Walaupun kejadian ini sudah berada dalam dugaan para jago, akan tetapi setelah perkataan itu
diutarakan dari mulut Pek Siau-thian sendiri, tak urung membuat Hoa Thian-hong terkesiap juga
hingga air mukanya berubah sangat hebat.
Terdengar Pek Siau-thian menghela napas panjang, kemudian menyambung lebih jauh, “Siapa
tahu putriku yang tak berbakti itu mencari kematian buat diri sendiri, matanya sudah buta dan
menganggap engkau seorang pria yang suka memandang tinggi soal cinta, ia berharap bisa
mendampingi dirimu sepanjang hidup setelah dia mengetahui akan rahasia ini dan menyaksikan
kalian terancam kepunahan, maka dengan menempuh bahaya ia memohon kepadaku agar
memberi petunjuk untuk menghindarkan kalian dari bencana maut, ia telah berlutut satu hari
satu malam lamanya. Aaaai…. sungguh menyesal kukabulkan permintaannya”
Berbicara sampai disini seluruh kulit tubuhnya berkerut kencang sambil memandang keangkasa,
ia membungkam dalam seribu bahasa, dalam waktu singkat itulah belbagai macam kesedihan
berkecamuk dalam benak Pek Siau-thian membuat ia berdiri termangu-mangu.
Hoa Thian-hong tak dapat menahan diri, dua titik air mata jatuh membasahi pipinya diam-diam is
berpikir, “Sungguh tak kusangka, tanpa kusadari aku telah berhutang budi yang demikian
besarnya terhadap dia. Aaaai….! takdir telah menentukan segala-galanya apa yang dapat
kulakukan lagi?”
Tiba-tiba Pek Siau-thian berkata lagi dengan suara keras, “Hoa Thian-hong tahukah engkau tibatiba
hatiku berubah jadi lunak dan aku bersedia mengkhianati persekutuan dengan pihak lain
sebaliknya malah membantu musuh dengan mengabulkan permintaan putriku itu?”
Hoa Thian-hong tertegun kemudian jawabnya, “Sadar akan kesalahan yang dilakukan selama ini
dan engkau bermaksud meninggalkan yang sesat kembali kejalan yang benar”
“Kentut!!” bentak Pek Siau-thian dengan penuh kegusaran.
Dalam hati Hoa Thian Hoag segera berpikir.
“Rupanya Pek Siau-thian sudah terlanjur tersesat sehingga meskipun sang Budha turun keatas
bumi sendiripun belum tentu membu at ia bertobat diri segala dosanya.
Sesudah berpikir sebentar, diapun berkata, “Sejak kecil Kun Gie dibesarkan dibawah
perawatanmu, kalian berdua sudah hidup berdampingan selama banyak tahun membuat cinta
kasihmu terhadap dirinya dalam bagaikan samudra….”
Makin mendengar, Pek Siau-thian merasa semakin kesal, ia segera ulapkan tangannya
memotong perkataannya yang belum selesai itu, serunya, “Engkau jangan menyamkan diri orang
lain bagaikan dirimu, engkau adalah seorang anak yang berbakti apa yang diucapkan ibumu
selalu kau turuti, engkau tak pernah membangkang perkataan ibumu, sebaliknya putriku itu
bukanlah seorang putri yang berbakti, aku melarang dia untuk mencintai dirimu sebaliknya dia
malah justru tak mau dengarkan perkataanku, mencari penyakit buat diri sendiri sehingga
membuat akupun harus menanggung rasa malu karena ditertawakan oleh setiap orang di kolong
langit!”
Hoa Thian-hong merasa tak tega membiarkan Pek Kun-gie yang sudah meninggal dunia dicaci
maki oleh ayahnya, tanpa terasa ia segera menimbrung dari samping, “Ucapanmu itu terlalu
serius, andaikata keadaan tidak melarang aku untuk membatasi diri dalam pergaulan, siapa tahu
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
85
kalau aku dapat berhubungan lebih mendalam lagi dengan putrimu hingga membawanya
kejenjang perkawinan? siapa yang akan mentertawakan kami?”
Pek Siau-thian tertawa dingin.
“Engkau tak usah mengatakan persoalan itu meskipun engkau berbakti pada orang tuamu belum
tentu ibumu bertindak bijaksana, aku bukanlah manusia sembarangan, sekalipun putriku yang
tak berbakti itu kupelihara sendiri sampai dewasa akan tetapi aku tak akan mengorbankan
keselamatan anggota Sin Kie Hong yang mencapai jumlah seratus laksa orang itu hanya
dikerahkan ingin mewujudkan hubungan kalian berdua.
“Seratus laksa orang?” seru Hoa Thian-hong dengan hati terperanjat, hampir saja tak percaya
dengan pendengaran sendiri.
“Hmm! mimpi pun engkau tak pernah menyangka bukan?” sahut Pek Siau-thian dengan wajah
penuh ejekan.
“Aaah….! mungkin ia memperhitungkan pula keluarga mereka semua…. pikir Hoa Thian-hong
didalam hati, akan tetapi kalau satu keluarga terdiri dari sepuluh orang itu berati anggota
perkumpulan Sin-kie-pang semuanya berjumlah sepuluh laska orang, kemampuan Pek Siau-thian
untuk memimpin anggota sebanyak itu memang benar-benar luar biasa serta mengagumkan
sekali….
Berpikir Sampai disini, ia lantas berkata, “Caramu bertindak memang amat sukar diduga,
sebenarnya apa sih alasanmu sehingga membuat hatimu jadi lemah serta mengabulkan
permintaan diri Kun Gie? aku tak dapat menduganya….”
“Aiaai….!” Pek Siau-thian menghela napas panjang, “aku teringat akan keretakan keluarga kami
berhubung dengan hidup berpisahnya dengan istriku, sejak kecil Kun Gie sudah kehilangan kasih
sayang ibunya, ia dibesarkan dibawah lingkungan para jago yang beraneka ragam watak serta
perbuatannya, aku tak tega menyaksikan ia menjadi sedih karena pengaruh cinta, akupan tak
ingin membiarkan dia mati karena kesedihan karena itu ditengah jalan aku telah berubah pikiran
dan mengijinkan dirinya untuk pergi memberi kabar kepada kalian serta menunjukkan pula satu
jalan keluar bagi kamu semua, tapi…. siapa tahu….”
Ia berhenti sebentar, dari balik matanya tiba-tiba memancarkan cahaya berapi-api, sambungnya
lebih jauh, “Siapa tahu kalian manusia-manusia yang mengaku sebagai kaum pendekar dari
kolong langit ternyata tidak lebih hanya sekawanan manusia yang tak tahu diri manusia yang tak
mengenal budi…. bukannya berterima kasih atas jerih payahnya, kalian malah mencelakai jiwa
putriku yang tolol itu…. kau…. Hoa Thian-hong, apakah masih punya muka untuk berjumpa
dengan para enghiong di kolong langit? kenapa engkau tidak bunuh diri saja untuk menebus
dosa-dosamu itu? apakah engkau hendak menunggu sampai aku turun tangan sendiri?”
Air muka Hoa Thian-hong pucat pias bagaikan mayat, ia berdiri kaku dan membungkam seribu
bahasa lama…. lama sekali baru jawabnya, “Latar belakang yang sebenarnya aku tak usah
terangkan lagi, pokoknya hutangku terhadap Kun Gie dikemudian hari pasti akan kubayar!”
“Tapi dia sudah mati!” bentak Pek Siau-thian dengan mata melotot.
“Apa aku bisa menggunakan kematianku untuk membalas budinya itu? atau juga dalam penitisan
yang akan datang aku toh dapat pula membalas budi kebaikannya itu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
86
“Perkataan tentang Penitisan yang akan datang terlalu khayal dan kosong, menurut
penglihatanku lebih baik engkau balaa saja kebaikan budi Kun Gie dengan satu kematian!”
Hoa Thian-hong agak tertegun, lalu jawabnya dengan sedih, “Sekalipun aku tersedia namun
harus menunggu sampai pekerjaanku telah selesai lebih dahulu!”
“Heeeehhh…. heeehhh…. heeehhb engkau bersedia menunggu tapi aku tak bersedia untuk
menunggu lebih jauh!” sahut Pei Siau Thiang sambil tertawa dingin.
Tubuhnya segera menerjang maju kedepan telapak tangannya lak
serangan dahsyat kedepan.
Hoa Thian-hong segera putar pedang bajanya untuk mengunci datangnya ancaman tersebut
namun Pek Siau-thian adalah seorang manusia yang amat lihay, setelah berhasil menduduki
posisi diatas angin sepasang telapaknya segera melancarkan serangan-serangan berantai secepat
kilat sampai si anak muda itu sama sekali tak mempunyai kesempatan untuk melakukan
pembalasan.
Dengan waktu singkat segulung angin pukulan bagaikan gulungan ombak ditengah samudra
membungkus Hoa Thian-hong dalam kepungan, Pek Siau-thian senderi seakan-akan telah
berubah jadi gulungan angin pukulan yang maha dahsyat, jejaknya tiba-tiba lenyap tak berbekas.
Hoa Thian-hong dengan sepenuh tenaga memutar pedang bajanya untuk menahan gempurangempuran
dari lawannya, cahaya hitam tampak meronta diantara angin pukulan sebentar cahaya
hitam itu muncul sebentar lagi lenyap seakan-akan permainkan pedangnya sudah terbungkus
ditengah gulungan pukulan angin pukulan lawan.
Perkataan yang diucapkan Pek Tiau Thian barusan telah menggetarkan hati Hoa Thian-hong
membuat pemuda itu merasa menyesal hingga permainan pedangpun menjadi lunak.
Setelah kehilangan posisi yang menguntungkan, dalam sekejap mata tubuhnya sudah tertelan
ditengah gelombang angin pukulan yang dahsyat bagaikan hembusan angin puyuh itu,
kendatipun ia telah berusaha untuk meronta dan melakukan perlawanan akan tetapi selalu gagal
untuk menemukan kesempatan guna membenahi diri sendiri, ia sadar jika keadaannya begini
terus menerus maka pada akhirnya dia bakal menemui ajalnya ditangan lawan.
Pek Siau-thian sendiri berhasrat untuk membinasakan Hoa Thian-hong dalam sebuah se-rangan
mautnya, siapa tabu kendatipun sudah melancarkan ratusan jurus serangan dan me-maksa Hoa
Thian-hong berada dalam posisi yang sangat berbahaya dan kritis bahkan sering kali jiwanya
nyaris melayang namun maksud tujuannya belum pernah bisa tercapai.
Pertempuran ini benar-benar merupakan suatu pertempuran yang sengit dan jarang terjadi di
kolong langit.
Makin bertempur Pek Siau-thian merasa makin terperanjat ia tak pernah menyangka kalau di
kolong langit masih terdapat seorang jago yang mampu bertahan sebanyak ratusan jurus tanpa
menderita kalah dibawah kurungan ilmu pukulan Ceng boan ngo heng sian ong toan hun ciang
nya itu.
Sudah terlalu banyak jago lihay di kolong langit yang penrah dihadapi olehnya manusia lihay
sebangsa Ciu It-bong dan lain-lainnya asal sudah terjebak dibawah serangan rangkaian ilmu
telapak yang jarang sekali dipergunakan olehnya ini, maka dalam seratus jurus pasti akan keok
dan menderita kekalahan ditangannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
87
Siapa tahu ketika ilmu telapaknya yang ampuh itu dipergunakan untuk menghadapi Hoa Thianhong,
walaupun sudah bertahan sampai ratusan jurus akan tetapi pemuda itu masih belum juga
mampu dikalahkan.
Tak tertahan lagi, ia berpikir dalam hati kecilnya, “Kun ji, engkau memang tak punya rejeki dan
keluarga Pek kitapun tak punya rejeki andaikata bocah ini dapat menjadi pasanganmu dan aku
bisa mendapat bantuannya maka para jago persilatan baik dari go longan putih maupun dari
golongan hitam yang ada dilima telaga empat samudra bukankah akan tunduk dan berada
dibawah kekuasaan per kumpulan Sin-kie-pang kita.”
Karena terpengaruh emosi, serangan yang dilancarkan semakin dahsyat dan daya tekanan yang
terpancar keluar dari ilmu telapak Ceng hoan sian hong toan hun ciang itupun makin
menggetarkan seluruh permukaan bumi.
Hoa Thian-hong mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk melindungi keselamatan
sendiri, dalam keadaan begini otaknya tak sempat untuk dipakai lagi terpaksa ia harus punahkan
jurus bila bertemu jurus, punahkan gerakan bila bertemu gerakan pertarungan diteruskan
dengan mengikuti semua gerakan lawan.
Adaikata Pek Siau-thian tidak menghentikan serangannya maka diapun terpaksa harus bertahan
terus dengan cara demikian sekalianpun tidak sampai menderita kekalahan diapun tak memiliki
kekuatan untuk merebut kemenangan.
Dalam waktu singkat Pek Siau-thian telah melancarkan empat
ketika dilihatnya tenaga dalam yang terpancar keluar dari ujung pedang Hoa Thian-hong sama
sekali tidak menunjukkan kelemahan, diam-diam ia merasa amat gelisah pikirnya, “Kalau
penarungan berlangsung dalam keadaan begini terus, sekalipun bergebrak tiga sampai
jurus lagipun belum tentu aku mampu untuk melukai bocah keparat ini, apalagi kalau sampai
membiarkan dia hapal dengan gerakan ilmu telapakku ini bisa-bisa akan muncul suatu kejadian
yang sama sekali tak terduga….”’
Berhubung besok adalah hari pembukaan pertemuan besar Kian ciau tayhwee atau dengan
perkataan lain saat terakhir bagi kaum jago untuk menentukan siapa tangguh dan siapa lemah,
siapa berkuasa siapa tidak lagi pula mempengaruhi mati hidup perkumpulan Sin-kie-pang maka
Pek Siau-thian tidak ingin menggunakan hasil latihannya selama puluhan tahun ini sebelum tiba
pada saatnya yang tepat, sebelum pertarungan massal berlangsung ia tak ingin mengorbankan
tenaganya dengan percuma hingga mempengaruhi kelangsungan pertemuan besok pagi.
Disamping itu, diapun mengerti setelah Hon Thian-hong dibunuh maka Hoa Hujin pasti bersiap
sedia untuk membalaskan dendam bagi kematian putranya, iapun harus bersiap sedia untuk
menghadapi pertentangan yang paling berat itu.
Berpikir sampai disana, diapun segera mengambil keputusan untuk merubah siasat, ia berusaha
mencari kemenangan dengan andalkan kepandaian yang dimilikinya selama ini.
Terdengar orang she Pek itu mendengus dingin, gerakan telapaknya tiba-tiba berubah, telapak
kiri menyapu keatas pinggang musuh sementara kepalan kanannya langsung menghantam dada
Hoa Thian-hong.
Perubahan yang sama sekali tak terduga itu membuat jago muda she Hoa itu jadi amat
terperanjat, disaat yang kritis pedang bajanya buru-buru berputar dengan gerakan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
88
atau berjaga-jaga dalam satu titik, badannya secepat kilat berputar kencang.
Menghadapi serangan musuh dengan badan berputar, pedang disilangkan didepan dada
merupakan jurus pertama dari antara enam belas jurus pedang yang dipelajari oleh Hoa Thianhong,
gerakan itu mengandung unsur Pat kwa serta
menduga arah manakah yang bakal diancam….
Pek Siau-thian merasa amat kagum sekali ketika menyaksikan kepalannya ketiga menyapu
kedepan, tiba-tiba berkelebat cahaya hitam dan tahu-tahu sepasang pergelangannya hampir
membentur diatas pedang lawan, ia memuji kelihayan ilmu pedang yang diciptakan oleh Hoa
Goan-siu tersebut serta kesempurnaan Hoa Thian-hong didalam permainan pedangnya.
Tetapi setelah berhasil merebut kedudukan diatas angin, ia tak mau membuang kesempatan itu
dengan begitu saja, telapak kirinya dengan suatu gerakan yang sangat aneh tiba-tiba menotok
jalan darah Ki huo hiat diatas badan Hoa Thian-hong sedangkan tangan kanannya yang
mengandung kekuatan inti mendadak diluncurkan kedepan.
Hoa Thian-hong tak sempat berpikir panjang lagi, pedang bajanya dikembangkan dengan jurus
Hok lay cing beng atau pekikan bangau membumbung keangkasa, ia balik membabat lengan kiri
Pek Siau-thian sedangkan telapak kirinya dengan jurus Kun ciu ci tau menyambut datangnya
serangan lawan.
Siau tahu serangan tangan kiri Pek Siau-thian adalah gerak tipu belaka, sedang serangan telapak
kanan adalah serangan yang sesungguhnya, terutama sekali gerakan ini merupakan hasil
ciptaannya setelah belasan tahun lamanya bertempur melawan Ciu It-bong, bisa dibayangkan
betapa jitu dan hebatnya serangan tersebut.
“Ploook….!” sepasang telapak saling membentur satu sama lainnya menimbulkan suara benturan
keras, tubuh kedua orang itu sama sama bergetar keras dan seranganpun terhenti untuk
beberapa saat.
Terdengar Pek Siau-thian tertawa terbahak-bahak, lengannya berkelebat kedepan melancarkan
satu pukulan.
Ketika terjadi bentrokan tersebut kedua duanya berada dalam posisi serangan yang mencapai
setengah jalan, dengan begitu serangan susulan yang dilancarkan oleh Pek Siau-thian ini boleh
dibilang jauh menyimpang dari kebiasaan dunia persilatan dan siapapun tak akan menduganya.
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat melihat gelagat tidak menguntungkan itu, keputusan
diambil dalam benaknya dia mengepos tenaga kemudian menghimpun segenap kekuatannya
diatas bahu dan tubuhnya dengan cepat miring kesamping.
Semua peritiwa itu berjalan dalam sekejap mata ketika serangan dari Pek Siau-thian meluncur
datang tiba-tiba, Hoa Thian-hong miringkan badannya kesamping tak sempat untuk mengganti
jurus lagi…. Kraaak! telapak tangannya sudah mampir diatas bahu Hoa Thian-hong membuat
tubuhnya terpental sejauh dua tombak lebih dari tempat semula.
Pek Siau-thian sendiri ketika telapak tangannya dengan telak bersarang diatas bahu lawan ia
merasakan timbulnya tenaga tolakan yang amat besar menggetarkan tangannya hal itu membuat
dirinya amat terperanjat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
89
Ia tak menyangka kalau serangannya yang dilancarkan dengan melanggar kebiasaan Bu Lim itu
ternyata sudah disambut oleh Hoa Thian-hong dengan persiapan yang penuh, hal ini membuat
luka yang diderita oleh lawan boleh dibilang enteng sekali.
Jago tua she Pek itu jadi penasaran, ia segera berkelebat maju kedepan siap melancarkan
serangan berikutnya yang mematikan.
Terlihatlah Hoa Thian-hong berdiri angkernya didepan dengan pedang disilangkan didepan dada,
sorot matanya memancarkan cahaya kilat dengan tajam, ia awasi gerak-gerik Pek Siau-thian
dengan kesiap siagaan penuh, dari sikapnya seakan-akan ia telah bersiap sedia untuk
menghadapi serangan musuh sampai dimanapun juga.
Tercekat hati Pek Siau-thian menyaksikan hal itu, ia hentikan gerakan tubuhnya sambil berpikir.
“Aku harus bersikap lebih tenang gerakan yang ngawur dan gegabah tak mungkin berhasil
membinasakan bocah itu….”
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong telah berkata dengan nada dingin, “Engkau telah tunjukan
kegagahanmu selama beberapa waktu, sayang sekali tujuanmu tak dapat tercapai, sekarang
tibalah giliranku untuk menunjukkan kelihayan”
Pek Siau-thian tertawa dingin, “Heeehh…. heehhh…. heehh dengan andalkan sedikit
kepandaianmu itu masih belum cukup untuk membinasakan diriku”
“Hmm! kalau bukan engkau yang mati akulah yang binasa, aku akan berusaha sekuat teraga….”
Sambil menerjang maju kedepan, pedangnya segera melancarkan satu babatan.
Pek Siau-thian mengerutkan dahinya, baru saja bisa memunahkan serangan tersebut, Hoa Thianhong
telah tertawa dingin tiada hentinya, pedang bajanya berputar melancarkan serangan
berantai bagaikan gulungan ombak sungai Tiang kang ia mengirim serangan-serangan yang
mematikan.
Setelah permainan pedang bajanya dikembangkan, sekali pun Cui Im taysu bekerja sama dengan
Ciong Lian-khek pun merasakan tekanan yang maha berat dan dalam seratus jurus belum tentu
bisa merobah posisinya jadi seimbang, apa lagi Pek Sau Thian hanya seorang diri, dalam waktu
singkat ia sudah dipaksa dalam situasi yang serba menyulitkan
Makin bertempur makin bersemangat, Hoa Thian-hong membentak berulang kali pedang bajanya
disertai deruan angin tajam menggulung diseluruh angkasa, sekalipun Pek Siau-thian sudah
berusaha keras untuk mengarahkan pelbagai macam jurus aneh namun ia tak mau membendung
rangkaian serangan yang bertubi-tubi itu untuk merebut po sisi yang lebih menguntungkan,
sekalipun begitu bukanlah suatu pekerjaan gampang bagi Hoa Thian-hong untuk mengalahkan
dirinya.
Ditengah berlangsungnya pertempuran sengit, diam-diam Pek Siau-thian berpikir dalam hatinya,
“Perpisahan yang sangat singkat, diri mana bocah ini berhasil melompat jadi jago lihay yang
mampu menandingi kepandaian silatku? benar-benar mengherankan….”
Tiba-tiba ia membentak keras, “Tahan!!”
Hoa Thian-hong sendiripun menyadari bahwa sulit baginya untuk merebut kemenangan,
mendengar ia berseru keras, terpaksa sambil menghela napas mengundurkan diri kebelakang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
90
Pek Siau-thian menengadah memandang cuaca, kemudian ujarnya dingin, “Tengah hari sudah
hampir tiba kalau racun teratai empedu api yang mengeram di dalam tubuhmu sudah mulai
kambuh kita boleh beristirahat lebih dahulu kemudian baru bergebrak kembali”
Mendengar perkataan itu Hoa Thian-hong jadi amat terperanjat, ia tak menyangka kalau
pertarungan iiu sudah berlangsung setengah harian lamanya dalam hati segera pikirnya, “Ketika
aku menuruni jurang ini ibu menunjukkan perasaan kuatir Pek Siau-thian dapat menemukan
tempat ini, berarti ibukupun bisa juga berbuat demikian dibalik peristiwa tersebut tentu ada
sebab sebabnya….”
Pek Siau-thian jadi girang ketika dilihatnya pemuda itu murung dan sedih, sambil tertawa dingin
katanya, “Engkau tak usah bermuram durja, aku akan memberi kesempatan kepadamu untuk
beristirahat dahulu kemudian baru melanjutkan kembali pertarungan ini, bagaimanapun toh bala
bantuanmu tak mungkin bisa tiba disini, aku dapat suruh engkau mati dengan mata meram.”
Mendengar perkataan itu Hoa Thian-hong merasa semakin gelisah ia mengambil keputusan
untuk menyelesaikan pertarungan ini dengan secepatnya hingga diapun bisa cepat-cepat
melepaskan diri dari cengkeraman jago tua itu, sambil ayun pedang bajanya ia berseru, “Dalam
tubuhku sudah tidak terdapat racun teratai lagi engkau tak usah pura-pura berlagak alim dan
baik hati kalau engkau tak mau bertempur lagi maaf kalau aku tak bisa melayani dirimu lebih
jauh”
“Jadi kalau begitu racun teratai yang mengeram didalam tubuhmu sudah punah?”
“Engkau kecewa?” jengek Hoa Thian-hong sambil tertawa dingin.
Pek Siau-thian tertawa seram.
“Heeehh…. heehh…. heeeh…. tempo hari aku penuju kepadamu dan ajukan pinangan kepadamu
untuk mengawinkan engkau dengan putriku, pada waktu itu engkau mengatakan tubuhmu masih
mergeram racun dan tak dapat beristri, kini racun yang mengeram dalam tubuhmu telah punah,
rupanya untuk menjaga kemungkinan engkau telah turun keji dahulu dengan membinasakan
putriku….”
Hoa Thian-hong jadi amat gusar sehingga sekujur badannya gemetar keras, sehabis mendengar
perkataan itu teringat cinta kasih yang ditujukan Pek Kun-gie terhadap dirinya, saking sedihnya
dia mencucurkan air mata serunya dengan gemas.
“Pek Siau, putri kandungmu sudah tiada lagi di kolong langit, kenapa engkau memandang begitu
rendah akan dirinya?”
“Oooh….! engkau merasa tak tega? aku mengira engkau benar-benar adalah seorang lelaki
berhati baik!”
“Sebenarnya apa maksudmu mengucapkan kata-kata yang sama sekali tak ada gunanya itu?”
Senyuman licik yang menyeramkan melintas diujung bibir Pek Siau-thian, pikirnya, “Aku akan
membuat pikiranmu jadi kalut dan bingung tak karuan, akan kulenyapkan semangat
bertempurmu hingga sebelum ajalnya engkau rasakan lebih dahulu bagaimana rasanya jadi
orang gila….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
91
Sinar matanya berkelebat memandang sekejap ke arah Kuburan pemendam pedang yang telah
dihancurkan oleh angin pukulannya itu, tiba-tiba berkelebat lewat satu akal licik, sambil tertawa
tergelak segera serunya, “Hoa Thian-hong, tahukah engkau dirimu adalah anak murid siapa?”
Meskipun Hoa Thian-hong cerdik namun ia masih bukan tandingan dari Pek Siau-thian yang licik,
mendengar pertanyaan tersebut segera jawabnya, “Siapapun mengetahui kalau ilmu silat aku
orang she Hoa adalah kepandaian keluarga buat apa engkau banyak bertanya lagi?”
“Lupa pada soal perguruannya engkau memang seorang manusia lupa budi!”
Tiba-tiba Hoa Thian-hong teringat akan sesuatu tanpa sadar ia berseru, “Katakanlah semestinya
aku orang she Hoa adalah anggota perguruan mana….?”
“Kiam seng malaikat pedang Gi Ko!”
Hoa Thian-hong berpaling dan memandang sekejap ke arah kuburan pemendam pedang
kemudian pikirnya, “Cianpwee ini selama hidupnya banyak berbuat kebaikan, ilmu pedangnya
tiada tandingannya di kolong langit dia memang pantas disebut malaikat pedang sayang aku
hanya mendapatkan pedangnya dan gagal menemukan Kiam keng tersebut”
Teringat kalau catatan Kiam keng tersebut telah dihancurkan oleh tenaga pukulan Pek Siau-thian
sehingga pusaka yang tak ternilai harganya lenyap tak berbekas, tanpa terasa ia menaruh benci
terhadap jago tua itu, sambil menggertak giginya serunya, “Sebenarnya aku tidak berhasrat
untuk membinasakan dirimu akan tetapi setelah engkau mengungkap persoalan ini, andaikata
aku tidak mencabut selembar jiwamu rasanya sulit untuk melampiskan rasa dendam didalam
hatiku….”
Sambil putar senjata, ia segera menerjang maju kedepan.
Tampak Pek Siau-thian mengelus jenggotnya sambil tertawa terbahak-bahak, diantara gelak
tertawanya penuh mengandung perasaan bang ga.
Bagaimanapun juga Hoa Thian-hong adalah seorang pendekar sejati melihat pihak lawan tiada
bermaksud untuk melakukan perlawananan terpaksa ia tarik kembali serangannya sambil berseru
dengan nada gemas.
“Pek Siau-thian tingkah lakumu yang licik serta gelak tertawamu yang seram bagaikan setan
membuat aku teringat pada seseorang”
“Siapa?” tanya Pek Siau-thian sambil tertawa.
“Co Cho!!”
“Haahhh…. haaahhh…. haaahhh…. terima kasih atas sanjunganmu itu aku orang she Pek tak
berani menerimanya!”
Haruslah diketahui, dalam pandangan Hoa Thian-hong, manusia yang paling licik dan berbahaya
dalam sejarah adalah Co Cho, sebaliknya dalam pandangan Pek Siau-thian maka Co Cho
dianggap sebagai seorang pahlawan yang luar biasa, dan dia menganggap orang itu sebagai
pahlawan yang paling dikagumi olehnya, karena itu makian Hoa Thian Hoag telah disalah
tafsirkan olehnya….
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
92
Dengan wajah serius dan penuh penghinaan, Pek Siau-thian berseru membaca isi dari Kiam keng
yang telah dihancurkan olehnya itu,
“Peraturan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga masih kurang, kekerasan bukanlah
kekerasan, keras tapi lincah, lunak bu kanlah lemah….”
Membaca sampai disini mendadak ia membungkam.
Hoa Thian-hong mendengarkan dengan seksama, tetapi ketika ditunggunya sangat lama namun
ia tidak meneruskan pembacaannya pemuda itu jadi mendongkol bercampur gusar tentu saja ia
tak dapat mengajukan permintaan kepada lawannya untuk meneruskan pembacaan tersebut,
dengan hati terbakar oleh hawa amarah ingin sekali ia bacok lawannya sampai mati.
“Bagaimana?” terdengar Pek Siau-thian mengejek sambil tertawa, “meskipun aku tak mampu
membaca sepuluh kata dalam sekali pandangan namun tulisan diatas lapisan batu cadas itu telab
kubaca sampai selesai, engkau berbakat bagus dan lagi masih muda masa tulisan itr« belum
sempat kau baca sampai habis?”
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa menyesal, menyesal karena sudah terpikat oleh masa hidup
Gi ko yang tertera diatas lapisan batu itu hingga ketajaman telinganya berkurang dan memberi
kesempatan kepada Pek Siau-thian untuk menghapalkan isi dari Kiam Keng sebelum
menghancurnya hingga jadi abu.
Haruslah diketahui bagi orang yang belajar ilmu silat, catatan ilmu yang sangat mendalam itu
kadangkala dipandang jauh lebih berharga daripada jiwa sendiri apalagi sejak kecil Hoa Thianhong
sudah mempelajari ilmu pedang dengan pedang baja tersebut boleh dibi lang dengan
malaikat pedang, Gi Ko mempunyai jodoh karena itu bagi pandangan nya Kiam Keng tersebut
jauh lebih berharga daripada apapun juga.
Mula-mula ia tidak berpikir sampai kesitu, semakin setelah dipikir lebih jauh makin lama hatinya
semakin mendongkol sehingga akhirnya amarahnya berkobar dalam dadanya, sambil
menyeringai seram, segera serunya, “Pek Siau-thian, ini hari kalau bukan engkau yang mati
akulah yang binasa kalau aku Hoa Thian-hong yang mati maka pembaca Kiam keng atau tidak
bagiku sama saja sebaliknya kalau engkau yang mati….”
“Aku akan membawa pergi catatan itu kealam baka,” sahut Pek Siau-thian sambil tertawa
terbahak-bahak, “dan sejak kini di kolong langit tiada orang lain mengetahui apa isi dari catatan
Kiam keng tersebut….”
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, sambungnya lebih jauh, “Sungguh kasihan Malaikat
pedang Gi Ko, dengan usianya sebesar seratus tahun dia harus semedi selama sembilan belas
tahun lamanya sebelum berbasil menemukan rahasia ilmu pedaag itu serta menciptakan Kiam
keng sayang usahanya itu hanya sia-sia belaka dan akhirnya harus musnah dan muka bumi….”
“Engkau jangan keburu merasa bangga lebih dahulu!” bentak Hoa Thian-hong dengan gusar,
“lihat aku akan segera membacok tubuhmu hingga hancur berkeping-keping!”
Sambil menerjang maju kedepan, pedagnya segera dibabat secara gencar.
Menyaksikan pemuda itu mulai dibakar oleh hawa amarah sehingga konsentrasinya buyar, diamdiam
Pek Siau-thian merasa bangga, dengan cepat ia bergeser kesamping, lalu sambil tertawa
ujarnya, “Hoa Thian-hong malaikat pedang Gi Ko membutuhkan waktu selama sembilan belas
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
93
tahun untuk menciptakan kelima puluh delapan kata catatan Kiam keng tersebut, coba
pikirkanlah sendiri dia membutuhkan waktu berapa lama untuk mendapatkan satu patah kata?”
Mendengar perkataan itu, diam-diam Hoa Thian-hong menghitung, ia merasa malaikat pedang
tersebut membutuhkan waktu selama empat
tersebut, hal ini membuat hatinya semakin mendongkol, serunya dengan gemas, “Semoga saja
engkau jangan sampai terjatuh ditanganku, kalau aku orang she Hoa berhasil menangkap dirimu,
aku akan menusukkan pedangku kedalam tubuhmu untuk memperoleh setiap patah kata, suatu
ketika aku pasti akan berbasil memaksa engkau untuk mengucapkan kelima puluh delapan patah
kata tadi”
Dengan cepat Pek Siau-thian berkelebat delapan depa kesampinag, sesudah berhasil meloloskan
diri dari serangan tersebut, katanya sambil tertawa, “Seandainya engkau telah selesai membaca
kelima puluh delapan patah kata yang tercantum dalam catatan Kiam Keng tersebut, suatu ketika
engkau memang besar kemungkinan bisa menangkap diriku, tapi sayang engkau tidak berhasil
menyelesaikan bacaan itu maka sepanjang hiduppun jangan harap akan berhasil untuk menawan
aku!”
Hoa Thian-hong merasa amat gusar….
Sreet! Sreet! Sreet! secara beruntun ia lancarkan tiga buah serangan berantai, namun dengan
ilmu meringankan tubuh yang sempurna Pek Siau-thian berhasil mundur tiga langkah
kebelakang, biji matanya berputar dan secara tiba-tiba ia sengaja memperlihatkan satu titik
kelemahan.
Hoa Thian-hong pada saat ini sudah termasuk diantara deretan kaum jago lihay di kolong langit,
memperlihatkan titik kelemahan secara sengaja merupakan suatu tindakan yang berbahaya
sekali.
Pek Siau-thian mengeluarkan ilmu telapak Im yang ciang untuk memancing musuhnya tujuan
yang lebih utama tidak lebih hanyalah untuk mengejek pemuda itu bahkan Hoa Thian-hong jadi
amat kegirangan, pedangnya laksana sambaran kilat segera membabat keatas pinggang jago tua
itu.
Ketika ujung pedangnya menyentuh lawan tiba-tiba dalam benak Hoa Thian-hong terlintas
catatan Kiam keng, pedangnya dibabat sejajar dada lalu menabok keatas sedangkan tangan
kirinya dengan suatu gerakan secepat kilat melancarkan sebuah totokan.
Pek Siau-thian tertawa ringan, tubuhnya berkelebat delapan depa dari tempat semula, sengaja ia
mengambil bahaya ini untuk menilai perasaan hati Hoa Thian-hong, karena ada persiapan lebih
dahulu maka ia tidak merasa selalu jeri.
Siapa tau setelah tubuhnya berkelebat kesamping, ia baru merasa terjelos hatinya sehingga air
mukanya jadi pucat pias bagaikan mayat.
Kiranya padi saat terakhir ujung pedang si anak muda itu masih berhasil juga menempel diatas
pinggangnya, kendatipun sentuhan tersebut enteng sekali akan tetapi cukup mengejutkan
hatinya sehingga keringat dingin menguncur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Suatu ingatan berkelebat dalam benak Hoa Thian-hong sekarang ia baru mengerti kalau Pek
Siau-thian sengaja memperlihatkan titik kelemahan tersebut kepadanya, hal ini membuat
pemuda itu jadi mendongkol dan menyesal, menyesal karena ia tak dapat memanfaatkan
kesempatan baik yang sukar ditemukan selama hidupnya itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
94
Sambil menjejakan kakinya keatas tanah, karena gemas teriaknya, “Aaaai….! sialan….!”
Sambil putar pedang ia lancarkan kembali satu serangan kilat.
Kali ini Pek Siau-thian tidak berani bertindak gegabah lagi, sambil berkeliaran kesana kemari
menghindari ancaman musuh otaknya berputar cepat untuk menyusun siasat guna mencari
kemenangan….
Bila pertarungan ini sampai diketahui orang dan tersiar luas dalam dunia persilatan maka seluruh
sungai telaga pasti akan jadi gempar.
Kedua orang itu sama-sama saling mengadu tenaga serta kecerdikan, kedua belah pihak samasama
lihaynya, siapapun tidak ingin melepaskan lawannya dengan begitu saja, siapa pun tak
bersedia menghentikan pertarungan sampai di situ saja.
Setelah bertempur beberapa saat lagi, tiba-tiba Pek Siau-thian berseru dengan nada dingin, “Hoa
Thian-hong catatan Kiam keng semuanya terdiri dari
pikirkan arti dari setiap patah kata itu….? ketahuilah bahwa dalam tiap kata itu terkandung suatu
arti yang sangat bermanfaat bagi ilmu silat asal engkau dapat memahaminya maka sepanjang
hidup engkau akan menikmati hasilnya….”
“Pikirkan saja dialam baka nanti!” tungkas Hoa Thian-hong dengan penuh kebercian.
Pek Siau Thim mengirimkan satu pukulan keudara kosong lalu melayang mundur kebelakang,
serunya, “Pertarungan menurut langit kerugian pasti tersisa…. pernahkah kau bayangkan apa arti
yang sebenarnya?”
Satu ingatan berkelebar dalam benak Hoa Thian-hong, segera pikirnya, “Peraturan menurut
langit kerugian pasti tersisa….”
***
Dia adalah seorang jago lihay yang sudah memiliki ilmu silat yang sangat mendalam, hanya saja
selama ini tak ada kesempatan untuk menyelaminya, kini setelah dipikir lebih jauh segera
terasalah olehnya meskipun beberapa patah kata itu amat sederhana sekali namun arti yang
sebenarnya sangat dalam sekali.
Dengan cepat tubuhnya melayang beberapa tombak kebelakang, sambil menatap tajam wajah
Pek Siau-thian mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
Pek Siau-thian sendiri diam-diam merasa amat girang tatkala dilihatnya si anak muda itu mulai
terjebak dalam siasatnya, sambil mengelus jenggot ia berkata lebih jauh.
“Tidak salah bukan? daya tekanan yang terpancar dari pedangmu berlebihan, kesalahannya
justru terletak pada kekasaran, andai kata engkau dapat menyelami kekerasan tapi lincah maka
aku bukan tandinganmu lagi.
Hoa Thian-hong merasa perkataan itu masuk diakal juga, diam-diam ia lantas mengulangi
kembali rahasia Kiam keng itu didalam hati.
“Peraturan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga masih kurang kekerasan bukanlah
kekerasan, keras tapi lincah, lunak bukanlah lemah….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
95
Sambil berpikir tanpa disadari pedang bajanya segera dibabat ke arah depan dengan hebatnya.
Pek Siau-thian tertawa sambil menganguk, sahutnya, “Tepat sekali, serangan pedang bajamu ini
kalau tidak disertai suara itu berani bahwa tenaga seranganya sepuluh Kali lipat dari ke adaan
biasa dan akupun tak mampu menandingi dirimu lagi….”
Hoa Thian-hong melototkan matanya bulat-bulat sambil menatap tajam wajah Pek Siau-thian,
tiba-tiba pedang bajanya melancarkan babatan demi babatan lagi.
Hawa murninya diam-diam dikendalikan, pedang bajanya berputar kencang semakin kecil bawa
murninya desingan udarapun Semakin kecil, tiba-tiba ia lancarkan satu babatan keatas tanah.
Traaang….! percikan bunga api menyebar keempat penjuru sebuah, batu cadas yang keras telah
terbacok hingga muncul sebuah liang besar, setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ia lancarkan
sebuah bacokan kembali, kali ini tenaga yang dipergunakan jauh lebih kecil hingga tak dapat
kecil lagi ketika pedang baja itu menusuk diatas batu segera muncullah sebuah celah diatas batu
gunung itu hingga mencapai dua depa dalamnya.
Sambil tersenyum Pek Siau-thian menyaksikan kesemuanya itu dengan penuh kegembiraan tibatiba
ia temukan dari balik mata Hoa Thian-hong memancarkan cahaya aneh, sepasang pipinya
berubah jadi merah dan rupanya ia terpengaruh oleh emosi, hal ini membuat hatinya jadi
terperanjat hingga tanpa terasa pikirnya, “Aku tak boleh berbuat bodoh sehingga menggali liang
kubur untuk mengubur tubuhku sendiri….!”
Berpikir sampai disini ia segera membentak keras, “Lunak bukanlah lemah, rendah diri harus
mundur, mundur karena rendah diri, diri untuk diri sendiri!”
Hoa Thian-hong merasakan hatinya bergetar keras….
Sreeet!! ia putar pedang melancarkan satu babatan kembali.
“Seranganmu itu menggunakan tenaga terlalu besar!” bentak Pek Siau-thian, sembari berkata
sepasang tangannya laksana sambaran petir melancarkan tiga buah serangan gencar.
Hoa Thian-hong tahu bahwa keadaan yang sedang dihadapinya sangat gawat dan bahaya, dalam
keadaan begini pikirannya tak boleh bercabang akan tetapi beberapa patah kata yang tercatat
dalam Catatan Kiam keng bu kui terlalu menarik hatinya, setiap kata yang tercantum dalam
caatan tersebut seakan-akan sebatang jarum yang menusuk perasaan hatinya semuanya tepat
menunjukkan penyakit yang dideritanya dalam permainan pedang itu ia tak tahan untuk
memecahkan rahsia itu serta menutupi kekurangan yang dideritanya dalam permainan pedang
tersebut.
Terdengar Pek Siau-thian membentak nyaring, telapak tangannya melancarkan serangan
hebatnya luar biasa.
Hoa Thian-hong terdesak hebat dan mundur kebelakang terus tiada hentinya, dengan jurus Su
ku ciong hong atau bunyi senyap diempat penjuru ia lancarkan serangan balasan, pedangnya
sebentar menyapu kekiri sebentar menyapu kekanan, semuanya mengancam untuk membabat
telapak musuh.
Desingan angin serangan sebentar ringan sebentar berat dan sangat tidak beraturan kekuatan
yang terpancar dari senjata itupun seketika berkurang dan sama sekali tak mampu mencapai
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
96
puncak kehebatannya, hal ini memberi peluang bagi Pek Siau-thian untuk menerjang masuk
kedalam lingkaran pertahanannya, jurus demi jurus dilancarkan dengan mantap dan leluasa
sedang tenaga pukulanpun berhasil ditingkatkan menjadi dua belas bagian.
Kendatipun begitu, diam-diam Pek Siau-thian merasa terperanjat juga sebab didalam pertarungan
singkat yang sedang berlangsung ke lika itu, rupanya Hoa Thian-hong lelah berhasil
mendapatkan sedikit pemecahan rahasia ilmu pedangnya, walaupun jurus permainan pedangnya
sudah berubah menjadi tak karuan, tetapi terpancar pula sejenis kekuatan yang luar biasa.
Dendam kematian putrinya membara bagaikan api, rasa iri dan dengki bagaikan minyak, api
bercampur minyak mengakibatkan darah panas dalam rongga dada Pek Siau-thian mendidih,
watak jahatnya muncul dan menyelimuti seluruh benaknya, dia ingin sekali satu kali menghajar
berhasil membinasakan si anak muda itu.
Apa daya, dasar ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong terlalu kokoh dan daya tenaganya luar
biasa sekali, serutama ilmu silat yang dimilikinya sekarang bagian besar didapatkan dari hasil
latihannya yang tekun dalam menghadapi pertarungan-pertarungan sengit, oleh sebab itulah
walaupun kesadaran otaknya sudah mulai samar, namun dengan andalkan kemampuan yang
dimilikinya ia masih mampu untuk bergebrak melawan musuh selama setengah harian lamanya.
Pertempuran ini benar-benar merupakan suatu pertarungan yang sengit dan mendebarkan hati,
tanpa terasa sang surya sudah condong ke arah barat dan senjapun menjelang tiba, dari arah
sebelah Timur muncullah rembulan dengan cahayanya yang samar menyinari kabut yang
menyelimuti puncak bukit yang berjejer, suatu pemandangan yang indah sekali.
Pada saat itu yang terdengar hanyalah suara tertawa menyeringai dari Pek Siau-thian serta
raungan gusar dari Hoa Thian-hong, pukulan demi pukulan dilancarkan tiada hentinya,
sementara cahaya hitam menggulung kian kemari melakukan terjangan-terjangan maut.
Tiba tiba…. Pek Siau-thian membentak keras, “Hoa Thian-hong, tempat ini adalah puncak Ciat in
hong, besok adalah hari Tionggoan, ingat baik-baik….”
“Aku bersumpah akan membinasakan dirimu!” teriak Hoa Thian-hong setengah mendesis.
Pek Siau-thian tertawa keras, ditengah gelak tertawanya sepasang tangan secara beruntun
melancarkan serangan mematikan, sebentar menghantam sebentar menyodok, jurus-jurus
serangan berantai yang dilepaskan memaksa Hoa Thian-hong harus memutar senjatanya sambil
mundur terus tujuh delapan belas langkah kebelakang.
“Keras tapi lincah!” tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak keras.
Tanpa memperdulikan serangan musuh yang sedang meluncur datang, tiba-tiba ia lancarkan
sebuah babatan.
Serangan pedang itu dilancarkan tanpa mengeluarkan sedikit suarapun ketika mencapai ditengah
jalan, tiba-tiba dari balik tubuh pedang itu memperdengarkan suara desingan yang amat tajam,
gerakannya miring kesamping dan langsung membabat sisi tubuh lawan,
Pek Siau-thian yang menyaksikan kejadian itu jadi sangat kegirangan sambil putar telapak
bentaknya, “Kun ji sedang menantikan kedatanganmu, pergilah!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
97
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu…. Blaaam! sebuah pukulan dengan telapak
bersarang diatas punggung Hoa Thian-hong.
Terdengar pemuda itu melengking panjang, darah segar muncrat keluar dari mulutnya, tubuhnya
terjungkal kebawah puncak dan dalam waktu singkat bersama dengan pedang bajanya lenyap
dibalik awan tebal yang menyelimuti punggung bukit.
Suasana diatas bukit pulih kembali dalam kesunyian, sinar mata Pek Siau-thian liar dan kacau,
mukanya pucat pias sementara tubuhnya yang tinggi kekar berdiri ditepi tebing dan
sempoyongan tiada hentinya, seakan-akan sebatang pohon yang kosong dimakan ulat.
Sebentar kemudian kegelapan telah menyelimuti jagad, udara bersih tak berawan sang rembulan
bersinar dengan terangnya membuat suasana jadi terang benderang.
Angin malam menghembus lewat membuat Pek Siau-thian bersin tiada hentinya, sekujur badan
bergentar keras dengan ujung bajunya ia menyeka keringat yang membasahi pipinya.
Tiba-tiba berguman seorang diri, “Kalau rejeki bukan bencana, kalau bencana tak akan bisa
dihindari, keadaan sudah berlangsung demikian, apa yang musti kuta kuti lagi?”
Ia putar badan dan berjalan menuruni bukit tersebut.
Dalam pada itu, Hoa Hujin masih tetap duduk diatas bukit tersebut, sepanjang hari ia tak pernah
bergeser barang setengah langkah pun dari tempat semula.
Cu Im taysu, Ciong Lian-khek, Chin Pek-cuan, Biau-nia Sam-sian serta jago-jago lainnya hampir
semua duduk disekitar
menunjukkan wajah murung sebaliknya mereka yang lain gelisah dan merasa tidak tenang.
Dipihak lain pada, seberang jembatan batu berdiri lautan manusia yang bersenjata lengkap,
sekilas memandang cahaya tajam memenuhi seluruh angkasa suasana sunyi sepi menegangkan
kecuali ringkikan kuda tiada suara lain yang kedengaran.
Rupanya seluruh pasukan dari perkumpulan Sin-kie-pang telah membuat barisan ditepi seberang
jembatan batu walau pun saling berhadapan dengan golongan Hoa Hujin akan tetapi kedua
belah pihak belum sampai melakukan bentrokan langsung.
Disamping itu, pada bukit sebelah utara merupakan pasukan besar dari perkumpulan Hon im
hwee dibukit sebelah selatan ada para iman dari sekte agama Thong-thian-kauw, rupanya ketiga
kekuatan besar dalam dunia persilatan sudah bersatu padu dan siap menghadapi orang-orang
dari golongan pendekar.
Waktu berlalu dengan cepat suasana tetap tenang diliputi keheningan yang mencekam hingga
mencapai tengah malam dari balik pa sukan besar perkumpulan Sin kie psng tiba-tiba
kedengaran demtuman yang amat keras, ditengah-ditengah udara muncullah sebuah bunga api
berbentuk sebuah panji yang amat besar.
Mengikuti suara dentuman tadi diri arah bukit sebelah utara terdengar suara peluit yang
dibunyikan memekakkan telinga.
Ci-wi Siancu yang mendengar suara itu segera menengadah dan bertanya keheranan, “Hujin
apakah yang terjadi?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
98
Hoa Hujin tersenyum.
“Berangkat! jarak tempat ini dengan tempat diselenggarakannya pertemuan besar Kian ciau
tayhwee toh tidak dekat!”
Kemudian sambil menyapu sekejap ke arah jago, ujarnya lagi sambil tertawa, “Kitapun harus
segera mempersiapkan diri untuk berangkat pula”
“Bagaimana dengan Seng ji?” Sam-koh mendadak berkata dengan penuh kegusaran
Senyuman yang semula menghiasi ujung bibir Hoa Hujin seketika lenyap tak berbekas, jawabnya,
“Kalau ia tidak cedera maka besok pasti akan datang sendiri dibukit Thian bok sebelah barat
kalau tidak beruntung dan mendapat celaka itulah takdirnya sudah tiba!”
Mendengar perkataan ini, Tio Sam-koh jadi gusar sekali hingga tubuhnya gemetar keras,
serunya, “Engkau keja, engkau kejam, akan kulihat engkau bakal mampus ditangan siapa? akan
kulihat bagaimana tenangnya engkau menerima kematianmu itu!”
Cu Im taysu menghela napas panjang, hiburnya, “Tio lo tay, urusan toh sudah jadi begini,
mengapa engkau harus mengumbar hawa amarah?”
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda berkumandang dari tepi seberang, rupanya orangorang
dari perkumpulan Sin-kie-pang sudah mulai berangkat tinggalkan tempat itu.
Tio Sam-koh masih belum dapat menekam hawa amarah yang berkobar dalam dadanya, dengan
gemas kembali dia berseru, “Kalau engkau mencegah dia untuk menuruni jurang ini, tak mungkin
ia tinggalkan kita semua, kalau engkau tidak bersikeras untuk melakukan perundingan, kita
semua telah berhasil mengurung dirinya dan tidak akan sampai terjadi hal seperti ini….”
Makin berbicara ia semakin mendongkol, ketika sampai ditengah jalan mendadak mulutnya
tergagap dan tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya.
“Kami semualah yang salah!” tiba tiba Lan-hoa Siancu berkata dengan sedih, “kalau bukan kami
yang mencelakai jiwa Pek Kun-gie lebih dahulu, tak mungkin pula bakal terjadi peristiwa tragis
seperti ini.”
Hoa Hujin tersenyum.
“Nona tak usah menyalahkan diri sendiri,” katanya, “kehidupan manusia di kolong langit telah
ditentukan oleh takdir, siapa yang bisa mempertahankan kehidupannya sampai beberapa ratus
tahun? apalagi dewasa ini kaum lurus tak dapat hidup bersama kaum sesat. Siapa tahu kalau
sekarang kita masih hidup dan besok malam sudah tinggalkan dunia yang fana ini….?”
“Kalau kita bisa mempertahankan diri sampai diselenggaranya pertemuan besar Kian ciau
tayhwee, bagaimanapun juga saat yang dipilih untuk mengorbankan diri jauh lebih tepat,
membunuh beberapa orang banditpun sudah dapat menarik kembabli modal sendiri!” seru Tio
Sam-koh dengan penuh kemarahan.
Kembali Hoa Hujin tersenyum.
“Oleh sebab itulah aku tidak setuju untuk bentrok secara kekerasan pada kesempatan yang tidak
benar, dan aku tidak bersedia mengorbankan diri tanpa sebab musabab yang nyata dalam
pertarungan massal.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
99
“Aku maksudkan Seng ji kita!“ tukas Tio Sam-koh marah-marah.
“Darimana engkau tahu kalau Seng ji pasti mati? dan darimana engkau bisa tahu kalau dia mati
secara konyol!”
Bicara sampai disitu perempuan she Hoa itu bangkit berdiri dan melanjutkan sambil tertawa,
“Mari kitapun berangkat, bagaimanapun juga pertarungan bakal kita temui, lebih cepat tiba
ditempat tujuan rasanya jauh lebih baik.”
Semua orang memang sudah merasa tak sabar, mendengar perkataan itu para jago pun segera
bangkit berdiri dan melakukan perjalanan.
Gerakan orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang sewaktu datang tadi cepat bagaikan
hembusan angin, tapi dalam waktu singkat pula sudah berlalu tanpa bekas, maka dibawah
pimpinan Biau-nia Sam-sian yang menyapu bersih racun keji diatas jembatan batu lebih dahulu,
berangkatlah para jago untuk menghadiri pertemuan besar yang mempengaruhi mati hidup
mereka itu….
Sekte agama Thong-thian-kauw mendirikan pertemuan besar Kian ciau Tayhwee dibukit See
thian bok dengan tujuan untuk mendoakan arwah-arwah yang telah tiada serta sukma-sukma
gentayangan, meja sembahyang didirikan didalam lembah Cu-bu-kok dan dipimpin langsung oleh
kaucu nya yakni Thian Ik-cu sedang ratusan anggota perkumpulannya ikut hadir untuk
memeriahkan upacara besar tadi.
Sejak pagi hari bulan tujuh tanggal
lilin, asap dupa mengepul keudara ba gaikan kabut putih, bunyi alat sembahyangan bertalu-talu
memekakan telinga, pada meja altar yang dibangun tiga tingkat dengan bersandar pada sebuah
dinding bukit teraturlah berpuluh-puluh buah meja abu kecil yang bertuliskan nama-nama para
pahlawan yang telah gugur, sedang tepat ditengah altar berdirilah sebuah meja abu yang luar
biasa besarnya sehingga dapat dilihat sejak dari mulut selat.
Pada meja abu itu terpancang papan nama yang lebarnya dua depa dengan tinggi mencapai satu
tombak, diluarnya terselubung kain warna kuning, diatas kain kuning terpancang beberapa hurup
besar yang berbunyi demikian, “Meja abu para jago yang gugur di
Pak beng hwee”
Dibawah meja abu bertumpuklah buah sajian dan bunga, Thong-thian Kaucu sendiri dengan
memakai kopiah kebesaran dengan jubah imam berwarna merah bersulam pat kwa dan benang
emas dan mantel warna ku ning sedang memimpin anak muridnya membaca doa di meja abu
tersebut suasana ramai sekali.
Disamping itu, sepanjang kedua belah dinding bukit telah didirikan tempat berteduh yang
berdempet empat, dalam barak tersebut tempat meja dan bangku, air teh, teko, tunggu dan alat
untuk memasak semuanya sudah tersedia lengkap.
Perlu diketahui lembab Cu-bu-kok adalah sebuah lembah buntu yang berbentuk gentong dan
dalam mulut lembah hanya terdapat sebuah jalan keluar saja yang berhubungan dengan luar,
berhubung tempat itu lembah dan kalau siang tidak melihat sang surya kalau malam sunyi
menyeramkan karena itu selat tadi disebut orang sebagai lembah Cu-bu-kok.
Kurang lebih antara jam tiga sore, orang-orang dari perkumpulan Hong im bwee masuk ke dalam
selat lebih dahulu, Jin Hian dengan sorot matanya yang tajam segera mengawasi kedalam
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
100
lembah tersebut, ketika melihatnya barak yang didirikan dikedua belah sisi dinding dibagi jadi
empat bagian dan pihak sekte agama Thong-thian-kauw sendiri sudah menempati barak sebelah
kiri dekat meja sembahyangan, maka dia segera memilih barak sebelah kiri yang dekat mulut
lembah walaupun jumlah anak buahnya ada sembilan puluh orang namun setelah masuk
kedalamm barak yang lebar itu kelihatannya sedikit dan sepi.
Sebentar kemudian pasukan induk dari perkumpulan Sin-kie-pang pun telah tiba dan bergerak
masuk kedalam lembah, mereka segera menempati barak sebelah kanan dekat mulut lembah.
Pek Siau-thian benar-benar seorang ahli setrategi perang, ia tidak memimpin seluruh pasukannya
masuk kedalam lembah, melainkan hanya kurang lebih
masuk kedalam barak tempat beristirahat, sedangkan sebagian besar lainnya tetap tinggal diluar
lembah tersebut, ada yang berjaga-jaga di mulut lembah dan ada pula yang meronda disekitar
bukit, tidak selang beberapa saat kemudian diatas purcak bukit yang mengitari selat Cu-bu-kok
telah mucul para peronda dari perkumpulan Sin kei pang.
Kurang lebih pukul
sebelum mereka memasuki selat tersebut tiba-tiba dari balik tikungan bukit muncul dua belas
orang, orang pertama bukan lain adalah Siau yau sian dewa yang suka pelancongan Cu Tong,
sambil menggoyangkan kipasnya dan tertawa terbahak-bahak, ia maju menghampiri rombongan
yang dipimpin Hoa Hujin kemudian memberi hormat.
Buru-buru Hoa Hujin menyongsong kedepan, sekilas memandang terlihat olehnya bahwa hampir
semuanya adalah sahabat-sahabat lama, dengan cepat ia menyapa dan melepaskan rindu
diantara mereka, suasana diliputi keharuan dan kegembiraan
Dengan air mata meleleh keluar karena terharu, dewa yang suka pelancongan Cu Tong berkata,
“Mungkin semua orang yang masih hidup di kolong langit ini hari telah berdatangan”, semua
disini banyak perkataan yang hendak kita bicarakan bagaimana kalau kita masuk dulu kedalam
lembah kemudian baru dibicarakan secara perlahan-lahan”
“Cu toako, dandanan maupun potongan wajahmu sama sekali telah berubah….” kata Hoa Hujin
sambil tertawa paksa, “andaikata aku tidak mendengar penuturan orang lebih dahulu mungkin
aku tak dapat mengenali dirimu kembali, sedang dua orang lainnya aku tak bisa ingat kembali
siapakah mereka gerangan?”
Dewa yang suka melancong Cu Tong segera menuding ke arah manusia jelek bertubuh seperti
beruk itu, ia memperkenalkan, “Dia adalah Ciu tayhiap dari gunung Huang-san berhubung
hatinya selalu gelisah ketika berlatih ilmu, mengakibatkan dia mengalami jalan api menuju
neraka dan berubah potongan tubuhnya jadi begini rupa”
“Cui heng….? “seru Hoa Hujin dengan terperanjat “aku masih amat jelas ketika itu engkau….”
Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san segera tertawa.
“Ketika itu tubuhku memang sudah termakan oleh enam buah tusukan pedang dan satu buah
pukulan berat yang bersarang didada ku membuat aku roboh terkapar diatas genangan darah
dan kemudian tertindih pula oleh dua sosok mayat sampai aku sendiripun telah mengira bahwa
diriku telah mati, siapa tahu nyawaku ternyata belum putus, lewat dua hari kemudian aku telah
hidup kembali di kolong langit”
Mendengar ucapan tersebut Hoa Hujin segera menghela napas panjang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
101
“Aaaai….!Cui heng tidak mati itu berarti bahwa beberapa orang gembong iblis tersebut sudah
tiba pada waktunya untuk mampus”
Sorot matanya segera dialihkan keatas wajah seorang padri berusia empat puluh tahunan.
Padri itu segera merangkap kedua tangannya didepan dada untuk memberi hormat sambil
tersenyum katanya, “Ti Kiam Hui yang hujin kenal tempo dahulu, sekarang telah berubah
menjadi It sim hweesio!”
“Kiam Hui hen? bagaimana caranya engkau merawat diri hingga awet muda? rupanya semakin
latihan muka mu berubah semakin muda dan semakin bercahaya?”
It sim hweesio menghela napas, kemudian ujarnya, “Pahit getir yang kualami selama ini sukar
dilukiskan dengan kata-kata, aku harus cukur rambut menjadi pendeta karena itu kuguna
gelar It sim sebagai pengganti namaku yaitu agar aku selalu ingat untuk membalas dendam
selalu ingat pada dendam kesumat yang tertanam dalam hatiku, aku tak bisa bertemu dengan
leluhurku tak apa, tak bisa bertemu dengan orang suci juga tak apa, sekalipun harus masuk
neraka asal sakit hati ku bisa terbalas hal itu sudah cukup menggirangkan hatiku….!”
Hoa Hujin diam-diam berpikir dalam hatinya, “Walaupun setiap orang mempunyai kesedihannya
sendiri-sendiri, tetapi kesediaan yang dialami Ti Kiam hui rupanya jauh lebih dalam daripada
siapa pun juga….!”
Tiba-tiba Dewa yang suka melancong Cu Tong tidak menemukan Hoa Thian-hong ada dalam
rombongan, dengan dahi berkerut, segera tegur nya, “Hoa Hujin, di manakah putramu?”
“Pek Kun-gie putri Pek Siau-thian dari perkumpulan Sin-kie-pang telah mati, putra itu telah
meloncat kedalam jurang untuk menolong tapi akhirnya hingga kini tiada kabar beritanya lagi,
aku sendiri pun tak tahu bagaimanakah nasibnya kini….” ujar Hoa Hujin dengan wajah sedih.
Menyengat berita tersebut, air muka Cu Tong sekalian dua belas orang seketika itu juga berubah
hebat, Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san dengan cepat bertanya, “Kapan terjadinya peristiwa
ini?”
“Tengah malam tanggal tiga belas jadi sudah tiga hari lamanya….!”
“Waktu itu apakah hujin tidak hadir disana” timbrung It sim hweesio dari samping.
Beberapa pertanyaan yang dilontarkan beberapa orang jago itu penuh mengandung nada cemas
dan kuatir, hal ini membuat Hoa Hujin terpaksa harus menghela napas berulang kali, jawabnya,
“Pada waktu itu aku hadir ditempat kejadian tetapi berhubung jurang tersebut tegak lurus dan
dalamnya mencapai ratusan tombak diantara kami hanya ilmu meringankan tubuhnya saja yang
secara paksakan diri bisa dipergunakan, karena itu aku biarkan dia untuk menuruni jurang tadi
guna memberikan pertolongan. Kemudian para jago dari perkumpulan Sin-kie-pang menyusul
disitu, Pek Siau-thian dengan mempergunakan seutas tali menuruni pula jurang tersebut, karena
aku kuatir Seng ji menemui bahaya, buru-buru aku menuruni jurang itu dari sisi kiri bukit tadi,
tapi semalam suntuk sudah berlalu, didasar jurang tidak nampak sesosok bayangan manusiapun,
bahkan jejak Pek Siau-thian pun tidak kelihatan lagi”
Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san mengerutkan dahinya rapat-rapat, dengan nada me-negur
katanya, “Manusia terdiri dari darah dan daging, tidak mungkin tubuh mereka bisa lenyap
dengan begitu saja, menurut dugaanku dibawah jurang pasti ada jalan tembus lainnya, dengan
kepandaian yang hujin miliki seharusnya engkau dapat menyusul mereka”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
102
Tio Sam-koh yang selama ini memang merasa mendongkol terus, tiba-tiba mendengus dingin
dan menyindir, “Hmmm! orang lain toh punya semangat gagah yang membubung tinggi kelangit
seorang putra apa harganya? mau kejar atau tidak siapa yang dapat mengurusi?”
Hoa Hujin menghela napas panjang.
“Aaaai…. bukannya aku tidak menaruh perhatian atas nasib putraku, tapi dalam kenyataan
situasi yang sedang kita hadapi pada saat itu genting sekali setiap saat suatu pertarungan
terbuka bakal terjadi menurut pendapatku Pek Siau-thian toh hanya seorang diri sekalipun dapat
menyusul Seng ji belum tentu ia dapat melukai jiwanya.”
“Dengan kepandaian silat yang dimiliki
ji….?” seru It sim Hweesio dengan perasaan hati sangsi.
Hoa Hujin mengangguk.
“Kepandaian silat yang dimiliki Seng ji tidak lemah, bilamana ia ada maksud untuk melarikan diri
maka Pek Siau-thian tak mungkin bisa mengapa-apakan dirinya.”
“Orang muda selamanya berdarah panas” sela Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san dengan
nada tak senang hati, seandainya ia tak sudi untuk melarikan diri, bukankah selembar jiwa
dikorbankan dengan percuma….??”
“Dalam pertemuan besar Pak beng hwee tempo hari, kita semua bilamana tidak melarikan diri,
siapakah yang mampu hidup hingga ini hari? walaupun Seng ji masih muda belia, tapi aku sudah
belasan tahun mempelajari dirinya untuk menahan emosi dan tebalkan iman, andaikata ia masih
juga tak tahu diri dan tidak bisa mengambil keputusan yang bijaksana maka keadaannya
bagaikan seorang manusia tolol yang tak bisa dibimbing, ini hari kita berhasil melindungi
keselamatan jiwanya toh dilain hari kita belum tentu dapat menolong jiwanya!?”
Pandangan perempuan ini terhadap kehidupan manusia boleh dibilang melewati jangkauan daya
pikir orang biasa, jalan pikiran semacam itu bukan bisa diterima oleh sekawanan manusia biasa,
apalagi diantara Ciu Thian-hau sekalian ada yang didasarkan karena persahabatan, ada yang
pada perasaan, dan ada pula yang karena pernah bertemu atau mendengar, semuanya menaruh
perasaan sayang dan kagum terhadap diri Hoa Thian-hong, oleh karena itu sehabis mendengar
perkataan dari Hoa Hujin, rata-rata mereka menunjukkan wajah tidak puas.
Kawanan jago tersebut adalah para pendekar yang berjiwa lurus serta terus terang, dalam hati
merasa tak senang perasaan tersebut segera terpancar diatas wajahnya, kalau dilihat gelagatnya
nampak jelas bahwa semua orang akan menunjukkan protesnya.
Cu Im Taysu segera memuji keagungan sang Buddba dan berkata setelah menghela napas
panjang, “Aaai….! sesungguhnya persoalan ini amat sulit untuk diatasi, hati siapa tidak lara
melihat darah daging sendiri terancam bahaya? perasaan hati hujin sudah cukup tersiksa, aku
harap saudara sekalian dapatlah bersabar sedikit!”
Hoa Hujin tertawa paksa, sambil membeli hormat dia berkata, “Kejadian telah berlangsung jadi
begini, merasa murung juga tak ada gunanya, lebih baik kita segera masuk kelembah Cu-bu-kok
untuk menyelesaikan masalah besar yang menyangkut kepentingan dunia persilatan saja!”
Semua orang membungkam dalam seribu bahasa, setelah hening beberapa waktu lamanya,
berangkatlah mereka mengikuti Hoa Hujin ma suk kedalam lembah tersebut.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
103
Seorang pemuda baju hijau yang menyoren pedang di pinggangnya tiba-tiba munculkan diri dari
rombongan para jago, tegurnya dengan suara dingin, “Enso, kejadian itu berlangsung dimana?
siaute bermaksud melakukan pemeriksaan disana”
Hoa Hujin berpaling ketika diketahui bahwa orang itu bukan lain adalah adik angkat mendiang
suaminya yang bernama Suma Tiang-cing, ia segera termenung sebentar lalu menjawab.
Pulang pergi ada empat ratus li jauhnya, daripada buang waktu dalam perjalanan, lebih baik
himpun saja tenagamu untuk membunuh musuh.
Jilid 6
Air muka Suma Tiang Ciang berubah jadi hijau membesi, katanya, “Pek Siau-thian telah
memasuki selat ini, apa bila Seng ji tidak menemui musibah, sepantasnya kalau iapun sudah
sampai disini.
“Apakah engkau punya rencana untuk keluar dari lembah Cu-bu-kok ini dalam keadaan hidup?”
seru Hoa Hujin secara tiba-tiba dengan wajah yang berat.
“Selama hidup siaute tak pernah melarikan diri untuk kedua kalinya….!”
“Kalau memang begitu apa yang hendak kukatakan lagi?” kata Hoa Hujin dengan sepasang
matanya memancarkan cahaya berkilat, “sekalipun engkau berhasil menemukan Seng ji belum
tentu ia dapat lolos dari lembah Co bu kok dalam keadaan hidup, kalau memang di mana-mana
pun jiwanya terancam bahaya kematian apa gunanya engkau cari dirinya?”
Suma Tiang Cin adalah saudara angkat dari Hoa Goan-siu, dia merupakan satu-satunya orang
yang berusia paling muda diantara angkatan yang setaraf dengan Hoa Hujin, wataknya
berangasan dan kasar dalam menghadapi musuh, tindakannya selalu keji dan telengas karena
kekejamannya dan sikapnya yang sama sekali tidak kenal ampun di tambah pula kepandaian silat
yang dimiliki sangat lihay maka beberapa gembong iblis tidak bersedia untuk melakukan
pertempuran melawan dirinya oleh sebab itulah dalam beberapa kali pertarungan sengit jiwanya
selalu selamat dari kematian.
Karena keistimewaannya itu, orang-orang kangcu memberi julukan Kiu mia kiam kek atau jago
pedang bernyawa rangkap sembilan kepada orang ini, selama melakukan perjalanan dalam dunia
persilatan dia merupakan momok yang paling memusingkan kepala bagi orang-orang kalangan
hitam dan oleh karena wataknya yang sukar diatur itulah Hoa Hujin dengan kedudukannya
sebagai kakak ipar selalu bersikap tegas dan keras terhadap dirinya.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, semua orang telah memasuk kedalam lembah
tersebut.
Suma Tiang Ting merasa sangat tidak puas, belum sempat ia berbicara tiba-tiba sorot matanya
yang tajam telah menangkap tulisan besar yang terpancang diatas meja abu pada panggung
persembahan, air matanya kontan berubah hebat dan darahnya mendidih.
Sesaat kemudian semuajagopun dapat melihat tulisan tadi, air muka mereka semua kontan
berubah sangat hebat.
Terdengar Chin Pek-cuan sambil menggertak gigi berseru, “Anjing bangsat…. manusia
laknat….!Rupanya tujuan mereka menyelenggarakan pertemuan besar Kian ciau tayhwee adalah
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
104
untuk mendoakan arwah-arwah yang telah berpulang dalam pertemuan Pak beng Tay bwee
tempo hari….”
Baru saja perkataan itu selesai diutarakan keluar, Thong-thian Kaucu dengan memimpin anak
muridnya telah turun dari panggung persembahan dan menyambut kedatangan mereka.
Ketika Hoa Hujin menyaksikan Suma Tiangg Cing telah meraba gagang pedangnya siap
menerjang kedepan, ia segera menyapu sekejap wajah para jago dan menegur dengan suara
berat, “Siapa yang akan munculkan diri untuk berbicara?”
“Berada dihadapan musuh tangguh, hujin jangan mengacaukan barisan sendiri, engkau saja
yang buka suara” kata Cu Tong dewa yang suka pelancongan dengan gelisah.
It Sim hweesio yang berada disisinya segera menimbung pula, “Pinceng tidak ada komentar apaapa,
aku bersedia menerima perintah….” seraya berkata ia menggeserkan badannya mundur
selang-kah ke arah belakang.
Cu Im taysu yang melihat sikap rekannya segera ikut pula mundur kebelakang sedang Ciu Thian
Huu dari gunung Huang-san bergeser tiga depa kebelakang.
Suma Thian Cing amat membenci terhadap diri Thian Ik-cu, dia ingin sesaki membinasakan imam
tua tersebut dalam satu tusukan kilat akan tetapi setalah dilihatnya para jago yang berjalan
disamping Hoa Hujin telah mengundurkan diri semua kebelakang terpaksa diapun ikut melangka
mundur setindak kebelakang, sepasang matanya yang tajam dengan memancarkan cahaya
penuh nafsuh membunuh menatap wajah Thong-thian Kaucu tanpa berkedip.
Thong-thian Kaucu buru-buru maju kedepan, sesudah memberi hormat serunya dengan lantang,
“Kehadiran Hujin dan para tayhiap lainnya sungguh merupakan suatu kehormatan bagi
perkumpulan Tiong Thian Kau kami dan merupakan kebanggaan pula bagi umat persilatan di
kolong langit….”
Sementara itu suasana dalam lembah Cu-bu-kok diliputi keheningan dan kesunyian, suara bunyibunyian
alat sembahyang telah berhenti berdenting dan suara pembicaraan manusiapun telah
sirap dalam lembah seluas itu, hanya kedengaran suara lantang dari Thian Ik-cu seorang….
Dari balik mata Hoa Hujin memancar keluar cahaya kilat yang menggidikkan hati, membuat
wajahnya yang keren dan penuh berwibawa kelihatan semakin gagah dan menyeramkan
membuat siapapun tak berani memandang enteng perempuan ini.
Ia balas memberi hormat kemudian menjawab dengan suara yang keras dan tegas, “Tujuan dari
pertemuan besar Kian ciau tayhwee adalah untuk mengenang kembali arwah-arwah para jago
persilatan yang sudah tiada, aku orang she Bun sekalian termasuk anggota persilatan, sudah
sepantasnya kalau kami semua ikut menghadiri upacara besar seperti ini.”
Sesudah berhenti sebentar, sorot matanya dialihkan sekejap ke arah meja abu yang berjajar
diatas panggung persembahan, setelah itu sambungnya lebih jauh, “Mendiang suamiku dan
rekan-rekan kami lainnya telah mati binasa dalam pertemuan besar Pak beng tayhwee tempo
dulu, atas kebaikan ha ti kaucu untuk mendoakan arwah-arwah mereka yang sudah tiada, aku
orang she Bun sekalian mengucapkan banyak terima kasih lebih dahulu”
Perkumpulan Thong-thian-kauw adalah sekte agama yang didirikan diatas kehendak Thian,
tujuan kami adalah mendoakan arwah-arwah yang telah tiada agar segera masuk ke nirwana dan
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
105
mendapat ketenangan untuk selamanya, tugas berdoa adalah pekerjaan kami, buat apa engkau
musti berterima kasih kepada kami? sahut Thong-thian Kaucu dengan wajah serius.
Kegagahan Hoa Hujin membuat Thong-thian Kaucu diam-diam merasa kecil hati dan malu,
karena itu setelah mengucapkan kata-kata yang merendah dan saling memberi hormat, ia segera
mengiringi Hoa Hujin memasuki lembah dan ambil tempat dibarak sebelah kanan.
Setelah masuk kedalam barak, Hoa Hujin pun lantas bertanya, “Pertemuan besar Kian ciau
tayhwee akan diselenggarakan mulai kapan….? dapatkah kaucu memberi keterangan?”
“Jam sebelas malam upacara dimulai dan jam dua belas tengah malam pintu akhirat akan
terbuka, pada saat itulah upacara penghormatan untuk arwah-arwah yang telah tiada dalam
pertemuan Pak beng hwee akan diselenggarakan!”
Hoa Hujin mengangguk.
Upacara sudah akan diselenggarakan, dalam keadaan demikian kaucu pasti repot sekali, silahkan
engkau menyelesaikan pekerjaanmu, tolong saja apabila waktunya sudah tiba engkau bersedia
memberi kabar agar aku orang she Bun sekalian dapat memberi hormat untuk arwah rekanrekan
kami”
“Tak usah kuatir….!” setelah memberi hormat kaucu dari Thong-thian-kauw itu segera
mengundurkan diri.
Beberapa saat kemudian alat tetabuhan berkumandang kembali dan pembacaan doa pun dimulai
lagi, dari balik barak-barak disisi kanan dan kiri ramai pula oleh suara pembicaraan manusia.
Pertemuan ini adalah suatu pertemuan besar yang jarang terjatdi di kolong langit, suatu saat
sebelum datangnya hujan badai.
Sebentar lagi pembunuhan besar-besaran akan dimulai namun pada saat ini suasana sama sekali
tidak diliputi oleh bentrokan, tidak tercium pula nafsu membunuh yang menyelimuti angkasa….
Perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thian-kauw dan para pendekar dari golOngan
lurus salingmenempati suatu barak yang berbeda, walaupun tiada hubungan namun suasana
tetap tenang dan damai, bahkan sorot mata yang memancarkan sinar bengis pun tertutup untuk
sementara, yang ada hanya sikap yang dingin serta dugaan-dugaan yang tersembunyi untuk
menilai kekuatan pihak lawan.
Waktu berlalu dengan cepatnya, tanpa terasa senja telah menjelang tiba, sang surya telah
lenyap dibalik bukit dan kegelapan mulai menyelimuti seluruh jagad.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari luar lembah Cu-bu-kok berkumandang datang suara tangisan
setan yang mendirikan bulu roma, pekikan dan jeritan yang memilukan hati itu bergema tidak
menentu, sebentar ke kiri sebenar kekanan seakan-akan diluar lembah telah berkumpul
berpuluh-puluh sosok arwah gertayangan yang sedang menangis dan menjerit….
Begitu suara tangisan setan itu berkumandang, suara tetabuhan dan pembacaan doa seketika
tertumpuk lenyap, suara pembicaraan dalam barak-barak pun tak kedengaran lagi.
Dalam lembah Cu-bu-kok, semua bagian telah ditutup oleh kain putih sebagai tanda berkabung,
rumah-rumahan dari kertas, kuda-kudaan dari kertas telah bersusun dibawah meja sembahyang,
ditambah pula dengan meja abu yang berpuluh-puluh banyaknya menambah seram nya suasana
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
106
disitu, kini ditambah pula dengan suara jeritan dan tangisan setan yang menggidikkan hati
membuat suasana bertambah seram, hawa setan menyelimuti seluruh lembah membuat bulu
kuduk orang pada bangun berdiri.
Tiba-tiba segulung angin dingin menghembus lewat, membuat udara jadi dingin dan menusuk
tulang, bunyi desiran tajam menambah seramnya isak tangis sukma gentayangan tersebut.
Ci-wi Siancu paling takut dengan setan, ia jadi ketakutan setengah mati hingga keringat dingin
mengucur tiada hentinya, tanpa terasa ia menggenggam tangan Hoa Hujin sambil bisiknya
dengan suara gemetar.
“Hujin….! buu…. bukankah pintu gerbang akhirat baa…. baru dibuka selewatnya jam dua belas
tengah malam….??”
Melihat gadis itu ketakutan setengah mati sehingga air mukanya pucat pias dan bibirnya
membiru, buru-buru Hoa Hujin menghibur sambil berkata, “Engkau tak usah takut…. pastilah hal
ini merupakan permainan setan dari pihak Thong-thian-kauw, di kolong langit tidak mungkin ada
setan benar-benar….”
“Tidak, setan itu pasti ada!” seru Ci-wi Siancu dengan hati amat gelisah.
Hoa Hujin tersenyum.
“Kalau begitu duduklah disisiku!”
Dalam pada itu…. tiba-tiba terdengar Dewa yang suka melancong Cu Tong berseru tertahan.
“Aaah! sungguh aneh, kenapa siluman-siluman tosu itu pada gugup semua….??”
Hoa Hujin segera menengok ke arah depan, sedikitpun tidak salah tampaklah Thian Ik-cu dengan
wajah gusar sedang membisikkan sesuatu kesisi telinga dua orang muridnya, dua orang imam
tersebut buru-buru lari keluar lembah dengan wajah aagk gugup.
Pada saat itulah orang-orang perkumpulan Sin-kie-pang dan Hong-im-hwie yang berada dimulut
lembah tiba-tiba memperdengarkan seruan kaget dan sama-sama bangkit berdiri untuk
menengok ke arah luar lembah tersebut….
***
DALAM sekejap mata, dari mulut lembah Cu-bu-kok muncul segerombolan setan berwajah
menyeringai seram dengan rambut yang awut-awutan terurai kebawah.
Setan-setan bermuka seram itu ada yang tua ada yang muda ada yang wanita ada pula yang
pria, dandanan seta pakaian yang mereka pakai berbeda-beda satu sama lainnya ada yang
memakai baju model sekarang ada yang berdandan seperti orang pada masa Tong tiau atau pula
yang mamakai baju model Han semuanya menjerit-jerit dan menangis menggerung dengan
suara yang keras mereka saling dorong mendorong membuat suasana jadi ribut….
Dua orang imam dari perkumpulan Thong-thian-kauw yang mendapat perintah untuk melakukan
pemeriksaan Keluar lembah telah berpapasan dengan rombongan setan penasaran itu, untuk
sesaat mereka jadi gugup…. pedangnya buru-buru dicabut keluar.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
107
Terdengar diantara rombongan setan-setan penasaran itu, tiba-tiba terdengar keluhan seram
yang menggidikkan hati, “Oooh…. anakku!”
Seorang setan perempuan yang bermuka seram dan berlidah menjulur keluar melewati
rombongannya dan langsung menubruk ke arah tosu tersebut.
Pada waktu itu kegelapan telah mencekam seluruh jagad, dibawah remang-remangnya cuaca
sulit bagi para jago untuk memeriksa apakah setan-setan itu adalah setan asli atau gadungan,
keadaan mereka benar-benar mengerikan sekali.
Dua orang imam tersebut ketakutan setengah mati, dengan jantung berdebar keras mereka
membentak keras kemudian melancarkan sebuah serangan dahsyat kedepan.
Tetapi…. sebelum serangan itu mencapai sasarannya, mendadak mereka rasakan genggamannya
jadi enteng dan tahu-tahu kedua batang pedang tersebut telah lenyap tak berbekas.
Setan perempuan yang lidahnya menjulur keluar bagaikan setan gantung itu segera berpekik
nyaring, “Ooooh…. anakku!” sambil rentangkan sepasang tangannya, ia segera memeluk salah
satu diantara dua orang imam itu.
Dua orang tosu tersebut semakin ketakutan hingga serasa sukma melayang tinggalkan raganya,
mereka sipat telinga dan melarikan diri terbirit-birit.
“Criing….! tiba-tiba kaki mereka disapu oleh seorang setan pria dengan rantai yang
membelenggu tangannya hingga jatuh tersungkur diatas tanah, sedang seorang lainnya yang
melarikan diri agak lambat kena dipeluk oleh setan tua berambut putih.
Dalam waktu singkat imam tersebut dibikin bulanbulanan oleh rombongan setan penasaran
tersebut, kau rebut aku rampas jeritan isak tangis menggema memenuhi angkasa, seluruh jubah
yang dikenakan tosu itu jadi koyak tak ada juntrungnya karena ketakutan akhirnya imam tadi
jatuh tak sadarkan diri.
Semua peristiwa tersebut berlangsung dalam sekejap mata, para jago yang hadir dalam lembah
Cu-bu-kok dan rata-rata merupakan jago kangou berkepandaian lihay dan membunuh orang tak
berkedip itu seketika dibuat berubah wajahnya dan merasa amat terperanjat.
Thong-thian Kaucu yang berada diatas panggung persembahan dapat menyaksikan jalannya
peristiwa tersebut dengan amat jelas, mulutnya yang membaca doa segera diperkeras, tangan
kiri berputar-putar diudara sedang pedang ditangan kanannya menepuk meja keras-keras.
Anak murid diatas pangguug sama-sama jadi gugup dan gelagapan, suara pembacaan doa
semakin nyaring dan tetabuhan alat sembah yang pun semakin memekikkan telinga.
Thian Seng cu dengan wajah penuh kegusaran segera loncat keluar dari dari dalam barak,
hardiknya keras-keras, “Hian cing, tenangkan hatimu!”
Imam yang bergelar Hian cing itu sambil mengguling dan merangkak sedang melarikan diri dari
kejaran setan-setan penasaran itu, mendengar bentakan dan Thian Seng cu, ia jadi semakin
gugup sehingga sepasang kakinya jadi lemas. Terdengarlah jeritan dan tangisan setan makin
memekikkan telinga, orang itu kena ditumbuk oleh rombongan setan tadi hingga jatuh terjungkal
keatas tahan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
108
Rombongan setan penasaran itu bergerak bagaikan hembusan angin, diiringi jeritan dan pekikan
ngeri mereka lari menuju kebawah panggung persembahan, kemudian sambil depak kaki
memukul dada menangis mengerang-erang….
Air muka Thian Seng cu berubah jadi hijau membesi, dia ulapkan tangannya, dari balik barak
segera berlompatan puluhan orang jago berbaju merah, dengan senjata terhunus mereka
mengurung rombongan setan penasaran itu rapat-rapat.
Rombongan setan penasaran itu tetap tidak menggubris atas kepungan tersebut, mereka samasama
menengadah memandang Thong-thian Kaucu yang berada diatas panggung, isak tangis
bergema tiada hentinya membuat hati orang semakin kalut.
Ci-wi Siancu paling ketakutan, sekujur badannya gemetar keras dan giginya saling beradu keras,
lengannya memeluk tubuh Hoa Hujin kencang-kencang.
Hoa Hujin merasa tak tega, bisiknya dengan suara lirih, “Jangan takut, mereka adalah menusia
dan jumlahnya tujuh puluh dua orang….”
Sementara itu Thian Seng cu telah membentak dengan suara keras, “Kalian kawanan setan
darimana? siapa pemimpin kalian? ayoh jawab!”
Kawanan setan penasaran itu tetap melompat dan menangis tersedu-sedu tiada hentinya.
Li-hoa Siancu segera mendekati tubuh Hoa Hujin dan berbisik dengan gemetar, “Hujin
rombongan itu benar-benar adalah setan asli, kalau manusia yang menyaru jadi setan kenapa
tujuh delapan puluh orang loncat bersama sedikitpun tidak menimbulkan suara.
“Aduuuh…. sungguh tak enak didengar suara tangisan mereka seru Ci-wi Siancu pula, suara
mereka sedikitpun tidak mirip suara manusia….”
Tiba-tiba Thong-thian Kaucu yang berada diatas panggung menepukkan pedangnya keras-keras
dan membentak keras, “Pertemuan Kian ciau tayhwee adalah untuk mendoakan arwah-arwah
yang telah tiada, kawanan setan penasaran tiada tempat disini enyah kalian dari tempat ini”
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu mendadak kawanan setan penasaran itu
menengadah dan mengeluh, dalam waktu singkat dari tujuh lobang indera mereka mengucur
keluar darah segar dan setan-setan itupun roboh terkapar diatas tanah tak berkutik lagi.
Suasana dalam lembah Cu-bu-kok segera diselimuti oleh suasana yang menyeramkan.
Pembacaan doa, suara tetabuhan berhenti berdentang, suasana diliputi keheningan dan
kesunyian….
Pemandangan yang terpapar didepan mata pada saat itu benar-benar mengerikan dan
mendebarkah hati, diatas tanah penuh berserakan tubuh makhluk-makhluk setan berambut
panjang dan menyeringai seram, darah yang mengalir ke luar dari tujuh lobang indera mereka
membuat wajah setan-setan itu bertambah mengerikan, jangan dikata setan, sekalipun manusia
pun cukup mendirikan bulu roma dan menggidikkan hati orang.
Perubahan yang terjadi sangat tiba-tiba ini jauh diluar dugaan semua orang dan cukup
mengejutkan hati para jago, Thong-thian Kaucu yang berada diatas mimbar pun berdiri kaku
bagaikan patung, karena terperanjat air mukanya berubah jadi amat jelek.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
109
Tetapi, bagaimanapun juga dia adalah seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, sesudah
tertegun beberapa saat lamanya, ia segera tersadar kembali dari lamunannya.
“Ploook….”pedang mustikanya dipukulkan keatas meja keras-keras kemudian lanjutkan
pembacaan doanya dengan suara lantang.
Para anak murid perkumpulan Thong-thian-kauw yang berada di mimbar nampak tertegun,
diikuti suara tetabuhan dan pembacaan doapun dilanjutkan lebih jauh, mula-mula suaranya
masih lirih dan terpotong-potong, tapi sebentar kemudian suasana berubah jadi ramai kembali.
Thian Seng cu mendekati makhluk-makhluk aneh yang tidak mirip manusia dan setan itu, setelah
mengetahui bahwa tubuh mereka telah mendingin dan napasnya telah putus, buru-buru ia
perintahkan anak muridnya untuk menggotong mayat tadi keluar dari lembah, noda darah diatus
tanahpun segera dibersihkan.
Thong-thian Kaucu yang berdasarkan ajaran agamanya pada soal kebatinan seringkali menyaru
jadi setan atau malaikat untuk menakut nakuti kaum rakyat kecil yang bodoh, sekarang setelah
benar-benar menghadapi kejadian semacam itu, walaupun sudah tahu bahwa setan itu adalah
setan gadungan semua namun ia tidak membongkar rahasia tersebut.
Sekalipun demikian, kedatangan makhluk aneh yang tiba-tiba dan kematiannya secara
mengerikan menimbulkan kecurigaan dalam hati semua orang, tak seorangpun yang berani
unjukkan sikap mengejek atau mentertawakan atas terjadinya peristiwa itu.
Setelah kejadian yang menegangkan telah lewat, suara hiruk pikuk manusia berbicara pun mulai
muncul dari barak-barak dikiri maupun kanan, rata-rata mereka semua membicarakan peristiwa
aneh yang barusan berlangsung itu.
Siau yau siau Cu Tong dengan penuh semangat berkata, “Kalau dilihat dari sikap Thian Ik-cu
yang jengah dan tersipu-sipu, rupanya apa yang terjadi tadi bukanlah permainan setan dari pihak
perkumpulan Thong-thian-kauw sendiri, ditinjau dari hal ini dapat diketahui bahwa diantara tiga
bibit bencana dunia persilatan masih terdapat perselisihan yang belum dapat diselesaikan, itu
berarti belum tentu mereka benar-benar bisa bekerja sama untuk meghadapi kita!”
Hoa Hujin mengerutkan dahinya rapat-rapat.
“Aku rasa perbuatan semacam ini tidak mirip perbuatan dari Sin-kie-pang ataupun Hong-imhwie!”
katanya.
“Perkataan hujin sedikitpun tidak salah” Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san mengangguk
tanda membenarkan, “kawanan makhluk aneh itu sudah jelas bukan berasal dari orang-orang
gabungan tiga kekuatan besar tersebut, kalau dilihat dari ilmu meringankan tubuh mereka yang
aneh dan ampuh, sudah jelas orang-orang tadi berasal dari satu golongan yang sama, tidak
mungkin perkumpulan Sin-kie-pang dan Hong im bwee mampu melatih manusia aneh sebanyak
itu!”
“Kecuali tiga bibit, bencana dari dunia persilatan dan golongan kita, masa dalam dunia persilatan
masih terdapat kelompok kelima?” seru Im sim hweesio dengan wajah tercengang.
Beberapa orang ini semuanya merupakan jago-jago persilatan yang berkelana dalam Bu lim sejak
muda sampai tua, boleh dibilang situasi persilatan sepanjang puluhan tahun diketahui mereka
dengan jelas sekali, bahkan merekapun sempat mengalaminya sendiri, kalau dibilang diluar
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
110
empat kelompok besar dalam dunia kangkou masih ada kekuatan lainnya lagi, siapapun merasa
tidak percaya akan kenyataan tersebut.
Terdengar Cu Im taysu menghela napas panjang dan berkata, “Yang paling aneh lagi, ternyata
kawanan manusia aneh itu pada saat bersamaan sama-sama menemui ajalnya dengan darah
mengalir keluar dari ketujuh lubang indera mereka, bagaimana penjelasannya tentang peristiwa
ini?”
“Kalau dilihat keadaan mereka, semestinya mati lantaran keracunan hebat….!” sambung Li-hoa
Siancu dari samping, “cuma tidak diketahui siapakah yang melepaskan racun keji tersebut?”
Cu Im taysu segera berpaling ke arah Ci-wi Siancu dan bertanya, “Nona ketiga racun itu
semestinya bukan engkau yang melepaskan bukan….?”
Ci-wi Siancu terttegun lalu menggeleng.
“Bukan aku yang melepaskan!!” jawabnya.
Tiba-tiba ia menggertak gigi dan berseru dengan gemas, “Tadi aku sudah lupa kalau aku
membawa racun. Hmm! kalau makhluk-makhluk aneh semacam itu berani munculkan diri lagi,
perduli dia adalah manusia atau setan akan kusuruh mereka merasakan lebih dulu kelihayan dari
kabut sembilan bisa!”
Tiba-tiba dari mulut lembah muncul cahaya lampu, dua orang dayang berdandan rapi dengan
membawa lampu lentera berjalan, dipa ling depan seorang gadis baju putih yang berdandan
agung bagaikan gadis keraton, berjalan dibelakangnya seorang gadis baju hijau mengikuti
dibelakang gadis agung tadi dan bersama-sama masuk kedalam lembah tadi.
“Siapakah dia?” tanya Ci-wi Siancu dengan alis mata berkernyit.
“Perempuan yang agung dan berdandan keraton itu bukan lain adalah Giok Teng Hujin dari
perkumpulan Thong-thian-kauw, gadis yang mengikuti dibelakangnya itu bernama Pui Che-giok,
dia adalah dayang kepercayaan dari perempuan tersebut,” Cu Tong menerangkan.
Berhubung semua jago telah mengetahui bahwa Giok Teng Hujin bernama Siang Hoa dan
merupakan putri dari It Kiam kay Tionggoan ‘pedang sakti yang menyapu Tionggon’ Siang Tang
Lay, maka ketika mendengar akan kehadirannya, semua orang segera alihkan sorot matanya ke
arah tengah gelanggang.
Dengan wajah yang agung, Giok Teng Hujin masuk gelanggang, biji matanya yang jeli ketika itu
mengawasi barak yang dihuni para pendekar dengan tajam, ketika tidak menjumpai Hoa Thianhong
hadir disitu, air mukanya tampak berubah hebat.
Ci-wi Siancu segera mendengus dingin, sambil menarik ujung baju Hoa Hujin, katanya, “Hujin,
usia Giok Teng Hujin paling sedikit sudah mencapai dua puluh tahunan, sedang siau long baru
berumur sembilan belas tahun, kedua orang itu sama sekali cocok satu sama lainnya!”
Mendengar perkataan itu diam-diam Hoa Hujin berpikir, “Aaai….!sampai sekarang jejak Seng ji
masih belum ketahuan, mati atau hidup sukar diramalkan, nona ini masih memikirkan tentang
soal perkawinannya, benar-benar tak tahu keadaan….”
Ia segera tertawa paksa dan menjawab, “Malam ini seluruh pikiran dan perhatian kita diputuskan
untuk membunuh musuh, persoalan yang lain dibicarakan dilain waktu saja”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
111
Tiba-tiba Cu Tong dengan wajah murung berkata, “Hujin, aku hendak mencari Pek Siau-thian
untuk menanyakan jejak dari Seng ji, entah bagaimanakah pendapat hujin itu.
“Biar aku saja yang pergi!” seru Ci-wi Siancu sambil bangkit berdiri dan siap berlalu.
Hoa Hujin segera menarik pergelangan tangannya sambil berseru, “Tunggu sebentar, biar aku
yang menanyakan sendiri!”
Tiba-tiba suara genta yang ada diatas mimbar berdentang nyaring, diikuti suara tetabuhan dan
pembacaan doa berhenti sama sekali, ha nya Thong-thian Kaucu seorang yang masih membaca
doa tiada hentinya sambil membakar Lenghu, satu demi satu hingga akhirnya setelah membakar
tiga belas lembar Lenghu ia baru berhenti. Kemudian memerintahkan anak muridnya untuk
pasang hio ganti lilin dan membakar uang kertas perak dan kertas emas.
Pada waktu itulah, puluhan orang imam berjubah kuning dengan lukisan pat kwa dam menyoren
pedang dipunggung berjalan masuk kedalam lembah, usia para imam tersebut rata-rata empat
puluh tahun keatas, tiga orang membentuk satu barisan berjalan masuk dengan teratur sekali,
paling belakang berjalanlah tiga orang imam tua yang usianya sudah mencapai delapan puluh
tahunan dengan rambut yang berwarna keperak-perakan, Cin Leng-cinjin berada dtantara ketiga
orang itu.
Thong-thian Kaucu segera loncat turun dari atas mimbar dan lari menuju kemulut lembah untuk
menyambut kedatangan ketiga orang imam tua tersebut dengan sikap sangat menghormat, ia
mempersilahkan orang-orang tua tadi masuk kebarak untuk beristirahat.
Hoa Hujin takut orang-orang dipihaknya tidak mengenal akan kelihayan dari ketiga orang imam
tua tersebut sehingga dalam pertarungan massal nanti salah mencari sasaran, maka segera
ujarnya, “Imam tua yang ada ditengah adalah Hian Leng, yang ada disebelah kiri bernama Pia
Leng, sedang imam yang kecil dan kurus itu bernama Cin Leng-cinjin, ketiga orang itu
merupakan paman guru dari Thian Ik-cu dan sudah puluhan tahun lamanya tak pernah
munculkan diri didalam dania persilatan!”
Mendengar penjelasan itu, wajah para jago agak berubah, mereka tahu ketiga orang imam tua
yang sudah lama mengasingkan diri dari keramaian dunia, ini pasti memiliki ilmu silat yang
sangat mengerikan, tapi mereka sama sekali tidak merasa gentar atau takut, sebab mereka
sudan menyadari bahwa keadaan pada saat itu pihak lawan jauh lebih tangguh kekuatannya
daripada pihak sendiri, kecuali Biau-nia Sam-sian, rata-rata para pendekar yang lain sudah ambil
keputusan untuk berjuang sampai titik darah penghabisan.
Tiba-tiba suasana dibarak bagian depan berubah jadi hening dan sepi, hal ini segera memancing
perhatian orang-orang dari golongan pendekar dan perkumpulan Thong-thian-kauw untuk
bersama-sama menengok kedepan.
Terdengar Cu Tong berkata dengan suara berat, “Bu liang loo ji telah datang!”
Tampaklah seorang kakek tua berperawakan kekar, berikat kepala warna tua dan berjenggot
perak sepanjang dada berjalan masuk kedalam lembah tersebut….
Bu Liang Sinkun dari gunung Buliang san sejak belasan tahun berselang telah dianggap umum
sebegai jago lihay nomor satu dalam kalangan hek to tetapi sejak ia dikalahkan oleh Hoa Goansiu
ketika diselenggaranya pertemuan Pak beng hwee, dengan menahan rasa malu ia segera
mengundurkan diri dan sepuluh tahun lamanya mengasingkan diri. Ini hari telah muncul kembali
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
112
dalam pertemuan besar Kian ciau tayhwee orang itu masih tetap dianggap sebagai seorang
tokoh sakti dalam dunia persilatan.
Kok See-piauw murid ahli warisnya dengan kencang mengikuti disamping gurunya.
Thong-thian Kaucu dengan memimpin para anak muridnya buru-buru menyambut
kedatangannya, sambil tertawa katanya, “Kunjungan sinkun benar-benar merupakan suatu
kehormatan bagi kami, apabila sambutan kami kurang memuaskan, harap siokun suka memberi
maaf yang sebesar-besarnya”
Dengan sorot matanya yang tajam bagaikan kilat, Bu Liang Sinkun menyapu sekejap seluruh
lembah lalu sambil tertawa, jawabnya, “Aku bisa ikut menghadiri pertemuan ini sudah
merupakan suatu kebanggaan, kaucu tak usah sungkan-sungkan!”
Kemudian tertawa tergelak dengan suara nyaring, suaranya keras bagaikan genta hingga
mendengung dalam lembah tersebut.
Yan-san It-koay dan Liong bun siang san dari perkumpulan Hong-im-hwie segera menyapa
sambil tersenyum dari tempat duduknya hanya Jin Hian seorang yang munculkan diri dari barak,
sambil memberi hormat.
“Sinkun selamat berjumpa kembali!” sapanya.
“Jin heng, baik-baik kah selama ini?”, kemudian kakek tua itupun menjura ke arah Yan-san Itkoay
sekalian.
Thong-thian Kaucu tertawa nyaring, serunya, “Kunjungan Sinkun kedalam pertemuan ini boleh
dibilang merupakan seorang tamu terhormat, bagaimana kalau pinto khusus si apkan meja
perjamuan untuk menghormati dirimu?”
“Tujuan diselenggarakannya pertemuan Kian ciau tayhwee adalah untuk menghormati arwah
yang telah tiada, lebih baik orang yang hadir dalam pertemuan ini tak usah dilayani secara
istimewa….!”
Kedua orang itu saling pandangan dan tertawa, Bu Liang Sinkun segera memberi hormat oan
meneruskan perjalanannya menuju kebarak dari perkumpulan Sin-kie-pang.
Sedari permulaan tadi, Pek Siau-thian telah keluar dari baraknya untuk menyambut
kedatangannya orang itu, setelah saling me-ngucapkan kata-kata merendah, merekapun segera
masuk kedalam barak untuk ambil tempat duduk.
Kok See-piauw maju memberi hormat, sapanya, “Paman Pek!”
Sorot matanya dengan tajam menyapu sekeliling tempat itu untuk mencari Pek Kun-gie, ketika
sinar matanya membentur wajah Pek Soh-gie pemuda itu agak tertegun.
Satu ingatan berkelebat dalam benak Bu lian sinkun, tegurnya, “Eeei…. kenapa keponakan Kun
Gie tidak nampak?”
Dengan sedih Pek Siau-thian menghela papas panjang.
“Aaai…. bocah itu berumur pendek, ia sudah tiada lagi di kolong langit….!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
113
Mendengar berita itu sekujur badan Kok See-piauw gemetar keras, dengan wajah berubah hebat,
serunya, “Kenapa dia bisa mati?”
Diam-diam Pek Siau-thian berpikir dalam hatinya, “Walaupun orang ini kalah jauh kalau
dibandingkan dengan binatang cilik dari keluarga Hoa, namun rasa cintanya terhadap Kun Gie
sudah mendalam sekali, aaai! sayang keadaan tidak mengijinkan….!!”
Dalam hati ia berpikir dsmikian, diluar jawabnya dengan hambar.
“Ia mati ditangan Hoa Thian-hong, bagaimanakah duduknya perkara yang sebenarnya aku
sendipun kurang begitu jelas….”
“Hoa Thian-hong, putra Hoa Goan-siu?!” seru Bu Liang Sinkun dengan sepasang alis mata
berkenyit, dengan sorot mata tajam ia segera mengawasi para jago dibarak sebelah depan.
“Bajingan cilik itu sudah kuhajar masuk kedalam jurang setinggi sepuluh ribu tombak hingga kini
masih belum ada kabar beritanya, aku rasa dia pasti sudah mampus!”
“Bagus! ini hari kita harus babat rumput sampai seakar-akarnya, kalau berkerja harus sempurna
daripada dalam dunia persilatan selalu terbagi antara golongan hitam dan putih.”
Pek Siau-thian tersenyum, ia berpaling ke arah Pek Soh-gie yang berada disisinya dan berkata,
“Soh-gie, kemarilah! cepat memberi hormat untuk empek Lie dan Kok toako!”
Sepasang mata Pek Soh-gie masih merah membengkak dan basah oleh air mata, mendengar
perkataan itu ia segera menghampiri kedua orang itu dan memberi hormat.
Bu Liang Sinkun segera berpaling ke arah Pek Siau-thian dan berseru dengan wajah tercengang,
“Dia adalah putri sulungmu?”
Pek Siau-thian menganguk.
“Ia bernama Soh-gie, jauh lebih jujur, dia polos daripada Kun Gie, budak liar yang sukar
dikendalikan itu….”
Dengan pandangan tajam Bu Liang Sinkun memperhatikan sekejap wajah Pak Soh-gie, kemudian
pikirnya, “Ditengah kecantikan wajah gadis ini terpancar suatu daya tarik yang memikat hati,
keayuannya tidak berada dibawah adiknya….”
Berbicara sampai disitu, sambil tersenyum segera ujarnya, “Gadis yang mengutamakan
kehalusan dan kelembutan memang sukar ditemukan di kolong langit, apalagi berwajah begini
cantik….”
Ia menghela napas panjang, setelah berhenti sebentar sambungnya lebih jauh, “Kita adalah
sahabat lama, sedangkan See Piau dan keponakan Kun Gie juga boleh dibilang mempunyai
hubungan yang erat antara yang satu dengan yang lain, sayang takdir menghendaki lain
sehingga terjadi perubahan seperti ini. Aaai….! seandainya keponakan Kun Gie masih hidup di
kolong langit dan kita bisa menjodohkan mereka berdua hingga kita saling berbesar, bukankah
hal ini bagus sekali….??”
Mendengar perkataan ini, satu ingatan segera berkelebat dalam benak Pek Siau-thian, pikirnya,
“Ucapannya ini bukankah berarti bahwa ia sedang mengajukan pinangan kepadaku dan
mengharapkan aku menjodohkan Soh-gie kepada muridnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
114
Sesudah berhenti sebentar, ia berpikir lebih jauh, “Dalam pertempuran yang bakal langsung kali
ini, melenyapkan kawanan pendekar dari golongan putih merupakan suatu pekerjaan gampang,
tetapi kalau hendak menggunakan kesempatan ini untuk menumpas kekuatan golongan Hongim-
hwie dan Thong-thian-kauw bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, tapi seandainya aku
bisa mendapat bantuan dari Bu Liang Sinkun, maka harapannya untuk mendapat kemenangan
bukankah jauh lebih besar?”
Berpikir sampai disini, pikirannya segera bekerja, diam-diam ia memperhatikan sekejap diri Kok
See-piauw, kemulian pikirnya, “Paras muka orang ini tidak jelek, ilmu silat yang dimilikipun
sangat bagus, memang tak ada salahnya kalau dijodohkan kepada Soh-gie. Dalam koiong langit
dewasa ini tiada ada seberapa orang yang pantas mempersunting putri keluarga Pek, biar
kuterima saja pinangannya ini….”
3
Setelah mengambil keputusan, ia segera tersenyum dan berkata, “Keponakan See Piau memang
tampan dan manusia hebat yang sukar didapati dalam kolong langit dewasa ini, sayang Kun Gie
budak itu tidak punya rejeki baik. Aaai….!”
Dia menghela napas panjang dan tiba-tiba membungkam.
Ketika Bu Liang Sinkun mendengar Pek Siau-thian memuji anak muridnya, ia tahu bahwa urusan
berjalan lancar, sambil mengelus jenggot dan tertawa segera ujarnya lagi, “Pek Loo te, apakah
Soh-gie bocah ini sudah dijodohkan kepada orang lain?”
Kembali Pek Siau-thian menghela napas panjang.
“Aaaiii….! sebenarnyaa ia selalu mendampingi ibunya hidup menyendiri sedangkan akupun sibuk
dengan urusan perkumpulanku, sampai sekarang masih belum ada kesempatan untuk
memikirkan soal jodoh mereka!”
Bu Liang Sinkun jadi sangat kegirangan.
“Kalau memang begitu, siau Leng ingin sekali mempererat hubunganku dengan diri Lo te, cuma
sayang muridku See Piau mungkin terlalu jelek dan bodoh sehingga tidak dapat menerimanya?”
“Kita toh sahabat lama kenapa harus sungkan-sungkan” jawab Pek Siau-thian sambil tertawa,
“mungkin putriku yang tidak memadahi untuk mendampingi keponakan See Piau.
“Haahh…. haahh…. haaahhh” Bu Liang Sinkun tertawa terbahak-bahak, “ayoh cepat cepat
memberi hormat kepada ayah mertuamu!” Kok See Pitu jadi amat terperanjat.
“Suhu….” teriaknya.
Bu Liang Sinkun jadi gusar, dengan ilmu menyampaikan suara buru-buru bisiknya, “Goblok!
budak ini sepuluh kali lipat lebih hebat daripada Pek Kun-gie, kalau engkau mengawini dirinya
sebagai istrimu maka per kumpulan Sin-kie-pang merupakan hadiah bagi perkawinan itu, cepat
atau lambat Pek loo ji akan mengundurkan diri dan ketika itu dunia persilatan akan menjadi
kekuasaanmu”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
115
Mula-mula Kok See-piauw merasa terperanjat kemudian tertegun dan akhirnya kegirangan, buruburu
ia bangkit berdiri dan berjalan kehadapan Pek Siau-thian lalu menjalankah penghoramatan
besar.
“Ayah….” tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berseru sambil menangis.
Pek Siau-thian merasakan hatinya bergetar keras, dengan rasa kejut bercampur gusar, serunya,
“Ada apa?”
Dengan air mata bercucuran, Pek Soh Gei berkata, “Siau li telah bersumpah antuk menemani ibu
sepanjang hidup, selamanya aku tak akan membicarakan tentang….”
Pek Siau-thian semakin gusar bentaknya, “Kurang ajar, aku….”
Dengan sorot matanya yang tajam Bu Liang Sinkun segera mengamati wajah Pek Soh-gie, ia
lihat wajahnya bersungguh-sungguh dan sedikit pun tidak nampak berpura-pura, karena takut
urusan jadi berabe dan malahan tidak karuan, buru-buru ia menukas sambil tertawa, “Loo te tak
usah marah, bocah ini meskipun bodoh tapi rasa baktinya kepada orang tua amat besar, engkau
tak usah menegur di rinya lebih jauh….”
Sesudah berhenti sebentar, dengan ilmu menyampaikan suara segera ujarnya lagi, “Hati kaum
muda paling gampang berubah, paling bander sikapnya itu hanya berlangsung untuk sementara
waktu belaka, biarlah mereka berdua bergaul lebih lama sehingga timbul perasaan yang
mendalam da lam hati mereka masing-masing, setelah selesai menghadiri pertemuan besar Kian
ciau tayhwee ini, aku dengan mengajak muridku akan berkunjung sendiri kegunung Hoan keng
san, asalkan Hong hwee menyatakan persetujuannya dalam soal perkawinan ini, bukanlah
urusan besar?”
Pek Siau-thian menghela napas panjang, ia segera teringat kembali akan keadaan dirinya yang
telah berpisah deagan istrinya, putri bungsu Kun Gie yatg berada dibawah bimbingannya
ternyata mendapat bencana dimasa muda, terhadap putri sulungnya yang jauh lebih luhur ia
merasa tak tega untuk menggunakan cara yang keras.
Setelah termenung beberapa saat lamanya ia segera membangunkan Kok See-piauw yang
sedang berlutut dihadapannya dengan muka merah padam, katanya, “Ini hari seluruh orang
gagah dari penjuru dunia berkumpul disini, inilah kesempatan ynng paling baik buat setiap pria
sejati untuk unjukkan kehebatan, Hian tit! duduklah disisiku dan soal perkawinan kita bicarakan
lagi di kemudian hari”
“Terima kasih atas perhatian dari paman!” jawab Kok See-piauw sambil memberi hormat.
Ia segera maju kedepan dan duduk disamping Pek Soh-gie.
Tiba-tiba…. dari mulut lembah muncullah empat orang pemuda berbaju ringsas yang
menggotong sebuah tandu berwarna hitam.
Paras muka keempat orang pemuda itu bersih dan tampan, usianya diantara lima enam belas
tahunan, gerak-geriknya enteng dan cepat, sesudah memasuki mulut lembah tersebut tandu tadi
langsung menuju kebawah persembahan.
Seorang murid perkumpulan Thong-thian-kauw segera maju menyongsong sambil bertanya,
“Yang datang adalah orang gagah dari mana?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
116
Empat orang pemuda berpakaian ringkas itu menurunkan tandunya keatas tanah, kemudian
salah seorang yang berada dipaling depan menjawab dengan suara lantang, “Siang Tang Lay
dari wilayah See ih!”
Jawaban tersebut laksana guntur yang membelah bumi disiang hari bolong, menggetarkan hati
semua jago yang hadir dalam lembah Cu bu-kok tersebut, seketika itu juga suasana jadi sunyi
senyap tak kedengaran sedikit suarapun.
Thong-thian Kaucu , Pek Siau-thian, Jin Hian, Bu Liang Sinkun dan para jago lainnya sama-sama
merasa terperanjat, mereka semua segera bangkit berdiri tinggalkan tempat duduk.
Pedang sakti yang menyapa daratan Tionggoan, Siang Tang Lay adalah seorang tokoh sakti yang
sudah tersohor namanya sejak dua puluh tahun berselang kemunculannya yang secara tiba-tiba
sebelum pertemuan besar Kian ciau tayhwee diselenggarakan benar-benar sa ngat
menggetarkan hati setiap orang.
Seorang pemuda berpakaian ringkas maju kedepan menyingkap horden yang menutupi tandu
tersebut, dua orang lainnya segera maju kedepan dan mendorong keluar sebuah kursi beroda
dari dalam tandu tadi, diatas kursi beroda duduk seorang pria bangsa Han yang memakai jubah
putih, sepatu tebal dan kaos putih yang tinggi, sedikitpun tidak nampak dandanannya sebagai
seorang suku Oh.
Rambut putih orang itu panjang terurai kepundak, jenggot peraknya sepanjang dada, menurut
keadaan semestinya orang itu adalah seorang kakek tua, terapi mukanya ternyata masih
kencang dan sedikitpun tidak nampak kerutan-kerutan, sekilas pandangan bahwa menyerupai
seorang lelaki yang baru berusia tiga puluh tahunan.
Thong-thian Kaucu berada paling dekat dengan orang itu, ketika wajah orang itu diamatinya
dengan lebih seksama maka kecuali rambut putih serta Jenggot putih yang telah tumpuh subur
diwajah orang itu, paras mukanya sama sekali tidak berbeda, dia bukan lain adalah manusia
aneh yang pernah mengobrak abrik dunia persilatan dengan an dalkan sebilah pedang emas
kecil.
Untuk beberapa saat lamanya jantung terasa berdebar keras, ia tak dapat mengutarakan hatinya
merasa terkejut atau takut, murung atau gembira.
Dalam sekejap mata dari dalam barak muncullah Pek Siau-thian, Bu Liang Sinkun, Jin Hian dan
lainnya, melihat hal itu Thong-thian Kaucu buru-buru maju pula kedepan.
Pedang sakti yang menyapu daratan Tionggoan Siang Tang Lay masih tetap duduk diatas kursi,
sepasang tangannya diletakan di atas lutut dan membawa sebuah kotak kecil setengah depa
lebarnya yang memancarkan sinar keemas-emassan ketika itu dengan sorot matanya yang
tajam, ia sedang menyapu empat orang jago yang sedang mendekati dirinya kemudian tegurnya
dengan suara lantang, “Dimanakah Ciu It-bong?”
Thong-thian-kauwca segera tertawa terbahak-babak.
“Haaahh…. haaahbh…. haaahhh…. kepergian Siang sicu telah meninggalkan bencana karena
sebilah pedang emas itu, Ciu It-bong telah berangkat menuju neraka!”
“Hidung kerbau bau, engkau berani menyumpai diriku?” mendadak diri mulut lembah
berkumandang teriakan seseorang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
117
Diiringi suara ketakutan yang nyaring tahu-tahu ditengah gelanggang telah bertambah dengan
seorang marusia.
Ketika semua orang alihkan sorot matanya, maka tampaklah Ciu It-bong dengan andalkan
sebuah lengan kirinya sambil membawa sebuah tongkat besi sepanjang lima depa sedang
meluncur datang dari tengah udara, walaupun badannya sudah cacad namun semangat orang itu
masih tinggi, hal ini membuat semua orang diam-diam merasa kagum.
Siang Tang Lay segera tersenyum, tanyanya, “Ciu It-bong, senjata e«masku itu apakah masih
berada ditanganmu?”
“Haaahh…. hahhh…. haaahhh…. tentang soal ini tanyakan saja kepada Jin Hian tua bangka
tersebut karena sudah diambil olehnya,” jawab Ciu It-bong sambil tertawa tergelak, dengan alis
berkenyit ia melirik sekejap ke arah pemimpin perkumpulan Hong-im-hwie tersebut.
Siang Tang Lay alihkan pandangnya ke arah Jin Hian dan ia bertanya kembali.
“Apakah pedang emas itu berada ditanganmu?”
Dalam hati Jin Hian segera berpikir, “Tempo dulu kami semua telah memotong kutung seluruh
otot dan sendi penting dari Siang Tang Lay, kalau dilihat dari kursi roda yang digunakan untuk
mengganti kakinya, hal ini jelas menunjukkan bahwa badannya memang telah cacad, dengan
badan yang cacad ia masih punya kemampuan apalagi yang bisa diandalkan?”
Berpikir sampai disitu ia segera mendengus dingin dan menjawab.
“Pedang emas memang berada ditangan aku orang she Jin, engkau mau apa?”
“Bagus sekali” teriak Cui It Bong dengan cepat “Jin loo ji dicuri orang, ternyata engkau sengaja
melepaskan asap untuk membo hongi orang?”
“Heeehhh…. heeehhh…. heehhh…. kalau benar engkau mau apa?” jawab Jin Hian sambil tertawa
dingin.
Haruslah diketahui, lantaran pedang emas tersebut putra tunggal Jin Hian telah dibunuh orang
bahkan hingga saat ini pembunuhnya masih belum ketahuan, karena itulah kendatipun dalam
kenyataan pedang emas tersebut telah dicuri orang tetapi ia mengakui masih berada disakunya
untuk memanaskan hati orang.
Tetapi rahasia tentang Pedang emas adalah rahasia besar yang tak dapat dipecahkan oleh semua
orang dalam persilatan, pedang emas justru merupakan titik perhatian semua orang, pada
dasarnya para jago memang sudah menaruh curiga akan persoalan itu, setelah Jin Hian berkata
demikian maka situasi pun seketika berubah.
Pek Siau-thian dengan sepasang matanya memancarkan cahaya tajam segera berseru, “Jin heng,
kalau memang pedang emas itu masih berada ditanganmu kenapa tidak engkau ambil keluar?
mumpung sahabat Siang masih berada disini, kita bisa minta bantuanny untuk memecahkan teka
teki mengenai pedang emas ini, agar dunia persilatanpun tak usah selalu diliputi pertikaian
karena masalah tersebut!”
“Benar!” teriak Ciu It-bong, “kalau rahasia pedang emas belum terbongkar aku tak alan mati
dangan mata terpejam”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
118
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Haahh…. haah…. haahh…. Siang Sicu, engkau bersusah payah melakukan perjalanan sejauh
sepuluh laksa li datang kemari, apakah tujuanmu adalah untuk melagukan duel sengit lagi
dengan para orang gagah dari daratan Tioaggoan?” tegurnya.
Siang Tang Lay berpaling dan memandang sekejap meja abu para orang gagah yang telah gugur
dalam pertemuan Pak beng bwee diatas panggung persembahan, lalu menghela napas panjang,
sahutnya, “Dari mulut seseorang, aku pernah mendengar bahwa para orang gagah dari daratan
Tionggoan kebanyakan sudan menemui ajalnya dalam pertemuan besar Pak beng hwee,
kedatanganku ke Timur kali ini sama sekali bukan bermaksud untuk melakukan pertarungan
melawan orang-orang persilatan daratan Tionggoan….!”
“Maksud dari perkataan itu sudah jelas sekali, yakni dalam pandangannya kelima orang jago lihay
yang berada dihadapan mukanya sekarang ini sama sekali tidak terhitung sebagai manusia gagah
dari daratan Tionggoan.”
Mendengar sindiran tersebut, merah jengah selembar wajah Thong-thian Kaucu berlima.
“Haruslah diketahui sewaktu tempo hari, Siang Tang Lay mengacau daratan Tionggoan akhirnya
ia telah menderita kekalahan ditangan tenaga gabungan dari kelima orang ini bahkan kelima
orang tersebut telah menggunakan siasat licin, oleh sebab itulah sesudah mendengar sindiran
yang amat pedas itu mereka semua merasa tersipu dan malu!”
Bu Liang Sinkun dari malu menjadi gusar dengan suara berat ia segera menukas, “Walaupun
semua orang gagah didaratan Tionggoan telah mampus, manusia-manusia bodoh yang masih
hidup masih ada banyak sekali, akulah yang pertama-tama akan minta petunjuk darimu”
Sambil ayun telapaknya dari kejauhan dia lancarkan satu pukulan gencar ke arah depan.
Gulungan angin puyuh menderu-deru menembusi angkasa, begitu hebat serangan yang
dilepaskan membuat orang-orang yang ada dibarak-barak kiri dan kanan merasakan telinganya
mendengung keras.
Kekuatan tenaga pukulan yang dipancarkan Bu Liang Sinkun betul-betul luar biasa sekali,
meskipun semua orang terperanjat namun mereka tidak merasa keheranan sebab dibawah nama
besar tak mungkin ada manusia yang tak becus, semua orang hanya ingin tahu Siang Tang Lay
yang sudah cacad akan menghadapi serangan tersebut dengan cara apa.
Terdengar bentakan keras menggeletar di angkasa, empat orang pemuda berpakaian ringkas
yang berdiri dikedua belah sisi kursi roda tiba-tiba ayunkan tangannya, serentetan cahaya perak
laksana sambaran petir berkelebat ke arah depan, seketika itu juga angin pukulan Bu liang
Sinkun yang maha dahsyat itu terbagi menjadi dua dan menggulung lewat dari kedua belah sisi
kursi roda itu….
Dengan ketajaman mata Bu Liang Sinkun, walaupun cahaya perak hanya berkelebat dalam waktu
singkat, namun ia sempat melihat bahwa ditangan keempat orang pemuda itu masing-masing
membawa sebilah pedang kecl berwarna perak, pedang kecil itu panjangnya lima cun dan tiada
berbeda jauh antara yang satu dengan lainnya, hanya warnanya berbeda dan cahaya yang
memancar keluar nampak aneh sekali.
Keempat orang pemuda berpakaian ringkas itu setelah menahan ancaman yang meluncur tadi
segera turunkan kembali tangannya kebawah, pedang kecil yang berada digenggamannyapun
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
119
seketika lenyap tak berbekas, sikap mereka tenang seolah-olah tak terjadi sesuatu apa pun,
untuk beberapa saat lamanya keadaan iu menegunkan hati beberapa orang gembong iblis
tersebnut.
Thong-thian Kaucu yang bisa membawa diri, setelah tertegun beberapa saat lamanya ia segera
tergelak, serunya, “Kiong hi…. kiong ni….!ilmu silat ampuh yang dimiliki Siang sincu telah
mendapatkan ahli waris, sekarang sahabat-sahabat persilatan dapat membuka matanya
kembali!”
Siang Tang Lay tersenyum dan gelengkan kepalanya, ia berkata, “Dengan andalkan ilmu silat
mereka yang tidak seberapa itu masih selisih jauh kalau ingin adu kekuatan dengan para jago
lihay dan daratan Tionggoan”
Hmm! engkau berani datang kembali ke wilayah Timur sudah tentu tiada sesuatu yang kau
segani bukan? apa yang kau andalkan lagi? ayoh cepat perlihatkan keluar!” seru Bu Liang Sinkun
dengan suara dingin.
Bukannya gusar, Siang Tang Lay malah tertawa, jawabnya, “Aku tidak lebih hanya seorang
manusia cacad yang sudah tak berguna lagi, ambisiku sudah lenyap tak berbekas sejak dahulu
kala, kedatanganku ke wilayah timur kali ini tidak lebih hanyalah hendak menyelesaikan
beberapa macamm persoalan kecil, soal arti nama dan kedudukan sudah tidak masuk dalam
pikiranku lagi”
Mula-mula Bu Liang Sinkun nampak tertegun, kemudian pikirnya lebih lanjut.
“Meskipun beberapa orang bocah cilikmu tidak terlalu menarik perhatian, nampaknya kepandaian
silat mereka cukup tangguh dan sulit dihadapi, sekalipun aku berhasil menang juga tidak gagah,
aku harus baik-baik menjaga diri agar nama besarku yang dipupuk secara susah payah selama
ini tidak hancur berantakan dengan begitu saja”
Karena berpikir demikian, diapun membungkam dan segera meagundurkan diri dari situ.
Terdengar Thong-thian Kaucu berkata lagi, “Siang sicu kalau memang engkau tidak berhasrat
untuk cari nama dan kedudukan dalam dunia persilatan, itu berarti bahwa engkau adalah tamu
terhormat dari perkumpulan kami, entah persoalan apakah yang hendak kau selesaikan? apabila
membutuhkan bantuan, pinto bersedia untuk menyumbangkan tenagaku, Siang Tang Lay
tertawa, sahutnya dengan suara lantang, “Pertama aku hendak membongkar rahasia yang
menyangkut tentang soal pedang emas, daripada kepandaian silat yang maha sakti itu ikut
lenyap kedalam perut bumi bersama aku manusia cacad ini….”
“Mengutamakan kependekaran daripada keuntungan pribadi tindakanmu ini memang patut dipuji
oleh setiap manusia di kolong langit, apakah persoalan kedua yang akan Siang sicu lakukan?”
seru Thong-thian Kaucu dengan suara lantang. “Dalam peti yang kubawa ini tersimpan suatu
benda mustika yang tak ternilai harganya dan merupakan benda langka yang diimpikan oleh
setiap umat persilatan dalam kolong langit, aku hendak mencari seseorang yang berjodoh serta
menghadiahkan benda ini kepadanya”
Makin bicara orang itu semakin aneh membuat orang yang hadir dalam lembah itu merasakan
jantungnya berdebar keras dan wajahnya berubah jadi merah padam, mereka menjadi tak sabar
dan ingin cepat-cepat mengetahui rahasia yang menyulubunni pedang emas itu disamping juga
ingin mengetahui benda apakah yang berada dalam peti itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
120
Terdengar Jin Hiag menjengek dingin dan berkata, “Sebuah pedang emas sudah cukup termasuk
aneh dan luar biasa, aku tidak percaya kalau di kolong langit masih terdapat benda mustika
lainnya yang jauh lebih aneh dan luar biasa”
Siang Tang Lay tersenyum.
“Kolong langit selebar ini siapa bilang tiada keanehan yang terdapat didalamnya? asal orang ada
rejeki maka ia dapat merasa kannya dengan gembira”
“Siang Tang Lay,” seru Ciu It-bong pula, “kita semua boleh dibilang bersikap kurang begitu baik
terhadap dirimu, kenapa benda mustika yang begitu berharga engkau berikan kepada orang
lain?”
“Dari mana engkau tahu benda mustika itu akan kuhadiahkan kepada siapa….? siapa tahu aku
hendak menghadiahkan kepada seorang sahabat karibku atau keturunannya sebagai tanda
penghargaan atas budi yang pernah diberikan kepadaku dimasa lampau”
Setelah perkataan itu diutarakan keluar, mau tak mau semua orang jadi mempercayainya, dalam
sekejap mata meluruh pandangan mata yang tajam bersama-sama dialihkan ke arah kotak emas
yang berada ditangan orang she Siang itu, seakan-akan hendak mengetahui apa isi kotak yang
sebenarnya….
Thong-thian Kaucu diam-diam berpikir, “Hoa Goan-siu pernah melepaskan budi kepadanya,
dimana selembar jiwanya telah diselamatkan dari kematian, apabila dia memiliki benda mustika
yang tak ternilai harganya, benda itu tentu akan dihadiahkan kepada keluarga Hoa, aaai! sayang
peristiwa ini terjadi didepan umum, tak mungkin aku bisa merampas benda tersebut dengan keke
rasan….”
Jin Hian telah kehilangan nyawa putra tunggalnya lantaran ia menyimpan benda mustika, atas
terjadinya peristiwa tersebut ia merasa amat membenci terhadap pedang emasnya Siang Tang
Lay, sekarang mendengar ada benda mustika yang akan dihadiahkan kepada orang lagi,
timbullah rasa benci dalam hatinya.
Dengan penuh kegusaran ia membentak keras, “Siang Tong Lay, engkau tak usah bermain licik,
andaika masih ada persoalan yang ketiga, ayoh cepat diutarakan keluar kalau tidak perkumpulan
Hong-im-hwie akan segera mengirim engkau untuk pulang keakhirat.
“Tentu saja masih ada masalah yang ketiga,” jawab Siang Tang Lay perlahan-lahan.
“Apakah persoalan itu?” bentak Jin Hian dengan kasar.
Air muka Siang Tang Lay berubah jadi serius, dengan nada ber suagguh-sungguh ia berkata,
“Persoalanku yang ketiga adalah hendak menyambangi arwah-arwah yang telah tiada dalam
pertemuan besar Kian ciau tayhwee ini, disamping itu aku akan berusaha dengan sekuat tenaga
untuk balaskan dendam bagi sababat-sahabat lamaku yang telah meninggal!”
Mendengar sampai disitu, Bu Liang Sinkun segera menengadah kea tas dan tertawa terbahakbahak,
sejenak kemudian dengan wajah menyeringai ia berkata, “Haahh…. haahh…. haahh….
jadi kalau begitu bicara pulang pergi, kedatanganmu adalah mengandung maksud-maksud
tertentu?”
Sorot matanya segera dialihkan keatas wajah Thong-thian Kaucu dan melanjutkan, “Too teng,
apakah upacara dalam pertemuan Kian ciau tayhwee ini telah selesai atau belum? jikalau tiada
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
121
upacara lainnya lagi maka kami semua akan segera menyelesaikan perselisihan tentang urusan
dunia persilatan”
***
MENDENGAR ucapan tersebut, Thong-thian Kaucu jadi amat terperanjat, buru-buru katanya,
“Pinto beran-benar pikun, tengah malam sudah lewat tapi upacara resmi masih belum juga
dimulai….”
Setelah memberi hormat, buru-buru ia balik lagi kedalam barak, setelah mengenakan pakaian
upacara ia segera loncat naik keatas mimbar.
Terdengar suara genta kembali bergema nyaring, suara pembacaan doa berkumandang kembali
memecahkan kesunyian.
Dengan kerdipan mata, Siang Tang Lay memberi tanda kepada keempat orang muridnya,
mereka segera mendorong kursi beroda itu masuk Kedalam tandu lalu berjalan menuju kebarak
yang dihuni para pendekar dari kalangan lurus.
Pek Siau-thian, Bu Liang Sinkun dan Jin Hiang kembali kebaraknya masing-masing, hanya Ciu Itbong
seorang yang loncat keangkasa dan seorang diri duduk diatap barak.
Setelah semua orang mungundurkan diri, segerombolan imam dengan membawa orang-orangan
kertas, kuda-kudaan kertas berjalan masuk ke dalam gelanggang, sambil berputar mengelilingi
arena, mereka membaca doa tiada hentinya.
Tiba-tiba muncul kembali tiga orang imam cilik baju merah, ditangan mereka masing-masing
membawa sebuah Leng pay berwarna putih dan naik keatas panggung persembahan, kemudian
ketiga leng pay berwarna putih tadi di letakkan dibawah meja abu yang sangat be-sar ditengah
panggung tersebut.
Dalam sekejap mata suasana dalam lembah jadi sangat gaduh, suara bisikan bergema jadi
pembicaraan yang ramai, suasana benar-benar amat ramai dan ribut.
Ternyata ketiga buah leng pay warna putih yang terpancang diatas panggung itu yang tengah
bertuliskan,
“Tempat abu dari Hoa Thian-hong kepala kampung muda perkampungan Liok Soat Sanceng”
Yang kiri bertuliskan,
“Tempat abu Jin Bong pimpinan muda perkumpulan Hong-im-hwie”
Sedangkan yang ada disebelah kanan bertuliskan,
“Tempat abu dari Pek Kun-gie ketua muda perkumpulan Sin-kie-pang.”
Siang Tang Lay setelah masuk kedalam barak baru saja sempat ber cakap-cakap beberapa patah
kata dengan Hoa Hujin ketika menyaksikan munculnya tempat abu dari Hoa Thian-hong sekujur
badannya bergetar keras, ia segera menegur, “Hoa Hujin, sebenarnya apa yang telah terjadi?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
122
Hoa Hujin sendiri pun terbelalak matanya dengan mulut melongo, bagaikan disambar petir
disiang hari bolong ia berdiri mendelong, beberapa saat kemudian ia mendusin dari lamunannya
dan menggerakkan bibir seperti sedang mengucapkan sesuatu.
Tiba-tiba tampaklah bayangan manusia berkelebat lewat, Tio Sam-koh, Hoa In, Biau-nia Samsian
dan tiga harimau dari keluarga Tiong bersama-sama loncat keluar dari dalam barak
Menyaksikan kejadian itu, Hoa Hujin merasa amat terperanjat, dengan cepat tangannya bekerja
menyambar lengan Tio Sam-koh, hardiknya dengan suara keras, “Semuanya berhenti!”
Semua orang merasa terkesiap dan segera menghentikan langkah kakinya dan berdiri tertegun.
Sepasang mata Tio Sam-koh berubah jadi merah membara, sambil mengetukkan toyanya diatas
tanah, teriaknya dengan suara lantang, “Pek Siua Thian! apakah Hoa Thian-hong mati karena
kau bunuh?”
“Kecuali aku yang lakukan, siapa lagi yang mampu membinasakan dirinya….?” jawab Pek Siauthian
dengan suara dingin.
“Bluuk….!” tiba-tiba Chin Wan-hong yang duduk dikursi roboh keatas tanah dan jatuh tak
sadarkan diri.
Hoa Hujin merasakan hatinya amat sakit bagaikan diiris dengan pisau, tetapi ia masih tetap
menaban diri, sepatah demi sepatah katanya dengan suara tegas, “Manusia yang mana tidak
dikandung selama sembilan bulan sepuluh hari sebelum dilahirkan? manusia semuanya dipelihara
oleh ayah dan ibu, Seng ji tak akan mati dengan siasia, tetapi untuk membalas dendam kita
harus menilai dahulu kekuatan kita masing-masing.”
Tio Sam-koh berusaha meronta dengan sekuat tenaga tetapi ia tak behasil melepaskan diri dari
cekalan lawan akhirnya dengan suara gamas serunya, “Engkau mau menilai, nilailah tenagamu
sendiri dan aku akan melakukan pekerjaan sendiri, masing-masing melakukan tugasnya sendiri
dan tidak saling bersangkutan”
“Hmmm! Hoa Goan-siu adalah ayah dan Hoa Thian-hong adalan putra, sebelum dendam sakit
angkatan sebelumnya dibalas, dendam angkatan yang lebih muda tak dapat dilakukan lebih
dahulu!” seru Hoa Hujin dengan suara tegas.
“Tio lo thay!” Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san segera menimbrung dengan suara serak,
“seribu hutang piutang jadi satu per hitungan, belasan tahunpun kita dapat menunggu mengapa
untuk sesaat saja engkau tak mampu?”
Dari atas panggung persembahan tiba-tiba berkumandang suara seruan seseorang dengan suara
lantang.
“Thong-thian Kaucu telah resmikan pembukaan upacara pertemuan Kian ciau tayhwee, para
enghiong dan orang gagah yang akan menghormati arwah-arwah dari perkampungan Liok Soat
Sanceng dipersilahkan maju kedepan….”
Buru-buru Hoa Hujin menentramkan hatinya dan maju kedepan lebih dahulu, semua orang yang
menyaksikan kejadian itu segera menyusul dari belakang dan bersama-sama menuju kebawah
panggung persembahan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
123
Terdengar panitia yang ada diatas panggung kembali berseru lantang, “Persembahan untuk Hoa
Goan-siu lo cung cu dari perkampungan Liok Soat Sanceng”
Hoa Hujin menahan air mata yang hampir meleleh keluar dan buru-buru jatuhkan diri berlutut
didepan meja abu, Chin Wan-hong yang baru saja mendusin dari pingsannya dibawah bimbingan
Tiong Lo poo cu ikut maju kedepan panggung.
Gadis itu sudah menganggap dirinya sebagai menantu keluarga Hoa, dalam sedihnya diapun tak
kenal arti malu lagi, melihat Hoa Hujin berlutut keatas tanah diapun ikut berlutut memberi
hormat, Hoa In sebagai pelayan keluarga Hoa, segera mengikuti majikannya belutut pula keatas
tanah.
Selesai menjalankan penghormatan, ketiga orang itu menyingkir kesamping, para jagopun maju
memberi hormat sedang ketiga orang tadi berlutut membalas hormat.
Ditengah dentingan alat tetabuhan, panitia kembaii berseru lantang, “Persembahan untuk Oh
Thian Siau ketua angkatan ketujuh perguruan keluarga Wi dari kota Wanciu….”
“Persembahan untuk In beng sam hiap Giu Huan Tiat Sio dan Ko Sau Po….”
“Persembahan untuk Dewa geledek Chin Goan Tay….”
Pek lek sian dewa geledak adalah guru dari Bong Pay, sebagai seorang lelaki berjiwa polos ketika
mendengar nama guruaya disebut ia tak dapat menahan kesedihan hatinya lagi dan meledaklah
isak tangis yang ramai.
Jilid 7
SETELAH pria itu menangis, maka Chin Wan-hong, Biau-nia Sam-sian, tiga harimau dari keluarga
Tiong yang teringat akan kematian Hoa Thian-hong sama-sama tak dapat menahan diri dan ikut
menangis pula.
Dewa yang suka pelancongan Cu Tong adalah salah seorang diantara sepasang dewa bersamasama
dengan Dewa geledek, sedang Suma Tiang-cing adalah saudara angkat diri Hoa Goan-siu,
walaupun sanak namun mereka adalah sahabat karib, semua orang segera diliputi oleh
kesedihan membuat suasana penuh diliputi kedukaan.
Dengan susah payah, akhirnya terdengar panitia berseru kembali, “Dipersilahkan para orang
gagah yang tergabung dalam kelompok perkampungan Liok Soat Sanceng mengundurkan diri….”
Semua orang dengan menahan sedih dan air mata, mengundurkan diri kembali kedalam barak,
panitia segera mempersilahkan orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang maju memberi
hormat.
Dengan dipimpin oleh Pek Siau-thian, ratusan orang anggota perkumpulan Sin-kie-pang samasama
maju kedepan untut memberi hormat kepada arwah-arwah anggota perkumpulan Sin-kiepang
yang gugur dalam pertemuan besar Pek beng hwee.
Haruslah diketahui, upacara penghormatan untuk arwah yang telah tiada merupakan adat yang
dipegang teguh setiap orang pada masa itu, arwah yang telah tiada dianggap sebagai orang
besar. Karena itu meskipun Pek Siau-thian adaloh seorang ketua perkumpulan namun sikapnya
selama upacara selalu serius dan bersungguh-sungguh, hal ini dimaksudkan asar menarik simpati
dari anak buahnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
124
Setelah perkumpulan mereka, maka giliran Hong-im-hwie maju memberi hormat.
Baru Saja pihak Perkumpulan Hong-im-hwie selesai melakukan penghormatan, tiba-tiba dari luar
lembah Cu-bu-kok secara lapat-lapat dengaran tangisan setan.
Setelah itu, tampaklah para jago perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie serta Thong-thiankauw
yang bertugas diluar lembah sama-sama lari terbirit-birit masuk kedalam lembah, dua
orang imam dari Thong-thian-kauw dengann wajah pucat pias lari menuju kehadapan Thian
Sengji, tangannya menuding keluar lembah dengan gemetar, beberapa saat kemudian mereka
baru mampu bersuara.
“Lapor Tamcu, setan-setan penasaran yang telah mati dengan darah mengalir dari ketujuh
lobang inderanya itu, te…. telah…. telah hidup kembali!”
Mendengar laporan itu, Thian Sengcu merasa terkejut bercampur gusar, bentaknya, “Omong
kosong!, dengan mata kepalaku sendiri telah kuperiksa bahwa mereka telah mampus semua,
mana mungkin bisa hidup kembali?”
“Makhluk-makhluk aneh itu telah dibuang kedalam sebuah jurang di bukit sebelah kiri dan
dikubur dalam satu liang, tapi…. tapi….”
“Tapi kenapa?” bentak Thian Sengcu dengan gusar.
“Mereka semua telah hidup kembali, sambil ribut dan menangis mereka menuju kemari dan
agaknya segera akan tiba disini, aduh mak! itu mereka telah datang!”
Ditengah pembicaraan, suara isak tangis dan jeritan setan telah bergema memenuhi seluruh
lembah, makhluk setan berwajah seram dan berambut awut-awutan itu sambil berdesak-desakan
muncul kembali didalam lembah.
Setan-setan itu pada dasarnya berwajah menyeramkan, ditambah darah mengalir keluar dari
tujuh lubang inderanya membuat wajah makhluk-makhluk itu nampak lebih seram.
Dalam waktu singkat, makhluk setan yang memakai belenggu kehilangan kaki tangan atau
lidahnya menjulur keluar itu sudah ber kumpul semua dibawah panggung persembahan, mereka
semua pada menjerit dan menangis hingga suasana jadi amat ribut.
Ci-wi Siancu jadi ketakutan setengah mati, dengan badan gemetar dan gigi saling beradu ia
mendekati Hoa Hujin dan berbisik lirih, “Hujin, suhu telah menghadiahkan sedikit kabut sembilan
bisa ke padaku dengan pesan agar racun itu jangan digunakan sembarangan, bagaimana kalau
sekarang kulepaskan racun itu agar makhluk-makhluk setan itu….”
Agaknya takut ia kalau perkataannya kedengaran oleh makhluk setan tersebut, perkataannya
makin lama semakin lirih, Hoa Hujin termenung sebentar, kemudian menjawab, “Engkau tak
usah terburu nafsu lebih dahulu, selama mereka tidak mengganggu kita lebih baik kitapun tak
usah mengganggu mereka”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, Thong-thian Kaucu serta Thian Seng cu dengan
memimpin sekelompok anak muridnya telah mengepung rapat-rapat ketujuh puluh dua orang
makhluk setan itu, tetapi makhluk-makhluk aneh itu masih tetap menjerit dan menangis,
terhadap pengepungan tersebut mereka sama sekali tidak ambil perduli.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
125
Dengan muka penuh kegusaran Thian Seng cu segera menghardik, “Pertemuan besar Kian cian
tayhwee diadakan untuk mengenang arwah-arwah orang gagah yang semasa dalam dunia
merupakan orang kenamaan, perduli kalian semua adalah setan atau manusia, ayoh cepat
mengirim seorang pemimpin untuk berbicara, apabila kalian mengharapkan sesuatu maka
perkumpulan Thong-thian-kauw kami pasti akan berusaha memenuhinya….”
Baru saja ucapan terebut diutarakan keluar, dari luar lembah Cu bo kok tiba-tiba berkumandang
datang suara jeritan lengking yang amat menusuk pendengaran, diikuti suara gembrengan dan
tambur bergema tiada hentinya.
Beberapa saat kemudian pekikkan lengking dan suara tetabuhan gembrengan dan tambur itu
sudah tiba dimilut selat, tujuh puluh dua orang makhluk setan yang sedang menangis dan
menjerit itu segera membungkam dalam seribu bahasa, semua berdiri kaku ditempat semula
tanpa berkutik barang sedikitpun juga.
Bayangan hitam berkelebat memasuki lembah tersebut, sekelompok setan dan makhluk aneh
dibawah iringan suara gembrengan dan tambur memosuki gelanggang dengan teratur.
Barisan tersebut adalah suatu barisan aneh yang tidak pernah nampak di kolong langit, berjalan
dipaling depan adalah dua orang prajurit setan berbaju hitam yang membawa sebuah
gembrengan sebesar lima depa, seorang setan berbaju merah dengan membawa sebuah alat
pemukul gembrengan tersebut mengikuti irama langkah kaki.
Dibelakang gembrengan berjalanlah empat orang prajurit setan pembuka jalan yang memakai
baju warna-warni, berwajah pucat pias, menyoren senjata garpu pada pundaknya dan
menunggang kuda jempolan yang tinggi besar.
Yang paling mengerikan, ternyata keempat ekor kuda itu sama sekali tidak menimbulkan sedikit
suarapun ketika berjalan, seakan-akan kuda itu adalah sukma-sukma Kuda yang tidak bernyawa
lagi.
Dibelakang prajatit pembuka jalan adalah tiga puluh enam sosok arwah penasaran, diantaranya
terdapat setan gantung, setan mati tenggelam, setan mati terbakar serta setan lainnya.
Ada setan yang mati secara mengerikan terlindas roda kereta, tubunnya penuh berlumuran darah
dan isi perutnya bergelantungan diluar, ada pula setan yang mati karena dipenggal, batok
kepalanya dipegang ditangan.
Yang lebih seram lagi adalah setan perempuan yang membopong bayi berusia satu dua tahunan,
separuh bagian batok kepala bayi itu sudah hancur tidak karuan, otaknya pada mengalir keluar,
namun matanya ma sih berputar tiada hentinya membuat orang yang menyaksikan kejadian itu
merasa ngeri dan bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Dibelakarg ketiga puluh enam sosok setan itu adalah lima orang setan pria yang sudah lanjut
usia, didepannya berjalan seso-sok setan yang tinggi dan kurus, rambut dan janggutnya awutawutan
tidak karuan, matanya melotot keluar, sepasang lengannya mengenakan borgol sedang
tengkuknya membawa rantai, rupanya setan tersebut adalah setan penasaran yang mati dalam
penjara.
Dibelakang kelima sosok setan tua itu, mengikuti sekawanan prajurit setan yang menggotong
delapan buah tandu berwarna hitam, empat buah tandu yang ada didepan duduklah empat setan
pria yang kekar, sedangkan empat tandu yang ada dibelakang tertutup rapat, mungkin isinya
adalah setan perempuan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
126
Dibelakarg kedelapan bush tandu tadi, mengikuti sebuah tandu besar yang megah, indah dan
berukirkan burung hong dan naga, tandu tersebut digotong oleh delapan sosok prajurit setan,
seorang bocah perempuan berusia sebelas dua belas tahunan dengan baju warna merah dan
rambut dikepang mengikuti disisi tandu tersebut.
Sembilan buah tandu itu berjalan menuju kebawah mimbar, empat pria setan yang duduk
ditandu loncat lebih dahulu diikuti dengan horden pada empat tandu lainnya terbuka dan
perlahan-lahan melayang turun empat setan perempuan, hanya tandu indah yang nampak
megah dan besar itu saja tiaak menunjukkan suatu gerakan apapun.
Jumlah rombongan setan itu seluruhnya melampaui seratus orang lebih, barisan sebesar ini
benar-benar luar biasa, para jago dari Sin-kie-pang, Hong lm Hwee, Thong-thian-kauw dan
pendekar dari golongan lurus tak berani memandang enteng lagi, untuk beb rapa saat lamanya
suasana jadi hening dan diliputi keseriusan.
Thong-thian Kaucu yang berada diatas mimbar dan menunggu beberapa saat lamanya, namun
dari balik tandu besar yang megah itu sama sekali tidak ada gerak-gerik apapun, hal ini
menggusarkan hatinya, imam tua tersebut segera membentak.
“Pinto Thian Ik-cu mohon tanya, diantara rombongan para malaikat ini apakah ada seorang wakil
untuk berbicara?”
Dari balik tandu yang terakhir melayang keluar sesosok setan perempuan, sambil maju kedepan
jawabnya, “Aku adalah Tiam cu dari istana neraka terimalah hormat dari kami….!”
Tiam cu dari istana neraka ini mengenakan jubah hitam yang lebar, rambutnya terurai sepanjang
pinggang dengan sebuah bunga kertas sebesar mangkuk menghiasi kepalanya, diatas dada
terukirlah sebuah uang kertas yang memancarkan cahaya keperak-perakan, mukanya pucat dan
gerak-geriknya enteng sekali, nada suara ketus dan adem membawa hawa setan yang sangat
tebal.
Dengan pandangan yang tajam, Thong-thian Kaucu mengamati Tiam cu dari istana neraka itu
beberapa saat lamanya, kemudian dengan alis mata berkenyit, pikirnya, “Ooooh…. aku benarbenar
sudah bertemu dengan setan hidup!”
Imam tua itu segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah…. haaah…. rupanya Tiam cu yang telah tiba, maafkanlah kalau pinto tidak
melakukan penyambutan”
“Tidak berani” jawab Tiam cu istana neraka, “bila kedatangan kami terlalu gegabah harap
engkau juga bersedia memaafkan”
Thong-thian Kaucu tersenyum, ia segera menuding ke arah makhluk- makhluk setan yang
berada disekitarnya kemudian bertanya, “Setan-setan penasaran itu apakah merupakan anak
buah Tiam cu semua….?”
Tiam cu istana neraka adalah seorang gadis yang berparas cantik dan berpotongan badan
menawan, usianya baru dua puluh tahunan, andaikata dia adalah seorang manusia maka
sepantasnya kalau merupakan seorang gadis yang sangat menawan hati, sayang mukanya pucat,
ucapannya kaku dan dingin serta dari tubuhnya memancarkan hawa setan yang tebal, membuat
siapapun yang memandang merasakan hatinya bergidik.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
127
Thong-thian Kaucu memandang sekejap ke arah tandu besar yang indah dan megah itu,
kemudian bertanya lagi, “Tandu tersebut berukirkan naga dan burung hong, bentuknya megah
din indah, entah Tiam cu manakah yang berada dalam tandu tersebut?”
“Tandu itu berisikan kaucu kami!”
Semua pertanyaan yang diajukan segera dijawab, tapi jawabanya selalu singkat dan sederhana,
seakan-akan perempuan itu segan untuk banyak berbicara.
Mendengar perkataan itu Thong-thian Kaucu segera tertawa terbahak-bahak, serunya,
“Haahh…. haahh…. hahhh…. sungguh tak kusangka kecuali kaucu dari sekte agama Thong-thiankauw
masih ada kaucu lainnya lagi, kalian Tong kaucu kalian berasal dari perkumpulan mana?
dan siapa pula sebutan dari kaucu kalian itu?”
“Maaf, tak dapat diberitahukan!”
Tong Thian Kaacu mengerutkan dahinya.
“Mengapa kaucu kalian tidak turun dari tandu? apakah harus menunggu sampai aku turun
tangan sendiri untuk membukakan tandu baginya?” ia menegur.
Diatas wajah Tiam cu istana mereka yang dingin dan pucat, tiba-tiba melintas nafsu membunuh
yang tebal, engkau harus membukakan tandu dan mempersilahkan kaucu kKami untuk turun dari
tandu!”
Thong-thian Kaucu merasa amat gusar sekali, sambil berpaling bentaknya
“Pek Lian, maju dan bukalah tabir tandu tersebut!”
Seorang imam cilik berbaju merah mengiakan dan maju kedepan dengan langkah lebar.
Cing lian, Pek lian adalah dua orang murid kesayangan Thian Ik-cu, ilmu silat yang dimiliki kedua
orang ini jauh melampaui kakak seperguruan lainnya, bukan saja kelicinan bahkan akalpun
banyak sekali dan melebihi siapapun.
Sementara itu, Pek Lian dengan langkah lebar berjalan melewati kawanan makhluk setan itu dan
mendekati tandu besar, meskipun wajahnya saram sekali tidak menampilkan perasaan takut,
akan tetapi secara diam-diam ia telah melakukan siap siaga dan sedikit pun tidak berani
bertindak secara gegabah.
Tong Taian Kaucu pun berjaga-jaga bila pihak lawan melakukan penyergapansecara tiba-tiba,
sepasang matanya yang tajam mengawasi gerak-gerik Pek Lian tanpa berkedip.
Tampak Pek Lian berjalan menuju kedepan tandu besar itu kemudian menyingkap tabir yang
menutupi tandu tersebut, siapa tahu sorot matanya menemui tandu yang kosong melompong,
tidak ada manusia disitu pun tak ada bayangan barang sedikit pun jua.
Menyaksikan akan hal itu, Pek lian nampak tertegun, pada saat itukah seorang setan pria yang
memakai kopiah kebesaran, berbaju orang pangkat dan bermuka warna hijau memetangkan
mulutnya melakukan penyerbuan, segulung hawa dingin langsung meluncur ke arah tenggorokan
Pek lian.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
128
Sementara itu Pek lian sedang putar badan siap berlalu dari sana, ketika merasakan segulung
hawa dingin secara tiba-tiba menyerang tengkuknya kemudian mengikuti bagian belakang
menyerang tulang punggungnya, ia jadi amat terperanjat hingga tanpa terasa sekujur badannya
gemetar keras.
Thong-thian Kaucu yang menyaksikan kejadian itu merasa terkejut bercampur gusar,
sebenarnya ia hendak menghardik tetapi ingatan lain segera berkelebat dalam benaknya, ia
merasa pihak lawan sama sekali tidak turun tangan kecuali meniup belaka, dalam anggapannya
tiupan tersebut tidak mungkin akan melukai muridnya, apalagi kalau per soalan itu dibongkar
malah tidak menguntungkan pihaknya, maka sambil menahan diri ia pura-pura tidak tahu.
Pek lian segera putar badan dan melotot sekejap ke arah setan berpakaian pembesar itu dengan
penuh kegusaran, kemudian dengan langkah lebar ia berjalan balik ke arah mimbar.
Siapa tahu baru saja badannya maju selangkah, tubuhnya terasa makin dingin dan kian lama
kian bertambah kaku, belum mencapai sepuluh langkah rasa dingin telah merasuk ketulang
sumsumnya membuat giginya saling beradu dan badan menjadi kaku.
Pek lian tahu bahwa gelagat tidak menguntungkan pihaknya, buru-buru ia tarik napas dan
bermaksud untuk mengatur perasaan, siapa lahu keadaan sudah terlambat, sebelum hawa murni
sempat disalurkan, sekujur badannya sudah gemetar keras kemudian roboh terjengkang keatas
tanah.
Thong-thian Kaucu yang menyaksikan kejadian itu merasa amat terperanjat, segera bentaknya,
“Thian seng….”
Sebelum mendapat perintah, Thian Sengcu laksana kilat telah malompat kedepan dan memayang
tubuh Pek lian yang sedang roboh ketanah, ia rasakan tangan dan tubuh bocah itu sudah
berubah jadi dingin bagaikan es, hawa dingin yang sangat aneh serasa menyusupi setiap tubuh
imam cilik tersebut, dalam bingung dan tidak habis mengertinya buru-buru ia loncat kembali
kesisi tubuh Thian Ik-cu.
Thong-thian Kaucu segera mengamati pula imam cilik itu sekejap, ia lihat sepasang mata Pek
Lian terpejam rapat-rapat, giginya menga tup kencang sementara bibirnya telah berubah jadi
biru, mukanya pucat ke hijau-hijauan dan keadaan tersebut tidak jauh berbeda dengan orang
yang mati karena kedinginan.
Maka nadi dan jantung Pek lian diperiksa dengan seksama, ia temukan bahwa denyutan nadi
imam cilik itu sudah tiada dan jan tungnya telah berhenti berdetak, hal itu menunjukkan bahwa
jiwanya sudah melayang dan tak tertolong lagi.
Peristiwa ini benar-benar suatu kejadian yang sangat mengerikan, sebuah tiupan mampu
membinasakan jiwa manusia andaikata tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapapun
tak akan percaya atas kejadian tersebut, tapi sekarang kenyataan sudah ada di depan mata
membuat semua orang mau tak mau terpaksa harus mempercayai.
Thong-thian Kaucu merasa amat gusar sekali hingga seluruh wajahnya berubah jadi hijau
membesi sambil ulapkan tangannya ia berseru, “Hantar dia kepada tiga orang susiok untuk
diteliti, coba diperiksa dimanakah letak mulut lukanya?”
Mendengar perkataan itu, Thian Seng cu segera membopong mayat Pek Lian dan balik kedalam
barak.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
129
Dengan sorot mata yang tajam bagaikan sambaran kilat sekali lagi, Thong-thian Kaucu menyapu
sekejap kawanan manusia aneh dan makhluk- makhluk setan itu kemudian prkirnya, “Diatas
langit masib ada langit, diatas manusia masih ada manusia nampaknya kemunculan kelompok
baru ini bukan suatu kelompok yang biasa….”
Berpikir demikian, ia berusaha keras untuk menekan hawa amarah yang bergolak dalam dadanya
sambil memandang setan berdandan pembesar itu, tegurnya, “Dan engkau…. Tiam cu apa lagi?”
“Aku adalah Tiam cu ruang penyiksaan” jawab setan berdandan pembesar itu dengan suara
menyeramkan, bilamana kaucu ingin memberi petunjuk dengan senang hati akan kulayani
keinginanmu itu.
Thong-thian Kaucu mendengus dingin, ia berpaling dan memandang sekejap ke arah Tiam cu
istana neraka, lalu tegurnya, “Kenapa kaucu kalian belum juga datang kemari?”
“Kaucu kami sudah lama sekali hadir di tempat ini, setiap orang yang punya mata dapat melihat
dengan amat jelas”
Tang Thian Kaucu menjadi terkejut, sorot matanya segera berputar menyapu sekeliling tempat
itu.
Pada waktu itu, bukan saja Thong-thian Kaucu merasa terperanjat, bahkan semua orang yang
ada didalam gelanggangpun sama-sama merasa terkejut dan curiga, untuk beberapa saat
lamanya sorot mata semua orang berputar kian kemari untuk mencari jejak pemimpin kelompok
setan tersebut.
Tiba-tiba…. sorot mata Thong-thian Kaucu berhenti pada tandu kecil yang ditumpangi Siang
Tang Lay, satu ingatan segera berkelebat dalam benaknya membuat ia seperti menyadari akan
sesuatu, tak tahan lagi imam tua itu tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haahh…. haaah…. Siang Tang Lay, rupanya kesemuanya ini adalah hasil permainan
setanmu. Haahh…. haah…. haahh…. sudah sepantasnya sedari permulaan tadi pinto harus dapat
berpikir sampai kesitu, badanmu cacad dan gerak-gerikmu tidak leluasa mana engkau berani
andalkan kekuatan empat orang muridmu untuk berkunjung kedaratan Tionggoan guna
mulakukan pembalasan dendam….”
Tetapi dengan cepat Siang Tang Lay gelengkan kepalanya berulang kali, sembari tertawa
nyaring, jawabnya, “Dugaan Kaucu keliru besar, dengan kemampuan yang kumiliki rasanya
masih belum mampu menciptakan hasil karya sebesar itu haaa…. haaah…. haaaah.”
Tertegun hati Thong-thian Kaucu , kembali ia berpikir, “Kalau ditinjau dari gerak-gerik kedelapan
orang makhluk aneh bertandu itu jelas mereka semua adalah jago-jago lihay yang berke
pandaian amat tinggi, kecuali kakek tua ini siapa lagi yang bisa mendidik mereka jadi demikian
lihay?”
Hoa Hujin serdiripun dibuat kebingungan dan tidak habis mengerti, dengan ilmu me-nyampaikan
suara ia lantas berbisik, “Siang heng.! sebenarnya manusia-manusia itu berasal dari mana?”
“Apakah engkau tahu?”
Siang Tang Lay mengerutkan dahinya, dengan ilmu menyampaikan suara pula dia menjawab,
“Sepanjang perjalananku menuju ketimur kali ini meskipun membawa pula sedikit anak buah,
tetapi aku tidak mengetahui tentang asal usul dan kelompok manusia-manusia aneh tersebut”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar