagah.
Seandainya Chin Pek Cuan tahu akan asal usulmu maka ia tak nanti mengijinkan kita ibu dan
anak ikut menempuh bahaya bersama dirinya, lagipula meskipun aku punya rencana, berhasil
atau tidak pada detik ini masih sulit bagiku untuk meramalkannya…..“
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
5
Bibir pemuda itu bergetar seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi perempuan cantik ini sudah
keburu ulapkan tangannya seraya berkata, “Tak usah kau tanyakan apa sebabnya, kau hanya
perlu ingat, seandainya Boe Liang Sinkoen telah munculkan diri maka kau harus berusaha
memancingnya berlalu dari situ, kemudian setelah tiba di tempat yang tak ada manusianya
serahkan
sekecappun!”
Kendati di dalam hati pemuda itu merasa sangsi dan tidak habis mengerti, namun ia tidak berani
bertanya. Setelah berpikir sejenak tanyanya, “Apa yang harus kulakukan setelah serahkan
ini kepadanya?”
“Sepuluh tahun berselang ayahmu berhasil mendapatkan sebatang “Tan Hwee-Tok Lian atau
Teratai beracun empedu api yang mana kemudian dipelihara dalam perkampungan Liok-Soat-San
Cung kita, kau tentu masih ingat akan persoalan ini bukan?”
“Apakah teratai berbonggol hitam berdaun merah bagaikan batu bata itu?”
Perempuan cantik tersebut mengangguk, melihat rambut putranya awut-awutan ia belai kepala si
anak muda itu dan menyahut.
“Teratai tersebut mengandung racun yang keji, dalam kolong langit tak ada seorang manusiapun
yang sanggup memunahkan daya kerja racun itu, menyusuplah ke dalam perkampungan Liok-
Soat-San Cung dan usahakanlah untuk mendapatkan teratai beracun itu, kemudian cepatcepatlah
kembali kemari.`’
Bicara sampai disini ia termenung setengah harian lamanya, tiba-tiba ia menghela napas
panjang.
“Seandainya teratai beracun itu telah hilang, maka kau harus selidiki benda itu dan berusaha
untuk memperolehnya kembali,”
“Ibu, andaikata Boe Liang Sinkoen tak mau sudahi persoalan itu begitu saja, apa yang harus
ananda lakukan?”
Sepasang alis perempuan cantik itu berkerut kencang, beberapa saat lamanya ia berdiri
termangu-mangu
“Aku rasa dengan nama besar ayahmu serta diriku dalam dunia persilatan beberapa tahun
berselang, suratku itu masih mempunyai daya pengaruh yang besar ia merandek sejenak dan
tertawa getir. Orang bu-lim sebagian besar tahu kalau ibumu belum mati, tapi tak seorangpun
yang tahu kalau ilmu silatku telah musnah, kendati Boe Liang Sin Kun jumawa dan angkuh
rasanya dia masih belum berani banyak bertingkah dihadapanku.”
Pemuda itu mengangguk, teringat akan penderitaan ibunya selama ini wajahnya segera berubah
jadi amat sedih.
“Setelah ananda berlalu, paling cepat tahun depan baru bisa pulang ke gunung, ibu seorang
diri..”
“Aaaii…bocah! Apa kau anggap kehidupan kita berdua di gunung yang terpencil ini adalah suatu
kehidupan yang menggembirakan hati??…“ tukas perempuan itu sambil tersenyum, wajahnya
tiba-tiba berobah jadi serius, ”Perkumpulan milik kita kemungkinan besar sudah terbengkalai
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
6
tidak karuan, delapan bagian Teratai Racun Empedu Api itu sudah dicuri orang, maka dari itu kau
harus bertindak menurut keadaan, bagaimanapun juga kau harus dapatkan teratai racun itu dan
hantar kemari tahun depan.”
“Ibu, apa gunanya Teratai Racun Empedu Api itu bagimu?? Apakah penting artinya terhadap
masalah yang bersangkutan dengan keluarga Chin?”
“Ooouw…! Teratai racun itu mempunyai kegunaan lain.”
Sebenarnya ia tak mau terangkan lebih jauh, tapi setelah dilihatnya air muka putra
kesayangannya berubah jadi murung akhirnya ia tertawa.
“Bila Teratai Racun itu berhasil kau dapatkan maka luka dalam yang kuderita akan jadi sembuh
dan ilmu silatku akan pulih kembali seperti sedia kala.”
“Aaah. kiranya begitu, kenapa tidak kau terangkan sejak tadi?” jerit pemuda itu sambil
berjingkrak-jingkrak kegirangan. Benda mustika yang demikian berharga merupakan benda
impian setiap umat setelah lewat sepuluh tahun, mana mungkin masih berada di tempat
semula?”
Perempuan cantik itu mengerti akan kebingungan putranya, untuk mencegah pikiran yang
bukan-bukan, dengan cepat ia berseru sambil tertawa, “Duduknya perkara dibalik persoalan ini
sukar kuterangkan dalam waktu singkat nanti saja setelah kau berhasil mendapatkan teratai
racun itu barulah kuceritakan kepadamu. Fajar telah menyingsing, kau boleh segera melakukan
perjalanan!”
Mendengar luka dalam ibunya bakal bisa sembuh pemuda itu tidak berpikir lebih jauh lagi,
semangatnya berkobar dan segera mempersiapkan diri untuk berangkat.
Tapi sesaat kemudian ia merandek dan balik kesisi ibunya sambil berkata dengan hati berat,
“Ibu, fajar baru saja menyingsing, biarkanlah ananda menemani ibu sarapan pagi lebih dahulu
kemudian baru melakukan perjalanan!”
Perempuan cantik itu mengangguk, maka mereka berduapun masuk ke dapur mempersiapkan
sarapan pagi.
“Anakku, ilmu silat yang kau miliki amat rendah” ujar perempuan cantik itu memecahkan
kesunyian. “Aku rasa dalam perjalananmu berkelana dalam dunia persilatan, alangkah baiknya
kalau ganti nama dan merahasiakan asal usulmu yang sebenarnya, dari pada memancing kaum
iblis serta kaum durjana untuk menimpakan bencana kematian bagimu.”
“Ananda mengerti semakin kita simpan baik-baik kerlipan cahaya pedang, makin sedikit kesulitan
yang bakal ditemui,” jawab pemuda ini, setelah termenung sejenak bisiknya lirih, “Ibu, siapa sih
sebenarnya pembunuh dari ayahku? Dan siapa pula yang melancarkan serangan berat terhadap
ibu sehingga kau orang tua menderita luka dalam yang amat parah?”
Mendengar pertanyaan itu air muka perempuan cantik itu seketika berubah jadi adem, dengan
perasaan tidak senang ia menegur, “Bukankah sudah sering kukatakan kepadamu, bahwa kau
harus lebih mengutamakan keadilan serta kebenaran umat manusia daripada dendam kesumat
peribadi? Mengapa kau selalu saja mengingat-ingat dendam pribadi?”
“Hmmm..! sungguh membuat hatiku jadi kecewa..!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
7
Melihat ibunya marah, buru-buru pemuda ini tundukkan kepalanya dan tidak berkata lagi,
sementara dalam hati ia berpikir, “Jelas orang yang telah membinasakan ayahku serta melukai
ibuku adalah beberapa orang gembong iblis yang merajai dunia persilatan, aku harus berlatih
ilmu silatku lebih tekun asal kaum durjana dan manusia-manusia sesat ini berhasil kulenyapkan
dari permukaan bumi, berarti pula dendam kesumat ayahku telah berhasil kutuntut balas.“
Tiba-tiba terdengar perempuan cantik itu berseru kembali, “Seng-jie, setelah turun gunung kau
tidak diperkenankan menyelidiki maupun mencari tahu persoalan yang menyangkut pertemuan
Pak Beng Hwie….“ ia merandek sejenak, lalu ujarnya lagi, “Kecuali keenam belas jurus ilmu
pedang itu, andaikata kau pernah mencuri belajar ilmu silatku, maka ilmu silat tersebut tak boleh
kau latih apalagi mempergunakannya dihadapan orang lain!”
Tiada hentinya pemuda ini mengangguk tanda mengerti.
Beberapa saat kemudian fajar telah menyingsing, sarapan pagipun telah disiapkan, maka selesai
bersantap dia pun mendengarkan kembali nasehat serta penerangan-penerangan dari ibunya
mengenai perguruan silat yang ada di Bulim, peraturan Bu-lim serta pantangan-pantangannya.
Dengan seksama pemuda itu mencatatnya didalam hati.
Menanti sang surya telah memancarkan cahayanya menyinari seluruh jagad, ia baru berpamitan
kepada ibunya, bersembahyang di depan batu nisan ayahnya kemudian berangkat turun gunung.
Kota Keng-Chiu terletak disebelah selatan jalan raya King Ouw, jaraknya dengan bukit dimana
ibunya berdiam kurang lebih ada ribuan li jauhnya, untung ia masih muda, pakaian yang
dikenakan sederhana terbuat dari bahan kasar, berwajah hitam pekat dan tidak terlalu menarik
perhatian orang.
Sepanjang perjalanan tiada gangguan apapun yang dijumpai, dan suatu hari sampai juga si anak
muda itu ditempat tujuannya.
Musim dingin telah tiba, angin utara yang kencang dan berhawa dingin berhembus kencang
dikota Keng-Chtu, salju turun dengan derasnya mengubah seluruh permukaan bumi bagaikan
lapisan kapas.
Setibanya didalam
gedung bangunan milik Chin Pek Cuan, diam-diam ia berjaga selama beberapa hari disitu.
Selama ini diapun berhasil mengetahui bahwa keluarga Chin beserta pelayan serta pembantunya
semua berjumlah tiga empat belas orang. Tahun baru telah menjelang tiba, kecuali perayaan
yang agak sederhana dan sunyi rupanya pihak keluarga Chin sama sekali tidak menggubris atas
bencana besar yang menimpa diri mereka.
Sebagai seorang bocah yang patuh terhadap perintah orang tuanya, si anak muda itu berjaga
terus siang maupun malam disekitar gedung keluarga Chin kendati angin dan salju turun dengan
derasnya.
Beberapa hari dengan cepatnya telah berlalu malam ini adalah Bulan Cia-Gwee tanggal satu,
malam telah menjelang tiba, ia sambil mengenakan seperangkap baju kasar telah berdiri di
depan pintu keluarga Chin, memandang dua belah pintu yang tertutup rapat perlahan-lahan ia
naik ke atas undakan dan duduk bersila di depan pintu sambil setiap saat memperhatikan gerakgerik
dalam gedung itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
8
Angin berhembus semakin kencang hujan salju turun makin deras, pakaian kasar yang tipis kini
sudah ternoda oleh salju, keadaan pemuda tersebut tidak lebih bagaikan pengemis yang tiada
bertempat tinggal.
Mendadak… suara rentetan ledakan mercon berkumandang dari dalam gedung.
Diikuti pintu terpentang lebar-lebar, dari balik gedung berjalan keluar tiga orang, seorang kakek
berjanggut panjang dan memakai jubah lebar berdiri di tengah sedangkan di kedua belah sisinya
masing-masing berdiri seorang pemuda dan seorang dara ayu.
Perlahan-lahan pemuda itu mendongak, dalam hati ia menduga si kakek tua itu pastilah tuan
penolongnya Chin
menjura.
“Cayhe adalah seorang gelandangan yang tak bertempat tinggal” katanya, “Bilamana cayhe
harus berteduh dari serangan angin dan salju di depan gedung anda, mohon maaf yang sebesarbesarnya.”
Untuk menghindar pelbagai pertanyaan yang mungkin bakal diajukan secara bertubi-tubi, selesai
berkata ia segera putar badan dan berlalu dengan langkah lebar.
“Siauw-ko, tunggu sebentar!” mendadak kakek itu menghardik.
Mendengar teriakan itu terpaksa si anak muda tadi berhenti dan balik kembali.
“Loo Wangwee, kau ada urusan apa memanggil diriku?”
Dengan gusar kakek itu mendengus, matanya melotot wajahnya membesi. sambil melirik sekejap
ke arah gulungan kain dibawah ketiak pemuda itu, dia tertawa dingin.
“Hmm! Rupanya kau adalah kaki tangan anjing dari perkumpulan Sin-Kie-Pang?”
“Perkumpulan panji sakti???” seru pemuda itu melengak. “Hamba bernama Hong-Po Seng dan
sama sekali tiada sangkut pautnya dengan perkumpulan Sin Kie-Pang…..“
“Hong-po Seng??” Dengan pandangan yang tajam kakek itu menatap wajah pemuda tersebut tak
berkedip. “Suatu nama yang asing sekali, diantara jago-jago yang ada dalam Bu-lim tiada
seorangpun yang memakai she Hong-po!”
Hong-po Seng mengerti bahwasanya si kakek tua itu telah mencurigai asal usulnya yang kurang
genah, merasa sulit untuk menerangkan persoalan ini terpaksa ia menjura seraya berseru,
“Hamba masih muda dan tak tahu urusan, bila sudah mengganggu ketenteraman Loo wangwee
harap suka dimaafkan!”
“Nanti dulu, diluar dingin sedang berhembus kencang dan salju turun dengan besarnya, silahkan
saudara cilik masuk ke dalam ruangan untuk minum air teh dahulu.”
Seraya berkata kakek itu mendadak melancarkan satu cengkeraman kilat ke arah pergelangan
lawan.
Menyaksikan datangnya serangan yang demikian cepat, diam-diam Hong-po Seng merasa
terperanjat, sebetulnya ia masih sanggup untuk berkelit ke belakang namun secara tiba-tiba satu
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
9
ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera urungkan niat untuk berkelit dan biarkan
tangannya dicekal.
“Ia pasti sudah menaruh curiga terhadap diriku,“ batinnya dalam hati, ”Andai kata aku melawan
niscaya kesalahpahaman ini akan berlangsung makin dalam, bahkan ada kemungkinan malahan
mendatangkan pelbagai kesulitan bagiku.”
Dalam pada itu kelima jari tangan kekar itu bagaikan jepitan telah mencengkeram pergelangan
Hong-po Seng kemudian menariknya masuk ke dalam ruangan.
“Blaaam!” pintu besar kembali tertutup rapat.
Melangkah ke atas undak-undakkan tampaklah lampu lilin menerangi seluruh ruangan, meja
perjamuan telah dipersiapkan di tengah pendopo.
Kakek itu baru melepaskan cengkeramannya setelah tiba disisi meja perjamuan, ia ambil tempat
duduk dikursi utama sedang pemuda dan gadis itu duduk dikedua belah sisinya.
Hong-po Seng lantas putar otaknya, ia merasa setelah tiba disini sepantasnya kalau ia hadapi
dengan keadaan yang wajar, maka sehabis memberi hormat diapun mengambil tempat duduk
dikursi bagian tamu.
Menunggu setelah pemuda itu duduk, kakek tadi baru tertawa hambar dan berkata, “Saudara
cilik, dengan menempuh hembusan angin kencang dan badai salju yang deras semalam suntuk
kau berjaga di depan rumah kami aku rasa dibalik tindak tandukmu ini pasti tersembunyi suatu
alasan yang besar bukan? Malam ini adalah malam Tahun Baru, perduli kau musuh atau sahabat,
harap kau suka memberi keterangan yang jelas kepada kami “
“Aaah, ternyata tingkah lakuku sudah diperhatikan mereka sejak permulaan,” pikir Hong-po
Seng. “Aaai….! Bagaimanapun juga orang kangouw kawakan memang jauh lebih lihay!”
Karena pihak lawan sudah mengajukan pertanyaan secara blak-blakan maka untuk sesaat ia jadi
bingung tidak keruan, tak tahu apa yang harus dilakukan dalam keadaan begini, akhirnya
terpaksa ia menjura dan bertanya dengan suara lirih, “Tolong tanya siapakah nama besar loo
Wangwee??”
“Siauwko, apa gunanya sudah tahu masih pura-pura bertanya? Loohu adalah Chin Pek Cuan,” ia
tuding pemuda serta gadis disisinya lalu menambahkan, “Dia adalah puteraku Giok Long, serta
puteriku Wan Hong, ilmu silat keluarga kami biasa-biasa saja dan tiada yang perlu dibanggakan.”
Mengikuti arah yang ditunjuk.Hong-po Seng berpaling, tampaklah Chin Giok Long adalah seorang
pemuda ganteng yang berusia dua puluh tiga empat tahunan, sedang Chin Wan Hong adalah
seorang gadis ayu dan alim yang berusia tujuh delapan belas tahunan, saat itu mereka
berduapun sedang memandang ke arahnya dengan pandangan sangsi.
Disaat yang amat singkat ituiah Hong-po Seng berhasil mendapatkan jawaban yang dirasakan
tepat, ujarnya, “Boanpwee salama berkelana dalam dunia persilatan tidak lain hanya berharap
bisa memperoleh seorang guru yang pandai dan belajar sedikit ilmu silat untuk menjaga diri, dari
mulut orang hamba dengar bahwa dikota Keng Chiu terdapat seorang jago she Chin bernama
Cuan, katanya ilmu telapak Kim-sah-ciang nya telah mencapai puncak kesempurnaan….”
“Haah.. haah..saudara cilik, kau terlalu memuji, sedikit kepandaian silat yang loohu miliki tidak
pantas untuk dihargai orang.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
10
Semenrara itu Chin Giok Liong sedang mengambil poci arak untuk memenuhi cawannya, tiba-tiba
Chin Pek Cuan merampas poci ini kemudian didorongnya ke depan.
Hong-po Seng yang menyaksikan datangnya poci arak tadi mencurigakan, buru-buru meletakkan
kembali cawannya kemeja, lalu dengan sepasang tangan menekan disisi cawan ia unjukkan sikap
seolah-olah sedang memberi hormat.
Rupanya Chin Pek Cuan hendak meminjam penghormatan arak itu untuk menjajal tenaga
lweekang dari Hong-po Seng, namun setelah menyaksikan sikap pemuda itu dalam hati segera
pikirnya, “Sunggub cerdik dan cekatan keparat cilik ini, pandai sekali dia merahasiakan diri
hingga sedikit titik kelemahanpun tak nampak.”
Mendadak Chin Wan Hong berpaling ujarnya kepada ayahnya.
“Tia, aku lihat saudara ini sama sekali tiada maksud jahat, cepat atau lambat Boe Liang Sinkoen
bakal datang kemari, apa gunanya kau seret orang lain turun kelaut hingga membuat dia ikut
merasakan penderitaan ini?”
“Haa…. haaa….Wan jie, kau sudah kebelinger meskipun ia berdandan bagaikan orang rudin
tetapi gerak geriknya gagah dan mantap, tidak nanti seorang jagoan biasa dapat mendidik
seorang murid yang begitu pandai dan luar biasa macam dia!”
Ucapan ini mendelongkan wajah Chin Giok Liong berdua, tanpa sadar mereka sama-sama
berpaling ke arah Hong-po Seng.
Menyaksikan pemuda ini baru berusia enam tujuh belas tahunan, berbadan kekar dan berwajah
hitam, wajah persegi dengan telinga lebar, hidung mancung, alis tebal, meski wajahnya gagah
namun tiada keistimewaan apapun matanya bening sedikitpun tidak menyerupai seorang jagoan
bertenaga dalam tinggi, tanpa sadar mereka berseru aneh dan merasa amat tercengang, masa
manusia macam beginipun merupakan seorang jagoan lihay yang maha hebat?
Melihat sorot mata ketiga orang itu sama-sama dialihkan ke arahnya, Hong-po Seng jadi jengah
dibuatnya, buru-buru ia menjura.
“Loo Wan-gwee tadi kau mengungkap soal perkumpulan Sin Kie Pang, sebetulnya perkumpulan
macam apakah panji sakti itu?”
“Ehm! perkumpulan Sin Kie Pang?? Tidak boleh suatu perkumpulan yang sering kali melakukan
perbuatan-perbuatan jahat dan diluar peri kemanusiaan, kaum durjana dan iblis yang ada
disekitar Ouw-Khong delapan puluh persen adalah bajingan-bajingan dari perkumpulan Sin Kie
Pang!”
“Ehmm, sedikitpun tidak salah, orang ini sangat membenci segala bentuk kejahatan,” pikir Hongpo
Seng.
Untuk menghindari perhatian orang terhadap dirinya, buru-buru ia bertanya kembali, ”Cici ini
barusan mengatakan bahwa cepat atau lambat Boe-Liang Sinkoen bakal datang kemari, apakah
dia juga seorang pentolan dari perkumpulan Sin-Kie-Pang???”
Chin Pek Cuan adalab seorang jago kawakan yang mempunyai pengetahuan serta pengalaman
yang amat luas, ia tahu Hong-po Seng sengaja bertanya ini itu tidak lebih hanya untuk mengulur
waktu belaka, sebagai orang yang berwatak aseran mendengar orang lain mengungkap soal
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
11
orang yang paling dibencinya selama ini, hawa gusarnya segera berkobar dengan mata melotot
dan wajah merah padam segera serunya, “Kau tanyakan soal Boe-Liang Sinkoen, bangsat tua
itu?? dia adalah……“
“Dia adalah seorang Sinkoen yang disegani orang dan seorang manusia gagah yang akan datang
menuntut balas bagi sakit hatinya….” serentetan suara yang amat dingin berkumandang datang
dari luar pintu.
Sambil berseru pintu besar terpentang lebar dibawah sorot cahaya lilin yang bergoyang
terhembus angin perlahan-lahan muncullah seorang pemuda berbaju putih yang berwajah
ganteng bermata tajam dan penuh dengan nafsu membunuh dimukanya, ia berdiri bertolak
pinggang di tengah ruangan kurang lebih beberapa depa disisi Hong-po Seng.
Menyaksikan kehadirannya yang mendadak tanpa mengeluarkan sedikit suarapun diam-diam
Hong-po Seng terkesiap juga atas kelihayan orang, tapi ia mengetahui bahwa orang itu pasti
bukanlah Boe-Liang Sinkoen pribadi, tanpa terasa ia mendengas dan diperhatikannya orang itu
beberapa saat lamanya.
Usia pemuda berbaju putih itupun belum mencapai dua puluh tahunan, berdiri di tengah
kalangan matanya dengan tajam mengerling kesana kemari dengan senyuman dingin menghiasi
bibirnya, bukan saja sombong dan jumawa bahkan lagaknya tengik membikin hati jadi panas.
Sekilas memandang sebagai jago yang berpengalaman Chin Pek Cuan mengerti bahwa pihak
lawan tidak bermaksud baik, perlahan-lahan ia bangkit berdiri dan menegur, “Siapakah saudara??
Siapa namamu?? Apakah kedatanganmu kemari adalah sebagai utusan dari Boe-Liang
Sinkoen???”
“Hmm! Aku bernama Kok See Piauw, Sinkoen adalah suhuku! Eeh.. eeeh…bila kalian tahu diri
cepatlah siapkan senjata dan turun tangan bersama, barang siapa dapat melarikan diri dari pintu
ruangan ini, kongcu-ya anggap nasibnya baik dan mujur, mulai detik itu juga aku tak akan
mencari satroni dengan dirinya lagi.”
“Sombong amat orang ini!” batin Hong-po Seng, dia segera berseru dengan suara lantang,
“Sudah lama cayhe mendengar akan nama besar dan Boe Liang Sinkoen, diluar sedang turun
hujan sangat lebat, karena sahabat tidak undang gurumu untuk masuk ke dalam ruang?? Agar
dengan begitu cayhepun bisa ikut mengagumi kehebatan dari gurumu!”
Sepasang alis Kok See Piauw terkejut kencang, sepasang matanya dengan tajam menatap
pemuda itu tanpa berkedip, kemudian jengeknya;
“Hmm..sungguh tak nyana kaupun seorang manusia yang lihay” ia tertawa dingin. ”Sinkoen jauh
berada ribuan li dari sini, tak usah kuatir, kalian boleh turun tangan dengan hati lega.”
Hong-po Seng tertegun, pikirnya, “Aaah, ternyata kejadian jauh berada diluar dugaan ibuku, apa
yang harus kulakukan sekarang??”
Untuk beberapa saat lamanya ia tiada akal untuk mengatasi persoalan ini, sinar matanya lantas
berputar dan sengaja dialihkan ke arah Chin Pek Cuan, sedikitpun tidak salah sinar mata semua
orangpun lantas beralih ke arah si orang tua itu.
Sambil mengelus jenggot Chin Pek Cuan mendongak dan tertawa terbahak-bahak, suaranya
nyaring bagaikan genta dipalu bertalu-talu membuat seluruh ruangan bargetar dan cahaya api
Jilin bergoyang kencang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
12
“Tua bangka sialan” maki Kok See Piauw penuh kegusaran. “Kematian sudah berada di ambang
pintu, kau masih juga berani berlagak??? Kurang ajar!”
Sementara itu baik Chin Giok Liong maupun Chin Wan Hoag tidak mengucapkan sepatahkatapun,
dengan wajah penuh kegusaran mereka berdiri disisi ayahnya sambil bersiap sedia
menghadapi segala kemungkinan. beberapa orang pelayan yang semula melayani dalam ruangan
itu diam-diam pada ngeloyor pergi sesudah dilihatnya situasi berubah makin buruk.
Selesai tertawa dengan wajah menampilkan suatu sikap yang aneh Chin Pek Cuan menolek ke
arah Kok See Piauw, lalu berkata, “Bagaimanapun juga Thian memang mempunyai mata,
akhirnya dia memberi juga kesempatan bagi loohu untuk melampiaskan rasa mangkel dan
mendongkol yang kupendam selama ini. Hmmm! Kalau kau yakin mempunyai kekuatan untuk
menandingi diriku, silahkan menanti sebentar!”
Berbicara sampai disitu tanpa menunggu jawaban orang, ia lantas berpaling ke arah Hong-po
Seng seraya menegur, “Engkoh cilik, Lku harap kau mengutarakan maksud tujuanmu yang
sebenarnya kepada loo hu, sebenarnya ada urusan apa kau datang kemari?”
Dalam waktu yang amat singkat, pelbagai pikiran sudah berkelebat dalam benak Hong-po Seng,
menyaksikan situasi yang terbentang di depan mata saat ini, ia merasa cara yang sudah diatur
ibunya tak mungkin bisa dilaksanakan lagi sebab meski usia Kok See Piauw masih muda namun
ditinjau dari gerak-geriknya ia sadar meski dirinya bergabung dengan Chin Pek Cuan sekalian
bertiga belum tentu bisa menandingi kehebatannya, ia merasa bahwa dirinya harus mencari satu
akal bagus untuk menghadapi keadaan ini, kalau tidak bukan saja keluarga Chin bakal musnah
bahkan dia sendiripun bakal mati diujung tangan orang she Kok tersebut.
Walaupun usianya masih muda baik kecerdasan maupun keberanian Hong-po Sang tiada
taranya, kalau tidak tak nanti ibunya serahkan tugas yang sangat berat ini kepada dirinya.
Oleh sebab itu ia lantas bangkit berdiri meninggalkan tempat duduknya, ambil keluar surat titipan
dari ibunya dan membuka sampul surat itu kemudian dibaca isinya.
Tampaklah surat itu berbunyi demikian, Surat ini berasal dari Hoa, perkampungan Liok-Soat-san
cung dan dipersembahkan untuk Boe-Liang Sin- Koen Lie kong, “Sejak berpisah dipuncak Pak
Beng, dalam sekejap mata sepuluh tahun sudah lewat…… sengketa kita waktu ada dikota Co-
Chiu tempo dulu menyangkut soal Lie kong dengan kaum pendekar tapi dalam kenyataan
suamiku almarhumlah yang jadi pokok utama peristiwa tersebut, aku rasa semua orang sudah
tahu akan persoalan ini……”
Membaca sampai disini si anak muda itu merasa rada tercengang bercampur curiga, pikirnya,
“Entah dendam sakit hati apa yang dimaksudkan?? Mengapa menyangkut pula diri ayahku?”
Tampak surat itu berbunyi demikian, “Dendam berlarut-larut hingga kini, dan sekarang kau
hendak melampiaskan hati itu terhadap orang lain, benarkah tindakan itu?? Meski aku Boen-si
tidak becus, tak nanti aku berpeluk tangan belaka menyaksikan orang lain yang harus memikul
akibat dari persoalan itu.
Maka andaikata kau percaya dengan perkataan aku tunggulah satu tahun lagi, sampai waktunya
aku pasti akan melayaninya Lie kong untuk beradu kepandaian guna menyelesaikan masalah
lampau….”
Hong-po Seng terkesiap, diam-diam serunya didalam hati.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
13
“Aaah. kiranya ibu sengaja menulis surat tantangan kepada Boe Liang Sinkoen dan ada maksud
untuk menyelesaikan sendiri masalah sakit hati ini!”
Sudah tentu ia tahu dibalik persoalan ini tentu masih terkandung hal lain yang lebih mendalam,
namun musuh tangguh berada di depan mata tak mungkin baginya untuk berpikir lebih jauh,
sepasang tangannya segera diremas dan hancurlah surat tadi jadi berkeping-keping.
Tatkala Hong-po Seng mengambil keluar sepucuk surat tadi semua orang memandangnya
dengan pandangan penuh curiga, tetapi setelah dilihatnya pemuda itu dengan cepat membaca isi
surat tadi kemudian menghancurkan lumatkan jadi berkeping-keping, dari curiga mereka jadi
tercengang.
Dalam pada itu Kok See Piauw tetap membungkam dalam seribu bahasa, sepatah kata pun tidak
diucapkan keluar.
“Dengan susah payah ibu mendidik aku selama seputuh tahun, apakah tujuan yang sebenarnya?”
pikir Hong-po Seng didalam hati. “Kok See Piauw tidak lebih hanya anak murid dari manusia she
Lie itu, kalau aku tak sanggup menghadapi dirinya, apa gunanya aku bercita-cita membalaskan
dendam ayahku serta menolong umat bu-lim dari bencana?”
Setelah mengambil keputusan didalam hatinya, tanpa menjawab pertanyaan dari Chin Pek Cuan
lagi ia berpaling ke arah Kok See Piauw dan menegur dengan suara hambar, “Sahabat Kok,
seorang diri kau melakukan perjalanan sejauh ribuan lie tidak lain hanya datang kemari untuk
mancari balas, aku rasa ilmu silat yang dimiliki gurumu pasti sudah berhasil kau pelajari semua
bukan? “
Sebagai murid kesayangan dari gurunya sejak kecil Kok See Piauw sudah terbiata di manja,
hingga tanpa terasa terdidiklah satu watak tidak pandang sebelah matapun terhadap orang lain
sekarang mendengar ejekan tersebut kontan hawa amarahnya berkobar. Dengan mata melotot
alis menjungkit dan wajah merah padam bentaknya, “Manusia rendah yang tak tahu diri! Ayoh
cepat cabut keluar senjatamu, kalau kau sanggup menahan lima puluh jurus serangan Kok
sauwya-mu, detik itu juga sauw-ya mu akan angkat kaki dan berlalu dari sini ‘“
“Bagus sekali!” sambut Hong-po Seng dengan suatu teriakan keras, ia segera menyambar
bungkusan kain meja dan ambil keluar selatang pedang baja yang kasar dan berat.
Lebar pedang ini cuma dua coen dengan tebal delapan millimeter, warnanya hitam pekat dan
sukar untuk dibedakan sebenarnya senjata itu terbuat dari besi atau baja.
Dengan sepasang alis berkerut Kok See Piauw segera mendengus dingin, dadanya dibusungkan
ke depan, sang telapak diputar setengah lingkaran lalu meluncur kemuka kirim satu pukulan
dahsyat.
“Kurang ajar, manusia liar yang tak tahu aturan!” maki Hong-po Seng dengan hati mendongkol.
Kakinya segera melangkah kesamping untuk menghindari ancaman lawan, pedang bajanya
disapu keluar mengirim satu babatan kilat.
Sreeet…! sepintas lalu babatan ini kelihatan sangat lambat padahal dalam kenyataan cepatnya
luar biasa, tampak cahaya hitam berkelebat lewat serentetan hawa pedang yang tajam dan
menggidikkan hati langsung menerjang dada Kok See Piauw.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
14
Sungguh lihay anak muda dari Boe Liang Sinkoen, dengan cepat badannya miring ke samping
menghindarkan diri dari babatan musuh, tangan kirinya menjangkau keluar merampas gagang
pedang lawan, sementara telapak kanannya laksana kilat meluncur kemuka melancarkan satu
babatan dahsyat.
Bukan begitu saja, bersamaan waktunya pula ia lancarkan tendangan kilat dengan kaki kanannya
menghajar pusar si anak muda itu.
Dalam satu jurus dengan tiga gerakan yang berbeda, benar-benar suatu ancaman yang keji,
telengas dan dahsyat.
Chin Pek Cuan ayah beranak tiga orang yang menonton jalannya pertarungan dari sisi kalangan
diam-diam merasa bergidik juga setelah melihat kelihayan orang.
Ilmu silat yang dipelajari Hong-po Seng istimewa sekali, ia jarang mengadakan latihan namun
apa yang dipelajari amat banyak, dalam satu jurusan serangan ia sudah dapat menyaksikan
kelihayan lawan, ia tahu akan kehebatan, serta kelemahan pihak musuh dan menyadari pula
dalam lima puluh jurus mendatang masih sulit bagi dirinya untuk menyelesaikan pertarungan ini.
Tampak pedang bajanya menegang, badannya tiba-tiba berputar kencang satu lingkaran busur
pedangnya dengan mengikuti gerakan tersebut bergeser pula ke belakang, gerakan yang mirip
suatu serangan tapi bukan serangan, mirip namun bukan pertahanan ini seketika dengan
gampangnya berhasil memunahkan ancarnan dari serangan kilat Kok See Piauw.
“Hmm! gerakan yang manis jitu.” seru Kok See Piauw tanpa sadar. “Keparat cilik rupanya kau
masih memiliki sedikit ilmu hitam yang ampuh!”
Dalam pembicaraan pedangnya laksana kilat merangsek kemuka dalam sekejap mata ia telah
melancarkan delapan buah serangan kilat yang kesemuanya merupakan jurus-jurus mematikan
dan jurus-jurus keji.
Dengan cepat Hong-po Seng putar pedangnya sedemikian rupa sehingga membentuk satu
lapisan benteng tak berwujud yang sangat kuat, dengan gampang pula ia berhasil membendung
kedelapan buah serangan lawan.
Sreeeet! Sreeeeet…..! Desiran tajam melanda permukaan bumi, angin puyuh menggulung kesana
kemari menggidikkan hati siapa yang menyaksikan jalannya pertempuran itu.
Chin Pek Cuan yang menonton dari samping kalangan, diam-diam merasa tercengang, pikirnya,
“Ilmu pedang apakah ini? Tampaknya biasa sederhana dan sama sekali tiada keajaiban atau
keanehannya…..“
Sebagai salah seorang jago tua yang pernah menghadiri pertemuan Pak Bang Hwie, boleh dikata
kepandaian silat dari pelbagai partai, perguruan serta aliran yang ada dikolong langit sudah
pernah dilihatnya semua, tetapi rangkaian ilmu pedang yang digunakan Hong-po Seng barusan
sama sekali belum pernah dilihat ataupun didengarnya, terasa betapa dahsyatnya pengaruh
serangan itu menguasai seluruh kalangan.
Pertarungan antara jago-jago lihay hanya berlangsung sekejap mata, tahu-tahu Kok See Piauw
telah melancarkan delapan buah serangan berantai lagi, dengan gampang Hong-po Seng berhasil
memunahkan seluruh ancaman tersebut, namun secara lapat-lapat ia mulai terdesak pada posisi
dibawah angin dan tak sanggup untuk melancarkan serangan balasan kembali.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
15
“Kok See Piauw, tahan!” mendadak terdengar Chin Pek Cuan membentak keras.
“Bentakan ini amat nyaring dan keras membuat seluruh bangunan gedung itu bergetar keras,
begitu hebat suaranya seolah-olah guntur yang membelah bumi di siang hari bolong.
Dengan cepat Kok See Piauw melayang mundur ke belakang, lalu dengan nada penuh kegusaran
teriaknya, “Tua bangka sialan, bukankah sejak tadi aku sudah suruh kalian untuk turun tangan
bersama-sama, siapa suruh kamu tolak tawaranku itu??? Hmmm! Kalau masih ada pesan terakhir
yang hendak kau sampaikan cepat utarakan keluar, kalau tidak Kongcu ya mu tidak akan
berlagak sungkan-sungkan lagi.”
Chin Pek Cuan tertawia dingin.
“Bajingan cilik, kau tak usah gelisah! malam ini loohu akan suruh kau mati disini tanpa tempat
kubur!”
Kemudian ia berpaling ke arah Hong-po Seng dan bentaknya, “Sahabat kecil, perduli
darimanakah asal usulmu kalau kau hendak mencari satroni dengan bajingan ciiik she Kok ini,
aku harap kau suka menunggu dahulu di luar pintu, kami keluarga Chin tidak sudi memberi
kesempatan kepadamu untuk berkelahi disini!”
Begitu keras dan keren suaranya sehingga menggetarkan hati si anak muda kita.
Mula-mula Hong-po Seng tertegun kemudian pikirnya, “Secara terang-terangan aku membantu
dirinya, kenapa sebaliknya dia malah memaki aku dengan kata yang begitu keras? Bukankah hal
ini jauh melanggar kebiasaan?”
Berpikir demikian ia lantas mengundurkan diri kesamping kalangan dan berkata sambil tertawa,
“Loo Wan-gwee, bukankah kau hendak bunuh sauw-ya itu sehingga tiada tempat kubur
baginya?? Kalau cahye diharuskan menunggu diluar pintu. Bukankah aku bakal menunggu
dengan sia-sia belaka??”
“Keparat cilik, tutup bacotmu yang busuk” dengan penuh kegusaran Kok See Piauw tertawa
seram “Kongcu-ya akan suruh kau merasakan kelihayanku!”
Dia maju ke depan kemudian dengan gemasnya melancarkan satu babatan ke arah tubuh lawan.
Chin Pek Cuan mengirim satu tendangan kilat menghancurkan meja perjamuan dihadapannya,
Braaak…! Kepingan kayu bagaikan anak panah berbareng meluncur ke arah tubuh Kok See
Piauw.
Anak murid dari Boe-Liang Sinkoen ini jadi semakin gusar, telapaknya dibabat ke bawah
menghantam rontok kepingan-kepingan kayu meja yang mengancam dirinya, angin puyuh
menyapu permukaan bumi, kepingan kayu yang termakan sabetannya ini segera mencelat ke
angkasa dan menyebar keempat penjuru.
Diam-diam bergidik juga hati semua orang yang menyaksikan kedahsyatan serangannya itu,
belum sampai pikiran kedua berkelebat dalam benak mereka, Kok See Piauw sudah rentangkan
sepasang lengannya menyerang berbarengan ke arah Hong-po Seng serta Chin Pek Cuan.
“Akan kusaksikan dahulu kelihayan dari loo enghiong ini, biarlah untuk sementara waktu aku
menyingkir dahulu kesamping kalangan” pikir Hong-po Seng.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
16
Sepasang kakinya segera menjejak tanah, sebelum serangan musuh mengancam tiba badannya
sudah melayang mundur beberapa depa ke belakang dan lolos dari ancaman tersebut.
Tampaklah Chin Pek Cuan memiringkan tubuhnya kesamping, sepasang telapak laksana kilat
didorong kemuka secara berbareng.
“Criiing…!” bentrokan nyaring menggema diangkasa seolah-olah dua batang medali emas saling
membentur satu sama lainnya.
Kok See Piauw mendengus gusar, jari telunjuk tangan kirinya bagaikan batang tombak meluncur
kemuka mengancam sepasang mata Chin Pek Cuan, telapak kanan menjangkau ke bawah secara
tiba-tiba menyerobot dadanya.
Ilmu telapak Kim Sah Ciang yang dilatih Chin Pek Cuan telah mencapai pada puncaknya, dalam
pertarungan itu sepasang telapaknya berubah jadi kuning keemas-emasan, menyaksikan
datangnya ancaman jari tangan lawan yang ampuh dan sukar diduga arah tujuannya, dengan
cepat ia keluarkan jurus serangan “Long-Po-Kang-Ciauw” atau Gulungan Ombak Menghantam
Karang dan secara tiba-tiba mem-bentur ke depan.
Jurus ”Long Po Kang Ciauw“ atau gulungan ombak menghantam karang ini meski hanya suatu
jurus serangan yang amat sederhana, namun setelah dipergunakan Chin Pek Cuan yang disertai
dengan segenap tenaga murni yang dimilikinya berubah jadi amat dahsyat.
Sudah tentu Kok See Piauw tidak sudi membiarkan tubuhnya termakan oleh pukulan maut itu,
buru-buru ia enjotkan badannya melayang mundur beberapa depa ke belakang, “Ehmm…! Ilmu
telapak Kim Sah Ciang nya bisa dilatih mencapai taraf sedemikian hebatnya, benar-benar luar
biasa!” pikirnya Hong-po Seng didalam hati.
Mendadak terdengar Chin Pek Cuan membentak keras, “Chin Tiong Pasang api! Long jie, wan jie
siapkan senjata tajam”
Mendengar teriakan itu baik Hong-po Seng maupun Kok See piauw yang sedang bertempur jadi
amat terperanjat, sebelum mereka sempat mengartikan maksud dari teriakan tersebut, Chin Giok
Liong serta Chin wan Hong telah mencabut keluar senjata tajamnya dan bersama-sama
menubruk ke arah Kok See Piauw,
“Bluumm! Bluumm…!” suara ledakan keras segera menggema dari sisi kiri kanan, depan serta
belakang ruang tengah itu, seketika itu juga bau belirang yang tajam dan amat menusuk
penciuman menyebar keseluruhan angkasa.
“Tua bangka sialan! Kau pingin modar?” maki Kok See Piauw dengan hati terkejut bercampur
gusar.
Sepasang telapaknya laksana kilat melancarkan serangan berantai yang hebat dan mematikan.
Menghadapi serangan-serangan yang gencar dan luar biasa ini Chin Giok Liong berdua keteter
hebat, tidak selang beberapa jurus mereka sudah terdesak ke dalam posisi yang amat kritis dan
bahaya, setiap saat maut bakal mengancam keselamatan mereka.
Hong-po Seng yang menjumpai kejadian jadi terperanjat, tanpa memperdulikan situasi di
sekelilingnya yang kritis dan berbahaya itu, ia ayunkan pedangnya dan menerjang ke depan.
Bersama dengan Chin Pek Cuan, satu dikiri yang lain di kanan berbareng membendung jalan
pergi Kok See Piauw.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
17
Blumm….! Blumm….! Ledakan dahsyat tiada hentinya berdentuman di angkasa, jilatan api mulai
membakar ruang depan dan kian lama kian membesar sehingga akhirnya terjadilah kebakaran
besar dalam seluruh ruangan.
Ternyata Chin Pek Cuan yang tahu bahwa bencana besar setiap saat bakal menimpa
keluarganya, ia bersumpah tak mau menyerah dan takluk dengan begitu saja, maka secara diamdiam
di sekeliling ruang tengah telah ditanami obat-obat peledak, ia akan menantikan
kedatangan Boe Liang Sinkoen dalam ruangan itu kemudian baru turunkan perintah
memerintahkan pembantu-pembantunya yang telah dipersiapkan diluar ruangan menyulut api
sumbu dan meledakkan obat-obat peledak tersebut.
Sudah lama ia mengetahui akan kelihayan Boe Liang Sinkoen, tahu pula bahwa api sembarangan
tidak nanti bisa mengurung dirinya untuk menghindari kecurigaan orang maka ia perintahkan
Chin Giok Liong putranya serta Chin Wan Hong putrinya untuk ikut serta dalam usaha tersebut,
mereka mengambil keputusan untuk adu jiwa bersama-sama Boe Liang Sinkoen.
Siapa tahu Boe Liang Sinkoen yang ditunggu-tunggu tidak datang, sebaliknya malah dibebani
dengan nyawa Hong-po Seng.
Siasat adu jiwa yang dipersiapkan ini sudah tentu lihay sekali, dalam sekejap mata seluruh ruang
tengah teIah terkepung oleh jilatan api yang berkobar-kobar dengan hebatnya, ditambah pula
hembusan angin yang kencang membuat kobaran api tadi menyebar makin cepat. Tidak selang
beberapa saat kemudian seluruh gedung rumah keluarga Chin telah tertelan didalam lautan api.
Cahaya api membumbung tinggi keangkasa, asap yang tebal menutupi awan, berita kebakaran
ini dengan cepat menjalar keseluruh kota, penduduk disekitar sana berbondong-bondong datang
mengerubung sambil menolong api, sementara dalam ruang tengah masih berlangsung suatu
pertempuran berdarah yang seru dan ramai.
Di tengah pertarungan sengit itu secara beruntun Kok See Piauw melancarkan serangan
mematikan, ia bermaksud cepat-cepat menyelesaikan pertarungan itu dan segera meloloskan diri
dari kepungan.
Dalam tiga lima jurus kemudian, Chin Pek Cuan bertiga segera terjebur dalam situasi yang kritis
dan berbahaya, maut setiap saat mengancam keselamatan mereka.
Menjumpai situasi yang kritis dan tidak menguntungkan itu, secara mendadak Hong- po Seng
membentak keras, sekuat tenaga ia lancarkan satu babatan ke depan.
Babatan ini bukan saja cepat bahkan kuat dan penuh bertenaga, laksana samberan kilat hawa
pedang menyebar keempat penjuru mengiringi desiran tajam yang memekikkan anak telinga.
Kok See Piauw terperanjat, segera pikirnya, “Sungguh hebat keparat cilik ini, tenaga lweekang
yang dimilikinya tidak berada dibawah tenaga murniku!”
Walaupun ia jumawa namun bukanlah manusia yang bodoh, ia tahu Hong- po Seng pun anak
murid seorang jago lihay kenamaan, dengan hadirnya pemuda itu dalam pertempuran tersebut
tak mungkin baginya untuk melancarkan pembasmian terhadap keluarga Chin, apalagi kobaran
api sudah kian mendesak kalangan itu, ia segera ambil keputusan untuk mengundurkan diri
terlebih dahulu dari sana.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
18
Sepasang telapaknya segera melancarkan serangan memaksa keempat orang itu buru-buru
mengundurkan diri ke belakang.
Menggunakan kesempatan yang sangat baik itulah mendadak ia enjotkan badannya meluncur
naik ke atas tiang penglari.
Siapa sangka posisi Chin Pek Cuan sekarang dari tetamu jadi tuan rumah, sudah tentu ia tak sudi
membiarkan musuhnya melarikan diri dengan begitu saja, dengan cepat ia loncat ke atas sambil
mengirim satu babatan yang dahsyat ketubuh musuhnya
Kok See Piauw teramat gusar, di tengah udara ia tarik napas panjang-panjang dan disimpannya
didalam dada, mendadak tubuhnya berjungkir balik mengarah ke bawah, tangan kanannya
dengan menggurat setengah lingkaran bagaikan gunung Tay san menekan kepala ia hajar batok
kepala Chin Pek Cuan.
“Sudah! sudahlah!” diam-diam Hong-po Seng berseru didalam hati bagaikan anak panah yang
terlepas dari busurnya dia segera meluncur ke arah Kok See Piauw, dan..sreeet…! sebuah
babatan dahsyat segera dilepaskan.
Sementara itu hawa panas dalam ruangan semakin meningkat, asap tebal menutupi seluruh
jagad, bukan saja panas dan sumpek suara gemerutukan kayu yang dimakan api lebih-lebih
menggetarkan hati orang yang mendengar.
Berada dalam situasi yang serba sulit dan membingungkan ini Kok See Piauw tak sanggup
melayang lebih jauh, akhirnya ia berhasil dipaksa turun kembali ke dalam ruangan.
Dalam sekejap mata ketiga orang itu terlibat kembali dalam suatu pertarungan yang maha
sengit, dua bersaudara Chin segera maju membantu. siapa sangka pertarungan antara ketiga
orang itu semakin seru, gagallah kedua orang bersaudara itu ikut bagian dalam pertarungan tadi.
Ilmu pedang yang dimiliki Hong-po Seng semuanya berjumlah enam belas jurus, bukan saja
semuanya jurus sederhana yang umum dan biasa bahkan tiada keistimewaan apapun jua, namun
kesempurnaan tenaga lweekang yang dipancarkan dalam pedang itu benar-benar luar biasa
sehingga membuat Kok See Piauw sama sekali tak berkutik.
Mendadak satu serangan kilat lawan memaksa Chin Pek Cuan tak sanggup mempertahankan diri,
ia segera terjerumus dalam keadaan yang kritis dan berbahaya.
Serangan Kok See Piauw yang telah menggunakan ilmu “Kioe Pit Sin Ciang” ajaran perguruannya
melanda datang bagaikan gulungan ombak di tengah samudra luas, begitu hebat dan dahsyat
membuat permukaan bumi seakan-akan bergetar.
Chin Pek Cuan jadi nekad, ia kerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menerjang
musuh dan mengajak lawan adu jiwa…..
Di tengah suasana yang panas dan tegang inilah, satu ingatan berkelebat dalam benak Hong-po
Seng, secara tiba-tiba ia teringat kembali akan ibunya yang mengasingkan diri di tengah
pegunungan sunyi.
“Tugas pertama belum kuselesaikan, bila demikian saja jiwaku lantas melayang, bagaimana malu
dan menyesalnya ibu yang sudah mendidik diriku secara susah payah” jeritnya didalam hati.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
19
Berpikir demikian, semangatnya lantas berkobar kembali, di tengah bentakan nyaring pedangnya
laksana sambaran kilat berkelebat ke depan melancarkan satu serangan mematikan, cahaya
hitam berkilauan menusuk pandangan, dengan dahsyat dan hebatnya langsung menerobos
pertahanan musuh dan mengancam tubuh lawan.
Kok See Piauw benar-benar dibikin naik pitam, hawa amarahnya sudah tak dapat dikendalikan
lagi, menyaksikan api telah membakar seluruh isi ruang dalam, ia sadar bila dirinya tidak segera
angkat kaki dari situ mumpung sekelilingnya belum terbakar, niscaya badannya bakal terbakar
dan jiwanya akan melayang ditempat itu.
Secara beruntun ia segera melancarkan serangan berantai memancing pergi pedang Hong-po
Seng, sementara telapak kanannya lak sana kilat memancarkan satu tabokan maut ke arah Chin
Pek Cuan.
Menyaksikan tindakan lawan, Hong-po Seng terperanjat, ditinjau dari datangnya serangan itu ia
tahu bahwa sulit bagi Chin Pek Cuan untuk melepaskan diri dari ancaman tersebut, segera
pikirnya, “Aku datang kemari adalah bermaksud untuk membalas budi kebaikan yang pernah ia
lepaskan terhadap keluarga kami, mana boleh kubiarkan dia menemui ajalnya ditangan keparat
tersebut?”
lngatan itu laksana kilat berkelebat dalam benaknya, cepat-cepat pedangnya diputar balik
dengan maksud untuk membendung serangan lawan, siapa sangka tindakannya itu sudah tak
sempat lagi.
Dalam situasi yang amat kritis dan berbahaya itulah bahu kirinya segera dimiringkan ke samping
kemudian bagaikan banteng terluka ia tumbuk lengan Kok See Piauw yang sedang mengirim
ancaman maut itu.
Tindakan Hong-po Seng yang berani nekad beradu jiwa ini jauh diluar dugaan Kok See Piauw,
dalam gugupnya ia lepaskan ancamannya terhadap Chin Pek Cuan dan putar badan sambil kirim
satu babatan ke belakang.
“Bluum…!” serangan tadi dengan telak bersarang dibahu Hong-po Seng membuat si anak muda
itu mendengus berat, badannya terpental delapan depa dari tempat semula dan jatuh
bergelindingan di atas tanah.
Menyaksikan peristiwa itu, sepasang mata Chin Pek Cuan berubah jadi merah berapi-api dengan
gusarnya ia berteriak, “Loohu akan adu jiwa dengan dirimu!”
Sepasang lengan direntangkan kemudian menubruk ke depan dengan suatu gerakan yang amat
ganas.
Melihat pibak lawan bagaikan orang gila sedang melancarkan tubrukan ke arahnya, Kok See
Piauw terkesiap, bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Karena takut pinggangnya sampai ketubruk lawan sehingga sulit baginya untuk melepaskan
terburu-buru ia enjotkan badannya berkelit satu langkah kesamping, kemudian bersuit nyaring
dan meloncat naik ketengah udara.
Dalam pada itu seluruh dinding ruangan tengah sudah berubah jadi merah membara karena
termakan api, jilatan api berkobar di mana-mana, karena tubrukunnya mengenai sasaran yang
kosong, tak tahan lagi tubuh Chin Pek Cuan terjengkang ke depan sejauh beberapa langkah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
20
menanti ia berhasil berdiri tegak, Kok See Piauw sudah berada empat tombak dari tempat semula
dan sedang melayang ke atas atap rumah.
Semua kejadian ini hanya berlangsung dalam waktu yang amat singkat, baru saja Hong-po Seng
bangkit berdiri, ujung bajunya sudah terjilat api dan mulai terbakar, buru-buru ia jatuhkan diri
kembali ke atas tanah dan berguling-guling untuk memadamkan jilatan api tersebut, menanti ia
meloncat bangun untuk kedua kalinya, suitan nyaring Kok See Piauw sudah berada ratusan
tombak jauhnya.
Kecerdikan Hong-po Seng melebihi orang lain, menyaksikan empat penjuru sudah terkepung oleh
kobaran api yang amat dahsyat sehingga tiada jalan lain mereka untuk lolos dari ruangan itu
tanpa berpikir panjang lagi ia buang pedang bajanya ke atas tanah kemudian menyambar
sapasang kaki Chin Giok Liong sekali diputar dengan kerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya ia lemparkan tubuh si anak muda itu ke atas lobang atap rumah.
Mimpipun Chin Giok Liong tidak menyangka kalau ia bakal ditangkap Hong-po Seng dan
dilemparkan keatap rumah, menanti ia mendusin dari kagetnya dan tubuhnya telah melayang
ketengah udara buruk teriaknya, “Hong-po Siauwhiap..”
Sepasang tangannya diayun kesamping, ia segera menyambar tiang penglari rumahnya dan
dipegang erat-erat.
Dalam sangkaan Hong-po Seng ruang tengah itu sangat tinggi, ia duga dua bersaudara keluarga
Chin tidak nanti sanggup melompatnya, maka sesudah melemparkan tubuh Chin Giok Liong ke
atas tiang ia segera putar badan mencengkeram sepasang kaki Chin Wan Hang “Gadis muda itu
jadi ketakutan, buru-buru ia ke belakang tubuh ayahnya sambl menjerit, “Ayah!!”
Mula-mula Chin Pek Cuan pada tertegun melihat tingkah laku si anak muda itu, tapi dengan
cepat ia mengarti ada maksud yang sebenarnya, dengan cepat ia tarik lengan Hong-po Seng lalu
diajaknya lari maju kesudut ruangan itu.
“Saudara cilik, ikutilah diri loohu!”serunya.
“Tapi..tunggu dulu sebentar Loocianpwee..pedang boanpwee…….“
Chin Wan Hong yang mendengar perkataan itu buru-buru memungut pedang baja milik pemuda
tersebut dari atas tanah, sementara Chin Giok Liongpun sudah loncat turun ke atas tanah, maka
mereka berduapun dengan cepat menyusul dibelakang ayah mereka.
Sebelah barat ruang besar tadi merupakan dinding tembok yang terbuat dari batu bata, kobaran
api belum sampai membakar habis tempat itu. Setibanya ditepi dinding sepasang telapak Chin
Pek Cuan segera mendorongnya dengan sekuat tenaga.
Gruuuduk…! Dinding tersebut terhantam roboh sepuluh bagian, sambil menarik pergelangan
tangan Hong-po Seng, jago tua she Chin ini segera menerobos masuk ke dalam sebuah mulut
lorong yang sempit.
Sadarlah hati Hong-po Seng sesudah menyaksikan bahwasanya dinding tembok yang dibangun
disitu ternyata beriapis dua, pikirnya, “Tidak aneh kalau mereka tetap bersikap tenang kendati
empat penjuru sekeliling mereka sudah terkepung oleh jilatan api, ternyata jauh sebelumnya
mereka sudah siapkan jalan keluar yang sangat rapi, Hmmmm, hitung-hitung aku sudah
menguatirkan keselamatan mereka dengan percuma….!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
21
Lorong sempit dibalik lapisan dinding ini amat panas bagaikan sebuah tungku yang di bawah
onggokan api, secara beruntun keempat orang itu menerobos masuk beberapa lang kah jauhnya,
keringat sebesar kacang kedelai telah membasahi seluruh tubuh mereka, udaranya sumpek dan
sesak ditambah pula hawa yang panas menyengat badan mereka semua walaupun terhitung
jagoan lihay, tak urung napasnya tersengkal-sengkal juga bahkan hampir saja jatuh tak sadarkan
diri,
Pertama-tama Chin Wan Hong lah yang tidak tahan, tangan dan kakinya jadi lemas, senjata
tajam yang dicekalnya segera terjatuh ke atas tanah.
Buru-buru Hong-po Seng menyambar tangannya dan menyeret gadis itu meneruskan perjalanan
sedang Chin Giok Liong memutar pedang baja dari atas tanah kemudian menyusulnya dari
belakang.
Demikianlah dengan susah payah mereka merangkak lagi sejauh beberapa tombak dalam lorong
sempit itu, tiba-tiba Chin Pek Cuan menghentikan langkahnya dan meraba sebuah papan batu,
dengan sekuat tenaga dibukanya batu tadi.
Dibawah batu besar tersebut merupakan sebuah gua yang dalam, pertama-tama Chin Pek Cuan
yang meloncat turun terlebih dahulu, disana ia bikin api dan memasang obor.
Ketiga orang lainnya dengan cepat menyusul dari belakang, begitu menginjakkan kakinya
didalam gua itu terasalah badan jadi nyaman dan segar kembali, dengan seksama Hong-po Seng
segera mengamati daerah sekeliling tempat itu.
Kiranya dimana mereka berada saat ini merupakan sebuah ruang bawah tanah yang besar dan
lebar, dihadapan ruang itu terdapat sebuah pintu dan entah menghubungkan ruangan tersebut
dengan mana?
Chin Pek Cuan dengan mulut membungkam membuka pinto tadi dan kemudian memimpinnya
berjalan lebih dahulu dipaling depan, sementara ketiga orang lainnya mengintil dibelakangnya.
Diluar pintu ruang bawah tanah merupakan sebuah lorong yang sempit, tidak jauh mereka
melewati lorong tadi sampailah disebuah pintu lagi, pintu itu sebenarnya terkunci tapi sekarang
kuncinya telah dibuka dan dibuang ke samping.
Entah berapa lama mereka sudah berjalan, mendadak terdengar Chin Pek Cuan berseru dengan
nada gemas, “Aaai…! Sayang! Sayang….”
JILID 2
“Ayah, apa yang perlu kau sayangkan?” tanya Chin Wan Hong sambil menyeka keringat yang
membasahi wajahnya.
“Sayang bajingan cilik itu tidak berhasil kita bakar sampai mampus jadi arang!”
“Oooh…… aku kira ayah sedang menyayangkan gedung rumah kita,” gadis itu merandek sejenak,
lalu terusnya, “entah di rumah nenek apakah akan terjadi pula sesuatu atau tidak?”
“Aku rasa tidak mungkin. Hemmm…. ilmu silat yang dimiliki bajingan cilik ini amat lihay, aku rasa
kepandaian dari bajingan tua itu jauh akan lebih lihay dari pada sepuluh tahun berselang!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
22
Sementara pembicaraan itu masih berlangsung, permukaan lorong sempit itu makin lama
semakin meninggi dan tiba-tiba sampailah pada ujungnya.
Hong-po Seng segera mendongak memandang ke atas, tampaklah di atas kepala terdapat
sebuah jendela dan di sekitar jendela itu penuh dengan debu dan sarang laba-laba, jelas sudah
banyak tahun tak pernah dibukanya barang sekalipun.
Chin Pek Cuan tancapkan obornya ke atas tanah lebih dahulu kemudian pasang telinga
memperhatikan keadaan di sekelilingnya beberapa saat setelah itu baru membuka santekan
jendela dan mendorong jendela tadi ke bawah hingga terbuka lebar, di atas jendela masih
terdapat sebuah papan batu yang besar dan berat kembali ia geserkan batu tadi ke samping,
selapis cahaya merah seketika memancar masuk ke dalam lorong.
Setelah mematikan obor, pertama-tama Chin Pek Cuan yang loncat keluar lebih dahulu dari
bawah lorong diikuti Hong-po Seng dari belakangnya, mendadak pemuda itu merasakan bahu
kirinya teramat sakit, kepalanya secara tiba-tiba jadi berat dan pusing tujuh keliling, matanya
berkunang-kunang, dan hampir saja ia roboh terjengkang ke atas tanah.
Chin Giok Liong serta Chin Wan Hong yang melihat keadaan si anak muda itu buru-buru maju
memayang, sementara Chin Pek Cuan segera berpaling dan menegur dengan nada kuatir, “Loo
te bagaimana keadaan lukamu??”
Setelah bahu kirinya terhajar oleh sebuah pukulan Kok See Piauw hingga jatuh terjengkang ke
belakang, Hong-po Seng tanpa beristirahat kerahkan segera tangannya untuk melemparkan
tubuh Chin Giok Liong ke atas atap rumah, waktu itu api sedang berkobar dengan ganasnya,
dalam keadaan seperti itu Chin Pek Cuan sudah lupa untuk memeriksa keadaan pemuda tersebut
rada payah, mereka bertiga baru merasa kuatir dan hatinya tidak tenteram.
Dengan cepat Hong-po Seng menenangkan hatinya lalu menarik napas panjang-panjang dan
salurkan hawa murninya keseluruh tubuh, menanti rasa sakit ia derita sudah banyak berkurang
barulah ujarnya sambil tertawa, “Karena terburu-buru hendak melarikan diri, lagi pula serangan
dilancarkan dalam keadaan gugup, Kok See Piauw hanya menggunakan tenaga tidak sampai dua
bagian, sayang waktu itu aku sudah lupa untuk mengatur pernapasan……”
“Entah ada racunnya tidak serangan telapak dari bangsat itu!” tanya Chin wan Hong dengan
wajah gelisah.
“Belum pernah aku dengar ilmu pukulan Kioe Pit Sin-ciangnya mengandung hawa racun!” jawab
Hong-po Seng sambil tertawa, sekali enjot ia meloncat keluar dari dalam lorong.
Kiranya jalan keluar dari lorong rahasia itu terletak dibawah tembok pekarangan halaman
belakang rumah keluarga Chin, baru saja Hong-po Seng meloncat keluar dari dalam lorong, ia
segera merasakan hawa panas yang amat menyengat badan memenuhi angkasa, ia lantas
berpaling, terlihatlah gedung rumah keluarga Chin yang megah dan besar kini sudah tinggal
puing-puing yang berserakan, api besar sebagian besar sudah padam kecuali di sana sini masih
terjadi kebakaran kecil.
Chin Pek Cuan adalah seorang pendekar gagah yang tidak terlalu memikirkan soal harta
kekayaan, begitu keluar dari tempat persembunyiannya ia lantas menutup kembali batu cadas
tadi kemudian menggape ke arah Hong-po Seng dan meloncat keluar dari pekarangan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
23
Terhadap si anak muda ini diam-diam jago tua tersebut menaruh rasa kagum bercampur terima
kasih, walaupun perasaannya itu tidak sampai diutarakan keluar namun sikap serta tindaktanduknya
cukup membuat pemuda kita merasakan kemesraan serta kehangatan yang luar
biasa.
Diluar dinding pekarangan merupakan sebuah jalan lorong yang sempit. lebarnya tidak mencapai
empat depa dan dikedua belah sisinya merupakan halaman belakang rumah orang demikianlah
keempat orang itu sementara suara hiruk-pikuk penduduk menolong api masih kedengaran dari
depan gedung.
Angin dan hujan salju sudah berhenti….cahaya merah memantul keudara membiaskan selapis
pemandangan yang menyeramkan…..tiba-tiba dari mulut lorong berkelebat keluar tiga sosok
bayangan manusia tanpa mengucapkan sepatah katapun mereka segera menghadang jalan pergi
Chin Pek Cuan sekalian.
Jago tua dari keluarga Chin ini sudah lama melakukan perjalanan dalam dunia persilatan banyak
pengetahuan serta pengalaman yang diperolehnya selama ini, menyaksikan kemunculan ketiga
orang itu ia lantas mengerti bahwa kedatangan orang-orang itu tidak bermaksud baik
Dengan cepat ia hentikan langkah kakinya dan memandang wajah orang-orang itu dengan sinar
mata tajam.
Tampaklah orang berdiri di tengah memakai topi kulit di kepalanya, jubahnya lebar dan terbuat
dari kulit, wajahnya penuh bercambang, sorot matanya dingin menyeramkan, senyuman dingin
menghiasi bibirnya yang lebar.
Rupanya orang itu adalah pemimpin diantara rombongan tersebut.
Chin Pek Cuan mendeugus dingin, ia segera maju menyongsong kedatangan mereka sambil
menegur, “Siapa kalian? Apa maksud kamu sekalian menghalangi jalan pergi kami?”
Orang itu tertawa seram.
“Cayhe she Kwa bernama Thay dengan gelar ‘Hiat-Sat-Tui-Hoan’ atau Malaekat darah pengejar
Sukma. Chin loo Wan-gwee! Kau adalah seorang hartawan kaya raya, sudah tentu tidak akan
kenali diriku!”
Diam-diam Chin Pek Cuan terkesiap juga mendengar nama itu, tetapi diluar ia tetap berlagak
tenang.
“Oooh, kiranya Kwa Toa Thong-cu!” serunya sambil tertawa. “Kalau begitu loohu benar-benar
punya mata tak kenali gunung Thay-san. waah……besar sekali dosaku ini! “ sepasang alisnya
berkerut, dengan nada menyindir serunya kembali, “Kwa Thongcu, apakah kau sedang
menjalankan perintah dari Kok kongcu untuk menangkap diri loohu?”
Malaikat Darah Pengejar Sukma tertawa seram.
“Hemmm…. Hemmm… Loo wan gwee tajam banar mulut tuamu itu. Aku orang she Kwa adalah
anak buah parkumpulan Sin Kie Pang, seorang Thongcu dari cabang kota Keng Chiu tidak akan
sudi manjalankan perintah orang lain!”
Ia merandek sebentar senyuman licik terlintas di atas wajahnya dan menambahkan, “Cuma
saja…. Heeh…. heeh Boe Liang Sinkoen adalah sahabat karib Pek loo kami, sedang kota Keng
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
24
Chiu adalah daerah kekuasaan dari aku orang she Kwa, maka mau tak mau urusan yang
menyangkut tugas diriku tak akan kubiarkan barlalu dengan begitu saja!“
“Aneh benar tingkah laku orang yang bernama Kwa Thay ini. Diam-diam Hong-po Seng
mambatin.” Didalam percakapannya sorot mata orang ini berkeliaran tidak menentu, jangan2 dia
sedang menjalankan satu siasat busuk dan bermaksud hendak menjebak kami sekalian?
Karena berpikir begitu tanpa sadar kewaspadaannya pun segera ditingkatkan.
Dalam pada itu Chin Pek Cuan telah mendengus dingin, “Hemm! Bajingan busuk dari
perkampungan Sin Kie Pang ternyata benar-benar bukan manusia baik!”
“Tua bangka she Chin!” mendadak lelaki berjubah hijau yang ada disisi kiri menghardik dengan
penuh kegusaran “Kau harus tahu, meskipun kolong langit sangat luas, tapi bila kau berani
menyalahi atau menyinggung nama baik perkumpulan Sin Kie Pang, tidak nanti kami akan
biarkan kau hidup dengan aman tenteram di atas jagad!”
“Cuuh…!” Chin Pek Cuan meludah ke atas tanah. “Para enghiong hoohan serta orang gagah
sudah mati semua, yang tinggal saat ini hanya kalian bajingan-bajingan tengik yang berani
mengaku sebagai enghiong..Hmmm! sungguh menyebalkan!”
Lama kelamaan Malaikat darah Pengejar sukma pun jadi naik pitam juga mendengar ejekan2
tersebut, dalam waktu singkat sepasang telapaknya telah berubah jadi merah darah, rupanya
orang itu sudah mempersiapkan diri untuk melancarkan serangan.
Suasana berubah semakin tegang, nampaknya sebentar lagi satu pertempuran sengit segera
akan berlangsung tiba, Hong-po Seng meloncat maju ke depan sambil menarik lengan Chin Pek
Cuan serunya, “Loocianpwee, tunggu sebentar!”
“Loote, silahkan kau menyingkir, bajingan-bajingan tengik sudah terlalu banyak melakukan
kejahatan, aku orang she Chin sudah tak tahan menyaksikan tingkah laku mereka….”
Tiba-tiba bayangan manusia berkelebat lewat, Hiat-Sat-Tui-Hoan atau Malaikat darah pengejar
sukma Kwa Thay telah menyusup datang sambil melancarkan sabuah serangan.
Chin Pek Cuan segera bertindak cepat, telapaknya diayun menyambut datangnya serangan itu
dengan keras lawan keras.
Blaaam..! Di tengah bentrokan keras yang memekikkan anak telinga tubuh Chin Pek Cuan tetap
tak bergelimang dari tempat semula, sebaliknya malaikat darah pengejar sukma terpukul satu
langkah ke arah belakang.
Chin Pek Cuan bukanlah seorang prajurit kecil yang tak bernama meskipun baru saja bergebrak
mati-matian melawan Kok See Piauw, namun untuk menghadapi seorang Tongcu ia masih
memiliki sisa tenaga.
Setelah berhasil merebut posisi di atas angin dalam segebrakan saja, tubuhnya merangsek
semakin ke depan. jurus-jurus maut dilancarkan bertubi-tubi memaksa Kwa Thay si Malaikat
darah pengejar sukma terpaksa harus mundur berulang kali ke belakang.
Tanpa terasa mereka telah keluar dari gang sempit itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
25
Dalam pada itu Hong-po Seng telah sembunyikan pedang bajanya dibelakang punggung, punya
rencana untuk menaklukkan lebih dahulu kedua orang pria lainnya, siapa tahu kedua orang itu
tiba-tiba putar badan dan melarikan diri, salah seorang diantaranya dangan cepat merogoh ke
dalam saku mengambll suatu benda yang akan dilemparkan ke atas tanah.
Matanya cukup tajam dan awas, sekalipun memandang ia dapat lihat bahwa benda itu adalah
sebuah bom udara, otaknya dengan cepat bekerja, serunya mendadak sambil tertawa keras,
“Eeeei…. eeei…. harap kalian berdua jangan bergebrak dulu, cayhe ada beberapa patah kata
hendak diutarakan lebih dulu!”
Di tengah bergetarnya sang bahu, tahu-tahu ia sudah menyelinap diantara Kwe Thay serta Chin
Pek Cuan.
Pada dasarnya Malaikat darah pengejar sukma memang mempunyai rencana lain, ditambah pula
ia sadar bahwa harapan baginya untuk rebut kemenangan amat tipis maka sambil mendorong
sampan mengikuti aliran sungai katanya, “Saudara cilik, apa yang hendak kau katakan???”
Diam-diam Hong-Po Seng melirik sekejap ke arah lelaki berjubah hijau tadi, melihat orang itu
sudah menyimpan kembali bom udaranya ke dalam saku ia lantas berpikir dalam hati, “Pengaruh
dari perkumpulan Sin-Kee Pang terlalu besar, komplotan merekapun terlalu banyak, andaikata
pekerjaan kita pada malam ini kurang bersih sudah pasti keluarga Chin tak mungkin bisa hidup
dalam keadaan tentram dan aku sendiripun jangan harap bisa berkelana lagi didalam dunia
persilatan!”
Pikiran tersebut dengan cepatnya berkelebat dalam benak si anak muda itu. Setelah sangsi
akhirnya ia berkata sambil tertawa, “Ilmu Kiem Sah ciang dari Chin Loocian pwee dapat
menghancur lumatkan batu bong pay, sedangkan ilmu pukulan Coe Sah ciang dari Kwa Tongcu
dapat membinasakan orang seketika, kepandaian semacam ini boleh dibilang setali tiga uang dan
sama kuatnya lebih jauh…. jauh. Pastilah kedua belah pihak sama-sama menderita luka,
siapapun tak akan memperoleh kebaikan apapun jua!”
“Haaah…haah…perkataanmu tepat sekali saudara cilik” dengan cepat Kwa Thay si Malaikat darah
pengejar nyawa menanggapi sambil tertawa tergelak.” Tak kusangka usiamu meski masih muda
namun ketajaman matamu benar-benar luar biasa!”
Sebaliknya Chin Pek Cuan mendengus dingin, sepatah katapun tidak berbicara.
Hong-po Seng pura-puraberlagak pilon, katanya lagi sambil tertawa, “Kota Keng Chia adalah
daerah kekuasaan Kwa Tongcu sedang Chin Loo enghiong adalah hartawan kaya dari kota Keng
chiu pula pepatah kuno mengatakan daripada perselisihan lebih baik jangan berselisih, bukankah
kalian adalah tetangga baik? Kenapa harus saling bermusuhan dan mengikat tali persengketaan
ini?”
“Tepat sekali! semula aku orang she Kwa pun mempunyai pikiran begini tapi sayang Chin Loo
enghiong tak tahu diri, maka apa boleh buat aku orang she Kwa terpaksa tak dapat membantu!”
Mendengar pembicaraan itu Chin Pek Cuan segera sadar bahwa Kwa Thay jelas mengandung
rencana lain, diam-diam lantas ia berpikir, “Anjing keparat rupanya dengan menggunakan
kesempatan dikala rumahku sedang kebakaran kau hendak merampok harta milik aku orang she
Chin?…. Hmmm! Kurang ajar dia tak mau berpikir dahulu manusia macam apakah aku orang she
Chin ini? sekalipun ada emas atau perak tidak nanti kuserahkan begitu saja kepada kalian
kawanan anjing-anjing geladak!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
26
Berpikir sampai disini, bukannya marah ia malah tertawa.
“Ooooh…… kiranya Kwa Tongcu mempunyai maksud baik, waah, kalau begitu aku Chin Pek Cuan
telah bertindak terlalu sembrono!”
Setelah menjura tambahnya lagi, “Kalau memang kau bermaksud mengikat tali persahabatan
dengan diriku, nah! sampai jumpa lain kesempatan.”
Dengan langkah gagah ia segera berlalu.
Mula-mula Kwa Thay Si Malaekat darah pengejar nyawa tertegun, kemudian ia tertawa seram.
“Chin wangwel” serunya “Seandainya Thay hujienmu berada didalam kota, aku harap kau suka
bertindak sedikit hati2, jangan sampai diketahui oleh Kok kongcu.”
Ucapan ini mengejutkan hati Chin Pek Cuan dengan cepat ia putar badan, dengan sorot mata
penuh dengan nafsu membunuh selangkah demi selangkah ia dekati kembali manusia she Kwa
itu.
Malaikat darah pengejar nyawa sadar bahwa pihak musuhnya telah dibikin naik pitam dan segera
akan turun tangan, meski hatinya kebat-kebit namun sepasang telapaknya dipersiapkan juga,
hawa murni disalurkan keseluruh tubuh dan siap menghadapi segala kemungkinan.
“Barusan cayhe mendapat laporan dari anak buahku, katanya Thay hujien dari keluarga Chin
rupanya sudah hidup dalam dunia persilatan yang penuh dengan dosa, kini ia sudah cukur
rambut jadi pendeta dikuil Pek-Im Koan…”
Bicara sampai disitu mendadak ia merandek sementara senyuman yang menyeramkan menghiasi
bibirnya.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya Chin Pek Cuan setelah mendengar perkataan itu, saking
marahnya seluruh rambutnya pada berdiri kaku bagaikan landak, tangan dan kaki gemetar keras,
sambil menggigit bibir teriaknya keras.
“Bajingan….bajingan….sungguh bagus perbuatanmu!”
Untuk sesaat ia jadi bimbang dan tiada pemecahan, dengan sendirinya tak berani bergerak
sembarangan.
Chin Giok Liong dengan wajah pucat pias bagaikan mayat segera maju selangkah ke depan
serunya, “Kwa Tongcu, kaupun terhitung seorang enghiong yang punya nama di dunia persilatan
masa terhadap nenekku yang telah berusia tujuh puluh tahun lebih dan tak mengerti ilmu silat
kalian bertindak kasar? Hai… Dimana peri kemanusiaanmu?? Kau telah mengapakan dirinya?”
Malaikat darah pengejar nyawa Kwa Thay mendongak dan segera tertawa terbahak-bahak.
“Heee….heee…. aku tidak mengapa2kan dirinya, berhubung aku lihat ayahmu juga terhitung
seorang cakal bakal dunia persilatan, karena takut ada orang sampai melukai nenekmu, maka
sengaja kuboyong dirinya untuk pindah kesuatu tempat, disamping itu mengutus pula beberapa
orang saudara untuk merawat serta melayaninya setiap saat!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
27
“Hei..anjing busuk she Kwa!” tiba-tiba terdengar Chin Pek Cuan membentak keras. “Katakan
terus terang berapa yang kau minta? Satu laksa, dua laksa? Aku orang she Chin segera penuhi
permintaanmu itu, kalau lebih dari itu… maaf, aku tak bisa melayani.”
“0ooh, sungguh sosial Loo wangwee!” puji Kwa Thay sambil acungkan jempolnya, kepada lelaki
berjubah hijau itu pesannya, “Chin loo wangwee akan memerseni kau dan kita semua dua laksa
tahil perak untuk kalian bertahun baru besok datanglah kemari untuk menerima sumbangan itu,
sedang aku tak akan mengambil sepeserpun!”
“Terima kasih atas pemberian dari Loo wangwe,” buru-buru lelaki berjubah hijau itu menjura
kepada Chin Pek Cuan.
Hong-po Seng yang mengikuti jalannya peristiwa itu diam-diam merasa kheki bercampur
mendongkol, namun berhubung persoalan itu menyangkut keselamatan dari ibu Chin Pek Cuan,
sudah tentu ia tak berani menimbrung seenaknya.
Terdengar pria berjubah hijau itu berkata lagi, “Thay hujien amat rindu kepada cucu
perempuannya ia suruh cayhe datang kemari untuk mengajak nona Wan Hong berkunjung ke
situ selama beberapa hari, cayhe harap Loo wangwe suka mengabulkan perintahnya ini! sedang
loo wan-gwee sendiri kali saja pergi memapak Thay hujien!”
Hong-po Seng kendati seorang pemuda yang cerdas tetapi ia belum begitu paham akan
hubungan antara lelaki dan wanita, anggapannya berhubung uang belum mereka terima maka
Chin Wan Hong hendak dijadikan sandera.
Sebaliknya Chin Pek Cuan sendiri dapat menangkap arti lain dari ucapan tersebut, ia tahu bahwa
Kwa Thay suka tertarik olah kecantikan wajah putrinya dan jelas mempunyai niat jahat terhadap
putrinya, seketika itu juga seluruh badannya jadi gemetar keras saking gusarnya, gigi saling
beradu gemeretakan.
“Haaah…. haaah.. haaah….. Loo wangwee, kau tak usah kuatir!” seru Kwa Tay sambil tertawa
tergelak. “Nona Wan Hong adalah seorang gadis perawan yang cantik dan masih suci, kami pasti
akan menjaga keselamatannya baik dan tak akan melukai seujung rambutnya pun juga!”
Sembari berkata dengan lagak tengik dan senyum cengar-cengir ia menoleh ke arah Chin Wan
Hong.
Chin Pek Cuan adalah seorang jago tua yang berwatak berangasan, walaupun ia sadar bahwa
keselamatan ibunya terancam namun hawa gusar yang bergelora dalam dadanya tentu sukar
dikendalikan lagi, ia lantas punya pikiran untuk melenyapkan ketiga orang itu terlebih dulu
kemudian baru berusaha menolong ibunya.
Hong-po Seng cukup waspada, dari tingkah laku sijago tua itu iapun lantas dapat menebak apa
yang sedang dipikirkan buru-buru teriaknya, “Loo cianpwee, bukankah di dalam ruang bawah
tanah sana terdapat tumpukan emas perak serta berlian yang tak bernilai jumlahnya? Bagi kita
orang-orang yang belajar silat, harta toh bukan terhitung benda yang sangat berharga. Mengapa
kau tidak serahkan dahulu harta itu kepada Kwa Tongcu sedang sisa persoalan lainnya kita
rundingkan lagi secara perlahan-lahan?”
Mendengar perkataan itu Chin Pek Cuan tertegun, segara pikirnya, “Dalam ruang bawah tanah
mana terdapat emas perak dan berlian? Ngawur benar omongan bocah ini.“
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
28
Mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, dengan cepat ia dapat menangkap maksud
hati si anak muda itu, maka seraya ulapkan tangannya ia berseru, “Kwa Tongcu, mari ikutilah
aku orang she Chin!”
Habis berkata ia melangkah terlebih dahulu ke dalam gang sempit tadi.
Kwa Thay si Malaikat darah pengejar nyawa merasa sangsi untuk beberapa saat lamanya, ia ikut
Chin Pek Cuan sedang menggunakan akal bulus untuk menjebak dirinya, tapi pikiran lain segera
berkelebat dalam benaknya, “Meskipun tua bangka she Chin ini adalah seorang manusia yang
sukar dilayani, ketiga orang bocah cilik itu bukanlah manusia-manusia kosen yang sulit
dirobohkan, sekalipun kami harus hadapi mereka berempat dengan hanya bertiga saja, kendati
kemenangan belum tentu di pihak kami rasanya untuk meloloskan diri masih bukan satu masalah
yang terlalu sulit…. kenapa aku harus ragu-ragu?”
Karena dorongan nafsu kemaruknya terhadap kekayaan, ia sudah terlalu pandang rendah diri
Hong-po Seng, begitu menjumpai Chin Pek Cuan telah melangkah masuk ke dalam lorong
sempit, buru-buru ia ulapkan tangannya, bersama dua orang lainnya dengan cepat menyusul ke
dalam.
Sementara itu kentongan keempat sudah lewat, seluruh gedung bangunan keluarga Chin telah
hancur berantakan oleh api berkobar dengan hebatnya itu, udara ditutup oleh awan gelap
sedang suasana dijalan raya sebelah depan pun telah sunyi.
Dengan hati panas, mendongkol dan penuh kegusaran Chin Pek Cuan berjalan terus ke dalam
lorong sempit yang suasananya paling gelap, mendadak ia tak sanggup menahan golakan hawa
amarahnya lagi, sambil putar badan sebuah serangan dahsyat segera dilancarkan menghantam
tubuh Kwa Thay si malaikat darah pengejar nyawa.
Melihat pihak lawan tiba-tiba berobah pikiran, orang she Kwa itu kontan naik pitam cepat ia
mengegos kesamping kemudian balas melancarkan sebuah serangan dahsyat hardiknya,
“Tua bangka she Chin! Rupanya kau sudah tidak memikirkan lagi nyawa nenek tua itu?”
Dalam pada itu Hong-go Seng begitu melihat Chin Pek Cuan telah turun tangan, tubuhnya segera
berkelebat lewat menghadang jalan mundur dari musuh-musuhnya, pedang baja dikebaskan
kemuka kemudian mengirim satu sapuan kilat.
Ilmu pedang yang digunakan betul-betul luar biasa hebatnya, di tengah kesunyian yang
mencekam seluruh jagad terdengar satu desiran tajam yang amat memekikkan telinga bergeletar
membelah angkasa.
Baru saja kedua orang pria itu putar badannya dalam keadaan gugup mereka jadi terkesiap dan
menjerit kaget, buru-buru mereka loncat mundur ke belakang dengan sekuat tenaga.
Saking tegang dan kagetnya hampir saja tubuh mereka menumbuk di atas punggung Kwa Thay.
Hong-po Seng mengayunkan pedangnya ke depan, tiba-tiba bahu kirinya terasa amat sakit
hingga merasuk ke tulang sumsum, gerakan pedangnya kontan jadi rada lambat, menggunakan
kesempatan itulah kedua orang lelaki tadi segera loncat keluar dari kepungan hawa pedang
lawan.
Si anak muda itu jadi amat gusar, apalagi setelah dilihatnya mereka berdua telah menyingkap
jubah meloloskan senjata tajamnya, sambil gertak gigi kembali ia lancarkan sebuah babatan kilat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
29
Kedua orang itu adalah anak buah dari kantor cabang perkumpulan Sin Kie Pang di kota Keng-
Chiu, pada hari-hari biasa belum pernah menjumpai kepandaian ilmu pedang yang begini
dahsyatnya, seketika itu juga pecahlah nyali mereka, sambil menjerit kaget kembali mereka
berdua mengegos kesamping.
Sebaliknya malaikat darah Pengejar nyawa sendiri, bagaimanapun juga dia adalah seorang
pemimpin suatu daerah, dalam keadaan yang terkepung dan berhadapan dengan seranganserangan
gencar dari Chin Pek Cuan, sudah tentu tiada kesempatan lagi untuk mengurusi anak
buahnya, tapi ia tahu bahwa keadaan anak buahnya amat kritis dan berbahaya.
Dalam keadaan gugup dan kagetnya, cepat ia meraung gusar, “Lepaskan tanda bahaya!!”
Sejak semula Hong-po Seng telah berjaga-jaga atas tindakan tersebut, ketika melihat babatan
pedangnya mengenai sasaran kosong dan menjumpai pula pria berjubah hijau itu telah meluncur
ke arah tembok, pergelangannya segera ditekan ke bawah, dengan gagang pedang bajanya ia
sodok jalan darah “Tiong-Lie” di atas tubuhnya.
Pedang baja itu berwarna hitam pekat, ditambah pula sodokan itu dilancarkan dengan
kecepatan yang tak terkirakan, seketika itu juga pinggang pria berjubah hijau itu termakan oleh
sodokan berat tersebut, ia menjerit kesakitan dan tubuhnya segera roboh terjengkang ke atas
tanah.
Melihat serangannya berhasil mengenai sasaran, pedangnya dengan cepat dibabat kesebelah kiri
menyerang pria lainnya.
Orang itu baru saja meloloskan ruyung baja dari pinggangnya, merasakan datangnya ancaman,
dalam keadaan gugup dan tergopoh2 dengan cepat ia tangkis serangan pedang Hong-po Seng
dengan senjatanya.
Traaaang…..! terdengar suara bentrokan nyaring bergeletar diangkasa diiringi percikan bungabunga
api.
Hong-po Seng belum lama terjun ke dalam dunia persilatan, watak serta hatinya masih lembut
dan penuh welas kasih, ketika pergelangannya diputar sampai di tengah jalan tiba-tiba ia tabok
senjatanya sejajar dengan dada, meski begitu ruyung baja pria itu terbabat putus juga jadi
beberapa bagian, tabokan tersebut bersarang di atas punggungnya membuat ia roboh
terjengkang di atas tanah dan tak sanggup bangun kembali.
Tiga jurus dua gerakan serangan itu dilancarkan hanya dalam waktu yang amat singkat, Kwa
Thay yang berlasil mengetahui keadaan itu dari suara jeritan rekan2nya jadi terkesiap dan
mengucurkan keringat dingin.
Dalam posisi yang terkepung rapat oleh musuh-musuh tangguh ia tak berani bergebrak lebih
jauh, dalam suatu kesempatan mendadak ia membentak keras, sepasang kakinya menjejak
tanah dan segera meloncat ke atas dinding tembok sebelah kiri.
Pada saat itulah…dari tempat kejauhan terdengar seseorang sedang berseru, “Kwa-loo-te…..”
Suaranya serak, berat dan datar….dan rupanya suara tadi dipancarkan dari tempat kejauhan.
Hong-po Seng jadi terkesiap, segera ia melayang ke depan, gagang pedangnya bergerak cepat
menghajar jalan darah ‘Kwan-Goan’ di tubuh Kwa Thay, sementara mulutnya berseru dengan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
30
nada berat, “Orang yang bakal datang memiliki ilmu silat yang amat lihay, biar boanpwee
pancing pergi orang-orang itu sedang loo wangwee cepatlah berusaha menolong orang!?”
Sang tangan bekerja cepat, ia tangkap tubuh Kwa Thay yang sedang roboh terjengkang ke atas
tanah dan melemparkannya ke belakang dinding tembok tinggi.
Otaknya cerdas dan tindak tanduknya cekatan, meski usia Chin Pek Cuan telah melewati
setengah abad namun tanpa sadar ia telah mendengarkan petunjuk dari si anak muda itu. Sambil
mencengkeram dua orang lainnya dengan sebat ia loncat masuk ke belakang tembok tinggi.
Tatkala dilihatnya dua bersaudara Chin masih berdiri tak berkutik di tempat semula, dengan hati
gelisah Hong-po Seng kembali berseru, “Kenapa kalian berdua belum berlalu? Ayoh cepat
melarikan diri dari sini!”
Tangannya dengan cepat berkelebat mencengkeram pergelangan tangan Chin Wan Hong, gadis
itu jadi gugup buru-buru ia meloncat ke belakang tembok pekarangan.
Belum lama dua bersaudara Chin menyembunyikan diri, dari mulut lorong telah berkumandang
datang suara teguran yang serak dan berat, “Siapa disitu?”
“0ooh… sungguh cepat gerakan tubuh mereka,” pikir Hong-po Seng, ketika ia berpaling
tampaklah dua sosok bayangan hitam bagaikan sambaran kilat sedang meluncur datang, raut
wajah mereka sukar dilihat dengan jelas.
Buru-buru si anak muda itu enjotkan badannya dan lari keluar dari tempat persembunyiannya
dengan langkah lebar.
Tatkala kedua orang itu baru saja melangkah masuk ke dalam lorong sempit itu, mereka telah
menyaksikan gerakan tubuh Hong-po Seng yang sedang lari dari sana dengan gerakan cepat
bagaikan sambaran kilat, diam-diam mereka memuji atas kehebatan ilmu silatnya.
Terdengar bentakan keras bergeletar diangkasa, diiringi seruan ‘Kejar!’, dua sosok bayangan
manusia meluncur ke depan dengan amat cepatnya mengejar diri Hong-po Seng yang sudah lari
terlebih dahulu.
Tiga sosok bayangan manusia berlarian di atas permukaan salju yang putih, dalam waktu singkat
mereka telah keluar dari tembok kota.
Hong-po Seng yang lari dipaling depan, sambil berkelebat tiada hentinya ia awasi gerak-gerik
dibelakang tubuhnya, mendadak ia temukan kurang lebih sepuluh tombak dibelakang mereka
telah menguntit pula sesosok bayangan manusia, orang itu mempunyai gerakan tubuh yang
enteng dan cekatan, sedikit pun tidak kedengaran suara berisik, sedang sepuluh tombak lagi
dibelakang orang tadi berkumandang suara gemerisik yang nyaring.
Diam-diam ia lantas berpikir, “Jelas kepandaian silat yang dimiliki kedua orang itu sangat lihay,
kalau aku harus melawan mereka berdua sekaligus jelas kekuatanku masih belum memadahi,
lebih baik kubereskan dahulu salah satu diantaranya kemudian baru mencari kesempatan untuk
membereskan yang lain, kalau tidak begitu, lama kelamaan aku bisa kehabisan tenaga!”
Setelah mengambil keputusan demikian, hawa murninya segera disalurkan ke seluruh badan dan
berlari semakin cepat lagi ke depan.
000O000
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
31
Bab 3
Sedikitpun tidak salah, setelah saling berkejaran beberapa lamanya dua orang pengejar yang
menyusul dari belakang mulai berpisah, yang satu di depan dan yang lain ada di belakang.
Ketika waktu berlalu semakin lama, orang yang berada di paling belakang ketinggalan semakin
jauh lagi, akhirnya napas orang itu tersengkal-sengkal dan larinya makin perlahan.
Beberapa waktu kemudian bayangan tubuh Hong-po Seng sudah lenyap tak berbekas hanya
meninggalkan percikan salju yang berhamburan di-mana-mana.
Waktu itu fajar baru saja menyingsing, suasana di sekeliling tempat itu sunyi senyap tak
kedengaran sedikit suarapun, Hong-po Seng sambil membawa sang pengejar yang kini tinggal
seorang telah meninggalkan kota Keng Chiu sejauh lima puluh lie.
Orang itu mengejar terus tiada hentinya, apa daya kekuatan mereka seimbang hingga walaupun
ia tidak sampai ketinggalan namun untuk menyusul lebih cepat jelas tak mungkin, di samping itu
orang tersebut pun tak sudi melepaskan mangsanya begitu saja.
Dalam keadaan pikiran yang kalut dan bingung ia mendengus gusar, segenap tenaganya segera
dilenyapkan keluar.
Seketika itu juga terdengar ujung baju tertiup angin, ‘Sreeet… sreeet….!’ tubuhnya bergerak lebih
dekat lima enam tombak lagi dari si anak muda itu.
Diam-diam Hong-po Seng merasa terperanjat, meninjau dari keadaan tersebut ia sadar bahwa
sulit bagi dirinya untuk melepaskan diri dari kejaran orang itu. Terpaksa ia bulatkan tekad dan
segera berhenti berlari, pedangnya dilintangkan sejajar dengan dada siap menghadapi segala
kemungkinan.
Dalam waktu singkat orang itu sudah berdiri dihadapan musuhnya, ketika menemukan
bahwasanya Hong-po Seng hanya seorang bocah yang baru berusia enam tujuh belas tahun, ia
merasa tercengang dan tidak habis mengerti, lama sekali ia melengak dan ragu-ragu.
Hong-po Seng sendiripun dengan menggunakan kesempatan itu memperhatikan raut wajah
lawannya, dia adalah seorang kakek berjubah biru yang mempunyai potongan wajah
menyeramkan, sepasang mata elangnya yang tajam menatap tubuhnya dari atas kepala hingga
ke ujung kaki, dari ujung pedang sampai ujung baju, wajahnya berubah berulang kali, entah apa
yang sedang dipikirkan.
“Sahabat!” akhirnya pemuda kita menegur sambil tertawa, “Di malam tahun baru yang
seharusnya dirayakan dengan suka ria, kenapa kau kejar terus aku si bocah rudin?”
“Tingkah lakumu mencurigakan, melihat orang lantas melarikan diri jelas membuktikan bahwa
kau telah melakukan perbuatan terkutuk yang malu dilihat orang, setelah Loo-ya mu menjumpai
kejadian semacam ini tentu saja harus kuurus sampai jelas duduk perkaranya!”
“Oooh, tadinya aku mengira saudara adalah komplotan penyamun dari perkumpulan Sin Kie-
Pang, tak tahunya adalah seorang Loo-ya, maaf… maaf….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
32
“Keparat cilik, rupanya matamu sudah buta!” terdengar kakek berjubah biru itu membentak
gusar. “Loo-ya mu she-Tio dan justru adalah orang Hoe Hoat Pelindung hukum dari perkumpulan
Sin Kie Pang!”
“Oooo!! Ternyata kau adalah Tio Loo Hoe- hoat! “seru Hong-po Seng dengan alis berkerut. “Lalu
siapa yang ada dibelakangmu tadi?? Mengapa sampai sekarang belum juga sampai disini?”
“Bocah keparat, kau benar-benar seorang manusia yang berhati licik. Hmmm….! Tiada halangan
kuberitahukan kepadamu, orang yang ada dibelakang itu she-Liem dan merupakan seorang
Hiang-su dari perkumpulan Sin Kie-Pang, sebentar lagi aku Tio loo-ya akan kembali ke markas
untuk melewati masa Tahun Baru ini.”
Ia merandek sejenak, kemudian tambahnya, “Bocah keparat, siapa namamu dan berasal dari
mana? Cepat katakan yang jelas, loo-ya segera akan membawa kau pergi menjumpai pangcu
kami, tanggung kau bakal jadi kaya dan hidup dalam kemakmuran!”
Sim-hoat tenaga dalam yang dilatih Hong-po Seng jauh berbeda dengan simhoat tenaga lwekang
partai2 lain, kini sembari mengatur pernapasan ia tersenyum dan berkata kembali, “Aaah. jadi
saudara mengejar diriku dengan susah payah tujuannya tidak lain adalah hendak mengajak aku
masuk komplotan? Tapi sebelum itu aku ingin tahu lebih dulu, sebetulnya kedudukan Hiangcu
serta Hoe-Hoat mana yang lebih besar? Bagaimana pula kalau dibandingkan dengan Kwa
Tongcu?”
Kakek berjubah biru itu tertawa congkak.
“Dibawah Pangcu terdapat para Tongcu yang memimpin cabang2 perkumpulan Hiang-cu adalah
seorang pembantu yang ditempatkan dibawah Tongcu, kedudukannya rendah dan amat kecil, ia
tidak lebih seorang pelayan yang harus mondar-mandir menjalankan tugas. Sebaliknya Hoe Hoat
Loo ya langsung dibawah pimpinan pangcu, kedudukannya tinggi dan tidak menjalankan perintah
dari siapapun. Eeei…. bocah cilik, siapa gurumu?? Aneh benar pedang baja milikmu itu!”
Hong-po Seng tersenyum, bukan menjawab ia malah bertanya kembali, “Berapa banyak sih para
Hoe-hoat yang ada didalam perkumpulan Sin Kie Pang?”
“Haah….haah….haah… tidak banyak pun tidak termasuk sedikit, semuanya berjumlah tiga puluh
orang, aku orang she- Tio adalah pahlawan yang ikut memperjuangkan berdirinya perkumpulan,
sudah lama mengikuti pangcu dan termasuk salah seorang kepercayaan!”
Suara orang ini serak berat dan lantang, gelak tertawa maupun pembicaraannya amat menusuk
pendengaran.
Hong-po Seng yang mendengar penjelasan itu diam-diam merasa terperanjat, pikirnya,
“Pengaruh serta kekuatan perkumpulan Sin Kie Pang benar-benar amat luas dan besar, cukup
ditinjau dari para Hoe-hoat-nya saja mencapai jumlah tiga puluhan. Ehmmm…. orang she Tio ini
mengaku sebagai salah seorang kepercayaan pangcunya, mungkin ilmu silat yang dimiliki
termasuk dalam kelas utama!”
Berpikir demikian ia sengaja tersenyum dan berkata, “Tio loo-ya! wah…. maaf seribu kali maaf,
berhubung aku masih ada urusan lain yang harus segera diselesaikan terpaksa kita berpisah
sampai disini saja, bila ada jodoh kita berjumpa lagi dilain waktu.“
Kakek berjubah biru itu mendongak dan segera tertawa tergelak.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
33
“Heeeh…. heeh.. heeeh.. bocah cilik kita bisa saling berjumpa itu namanya jodoh kau jangan
harap bisa melarikan diri lagi!”
Badannya bergerak cepat ke depan, jari tangannya segera mengirim satu totokan kilat.
Totokan itu nampaknya dilancarkan dengan gerakan yang enteng dan sederhana, padahal
tempat yang diancam adalah jalan darah kematian ditubuh Hong-po Seng, sekali kena nyawa si
anak muda itu pasti melayang.
Hal ini bisa menunjukkan betapa keji dan telengasnya si kakek itu.
Hong-po Seng merasa terkejut bercampur gusar, pedang bajanya segera diputar kencang dan
mengirim serangan.
Terdengar kakek berjubah biru itu tertawa keras, badannya berkelebat mendadak dalam
genggamannya telah bertambah dengan sebilah pedang pendek, sambil melangkah ke depan
memutar tubuhnya, cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa, serbuan babatan kilat
dilepaskan membabat pergelangan tangan Hong-po Seng.
Dalam waktu singkat cahaya tajam berkilauan diangkasa, desiran tajam menggeletar memekakan
telinga, di tengah remang2nya cuaca dua sosok bayangan manusia saling menyambar kesana
kemari, sebuah pertempuran sengitpun telah berlangsung.
Dilengah pertarungan itu luka di atas bahu kiri Hong-po Seng terasa sakit hingga merasuk ke
tulang sumsum, namun dengan wataknya yang keras hati, meski luka bahunya terasa amat sakit
namun tidak sampai mengganggu jalannya pertarungan, maka sambil menahan sakit ia layani
terus serangan-serangan gencar dari kakek berjubah biru itu.
Tapi setelah pertarungan berjalan semakin lama dilihatnya totokan jari kiri berputaran, pedang
kanan dimainkan dengan begitu keji dan telengas, seolah-olah antara dia dengan dirinya sudah
terikat dendam sedalam lautan dan bagaimanapun juga jiwanya akan dihabiskan hari itu juga,
pemuda she Hong-po ini jadi naik pitam, bentaknya penuh kegusaran.
“Hey, orang she Tio, antara kita berdua toh tak pernah terikat dendam kesumat apapun juga,
kenapa kau selalu mendesak diriku sedemikian rupa?”
Diam-diam kakek berjubah biru itu sendiripun merasa terperanjat, mimpipun ia tak pernah
menyangka kalau pemuda yang berusia enam tujuh belas tahunan ini bukan saja ilmu
meringankan tubuhnya sempurna, dalam hal tenaga lweekang serta permainan pedangpun
demikian lihayna, tapi ketika ia teringat kembali akan hasil latihannya selama sepuluh tahun,
kendati dalam hati terkesiap ia masih yakin bahwa kemenangan pasti berada dipihaknya.
Oleh karena itu setelah mendengar seruan tersebut, sambil tertawa lantang katanya, “Siapa yang
tunduk kepadaku ia hidup, siapa yang membangkang dia harus modar bocah keparat! mengingat
usiamu masih amat muda lebih baik cepat-cepatlah buang senjatamu dan menyerah kalah,
mungkin saja selembar jiwamu masih bisa kuampuni!”
“Kurang ajar…!” pikir Hong-po Seng dalam hati. “Rupanya kawanan manusia laknat ini sudah
terbiasa menganiaya kaum lemah dengan sewenang2nya, Hmm! membicarakan soal cengli
dengan mereka sama artinya memetik gitar di depan kerbau!”
la sadar andaikata kemenangan tidak cepat-cepat diraih maka sulit baginya untuk meloloskan
diri, maka ia mulai bersikap tenang dan makin mengendorkan serangan-serangannya sementara
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
34
dengan tajam ia menantikan kesempatan baik untuk menghancurkan kakek tua itu dalam sebuah
serangan mendadak.
Beberapa saat kemudian gelap berubah semakin gelap oleh awan hitam, salju pun turun dengan
derasnya.
Tiba-tiba terdengar kakek berjubah biru itu membentak keras, “Hey bocah keparat, kenapa
dengan lengan kirimu??”
Setelah lama bertarung belum berhasil juga merebut kemenangan kakek tua ini mulai gelisah
dan tidak tenteram, apa daya pertahanan dari Hong-po Seng benar-benar sangat kuat, kendati
serangannya bertubi-tubi dan teramat gencar namun belum juga berhasil merobohkan
pertahanan lawan. Karena mendapat getaran2 keras luka di bahu kiri Hong-po Seng sudah terasa
amat sakit sejak tadi, karena itu selama bertarung tangan kirinya mencengkeram ikat pinggang
kencang-kencang, kini setelah mendengar suara teguran itu ia tertawa keras.
“Tangan kiriku terkenal karena ampuhnya, aku takut kalau sampai kugunakan tangan ini jiwamu
lantas melayang. maka aku berusaha menahan sebisanya………. bukankah diantara kita tiada
ikatan dendam apapun juga? Nah, itulah dia aku jadi tak tega untuk turun tangan jahat, tapi
kalau kau memang tak tahu diri, apa boleh buat!”
Kakek tua berjubah biru itu tahu kalau si anak muda she Hong-po ini sedang mengacau belo, ia
mendengus dingin, serangan pedangnya diperketat dan mengurung tubuh lawannya rapat-rapat.
Mendadak Hong-po Seng merasakan daya tekanan di sekeliling tubuhnya makin berlipat ganda,
diam-diam ia jadi gelisah, ia takut Hiangcu she Liem itu keburu datang, andaikata sampai terjadi
begitu dengan satu lawan dua jelas posisinya akan semakin terjepit dan berbahaya.
Otaknya segera berputar cepat, akhirnya ia ambil keputusan untuk menempuh bahaya, sebuah
serangan gencar segera dilepaskan.
Sementara itu kakek berjubah biru itu secara beruntun telah melepaskan sembilan buah
serangan berantai, kesembilan buah serangan itu dilancarkan dalam rangkaian satu gerakan,
cepatnya lua biasa dan sukar diikuti oleh pandangan mata.
Pada dasarnya Hong-po Seng memang ada maksud memancing musuhnya masuk jebakan, ia
segera membuka tubuh dan sengaja memperlihatkan sebuah titik kelemahan.
Padang bajanya mengunci kiri menangkis ke kanan seolah-olah sudah kehabisan tenaga untuk
bertahan, sementara kakinya dengan mengikuti aliran sungai mendorong sampan, secara
beruntun mundur pula sembilan langkah ke belakang,
Menyaksikan keadaan lawannya kakek berjubah biru itu jadi amat girang, pedang pendeknya
mencukil ke atas memancing pergi pedang baja si anak muda itu, sedang jari tangan kirinya
bagaikan tombak segera disodok ke dalam.
Sodokan jari ini dilancarkan dengan kecepatan bagaikan kilat, arah yang dituju bukan lain adalah
jalan darah lie-keng-hiat didada Hong-po Seng, andaikata serangan itu mengena sasarannya
meski tubuhnya terbuat dari bajapun pasti akan roboh terjengkang.
Siapa tahu tubuh Hong-po Seng hanya bergetar sebentar saja setelah termakan oleh sodokan
jari itu, diikuti ia membentak keras, pedangnya segera membabat kemuka.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
35
Pertarungan yang berlangsung antara kedua orang itu telah mencapai ratusan jurus, salju
berderai dengan derasnya…. angin dingin berhembus menusuk tulang…. pertarungan antara
mereka berdua berjalan makin sengit dan ngeri.
Kakek berjubah biru itu ada maksud cepat-cepat menyelesaikan pertarungan ini, maka dalam
totokannya tadi ia telah mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya, siapa sangka bukan saja
Hong-po Seng tidak roboh malahan melancarkan satu babatan kilat ke arahnya, dalam keadaan
gugup dan terkesiap buru-buru badannya miring kesamping untuk meloloskan diri.
Serangan babatan dari Hong-po Seng barusan telah menggunakan kekuatan yang maha besar
bagaikan tindihan gunung Thay-san terdengar suara bentrokan nyaring menggema diangkasa,
pedang pendek si kakek berjubah biru itu segera mencelat keangkasa.
Diikuti cahaya pedang berkelebat lewat, bahu kanannya dari atas hingga ke bawah seketika
terbabat putus jadi dua bagian, darah segar muncrat keempat penjuru membasahi permukaan
bumi yang putih oleh salju, keadaan kakek ini, benar-benar mengerikan sekali.
Untuk pertama kalinya ia membunuh orang membuat Hong-po Seng tak kuat menahan
emosinya, lama sekali ia berdiri termangu-mangu sebelum mundur beberapa langkah ke
belakang dan duduk bersila di atas tanah untuk mengatur pernapasan.
Haruslah diketahui, ayahnya adalah seorang tokoh dunia persilatan yang memiliki ilmu silat
sangat lihay dan merupakan pula tulang punggung dari kalangan lurus, sebelum pertemuan Pak
Bang diadakan dan menyaksikan kaum iblis telah merajalela di mana-mana, maka secara diamdiam
ia telah meleburkan segenap kepandaian silat yang dimilikinya ke dalam sebuah rangkaian
ilmu pedang yang terdiri dari enam belas jurus dan ditulis dalam sejilid kitab, kemudian bersamasama
dengan pedang baja itu diserahkan ke tangannya, ia berbuat demikian sebagai persiapan
andaikata akhirnya ia mati, putranya masih dapat mewarisi sedikit kepandaiannya.
Oleh karena itulah baik tenaga dalam maupun ilmu pedangnya ia mendapat warisan langsung
dari ayahnya.
Ibunya dahulu juga termasuk seorang tokoh Bu-lim yang sangat lihay, kemudian meski tenaga
lweekangnya punah namun ilmu silatnya masih tetap dimiliki, sayang kepandaian silat ibunya
tidak sesuai bagi kaum pria maka tak sepotongpun ilmu silat itu diwariskan kepada putranya, ia
hanya khusus memerintahkan puteranya mempelajari keenam belas jurus ilmu pedang itu.
Walau begitu semua kepandaian melatih badan jadi kuat, ilmu menyembuhkan luka dalam
maupun luka racun.. ilmu menggeserkan jalan darah serta ilmu2 lain untuk melindungi
keselamatan putranya telah diwariskan semua kepada Hong-po Seng,
Kendati begitu totokan berat dari kakek berjubah biru tadi hampir saja membuyarkan hawa
murni didalam tubuhnya ditambah pula ia harus berlari jauh dan bertarung lama, luka di atas
bahu kirinya menyerang pula tiada hentinya, begitu pertempuran usai cepat-cepat ia mengatur
pernapasan di atas permukaan salju.
Hawa murni baru saja mengelilingi tubuhnya satu kali, napasnya belum sampai teratur,
mendadak dari tempat kejauhan terdengar berkumandang datang suara derap kaki kuda yang
nyaring.
Cepat si anak muda itu membuka matanya, tampaklah sebuah kereta kuda yang mentereng dan
megah dengan empat ekor kuda penarik yang tinggi dan besar sedang berlari mendekat dengan
cepatnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
36
Sang kusir adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahunan, memakai mantel terbuat dari kulit
binatang, memakai topi bulu dan membawa cambuk kuda sepanjang satu tombak yang terbuat
dari kulit kijang.
Dandanannya mewah, mentereng dan agung, seolah-olah kereta dari pangeran atau bangsawan
kaya.
Setelah memandang sekejap ke arah kereta itu, dalam hati ia berpikir, “Kereta ini dari arah
selatan menuju ke utara mungkin tempat yang dituju adalah kota Keng-chiu, entah…”
Sungguh cepat lari kuda itu, dalam sekejap mata telah berada kurang lebih puluhan tombak
dihadapan si anak muda itu.
Mendadak terdengar sang kusir berseru, “Lapor nona, ada orang disana…eei? Mayat dari Tin
hoe-boat menggeletak disana!”
Taaar! Kereta kuda itu bergeser tiga tombak jauhnya di atas permukaan salju dan berhenti tepat
di depan Hong- po Seng.
Si anak muda itu perlahan-lahan mendongak memandang ke arah kereta mentereng itu,
mendadak ia merasa terperanjat, kiranya sepasang mata dari kusir itu amat tajam bercahaya,
sepasang keningnya menonjol tinggi2 sekilas memandang siapapun tahu kalau tenaga
lwekangnya amat sempurna.
“Waah….celaka…rupanya aku telah bertemu dengan jago lihay” pikir pemuda she Hong-po ini.
“Kusirnya saja sudah begitu lihay, apa lagi majikannya…..”
Tanpa sadar matanya dialihkan ke atas kereta.
Horden tersingkap kesamping, terdengar suara teguran yang merdu berkumandang keluar, “Tio
Hot-hoat mana yang kau maksudkan “Tio Cien!”
Seraut wajah gadis yang cantik dengan sanggul yang tinggi muncul dari balik horden jendela,
disusul munculnya pula seorang dayang kecil berbaju merah berdiri dibelakang dara ayu tadi.
Pandangan mata Hong-po Seng jadi cerah, pikirnya, “Oooh, ternyata hanya seorang dara ayu,
ditinjau dari dandanannya yang agung dan mentereng jelas kepandaian silatnya belum tentu
lihay!”
Dalam pada itu gadis ayu tadi sudah melongok keluar jendela memandang sekejap ke arah
mayat yang terbelah jadi dua di atas permukaan salju, biji matanya berputar memandang pula
sekejap ke arah Hong-po Seng yang duduk bersila di atas tanah, dari perubahan wajahnya
nampak jelas betapa terkejut dan kagetnya gadis itu.
“Hey, apakah kau yang bacok Hoe hoat kami jadi dua bagian?” mendadak terdengar dayang
dalam kereta menegur.
Melihat dayang itu baru berusia belasan dan sifat kekanak2annya belum hilang, timbul rasa
senang dan simpatik dalam hati Hong-po Seng ia segera tersenyum dan mengangguk.
“Mengapa kau bunuh dirinya?” kembali dayang cilik itu bertanya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
37
“Aku sendiripun tak tahu. ia hendak main bunuh diriku terpaksa aku dahului dirinya?”
“Oh Sam!” mendaduk terdengar gadis ayu itu berseru. “Coba ambillah pedang antiknya itu dan
perlihatkan kepadaku!”
Mendengar perintah itu sang kusir kereta tadi segera loncat turun dari tempat duduknya,
sungguh hebat gerakan tubuh orang ini bukan saja enteng bahkan sama sekali tak bersuara.
Hong-po Seng sudah menyadari akan kelihayan lawannya, melihat orang itu meloncat ke
arahnya, dengan cepat ia loncat bangun dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
“Hey, lebih baik kau jangan melawan..” terdengar dayang cilik itu berseru lagi. “Kalau tidak maka
kau bakal rugi dan menderita sakit!”
Sementara seruan itu baru saja berkumandang, kusir tadi telah meluncur kehadapan Hong-po
Seng, tangannya segera berkelebat merampas pedang baja itu.
Tentu saja si anak muda itu tak sudi menyerah dengan begitu saja, pedang bajanya diputar lalu
membabat ke bawah, dalam waktu singkat pertarungan seru telah berkobar.
Sungguh lihay kepandaian silat yang dimiliki kusir itu, tangan kanannya menyerang kesana
sebentar membabat kemari, semua serangan tak pernah berpisah dari urat2 ini ditubuh Hong-po
Seng, sementara telapak kakinya menjulur menarik tiada hentinya coba merampas pedang baja
itu. Serangannya cepat, aneh dan tidak berada dibawah Kok See Piauw.
Diam-diam Hong-po Seng marasa cemas bercampur gelisah, dari gerakan tubuh musuhnya yang
gesit dan cepat dia tahu kepandaian orang berlipat ganda lebih tinggi dari kepandaian sendiri,
ditambah pula ia baru saja menyelesaikan pertarungan sengit dan bahu kirinya telah terluka tak
mungkin baginya untuk merebut kemenangan.
Mau lari? Kemana dia harus pergi? Mau mandah dibekuk? Tentu saja ia tak sudi… satu2nya jalan
yang ia miliki hanyalah bertempur sampai titik darah penghabisan.
Meskipun kecerdasan otaknya luar biasa, apa daya kekuatan tidak memadahi, sebelum ia
memperoleh satu akal bagus untuk menghindarkan dari maut, sebuah totokan kilat dari kusir itu
telah menghajar di atas pinggangnya.
Totokan itu datangnya mendadak dan diluar dugaan, baik dipunahkan maupun dihindari sudah
tak sempat lagi, dalam gugup kegelisahnya hawa murni di atas pusarnya ditekan ke bawah jalan
darah di atas pinggangpun segera bergeser setengah coen dari tempat semula.
Tatkala serangan totokan dari kusir itu mengenai tubuh Iawannya, tiba-tiba ia merasa ujung
jarinya tergelincir kesamping lalu mental balik tanpa terasa tegurnya sambil tertawa.
“Bocah cilik, hebat benar kepandaianmu, rupanya ilmu tersebut bernama Hoei Si-Kang wan
(terbang melayang bukan).”
Hong- po Seng menjerit kesakitan setelah terkena sodokan tersebut, pedang bajanya segera
diperkencang dan mengirim tiga buah serangan berantai yang sangat gencar.
Menghadapi serangan-serangan maut semacam itu, kusir tadi tak berani gegabah, buru-buru ia
mundur ke belakang berulang kali.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
38
Haruslah diketahui ilmu pedang yang digunakan si anak muda itu paling banyak menggunakan
tenaga, setelah hawa murninya makin menipis permainan ilmu pedangnya jadi kacau, senjata
berat lima puluh dua kati itupun bukan membantu malahan menjadi beban yang berat, setiap
saat ada kemungkinan terlepas dari cekalannya.
Dalam hal ilmu silat segala yang dipaksakan merupakan pantangan paling besar, meski dalam
hati ada niat apa daya tenaga tidak memadahi, setelah saling bergebrak dua puluhan jurus tibatiba
pergelangan kanannya kena dicengkeram oleh kusir kereta itu, sekujur badannya jadi
gemetar keras, hawa murni jadi buyar, ketiaknya jadi kaku dan badannya roboh terjengkang di
atas permukaan salju.
Melihat musuhnya telah roboh kusir kereta itu memungut pedang baja tadi dari tangan Hong-po
Seng kemudian diangsurkan ke dalam kereta.
Gadis cantik itu menerima senjata tersebut kemudian dibolak balik melihatnya beberapa saat,
tiba-tiba jarinya mengentil di atas tubuh pedang baja itu hingga berbunyi gemerencingan yang
nyaring.
“Pedang itu terbuat dari baja murni yang sukar didapatkan dalam kolong langit.” ujar kusir itu
dari samping kereta. “Golok mustika maupun pedang mustika sukar untuk menebas kutung
senjata tersebut, benda ini terhitung salah satu benda mustika dalam dunia persilatan.”
Gadis cantik itu melirik sekejap ke arah Hong-po Seng yang menggeletak di atas tanah, lalu
tanyanya kepada kusir itu, “Pernahkah kau dengar dahulu ada orang yang pernah menggunakan
senjata tajam seperti ini?”
Kusir itu berpikir sebantar lalu menggeleng
“Enghiong kenamaan yang ada dalam Bu-lim tak seorangpun yang pernah menggunakan pedang
baja seperti ini.”
Maksud dari ucapan itu jelas sekali, manusia kenamaan yang tersohor dalam dunia kangouw tak
seorangpun yang tak dikenal olehnya apa lagi senjata andalan yang yang mereka gunakan.
Gadis cantik itu mengangguk perlahan, sorot matanya dialihkan kembali ke arah Hong-po Seng,
lalu tegurnya.
“Kau adalah anak murid dari partai mana?”
Hong-po Seng yang menggeletak di atas tanah merasakan sesuatu siksaan yang sukar di
lukiskan dengan kata-kata, mellhat gadis itu bertanya dengan wajah tawar, iapun menjawab
dengan suara hambar, “Ilmu silat berasal dari keluarga sendiri, aku tak pernah angkat guru!”
“Ehmm! ilmu silatmu tidak lemah, semestinya keturunan dari keluarga kenamaan, apa she mu?
dan siapa pula nama besar dari ayahmu??”
Sudah tentu tak mungkin bagi Hong-po-Seng untuk menjawab sejujurnya, tapi diapun tidak ingin
memalsukan nama ayahnya, segera sahutnya dengan suara melantur.
“Aku she Hong-po, ayahku telah banyak tahun tutup usia, kini setelah aku jatuh ketanganmu,
rasanya lebih baik tak usah kusebutkan lagi nama ayahku almarhum!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
39
Sepasang alis gadis cantik itu berkerut kencang, rasa tidak senang terlintas di atas wajahnya,
sesudah termenung sebentar katanya kepada Oh Sam si kusir kereta itu.
“Coba geledah sakunya, andaikata tiada hal yang mencurigakan lenyapkan saja jiwanya.”
Raut wajah gadis itu cantik jelita bagaikan bidadari, sungguh tak nyana hatinya keras dan
telengas, memandang jiwa manusia bagaikan rerumputan, sungguh tidak sesuai dengan
wajahnya yang cantik jelita itu.
Setelah mendapat perintah kusir itu segera mendekati tubuh Hong-po Seng tanpa mengucapkan
sepatah katapun, dengan cepat seluruh si anak muda itu diperiksa dengan seksama.
“Aaaai.. tak usah kau geledah lagi! “tukas Hong-po Seng sambil menghela napas panjang.
“Tiada tanda2 yang mencurigakan dalam sakuku, silahkan kau turun tangan secepatnya!”
“Hmmm, tutup mulutmu, kau tidak berhak untuk melarang diriku melakukan pemeriksaan.”
Diam-diam Hong-po Seng menghela napas dan pejamkan matanya rapat-rapat.
“Aaaai.. ibu mengharapkan putranya jadi seekor naga, siapa sangka harapannya hanya sia-sia
belaka,” ia berpikir didalam hati, “Meskipun mati hidup manusia berada ditangan Thian, tapi aku
mati dalam keadaan penasaran!”
Bila seseorang telah mendekati ajalnya seringkali otaknya jadi makin cerdas dari keadaan biasa,
ia teringat kembali akan teratai racun “Tan-Hwee-Tok-Lian” teringat pula surat dari ibunya. Ia
tahu ibunya hendak menggunakan kemustajaban dari teratai beracun itu untuk menyembuhkan
luka dalam yarg dideritanya serta pulihkan kembali tenaga dalam yang dimilikinya, setelah itu
munculi kembali didalam dunia persilatan untuk membereskan rekening lama.
Berpikir sampai kesitu ia merasa amat menyesal dan kecewa, ia merasa tidak seharusnya ia
beradu jiwa dengan Hoe hoat she-Tio itu, bukan saja sama sekali tak ada hasilnya malahan hawa
murni yang ia miliki jadi lemah, selembar jiwanya dikorbankan dengan percuma dan yang paling
penting lagi ia bakal menyia-nyiakan harapan ibunya yang mengasingkan diri di atas gunung
terpencil.
Samentara pelbagai ingatan berkelebat dalam benaknya dan diam-diam ia merasa amat
menyesal, Oh Sam sikusir kereta itu telah selesai menggeledah seluruh pakaiannya, kecuali
sebuah kepingan perak tiada benda lain yang ada disitu.
Maka hawa murninya segera dikumpulkan di atas telapak kanan siap dihantamkan ke bawah,
mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, cepat ia tarik pakaian si anak muda itu
kemudian memeriksa bahu kirinya.
“Aah!” jeritan kaget bergema diangkasa. “Lapor sio-cia, orang ini telah merubah wajahnya
dengan obat merubah muka!”
Sebenarnya gadis cantik itu telah menarik kembali tubuhnya ke dalam kereta, ketika mendengar
seruan tersebut, ia segera melongok kembali keluar jendela, sekilas memandang segera temukan
meski raut wajah Hong- po Seng hitam pekat bagaikan pantat kuali, namun dari batas leher
hingga ke bawah berwarna putih bersih, nampak suatu perbedaan yang menyolok sekali antata
warna putih dan hitam itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
40
Hong-po Seng sebenarnya telah pejamkan mata menantikan kematian, ketika secara tiba-tiba
rahasianya ketahuan orang ia segera buka mata menyapu sekejap sekeliling tempat itu.
Betapa gusarnya sewaktu melihat Oh Sam sedang melepaskan pakaian yang ia kenakan, dengan
rasa jengah bercampur marah bentaknya, “Sejak dilahirkan aku memang bertubuh belang apa
salahnya kalau keadaanku begini? Hemmm buat apa kalian kaget dan menjerit-jerit seperti orang
edan?”
“Coba singkap ujung baju orang itu!” mendadak terdengar gadis cantik itu berkata kembali.
Oh Sam segera menyingkap ujung baju Hong-po Seng, tampaklah meskipun sepasang tangan
pemuda itu hitam pekat tapi dari batas sikut ke atas ternyata berkulit putih bersih juga, seolaholah
belum pernah terkena sorot sinar matahari.
“Bekas telapak yang membekas di atas lengannya berbentuk sembilan ruas, apakah ia sudah
termakan oleh pukulan sakti Kioe Pit Sin orang?” kembali gadis itu menegur.
Kiranya di atas bahu kiri si anak pemuda itu tertampak jelas telapak berwarna hijau yang
terpatah patah persis berjumlah sembilan ruas.
Oh Sam segera mengangguk.
“Bagaimana menurut pendapat siocia?’ tanyanya.
Biji matanya yang jeli berputar kesana kemari, sebentar memandang tubuh Hong-po Seng yang
putih, sebentar memandang pula wajahnya yang hitam pekat, akhirnya timbul rasa ingin tahu
dalam hati gadis itu serunya, “Bawa kembali ke dalam markas dan periksa yang seksama.”
Selesai berkata tubuhnya lenyap dibalik kereta.
Oh Sam segera mengangkat tubuh Hong-po Seng dan loncat naik ke atas tempat duduknya, ia
letakkan tubuh si anak muda itu disisinya setelah itu cambuk kulit kijangnya diayunkan ketengah
udara, diantara ledakan pecut yang nyaring kereta itu bergerak kembali ke arah utara dengan
cepat.
Kereta megah itu buatannya sangat kuat dan indah, ilmu mengendalikan kereta dari Oh Sam pun
sangat tinggi ditambah pula keempat ekor kuda kuning itu telah mendapat pendidikan yang
cukup lama, meski berlarian di atas permukaan salju namun larinya tetap tenang dan mantap.
Angin dingin berhembus kencang seoIah2 golok tajam mengiris iris badan, amat tersiksa rasanya
ditubuh. Jalan darah Hong-po Seng tertotok membuat ia tak sanggup mengerahkan hawa
murninya untuk melawan rasa dingin, beberapa saat kemudian wajahnya telah berubah jadi
pucat pias bagaikan mayat, ke empat anggota badannya jadi kaku dan sukar bergerak lagi.
Tapi ia tidak bicara maupun buka suara, sambil pejamkan matanya ia pura-pura mengantuk.
Padahal yang benar hawa murninya perlahan2 dihimpun kembali untuk membebaskan jalan
darah yang tertotok.
Dibawah salju, mendadak muncul seorang pria berbaju hitam tampak dari kejauhan, ketika orang
itu berjumpa dengan kereta berwarna kuning emas tersebut, dengan cepat segera menyingkir
ketepi jalan seraya buru-buru menjura.
“Saudara Oh Sam! Kiong hie…. kiong hie selamat tahun baru…!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
41
Oh Sam di atas kereta tetap duduk dengan angkuhnya, sampai biji matapun tidak melirik barang
sekejap ke arah orang itu, sahutnya hambar, “Liem Hiang cu, bagus…. bagus….itu! Tio hoe hoat
menantikan dirimu disebelah depan sana.”
Sementara berbicara, kereta kuda telah melewati dari sisi tubuhnya dengan cepat.
Sebelum tengah hari tiba-tiba kereta telah masuk ke dalam kota Keng Chiu, jalan darah Hong-po
Seng yang tertotok pun hampir berhasil ditembusi, tiba-tiba terdengar Oh Sam membentak
rendah, kereta kuda itu telah berhenti di depan sebuah bangunan besar, suara ucapan tahun
baru segera bermunculan dari sekeliling tempat itu. Tatkala Hong-po Seng membuka matanya,
ternyata kereta telah berhenti dipintu depan markas besar perkumpulan Sin Kie Pang cabang
kota Keng-chiu, di depan pintu telah penuh dengan orang yang menyambut kedatangan mereka,
semua orang sama-sama memberi hormat kepada kusir tersebut sambil menyebut dirinya Oh
Sam-ya.
Dengar sinar mata tajam Oh Sam menyapu sekejap wajah orang-orang itu, tiba-tiba ia bertanya,
“Kwa Hoa Tongcu kenapa tidak kelihatan?”
“Lapor Sam-ya!” seorang kakek berjubah hijau segera menjawab, “Kemarin malam telah terjadi
keonaran, Hoen tongcu serta dua orang pembantu telah lenyap tak berbekas, tadi sebenarnya
ada seorang Tio loo hoe-hoat serta seorang Liem thangcu menjadi tamu kami, tapi entah
bagaimana jejak merekapun tiba-tiba lenyap tak berbekas!”
Oh Sam dengan wajah keren mendengus dingin, ia tidak menanggapi perbuatan itu.
Kakek berjubah hijau itu segera berkata lebih jauh, “Sebenarnya dalam markas kami telah
menawan orang-orang tawanan perempuan, mereka adalah berasal dari keluarga Chin Pek Cuan,
tapi setelah bentrokan kemarin malam mereka telah terlepas semua, peristiwa ini telah kami
laporkan kemarkas besar harap Sam-ya suka memberi pertimbangan.“
Hong-po Seng yang kebetulan mendengar pula pembicaraan itu dalam hati merasa amat girang,
sekalipun ia sendiri terjatuh ditangan orang tetapi bagaimanapun juga kesulitan yang dihadapi
keluarga Chin berhasil ia selesaikan dengan balk, atas perintah dari ibunya sedikit banyak diapun
bisa mempertanggung jawabkan diri.
Tampak Oh Sam ulapkan tangannya melarang kakek berjubah hijau itu bicara jauh, ia berpaling
dan tanyanya, “Siocia, apakah kau hendak turun dari kereta untuk bersantap lebih dahulu?”
“Tak usah!” gadis cantik dalam kereta itu menyahut. “Kau makanlah cepat sedikit, kemudian kita
lanjutkan kembali perjalanan kita.”
Oh Sam mengiakan, sebelum meninggalkan kereta tersebut, mendadak ia putar tangannya
melancarkan totokan kembali ke atas jalan darah ‘Tiong Khek’ ditubuh Hong-po Seng, setelah itu
baru masuk ke dalam ruangan.
Tindakan tersebut kontan membuat Hong-po Seng jadi meringis, pikirnya dalam hati.
“Aai… sudah, sudahlah,” rupanya kusir kereta itu adalah seorang jago kawakan yang sangat
lihay, untuk meloloskan diri dari tangannya mungkin jauh lebih sukar daripada naik ke atas
langit!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
42
Rupanya sebelum jalan darah ‘Thian Ci’ yang tertotok lebih dulu tadi sempat ditembusi. Oh Sam
telah menambahi dengan sebuah totokan lagi di atas jalan darah “Tiong Khek” jelas kusir itu
takut kalau pemuda itu berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan dan melarikan diri.
Sesaat kemudian muncul tiga orang dari dalam ruangan, di atas tangan mereka masing-masing
membawa sebuah nampan yang penuh berisi makanan lezat, dayang cilik tadi segera membuka
pintu kereta dan menerima hidangan tersebut.
Hong- po Seng yang sudah sehari semalam tidak bersantap dengan cepat perutnya jadi
keroncongan setelah mencium bau harum air liur tak tertahan mengucur keluar.
Kereta kuda itu diparkir dipinggir jalan, Hong-po Seng segera alihkan sinar matanya menengok
kesana menengok kemari, ia berharap bisa melihat wajah keluarga Chin sekali lagi.
Tetapi sayang sekali meski letak markas besar cabang perkumpulan Sin Kie Pang terletak ditepi
jalan raya, tapi bagi orang-orang yang tiada perlu kebanyakan suka berputar lewat jalan lain
ditambah pula hari itu adalah hari Tahun Baru, banyak toko tutup dan banyak orang lebih suka
berada dirumah, sekalipun Hong-po Seng sudah setengah harian lamanya menengok kesana
menengok kemari, tak sesosok bayangan manusiapun berhasil dia jumpai.
Kurang lebih sepertanak nasi kemudian Oh Sam telah muncul kembali di ambang pintu, ia
langsung menghampiri jendela kereta dan membisikkan sesuatu ke dalam.
JILID 3
TERDENGAR gadis cantik yang berada di dalam kereta itu segera berkata, “Biarlah kupikirkan
lebih dahulu baru kita bicarakan lagi!”
Kedahsyatan ilmu silat yang dimiliki Oh Sam sukar dicarikan tandingannya dalam kalangan dunia
persilatan, tetapi sikapnya terhadap gadis cantik itu ternyata menghormat dan tunduk seratus
persen. Mendengar sahutan tadi ia lantas mengiakan dan kembali ke tempat duduknya di depan
kereta, sekali sentak tali les, kereta itu kabur kembali ke depan dengan gerakan cepat.
Beberapa saat kembali sudah lewat, kereta kudapun telah keluar dari pintu utara kota Keng-
Dhiu, mendadak dari balik ruang kereta menggema keluar suara sentilan jari. Diikuti suara dari
gadis cantik tadi berkumandang datang, “Bawa orang itu ke dalam kereta, aku ada persoalan
yang hendak kutanyakan kepadanya.”
Oh Sam segera menghentikan keretanya dan mencengkeram tubuh Hong-po Seng masuk ke
dalam ruang kereta, dayang cilik tadi telah membuka pintu kereta, Oh Sam pun segera
melangkah masuk ke dalam keretanya, “Pemuda ini memiliki berbagai macam ragam kepandaian
aneh, siocia harus berjaga-jaga atas kelihayannya!”
Gadis cantik itu mengangguk ketus, dayang cilik itupun menutup kembali pintu kereta
menurunkan gorden dan kereta berangkat kembali menuju ke utara.
Hong-po Seng duduk dengan punggung bersandar di atas dinding kereta, sepasang matanya
berputar ke sana ke mari mencari pedang baja miliknya.
Tampaklah dalam ruang kereta sebelah kanan terletak sebuah kursi empuk yang dapat
digunakan untuk duduk ataupun tidur, di sudut kiri terdapat sebuah meja kecil, empat belah
dinding tertutup oleh gorden yang halus dan indah, selembar kulit harimau terbentang di atas
lantai, sebuah lantai keraton tergantung di atas kereta dan di atas dinding kereta terdapat
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
43
sebuah lemari kecil, dalam lemari itu terdapat beberapa macam barang antik serta beberapa jilid
buku.
Sambil bertopang dagu gadis cantik itu duduk di atas kursi empuk sementara dayang cilik tadi
duduk di atas kasur sutera di bawah kaki majikannya. Tiga buah nampan berisi makanan terletak
di atas meja kecil dan sama sekali belum disentuh. Sedangkan pedang baja milik Hong-po Seng
tidak nampak bayangannya.
Tiba-tiba terdengar dayang cilik itu menegur dengan suara merdu, “Hay, siapa namamu?”
“Aku she Hong-po bernama Seng!” sahut si anak muda itu tanpa ragu-ragu, sorot matanya
menyapu sekejap ke atas wajah gadis itu kemudian balik tanyanya, “Dan siapa pula nama nona
berdua?”
Sebagai seorang pemuda yang sejak kecil telah di didik keras oleh ibunya, kesopanan selalu
diutamakan olehnya dalam setiap pergaulan.
“Aku bernama Siauw Ling!” terdengar dayang cilik itu menyahut sambil tertawa. “Sedang siocia
kami she Pek, siapa namanya ……. Rahasia! Kau tak boleh tanya dan tak boleh tahu.”
Hong-po Seng tertawa hambar.
“Nona Pek, kau memanggil cayhe datang kemari entah ada persoalan apa?”
Gadis cantik itu termenung beberapa saat lamanya, kemudian ia baru bertanya dengan suara
hambar.
“Orang yang mewariskan ilrau silat kepadamu apakah pernah membicarakan soal kelihayan dari
ilmu pukulan Kioe-Pit-Sin-ciang?”
Hong-po Seng mengerti dibalik ucapan tersebut pasti ada sebab-sebabnya, ia jadi terkesiap.
“Cayhe belum lama terjunkan diri ke dalam dunia persilatan, pengetahuanku sangat cetek dan
pengalamanku boleh dibilang belum ada, entah sampai di manakah kelihayan dari ilmu pukulan
Kioe-Pit-Sin-ciang itu?”
Ketika didengarnya si anak muda itu sama sekali tidak menyebutkan nama dari yang orang telah
mewariskan ilmu silat kepadanya, di atas wajah sang gadis yang cantik jelita itu terlintas
senyuman mengejek.
“Hmmm, tidak sampai tiga hari, lengan kirimu bakal jadi cacad! Dapatkah jiwamu tertolong hal
ini harus dilihat dari nasibmu, apakah kau punya rejeki atau tidak.”
Hong-po Seng semakin terkesiap mendengar perkataan itu, pikirnya dalam hati, “Serangan yang
dilancarkan Kok See Piauw dalam keadaan tergopoh-gopoh dan gelisah paling banter cuma
menggunakan tenaga dua bagian belaka, dan jelas ilmu pukulan “Kioe Pit Sin Ciang” itu tak
beracun, kenapa hanya luka yang demikian kecilnya bisa mengakibatkan lenganku jadi cacad?
Bahkan menurut gadis ini jiwaku bisa terancam? Aneh….. sungguh tak habis mengerti……………”
Terdengar gadis cantik itu telah berkata lagi dengan nada dingin, “Kau anggap, aku sedang
menakut-nakuti dirimu atau membohongi dirimu?… Hmm!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
44
“Aaaai akupun tabu tiada berguna menakut-nakuti, cuma saja…… setelah aku terluka, mau sedih
atau menyesal apa gunanya, toh nasi telah berubah jadi bubur!”
“Hmmm…. belum tentu begitu, asal kau punya keinginan untuk tetap melanjutkan hidup, aku
punya kepandaian untuk menyelamatkan selembar jiwamu!”
“Kalau didesak nada pembicaraannya…… rupanya aku harus memohon sendiri………” pikir Hongpo
Seng.
oooOooo
Bab 4
Dari sikap lawannya yang termenung tak bicara, gadis cantik itu mengerti bahwa hatinya sudah
digerakkan oleb perkataannya barusan, ia lantas tertawa hambar.
“Semua orang yang di kolong langit hanya tahu bahwa ilmu pukulan “Kioe Pit Sin Ciang” adalah
suatu ilmu pukulan yang sangat lihay, namun tak seorangpun yang tahu di manakah letak
kelihayannya, yang dimaksudkan “Kioe Pit Sin” di sini sama sekali bukan berarti akibat pukulan
yang berpatah-patah jadi sembilan bagian.”
“Aaah! Benar, semestinya orang-orang harus bisa berpikir sampai ke situ,” batin Hong-po Seng.
Ketika mendengar gadis itu menghentikan pembicaraannya, terpaksa ia buka suara,
“Pengetahuan maupun pengalaman nona sangat luas, hal ini membuat cayhe merasa amat
kagum, tapi aneh apa yang dimaksudkan sebagai “Kioe Pit” dalam ilmu pukulan ini?”
“Ilmu pukulan ini aneh dan istimewa sekali, bagi korban yang terkena oleh pukulannya, dilarang
makan sekenyang-kenyangnya dilarang minum sepuas-puasnya, dilarang bergembira berlebihan,
dilarang sedih kelewatan batas, tak boleh kedinginan dan tak boleh kepanasan …..“
Berbicara sampai di sini, sinar matanya di alihkan keatas ujung baju Hong-po Seng yang terbakar
hangus oleh api, serentetan sikap mengejek terlintas di atas wajahnya.
Po Seng tertegun dan melongo, pikirnya, “Aaah, benar. Setelah aku terluka mula-mula tubuhku
kepanasan oleh kobaran api kebakaran, setelah itu aku kedinginan oleh tiupan angin dan salju,
setelah itu harus berlarian dan bertempur semalam suntuk, tentu saja keadaan bertempur
runyam ….”
Tiba-tiba ia teringat kembali sewaktu kemarin malam masih berada di dalam lorong rahasia milik
keluarga Chin, waktu itu ia pernah jatuh pingsan satu kali dan hampir saja jatuh terjengkang,
hanya saja ketika itu peristiwa tersebut sama sekali tidak diperhatikan, kini ia sadar dan menjadi
paham, jelas itulah akibatnya dari kambuhnya luka bekas terkena pukulan.
“Siauw-Ling! Bebaskan jalan darahnya yang tertotok!” mendadak terdengar gadis cantik itu
berseru.
Dayang cilik itu manis, ia mendekati sisi tubuh Hong-po Seng kemudian menggerakkan
telapaknya menabok di atas jalan darah “Thin-Ci” di tubuh pemuda tersebut.
“Sudah cukup?” tanyanya kemudian sambil tertawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar