KUNCI UNTUK memperoleh kitab pusaka Kiam keng yaitu pedang emas itu berada ditangannya
akan tetapi Kiu-im Kaucu selalu mengejar-ngejar terus membuat dia makan tak enak tidur tak
tenang, hal ini membangkitkan niatnya untuk merampas pedang baja milik Hoa Thian-hong dan
kemudian kabur jauh-jauh dari situ, asal dia bisa mempela jari isinya niscaya dunia aian menjadi
miliknya.
Begitulah, sekembalinya keatas loteng kecil, dia lantas memikirkan pertarungan sengit yang baru
saja berlangsung antara Hoa Thian-hong melawan Kiu-im Kaucu, ia tahu sesudah pertarungan
tersebut hawa murni mereka berdua pasti mengalami kerugian besar, dalam keadaan begitu tak
mungkin Kiu-im Kaucu akan muncul kembali disana, ia lantas merasa bahwa malam ini adalah
saat yang paling tepat untuk merebut pedang baja itu.
Pek Kun-gie yang kena dibekuk segera diikatnya dengan tali otot kerbau yang kuat, mulutnya
dijejali pula dengan robekan kain sehingga tak dapat berteriak. Kemudian tubuhnya
disembunyikan dibawah tumpukan obat-obatan.
Sedangkan ia sendiri menyusup kembali kedaerah sekitar rumah penginapan dimana Hoa Thianhong
berdiam, menurut perkiraannya Pek Kun-gie yang ditotok jalan darah pingsannya tak akan
sadar dalam beberapa jam, karenanya tak mungkin juga ia dapat meloloskan diri.
Walaupun begitu ia tak berani terlalu mendekati rumah penginapan tersebut, sebab pertarungan
sengit antara Hoa Thian-hong melawan Kiu-im Kaucu telah mendatangkan rasa bergidik dalam
hatinya, selain itu diapun dapat menyaksikan peristiwa terlukanya orang-orang Mo-kauw yang
menyergap rumah penginapan malam itu.
Dalam keadaan ketakutan dan pernah pecah nyali, akhirnya dia ambil keputusan untuk tidak
melakukan gerakan apa-apa secara gega bah, tapi mendekam disekitar penginapan sambil
menantikan saat yang tepat untuk merampas pedang baja itu
Beberapa saat kemudian ia lihat cahaya lampu dirumah penginapan itu telah padam, ia mengira
Hoa Thian-hong sekalian telah naik kepembaringan dan tidur, maka ditunggunya dengan tenang
ditempat kegelapan.
Siapa tahu lewat beberapa saat kemudian, mendadak Hoa Thian-hong munculkan diri dari dalam
kamarnya dan tinggalkan rumah penginapan tersebut menuju kepintu
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
367
Sesudah berpikir sebentar, imam tua ini segera menduga kalau kepergian Hoa Thian-hong saat
itu tentulah dikarenakan persoalan Pek Kun-gie, maka ia menguntit dari kejauhan, dia ingin tahu
apa yang hendak di lakukan si anak muda itu.
Tak tahunya ditengah jalan Hoa Thian-hong telah berjumpa dengan Giok Teng Hujin, maka
dengan sendirinya perjalananpun terhenti ditengah jalan.
Pia Leng-cu adalah seorang jago kawakan yang mempunyai banyak pengalaman dalam dunia
persilatan, ia menyadari betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thiian Hong dan
betapa tajamnya pendengaran si anak muda itu, salah-salah kurang waspada niscaya jejaknya
ketahuan musuh, selain itu dia pun kuatir srigala mengincar kambing, harimau menunggu diarah
belakang, dan jejaknya ditempeli eleh Kiu-im Kaucu yang kejam, oleh sebab itulah semua tindak
tanduknya dilakukan dengan sangat berhati-hati, sedikitpun tak berani bersikap gegabah.
Posisinya saat ini berada diantara desakan dua kekuatan besar, ibaratnya ular yang kena
digebuk, ia tak berani berbuat seenaknya sendiri sehingga dia sendiri malahan jatuh dalam
pengawasan orang.
Ketika dilihatnya Hoa Thian-hong sudah masuk kedalam loteng dan jendelapun sudah tertutup,
diam-diam ia berputar satu lingkaran kemudian dengan sangat berhati-hati mendekati tempat
tersebut.
Setibanya diluar jendela, imam tua ini segera tutup napasnya dan mengamati suasana dalam
ruangan dengan seksama, ia temukan Giok Teng Hujin sedang melolob Hoa Thian-hong dengan
arak keras, bahkan yang dipergunakan adalah arak Cui sian mi suatu arak yang berkadar tinggi
dari perkumpulan Thong-thian-kauw, jadinya ia sangat Kegirangan, diam-diam ia bersyukur
kepada sukma cousu ya nya yang sudah menyediakan kesempatan baik kepadanya untuk
peroleh pedang baja serta menjadi seorang tokoh tak terkalahkan didunia, dalam hati ia lantas
ambil keputusan, asalkan pedang baja itu sudah jatuh ketangan nya dan kitab Kiam keng
didapatkan olehnya, maka sambil membawa Pek Kun-gie dia akan kabur jauh dari keramaian
dunia dan mencari tempat yang tidak dapat ditemukan Kiu-im Kaucu untuk mempela ari isi kitab
Kiam keng tersebut.
Bila ditambah pula dengan ilmu catatan Kiam keng bu kui yang diketahui Pek Kun-gie, jika ia
muncul kembali dalam dunia persilatan, siapa lagi yang mampu menandingi dirinya?
Terbayang pula betapa nikmat dan hangatnya dia akan mencicipi tubuh Pek Kun-gie yang putih
mulus dan padat berisi itu, hatinya jadi sangat kegirangan, ia merasa pengorbanan serta
penderitaan yang dialaminya selama ini dia masih belum terhitung seberapa jika dibandingkan
dengan apa yang bakal diraih di kemudian hari.
Pia Leng-cu tahu betapa lihaynya madu arak Cui sian mi ini, asalkan Hoa Thian-hong meneguk
setengah cawan, seratus persen pemuda itu pasti akan mabuk dan tak sadarkan diri.
Menyusul mana dia dengar pembicaraan yang lirih dari kedua orang itu, meskipun dalam hati
merasa amat gelisah akan tetapi berhubung persoalan ini menyangkut masa depan dirinya, maka
imam tua ini selalu bersabar diri dan bertindak dengan hati-hati.
Siapa tahu fajar telah menyingsing diufuk sebelah timur, imam itu tahu bila mengintip lewat luar
jendela dilanjutkan, meskipun mereka yang berada dalam ruangan tidak sampai mengetahui
perbua-tannya, tapi bagi mereka yang lewat dijalan raya sebelah bawah
mengetatui perbuatannya itu dalam sekilas pandangan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
368
Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa ia menggeserkan tubuhnya kembali ke tempat
persembunyiannya kesudut bangunan yang sulit diketahui orang, walaupun begitu dengan
tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong ternyata ia tak sempat mendengarkan sesuatu tanda
yang mencurigakan, bahkan Soat-ji rase salju yang punya penciuman yang melebihi manusia
biasapun tidak merasakan sesuatu yang aneh.
Kendatipun Hoa Thian-hong tak tahu kalau diluar jendela telah siap seorang musuh tangguh,
namun selama ini dia sendiripun selalu waspada, dia kuatir dirinya disergap musuh secara
mendadak sehingga pedang baja itu dirampas orang, selain itu diapun takut kalau imamnya
kurang teguh sehingga terjerumus kedalam jaring cinta Giok Teng Hujin, karenanya ia selalu
menjaga otaknya atar tetap segar dan dingin.
Demikianlah, ketika Pia Leng-cu merasa saat yang dinantikan telah tiba, maka ia menerjang
masuk kedalam ruangan dengan langkah yang berhati-hati serta penuh perhitungan, toh
perhitungan itu akhirnya meleset juga bukan saja usahanya gagal total bahkan harus kabur
sambil membawa luka yang parah.
Seandainya Giok Teng Hujin tidak memegangi Hoa Thian-hong terus menerus, niscaya imam tua
itu akan mampus diujung telapak tangan Hoa Thian-hong yang ampuh.
Dengan kaki berjalan pincang, Pia Leng-cu segera loncat turun dari atas loteng, buru-buru ia
telan sebutir pil pemunah racun dan kabur lewat jalanan yang masih sepi.
Setalah kabur, dia masuk kedalam sebuah ruangan dalam suatu pen ginapan kecil, imam ini
duduk bersila dan salurkan hawa murninya untuk melawan kekuatan racun yang bekerja dalan
tubuhnya.
Racun keji dari Kiu-tok Sianci memang tersoohor karena keganasannya, walaupun dia telah
menelan sebutir pil pemunah namun obat tersebut tidak menunjukkan kemanjuran apa-apa,
saluran hawa murni yang dimaksudkan untuk mendesak keluar racun itu dari dalam tubuhpun
mengalami kegagalan total, untung ia cuma sebentar menangkap pedang baja itu sehingga dia
hanya menderita keracunan ringan, dengan andalkan tenaga dalam hasil latihannya selama
enam puluh tahun, akhirnya ia berhasil mendesak racun itu ke ujung tiga jari tangan kirinya.
Demi untuk selamatnya jiwanya, dalam keadaan begini sambil gertak gigi ia lantas cabut sebilah
pisau belati dan menebas kutung ketiga buah jari tangannya itu.
Setelah racun keji itu dapat dimusnahkan, selembar jiwanya selamat pula dari ancaman maut,
buru-buru dia ambil keluar obat luka dan dibubuhkan keatas mulut luka diatas tangan serta
kakinya, sesudah membalut dengan baik barulah topeng kulit manusia yang ia kenakan
dilepaskan.
Semburan arak dari Hoa Thian-hong yang bersarang telak dipipi kanannya terasa amat dahsyat,
untung mukanya dilindungi oleh topeng itu sehingga tak sampai terluka parah kendati begitu
separuh wajahnya telah membengkak besar, buru-buru ia mengurutinya bebe-rapa saat,
kemudian ganti pakaian, menutupi mukanya dengan kain cadar dan berlalu dari rumah
penginapan itu.
Dengan hati kebat kebit karena ketakutan, sepanjang perjalanan Pia Leng-cu berjalan seperti
maling takut ketangkap polisi, dengan susah payah akhirnya toh dapat kembali keatas loteng
kecil rumah obat itu dengan selamat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
369
Jalan darah Pek Kun-gie yang tertotok, saat itu sudah bebas dengan sendirinya, waktu itu dia
sedang menggerakan tubuhnya diba wah tumpukan bahan obat, Pia Leng-cu maju menghampiri
dan mengangkat tubuhnya dari bawah tindihan bahan obat-obatan.
Diatas loteng kecil itu, terdapat sebuah jendela kecil yang tepat berhadapan dengan penginapan
dimana Hoa Thian-hong menginap, diatas jendela tersebut Pia Leng-cu membuat sebuah lubang
kecil yang bisa di gunakan untuk mengintip segala gerak-gerik dipintu luar penginapan tersebut.
Suasana dalam ruangan gelap gulita, tapi sinar yang memancar masuk lewat lubang itupun dapat
menyinari seluruh ruangan dengan jelas.
Setelah sadar dari pingsannya, Pek Kun-gie temukan kaki dan tangannya dibelenggu orang,
sadarlah dara itu bahwa dia telah di tangkap orang, namun ia tak tahu siapakah yang telah
menawan dirinya ini.
Kemudian ia alihkan sorot matanya kesamping dan menyaksikan seorang pria berkain cadar
hitam dengan bentuk badan persis seperti Pia Leng-cu berdiri dihadapannya, ia baru terkesiap
hingga keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Bagaikan sukma gentayangan saja, Pia Leng-cu mengangkat tubuh Pek Kun-gie dan diletakkan
disudut ruangan, kemudian perlahan-lahan ia lepaskan kain cadar yang menutupi wajahnya.
Dahulu ia pelihara jenggot pulih yang panjang, tapi untuk melengkapi penyamarannya, jenggot
itu sudah dicukur habis, kini dengan muka yang murung bercampur kesal serta bengkak separuh
ditambah pula sorot matanya yang memancarkan cahaya kebengisan ke lihatan amat
mengerikan sekali sehingga bikin hati orang jadi bergidik.
Dengan pandangan tajam Pek Kun-gie mengawasi pria dihadapannya, setelah merasa yakin
kalau orang itu adalah Pia Leng-cu, bulu kuduknya tanpa terasa pada bangun berdiri, tak kuasa
lagi titik air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
Dengan muka menyeringai seram, Pia Leng-cu mengangkat tangan kirinya dan diperlihatkan
dihadapan dara itu sambil ujarnya dengan suara menyeramkan, “Lihatlah dengan cepat, mukaku,
tanganku semuanya dilukai oleh Hoa Thian-hong sampai kaki kiriku jadi pincang pula. Hmm!
semua hutang darah ini akan kulampiaskan diatas tubuhmu, apalagi hutang perkumpulan Sinkie-
pang atas Thong-thian-kauw sudah menumpuk terlalu banyak, kini akan ku tagih semua
dirimu”
Sambil berkata perlahan-lahan dia lepaskan kain handuk dan mengeluarkan pula sumbat kain
yang memenuhi mulut Pek Kun-gie.
Berada dalam keadaan begini, dara ayu dari perkumpulan Sin-kie-pang ini segera berpikir di hati,
“Setelah aku terjatuh ketangan bangsat ini, tak bisa dibayangkan bagaimana akibatnya, kalau
aku tidak cepat-cepat mati maka siksaan serta penderitaan yang kualami akan bertambah
parah…. aaai! Thian-hong…. ooh Thian-hong.
Gadis itu kuatir kesempatan yang ada lenyap dengan begitu saja, sehingga akhirnya dia malah
tersiksa hebat, maka tanpa berpikir panjang lagi ia menggigit lidahnya keras-keras bermaksud
untuk bunuh diri.
Sebagian besar anggota perkumpulans Thong-thian-kauw hidup dalam pelampiasan nafsu seks
atas lawan jenisnya, selama hidupnya Pia Leng-cu entah sudah berapa banyak merusak
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
370
kehormatan dan kesucian anak gadis orang, makin tua makin menjadi dan ia pan ai sekali
menyelami perasaan kaum wanita.
Ketika dilihatnya paras muka Pek Kun-gie berubah hebat, secepat sambaran kilat tangan
kanannya menjepit sepasang pipi dara itu, membuat mulutnya tak sanggup terkatup kembali.
Air mata semakin deras bercucuran membasahi wajah Pek Kun-gie, dengan sorot mata penuh
kegusaran ia melototi musuhnya tanpa berkedip.
Pia Leng-cu tertawa seram, sepatah demi sepatah ia berkata dengan nada seram, “Dengarkanlah
baik-baik, kalau engkau berani bunuh diri maka segera kunodai jenasah mu, kemudian telanjangi
dirimu dan kugantung mayatmu didepan pintu
jagad tahu kalau perempuannya Hoa Thian-hong telah dirusak kehormatannya oleh aku Pia
Leng-cu!”
Selesai berkata, ia lepaskan jepitannya.
Sekujur badan Pek Kun-gie gemetar keras, setelah berpikir beberapa saat lamanya, ia benarbenar
tak berani untuk bunuh diri, pikirnya dihati, “Baik mati maupun hidup, aku tak boleh bikin
malu Thian honh, lebih baik aku pasrah saja pada nasib dan mengikuti perkembangan situasi
selanjutnya….”
Setelah ambil kepututan didalam hati, ia berkata, “Kalau mau bunuh aku bunuhlah dengan cepat
dan biarkan aku mati dengan tubuh yang suci, anggap saja engkau telah balaskan dendam bagi
Thong-thian-kauw, dan perkumpulan Sin-kie-pang kami telah membayar impas hutang berdarah
ini, dalam keadaan begini aku Pek Kun-gie akan mati dengan mata meram tanpa mengucapkan
separah katapun, Hoa Thian-hong adalah seorang enghiong yang mengutamakan kebijaksanan
dan keadilan, ia pasti akan merasakan kebaikan budimu ini, siapa tahu ia malah akan
memberikan imbalan yang besar untuk itu”
Hmm! Perkataanmu telah membingungkan, aku Pia Leng-cu sama sekali tak mengerti” tukas
imam tua itu dengan ketus.
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh”
“Setelah urusan berkembang jadi begini, masing-masing pihakpun berjalan menurut seleranya
masing-masing, kini aku Pia Leng-cu tinggal sebatang kara, tiada sesuatu apapun yang perlu
kutakuti lagi, asal ada keuntungan bagi ku maka pekerjaan itu segera kulakukan. Hmmm! jika
engkau membandel terus, jangan salahkan kalau kunodai dulu kesucianmu untuk melampiaskan
semua rasa dongkolku, ke mudian baru bikin perhitungan selanjutnya”
Ketika mendengar perkataan tersebut, terutama sekali kata-kata yang berbunyi ‘…. dimana ada
keuntungan disana kulakukan perbuatan itu….’ satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam
benaknya, ia lantas berpikir, “Pedang emas tersebut berada dalam saku bangsat ini, kalau
ditinjau dari tindak tanduknya yang selalu mengintil kepergian Hoa Thian-hong, rupa-rupanya
diapun bermaksud untuk mendapatken kitab Kiam keng. Aasalkan ia punya niat kesitu, berarti
pula diapun takut banyak urusan…. untuk sementara waktu aku tak usah keburu mati, kalau
Thian-hong mengetahui akan persoalan ini, dia pasti akan datang menolong diri ku, sampai
waktunya kalau bangsat ini hendak celakai jiwa Thian-hong, siapa tabu kalau aku bisa bantu
menyelamatkan jiwanya?”
Jilid 19
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
371
SEMENTARA ia masih termenung, dengan wajah menyeringai seram Pia Leng-cu telah berkata
lagi, “Sekarang, beritahu dulu kepadaku apa isi catatan Kiam keng bu kui yang kau ketahui, jika
berani menyelewengkan kata-kata tersebut dari isi yang sebenarnya…. Hmm! Akan kusuruh kau
tak punya muka untuk berjumpa lagi dengan Hoa Thian-hong”
Pek Kun-gie selalu teringat akan Hoa Thian-hong, maka Pia Leng-cu menggunakan titik
Kelemahan tersebut untuk memaksa gadis itu menuruti Kemauannya, meskipun cara ini amat
keji dan tak tahu aturan namun amat jitu dan tepat mengenai sasarannya.
Mendengar permintaan tersebut, dalam hati Pek Kun-gie segera berpikir, “Kalau aku mengatakan
tak tahu, dia pasti tak percaya, seba-liknya Kalau kuterangkan sejujurnya, bila intisari kepandaian
tersebut sampai dipahami olehnya, bukankah kepandaian silat yang dia miliki akan melampaui
Thian-hong?”
Agaknya Pia Leng-cu dapat menebak pula isi hatinya, ia menyeringai seram dan berseru
Engkau tak usah banyak berpikir, ilmu silat kekasihmu itu berada jauh didepanku sekalipun aku
berhasil memahami intisari catatan Kiam keng bu kui, belum tentu bisa menyusul
kemampuannya, siapa kuat siapa lemah masih harus ditentukan setelah Kiam keng mustika itu
akhirnya diketahui terjatuh ketangan siapa.
Hmm! Sekalipun kuhafalkan dengan sejujurnya, belum tentu kau percaya seratus persen, pasti
kau ngotot mengatakan aku bohong.
“Hafalkan saja dengan cepat, palsu atau asli aku dapat mem-bedakan sendiri!” tukas Pia Lengcu.
Pek Kun-gie kembali berpikir dihati, “Isi Kiam keng bu kui bagian depan banyak diketahui oleh
para jago yang hadir dalam pertemuan Kian ciau tay hwe, tak mungkin aku bisa bohong,
sebaliknya kalau isi bagian belakang sengaja kukacau sedikit, rasanya belum tentu ia dapat
membedakan….”
Karena berpendapat begitu, iapun lantas menghapalkan isi catatan tersebut, “Peraturan menurut
langit, kerugian pasti tersisa…. Berjaga ketat sikap waspada dan rahasia, pedang pengusir setan,
bocorkan ra hssia langit, lambat, tenang, lincah, bergabung jadi….”
Tiba-tiba Pia Leng-cu tertawa seram.
“Heehh…. heeehh…. heeehh…. keliru besar, lambat, tenang dan lincah mana mungkin bisa
digabungkan jadi satu?”
Cahaya kilat berkelebat lewat dan….Breet! pakaian yang dikenakan Pek Kun-gie dari bagian dada
sampai antara belahan pahanya mendadak tersebar robek sehingga anggota badannya yang
putih mulus dan merangsang tertera jelas didepan mata,
Pisau belati itu disembunyikan dibawah pakaian, setelah merobek pakaian Pek Kun-gie ia
sembunyikan kembali pisaunya ditempat semula, semua gerakan dilakukan dalam waktu singkat
dan secepat sambaran kilat.
Pek Kue Gie hanya merasakan cahaya tajam berkilauan, sebelum sempat melihat jelas bentuk
pisau tersebut tahu-tahu semuanya sudah terjadi, untung gadis itu duduk bersila ditanah oleh
sebab badannya naik turun tidak merata maka babatan pisau tersebut tak sampat melukai
tubuhnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
372
Walaupun begitu, dari sini pula dapat di buktikan betapa sempurnanya permainan ilmu pedang
yang dimiliki imam tua ini.
Muja-mula Pek Kun-gie merasa terperanjat, menyusul mata hatinya jadi gusar bercampur malu
apalagi setelah dilihatnya pakaian yang dikenakan robek sama sesali hingga dada dan bagian
bawahnya terlihat jelas.
Berada dalam keadaan bagini, gadis itu ingin mati saja, tapi ia tak berani berbuat begitu kuatir
kalau jenasahnya benar-benar dinodai imam cabul tersebut, sepasang tanganpun terbelenggu
dibelakang punggung hingga tak mungkin bisa digunakan untuk menutupi bagian yang kelihatan.
Saking gemas benci dan mendongkolnya, sekujur badannya gemetar keras, sambil menggertak
gigi ia berseru, “Lebih baik bunuhlah diriku, kalau tidak suatu saat pasti kucokel keluar sepasang
biji matamu itu!”
Pia Leng-cu sama sekali tidak menggubris perkataan itu, sepasang matanya melotot besar dan
mengawasi payudara sang dara yang menonjol sebagian dari balik pakaiannya yang robek,
terutama sekali lekukan tubuh bagian bawahnya yang indah memikat, membuai matanya hampir
tak berkedip, paras mukanya yang membengkak berderu ken cang menahan emosi, keringat
sebesar kacang kedelai mengucur keluar tiada hentinya, tanpa sadar nafsu birahinya telah
berkobar dengan hebatnya….
Haruslah diketahui Pek Kun-gie adalah seorang gadis yang cantik jelita bagaikan bidadari, bukan
saja paras mukanya sangat menawan hati bentuk tubuhnya pun sangat indah, ditambah pula
kulit tubuhnya yang putih bersih sama sekali tiada Cacad, pinggangnya ramping serta sepasang
payudaranya yang bulat berisi, boleh dibilang suatu perpaduan yang amat serasi.
Pia Leng-cu adalah seorang lelaki hidung
kalau nafsu berahinya kontan berkobar setelah menyaksikan anggota tubuh gadis itu.
Pek Kun-gie merasa amat malu bercampur marah, pikirnya dihati, “Daripada tubuhku ternoda
oleh bajingan cabul ini, lebih baik mati saja…. aaa! Dari pada tubuh ternoda, lebih baik aku mati
dalam kesucian.”
Setelah ambil keputusan dihatinya, iapun siap menggigit putus lidah sendiri untuk bunuh diri.
Tapi sebelum niat tersebut dilaksanakan, tiba-tiba Pia Leng-cu berpaling ke arah lain dan
menghela nafas panjang.
“Aaaai….!”
Terperangah hati Pek Kun-gie menyaksikan kejadian tersebut, ingatan untuk bunuh diripun untuk
sementara waktu ditunda lagi.
Meskipun Pia Leog cu telah alihkan sinar matanya ke arah lain, tapi apa yang barusan dilihat
masih terbayang nyata dalam benak nya, perasaan hatinya masih bergolak keras dan nafsu
berahi yang telah berkobarpun susah ditenangkan kembali, keringat sebesar kacang kedelai
masih terus mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Pada saat ini terjadilah perang batin yang sangat dahsyat dalam hati kecilnya, ia merasakan
suatu siksaan dan penderitaan yang belum pernah dialaminya sepanjang hidup.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
373
Haruslah diketahui, meskipun bentuk badan Pek Kun-gie sangat indah tetapi kalau pria yang
memandang tubuhnya itu hanyalah seorang pria yang belum berpengalaman, maka pria tersebut
paling banter cuma merasakan keindahannya belaka, sama sekali tiada rangsangan lain yang
jauh lebih hebat.
Sebaliknya Pia Leng-cu berasal dari perkumpulan Thong-thian-kauw, pada dasarnya dia memang
seorang pria cabul yang gemar main perempuan, sepanjang hidupnya entah sudah berapa
banyak perempuan yang digauli olehnya, justru karena terlalu banyak perempuan yang pernah
dilihat olehnya maka ia dapat merasakan kalau bentuk badan Pek Kun-gie luar biasa sekali dan
susah diuraikan tandinganya di kolong langit, justru karena pendapat inilah maka rangsangan
yang membara dalam dadanya beratus ratus kali lebih hebat daripada rangsangan pada
umumnya.
Kalau menuruti watak serta keinginan hatinya, sedari tadi dia pingin menubruk gadis itu serta
memperkosanya.
Namun diapun memahami perangai dari Pek Kun-gie, dia tahu gadis itu berhati keras, jika ia
terburu-buru merodai tubuhnya, niscaya gadis itu akan bunuh diri dan kalau sampai terjadi
keadaan demikian, itu berarti semua rencananya akan gagal total.
Sudah tentu imam tua ini tidak berharap rencana besarnya mengalami kegagalan total hanya
disebabkan salah melangkah, ia lantas berusaha untuk menekan perasaan sendiri serta
memadamkan api berahi yang sudah hampir mencapai pada puncaknya itu.
Beberapa waktu sudah lewat, ditengah keheningan yang mencekam, ia menjerit dalam hati
kecilnya, “Tidak boleh…. Tidak boleh….! Aku tidak boleh melakukannya pada saat ini, dengan
adanya gadis ini sebagai sandera, sekalipun tempat persembunyianku ditemukan Hoa Thian-hong
keparat cilik itu belum tentu dia berani mengapa-apakan diriku, kalau kuinginkan pedang baja itu
ditukar dengan gadis ini, mungkin saja keparat itupun akan menyanggupi, sebaliknya kalau
kupaksa keparat cilik itu untuk menghadapi Kiu-im Kaucu, diapun pasti tak berani membangkang
perintahku, kini isi dari catatan Kiam keng bu kui belum kudapatkan, aku tak boleh membuat
suasana jadi rusak berantakan.”
Setelah dipikirkan berulang kali akhirnya dia ambil keputusan untuk memadamkan api berahi
dalam hatinya, dari bawah tumpukkan bahan obat ia ambil keluar sebuah buntalan serta pedang
mustika Poan liong poo kiam tersebut.
Pedang mustika itu diselipkan dulu dalam pakaiannya, setelah kobaran api birahinya bisa
dikuasainya, dia lepaskan buntalan itu dan ambil keluar satu stel jubah warna hijau, dengan
pakaian itu ia tutupi badan Pek Kun-gie yang setengah telanjang tadi sehingga tinggal kepalanya
saja yang kelihatan.
Pek Kun-gie jadi terperangah oleh tindak tanduk imam tersebut, pikirnya didalam hati, “Meskipun
bajingan tua ini patut dibunuh namun ilmu silat yang dia miliki memang terhitung lihay,
tampaknya di kolong langit dewasa ini kecuali Thian-hong serta Kiu-im Kaucu, tiada orang ketiga
yang mampu menandingi dirinya lagi”
Dalam pada itu, Pia Leng-cu sudah putar badannya dan berkata dengan suara dingin, “Mulai
sekarang aku harap engkau bisa baik-baik membawa diri, ketahuilah pada saat ini aku berusaha
keras untuk menahan diri kalau engkau mencari kesulitan terus dan berusaha untuk
membangkitkan bawa gusar ku, itu berarti engkau sendirilah yang ingin mencari kepuasan dan
sengaja memancing nafsu birahiku untuk memperkosa engkau!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
374
Paras muka Pek Kun-gie berubah jadi hijau membesi, karena gusarnya, tapi gadis itu tahu apa
yang diucapkan adalah kata-kata sejujurnya, dalam hati dia merasa takut dan tak berani banyak
berbicara lagi.
Pia Leng-cu mendekati bawah jendela dan duduk disitu, ujarnya kembali, “Kepandaian silatku
juga terletak diatas sebilah pedang, kalau dihitung sampai ini hari maka sejarahnya sudah
berlangsung enam puluh tahun lamanya, perduli sampai dimanakah kehebatan dari Kiam keng
bu kui, asal kau masukkan sepatah kata yang tiada hubungannya dengan catatan tersebut, aku
segera dapat membedakannya. Ilmu Pedaug yang dimiliki Hoa Thian-hong sangat hebat tenaga
dalam yang dia miltki juga jauh melebihi aku, tapi kalau berbicara tentang pengetahuan serta
pengalaman dalam hal ilmu pedang, ia masih tak mampu menandingi aku, Pek Siau-thian sendiri
hanya belajar sampai setengah jalan, tentu saja lebih tak masuk hitungan. Nah! kalau engkau
tahu diri, lekaslah beritahu kepada ku semua isi catatan Kiam keng bu kui tersebut secara
lengkap”
Teringat akan peristiwa yang baru saja terjadi, Pek Kun-gie ngeri sekali menghadapi imam tua
yang berhati keji seperti kala jengking ini, apa yang dipikirkan sekarang hanyalah melindungi
kesucian tubuhnya, selain itu ia tak berani membangkitkan amarahnya sehingga menimbulkan
kerugian bagi diri sendiri.
Tanpa diulangi untuk kedua kalinya, cepat-cepat ia menghapalkan kelima puluh delapan kata isi
catatan Kiam Leng bu kui tersebut tanpa salah sepatahkata pun.
Pia Leng-cu menghimpun segenap perhatian dan semangatnya untuk mendengar catatan itu,
kemudaan dengan seksama dia teliti setiap kata tadi apakah ada yang palsu atau tidak, sesudah
yakin tiada ke alahan barulah dia duduk bersandar didinding dan merenungkan makna dari
pelajaran tersebut.
Apa yang tercantum dalam catatan Kiam keng bu kui hanyalah inti sari pelajaran ilmu pedang,
ajaran itu sebangsa teori untuk menggunakan yang tiada menjadi ada, dan bukanlah jurus
serangan untuk menghadapi musuh, oleh sebab itu bila seseorang tidak memiliki dasar ilmu silat
yang cukup kuat sekalipun tahu isi pelajaran tersebut belum tentu bisa memahami isinya,
sekalipun mengerti setengsh-setengah juga sama sekali tak ada manfaatnya.
Misalnya saja Pek Siau-thian yang mempunyai ilmu silat terdiri dari pelbagai macam ragam,
walaupun kepandaian itu meliputi juga ilmu pedang tapi dasarnya amat terbatas sekali, walaupun
begitu dia mengetahui akan besarnya manfaat dari pelajaran Kiam keng bu kui ini, maka setelah
pertemuan Kian ciau lay hwee bubar, ia segera menutup semua cabang dan ranting
perkumpulannya serta membuyarkan anggota perkumpulan yang ada, kemudian seorang diri
menutup diri dan mendalami pelajaran yang diperoleh tersebut.
Disamping itu, iapun melatih pula beberapa macam ilmu silat yang lain dari perguruannya, dalam
keadaan demikian Kho Hong hwee tak tega meninggalkan suaminya yang baru saja mengalami
kekalahan total seorang diri, diam-diam Pek Siau-thian genbira sekali melihat kenyataan itu,
berhubung istrinya juga berlatih ilmu pedang maka ia lantas mencatat kelima puluh delapan
patah kata catatan Kiam keng bu kui itu diatas secarik kertas, dan diserahkan kepada putri
sulungnya Soh-gie untuk diserahkan kepada ibunya, dengan sendirinya Pek Kun-gie jadi ikut
mengetahui isi dari kelima puluh delapan kata itu.
Bagi Pek Siau-thian sekeluarga, kelima puluh delapan kata itu tidak mendatangkan manfaat apaapa,
berbeda jauh ketika diketahui oleh Pia Leng-cu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
375
Apa yang dikatakan imam tua itu sama sekali tak bohong, pengetahuannya mengenai ilmu
pedang memang sudah mencapai tingkatan yang sangat tinggi, kelima puluh delapan kata itu
ibaratnya melu-kis naga memberi mata, dalam waktu yang amat singkat ilmu silatnya telah
peroleh kemajuan yang amat pesat.
Suasana diatas loreng sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, Pia Leng-cu duduk sanbii
pejamkcn mata, ibaratnya padri yang sudah duduk semedi dan sama sekali tak pernah beranjak
dari tempat duduknya
Pek Kun-gie sendiri sama sekalii tak ada pekerjaan, ia gunakan waktu senggangnya untuk
melamunkan Hoa Thian-hong terutama sekali sepanjang masa mereka berduaan, mulai dari Hoa
Thian-hong lari ra cun dikota Cho ciu hingga detik ini setiap hari dia hanya melamun terus,
seringkali ia membayangkan bagaimana mereka menikah, punya anak dan berpesiar keseantero
dunia, kemudian membayangkan pula bagaimana anak mereka menikah, punya cucu, hampir
tiada sesuatu yang lewat dalam lamunanaya itu.
Asal dia mulai melamun maka segala-galanya sudah terlupakan olehnya, bahkan iapun merasa
lupa dimana dia sedang berada.
Demikianlah, kedua orang itu masing-masing sibuk dengan pekerjaannya sendiri, sipapun tak
mengganggu pihak yang lain, siapa pun tidak merasa lapar atau dahaga, sepanjang hari tak
seorangpun yang buka suara untuk berbicara.
Malam harinya, tiba-tiba Pia Leng-cu bangkit berdiri, dengan kaki yang pincang dia berjalan bolak
balik dalam ruang kecil itu, mendadak dari tumpukan peti obat dia ambil seutas ranting kering
dan menggunakan ranting itu untuk menebas, menusuk dengan cepatnya.
Walaupun ditengah kegelapan, Pek Kun-gie masih sempat melihat kalau imam tua itu sedang
berlatii pedang, ia berlatih terus tiada hentinya bahkan tak kenal lelah, hal ini membuat Pek Kungie
lama kelamaan merasa amat kesal, pikirnya, “Bangsat ini berlatih terus dengan tekunnya,
kalau diteruskan maka ilmu silatnya tentu akan melampaui Thian-hong. Aaai….! Tahu begitu,
lebih baik kukorbankan segala-galanya daripada memberi tahukan rahasia ini kepadanya….”
Menyusul mana dia membayangkan bagaimana Hoa Thian-hong berperang tanding melawan Pia
Leng-cu, bagaimana imam tua itu diteter terus sampai kalang kabut tak karuan, akhirnya
pemuda itu putar pedang bajanya beberapa kali mencukil keluar sepasang biji mata imam
bangsat ini, kemudian melamunkan pula bagaimana Hoa Thian-hong menggandeng tangannya
mendaki bukit Thay san menyaksikan munculnya sang surya dari balik samudra luas….
Tengah malam telah menjelang, tiba tiba dari depan penginapan berkumandang suara kereta
kuda, Pia Leng-cu kelihatan terkejut sambil membuang ranting kayunya dari genggaman, ia lari
ketepi jerdela dan mengintip keluar lewat lubang yang dibuat.
Dari balik pintu samping rumah penginapan itu meluncur keluar sebuah kereta kuda. Hoa Thianhong
duduk didepan sebagai
siapakah yang berada dalam kereta itu.
Pek Kun-gie telah teisadar pula dari lamunannya, dengan hati terperanjat ia berseru lirih,
“Kenapa? Kenapa ia berangkat?”
Pia Leng-cu hanya mendengus dingin, mulutnya tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
376
Pek Kun-gie makin tercekat, serunya lagi, “Kiu im katcu telah siapkan jebakan diatas sungai,
nenek iblis itu bermaksud merampas pedang bajanya. Hmm! Kalau sampai pedang baja itu
terjatuh ketangan Kiu-im Kaucu, selama hidup jangan harap kau bisa mendapatkan kitab pusaka
Kiam keng”
Pia Leng-cu baru saja terpikat oleh keampuhan isi pelajaran Kiam keng bu kui, ia tahu kitab Kiam
keng yang berada dalam pedang baja Hoa Thian-hong merupakan seluruh peninggalan ilmu
pedang dari malai kat pedang Gi Ko, rangsangan tersebut terlalu besar baginya untuk bisa
dibendung, mendengar perkataan dari Pek Kun-gie tadi timbullah perasaan tak tenang dan panik
dalam hati kecilnya.
Tapi bagaimanapun juga dia adalah seorang jago kawakan yang banyak pengalaman semua
tindak tanduknya selalu dipikirkan dulu secara cermat sebelum dilaksanakan, karena itu
walaupun dalam hati merasa gelisah namun perasaan tersebut tak sampai diutarakan keluar.
Memandang kereta kuda itu makin menjauh, ia cuma berkata dengan suara tawa.
Tengah malam buta begini pintu
dari
Dalam hati kecilnya Pek Kun Gei mengeluh
“Thian-hong…. ooh…. Tbhian Hong! Mengapa kau tinggalkan aku seorang diri? Tegakah kau
biarkan aku terjatuh ketangan bajingan cabul ini?”
Dalam hati berpikir begitu, diluaran dia tertawa dingin dan berseru lagi, “Untuk keluar
menyeberangi sungai, masa membutuhkan kereta kuda? Hmm! Setibanya ditepi sungai, pedang
baja itu pasti akan terjatuh ketangan Kiu-im Kaucu, waktu itulah Kiu-im Kaucu akan datang
mencari engkau untuk merampas pedang emas itu, heeee…. heeehh…. heeeeh…. akan kulihat
engkau hendak kabur kemana lagi?”
Pia Leng-cu menyeringai dan tertawa seram.
“Haaah…. haaahh…. haaahh…. sampai waktunya maka engkaulah yang bakal sial lebih dulu!”
Pek Kun-gie berusaha keras untuk mententramkan hatinya, sambil berlagak tak acuh, katanya,
“Kalau didengar dari pembicaraanmu memang tampaknya menyeramkan sekali, padahal setelah
tiba pada waktunya asal mata melotot kaki menjejak, habis sudahnya waktu, apa yang musti aku
pusingkan lagi?”
Pia Leng-cu berpikir dihati, “Meskipun mulut budak ini sangat keras, dalam kenyataan memang
begitulah. Heehmmm…. heehmm…. kalau orangnya sudah mampus, siapa yang akan
memperdulikan lagi tubuhnya bakal diperkosa atau tidak, kata semacam itu toh tak lebih cuma
gertak sambal belaka….”
Sementara itu derap kaki kuda sudah makin menjauh, ketika dilihataya Pia Leng-cu tiada minat
untuk melakukan pengejaran, dalam gugup dan gelisahnya ia berseru kembali, “Kalau engkau tak
menanggung rasa penyesalan sepanjang masa, cepatlah kejar Hoa Thian-hong, ilmu silat yang
dia miliki merupakan nomor satu di kolong langit, dia sudah tak akan tertarik oleh sejilid kitab
Kiam keng, dia pasti bersedia menggunakan pedang baja itu untuk ditukar dengan aku”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lagi, “Dia adalah seorang pria sejati yang tak pernah
pungkiri setiap ucapan yang telah di utarakan keluar, asalkan ia sudah bersedia untuk menukar
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
377
aku dengan pedang baja tersebut, maka janji itu tak akan diingkari dan diapun tak akan
menyusahkan dirimu lagi!”
Pia Leng-cu tertawa seram, tukasnya, “Haaahh…. haaahh…. haaahh…. pedangnya aku mau,
orangnya aku juga mau, bagaimana akhirnya nanti hal ini harus dilihat dengannasibmu
selanjutnya!”
“Huuh! jangan mimpi disiang hari bolong, siapa yang kesudiaan dengan binatang tak tahu malu
seperti kau?! sumpah Pek Kun Ge didalam hati.
Mendadak ia merasa iganya jadi kaku, dan gadis itupun jatuh tak sadarkan diri.
Sesudah menotok jalan darah pingsan di iga Pek Kun-gie, imam tua itu menggapitnya dibawah
ketiak dan melayang turun kebawah loteng, dengan menelusurl jalan raya dia mengejar ke arah
mana kereta kuda tadi berlalu.
Baru saja menyeberangi sebuah jalan raya, dari kejauhan tampaklah kereta kuda ini berjalan
dengan sangat lambat, rupanya Hoa Thian-hong kuatir mengganggu ketenangan tidur rakyat
disekitar
Pia Leng-cu menyadari kalau ilmu silatnya masih bukan tandingan lawan, apalapi kaki kanannya
pincang dan mulut lukanya belum merapat, oleh sebab itu dia cuma menguntil dikejauhan dan
tak berani terlalu mendekati, sepertanak nasi kemudian tibalah kereta itu dibawah kaki pintu
sebelah utara.
“Kreekk…. kreeekk….!” pintu
gelagapan muncullah dua orang penjaga berseragam lengkap.
Hoa Thian-hong segera jalankan keretanya keluar dari pintu
sambil menjura, bisiknya, “Terima kasih atas bantuan kalian berdua.”
“Tak usah sungkan-sungkan, semoga kongcu selamat sepanjang jalan” jawab kedua orang itu
hampir berbareng.
Pia Leng-cu yang mengikuti jalannya peristiwa itu ditempat kegelapan, segera berpikir dihati,
“Aah…. rupanya keparat cilik itu telah menyuap petugas pintu
baginya, sungguh tak kunyana otaknya secerdik itu, sehingga asal seperti inipun dapat dilakukan
olehnya.”
Ia menunggu beberapa saat lamanya, kemudiaan baru berputar kesamping dan mendaki keatas
tembok
langsung menuju kedermaga melainkan dilarikan menuju ke arah timur.
Dalam hati kecilnya Pia Leng-cu kembali berpikir, “Sungguh cermat dan seksama jalan pikiran
bocah keparat ini, kalau nenek setan itu bercokol diatas perahunya, dia pasti menanti ditengah
dermaga, menanti mereka sadari kalau keparat itu menyusup keseberang, mungkin bocah
kaparat itu sudah mendarat ditepi seberang
Mula-mula kereta itu hanya dilarikan dengan perlaban, setelah beberapa li, mendadak Hoa Thianhong
ayun cambuknya berulang kali, kereta itupun segera kabur dengan cepatnya.
Diam-diam Pia Leng-cu merasa amat terkejut, dia ikut mempercepat lari tubuhnya, namun selisih
jaraknya dengan kereta itu tetap di pertahankan sejauh tiga puluh tombak, ia merasa sekalipun
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
378
Hoa Thian-hong berpaling kebelakang, ditengah kegelapan demikian ini jejaknya sulit untuk
diketahui.
Sepanjang
disekitarnya, karena itu sepanjang sungai dibangun tanggul yan amat tinggi untuk mencegah
terjadinya kebanjiran.
Hoa Thian-hong larikan kudanya dengan cepat menelusuri sisi tanggul tersebut, debu mengepul
memenuhi angkasa, suara putaran roda kereta berkumandang memecahkan kesunyian.
Setelah berlarian kurang lebih setengah jam lamanya, tiba-tiba kereta itu dilarikan naik keatas
tanggul dan berhenti disana.
Suara gulungan ombak serta hembusan angin menggema memecahkan kesunyian di malam hari
itu, tiba-tiba terdengar seseorang menegur dengan suara nyaring.
“Yang datang apakah Hoa ya?”
“Benar, aku yang datang! Bagaimana dengan perahu untuk menyebe-rang….?” sahut Hoa Thianhong
dengan suara dalam.
“Sudah siap sedia semua!”
Pia Leng-cu seeera loncat kedepan dan bersembunyi dibelakang tanggul, ketika ia mengintip
kedepan
empat orang pria kekar berdiri diempat penjuru siap dengan gala yang panjang, dua orang pria
yang lain menanti diatas daratan.
Hoa Thian-hong menggerakkan kembali kereta kudanya hingga tepat berhenti didepan perahu
itu, sambil loncat turun dari atas kereta bentaknya nyaring, “Cepat! hela kuda itu keatas perahu”
Sebelum mendapat perintah dua orang pria itu masing-masing sudah menghela seekor kuda naik
keatas geledak perahu, Hoa Thian-hong loncat kebelakang kereta dan mendorong kereta
tersebut naik keperahu.
Dalam waktu singkat kereta kuda itu sudah berada diatas geladak, si anak muda itu cepat ayun
tangannya, dengan pukulan udara kosong ia putuskan tali pengikat perahu, dengan cepatnya
perahu itu terdorong oleh arus sungai yang deras dan meluncur kedepan.
Pia Leng-cu merasa kaget bercampur mendongkol, dia sama sekali tidak menyangka kalau Hoa
Thian-hong telah mengatur segala sesuatunya dengan sempurna, bahkan semua gerakan
dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, menyaksikan perahu itu bergerak
ketengah sungai terdorong oleh arus air yang kuat, ia lantas menduga tak sampai tiga empat li
Kemudian perahu itu sudah akan merapat dipantai seberang.
Untuk beberapa saat lamanya ia tak tahu apa yang musti dilakukan, berhubung sekitar sungai
ditempat itu berarus kuat dan lagi bukan dermaga maka kecuali perahu itu tidak nampak perahu
lain.
Dalam gugup dan gelisahnya, terpaksa dia mengempit tubuh Pek Kun-gie dan berlarian
disepanjang bendungan untuk mengikuti bergeraknya perahu tadi.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
379
Dalam waktu singkat perahu penyeberang itu sudah meninggalkan tepi pantai sejauh delapan
sembilan kaki, mendadak Pia Leng-cu menemukan sebuah sampan kecil tertambat ditepi sungai.
“Perduli amat sampan itu milik siapa, pokoknya pakai dulu beres” pikirnya dihati, kalau memang
hokki sudah pasti bakal bencana, kalau sudah bencana mau kemana untuk menghindar?
sekalipun jiwa tua musti melayang, aku tak akan biarkan pedang baja itu terjatuh ketangan
nenek setan”
Imam tua ini dibesarkan ditepi pantai lautan selatan, ia yakin ilmu berenang yang dimilikinya
tidak lemah, setelah bulatkan tekad, ia segera loncat naik keatas sampan itu, setelah
membaringkan Pek Kun-gie keatas geladak, ia segera menyambar dayung dan melanjutkan
sampan itu mengejar perahu penyeberang tadi.
Dalam waktu singkat, Hoa Thian-hong yang berdiri diujung geladak lelah menemukan jejeknya,
ia segera menghardik, “Siapa disitu?”
“Pia Leng-cinjin dari perkumpulan Thong-thian-kauw!”
“Pek Kun-gie ada dimana?” si anak muda itu segera menghardik.
Pia Leng-cu menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah…. haaahh…. dia berada disampan, asal kakiku ber-gerak sedikit saja kedepan,
niscaya tubuhnya yang indah dan wajahnya yang cantik akan terinjak hancur jadi perkedel!”
“Suruh dia berbicara!”
Dalam pada itu, selisih jarak antara sampan dan perahu penyeberang masih ada sepuluh kaki
lebih, dalam suasana ombak menggulung dengan dahsyatnya dan angin berhembus kencang
mereka berdua terpaksa harus kerahkan tenaga murni untuk berbicara, suara pembicaraan yang
bercampur dengan gulungan ombak kedengaran sangat mengerikan.
Hoa Thian-hong menguatirkan keselamatan Pek Kun-gie, maka dia butuh gadis itu berbicara.
Pia Leng-cu segera berpikir, “Kalau aku hendak paksa Hoa Thian-hong untuk serahkan pedang
baja itu, paling sedikit aku harus mematahkan dahulu mentalnya….”
Karena berpendapat demikian, buru-buru ia alihkan dayung itu ketangan kiri, sedang tangan
kanannya digunakan untuk menotok bebas jalan darah pingsan ditubuh Pek Kun-gie.
Siapa tau karena luka dikedua jari tangan kirinya baru sembuh, kurang leluasa baginya untuk
mendayung….
Kreeek! tiba-tiba dayung itu patah jadi dua bagian, seketika itu juga sampan itu tergulung ombak
dan hampir saja terbalik.
Pia Leng-cu sangat terperanjat, buru-buru dia sambar sebuah papan dan digunakan sebagai
pengganti pendayung.
Dan kejauhan Hoa Thian-hong dapat menyaksikan sampan itu berputar kencang di tengah
sungai, dengan hati kaget ia lantas membentak, “Pia Leng-cu!”
***
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
380
SEMENTARA itu Pek Kun-gie baru saja bebas dari totokan jalan darah, mengikuti terombang
ambingnya sampan kecil itu, kesadarannya perlahan-lahan pulih kembali.
Ketika mendengar seruan dari kekasihnya, dengan penuh rasa gembira ia segera berteriak keras,
“Thian-hong!”
“Bagaimana keadaanmu? Apakah terluka?” teriak Hoa Thian-hong dengan gelisah.
Pek Kun-gie bangun dari atas geladak dan duduk, ia lihat ombak sedang menggulung dengan
hebatnya diseputar badannya, sementara perahu penyeberang yang ditumpangi Hoa Thian-hong
sama sekali tak terlihat, dalam gugupnya ia lupa menjawab.
“Bagaimana keadaanmu? Apalah terluka? terdengar Hoa Thian-hong berseru lagi dengan cemas.
Aku tidak terluka, engkau harus perhatikan baik-baik, Kiu-im Kaucu telah mengumpulkan banyak
sekali anak buahnya yang lihay dalam ilmu berenang, ia sudah siapkan jebakan didalam sungai
dan siap turun tangan terhadap dirimu
Tiba-tiba Pia Leng-cu tertawa keras, serunya dari samping, “Bukankah engkau belum terluka?
Nah, sekarang lihatlah tuanmu akan melukai engkau.”
Dengan kaki kanannya dia lancarkan sebuah tendangan keras keatas jalan darah Hay ki hiat
dibelakang pinggang Pek Kun-gie, gadis itu merasa kesakitan dan tak tahan lagi dia menjerit
ngeri.
Hoa Thian-hong merasakan hatinya sakit seperti diiris-iris, dia segera membentak keras, “Pia
Leng-cu, apa yang kau inginkan?”
“Kau punya apa?” jawab Pia Leng-cu sambil tertawa terbahak-bahak, “haaah…. haaah…. aku
lihat nona cantik ini berbadan putih, jelas bukan gadis sembarangan, aku segan untuk menukar
dengan benda apapun!”
“Bicaralah terus terang, apa tujuanmu yang sebenarnya?” kembali Hoa Thian-hong membentak.
Dengan mimik wajah menyeramkan Pia Leng-cu berteriak, “Akupun tak akan berbohong lagi, asal
engkau persembahkan pedang baja itu kepadaku, segera kubebaskan Pek Kun-gie, kedua belah
pihak sama-sama memperoleh apa yang diinginkan dan rasanya kitapun tidak saling dirugikan”
“Thian-hong” dengan cemas Pek Kun-gie berteriak, “dia paksa aku untuk membacakan isi catatan
kiam keng bu kui, pedang baja itu lebih baik…. lebih baik bawalah kabur, kau tak usah
menggubris aku lagi….!”
Tentu saja gadis ini ingin sekali meloloskan diri dari cergkeraman mulut srigala, tapi dia kuatir
lantaran persoalannya sehingga mengakibatkan kekasihnya harus temui banyak kesulitan, ketika
beberapa patah kata itu diucapkan keluar, hatinya terasa remuk redam, isak tangispun makin
menjadi.
Pia Lerg cu merasa amat gusar sekali, dengan mendongkol ia menengadah dan tertawa seram.
“Haah…. haaah…. haaah…. baiklah! kalau begitu engkau boleh selalu mengikuti aku, setelah
mendarat nanti aku pasti akan memberi kepuasan seks untukmu, aku tanggung engkau pasti
akan kenikmatan dan sepanjang masa tak akan terlupakan kembali, haaah…. haaaah…. asal aku
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
381
temani seorang gadis cantik seperti engkau, apa salahnya kalau Cou-su ya mu melepaskan
semua urusan dan pusatkan perhatian pada dirimu seorang? Haah…. haah…. puas puas! Hahh….
haaah…. haaah….”
Waktu itu cuaca amat gelap, awan hitam menyelimuti jagad, ombak pun menggulung dengan
hebatnya. Pia Leng-cu memang ada niat untuk bikin keder hati Hoa Thian-hong, maka gelak
tertawanya yang mendekati kalap itu kedengaran amat menusuk pendengaran, ibaratnya jeritan
kuntilanak atau lolongan srigala dimalam hari, membuat siapapun yang mendengar, merasakan
hat nya jadi bergidik.
Sementara itu perahu penyeberang didepan
sampan kecil itu berada delapan sembilan kaki dibelakangnya, ditengah gulungan ombak dan
arus air yang kencang, dua buah perahu itu meluncur kedepan dengan cepatnya.
Panjang sampan kecil itu cuma beberapa kaki, sama sekali tidak sesuai digunakan dalam situasi
semacam ini, ditengah gulungan ombak yang tinggi dan besar, setiap saat sampan itu terancam
pecah beran takan jadi berkeping-keping, keadaannya sangat berbabaya sekali.
Ditengah kegelapan, Hoa Thian Hang berdiri angker diburitan perahu, ia tidak berbicara, tidak
bergerak, seakan-akan sebuah pa tung arca didalam kuil, sepasang matanya yang tajam
memancarkan cahaya menggidikkan menatap sampan dibelakangnya tanpa berkedip, agaknya ia
merasa ragu-ragu dan untuk sesaat tak mampu mengambil keputusan.
Pek Kun-gie melingkar tak berkutik di atas sampan, sebab tangan dan kakinya di belenggu oleh
otot kerbau yang kuat, saat itu dia hanya bisa menangis dengan sedihnya.
Ditengah kegelapan ia dapat menyaksikan sepasang mata kekasihnya yang melotot tajam, ia
menyadari posisi pemuda itu, tidak mungkin baginya untuk serahkan pedang baja itu karena dia,
tapi dia tetap menaruh harapan itu, meskipuu harapannya tipis sekali.
Beberapa saat kemudian, sampan kecil itu sudah mendekati tengah sungai, jaraknya dengan
peraru penyebrang semakin dekat, dalam hati Pia Leng-cu lantas berpikir, “Ibu dan istri Hoa
Thian-hong masih bersembunyi didalam kereta besar itu, dengan kehadiran dua orang itu tentu
saja Hoa Thian-hong merasa tak leluasa untuk serahkan pedang bajanya untuk ditukar dengan
Pek Kun-gie, agaknya pertukaran syarat ini tak dapat dijalankan pada malam ini!”
Karena berpendapat demikian, dia segera ambil keputusan didalam hati, serunya dengan penuh
perasaan benci, “Orang she Hoa, simpanlah pedang baja itu dan jagalah seluruh kolong langit!
Biar cousu ya mengundurkan diri saja dari dunia persilatan dan jauh meninggalkan daratan!”
Berbicara sampai disitu, dia lantas putar kemudi mendayung sampan kecil itu menuju ketepi
sebelah kanan.
Keadaan dalam sungai pada waktu itu sangat berbahaya, jika sampai tercebur kedalam sungai
kendatipun Pia Leng-cu masih mampu menyelamatkan diri namun sulit baginya untuk membawa
Pek Kun-gie naik kedaratan, walaupun diluaran dia bersikap keras padahal dalam hati merasa
sangsi dan sukar ambil keputusan.
Tapi akhirnya ia nekad untuk mengundurkan diri dari situ, secepat kilat arah sampan diputar dan
sejenak kemudian sampan itu sudah tinggal dua kaki dari tepi pantai.
Hancur lebur perasaan hati Pek Kun-gie, meskipun selama berada diatas loteng kecil itu dia
pandang kematian bagaikan pulang kerumah, tapi sekarang kekasihnya berada didepan mata,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
382
keinginannya untuk melanjutkan hidup kuat sekali, ketika dilihatnya Hoa Thian-hong tetap
membungkam, tak tahan lagi dia berseru dengan sedih, “Thian-hong! Aku….!”
“Pia Leng-cu!” mendadak Hoa Thian-hong membentak nyaring.
Imam tua itu tercekat, cepat ia menegur, “Bagaimana? Mau pedangnya atau mau orangnya?”
“Pedang ini kuserahkan kepadamu, cepat dayung perahu itu kemari….!”
Pia Leng-cu sangat kegirangan, cepat-cepat ia putar kemudi dan mendayung kembali perahu itu
ketengah sungai, sementara itu Hoa Thian-hong telah berpesan pula kepada pemegang kemudi
perahunya agar perahu mereka dimiringkan sehingga bergeser kemari.
Pek Kun-gie sendiri merasakan hatinya sangat terhibur, ia menggigit bibirnya rapat-rapat
sementara air mata jatuh bercucuran dengan derasnya, ia merasa terharu bercampur terima
kasih, saking emosinya sehingga tak sepatah katapun sanggup diucapkan keluar.
Ia tahu pedang baja itu bukan saja sangat penting artinya bagi Hoa Thian-hong, didalam senjata
itu pun tersimpan kitab kiam keng yang amat luar biasa, kesediaan pemuda itu untuk
mengorbankan pedang bajanya benar-benar merupakan suatu pengorbanan yang paling besar
dari pemuda itu bagi dirinya.
Tentu saja Pek Kun-gie merasa amat terharu.
Dalam pada itu, sampan kecil itu sudah makin mendekati perahu penyebrang, selisih jarak
mereka tinggal
“Hoa Thian-hong, engkau harus mengerti, asal pinto menggerakkan tanganku, niscaya Pek Kungie
segera akan mati binasa, kalau engkau hendak menggunakan siasat untuk membongi aku,
menyesallah engkau nantinya….!”
Hoa Thian-hong cabut keluar pedang baja itu dari pinggangnya, lalu berseru dengan dingin,
“Setiap patah kata yang telah kuucapkan selamanya tak akan ku jilat kembali, asal engkau
biarkan Pek Kun-gie loncat naik keatas perahuku, pedang baja ini segera kuserahkan pula
kepada mu, ucapan seorang pria sejati selamanya tak akan disesalkan kembali!”
Pia Leng-cu tidak langsung menjawab, pikirnya, “Berbicara dari tabiat bocah keparat ini, setiap
perkataannya memang dapat dipercaya, cuma…. masalah ini menyangkut urusan yang sangat
besar, dan lagi….”
Sinar matanya dialihkan sekejap keatas tubuh Pek Kun-gie, timbul perasaan sayang untuk
melepaskan gadis itu sebelum sempat mencicipi keperawanan tubuhnya.
Sementara itu Hoa Thian-hong telah berkata lagi dengan suara dingin, “Dalam waktu singkat
perahu-perahu armada di bawah pimpinan Kiu-im Kaucu akan tiba disini, ketahuilah aku sudah
ambil keputusan yang bulat, kalau engkau tetap ragu-ragu dan lewatkan kesempatan baik ini,
janganlah salahkan diriku lagi”
Pia Leng-cu sugera tertawa dingin.
“Heeh…. heeh…. heeh…. kalau sampai terjadi begitu, akan kubunuh Pek Kun-gie, kemudian
sambil bertepuk tangan segera berlalu dari sini”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
383
Kalau sampai terjadi begitu maka aku orang she Hoa akan tinggalkan semua urusan yang ada,
biar naik kelangit atau masuk kebumi, aku bersumpah akan mencingcang tubuhmu jadi
berkeping-keping”
Mendengar ancaman tersebut, Pia Leng-cu merasakan hatinya tercekat, tiba-tiba temukan
perahu penyeberang itu sedang bergerak mendekati ke arahnya, ia makin terparanjat, cepatcepat
dia gerakan dayung dan membawa sampan itu menyingkir kesamping, hardiknya keraskeras,
“Ayoh putar kemudi perahumu!”
Dalam gugupnya tenaga dayungan tersebut terlampau kuat, ketika sampan kecil itu
bertumbukan dengan ombak yang menggulung tiba dari arah depan hampir saja mereka terbalik
kesungai.
Tubuh Pek Kun-gie terguling kesamping diiringi jeritan tajam karena kaget.
Hoa Thian-hong yang berada diatas perahu penyeberangpun merasa amat terperanjat hampir
saja dia ikut menjerit kaget.
Untung Pia Leng-cu pandai mengendalikan diri, dalam gugupnya sepasang tangan bekerja
bersamaan waktunya, sampan itu segera dapat terkendali kembali keseimbangannya.
Dalam segala kegugupan dan kerepotan, kakinya menginjak tubuh Pek Kun-gie yang terguling
sehingga tidak sampai tercebur kedalam sungai, kendatipun begitu sampan kecil tadi sudah
kemasukan air setinggi dua cun lebih sedikit.
Saking terperanjatnya, peluh dingin membasahi seluruh tubuh Pia Leng-cu, sambil memandang
ke arah perahu penyeberang dia menyeringai seram katanya, “Kalau engkau berani merapatkan
kembali perahu penyeberangmu itu, jangan salahkan kalau kubunuh dulu Pek Kun-gie
dihadapanmu”
Hoa Thian-hong sendiri setelah hilang rasa kagetnya, segera tertawa dingin tiada hentinya.
“Heehh…. heehh…. heehhh…. akhirnya berjalan juga direl yang benar, kalau toh memang begitu
biarlah segalanya pasrah pada takdir….”
Meskipun begitu ia tetap memberi tanda kepada anak buahnya agar jangan terlalu mendekati
sampan kecil itu lagi.
Arus sungai didaerah sekitar tempat itu sangat deras, tempat semacam ini paling tidak
menguntungkan kalau digunakan untuk penyeberangan, perahu yang besarpun harus mengikuti
arus dengan keadaan sangat bahaya, apalagi sampan yang kecil itu, keadaannya jauh lebih
mendebarkan.
Semua orang berusaha untuk mentemramkan hatinya padahal dalam hati kecilnya jantung terasa
berdebar keras, semua orang berharap agar adegan ini bisa cepat-cepat terselesaikan dan semua
orang naik kedaratan dengan selamat.
Hoa Thian-hong tak berani banyak tingkah karena kuatir mencelakai jiwa Pek Kun-gie, sebaliknya
Pia Leng-cu menyadari kalau ilmu silatnya bukan tandingan lawan, ia selalu berusaha untuk
mencegah penyergapan dari Hoa Thian-hong, karena kedua belah pihak sama menjerikan
sesuatu dari musuhnya, maka untuk sesaat suasanapun diliputi dalam keheningan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
384
Akhirnya Pia Leng-cu buka suara memecahkan kesunyian yang mencekam disekitar tempat itu,
“Lemparkan pedang itu kepadaku, aku segera akan tinggalkan sampan ini dan berenang
kedaratan, aku jamin Pek Kun-gie tak akan kuganggu barang seujung rambutpun.”
“Thian-hong, jangan tertipu, dia telah bilang….” tiba-tiba Pek Kun-gie menghentikan teriakannya.
Pia Leng-cu pernah berkata kepadanya bukan saja pedang itu dia mau, orangnya pun dimaui
juga, sebenarnya Pek Kun-gie hendak menyampaikan kata-kata itu tapi setelah ucapan sampai
dibibir, mendadak ia merasa malu untuk melanjutkan, maka dia segera membungkam.
Hoa Thian-hong segera tertawa dingin.
“Heeh…. heehhh…. heehh…. Pia Leng-cu, apakah kepercayaan dari Hoa Thian-hong tak dapat
melampaui dirimu?”
“Masalah ini menyangkut urusan yang sangat besar, kenapa aku tak boleh menaruh curiga?”
teriak Pia Leng-cu dengan gusar.
Hoa Thian-hong tertawa.
“Apa yang perlu kau curigai?”
“Masalah ini adalah suatu masalah yang amat besar, apakah engkau dapat memutuskan sendiri?
Hmm! dengan menggunakan pedang baja ditukar dengan orang, apakah ibumu menyetujui?”
Hoa Thian-hong segera tertawa tergelak.
“Haah…. haaah…. haaah…. sungguh tak nyana engkau bisa memahami kesulitanku, kalau toh
sudah tahu begitu tidak sepantasnya kalau engkau datang kemari?”
Pia Leng-cu menyeringai seram.
“Undang ibumu keluar dan biar dia yang berbicara, aku hanya percaya dengan perkataan dari
Bun Siau-ih kalau tidak lebih baik pembicaran ini kita batalkan!”
Mendengar perkataan tersebut Hoa Thian-hong segera menengadah dan tertawa terbahakbahak.
“Haahh…. haah…. haaah…. Pia Leng-cu agaknya pikiranmu sudah tersumbat oleh kerakusanmu
sehingga kecerdikan yang kau miliki tersapu lenyap, sungguh bikin hatiku jadi geli”
Agak tertegun Pia Leng-cu setelah mendengar perkataan itu, tapi hanya sebentar saja dia lantas
menyadari apa yang sudah terjadi.
Seandainya ibu dan istrinya berada diatas perahu mungkinkah Hoa Thian-hong bersikap begitu
tenang bahkan menghentikan perahunya ditengah sungai untuk berbicara dengan dirinya? Dan
mungkinkah dia bersedia membiarkan ibunya menempuh bahaya karena persoalan Pek Kun-gie?
Setelah menyadari apa yang terjadi diam-diam ia bersuara didalam hati kecilnya, “Ooh, rupanya
aku terkena siasat memancing harimau turun gunung, jelas kereta tersebut tiada orangnya!”
Mula-mula ia terkejut, menyusul jadi sangat gembira, sebab andaikata disitu hadir Bun Siau-ih
dan Chin Wan-hong, untuk memaksa Hoa Thian-hong menyerahkan pedang bajanya jelas bukan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
385
suatu pekerjaan yang gampang, sebaliknya kalau kedua orang itu tidak hadir disana, dengan usia
Hoa Thian-hong yang masih muda, dia pasti bersedia untuk menukar pedang bajanya dengan diri
Pek Kun-gie….
Sementara dia masih termenung, Hoa Thian-hong telah tertawa terbahak-bahak.
“Haah…. haaah…. haaah…. Pia Leng-cu, kenapa tidak kau tenangkan hatimu dan dengarkan
dengan seksama? Kiu-im Kaucu telah munculkan diri dibelakang kita berdua, tapi engkau sama
sekali tidak merasa, apakah kedaaanmu itu tidak terlalu menggelikan?”
Sekali lagi Pia Leng-cu merasa amat terperanjat, ia merasa kegelapan mencekam seluruh jagad
dan lagi angin serta ombak menggulung dengan dahsyatnya, tiada sesuatu yang berhasil ia lihat
dan tiada sesuatu yang sempat ia dengar.
Berbicara tentang ketajaman pendengaran serta penglihatan, maka ia masih kalah jauh kalau
dibandingkan dengan Hoa Thian-hong, sebab bukan saja si anak muda itu telah makan Racun
teratai empedu api, dia pun menelan Leng-ci mustika yang berusia seribu tahun, tenaga dalam
yang dia miliki sekarang telah mencapai puncak kesempurnaan, tentu saja kehebatan yang dia
miliki pun jauh melebihi orang lain.
Ketika itu selisih jarak mereka cuma empat
lebih hanya sempat memandang bayangan tubuhnya belaka, sebaliknya pemuda itu dapat
memperhatikan semua gerak-gerik Pia Leng-cu dengan sangat jelas sekali.
Tatkala dilihatnya paras muka imam tua itu menunjukkan rasa kaget bercampur gelisah, seakanakan
dia tak merasakan suatu apa pun, tak dikuasai lagi dia tertawa geli, katanya, “Suara
gulungan ombak memecah dikedua belah tepian pantai, coba bayangkan sendiri, kecuali Kiu-im
Kaucu telah munculkan diri, siapa lagi yang telah datang?”
Pia Leng-cu makin terkesiap, ia segera berpikir didalam hati, “Jarak antara sini sampai perahunya
tinggal
loncat maka dia bisa mencapai sampanku ini, lebih baik aku bersikap lebih berhati-hati….!”
Berpikir sampai disitu, dengan suara tajam dia lantas membentak.
“Ujung kakiku sekarang telah menempel diatas jalan darah Leng-thay hiat dari Pek Kun-gie, kalau
engkau berani melakukan suatu pergerakan, jangan salahkan kalau aku berhati kejam!”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Tujuan dari Kiu-im Kaucu hanya ingin merampas pedang baja itu belaka, lebih baik berjagajagalah
terhadap dirinya!”
Pia Leng-cu mendengus dingin, dia segera pusatkan semu pikirannya dan periksa keadaan
disekeliling tempat itu dengan seksa ma, apa yang kemudian terdengar ternyata membuktikan
dengan tepat apa yang telah diucapkan si anak muda itu.
Sepuluh sampai dua puluh kaki dibelakangnya, terdengarlah suara ombak yang memecah
ketepian tertumbuk perahu, padahal di daerah sekitar tempat itu tiada perahu lain kecuali Kiu-im
Kaucu yang telah munculkan diri, tak mungkin ada orang lain lagi.
Sedikit banyak imam tua ini menjadi panik, ia sadar kepandaian silatnya bukan tandingan orang,
untuk malu takut dihadang harimau untuk mundur telah dihadang pula oleh srigala, dalam
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
386
keadaan demikian ia semakin gugup dan panik, dia mulai menyesal mengapa terlalu pandang
enteng musuhnya dan mengejar pula sampai ketengah su ngai.
Bila sekarang juga dia mundur ketepian, niscaya perahunya bakal dihadang oleh perahu-perahu
dari Kiu-im Kaucu, padahal pedang baja belum sampai jatuh ketangannya bisa dibayangkan
betapa gugup dan menyesalnya Pia Leng-cu.
Tiba-tiba terdengar Hoa Thian-hong berseru dengan suara lembut, “Kun Gi!”
“Emmm…. Aku ada disini” dengan cepat Pek Kun-gie menjawab.
Sekilas senyuman sedih menghiasi ujung bibir si anak muda itu, ujarnya lebih lanjut,
“Dengarkanlah perkataanku, walaupun manusia dapat hidup seratus tahun lagi, akhirnya dia toh
tetap harus mati, usia manusia telah ditentukan oleh Thian, apabila nasib memang menentukan
harus mati, lebih baik pasrah saja pada kehendak alam, mengertikah engkau dengan
perkataanku ini?”
“Mengerti, aku tak takut mati!” jawab dara itu dengan lembut dan halus.
“Ibuku sangat menaruh perhatian atas dirimu, Wan hong menyayangi pula dirimu, kami berharap
agar engkau tetap hidup dalam keadaan segar bugar, ingatlah selalu akan kata-kataku ini!”
“Akan kuingat selalu” sahut Pek Kun-gie dengan air mata bercucuran, “Aku akan menuruti
perkataanmu, kalau tak bisa hidup lagi maka aku akan segera habisi nyawaku sendiri”
Air matapun mengembang dikelopak mata
menguatirkan diri mu dinodai, tapi sekarang dengan kehadiranku ditempat ini, sekalipun
nyawamu tak dapat kuselamatkan, akupun tak akan membiarkan dirimu dibawa pergi lagi,
mengertikah kau?”
“Aku mengerti, engkau tak usah terlalu merisaukan diriku”
“Andaikata engkau mengalami musibah yang tak dapat dihindari lagi, itu berarti kematianmu
lantaran aku, ibuku masih hidup, aku tak bisa mengiringi kematianmu itu, tapi kalau aku sudah
mempunyai keturunan, maka aku segera akan cukur rambut menjadi pendeta, aku akan
mengasingkan diri sebagai ungkapan rasa terima kasihku kepada mu!”
“Jangan…. aku ingin kau tetap hidup…. hidup seratus tahun lagi!” seru Pek Kun-gie sambil
menangis tersedu-sedu.
Pia Leng-cu yang mengikuti jalannya pembicaraan itu makin lama semakin terperanjat, tak tahan
lagi akhirnya dia membentak keras, “Hoa Thian-hong, engkau anggap dirimu sebagai seorang
pendekar sejati, apakah ucapanmu kau anggap sebagai kentut belaka?”
Setiap perkataan yang telah kuucapkan selamanya tak akan kujilat kembali.
“Engkau telah berjanji akan menukar pedangmu dengan orang!” teriak Pia Leng-cu gusar.
“Biarkan Pek Kun-gie loncat naik keatas perahu penyeberangku, pedang baja ini segera
kuserahkan kepadamu!”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Engkau harus cepat ambil keputusan, kalau
tidak sekalipun pedang baja ini berhasil kau peroleh, belum tentu kau bisa lolos dari tempat ini.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
387
Tahun ini usia Pia Leng-cu sudah mencapai tujuh puluh tahun lebih, walaapun akalnya tidak
termasuk panjang, namun pengalaman yang diperolehnya cukup banyak, menyaksikan
keterangan dari Hoa Thian-hong dia malah ragu-ragu untuk menerima pertukaran syarat
tersebut, bagaimanapun juga dia tak percaya kalau pihak lawan benar-benar berhasrat untuk
menukarkan pedangnya dengan dara tersebut.
Berulang kali ia memikirkan persoalan itu, namun toh akhirnya ia tak dapat ambil keputusan,
lama-kelamaan ia lantas jadi nekad, dengan suaa yang menyeramkan dia berseru, “Kalau dibalik
rencanamu ini terselip maksud-maksud yang tak beres, lebih baik terang kau lebih dahulu mulai
sekarang. Kalau tidak….”
“Hmm! Lebih baik adu jiwa daripada terjebak oleh siasat licikmu itu”
Hoa Thian-hong tersenyum.
“Emmm! rupanya jadi orang kau terlalu berhati-hati, padahal sekalipan aku bicara tetus terang
engkau juga tak akan mempercayainya, ketahuilah setelah pedang baja ini kuberikan kepadamu
dan pertukaran syaratmu sudah berjalan sebagai mestinya, maka akan kuikuti terus jejakmu
walau sampai keujung langit atau kedasar samudra pun sampai pedang baja itu akhirnya
berhasilku rampas kembali”
Tertegun hati Pia Leng-cu setelah mendengar perkataan itu, untuk beberapa saat lamanya dia
membungkam dan tak mau mengucapkan sepatah katapun.
Haruslah diketahui, berbicara tentang ilmu meringankan tubuh, ilmu pedang, ilmu kepalan
maupun tenaga dalam, Hoa Thian-hong masih berada diatas kepandaiannya, kalau si anak muda
itu sudah ambil keputusan untuk mererut kembali senjata tersebut, sulitlah baginya untuk
meelayani kehendak orang.
Tiba-tiba dari atas permukaan sungai berkumandang suara terompet yang amat nyaring.
Suara terompet yang dibunyikan dengan sebuah keong ini biasanya hanya digunakan oleh kaum
perompak dan bajak laut sebagai pertanda, diatas sungai apalagi daratan hampir boleh dikata
tak pernah terdengar suara semacam itu, tanpa sadar beberapa orang itu dibuat tertegun
jadinya.
Suara pekikan yang nyaring dan menggetarkan sukma itu berkumandang ditengah kegelapan
menembusi udara, tiba-tiba dari permukaan sungai muncullah titik-titik cahaya api.
Dari depan belakang, kiri maupun kanan pada saat yang bersamaan muncullah enam buah
perahu besar, diujung setiap perahu berdirilah belasan orang pria berpakaian anti air
yangberwarna hitam, ditangan masing-masing mencekal obor ditangan kiri dan senjata ditangan
kanan.
Walaupun kedatangan rombongan itu amat cepat dan besar sekali jumlahnya, akan tetapi
suasana tetap hening dan tak kedengaran sedikit suara pun.
Pada perahu besar yang ada dipaling belakang duduklah seorang nenek baju hitam yang
berambut panjang dan memegang toya kepala setan, orang itu bukan lain adalab Kiu-im Kaucu
yang munculkan diri untuk pertama kalinya dalam pertemuan besar Kian ciau tayhwee.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
388
Enam buah perahu itu bergerak maju menembusi gulungan ombak, dalam waktu singkat mereka
telah mengepung Hoa Thian-hong dan Pia Leng-cu ditengah gelangang, perahu bagian depan
segera bergerak makin lambat sementara perahu dibelakang menyusul ke muka, kian lama
kepungan itupuno kian merapat.
Hoa Thian-hong sendiripun mempunyai perhitungan yang amat masak, namun dia sama sekali
tak menyangka kalau anak buah yang dibawa Kiu-im Kaucu untuk menyergap dirinya berjumlah
begitu banyak, setelah menyaksikan kehadiran musuh diam-diam hatinya merasa terperanjat.
Pedang bajanya segera ditarik kembali, setelah merampas sebuah gala yang panjang dia
menyingkir kesampmg dan serunya kepada orang-orang yang ada diatas perahu, “Atas bantuan
dari kalian semua, kuucapkan banyak-banyak terima kasih, cepatlah kalian terjun kedalam air
untuk menyelamatkan diri, kalau terlambat mungkin akan terjatuh ketangan lawan”
Pria yang pegang kemudi perahu itu segera menjura, sahutnya dengan suara nyaring, “Hamba
sekalian merasa kalau ilmu silat yang kami miliki sangat cetek, daripada mengganggu perhatian
yaya lebih baik ham ba sekalian mohon diri lebih dahulu, semoga yaya baik-baik menjaga diri”
Habis berkala dia segera terjun kedakam air.
Diatas perahu semuanya ada enam orang pria kekar, saat itu mereka semua maju menjura
kemudian masing-masing terjun kedalam air untuk menyelamatkan diri.
Mereka berenam adalah penduduk
mensukseskan siasatnya memancing per hatian musuh ini sengaja Hoa Thian-hong minta
bantuan dari Ko Thay untuk mengaturkan segala sesuatu baginya.
Waktu itu nama besar Hoa Thian-hong telah menggetarkan sungai telaga, ibaratnya sang surya
ditengah awan, semua orang kangou yang dimintai bantuannya rata-rata merasa bangga dan
bersedia untuk memberikan bantuannya.
Walaupun ilmu silat yang dimiliki beberapa orang itu sangat rendah, akan tetapi mereka lihay
dalam ilmu berenang, ditengah gulungan ombak yang amat dahsyar beberapa orang itu segara
menyelam kedalam air dan meluncur menuju ketepian, dalam waktu singkat mereka sudah
berada puluhan kaki jauhnya dari perahu mereka, dalam keadaan begini anak buah dari Kiu-im
Kaucu tak ada yang berani menghalangi, sebab mereka tidak mendapat perintah untuk berbuat
demikian.
Sementara itu perahu yang ditumpangi Kiu-im Kaucu sudah bergerak semakin dekat, jarak
masing-masing pihak tinggal delapan kaki, tampaklah perahunya bergerak kekanan dan lansung
menerjang ke arah sampan kecil yang ditumpangi Pia Leng-cu.
Menyaksikan terjangan tersebut, imam tua itu tercekat hatinya, buru-buru dia mendayung
sampannya dan bergerak dua tiga kaki lebih mendekati perahu yang ditumpangi Hoa Thianhong.
Tiba-tiba ia buang papan kayu itu dan cabut keluar pedang boan liong poo kiam, dengan tangan
kiri mengempit Pek Kun-gie, bentak nya keras-keras, “Eh orang she Hoa, engkau inginkan Pek
Kun-gie dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati?”
Kiu-im Kaucu segera tertawa tergelak dari kejauhan, cepat dia menanggapi, “Tentu saja mau
yang hidup, sebilah pedang baja berapa banyak artinya? Ayoh di tukar saja!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
389
Sementara pembicaraan masih berlangsung, perahunya sudah mengejar beberapa kaki lebih
kedepan.
Sementera itu Hoa Thian-hong berdiri tepat diburitan perahu, dengan kakinya dia menahan
kemudi, tangannya mencekal sebuah gala yang panjang, dengsn pandangan tajam mengawasi
semua gerak-gerik yang terjadi didepan mata.
Ia telah perhitungkan keadaan dengan jitu dia tahu Pia Leng-cu ibaratnya katak masuk
tempurung, tak mungkin ia berani turun tangan keji secara sembarangan, maka sambil
tenangkan hatinya, ia sama sekali tidak menggubris teriakan orang.
Pia Leng-cu merasa kejut bercampur gusar ketika dilihatnya perahu yang ditumpangi Kiu-im
Kaucu kembali menerjang sampannya, ia tahu kalau sampai tertumbuk niscaya dia bakal tercebur
kedalam air.
Dalam gugup dan gelisahnya, bawa nafsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, dia segera
berteriak, “Orang she Hoa, cepat putar kemudi dan hadang….”
Belum habis dia berkata, segulung ombak besar telah menyapu tiba membuat sampannya jadi
oleng, buru-buru Pia Leng-cu mengerahkan tenaganya dan menginjak bagian yang oleng dengan
kaki kirinya, dengan begitu keseimbangan sampan itupun dapat dipertahankan kembali.
Hoa Thian-hong yang mengikuti jalannya peristiwa itupun diam- diam mengucurkan peluh dingin,
ia paksa untuk tenangkan diri lalu ujarnya dengan ketus, “Aku orang she Hoa tak mampu
menolong engkau, kalau tahu diri cepatlah loncat naik keatas perahu besar!”
Sementara itu sampan kecil tadi sudah oleng kesana kemari dan kehilangan kendali, setiap saat
kemungkinan besar akan terbalik kedalam sungai, padahal perahu yang ditumpangi Pia Leng-cu
makin lama semakin mendekat, dalam hati Pia Leng-cu sadar, Pek Kun-gie yang dibuat sandera
cuma manjur kalau digunakan untuk menghadapi Hoa Thian-hong, sebaliknya Kiu-im Kaucu
justru berharap mengalami kegagalan total.
Setelah mempertimbangkan diri dan menyaksikan pula gelagat makin lama semakin tidak
menguntungkan, akhirnya dia ambil keputusan untuk menyingkir dari sampan tersebut, sambil
menggertak gigi dia enjotkan badan dan melayang keatas perahu besar.
“Lemparkan gadis itu kemari!” Hoa Thian-hong segera menghardik dengan muka dingin
membesi.
Pia Leng-cu terperanjat, sesudah tertegun beberapa saat dengan gusar ia membentak, “Hmm!
Kau anggap siapakah cousu ya mu ini? Berani benar main gertak dihadapanku?”
Hoa Thian-hong mendengus dingin, gala panjangnya digetarkan lalu menusuk kedapan.
Jurus yang digunakan adalah ilmu tombak Pat coa yang maha sakti, gala sepanjang dua kaki itu
diiringi deruan angin tajam dan ujung gala memancarkan cahaya hitam langsung menusuk
tenggorokan imam tua itu.
Pia Leng-cu terkejut bercampur gusar, ia menyingkir selangkah kesamping, pedangnya langkung
membabat gala itu.
Pedang mustika Boan liong po kiam ada lah sebilah pedang tajam, dalam perputaran yang
kencang, terbislah selapis cahaya hijau yang amat menyilaukan mata.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
390
Menyaksikan ketajaman pedang lawan, Hoa Thian-hong segera berpikir.
“Siluman toosu ini rakus dan tamak sekali, kalau tidak kubekuk sekarang juga dia pasti akan
balas menggertak aku, kalau sampai begitu aku tentu akan menderita kekalahan total!”
Sementara ia masih berpikir, serangan yang dilancarkan dengan gala itu telah meluncur datang
bagaikan hujan gerimis, menyerang secara gencar tanpa menguatirkan sesuatu, seakan-akan
pemuda itu sama sekali tidak memikirkan tentang keselamatan jiwa dari Pek Kun-gie.
Sambil mengempit tubuh Pek Kun-gie di bawah ketiak kirinya, tak urung timbul kecurigaan dalam
hati Pia Leng-cu, dia putar pedangnya sedemikian rupa untuk menyambut serangan-serangan
gencar lawan.
“Sudah lama aku dengar orang berkata kalau Pek Kun-gie mencintai bocah keparat itu, tapi
bocah itu sama sekali tidak membalas cintanya” pikir sang imam dihati, jangan-jangan gadis ini
memang benar-benar cuma bertepuk sebelah tangan belaka, padahal bocah she Hoa itu sama
sekali tidak menaruh hati kepadanya…. waah! kalau sampai begitu, akulah yang bakal berabe!”
“Criing!….” saat itulah perahu yang di tumpangi Kiu-im Kaucu kembali menerjang tiba, jangkar
baja yang amat besar tiba-tiba menyambar ke arah sampannya dan tepat mencengkeram diatas
geladak sampan kecil itu.
Pia Leng-cu tak lebih cuma sedang prajurit yang pernah menderita kekalahan ditangan Kiu-im
Kaucu, ia sangat jeri terhadap nenek tua itu, menyaksikan kehadirannya, dia jadi pecah nyali dan
ketakutan setengah mati, menggunakan kesempatan yang sangat baik itulah tiba-tiba Hoa Thianhong
membentak keras, gala yang dipakai untuk menye rang diputar sedemikian rupa sehingga
mirip dengan sebuah tusukan tombak, secepat kilat tahu-tahu menyergap keatas dadanya.
Pertarungan yang berlangsung antara kedua orang itu sebenarnya tidak terhitung sebuah
pertarungan yang membahayakan jiwa, sebab masing-masing pihak berdiri diujung perahunya
sendiri. Hoa Thian-hong berdiri diujung buritan sementara Pia Leng-cu berdiri diujung geladak.
Walaupun begitu, serangan
tusukan terakhir yang dilancarkan secara mendadak itu, tampaknya Pia Leng-cu segera akan
dipaksa untuk mence burkan diri kedalam sungai….
Untung dia cukup tangguh, reaksinya dalam menghadapi bahayapun cukup baik, dalam
gugupnya cepat ia loncat keudara dan loloskan tubuhnya dari tusukan maut tersebut.
Dengan muka penuh nafsu pembunuhan, Hoa Thian-hong membentak keras, “Lemparkan dara
itu kemari!”
“Engkau punya muka tidak?” teriak Pin Leng cu dengan marah.
“Hmm!” Hoa Thian-hong mendengus dingin, “berbicara dari keadaan yang terbentang saat ini,
aku percaya engkau tak akan mampu melindungi keselamatan sanderamu, hmmm! Jika engkau
tahu diri, cepat lemparkan data itu kepadaku, hitung-hitung kita bikin hubungan persahabatan,
siapa tahu dengan perbuatanmu itu, akupun bersedia pertaruhkan selembar jiwaku untuk bantu
selamatkan jiwamu dari bencana”
Jilid 20
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
391
Kiu-im Kaucu yang duduk dikursi kebesarannya, tiba-tiba menyambung dengan nada mengejek.
“Huuh! Memangnya engkau mampu untuk selamatkan jiwanya?”
Hoa Thian-hong tertawa dingin.
“Menang kalah sampai sekarang toh belum ketahuan, buat apa engkau musti bergembira lebih
dulu?”
Dalam pada itu, keenam buah perahu besar dari perkumpulan Kiu-im-kauw telah mengepung
rapat perahu yang ditumpangi Hoa Thian-hong, keenam perahu tersebut dihubungkan satu sama
lainnya dengan rantai baja yang sangat kuat, hingga dengan begitu terciptalah suatu gelang
rantai yang mengitari sekeliling sungai.
Sementara perahu penyeberang yang ditumpangi Hoa Thian-hong hanya berada dua kaki dari
perahu pengepung, dalam sekali lompatan sebenarnya kedua belah pihak sanggup untuk
meloncat keperahu lawan.
Akan tetapi, berhubung arus air sungai amat deras maka susahlah bila ada orang ingin
menyeberang keatas perahu lawan, sebab dalam kenyataan perahu itu masih tetap bergerak
mengikuti gerak arus air yang sangat deras itu.
Tercekat hati Pia Leng-cu setelah mengawasi sebentar keadaan disekelilingnya, kepungan musuh
terlalu tangguh, dalam keadaan begini tidak sukar baginya kalau ingin selamatkan jiwa sendiri,
tapi untuk kabur sambil membawa sandera jelas hal itu hanya suatu impian belaka.
Kembali dia berpikir, “Bila situasi berubah lagi, sudah tentu Hoa Thian-hong akan berubah pikiran
pula, apa salahnya kalau kugukan kesempatan itu untuk saling bertukar barang dengan dia
mumpung pikirannya belum berubah dan dia belum punya ingatan untuk ingkar janji”
Begitu ambil keputusan dihati, ia segera membentak keras, “Hey bocah keparat, kulabulkan
permintaanmu itu, nah! sambutlah dara ini….”
Sekali ayun, dia melempar tubuh Pek Kun-gie ke arah perahu.
Hoa Thian-hong kuatir kalau Kiu-im-kauw lakukan pengacauan ditengah jalan, buru-buru dia
maju kedepan dan menyambut tubuh Pek Kun-gie.
Apa yang ia duga ternyata meleset, Kiu-im Kaucu tetap duduk tak berkutik dari tempat
duduknya, justru dia memang berharap pertukaran manusia dengan pedang bisa berjalan
dengan lancar. Apabila pedang baja itu sudah terjatuh ketangan Pia Leng-cu, itu berarti baik
pedang baja maupun pedang emas berada ditangan imam tua dari perkumpulan Thong-thiankauw
ini, asal dia melakukan penyergapan dan penangkapan dengan sepenuh tenaga dia yakin
usahanya itu pasti akan berhasil.
Dipihak lain, setelah menerima tubuh Pek Kun-gie, pemuda itu segera menegur lirih, “Gie,
engkau terluka?”
Betapa gembiranya Pek Kun-gie setelah berada disamping kekasihnya, ia menggeleng.
“Tidak, aku tidak terluka, cuma tangan dan kakiku diikat dengan otot kerbau, pakaianku juga….
juga sudah rusak!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
392
Hoa Thian-hong mengerutkan dahinya, ia memandang dara itu sekejap, pakaian yang dikenakan
adalah sebuah jubah warna hijau yang kedodoran, sekalipun begitu tidak menutupi kecantikan
wajahnya.
Cepat ia meraba otot kerbau yang membelenggu tangan kirinya, sekali pencet dengan kelima jari
tangennya, otot kerbau yang kuat dan ulet itu seketika terputus jadi beberapa bagian.
“Masuklah kedalam kereta” bisik pemuda itu kemudian, “disitu sudah tersedia pakaian, engkau
harus ganti pakaian dengan cepat!”
“Tangan dan kakiku masih kaku, aku tak dapat jalan sendiri! bisik Pek Kun-gie pula dengan
aleman”
Terpaksa Hoa Thian-hong merangkul pinggang dara itu menuju ke arah kereta, kemudian
menyingkap horden dan membantu pula gadis itu naik kedalam kereta.
Tiba-tiba Kiu-im Kaucu alihkan sorot matanya ke arah kereta kuda itu, kemudian sambil tertawa
nyaring berseru.
“Hmmm Hebat sekali siasatmu untuk mengelabuhi musuh, sampai-sampai akupun kena kau
tipu!”
Perasaan hati Hoa Thian-hong agak bergerak.
“Terima kasih atas perhatian dari kaucu, tentunya engkau sudah memberi muka kepadaku”
katanya.
“Oooh…. tentu saja!”
Hoa Thian-hong tertawa dingin.
“Heeeh…. heeeeh…. heeeh…. perlu engkau ketahui, siasat ini kunamakan mengelabubi langit
menyeberangi samudra, sekarang ibuku su dah tiba diutara sungai, apakah kaucu sudah
mengetahui akan hal ini?”
Mula-mula Kiu-im Kaucu agak tertegun, menyusul mana sambil tertawa sahutnya,
“Perkampungan Liok Soat Sanceng merupakan suatu perkampungan besar dalam dunia
persilatan, cepat atau lambat aku bakal ber kunjung keutara, suatu ketika pasti akan kukunjungi
pula perkampungan itu. Cuma…. Hmm! Saat ini Hoa ya sedang berada dipung gung harimau,
aku rasa lebih baik sementara waktu berjaga disini saja, apa gunanya mengejar kesitu?”
Mendengar jawaban tersebut, diam-diam Hoa Thian-hong merasa kegirangan, pikirnya, “Kalau
kudengar dari jawabannya, jelas rencana matang yang kami susun tidak sampai diketahui
olehnya….”
Setelah meninggalkan Giok Teng Hujin, Hoa Thian-hong sama sekali tidak pergi mencari Ko thay,
diapun tidak mencari jejak Pek Kun-gie, melainkan kembali kerumah penginapannya.
Disana ia memperoleh laporan yang sangat terperinci dari Ko thay yang mengatakan, bukan saja
Kiu-im Kaucu telah membawa anak buahnya menjaga sungai Huan ho, bahkan orang-orang dari
Mo-kauw aliran Seng sut pay juga menyiapkan orangnya di tepi seberang untuk melakukan
penyergapan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
393
Maka dipersembabkanlah sebuah siasat bagus untuk melepaskan diri diri incaran musuh.
Dalam siasat tersebut dianjurkan kepada Hoa Thian-hong untuk pura-pura membawa
keluarganya menyeberangi sungai, tindakannya itu pasti akan memancing perhatian semua
lawan-lawannya, sementara Chin Wan-hong serta Tio Sam-koh bertugas mengawal Hoa Hujin
kabur lewat pintu selatan, bukan menyeberangi sungai Hoan ho melainkan hanya berdiam untuk
sementara waktu diluar
Dengan begitu perhatian dari Hoa Thian-hong pun dapat tertuju pada satu persoalan, ia bisa
menggunakan kesempatan yang ada untuk bertarung dengan sepenuh tenaga melawan musuhmusuhnya,
sekalian menyelesaikan pula pertikaiannya mengenai masalah kitab pusaka Kiam
keng.
Selesai membaca isi
enghiong yang muncul diantara kalangan muda itu, maka untuk menghindari terpancingnya
pihak musuh sampai dirumah hanya lantaran kitab Kiam keng, disamping itu demi selamatkan
pula jiwa Pek Kun-gie dari ancaman, diputuskanlah untuk melakukan semua siasat seperti apa
yang telah di atur.
Begitulah, ketika kentongan ketiga sudah tiba, Hoa Thian-hong terlebih dulu meninggalkan
rumah penginapan, tak lama kemudian Hoa Hujin dibawah lindungan Chin Wan-hong serta Tio
Sam-koh, dengan membawa serta Siau Ngo-ji segera ngeloyor keluar dari rumah penginapan dan
diam-diam kabur menuju kepintu
Walaupun semua persoalan telah diatur secara rapi dan sempurna, tak urung perasaan Hoa
Thian-hong masih belum tenang, dia kuatir kalau sampai terjadi sesuatu hal diluar dugaan.
Menanti Kiu-im Kaucu telah memberikan tanggapannya dan pemuda itu yakin kalau siasatnya tak
sampai bocor, perasaan hatinya baru lega sama sekali.
***
SEMENTARA itu api obor telah menerangi seluruh jagad, membuat suasana disekitar sungai jadi
terang benderang bagaikan disiang hari.
Tatkala dilihatnya paras muka Hoa Thian-hong menunjukkan rasa gembira, satu ingatan segera
melintas dalam benak Kio im kaucu, ia putar otak berusaha untuk memecahkan teka teki itu,
diapun bermaksud memancing dari pembicaraan lawan, namun untuk sesaat ia tak berhasil
menemukan kata-kata yang dianggapnya cocok.
Tiba tiba terdengar Pia Leng-cu membentak dengan gusar, “Hey manusia she Hoa perkataan
seorang lelaki sejati berat laksana bukit, engkau punya muka atau tidak?”
Hoa Thian-hong tertawa, ia cabut pedang baja dari pinggangnya lalu menjawab.
“Rupanya sekalipun engkau harus adu jiwa, incaranmu atas pedang baja tak akan berubah….?”
Pia Leng-cu makin naik darah, teriaknya, “Pek Siau-thian angkuh dan tak pandang sebelah mata
kepada orang lain, apa sangkut pautnya antara engkau dengan dia? Kenapa musti kau campuri
urusan pribadiku? toh putrinya yang kubekuk, Hmm! Engkau sendiri yang setuju kalau pedang
ditukar orang, memangnya aku paksa
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
394
Dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan itu, kegagahan dan kejantanannya lenyap tak
berbekas, sekalipun ucapannya masih keras dan ngotot akan tetapi wajahnya tak urung ikut
berubah jadi merah padam.
Berbicara menurut peraturan yang berlaku dalam dunia persilatan, pertikaian antara Pek Siauthian
dengan Pia Leng-cu sebagai sama-sama umat persilatan dari golongan hitam, Hoa Thianhong
tak berhak untuk ikat ambil bagian, kalau tidak maka dia akan dituduh orang sebagai
pemuda yang ikut campur dalam urusan orang karena terpikat oleh pipi licin (perempuan)….
Dengan sorot mata tajam, Hoa Thian-hong memandang sekejap ke arah Kiu-im Kaucu yang
duduk dikursi kebesarannya, setelah termenung sebentar ujarnya dengan muka serius, “Apa
yang aku orang she Hoa katakan tak pernah diingkari kembali, setelah aku berjanji akan berikan
kepadamu, benda itu sudah pasti akan kuserahkan kepadamu!”
“Kalau begitu cepat lempar kemari!” bentak Pia Leng-cu dengan gusar.
“Thian-hong, jangan berikan kepadanya!” tiba-tiba Pek Kun-gie berteriak keras.
Dengan suatu gerak yang cepat ibarat burung walet terbang diudara, ia melayang ke sisi pemuda
itu.
Setelah pakaiannya tercabik-cabik oleh sobekan pisau belati Pia Leng-cu, kini dara tersebut telah
menggantinya dengan seperangkat pakaian milik Hoa Thian-hong, tentu saja pakaian itu
kedodoran baginya.
Ujung baju yang terlalu panjang ia gulung keatas, pinggangnya diikat dengan seutas tali
pinggang warna putih, dandanannya bukan pria bukan wanita sehingga kelihatan lucu sekali.
Walau begitu wajahnya yang cantik sama sekali tidak hilang karena itu, apalagi setelah
berkumpul kembali dengan kekasih hatinya yang dirindukan siang malam, kegembiraan yang
bergolak sukar dikendalikan hingga terlibat nyata diatas wajahnya.
Mukanya yang berseri-seri dan senyum yang manis itu membuat paras mukanya yang sudah
cantik, kelihatan jauh lebih menawan hati.
Tak tahan Hoa Thian-hong melirik sekejap ke arahnya lalu tertawa geli.
“Ayoh berdiri disitu saja!” serunya, urusan yang ada disini biar aku sendiri yang selesaikan”
Dengan gemas dan penuh kemarahan, Pek Kun-gie meruding ke arah Pia Leng-cu, lalu mencaci
maki dengan gusarnya, “Huuh….! Hidung kerbau itu tak tahu malu, tua bangka belaka, manusia
cabul yang bejad moralnya, dia paksa aku untuk mengunggap catatan kiam keng bu kui….
engkoh Hong! Jangan berikan kitab kiam keng tersebut kepada tua bangka sekarat itu, biar dia
mampus penasaran….”
Betapa gusarnya Pia Leng-cu ketika mendengar makian itu, kontan sepasang matanya melotot
besar, dia hendak balas memaki tapi ketika pandangan matanya terbentur dengan wajah dara
itu, dia malah tertegun untuk sesaat tak sepatah katapun mampu diucapkan.
Perlu diketahui, sewaktu Pia Leng-cu berada berduaan dengan Pek Kun-gie tadi, berhubung
kesatu ruang loteng itu kecil lagi gelap, kedua Pek Kun-gie lagi uringan dan penuh menaruh
perasaan benci dan dendam, maka yang tertampak oleh Pia Leng-cu ketika itu hanya potongan
badannya belaka, kecantikan yang sesungguhnya dari dara itu sama sekali tidak kelihatan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
395
Lain halnya dengan keadaan waktu itu, meskipun ia sedang mencaci maki Pia Leng-cu, akan
tetapi ucapan itu ditujukan kepada Hoa Thian-hong, dalam pandangan imam tua itu terlihatlah
betapa cantik jelita dara itu sekalipun sedang memaki orang mukanya berseri manis, kerlingan
natanya menawan hati ditambah pula suaranya lembut seperti genta membuat orang terkesima
jadinya.
Dasar seorang imam cabul yang gemar main perempuan, Pia Leng-cu kontan merasakan
jantungnya berdebar keras, ia benar-benar terpersona, apalagi terbayang kembali lekukanlekukan
tubuhnya yang putih, halus dan padat berisi itu, tanpa sadar jantungnya berdebar keras,
hampir saja ia lupa sedang berada disana.
Hoa Thian-hong sendiri ketika mendengar perkataan dari Pek Kun-gie, sikapnya tetap halus dan
sekulum senyum tersungging diujung bibirnya, tapi begitu menjumpai keadaan Pia Leng-cu yang
kesemsem dengan mimik wajah yang menakutkan, timbul kembali hawa amarah dalam hatinya.
Ia segera ulapkan tangannya dan berseru.
“Aku toh hanya akan memberikan pedang baja itu, belum pernah kukatakan kalau kitab Kiam
keng itu akan kuserahkan kepadanya, menyingkirlah kesamping, aku akan bereskan sendiri
persoalan ini!”
Pek Kun-gie makin gelisah, kembali dia berseru, “Semua orang bilang kitab kiam keng itu ada
didalam pedang bajimu, jangan kau berikan kepadanya!”
“Aku hanya menyetujui untuk serahkan pedang ini kepadanya, namun tak pernah kusanggupi
untuk dibawa pergi olehnya, minggirlan kesitu, tak usah kuatir!”
Sungguh gelisah dan panik pikiran Pek Kun-gie, tapi ia tak berani membangkang perintah si anak
muda itu, terpaksa dengan hati berat dara itu menyingkir kesimping, diam-diam pedang
lemasnya dicabit keluar siap menghadapi sejala kemungkinan yang tidak diizinkan
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong telah menengadah dan memandang sekejap ke arah Pia Lengcu
dengan pandangan dingin, sambil angsurkan pedang baja itu kemuka, hardiknya, “Nih,
ambillah!”
Pia Leng-cu agak tertegun, kemudian serunya dengan marah, “Lempar kemari!”
“Hey bangsat cabul, dengarkan baik-baik kata kami ini” teriak Pek Kun-gie dari samping,” kami
hanya setuju untuk berikan pedang itu kepadamu, tapi tak pernah menyanggupi dirimu untuk
membawa pergi pedang tersebut dari tempat ini, kalau tak takut mampus ambilah!”
Kiu-im Kaucu yang licik dan ingin menjadi nelayan yang untung segera menanggapi dari samping
sambil tertawa tergelak.
“Haahh…. haahhh…. haahhh…. Pia Leng-cu ayoh maju dan terima pedang itu! Hoa kongcu
adalah seorang pria sejati, tak mungkin dia akan menipu engkau…. hayo maju! Apalagi yang kau
takuti….”
Dengan kecurigaan hatinya yang sangat tebal, Pia Leng-cu tak ingin maju kemuka sambil
menempuh bahaya, akan terapi setelah dipandang oleh belasan pasang mata dengan sorot mata
mengejek, hawa amarahnya berkobar juga didalam hati sambil menggigit bibir dia segera
melangkah maju kedepan dengan tindakan lebar.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
396
Pek Kun-gie benar-benar kuatir kalau Hoa Thian-hong sungguh menyerahkan pedang baja itu
kepada orang, kembali ia berteriak deng an suara keras, “Thian-hong, tak tak usah berbicara soal
kepercayaan dengan orang jahat macam dia!”
Sementara itu Pia Leng-cu sudah maju ke muka, jaraknya dengan pedang baja itu tinggal empat
Hoa Thian-hong mendengus dingin, ia muak menyaksikan kepe-ngecutan imam tua itu, semakin
ragu orang untuk maju ia semakin pandang hina musuhnya.
Melihat Pia Leng-cu kembali berhenti dengan sangsi, ia mengejek sinis serunya, “Api yang telah
kukatakan tak pernah kuingkari lagi. Nah ambilah pedang tersebut!”
Sekali tangannya diayun…. Duuuk! Pedang baja sepanjang empat depa itu sudah menancap
lurus tepat dihadapan Pia Leng-cu.
Tindakan dari Hoa Thian-hong ini sama sekali diluar dugaan semua orang, dengan pandangan
kebingungan Pia Leng-cu, Kiu-im Kaucu maupun puluhan orang anak buahnya, melotot ke arah
senjata itu tanpa sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Lama sekali Pia Leng-cu berdiri tertegun akhirnya ia melirik sekejap ke arah Kiu-im Kaucu.
Imam tua ini sadar, setelah pedang baja tersebut terjatuh ketangannya, pada hakekatnya bukan
suatu pekerjaan yang gampang untuk lolos dari kepungan, malahan mungkin jauh lebih sukar
untuk mendekati ke langit.
Walau begitu tak mungkin baginya untuk melepaskan mustika yang berada didepan mata dengan
begitu saja….
Akhirnya menggertak gigi ia robek pakaiannnya lalu membungkus pedang itu baik-baik dan
menggantungnya diatas punggung.
Tak seorang manusiapun yang bergerak dari tempat kedudukan masing-masing, baik Hoa Thianhong
maupun Kiu-im Kaucu sama-sama mengikuti gerak-gerik sang imam tua tanpa banyak
bicara.
Kebungkaman dan ketenangan sang pemuda itu menggelisahkan hati Pek Kun-gie, cepat ia
menggoyang lengan si anak muda itu sambil mengomel, “Ayolah, rebut kemoali pedang baja itu,
kenapa kau diam melulu?”
“Memangnya kau rela pedang itu diambil bajingan cabul itu?”
Hoa Thian-hong tertawa geli.
“Aah, kamu ini, memangnya gampang ya untuk merampas kembali pedang itu? ilmu silat yang
dimiliki cinjin ini sangat lihay, akupun paling banter cuma menang setingkat darinya, apalagi
sekarang tak ada senjata yang bisa kupakai lagi, susah rasanya untuk merobohkan dirinya!”
“Kalau begitu…. kalau begitu…. tidak sepantasnya kau berikan pedang itu kepadanya” omel Pek
Kun-gie sambil mendepak-depakkan kakinya keatas geladak.
Gadis itu betul-betul amat gelisah sehingga ia tak mampu berkata-kata lagi.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
397
Bukannya ikut gelisah, sikap Hoa Thian tong malahan jauh lebih tenang, seakan-akan tak pernah
terjadi sesuatu urusanpun, katanya sambil tertawa, “Sebagai seorang manusia yang hidup di
dunia, kita tak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan, sekali perkataan sudah ke luar maka
kita wajib melaksanakan sampai selesai, kenapa kau musti gelisah? memangnya dia mampu
kabur dari sini sambil membawa pedang baja itu?”
Sementara ia masih berbicara, Pia Leng-cu telah selesai membenahi dirinya, pedang baja itu dia
gantung dipunggung sementara pedang mustika Poan liong poo kiam dicekal dalam keadaan
terhunus, asal ada orang hendak merampas senjata mustika itu maka ia akan terjun kedalam air
dan kabur dari situ.
Tentu saja diapun sempat mendengarkan pembicaraan dari Hoa Thian-hong, dan iapun dapat
meresapi makna dari ucapan itu, tapi ia tak sudi menyerah dengan begitu saja, prinsipnya
selama hayat masih di kandung badan dia akan selalu berusaha sedapat mungkin, sebelum jalan
betul-betul menjadi bantu, ia tak mau pasrah nasib dengan begitu saja.
Sekalipun ia sudah membenahi diri dan siap kabur, Hoa Thian-hong sama sekali tidak
menggubris dirinya, Kiu-im Kaucu sendiripun tetap duduk tak berkutik ditempat semula, seakanakan
mereka sama sekali tak pandang sebelah matapun atas kejadian tersebut.
Betapa malu dan marahnya Pia Leng-cu diperlakukan seperti itu, ia tuding Kiu-im Kaucu dengan
pedang mustikanya, lalu membentak nyaring, “Pia Leng-cu ada disini, pedang baja maupun
pedang emas kini berada ditangan cinjin mu, kalau engkau tidak kemari lagi, jangan salahkan
kalau cinjin tak akan menemani lebih lama”
“Ooh…. silahkan…. silahkan…. kalau mau pergi, silahkan saja terjun kedalam air!” sahut Kiu-im
Kaucu sambil tertawa santai.
Kemarahan yang menggelora dalam dada Pia Leng-cu sukar dilukiskan dengan kata-kata,
pikirnya, “Nenek bajingan, kalau hari ini aku bisa lolos dari sini. Hmm! Tunggu sajalah
pembalasan dari cousu-ya mu…. sialan.”
Berpikir sampai disitu dia lantas loncat keujung perahu dan siap terjun kedalam air.
“Tunggu sebentar!” tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak keras.
Pia Leng-cu putar badan lalu berseru, “Bocah keparat, kalau tidak terima, hayo maju kemari,
kuhajar kau sampai mampus!”
Pek Kun-gie naik pitam menyaksikan keangkuhan lawan, ia serahkan pedang lemas itu kepada
Hoa Thian-hong, kemudian serunya dengan mendongkol.
“Bikin mampus siluman tua itu, cukil keluar sepasang biji mata bangsatnya!”
Hoa Thian-hong tertawa sambil menggeleng.
“Percuma! Setibanya dalam air, pedang lemasmu itu tak lebih cuma barang rongsok yang tak ada
gunanya, cepat disimpan saja.”
Kemudian sambil berpaling ke arah Pia Leng-cu, serunya, “Aku cuma ingin bertanya kepadamu,
bagaimana kepandaianmu didalam air?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
398
“Perduli amat dengen cousu ya mu!” tukas Pia Leng-cu ketus, “kalau tidak puas silahkan maju
dan kita adu kepandaian sampai salah seorang mampus!”
Hoa Thian-hong terawa, katanya, “Kalau aku sih tak mampu, tapi aku rasa kehebatan mu dalam
air juga tidak sampai selihay lawan!”
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya kembali, “Ikutilah anjuranku, baik-baik berdiri diatas perahu
dan tak usah terjun keair, asal engkau masih berada diatas daratan maka cuma aku dan Kiu-im
Kaucu berdua yang sanggup melangsungkan pertarungan melawan dirimu, tapi begitu engkau
terjun kedalam air, hmm! Coba lihatlah, tujuh delapan puluh orang yang berada disini semuanya
adalah musuh-musuh tangguhmu, engkau akan menjadi sate ikan dan nyawamu pasti akan
kabur kembali ke akhirat!”
“Bagus…. bagus sekali! Hoa Thian-hong aku lihat makin lama engkau semakin lihay!” seru Kiu-im
Kaucu sambil tergelak tertawa, walau sepasang alis matanya berkenyit.
“Penderitaan dan siksaan akan mendidik otak manusia untuk ber pikir keras, memangnya aku
orang she Hoa masih kecil?”
Kiu-im Kaucu tertawa, ia tidak ber bicara lagi tapi alihkan sorot matanya ke arah Pia Leng-cu.
Semula imam tua itu memakai kain cadar untuk menutupi wajahnya, berhubung dia takut kain
cadar itu mengganggu pandangan matanya selama berada didalam air, maka kain cadar tersebut
telah dilepas olehnya.
Ucapan Hoa Thian-hong ibaratnya guntur yang membelah bumi disiang hari bolong, ia tergugah
dari impian indahnya, apalagi setelah periksa keadaan disekitar sana, paras mukanya kontan
berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, sekarang disuruh terjun keair pun mungkin ia tak
berani.
Pek Kun-gie sendiri adalah seorang pendekar wanita yang dididik langsung oleh Pek Siau-thian,
sedikit banyak diapun pangcu muda dari suatu perkumpulan besar, tentu saja baik kecerdikan
maupun jalan pikirannya jauh lebih tangguh dari orang lain.
Sayang ia terbelenggu oleh cinta sehingga watak serta kegagahannya mengalami banyak
perubahan, sekalipun begitu bukan berarti dia berubah jadi bodoh.
Sehabis mendengar ucapan dari Hoa Thian-hong itu, cepat dia menyapu sekejap sekeliling
gelanggang, apa yang kemudian dilihat membuat hatinya jadi amat terperanjat.
Kiranya anak buah perkumpulan Kiu-im-kauw yang berkumpul disekitar gelanggang mencapai
tujuh puluh orang lebih, bukan saja mereka mengenakan pakaian berenang yang tahan air,
senjata tajam yang mereka gunakan adalah senjata bangsa tri sula, garpu panjang serta pisau
bercabang dua, bahkan ada sebagian diantaranya mempergunakan senjata kaitan pedang dan
sebangsanya.
Dari sini dapatlah diketahui kedudukan masing-masing orang, yang bersenjata trisula atau
sebangganya jelas merupakan jago-jago lihay di dalam air, sedang senjata pedang atau
sebangsanya adalab jago-jago diatas daratan.
Organisasi yang diatur dengan begitu rapihnya ini menunjukkan pula betapa cakapnya Kiu-im
Kaucu mengatur anak buahnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
399
Belum habis rasa kaget dan curiga terlintas dalam benak imam tua itu, tiba-tiba Kiu-im Kaucu
tertawa tergelak sambil berkata, “Pia Leng-cu, kalau engkau bersedia masuk kedalam
perkumpulan Kiu-im-kauwca, aku bersedia pula memberi kedudukan yang tinggi kepadamu….”
“Heehhh…. heehhh…. heeh…. omong kosong!” tukas Pia Leng-cu dengan cepat.
Kiu-im Kaucu tidak menjawab lagi, dengan seenaknya dia ulapkan tangan dan berseru, “Lubangi
perahu mereka!”
Berbareng dengan selesainya ucapan itu, seseorang loncat masuk kedalam air dengan gerak
cepat, begitu gesit dan lincah gerakan tubuh orang itu, jelas dia adalah seorang jagoan kelas
satu.
Pek Kun-gie menggenggam tangan Hoa Thian-hong erat-erat, kemudian bisiknya dengan cemas,
“Mereka akan melobangi perahu kita, ayoh kita terjun saja kedalam air….”
Dalam pada itu dari dasar perahu sudah kedengaran suara ayunan kampak yang
menggoncangkan seluruh perahu tersebut.
“Bagaimana dengan kepandaianmu didalam air?” tanya Hoa Thian-hong sambil tersenyum.
“Biasa-biasa saja” jawab sang gadis tertegun aai…. akulah yang sudah mencelakai dirimu, tibatiba
matanya jadi merah dan air mata jatuh berlinang.
“Eeh, kita toh belum tentu mati, kenapa kau musti menangis?” hibur sang anak muda sambil
tertawa.
Dia lantas berpaling ke arah Kiu-im Kaucu dan berkata, “Kaucu, sebelum pertemuan Kian ciau tay
hwe diselenggarakan, apakah perkumpulan selalu beroperasi diatas samudra?”
Kiu-im Kaucu tersenyum kemudian menghela napas panjang.
“Aaai….! Dua puluh sembilan tahun berselang perkumpulan Kiu-im-kauw terdesak dan tak dapat
berdiri lagi dalam dunia persilatan, terpaksa kami mundur ketengah samudra dan hidup selama
tujuh belas tahun diantara daratan den lautan, sekaranglah kami baru dapat hidup kembali diatas
daratan!”
“Mungkin selama ini kalian hidup di selatan, makanya jarang sekali orang persilatan yang ada
didaratan Tionggoan mengetahui akan kejadian tersebut!”
Kembali Kiu-im Kaucu mengangguk sambil tersenyum.
“Memang begitulah kenyataannya!”
Suatu benturan keras memotong pembicaraan yang berlangsung, ternyata dasar perahu itu
sudah berhasil dilubangi sehingga air sungai segera mengalir masuk sedalam perahu.
Kecuali Hoa Thian-hong, Pek Kun-gie dan Pia Leng-cu, diatas perahu itu masih terdapat sebuah
kereta besar serta dua ekor kuda penghela, karena air sungai mengerangi perahu itu, tentu saja
kedua ekor kuda yang berada diatas geladak jadi meringkik ketakutan, binatang itu berloncatan
kesana kemari dengan panik, membuat perahu iiu semakin oleng jadinya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
400
Dengan perasaan menyesal Hoa Thian-hong memandang sekejap ke arah kuda-kuda itu,
kemnudidn pikirnya, “Arus sungai sangat deras, tak mungkin kuda-kuda itu sanggup berenang
ketepian, lebih baik kulepaskan saja tali pengikatnya sehingga mereka bisa berloncatan dengan
lebih leluasa.
Karena berpikir demikian, diapun loncat kedepan dan melepaskan tali pengikat kuda itu.
Pia Leng-cu teramat benci terhadap diri Kiu-im Kaucu, dengan seram ia tertawa panjang
kemudian serunya, “Hey, Kiu-im Kaucu! Katanya perkumpulan Kiu-im-kauw mengembara selama
tujuh belas tahun diatas samudra, lalu dua belas tahun kemudian kalian bersembunyi dimana?”
Paras muka Kiu-im Kaucu berubah jadi dingin menyeramkan, dia cuma melotot dan sama sekali
tidak menjawab.
Keadaan dari Pek Kun-gie saat itu ibaratnya burung kecil yang jinak, kemanapun Hoa Thian-hong
pergi dia mengikuti terus disampingnya, sekalipun mereka ada dalam keadaan bahaya, rejeki
ataupun bencana sukar diramalkan, namun matanya tetap berseri-seri, sekulum senyum manis
menghiasi bibirnya.
Sambil menarik ujung baju sang anak muda, tiba-tiba ujarnya sambil tertawa, “Kiu-im Kaucu tak
berani mengakui letak sarangnya, engkau tahu kenapa dia tak berani menjawab?”
Memanya kenapa?! tanya Hoa Thian-hong keheranan.
“Dia kuatir kalau engkau menyerbu ke dalam sarangnya!”
Hoa Thian-hong tertawa tergelak karena geli.
“Haahh…. hahh…. haaah…. kamu ini kok ada-ada saja, ngaco belo!”
Sementara itu Kiu-im Kaucu telah berseru pula sambil tertawa, “Pek Kun-gie, kalau engkau
bersedia menjadi muridku, semua ilmu kepandaian yang kumiliki akan kuwariskan kepadamu,
tapi kalau engkau menampik terpaksa akan kusuruh englau mati didasar sungai dan menjadi
santapan gorombolan ikan”
“Hmmm! Kalau memang jantan ayoh kita berduel diatas daratan” tantang Pek Kun-gie sambil
cibirkan bibirnya,” kalau engkau bisa kalahkan kami berdua, aku pasti akan angkat engkau
sebagai guruku!”
Tiba-tiba terdengar ledakan keras menggema dari dasar perahu, sebuah lubang besar kembali
muncul didasar perahu penyeberang itu, air sungai mengalir masuk makin deras, kuda-kuda itu
meronta makin kuat, kereta besar itu telah roboh terbalik, tampaknya sebentar lagi perahu itu
bakal tenggelam ke dasar sungai.
Pia Leng-cu berdiri di ujung perahu, sementara Hoa Thian-hong sambil memegang pergelangan
tangan Pek Kun-gie berdiri di sisi perahu, mereka sama sekali tidak bergerak sementara sorot
matanya mengawasi gerak-gerik disekitarnya untuk mengikuti situasi.
Tiba-tiba Pek Kun-gie membentak nyaring.
“Hey hidung kerbau! Kembalikan pedang baja itu, kalau tidak engkau akan mampus tenggelam
didasar sungai”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
401
Pia Leng-cu menggerakkan bibirnya seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi tak sepatah katapun
yang mampu diutarakan keluar, dalam situasi yang sangat gawat ini dia tak berani pecahkan
perhatian, semua kosentrasi ditunjukan kesatu arah.
Kembali Pek Kun-gie berteriak dengan suara lantang, “Kembalikan pedang baja itu kepada kami,
akan kami tahankan Kiu-im Kaucu bagimu asal engkau dapat menyingkirkan musuh-musuh yang
lain, maka siahkan terjun ke air dan kabur, tanggung harapanmu untuk hidup tetap ada.”
Mendengar perkataan itu, Kiu-im Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah…. haaah…. budak cilik, sungguh bagus akal dan idemu itu!”
Tiba-tiba perahu yang mereka tumpangi bergetar keras, menyusul perahu itu tenggelam dua
depa kedalam air, begitu air sudah menggenangi seluruh ruangan perahu, dengan sendirinya
perahu itupun tenggelam kedasar sungai makin cepat.
Tiba-tiba Pia Leng-cu enjotkan badan dan meyayang ke arah perahu musuh yang ada disebelah
timur.
Bentakan-bentakan keras menggelegar di angkasa, para jago yang ada diatas perahu sama-sama
ayun senjata mereka menyongsong kedatangan tubuh imam tua itu, maksud mereka hendak
paksa sang imam tercebur kedalam air sungai.
Diantara kawanan jago yang hadir dalam gelanggang waktu itu hanya Kiu-im Kaucu dan Hoa
Thian-hong yang paling disegani Pia Leng-cu, sementara sisanya yang lain sama sekali tak
dipandang barang sekejappun olehnya.
Begitu mencapai permukaan perahu dia langsung ayun pedangnya membantai kawanan jago itu,
ia telah mengambil keputussn untuk berusaha membasmi anak buah Kiu-im Kaucu sebanyak
mungkin, sehingga daya tekanan yang muncul dari kawanan jago itu bila dia sampai tercebur
kedalam air tidak sampai terlalu besar.
Pedang pusaka boan liong poo kiam diputar sedemikian rupa hingga menciptakan selapis
bianglala hijau ditengah udara, kemudian secepat kilat mengurung batok kepala musuhmusuhnya.
Perahu yang ditumpangi Kiu-im Kaucu berada disebelah barat, sedang perahu yang ada
disebelah timur hanya ditumpangi oleh kawanan jago yang berkedudukan paling rendah serta
berilmu silat paling rendah.
Sudah tentu jago-jago itu bukan tandingan Pia Leng-cu yang lihay, bilamana serangan yang
dilancarkan lewat udara itu tidak ce pat dihindari, niscaya kawanan jago dari perkumpulan Kiuim-
kauw itu bakal mampus diujung senjata.
Kiu-im Kaucu yang berada agak jauh dari sasaran tak mungkin bisa memberikan pertolongannya,
terpaksa ia berseru keras, “Buyar!”
Perintah inilah yang sedang ditunggu-tunggu kawanan jago tersebut, secepat kilat mereka
menghindar kesamping dan bubar keempat penjjru.
Dengan kecepatan bagaikan kilat Pia Leng-cu meluncur keatas perahu, sekali sentak ia sudah
berdiri diatas kemudi perahu itu, pedangnya dilintangkan didepan dada dan berdiri angkuh tanpa
ber cakap-cakap.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
402
Kakinya yang pincang belum sembuh seratus persen, walaupun begitu sama sekali tidak
mempengaruhi kelincahan tubuhnya, semua gerak-gerik dilakukan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat.
Kendatipun begitu anakbuah perkumpulan Kiu-im-kauw bukan gerombolan kurcaci yang tak
becus, mereka masing-masing mempunyai guru yang pandai ditambah ilmu gerakan tubuh Luan
ngo heng mi sian tun yang lihay dari perkumpulan, wajib yang mereka pelajari, sekali meloncat
mereka semua sudah kabur jauh dari lawannya.
Menyaksikan kehebatan lawannya, diam-diam Pia Leng-cu merasa kaget bercampur tercengang.
Hoa Thian-hong masih tetap bertindak tenang, ia baru menarik tangan Pek Kun-gie untuk loncat
ke arah perahu sebelah timur yang diduduki Pia Leng-cu setelah perahu sendiri seluruhnya
tenggelam dan musuh di perahu lawan tersapu bersih.
Sungguh enteng gerakan tubuh si anak muda itu, sekali enjot badan tahu-tahu dia sudah
melayang turun disisi Pia Leng-cu, jaraknya cuma empat depa saja dari imam tua itu.
Pihak perkumpulan Kiu-im-kauw sama sekali tak memberi perlawanan atau mencegah gerakan si
anak muda itu, mungkin hal ini di karenakan Kiu-im Kaucu sendiri sama sekali tak memberi
perintah apapun.
Pia Leng-cu merasa mendongkol sekali menyaksikan kejadian tersebut, dia berdiri diatas kemudi
dengan uring-uringan, sebaliknya Pek Kun-gie merasa amat bangga sambil mengerling sekejap
ke arah musuhnya dia mengejek dengan dingin, “Kalau pedang baja itu tidak kau kembalikan
kepada kami, sekalipun kau terbang kelangit atau masuk kedalam tanah, kami tetap akan
membuntuti dirimu serta berusaha untuk menghabisi nyawamu”
Dalam pada itu, perahu penyeberang yang ada ditengah kepungan telah tenggelam kedasar
sungai, yang masih sisa tinggal enam buah perahu besar milik perkumpulan Kiu-im-kauw,
mereka tetap melingkar jadi satu tanpa bergerak satu sama lain.
Sementara fajar telah menyingsing, obor telah dipadamkan namun anak buah dari Kiu-im Kaucu
belum melakukan pergerakan apa-apa, rupanya mereka masih menunggu perintah selanjutnya
dari ketua mereka.
Kiu-im Kaucu sendiri rupaya sudah menyadari, kalau penyelesaian dalam persoalan hari ini harus
dilakukan olehnya sendiri, dia bangkit dari tempat duduknya dan bergerak menuju ke arah tiga
perahu yang ada disebelah timur dengan menelusuri pinggiran perahu.
Begitu ketuanya bangkit berdiri, delapan orang laki perempuan yang berada di belakangnya ikut
bangkit dan mengikuti dibelakang ketuanya, jelas orang-orang itu mempunyai kedudukan yang
agak tinggi dalam perkumpulan Kiu-im-kauw.
Pia Leng-cu putar otaknya memikirkan persoalan itu, ia merasa tak mungkin bisa menangkan
kehebatan Kiu-im Kaucu walau pun bertarung diatas geladak perahu apalagi dipihak lawan masih
terdapat begitu banyak jago lihay, jelas dia tak mungkin bisa menahannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
403
Bila pedang baja itu tidak dikembalikan kepada Hoa Thian-hong, sudah tentu pemuda itu tak
akan memberikan bantuannya, tapi kalau pedang itu buru-buru dikembalikan dengan begitu saja,
ia merasa rugi besar.
Akhirnya setelah peras otak memikirkan persoalan itu, dia ambil keputusan untuk terjun saja
kedalam air dan kabur lewat sungai.
Setelah ambil keputusan, ia segera enjotkan badannya, ibarat anak panah yang terl pas dari
busurnya imam tua itu meluncur ketengah sungai dan menyelam kedalam air.
Menyaksikan perbuatan musuhnya, Kiu-im Kaucu segera mengetuk toyanya keatas lantai
geladak.
“Bekuk orang itu!” bentaknya.
Dalam waktu singkat kawanan jago yang ada diatas perahu sama-sama terjun kedalam air dan
menyelam kedasar sungai, dari tujuh puluh jago yang siap sedia ada separuh di antaranya sudah
turun tangan, diatas perahu tinggal dua puluh orang lebih.
Pek Kun-gie makin gelisah, sambil menggoyankan lengan Hoa Thian-hong serunya dengan
cemas, “Bagaimana sekarang? Pedang baja itu tak boleh sampai lenyap, jangan biarkan senjata
itu terjatuh ketangan musuh!”
Hoa Thian-hong tertawa getir.
“Sekalipun tak boleh hilang, apa daya kita sekarang? Coba lihat, begitu banyak anak buah Kiuim-
kauw yang sudah terjun ke dalam sungai, jelas kita bukan tandingannya!”
Air dalam sungai Huang-ho kuning berlumpur, ditambah pula dengan derasnya arus membuat
ombak menggulung dengan besar, ketajaman mata Hoa Thian-hong memang luar biasa, namun
sekarang ia tak sanggup mengikuti jalannya pertarungan didasar sungai.
Ia hanya lihat baik Pia Leng-cu maupun anak buah dan Kiu-im-kauw tak ada yang muncul lagi
keatas permukaan air untuk berganti nafas, dari kemampuan yang dimiliki orang-orang itu, jelas
kepandaian berenang mereka hebat sekali.
Kiu-im Kaucu yang berada diatas geladak perahu diam-diam berpikir pula dihati, “Setelah
kehilangan senjatanya, ilmu silat Hoa Thian-hong pasti banyak berkurang kehebatannya, inilah
kesempatan yang paling baik bagiku untuk merobohkannya, tapi…. kalau toh dia tak punya
pegangan yang kuat memangnya pedang itu mau diserahkan kepada orang lain dengan begitu
saja? Aaaah…. tak mudah rasanya untuk membekuk bocah itu!”
Mengetahui kesulitan yang bakal dihadapi, Kiu-im Kaucu mengambil keputusan untuk pusatkan
segenap kekuatan yang dimilikinya untuk membekuk Pia Leng-cu.
Dia ulapkan tangannya, melihat tanda yang diberikan sang ketua, dua puluh orang yang masih
tersisa diatas perahu segera memecahkan diri jadi dua rombongan.
Yang separuh meloncat kesisi kiri perahu untuk memutuskan rantai besi, kemudian memutar
kemudi perahu ke arah pantai sebelah kiri, sedangkan separuh yang lain dengan melindungi
ketuanya dengan menunggang perahu besar yang ada disebelah kanan berputar ke arah kanan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
404
Dengan begitu maka perahu yang ditumpangi Hoa Thian-hong serta Pek Kun-gie beserta sisa
empat buah perahu yang lain tertinggal disana.
Menyaksikan kejadian itu, Hoa Thian-hong segera membentak keras, “Cepat putuskan rantairantai
besi itu!”
Sambil berseru dia loncat kedepan dan memegang kemudi perahu.
Cepat Pek Kun-gie cabut keluar pedang lemasnya dan meloncat keujung perahu, sekali tebas dia
kutungi rantai besi disana, lalu loncat pula kebelakang perahu dan mematahkan pula rantai yang
mengi kat buritan perahu.
Dengan sorot mata yang tajam Hoa Thian-hong menyapu permukaan sungai, waktu itu ada
sebagai anak buah perkumpulan Kiu-im Kaucu yang munculkan diri diatas permukaan air untuk
tukar napas, ditinjau dari posisi mereka, semuanya berada kurang lebih delapan sembilan kaki
disebelah kanan.
Maka dia segera putar kemudi perahu dan menggerakan perahu rampasan itu menuju ketempat
kejadian.
Tiba-tiba Pia Leng-cu munculkan diri diatas permukaan air, setelah menghirup napas panjang ia
menyelam kembali kedalam air, bersamaan itu pula tujuh delapan orang anak buah perkumpulan
Kiu-im Kaucu muncul disekeliling tempat kejadian.
Melihat kesemuanya itu paras muka Pek Kun-gie berubah hebat.
“Oooh…. sungguh lihay” serunya, “kalau keadaannya begini terus, jelas tak ada harapan bagi Pia
Leng-cu untuk kabur dari tempat ini!”
“Engkau bisa pegang kemudi?! tiba-tiba Hoa Thian-hong bertanya dengan muka murung.
Pek Kun-gie mengangguk, ia segera pegang kemudi perahu.
“Jangan terlalu mendekati mereka” perintah Hoa Thian-hong, “hati-hati kalau pihak Kiu-im-kauw
melubangi dasar perahu kita lagi!”
Bicara sampai disitu ia lantas menyingkap bajunya dan cabut keluar sebuah senjata trisula yang
tajam dan loncat ketepi perahu.
“Thian-hong jangan terjun kedalam air!” pekik Pek Kun-gie sangat kuatir.
“Aku tahu!” jawab Hoa Thian-hong sambil mengangguk.
Sementara itu perahu yang ditumpangi Kiu-im Kaucu sudah bergerak menuju kepantai sebelah
kanan, sedangkan perahu yung ditumpangi Hoa Thian-hong masih ada ditengah sungai,
pertarungan yang berlangsung dalam air terjadi ditengah sungai antara kedua buah perahu itu.
Sisa perahu yang ada disebelah kiri berjaga-jaga pada jarak kurang lebih delapan kaki dari
gelanggang pertarungan, berada dalam keadaan seperti ini sulitlah bagi Pia Leng-cu kalau dia
ingin kabur keatas daratan….
Untuk bertarung dalam air, maka pertama itu harus tinggi dalam teknik berenang kedua dia
harus punya ketajaman mata yang luar biasa, dan ketiga harus tahan lama berada dalam air.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
405
Uatung Pia Leng-cu mempunyai kepandaian berenang yang lihay, kalau tidak ia tak akan berani
mengejar Hoa Thian-hong ketengah sungai menumpang sampan kecil.
Sekalipun dia lihay, jago-jago dari perkumpulan Kiu-im-kauw banyak sekali jumlahnya, rata-rata
merekapun berilmu tinggi dalam soal berenang, dalam waktu singkat ia sudah dibikin pusing
tujuh keliling oleh kedahsyatan musuhnya.
Ketika ia terjun keair untuk kabur ke arah daratan tadi seorang kakek tua berambut putih segera
mengejar dibelakangnya, meski pun ditengah gulungan ombak dan aliran arus yang deras namun
dalam jarak tiga kaki, orang itu masih sempat melihat jelas bayangan tubuh dari Pia Leng-cu.
Belum sampai dua panahan jauhnya, imam tua itu sudah kena dihadang olehnya, baru bertarung
lima gebrakan orang-orang dari Kiu-im-kauw sudah mengepung disekitar sana, dalam keadaan
begitu sulitlah bagi Pia Leng-cu untuk kabur dengan leluasa.
Dibawah pimpinan Kiu-im Kaucu semuanya terbagi jadi dua istana dan tiga ruangan.
Dua istana terdiri dari istana neraka atau Yu beng tian serta istana siksaan.
Tiam cu yang memimpin ruang neraka adalah seorang perempuan, sedang tiam cu yang
memimpin ruang siksa adalah seorang lelaki berusia lima puluh tahunan.
Sedangkan ketiga ruangan itu terdiri dari ruangan Ing kian tong, cuan to tong, serta Su li tong.
Ketiga orang tongcu dan kedua orang tiam cu itu merupakan lima orang panglima perang dari
Kiu-im-kauwccu, mula pertama Giok Teng Hujin sendiripun merupakani anggota ruang Yu beng
tiam, cuma ilmu silatnya masih tak dapat dibandingkan dengan kehebatan kelima orang ini.
Baik kedua orang tiam cu maupun ketiga orang tongcu semuanya hadir dalam gelanggang saat
ini, waktu diselenggarakannya pertemuan Kiam ciau tay hwe mereka juga hadir cuma waktu itu
dandanan mereka aneh-aneh persis dengan makhluk halus.
Dan hari ini mereka mengenakan pakaian sutera hitam yang perlente, dengan ikat kepala warna
hitam pula, jangan kan Hoa Thian-hong sekalipun Pia Leng-cu juga tidak mengenali identitas
mereka.
Pada waktu itu ketua istana neraka bertugas menjaga diperahu sebelah kiri untuk menghalangi
niat kabur Pia Leng-cu menuju pantai utara, Tiam cu ruang siksa, Ing kiam tongcu serta Su li
tongcu bertugas melindungi keselamatan Kiu-im Kaucu sedangkan tugas menang-kap orang
dalam air diserahkan kepada tongcu ruang penyebaran ajaran.
Formasi ini sebenarnya diatur khusus untuk menghadapi Hoa Thian-hong, tapi yang masuk
perangkap sekarang bukanlah si anak mudu itu melainkan Pia Leng-cu.
Tongcu ruang penyebaran agama itu bernama Bong Seng, umurnya lima puluh tahunan dan
bersenjatakan sebelah kaitan tajam berkepala harimau, setelah ada dalam air jangan kan
menghadapi serbuan anak buah yang lain, untuk menghadapi jago tua ini pun Pia Leng-cu sudah
dibikin kewalahan, apalagi serangan yang dilancarkan musuh-musuhnya dari empat arah delapan
penjuru secara bergilir, tentu saja lambat laun imam tua itu tak kuasa menahan diri.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
406
Untung Pia Leng-cu sendiripun memiliki kelebihan-kelebihan, pertama tenaga dalamnya amat
sempurna, kedua ketajaman matanya luar biasa dan ketiga pedang boan liong poo kiam yang
diandalkan sangat tajam, maka untuk beberapa waktu dia masih sanggup mempertahankan diri.
Selain itu Bong Seng tak berani turun tangan keji hingga membinasakan imam tua ini, sebab
pedang emas itu ada ditangannya dan tongcu tersebut kuatir kalau pedangnya sudah
disembunyikan ketempat lain.
Maka ia gunakan taktik berperang gerilya, kalau musuh menyerang secara ganas maka mereka
pada kabur menjauh, sebaliknya kalau penahanan musuh agak mengendor, mereka segera
menyerang dengan gencar, asal imam tua itu sudah lelah dan kehabisan tenaga maka sudah
pasti dia bakal dibekuk dalam keadaan hidup-hidup.
Manusia yang bernama Bong Seng ini amat pandai ilmu berenang, sepanjang pertarungan
berlangsung dia selalu memancing Pia Leng-cu agar bertarung di tengah sungai.
Pia Leng-cu buta arah yang ada disekitarnya, boleh dibilang ia tak tahu dimana kini posisinya
waktu itu, setelah bertempur beberapa saat ia merasa hawa murninya hampir habis, cepat
pedang mustikanya di ayun keluar menyingkirkan ancaman musuh kemudian menyusup keluar
dari permukaan air sungai.
Setelah berada diluar air barulah Pia Leng-cu mengetahui kalau dia masih berada diiengah
sungai, ombak menggulung disana sini, kedua belah pantai tampak jauh diujung sana, sekarang
dia baru merasa terkesiap dan ketakutan.
Ingatan kedua belum sempat terlintas, tiba-tiba kakinya tertusuk oleh senjata trisula sehingga
tembus kedalam tulang, sakitnya bukan kepalang sampai peluh dingin membasahi tubuhnya.
Betapa gusar dan gelisahnya imam tua itu, cepat ia menyelam Kembali kedalam air sam il
melepaskan sebuah tusukan balasan.
Orang yang berhasil melukai dirinya tak lebih hanya seorang anak bauh perkumpulan Kiu-imkauw,
sekalipun ia berhasil melukai musuhnya akan tetapi dia sendiripun mampus dengan dada
tertusuk oleh pedang.
Menggunakan kesempatan yang sangat baik ini, Bong Seng menyusup keluar dengan kelincahan
seperti ular air, senjata kaitannya secepat kilat langsung menyambar ke arah pinggang Pia Lengcu.
Serangan dari senjata kaitan ini cepat sukar terbayang dengan ingatan, Pia Leng-cu tercekat,
sukma serasa melayang tinggalkan raganya.
Dalam gugup dan gelisahnya cepat ia putar pedang sambil ikut menggeliat kesamping, dengan
jurus Ya can pat hong (pertarungan massal di delapan penjuru) dia tangkis datangnya ancaman
tersebut.
Bong Seng tak berani menyentuh senjata lawan dengan kekerasan, merasakan datangnya
sambaran tersebut terpaksa ia tukar gerakan berganti jurus, sekalipun begitu pinggang Pia Lengcu
termakan pula oleh sobekan senjata kaitan itu sehingga muncul sebuah mulut luka sepanjang
empat cun, darah segar segera berhampuran dalam air.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
407
Waktu itu Hoa Thian-hong berdiri di tepi perahu, jaraknya dengan Pia Leng-cu hanya beberapa
kaki, tapi ketika diketahuinya sekitar perahu penuh dengan anak buah dan perkumpulan Kiu-imkauw,
dia kuatir ada orang yang melubangi dasar perahunya lagi.
Cepat dia memberi tanda kepada Pek Kun-gie dan perintahkan dia untuk menjauhi tempat
kejadian,
Tiba-tiba Pia Leng-cu menyusup keluar dari permukaan air, lalu serunya dengan suara lantang,
“Hoa Thian-hong!”
Si anak muda itu agak tertegun, sebelum ia sempat buka suara imam tua itu sudah menyelam
kembali kedalam air.
Pek Kun-gie putar kemudi perahu itu dan menggerakkan perahunya ke arah pantai sebelah kiri,
serunya dengan nyaring, “Selama gunung nan hijau, kita tak usah bakal kehabisan kayu bakar,
lebih baik kita mendarat dulu kemudian baru berusaha untuk merebut kembali pedang baja itu!”
Pertarungan yang berlangsung dalam air telah mencapai puncak ketegangan, punggung Pia
Leng-cu kembali tersambar oleh senjata kaitan Bong Seng, meskipun lukanya tidak terlalu parah
namun nyalinya benar-benar telah pecah, ia merasa keselamatan jiwanya jauh lebih penting dari
pada segalanya, maka begitu menyusup keluar dari dalam air kembali ia berteriak keras, “Hoa
Thian-hong….!”
“Jangan kita gubris dirinya!” cepat Pek Kun-gie berseru.
Hoa Thian-hong mengerutkan dahinya, kemudian menjawab, “Kun Gie, dekatkan perahu kita
kesana!”
“Kita tak boleh menolong siluman tosu itu!” seru gadis itu sangat gelisah, kalau tidak maka kita
pasti akan terseret kedalam bencana….”
“Dia toh sudah mohon kepada kita, tak mungkin kita berpeluk tangan tanpa memberikan
bantuannya, lagipula pedang baja itu toh lebih baik kita ambil kembali dari tangannya, daripada
musti merampas pakai kekerasan dan kekuatan”
Sembari berkata ia lantas menyambar sebuah gala yang panjang dan mengawasi keadaan di
tengah sungai dengan seksama.
Pek Kun-gie tak berani membantah perintah si anak muda itu, terpaksa ia putar kemudi dan
jalankan perahu itu mendekati kembali gelanggang pertarungan.
Tiba-tiba Kiu-im Kaucu berseru dengan nada menyeramkan, “Hoa Thian-hong, engkau sudah
bosan hidup rupanya?”
“Engkau sendiri yang pingin mampus! balas Pek Kun-gie dengan penuh kemarahan.
Hoa Thian-hong sendiri cuma tertawa getir dan tidak menjawab.
Sekarang siapapun dapat melihat kelihayan dari perkumpulan Kiu-im-kauw, bagi Hoa Thian-hong
jangankan kabur dari situ, untuk menyelamatkan diri sendiripun masih merupakan suatu tanda
tanya besar.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
408
Berada dalam keadaan begini, tentu saja mencampuri urusan orang lain berarti mencari jalan
kematian bagi diri sendiri, apa yang diucapkan Kiu-im Kaucu sedikitpun tidak salah.
Sementara itu Pia Leng-cu yang sedang bertempur didalam sungai telah mencapai pada puncak
kegawatan, dia kerahkah segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menyusup keluar dari
permukaan air, kemudian jeritnya setengah merengek, “Hoa Thian….”
“Hmm! Tak nyana engkau adalah seorang pengecut berjiwa kerdil, seorang manusia kurcaci yang
takut mampus!” maki Hoa Thian-hong dengan penuh kegusaran.
Sambil memaki, gala panjagnya laksana kilat diayunkan ke arah tengah sungai.
Keadaan dari Pia Leng-cu sudah payah sekali, bagaikan orang tenggelam yang mendapat
pertolongan, cepat dia menubruk ke arah tongkat gala yang diulurkan ke arahnya itu.
Ketiga buah jari tangan kirinya sudah terpapas kutung, waktu itu masih dibalut dengan kain,
dalam gugupnya terpaksa ia buang pedang pusaka boan liong poo kiam kedalam air dan
mencekal gala panjang itu erat-erat.
“Naik!” bentak Hoa Thian-hong sambil menyentak gala panjang itu keangkasa.
***
MENGIKUTI getaran tersebut, Pia Leng-cu melesat ketengah udara dengan membentuk gerak
setengah lingkaran busur, begitu mencapai permukaan geladak ia lepas tangan dengan lemas,
sambil duduk bersila di ujung perahu, napasnya ngos-ngosan seperti kerbau.
Sementara itu tongcu ruang penyebaran agama Bong Seng telah muncul pula dari permukaan
sungai dengan tangan kanan membawa senjata kaitan, tangan kiri membawa pedang boan liong
poo kiam milik Pia Leng-cu
Dengan lincah ia berenang ke arah perahu ketuanya dan loncat naik keatas perahu.
Sambil persembahkan pedang mustika itu kepada ketuanya, tongcu itu memberi hormat seraya
berkata, “Hamba berusaha untuk menangkap buronan itu dalam keadaan hidup, maka semua
serangan tidak kulakukan dengan sepenuh tenaga!”
Kiu-im Kaucu mengangguk sambil tersenyum.
“Memang itulah yang aku kehendaki” katanya.
Setelah menerima pedang Boan liong poo kiam, senjata itu diperiksa dan ditelitinya dengan
seksama akhirnya keistimewaan yang terdapat pada gagang pedang itu ditemukan olehnya.
Ternyata gagang pedang itu kosong tengahnya, ujung gagang tertutup oleh sekrup dan diatas
sekrup tertempel sebutir mutiara sebesar buah kelengleng, ketika penutupnya dibuka ternyata isi
ruang dalam gagang pedang itu kosong melompong, tidak tampak sebuah bendapun.
Menyaksikan hal itu, Yu beng tiam cu segera berseru, “Imam tua itu licik dan banyak akal,
tampaknya pedang emas itu tidak berada pula dalam sakunya!”
Kiu-im Kaucu tertawa dan mengangguk.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
409
“Delapan puluh persen pedang itu sudah disembunyikan disuatu tempat yang rahasia, tak susah
untuk mengetahui letak tempat persembunyian itu, kita bekuk saja dia dalam keadaan hiduphidup
lalu kita siksa dia sampai mengaku…. Untung dia takut mampus, tak mungkin terlintas
ingatan untuk bunuh diri!”
Dia serahkan pedang pusaka itu kepada seorang gadis yang berdiri dibelakangnya, kemudian
perintahkan kekasihnya untuk jalankan perahu itu mendekati perahu yang ditumpangi Hoa
Thian-hong.
Dalam pada itu perahu yang diparkir di arah kiri pantai telah bergerak pula menuju ketengah
sungai, dengan begitu perahu yang ditumpangi Hoa Thian-hong terjepit diantara dua perahu
musuh, sementara ssliaai puluh orang pasukan katak dari perkumpulan Kiu-im-kauw telah
munculkan pula dirinya diatas permukaan air, perahu dari Hoa Thian-hong dikepung rapat-rapat
sehingga tak mungkin kabur lagi.
Menyaksikan situasi yang amat gawat, Pek Kun-gie tahu kalau harapan bagi mereka untuk kabur
dari situ tipis sekali.
Ia jadi mendongkol bercampur gusar, sambil melotot ke arah Pia Leng-cu hardiknya, “Serahkan
kembali pedang baja itu!”
Pia Leng-cu sedang duduk atur pernapasan diujung perahu, ketika mendengar teguran itu dia
agak melengak, seakan-akan kejadian itu sama sekali berada diluar dugaannya.
Hoa Thian-hong sendiri gelengkan kepala sambil menghela napas panjang, sambil melangkah
maju kedepan katanya, “Aaai….! Orang ini memang tak dapat di tolong lagi, agaknya kita musti
pakai kekerasan untuk menghadapi dirinya!”
Dengan gusar Pia Leng-cu loncat bangun, teriaknya marah-marah.
“Ooh…. jadi engkau tolong orang mengharapkan pahala? Hmm! enghiong hoohan macam apaan
kamu ini?”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Aku memang bukan seorang enghiong hoohan, tapi engkau, haahh…. haahh…. haaah! engkau
lebih-lebih tak pantas dianggap sebagai seorang manusia!”
Sekali tangan kirinya diayun kemuka, dem ngan jurus Kun-siu-ci-tauw (perlawanan binatangbinatang
yang terkurung) dia kirim sebuah pukulan gencar kedepan.
Pia Leng-cu menyadari sampai dimanakana kelihayan tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thianhong,
sudah tentu serangan tersebut tak berani disambutnya dengan keras lawan keras.
Mau memunahkan diapun tak mampu, sebab serangan itu aneh dan maha sakti, dalam keadaan
apa boleh buat terpaksa dia bungkukan badan dan menghindar kesamping
“Turun!” hadik sang pemuda lantang.
Tiba-tiba gerak pukulannya mematah kebawah dan menyapu ke arah samping arena.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
410
Dalam sangkaan Pia Leng-cu, dengan berkelit ke arah samping maka serangan lawan dapat
dihindari dengan mudah, siapa tahu pinggangnya terasa jadi kencang dan tahu-tahu segulung
angin pukulan yang sangat tajam telah menyusup tiba.
Sampai dimana rasa kaget dan ngeri yang melintas dalam benaknya sukar dilukiskan dengan
kata-kata, dalam gugupnya cepat ia loncat ke arah samping untuk menghindar.
Sekilas ingatan berkelebat dalam benak Hoa Thian-hong, ia berpikir
“Andaikata dia kupaksa untuk mencebur kembali kedalam air maka imam tua ini pasti akan
terjatuh ketangan lawan!. Aaai! selama berada di sungai aku memang tak bisa bergerak dengan
leluasa, tempat ini merupakan daerah kekuasaan dari Kiu-im Kaucu, kendatipun pedang baja itu
dapat kurebut kembali belum tentu aku mampu melindunginya, lebih baik sementara waktu
kubiarkan dulu dibawa siluman tosu ini….”
Berpikir sampai disitu, ia lantas tarik kembali telapak tangannya sambil membentak, “Kembali!”
Pada hakekatnya intisari dari kepandaian silat yang dimiliki malaikat pedang Gi Ko berbunyi
demikian,
Wujud pedang mengungguli tiada pedang, pedang berat mengungguli pedang enteng, dan
semua keunggulan dan keampuhan dari pelajaran itu sudah tercantum dalam catatan Kiam keng
bu kui, karena itu apa yang merupakan inti pelajaran dari catatan kiam keng bu kui tidak lebih
adalah pelajaran-pelajaran tentang mengangkat yang berat ibarat ringan memunahkan yang kuat
menjadi lunak.
Hoa Thian-hong telah nempelajari isi dari catatan kiam keng bu kui tersebut, hal ini membuat
permainan ilmu pedangnya yang semula kuat dan penuh tenaga menjadi enteng dan lincah,
sedikitpun tidak terpengaruh oleh emosi malahan kelihatannya sangat enteng, padahal kalau
benar-benar dihadapi barulah terasa sampai dimanakah kedahsya-tan daya hancur yang dimiliki
dari permainan pedangnya itu.
Justru karena ia telah memahami intisari dari taktik perubahan lunak dan keras itu, maka dengan
sendirinya permainan ilmu pukulan yang dia milikipun ikut mengalami perubahan.
Perlu diketahui jurus Kun-siu-ci-tauw itu diciptakan oleh Ciu It-bong, tapi dalam permainan Hoa
Thian-hong sekarang baik dalam gerakan maupun dalam hal perubahannya hanya sebagian yang
masih bertahan, sedang dalam soal kekuatan tenaga, cepat lambatnya gerakan serta tipu daya
serangan tersebut telah mengalami perubahan yang sangat besar, bahkan boleh dibilang
bertolak belakang, walaupun begitu justu daya kekuatannya malah jauh lebih mengerikan.
Ketika termakan oleh pukulan yang amat dahsyat tadi, Pia Leng-cu sudah berada delapan
sembilan depa dari sisi perahu, tiba-tiba ia mendengar Hoa Thian-hong membentak kembali.
Saat itulah segulung tenaga murni yang maha dahsyat meluncur tiba dan mengisap lubuhnya ke
arah belakang, tak bisa dikuasai lagi tubuh Pia Leng-cu segera terjengkang dan melayang
kembali ke arah belakang.
Sebenarnya imam tua itu terhitung seorang jago lihay yang menggetarkan sungai telaga, sayang
belakangan ini beberapa kali dia harus jatuh kecundang ditangan Kiu-im Kaucu serta Hoa Thianhong,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar