“Aneh benar!” teriak Tio Sam-koh dengan dahi berkerut, “kalau memang untuk membereskan
jiwa Thian Ik-cu gampang sekali, apa salahnya kalau sekali hantam kau bereskan saja bajinganbajingan
itu?”
Hoa Hujin tertawa getir.
“Sam-koh, terus terang saja kukatakan bahwa tenaga pukulan yang kumiliki pada saat ini
mungkin tak akan mampu ditahan oleh siapapun juga di kolong langit dewasa ini”
“Bagus sekali, kalau memang begtu kenapa engkau harus sungkan-sungkan lagi?”
“Aaai….! Sam-koh dengarkan dahulu perkataanku!”
“Katakanlah! aku nenek tua akan mendengarkan.”
Hoa Hujin menghela nafas panjang ujarnya, “Tenaga pukulan yang kumiliki bagaikan air dalam
gentong saja lebih banyak serangan yang dipergunakan makin berkurang tenaga pukulanku
jumlah pukulan yang bisa kupergunakanpun tertentu sekali jumlahnya”
“Lalu berapa banyak pukulan yang mampu kau lancarkan?” tanya Tio Sam-koh dengan hati
tercengang.
“Itu sih tidak menentu, tenaga pukulanku bisa digunakan dalam satu kali pukulan belaka dapat
pula dipergunakan secara menghemat dan sampai beberapa puluh pukulan”
“Heeehh…. heeehh…. heeehhh….selamanya engkau memang paling suka memperhatikan segala
macam keanehan!” seru Tio Sam-koh sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
“Ibu!” tiba-tiba Hoa Thian-hong berseru, “bila tenaga pukulanmu telah habis dipergunakan maka
bagaimanakah dengan kesehatan badanmu?”
Cu Im taysu menghela napas panjang, pikirnya, “Kebaktian bocah ini terhadap ibunya benarbenar
tak dapat dibandingkan dengan orang lain”
Tampak Hoa Hujin tersanyum, sambil memandang ke arah putra kesayangannya, ia berkata,
“Semua harapan pada saat ini terletak di atas pundak kita, sudah sepantasnya kalau kita
berusaha untuk menghindarkan diri dari pertanyaan itu, timbullah perasaan curiga dalam hati
Hoa Thian-hong, tanyanya lebih jauh, “Bagaimana dengan luka lama yang ibu derita? dan
pukulan beracun itu….”
“Engkau tak usah banyak bertanya!” tukas Hoa Hujin cepat.
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya lagi dengan suara lembut, “Akupun tak akan
mengelabuhi dirimu, luka racun yang kuderita akibat serangan tempo hari berhasil kusanding
dengan tenaga da lamku, jikala tenaga murniku habis digunakan maka luka racun itu akan
kambuh kembali”
Hoa Thian-hong jadi amat terperanjat.
“Bukankah pada waktu itu keadaan jadi payah sekali….!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
43
Tiba-tiba ia temukan wajah ibunya diliputi perasaan tak senang hati, buru-buru ia tutup mulut
tidak berbicara lagi.
“Hujin, ilmu pukulan apa sih yang kau pelajari? kenapa gejalanya sama sekali bertolak belakang
dalam keadaan pada umumnya?” tanya Cu Im taysu kemudian, “apakah engkau dapat memberi
keterangan sehingga pin ceng sekalipun dapat menambah pengetahuan?”
“Ilmu telapak yang aku pelajari adalah peleburan antara ilmu telapak Thian lui ciang pukulan
geledek dengan Hek sat ciang ilmu pukulan malaikat hitam ilmu sesat aliran kiri bukanlah suatu
kepandaian yang patut dibanggakan”
Cu Im taysu mengerutkan dahinya mendengar ucapan tersebut katanya, “Seringkali aku dengar
orang berkata bahwa ilmu Thian lui ciang ialah ilmu pukulan yang paling keras di kolong langit
sebaliknya ilmu pukulan Hek sat ciang adalah….”
Hoa Hujin menangkap tangannya dan tertawa.
“Ilmu pukulan Hek sat ciang terdiri dari banyak ragamnya, sifat racun yang dìgunungpun
berbeda-beda, dan yang mengandalkan racun bangkai, racun ular, racun tumbuh-tumbuhan dan
juga racun yang bersipat dingin, meskipun begitu kebanyakan racun yang dipakai adalah racun
yang ada dalam jagad, dengan dilatih secara tekun maka racun itu mencampur baur dengan
angin pukulan, siapa yang terhantam isi perutnya pasti luka keracunan, sebaliknya racun yang
kugunakan adalah racun batu yang ada didaftar perut bumi!”
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa getir sambungnya lagi, “Racun ini ganas sekali, siapa
yang terkena pasti mati…. Harimau ganas mengandalkan air sungai…. kalau dibicarakan benarbenar
memalukan sekali!”
Tanpa sadar sorot mata semua orang dialihkan ke arah telapak tangannya yang putih mulus itu,
tampaklah sekilas gumpalan hitam tercekat pada telapak tangannya, gumpalan hitam itu
melompat-lompat seperti mau loncat keluar, membuat orang yang melihat jadi ngeri rasanya.
Setelah suasana hening beberapa saat lamanya, tiba-tiba Ciong Lian-khek berkata kembali
dengan suara lantang.
“Taysu, engkau gunakan senjata sekop menggantikan senjata toya, setelah berlatih sepuluh
tahun pasti sudah mendapatkan kemajuan yang pesat bukan….? bagaimana kalau tugas berat
pada pertarungan babak pertama ini kubebankan kepadamu?”
Mendengar pertanyaan tersebut, mula-mula Cu Im taysu nampak agak tertegun kemudian
dengan kepala tertunduk termenung beberapa saat lamanya.
Seperminum teh kemudian dia angkat kepala dan menjura, “Sejak kekalahan dalam pertemuan
besar Pak beng hwee, pinceng telah mengasingkan diri selama sepuluh tahun lamanya tanpa
seharipun berani angkat kepala, dalam pertemuan Kian ciau tayhwee nanti, walaupun aku masih
belum mampu untuk membebaskan jiwa Thian Ik-cu, namun untuk mempertaruhkan jiwa guna
menggetar kutung pedang mustika milik imam tua itu, pinceng yakin masih mampu untuk
melakukannya”
“Luar biasa! apakah engkau ingin melatih dirimu jadi Budha dan selamanya tidak mati?” teriak
Tio Sam-koh
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
44
“Demi keadilan serta kebenaran pinceng tidak takut mengorbankan jiwa ragaku, cuma saja Thian
Ik-cu adalah seorang ketua perkumpulan besar, lagi pula tuan rumah penyelenggaraan
pertemuan besar Kian ciau tayhwee, sedangkan pinceng bukan seorang jagoan yang kenamaan,
berada dihadapan para jago dari seluruh jagad, kendatipun pinceng mengajukan tantangan
untuk berduel, belum tentu Thian Ik-cu bersedia untuk melayaninya”
“Kau maki saja nenek moyang delapan belas turunanya, masa dia tetap tidak akan ambil
perduli!” seru Tio Sam-koh dengan gusar.
Cu Im taysu agak tertegun mendengar perkataan itu, sambil tertawa segera ujarnya, “Thian Ikcu
adalah seorang pemimpin tertinggi dari perkumpulannya, ia pasti akan mengutus jago lihay
lainnya untuk melayani tantanganku itu, aku lihat ilmu silat yang dimiliki Tio lo tay jauh lebih
tinggi daripada kepandaian pinceng….”
Lihay atau tidak kenapa!” seru Tio Sam-koh dengan mata melotot besar, apakah aku nenek tua
kalah dengan dirimu?”
Hoa Hujin segera goyangkan tangannya berulang kali, serunya agak keras, “Sam-koh, buat apa
sih musii bersilat lidah? persoalan ini amat serius sekali.”
“Thian Ik-cu sebagai tuan rumah bagi diselenggaranya pertemuan besar Kian ciau tayhwee,
sebelum mencapai babak terakhir tak mungkin ia bersedia untuk turun tangan sendiri….”
“Kalau memang begitu, apa itu pedang emas pedang perak, bukankah kita sudah bicarakan
persoalan itu dengan percuma saja?” teriak Tio Sam-koh kembali.
“Engkau tak usah terburu nafsu, sebodoh-bodohnya manusia pasti akan berhasil juga, mari kita
berunding kembali persoalan ini secara masak, akhirnya kita pasti akan berhasil mendapatkan
suatu cara yang baik!”
“Siau long, mampukah engkau menangkan Thong-thian-kauwcu?” tiba-tiba Li hoa siancu
bertanya.
“Aku sama sekali tak becus!” jawab Hoa Thian-hong dengan wajah agak jengah, “bicara yang
sesungguhnya aku masih bukan tandingan dari Thian Ik-cu….”
Li hoa siancu segera menghela napas panjang, ujarnya, “Thian Ik-cu adalah salah seorang
diantara musuh-musuh besar pembunuh ayahmu, jikalau engkau menggunakan dalih hendak
menuntut balas bagi kematian ayahmu, berada dihadapan umum mungkin saja Thian Ik-cu
terpaksa harus munculkan diri untuk melayani dirimu, lagipula engkau masih muda dan
merupakan angkatan yang lebih muda, siapa tahu kalau Thian Ik-cu merasa yakin dapat
menangkan dirimu dan segera turun tangan melayani tantanganmu itu….”
“Perkataan ji suci sedikitpun tidak salah” sahut Hoa Thian-hong.
Sambil menggertak gigi, ujarnya kembali, “Sebenarnya aku ingin sekali mengatakan imam
siluman itu untuk berduel satu lawan satu, aku hanya kuatir kekalahanku bakal mempengaruhi
semua keadaan!”
Tio Sam-koh yang semakin berpikir semakin kesal, tiba-tiba loncat bangun dari atas tanah dan
beteriak sambil menghantamkan tongkat besinya keatas tanah, “Perahu yang tiba diujung
jembatan tentu akan lurus sendiri! siapa kalau berani bicara tidak keruan lagi, jangan salahkan
kalau aku nenek tua segera akan memberi hadiah satu pukulan yang keras”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
45
***
“PERKATAAN dari Tio lo tay tidak salah!” seru Chin Pek-cuan pula dengan suara keras, “daripada
duduk sambil berbicara lebih baik kita gunakan kesempatan ini untuk berlatih ilmu silatnya
sendiri-sendiri….”
Pada saat itu fajar telah menyingsing diufuk sebelah timur, diatas bukit tampaklah jago-jago dari
kalangan lurus itu sedang melatih ilmu silatnya masing-masing dengan tekun dan rajin.
Hoa Hujin duduk diatas batu gunung sambil menyaksikan putranya berlatih ilmu pedang, Hoa
Thian-hong sendiri dengan gerak naga langkah harimau memainkan pedang bajanya dengan
penuh bersemangat, dibawah sinar matahari tampaklah cahaya tajam memancar keempat
penjuru menyilaukan mata orang, angin pedang menderu-deru amat memekikkan telinga.
Li hoa siancu maju mendekati, lalu berkata sambil tertawa, “Sewaktu masih berada diselat Bu
hiang kok tahun berselang, ilmu silat yang dimiliki siau long masih belum dapat menangkan
diriku, tapi sekarang agaknya
dirinya….”
Tiga dewi dari wilayah Biau adalah tamu terhormat, Hoa Hujin tak berani bersikap ayal, segera ia
tersenyum sambil menjawab, “Nona memiliki kepandaian ahli dibidang lain, tentu saja kemajuan
yang diperoleh dalam bidang ilmu silat agak lambat!”
Ci wi siancu pun berjalan mendekat, lalu menimbrung dari samping, “Hujin, ilmu pedang siau
long meskipun hanya terdiri dari enam belas jurus belaka akan tetapi setiap kali tampaklah
muncul gerakan-gerakan baru yang serba aneh dan belum pernah terlihat sebelumnya, setelah
kuamati dengan lebih seksama terasa olehku bahwasanya keenam belas jurus ilmu pedang itu
merupakan serangkaian garis besar dari suatu kepandaian belaka, sedangkan isinya sebenar nya
amat luas dan memiliki perubahan yang tak terhitung banyaknya”
Hoa Hujin menghela napas panjang katanya, “Rangkaian ilmu pedang itu sebenarnya merupakan
hasil ciptaan dari mediang ayahku, sayang sekali waktu berlatih terlalu singkat sehingga seng ji
tak mampu untuk melatih inti sari yang sebenarnya”
Ditengah pembicaraan, Hoa Thian-hong telah selesai memainkan jurus pedangnya, baru saja
tarik kembali senjatanya untuk minta petunjuk pada ibunya, tiba-tiba terdengar Ciong liang kek
membentak keras, “Thian Hong, lihat pedang!”
Hoa Thian-hong tertegun, bayangan manusia berkelebat dan cahaya tajam pun tahu-tahu sudah
muncul didepan mata, membuat si anak muda itu terpaksa harus cepat-cepat menggerakkan
pedangnya untuk menyambut datangnya serangan tersebut.
“Lihat pedang, lihat pedang!” bentak Ciong liang kek berulang kali.
Ditengah bentakan keras pedangnya laksana sambaran dan ledakan
angkasa, serangan-serangan gencar yang dilancarkan semuanya ditujukan ke arah jalan darah
penting diseluruh badan Hoa Thian-hong.
Dalam keadaan begitu, terpaksa pemria she Hoa itu harus putar pedangnya untuk menyambut
serangan musuh namun lama kelamaan ia merasa kepayahan, segera pikirnya, “Locianpwee
turun tangan begini gencar, aku mana sanggup untuk melayaninya….?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
46
“Ayolah menyarang secara benar-benar….!” tiba-tibaa Ciong Lian-khek membentak dengan
penuh kegusaran.
Hoa Hujin termenung sebentar, kemudian iapun ikut berseru dengan suara lantang, “Ciong lian
cianpwee ada maksud untuk menggembleng dirimu Seng ji! layanilah dengan sepenuh tenaga”
Hoa Thian-hong merasakan semangatnya berkobar, ia membentak keras dan pedangnya segera
disapu kedepan untuk menolong posisinya.
“Bukankah engkau berhasrat untuk menggetarkan pedang pusaka Poan liong poo kian milik
Thian Ik-cu sewaktu diselenggarakannya pertemuan besar Hian ciau tayhwee? Nah! layani dulu
serangan pedangku ini!” seru Ciong Lian-khek dengan suara lantang.
“Boanpwee tak berani bertindak kurang ajar” sahut Hoa Thian-hong sambil putar senjata untuk
menyambut datangnya ancaman musuh.
“Hmm! tak usah bicara begitu, belum tentu engkau mampu untuk menggetarkan pedang ku
ini….”
“Sungguh gagah dan bersemangat locianpwee ini” pikir Hoa Thian-hong didalam hati, “kalau aku
bertindak sungkan-sungkan terus, justru tindakanku ini malahan akan bangkitkan
kemarahannya….”
Berpikir demikian, ia segera menggetarkan pedangnya dan langsung menerjang ke arah pedang
lawan.
“Kurang ajar!” bentak Ciong Lian-khek.
Ujung pedangnya segera menggetarkan berpuluh-puluh bunga perak yang menyiliaukan mata,
dengan suatu gerakan cepat, ia serang dada pemuda itu.
Hoa Thian-hong terkesiap, sekuat tenaga ia loncat kebelakang sejauh beberapa tombak dari
tempat semula, ketika ia menengok ke atas dadanya maka tampaklah pakaian yang dia kenakan
telah bertambah dengan dua puluh buah lubang kecil yang rumit dan rapi.
Hoa Hujin segera tertawa dan memuji, “Suatu jurus Cu sian tiau keng atau para dewa
menghadap atasan yang sangat indah, aku rasa kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki Thian
Ik-cu tak akan jauh lebih ampuh daripada serangan tersebut, “Hujin memahami bukan, bahwa
kepandaian yang dimiliki bajingan Thian Ik-cu bukan hanya terbatas pada jurus pedang belaka?”
kata Ciong Lian-khek dengan nada tertawa.
“Untuk menggetarkan pedang lawan hingga patah, engkau harus menyerang ke arah bagian
tubuh lawan yang penting dan lemah, kalau menyerang pedang lawan secara ngawur begitu,
bukan sama artinya mencari jalan kematian buat diri sendiri?”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong setelah mendengar perkiraan itu, sahutnya
kemudian, “Boanpwee memang sangat bodoh, sekarang aku telah mengerti!”
Tiba-tiba Cu Im taysu maju menghampiri dan berkata, “Hoa Hujin, setelah pinceng berpikir
pulang pergi, aku segera merasa kendatipun setiap saat dan setiap detik kita melatih ilmu silat
kita secara tekun dan rajin setetes demi setetes dikumpulkan hal itu tidaklah mendatangkan
manfaat yang terlalu banyak, lain halnya dengan Thian Hong, mula-mula tenaga dalamnya
memperoleh kemajuan pesat karena pengaruh racun teratai empedu api kemudian badannya jadi
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
47
enteng karena pengaruh Leng-ci berusia seribu tahun, hal ini membuat dia memiliki dasar
kekuatan yang benar-benar sangat tangguh, sepantasnya kalau kita gembleng dirinya secara
tekun dan rajin sebab dialah satu-satunya kekuatan yang bisa kita harapkan serta andalkan”
“Budi kebaikan taysu sangat mengharukan hati kami berdua” ujar Hoa Hujin dengan serius.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia berpaling ke arah Hoa Thian-hong dan
berseru, “Seng Ji, berlutut!!”
Buru-buru Hoa Thian-hong maju kedepan dan jatuhkan diri berlutut diatas tanah, katanya,
“Ananda siap mendengarkan nasihat ibu!”
Dengan suara dalam Hoa Hujin segera berkata, “Cu Im taysu serta Ciong lian cianpwee adalah
sahabat karib mendiang ayahmu, setelah cianpwee berdua maksud untuk menggembleng engkau
jadi naga maka engkau harus berjuang secara tekun dan rajin untuk mencapai tingkat seperti
yang diharapkan, janganlah sampai engkau menyia-nyiakan maksud baik dari kedua orang
cianpwee itu”
Hoa Thian-hong mengiakan, ia segera memberi hormat kepada Cu Im taysu serta Ciong Liankhek
sambil berkata, “Terima kasih banyak atas kesediaan locianpwee untuk membimbing seria
membina diriku”
“Tak usah banyak adat!” seru Ciong lian-kek sambil ulapkan tangannya, “keluarkan segenap
kepandaian yang kau miliki, lebih cepat ia mampu mengalahkan kami berarti kekuatan bagi
rombongan kita jauh lebih kuat dan ini berarti harapan kita untuk melanjutkan hidupun semakin
besar!”
Hoa Thian segera bangkit berdiri, sambil memberi hormat, serunya kembali, “Boanpwee akan
berusaha dengan sepenuh tenaga, aku tak akan berani bermalas-malasan!”
Air muka Ciong Lian-khek tetap hambar, pedangnya direntangkan kedepan menerjang maju
kedepan.
Buru-buru Hoa Thian-hong putar pedang menyambut datangnya serangan, seluruh perhatiannya
dicurahkan jadi satu untuk mengha dapi pertempuran itu, sedikitpun ia tak berani berayal. Ilmu
pedang yang dimiliki Ciong Lian-khek mengutamakan keganasan serta ketelengasan, dengan
bantuan tenaga dalamnya yang amat sempurna, boleh dibilang setiap serangannya disertai
desingan angin tajam.
Sebaliknya ilmu pedang yang dipergunakan Hoa Thian-hong lebih bersifat terbuka namun kokoh
dalam pertahanan dan tajam dalam serangan, meskipun sudah bertempur
lebih, namun kedua belah pihak masih tetap bertahan dalam posisi seimbang.
Hoa Hujin yang mengikuti jalannya pertempuran dari sisi arena, tiba-tiba berseru dengan suara
berat, “Keluar dari posisi Bu wong menuju ke tempat kedudukan Kui wi, gunakan jurus Hang hui
ciy thian atau pelangi melayang diangkasa serta Liong Can ek ya atau naga bertarung ditanah
liat”
Beberapa patah kata itu diutarakan amat cepat, Hoa Thian-hong tak sempat berpikir panjang lagi
segera geserkan langkahnya dua tindak kesamping, pedang digetarkan keatas dan…. Sreeeet!
Sreeet! secara beruntun melancarkan dua babatan kilat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
48
Kedua jurus serangan tersehat merupakan jurus kesebelas dan kedua belas dari rangkaian ilmu
pedang yang dipelajari Hoa Thian-hong serta entah berapa ribu kali, sekali bergerak serangannya
secara otomatis meluncur keluar dengan sedirinya.
Ciong Lian-khek sendiri ketika mendengar Hoa Hujin memberi petunjuk kepada putranya, satu
ingatan segera berkelebat dalam benaknya, pedang panjang dengan cepat menerjang maju
kedepan.
Tampaklah pedang baja Hoa Thian-hong mencuak keatas, mula-mula memunahkan serangan
yang dilancarkan olehnya, baru saja dia akan berubah jurus serangan mendadak pedang si anak
muda itu dengan jurus Liong can ek ya telah membabat pinggangnya.
Dalam keadaan begini, bagi Ciong Lian-khek kecuali menangkis datangnya ancaman tersebut
satu-satunya jalan loncat mundur keluar gelanggang.
Namun rupanya ia sudah mempunyai perhitungan, disaat yang kritis pedangnya segera di ayun
kesamping dan berpapasan dengan pedang baja Hoan Thian Hong, meskipun begitu senjatanya
sama sekali tidak terbentur olehnya.
Cu Im taysu segera tertawa dan berseru, “Hujin benar-benar sangat lihay, Cong liang heng pun
hebat sekali!”
Sambil siapkan senjata sekopnya, ia segera berseru, “Bersiap-siaplah, pinceng akan turut terjun
ke dalam gelanggang!”
Setelah mendapat petunjuk dari ibunya, Hoa Thian-hong berhasil memperbaiki posisinya tetapi
baru saja menghembuskan napas lega mendadak terasalah cahaya perak berkilauan diangkasa,
segulung desiran angin tajam tahu-tahu sudah menghantam batok kepalanya.
Ia sudah pernah merasakan kelihayan dari Cu Im laysu dan mengetahui pula kalau di balik
senjata sekopnya itu tersimpan tenaga raksasa seberat ribuan kali, ia tak menerima keras lawan
keras, badannya segera berkelit kesamping dan menerjang Ciong Lian-khek.
Terdengar Co Im taysu membentak keras, angin tajam berhembus lewat sekali lagi, senjata
sekop yang berat meluncur datang kembali, sedangkan Ciong Lian-khek pun ambil kesempatan
itu mengirim satu pukulan kembali ke arah depan.
Dengan kerja sama dari kedua orang ini, boleh dibilang serangan-serangan yang dilancarkan
termasuk kuat dan ampuh, Hoa Thitan Hong yang harus menghadapi serangan dua orang
sekaligus jadi keteter hebat.
“Criiing….! senjata sekop Cu Im taysu menyambar lewat menggetarkan pedang baja dari Hoa
Thian-hong hingga mencelat keang kasa, sementara Ciong Lian-khek dengan tak kenal ampun
segera melancatkan satu tusukan kilat ke arah tubuhnya.
Hoa Thian-hong malu bercampur cemas, sekuat tenaga ia loncat ke tengah udara dan
menyambar kembali pedang bajanya.
“Hmm! engkau begitu tak becus, namun ambisinya besar sekali” seru Ciong Lian-khek dengan
ketus, “dengan andalkan kepandaian seperti itu engkau ingin merebut kekuasaan dengan Thian
Ik imam? bajingan itu. Heeh….heeh….heeh. benar-benar omong kosong”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
49
“Dalam menghadapi pertarungan seseorang tidak boleh mempunyai perasaan mengalah,
kepandaian silat apa saja yang kau miliki? ayoh keluarkan semua….!”
“Maaf kalau boanpwee tak tahu adat!” seru Hoa Thian-hong dengan wajah jengah.
Ia segera menerjang maju kedepan, pedar nya langsung menerjang tubuh Cu Im taysu.
“Hmm! kalau engkau tak mampu menangkan taysu serta diriku, dalam pertemuan besar Kian
ciau tayhwee, engkau tak ada kesempatan untuk tampil kedepan!” seru Ciong Lian-khek kembali
dengan dingin.
Sembari berkata, pedangnya berputar kencang, dalam waktu singkat ia sudah melancarkan tujuh
buah serangan kilat.
Hoa Thian-hong segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk menangkis datangnya
serangan-serangan kilat dari Cu Im taysu serta Ciong Lian-khek, walaupun begitu posisinya
masih tetap terdesak dan kalang kabut.
Tiba-tiba terdengar Li hoa siansu berkata sambil tertawa, “Hoa Hujin, usia siaulong masih terlalu
muda, mana dia mampu untuk menghadapi serangan gabungan dari dua orang cianpwee? lebih
baik biarlah kami kakak beradik yang melayani dirinya saja, sedang hujin memberi petunjuk dari
samping, dengan begitu mungkin hal ini akan jauh lebih bermanfaat bagi dirinya.”
“Bagus sekali!” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, “sampai-sampai Li hoa cicipun tidak pandang
sebelah matapun terhadap diriku!”
Meskipun pendidikan yang diberikan Hoa Hujin terhadap putranya sangat keras, akan tetapi Hoa
Thian-hong sebagai pemuda yang berdarah panas, ia tak tahan mendengar rangsangan dan
akhirnya timbullah perasaan ingin menang dalam hati kecilnya, tanpa sadar pula semangat
bertempurpun semakin meningkat, tidak menggubris apa yang diucapkan oleh Hoa Hujin lagi, ia
segera membentak keras berulang kali dan pedang bajanya melancarkan serangan balasan
dengan sepenuh tenaga.
Dalam sekejap mata, cahaya tajam membumbung tinggi diangkasa, dari posisi bertahan ia
berubah jadi posisi menyerang.
Sekalipun begitu, namun sayang sekali dalam beberapa saat kemudian ia sudah terdesak kembali
oleh serangan-serangan gabungan sekop dan pedang itu hingga terdesak diatas tanah.
Dengan saksama Hoa Hujin mengikuti terus jalannya pertarungan antara ketiga orang itu,
melihat Hoa Thian-hong sudah lemah tak bertenaga lagi ia segera berseru, “Gunakan jurus Hok
tok han tong bangau sakti terbang dikolam, Sa in cion bong em empat penjuru sunyi senyap, Im
yang ji kek dua kekuatan Im yang serta
Keempat jurus tersebut merupakan jurus-jurus ampuh dalam ilmu pedang yang dipelajari Hoa
Thian-hong begitu cepatnya Hoa Hujin menyebutkan nama dari jurus-jurus serangan itu
membuat orang yang berada disampingnya boleh dibilang sama sekali tak sempat mendengar
dengan jelas.
Tetapi bagi Hoa Thian-hong yang mempelajari ilmu silat tersebut dari Hoa Hujin, boleh dibilang
antara kedua orang itu sudah memiliki ikatan batin yang kuat, mendengar seruan tersebut
pedang baja ditangan Hoa Thian-hong segera berputar cepat dalam waktu singkat keempat buah
jurus serangan tersebut sudah dikerahkan keluar semua.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
50
Ketika ia gunakan jurus Im yang ji kek, pedang ditangannya berputar dari arah kiri menuju ke
arah kanan, begitu tepat dan manis penggunaan jurus pedang tersebut membuat dua orang
lawannya terdesak mundur satu langkah kebelakang.
Ciong Lian-khek yang berada disebelah kiri, setelah mundur segera maju kembali kedepan,
pedangpun ikut menyerang kedepan.
Siapa tahu, setelah melancarkan tiga jurus serangan tadi, mendadak Hoa Thian-hong silangkan
pedangnya didepan dada, tubuhnya berputar kencang dan pedangnya menerjang kedepan,
nampaknya pedang baja itu segera akan saling membentur dengan senjata lawan.
Selama hidup Ciong Lian-khek membenamkan diri untuk mendalami ilmu pedangnya, tenaga
dalam yang dimilili boleh dibilang sudah mencapai kesempurnaan yang luar biasa, ketika
menyaksikan gelagat kurang baik, dia segera buyarkan serangan sambil menahan diri.
Hoa Hujin yantg menyaksikan kejadian itu, bersiap untuk memberi perintah kepada Hoa Thianhong
untuk menggunakan jurus Lak hoo kui it atau enam bergabung satu untuk mengobrakabrik
pertahanan.
Ciong Lian-khek mendadak teringat olehnya bahwa tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong
belum mencapai puncaknya serangan yang dilancarkan secara paksa belum tentu mampu
hasilkan tenaga sebesar sepuluh bagian, maka ingatan lain berkelebat dalam benaknya, ia segera
membentak keras, “Gunakan jurus Kiu thian cu lay atau sembilan langit menutup seruling serta
Kun siu ci tau!”
Sementara itu, ketika menyaksikan datangnya ancaman sekop yang dilancarkan Cu im taysu,
Hoa Thian-hong memang berhasrat untuk mempergunakan jurus serangan Kiu thian cu lay,
mendengar seruan tersebut ia jadi semakin bersemangat, pedang bajanya segera diayun
kedepan membabat sepasang lengan Cu Im taysu sedangkan telapak kirinya menghajar Ciong
Lian-khek.
Traaang….! Pedang baja saling membentur dengan senjata sekop hingga menimbulkan suara
dentingan yang amat nyaring, tubuh Cu Im taysu terbendung kebelakang sebaliknya Hoa Thianhong
terdorong mundur satu langkah kebelakang dengan sempoyongan.
Meskipun pedang bajamerupakan benda yang keras namun senjata sekop dari Cu Im taysu pun
merupakan tenaga raksasa yang luar biasa, dalam bentrokan tersebut sama sekali tak cedera
sebaliknya tubuh Hoa Thiang Hong malahan tergetar keras.
Dengan termakannya oleh getaran tersebut, serangan yang dilancarkan dengan tangan kirinya
pun melesat…. Kraaak! serangan tadi menghajar diatas bahu Ciong Lian-khek.
Ketika ujang telapaknya menempel diatas pakaian, buru-buru Hoa Thian-hong menarik kembali
serangannya dengan perasaan tak tenang, Cu Im taysu sendiripun menarik kembali senjatanya
dan berhenti menyerang hanya Ciong Lian-khek yang membentak kembali, “Ayo teruskan
seranganmu!”
Pedang panjangnya laksana kilat melancarkan serangan kembali.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah terlibat kembali dalam suatu pertempuran yang
amat sengit.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
51
Diam-diam Hoa Thian-hong berpikir, “Orang lain tak dapat maju karena susah mendapat
bimbingan guru pandai serta kesempatan untuk memperdalam ilmunya, sedangkan aku sudah
mendapatkan kasih sayang dari orang tuaku, bisa mempelajari il mu silat tangguh dan lagi ada
pula para cianpwee yang bersedia mengobankan waktu serta tenaga untuk menggembleng
diriku, kalau aku tidak dapat memanfaatkan kesempatan ini serta mencapai tingkat ilmu silat
yang tinggi, bukankah kemampuanku ini ibaratnya kentut anjing yang busuk dan sama sekali tak
ada gunanya?”
Berpikir sampai disini, semangatnya segera berkobar, pedang bajanya berputar makin kencang
dan berusaha untuk menyerobot posisi yang menguntungkan, hal ini memancing berkobarnya
semangar Cu Im taysu serta Ciong Lian-khek untuk lebih memusatkan perhatiannya pada
permainsn senjata, jurus demi jurus dilancarkan semakin gencar dan sedikitpun tiada maksud
untuk mengendorkan serangan.
Hoa Hujin sendiripan lebih bersemangat serta lebih sering memberi petunjuk kepada putranya,
hal ini membuat Hoa Thian-hong tak bisa menang juga tak dapat kalah, pertarungan sengit
berlangsung terus dengan ramainya.
Ditengah berlangsungnya pertarungan sengit, tiba-tiba senjata sekop dari Cu Im taysu
menggunakan jurus-jurus ampuh yang paling rahasia, secara beruntun ia memaksa Thian Hong
jadi gugup dan kalang Kabut tak karuan, terdesak hebat hingga kacau dalam pertahanan.
Menggunakan kesempatan yang sangat baik itu, Ciong Lian-khek segera menyerang dengan
serangan-serangan ampuh, memaksa Hoa Thian-hong harus merghindar berulangkali, tanpa
sadar ia mundur semakin mendekati ibunya.
Tiba-tiba terdengar Cu Im taysu membentak keras, cahaya perak berkilauan memenuhi seluruh
angkasa, dan tahu-tahu senjata sekop itu sudah muncul diatas pinggang Hoa Thian-hong
memaksa si anak muda itu sama sekali tak berkutik lagi.
Sambil menarik kembali senjata sekopnya, Cu Im taysu berkata, “Untuk menyaksikan jurus Budbi
bertanya soal agama, pinceng harus membutuhkan waktu selama dua bulan lebih sebelum
berhasil menggunakan serangan itu dengan leluasa, coba pikirkanlah dengan seksama, apakah
engkau mempunyai kepandaian untuk mencegah jurus serangan tersebut?”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong setelah mendengar pekataan itu, sambil menyeka
air keringat yang membasahi keningnya ia berkata, “Boanpwee tak dapat memikirkan dengan
jurus serangan apakah aku baru bisa memecahkan jurus seranaan tersebut….”
Bicara sampai disini, sorot matanya segera dialihkan ke arah ibunya.
Hoa Hujin termenung dan berpikir beberapa saat kemudian, kemudian ujarnya dengan lirih,
“Jurus serangan Budhi menanyakan soal agama dari taysu memang betul-betul hebat dan luar
biasa sekali, akupun tak mampu untuk menemukan jurus pemecahan yang jitu”
“Haahhh….haahah….haaahh…. kita toh sesama kawan sealiran, kenapa hujin musti merendahkan
diri?” seru Ciu Im taysu sambil tertawa terbahak-bahak.
Mendadak seperti menyadari akan sesuatu sambil menatap tajam wajah Hoa Thian-hong,
katanya, “Nak, keenam belas jurus ilmu pelang yang kau miliki merupakan kepandaian silat maha
ampuh yang ada di kolong langit, engkau harus merubahnya secara teliti dan seksama,
janganlah selalu menggantung-kan pada kecerdasan ibumu”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
52
Tiba-tiba terdengar Han In menimbrung dari samping arena, “Sekarang tengah hari sudah
menjelang tiba, bagaimana kalau kalian beristirahat lebih dahulu? setelah bersantap nanti latihan
baru dilanjutkan kembali!”
Li hoa siansu pun memandang cuaca sebentar, kemudian teriaknya, “
engkau sudah tidak merasakan lagi gejalagejala mau kambuhnya racun teratai?”
Hoa Thian-hong segera gelengkan kepalanya berulang kali.
“Sama sekali tidak merasakan apa-apa, aku rasa racun teratai itu sudah dicairkan oleh getah
Leng-ci berusia seribu tahun”
Mendengar jawab n tersebut, semua orang jadi sangat gembira dan merekapun bersantap siang.
Ternyata latihan pertarungan yang dilangsungkan oleh ketiga orang itu sudah menarik perhatian
para jago lainnya sehingga ber sama-sama berkumpul disekitar arena, tanpa terasa setengah
hari sudah lewat dengan cepatnya.
Selesai bersantap, Hoa Thian-hong segera menyambar kembali pedang bajanya dan loncat
bangun dari atas tanah, serunya sambil memberi hormat, “Locianpwee berdua, bagaimana kalau
kita lanjutkan pertarungan ini?”
“Apakah engkau telah berhasil menemukan bagaimana caranya untuk memunahkan jurus
serangan Budhi menanyakan soal agama dari Cu Im taysu itu?”
“Setelah boanpwee berpikir beberapa saat, boanpwee rasa untuk menghadapi jurus serangan
Budhi menanyakan soal agama dari taysu, aku dapat mempergunakan jurus Hi Cweng ciu atau
ikan lompat ke-dalam sungai untuk mempertahankan diri, cuma saja tenaga dalamku terlalu
cetek, gerakan selanjutnya susah untuk dikerjakan, oleh sebab itulah jikalau pedang panjang dari
cianpwee menyerang tiba tepat pada waktunya, boanpwee masih tetap tak mampu
mempertahankan diri”
“Kalau memang begitu, bukankah engkau sudah pasti bakal menderita luka kekalahan?” kata
Ciong Lian-khek dengan nada tawar.
“Seandainya benar-benar sedang menghadapi serangan musuh, maka boanpwee akan
mempergunakan jurus Thian hoo seng San atau bintang buyar disungai langit untuk mengadu
jiwa dengan taysu, sebaliknya andaikata taysu buyarkan serangan maka pedang baja dari
boanpwee akan berputar mengancam cianpwee”
“Bintang buyar sungai adalah jurus yang keberapa?” tanya Ciong Lian-khek dengan dahi
berkerut.
“Jurus terakhir dalam ilmu pedangku” jawab Hoa Thian-hong, setelah berhenti sebentar
sambungnya lebih jauh, “Cuma saja, berada dihadapan taysu serta cianpwee yang
berkepandaian tinggi, dalam keadaan tenaga dalam tak cukup tentu saja sukar untuk
mewujudkan harapanku itu”
Rasa sedih melintas diatas wajah Ciong Lian-khek, keluhnya, “Bicara pulang pergi yang paling
penting adalah tenaga dalammu tidak mencukupi, aaai….! seratus hari berlatih golok, seribu hari
berlatih pedang, sebenarnya hanya suatu pekerjaan yang terlalu dipaksakan….”
“Boanpwee akan berlatih dengan tekun!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
53
“Engkau tidak lelah?”
“Tidak, boanpwee sama sekali tidak merasa lelah….” jawab Hoa Thian-hong sambil gelengkan
kepalanya.
Cu Im taysu yang berada disisinya segera tertawa.
“Kalau dilihat keadaan yang begitu semangat, agaknya tenagamu memang betul-betul luar biasa
sekali” serunya.
Ia segera bangkit berdiri dan menyambung lebih jauh, “Ciong lian heng! membakar dupa bakar
sampai habis, mengantar Buddha mengantar sampai langit, kitapun tak boleh menunjukkan sikap
lelah!”
Ciong Lian-khek adalah seorang manusia Varg bersemangat baja, sebelum suatu pekerjaan
berhasil dilesaikan, ia bersumpah tak akan berhenti, sekarang setelah dilihatnya Hoa Thian-hong
masih mempunyai kekuatan untuk bertempur lebih jauh, dia segera mempersiapkan pedangnya
dan berjalan menuju ketengah gelanggang.
Tiba-tiba Hoa Hujin berpaling ke arah Chin Giok-liong serta Bong Pay lalu ujarnya, “Hian tit
berdua bagaimana dengan hasil latihan kalian selama belakangan ini?”
Buru-buru Chin Giok-liong memberi hormat dan menjawab, “Sebenarnya boanpwee sedang
mengikuti Ciong lian cianpwee belajar ilmu pedang, dan belakangan ini mendapatkan pula
serangkaian ilmu langkah dari ayahku, cuma sayang bakatnya kurang baik sehingga kemajuan
yang berhasil dicapai pun lambat sekali”
Hoa Hujin mengangguk.
“Dalam soal ilmu silat, memang tak dapat menghiasi dalam satu dua hari belaka, meskipun aku
mempunyai hasrat untuk membimbing dirimu, sayang sekali aliran ilmu silat yang kita anut sama
sekali berbeda, sekalipun kuwariskan kepada hian tit juga sama sekali tak ada manfaatnya
“Bibi demikian memperhatikan boanpwee, membuat hian tit merasa amat berierima kasih sekali.
Hoa Hujin menghela napas panjang, serunya kemudian, “Bagaimana dengan Bong hian tit?”
“Boanpwee tetap mempelajari ilmu pukulan Pek lek ciang warisan dari mendiang guruku!”
“Ehmm! guruku adalah seorang pendekar besar yang namanya amat tersohor di kolong langit”
kata Hoa Hujin sambil manggut, “asalkan engkau dapat meneruskan cita-cita gurumu serta
menegakkan terus garis hidup yang telah diterapkan oleh mendiang gurumu, bila mana suka
gurumu dialam baka mengetahui akan hal ini, dia pasti akan merasa amat gembira sekali.”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Dewa yang suka melancong dengan
mendiang gurumu adalah sahabat yang sangat akrab, ia sangat mengharapkan akan
kesuksesanmu dalam mewujudkan cita-cita mendiang gurumu, karena itu separoh dari jilid kitab
ilmu silat telah ia serahkan kepadaku dengan harapan aku bisa mewariskannya kepadamu kalau
berhasrat untuk maju, sekarang juga a
Bong Pay tertegun mendengar perkataan itu, dia melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong
kemudian jawabnya dengan kepala ter tunduk, “Kepandian silat yang boanpwee miliki sangat
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
54
cetek, setiap kali bertempur pasti kalah, jikalau bibi bersedia untuk memberi pelajaran tentu, saja
boanpwee pun bersedia untuk mempelajarinya”
Hoa Hujin menghela napas panjang, katanya, “Kami semua adalah bekas panglima perang yang
kalah tempur ditangan musuh namun tetap semangat, maka suatu saat semua sakit hati dan
dendam kesumat akan berhasil kita tuntut balas”
Bong Pay segera mengangguk.
“Asalkan boanpwee dapat membalaskan dendam bagi kematian guruku, perbuatan macam
apapun aku bersedia untuk melakukannya”
Mendengar ucapan itu, Hoa Hujin pun berpikir dalam hati kecilnya, “Meskipun orang ini kasar dan
berangasan namun dia adalah seorang manusia yang berperasaan….”
Ia segera bangkit berdiri dan membawa Bong Pay menuju ke puncak bukit dimana ilmu sakti Cu
yu jit ciat segera diwariskan padanya.
Siapa sangka, sisa laskar golongan lurus yang berjumlah kecil ini benar-benar berhasrat sekali
untuk menggunakan kekuatan mereka yang kecil untuk menumbangkan tiga kekuatan besar
yang ada di kolong langit dewasa itu, setiap orang berlatih diri dengan tekun dan semua orang
mengharap kemajuan yang pesat dalam kepandaian silatnya masing-masing.
Dalam waktu singkat, tiga hari sudah lewat tanpa terasa dan haripun sudah menunjukkan bulan
tujuh tanggal tujuh belas malam, berhubung usaha mati-matian dari Hoa Hujin serta Cu Im taysu
sekalian, dalam tiga hari yang penuh dengan latihan itu tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thianhong
telah memperoleh kemajuan yang pesat dan permainan pedang boleh dibilang hampir
melampui beberapa orang jago tua itu.
Sekarang ia mampu bertempur melawan Cu Im taysu serta Ciong Lian-khek sebanyak ribuan
gebrakkan tanpa kalah, cuma saja ke dua orang tokoh silat itupun sudah memahami ilmu
pedangnya maka pemuda itu sendiripun tak mampu untuk merebut kemenangan
Tio Sam-koh serta Hoa In segera ikut menerjunkan diri pula kedalam arena untuk bertarung
melawan Hoa Thian-hong, namun pertempuran selama setengah harian akhirnya tetap seri.
Adakalanya empat orang jago itu turun tangan bersama-sama untuk mengerubuti pemuda itu
selama setengah harian lamanya membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan lelah, namun posisi
masih masih tetap dipertahankan dalam keadaan seimbang.
Keempat orang jago itu bagaikan sebuah tungku api yang menggembleng serta menempa tubuh
Hoa Thian-hong dengan ketatnya, latihan demi latihan yang berat serta melelahkan membuat
langsung berhasil dicapai benar-benar menakjubkan, sayang waktunya tidak terlalu banyak lagi
sebab waktu sudah menunjukkan tanggal tiga belas malam, besok malam adalah saat
diselenggarakannya pertemuan besar itu.
Selesai bersantap malam, sambil membawa pedangnya, Hoa Thian-hong segera memberi hormat
kepada Cu Im taysu sekalian sambil ujarnya, “Besok kita harus memelihara tenaga secara baikbaik
dan beristirahat semalam suntuk, menggunakan kesempatan yang terakhir pa da malam ini,
harap para cianpwee sekalian suka bersusah payah lagi….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
55
“Aaaai….! apa itu soal susah payah? asal engkau mampu untuk meningkat lebih tinggi setaraf,
aku rasa Thian Ik-cu pun tidak akan mampu untuk menahan pedang bajamu” kata Cu Im taysu
dengan cepat.
Ciong Lian-khek, Tio Sam-koh maupun Hoa In sama-sama membungkam dalam seribu bahasa,
Cu Im taysu serta Hoa Thian-hong, lima orang mereka bersama-sama menuju keatas bukit.
Sementara kemudian, Chin Pek-cuan pun membawa Chin Giok-liong berlalu dari situ. Sedang
Bong Pay seorang diri menuju keatas puncak bukit.
Pertemuan besar Kian cian tayhwee sudah kian lama kian semakin dekat, perasaan hati semua
orangpun tersadar bertambah tegang, gelak tertawa sudah jarang kedengaran lagi.
Ci wi siancu menengadah memandang rembulan, kemudian kepada Hoa Hujin ujarnya, “Hujin,
ketiga jurus ilmu jari itu bilamana dilatih Siau long pada tangan sebelah kiri dan diimbangi
dengan permainan jurus pedang, bukankah daya tekanannya akas bertambah kuat?”
Sejak permulaan ia sudah melatih kepandaian tersebut dengan tangan kanan, sekarang sudah
tiada waktu lagi untuk merubahnya”
“Ciu It-bong dapat mengandalkau jurus Kun siu ci tau yang terdiri hanya satu jurus sebagai
kepandaian andalannya, hal ini membuktikan kalau dibalik permainan jurus itu terkandung
perubahan yang sakti serta daya kekuatan yang luar biasa” sela Lam hoa siancu dari samping,
“tetapi berhubung ilmu pedang serta telapak dari Siau long belum berhasil mencapai pada
puncaknya maka ia susah untuk menggabungkan permainan kedua macam kepandaian itu
menjadi satu, seandainya ilmu itu sudah mencapai puncak kesempurnaan dan bisa dipergunakan
menurut kehendak hati, aku rasa kalau dibandingkan dengan kekuatan ilmu jari Ci yu jit ciat pun
akan jauh lebih tangguh lagi”
“Perkataan nona sedikitpun tidak salah” sahut Hoa Hujin sambil mengangguk, tombak panjang
golok pendek, itu bukan berarti golok tak dapat menangkan tombak, melainkan kesempurnaan
dalam kepandaian silatlah yang lebih diutamakan”
Lam hoa siancu tersenyum, setelah berhenti sebentar katanya lagi, “Hujin, lebih baik engkau
mengurusi tentang dari Sian long saja, biarlah kami beberapa orang yang berjaga-jaga
dijembatan batu ini, dan aku rasa tak mungkin akan terjadi suatu kesalahan, andaikata terjadi
peristiwa yang tidak diinginkan biarlah kami akan suruh Tiong Hau untuk memberi laporan
kepada nyonya!”
Hoa Hujin berpikir sebentar, kemudian jawabnya, “Kalau memang begitu, terpaksa aku harus
merepotkan nona bertiga….!”
Setelah berjalan maju beberapa langkah, tiba-tiba ia berpaling dan berkata kembali, “Saat
dibukanya pertemuan Kian ciau tayhwee sudah semakin dekat, mungkin saja ada sahabat dari
satu aliran yang akan menyusul kemari, harap nona bertiga jangan sampai berayal menyambut
kedatangan sahabat- sahabat kita itu….!”
Tiga dewi dari wilayah Biau mengiakan dan Hoa Hujin pun segera meneruskan perjalanannya
menuju kebelakang bukit dan lenyap dibalik bebatuan.
Li Hoa siancu memandang sekejap ke arah Chin Wan-hong, lalu sambil mengerdipkan matanya ia
tertawa dan berkata, “Hong ji, bukanlah engkau ingin melihat siau long? kenapa tidak ikut serta
bersama sama hujin?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
56
“Siapa sih yang mengatakan kalau aku hendak meliat Siau long? dia sedang berlatih ilmu silat,
aku tak ingin mengganggu ketenangannya selama latihan!” jawab Chin Wan-hong sambil
tertawa.
“Hong ji!” seru Ci wi siancu pula sambil tertawa, aku lihat sesudah tak berjumpa selama satu
tahun, sikap siau long terhadap dirimu sudah tidak menyerupai keadaannya pada tempo dulu,
coba lihatlah selama beberapa hari ini, dia sama sekali tak mengucapkan sepatah katapun
terhadap dirimu.
Chin Wan-hong tertawa, jawabnya, “Pertemuan besar Kian ciau tayhwee sudah hampir tiba,
perasaan hatinya sedang berat, murung dan lagi pula sibuk berlatih ilmu silat, mana dia punya
waktu untuk bercakap-cakap dengan aku?”
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya lagi dengan nada sedih, “Selama ini dia selalu
memikirkan tentang dendam kematian ayahnya, cuma perasaan tersebut selamanya tak pernah
diutarakan keluar, dalam penemuan Kian ciau tayhwee nanti dia bakal bertemu dengan musuh
besarnya, pertarungan sengitpun tak mungkin bisa dihindari lagi”
“Dengan kesumat atas kematian ayahnya adalah suatu dendam yang dalamnya melebihi
samudra, kenapa ia tak berani mengutarakannya keluar?” kata Ci wi siancu.
“Hujin melarang dirinya untuk mengatakan soal dendam karena takut melemahkan semangat
persatuan diantara para pendekar serta melemahkan daya pikiran setiap orang dalam
menghadapi masalah besar ini”
“Kenapa?”
“Suci coba bayangkan seadainya yang dipikirkan terus olehnya hanyalah membalas dendam,
manusia-manusia gagah seperti Cu Im taysu sekalian yang sama sekali tidak mengutamakan soal
dendam pribadi bukankah bakal putus asa dan seandainya sampai terjadi keadaan seperti ini
bukankah akan mematahkan semangat tempur mereka sendiri?
“Ooooh….! rupanya terdapat juga masalah yang demikian peliknya seru Ci wi siansu sambil
tertawa, yang akan kita bantu hanya lah siau long seorang diri perduli amat siapa lurus siapa
sesat mau bertempur kita turun tangan dan mau bunuh kita bunuh saja bukankah lebih beres?”
Tiba-tiba Li hoa siancu tertawa dan berkata, “Hong ji, engkau mengatakan bahwa Siau long
selalu memikirkan tentang dendam kematian ayahnya, apakah secara diam-diam ia berita-hukan
kepadamu?”
Chin Wan-hong segera menggeleng.
“Dia adalah seorang anak yang berbakti, setelah ibunya melarang dia untuk berbuat demikian
maka sekalipin hanya mencuri untuk berpikirpun, tak akan berani apalagi mengutarakannya
keluar, cuma saja…. ia bisa berbakti terhadap ibunya masa tidak berbakti terhadap ayahnya? dan
masa ia dapat melupakan soal kematian ayahnya?”
Li hoa siancu mengangguk tanda membenarkan, tiba-tiba ia berpaling dan serunya, “Tong Long,
engkau mengatakan bagaimana hubungan antara siau long dengan Giok Teng Hujin dari sekte
agama Thong-thian-kauw?”
“Oooh…. aku hanya secara kebetulan saja mendengar percakapan antara dua orang imam cilik
ketika masih berada didalam kuil It goan hoan tempo hari….” kata Harimau bisu Tong Long.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
57
“Apa yang dia katakan?”
Harimau bisu Tong Long itu agak tertegun sebentar, kemudian jawabnya, “Kedua orang imam
cilik itu membicarakan tentang bagaimanakah hubungan yang intim antara Hoa kongcu dengan
Giok Teng Hujin, kemudian membicarakan pula bagaimana Thong-thian-kauwcu cemburu!”
“Sebenarnya bagaimana sih yang tepatnya?” tanya Li hoa siancu dengan wajah cemberut.
“Aku sendiripun kurang begitu jelas”
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Kedua orang imam cilik itu tidak
membicarakan sampai jelas, tentu saja aku sendiripun kurang begitu jelas.”
“Persoalan ini toh menyangkut tentang nona Hong, masa engkau tidak bisa menanyai mereka?”
seru Li hoa siancu dengan marah.
Chin Wan-hong yang berada disampingnya segera menimbrung, “Pada saat itu dia adalah
seorang tawanan, sedangkan kedua orang imam cilik itu pun membicarakannya secara diamdiam,
Ji sicu! coba engkau suruh dia bagaimana caranya untuk mengajukan pertanyaan tersebut,
padahal tak usah ditanyakan lagipula urusan sudah sangat jelas” kata Lam hoa siancu dengan
cepat, “perempuan itu toh bersedia menghadiahkan Leng-ci berusia seribu tahun kepada Siau
long, apa yang harus dibicarakan lagi….?”
Tiba-tiba terdengar Harimau ompong Tiong Lo poo cu berkata, “Perempuan itu benar-benar
ibarat pungguk merindukan bulan, Hoa sauya masih muda dan gampang terpengaruh oleh nafsu
birahi…. tentu saja ia gampang mempengaruhi sauya kita. Hmmm! Siancu, dalam pertemuan
besar Kian ciau tayhwee besok pagi engkau harus mengeluarkan sedikit kepandaian dan racuni
perempuan itu sampai mampus!”
Dalam pandangan tiga harimau dari keluarga Tiong, Hoa Thian-hong serta Chin Wan-hong
adalah pasangan yang paling ideal dan lagi ke dua-duanya merupakan majikan mereka tentu
saja dalam pandangan ketiga orang itu mereka tak rela membiarkan orang ketiga turut campur
dalam hubungan tersebut, sekali pun Hoa Thian-hong serta Chin Wan-hong bersedia, tiga
harimau dari keluarga Tiong tetap tidak setuju.
Cin wi siancu yang mendengar perkataan itu segera menimbrung, “Toa Suci, ide ini sangat bagus
sekali! Hong ji jadi orang terlalu jujur dan lagi tak bersedia melatih ilmu silat bukan saja sekarang
tidak merasa iri atau cemburu sebaliknya malah dipermainkan oleh perempuan lain, aku rasa
untuk berjaga terhadap segala kemungkinan yang tidak diinginkan lebih baik kita cepat-cepat
bikin mampus perempuan itu lebih dahulu….!”
“Suci bertiga, janganlah bikin huru hara yang sama sekali tak ada artinya” seru Chin Wan-hong
dengan gelisah, Giok Teng Hujin adalah putri kesayangan dari Siang Tang Lay dan lagi kitapun
sedang menghadap musuh yang amat tangguh….”
“Bikin huru hara apa omel Ci wi siansu, budak yang tak berguna, pembaringan yang hanya muat
ditiduri dua orang masa kau biarkan orang lain untuk menidurinya? kami bersusah payah untuk
membantu engkau malah bicara seenaknya…. benar-benar bodoh!”
Gadis suku Biau paling tebal rasa cemburunya, sering mereka lepaskan racun jahat untuk
mempengaruhi perasaan kekasihnya, apabila ada musuh dalam cinta merekapun tak segansegan
untuk turun tangan keji guna menyingkirkan saingannya itu, seringkali apa yang
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
58
dibicarakan dilakukan dengan segera, karena itulah sesudah mereka mengancam akan bikin mati
Giok Teng Hujin maka ancaman itu pasti akan dilakukannya pada suatu ketika.
Sebaliknya Chin Wan-hong adalah seorang gadis yang berbudi luhur serta memahami keadaan
situasi, dan lagi diapun jerih sekali terhadap wibawa dari Hoa Hujin, karena itulah meski pun
perbuatan dari ketiga orang sucinya itu adalah demi kebaikan dirinya, namun sang hati merasa
ngeri dan kuatir.
***
DALAM pada itu, dari tepi pantai seberang berkelebat datang sesosok bayangan manusia yang
ramping, disorot sinar rembulan tampaklah gerakan tubuh orang itu cepat bagaikan kilat dan
tergesa-gesa sekali, dalam beberapa kali lompatan ia sudah berada dibelakang batu peringatan
tersebut.
Tatkala tiba didepan batu peringatan itu, bayangan manusia yang ramping tadi nampak tertegun
dan segera membaca tulisan yang tertera disana.
Ia termenung sambil memandang keangkasa, lama sekali…. kemudian baru bergumam dengan
suara sedih, “Apakah aku terhitung sebagai sahabat mereka….? kalau aku mengaku sebagai
sahabatnya, apakah ia bersedia untuk menerimanya? dan orang lain apakah bersedia pula untuk
menerimanya? apakah tiada orang lain yang akan mentertawakan diriku?”
Lama sekali ia berdiri termangu-mangu, kemudian alihkan kembali rorot matanya ke arah tepi
seberang.
Dibawah sorot rembulan, secara lapat-lapat ia temukan pula ada beberapa orang sedang duduk
diatas bukit, dan orang-orang itu bukan lain adalah sekawanan perempuan.
Bayangan ramping itu kembali tertegun, akhirnya sambil menggertak gigi ia loncat naik seatas
jembatan batu dan bergerak ke depan.
Tiga dewi dari wilayah Biau sekalian yang berada diatas bukitpun sudah mengetahui kalau ditepi
seberang telah kedatangan seseorang, hanya saja berhubung jaraknya masih jauh dan lagi
membelakangi cahaya rembulan maka raut wajahnya tidak terlibat jelas.
Tiba-tiba Li hoa siancu tertawa dan berbisik lirih, “Bagus sekali, baru saja kita bicarakan soal Co
Cho, eei….! tak tahunya Co Cho sudah tiba, rupanya Giok Teng Hujin itu sudah tidak sabar
menunggu sampai diselenggarakannya pertemuan besar Kian ciau tayhwee dan datang
menghantar kematiannya lebih dahulu”
“Tidak aneh kalau siau long terpikat oleh dirinya” ujar Lan hoa siancu pula sambil tertawa,
“cukup ditinjau dari potongannya badannya memang sudah cukup membuat orang tergiur”
“Lebih baik kita binasakan dirinya dengan bubuk racun pemabok ataukah ditangkap dulu dalam
keadaan hidup-hidup setelah disiksa ba ru dibunuh mati?” tanya Ci wi siancu.
“Kalau berbuat begitu rasanya kurang baik tungkas harimau ompong Tiong lo po cu secara tibatiba,
perempuan ini adalah putrinya Siong Tang Lay dan lagi telah meluaskan budi terhadap
sauya kita, seandainya kita hukum mati setelah berhasil menangkapnya hidup-hidup bila Hoa
Hujin akan mengetahui peristiwa ini, lain kali dia akan menyalahkan kita, sedang Hoa sauya yang
sudah tergila-gila oleh kecantikannya….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
59
“Hmm! bicara tanpa bukti tukas harimau pelarian Toang Lian dengan cepat, dengan alasan apa
engkau mengatakan kalau Siau Koan-jin telah tergila-gila oleh kecantikannya?”
“Peduli bagaimanapun, kaum pria memang suka sekali mengganti yang baru dan bosan terhadap
yang lama, kata Harimau ompong Tiong Lo Po cu dengan perasaan tak puas, dari julukan yang
dipergunakan perempuan itu sudah dapat diketahui kalau dia bukan manusia baik-baik, lebih baik
kita pura-pura tidak tahu saja, agar ia tercebur ke dalam jurang dan mati dengan badan hancur”
“Cara berpikir Lo popo memang jauh lebih tepat!” seru Lan hoa si ancu kemudian sambil tertawa,
“kematian manusia bagaikan padamnya lampu, sekalipua Siau long merasa bersedih itupun
hanya bersifat sementara untuk kemudian akan melupakan untuk selamanya, dan asal kita tidak
turun tangan maka Hoa Hujin pun tak dapat menyalahkan kita”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, gadis yang tinggi semampai dan amat ramping itu
sudah melewati batu peringatan dan meluncur ketengah jembatan.
Li Hoa siancu segera tertawa dan berkata lagi, “Coba kalian liat gerak-geriknya yang tersipu-sipu
dan diliputi rasa malu, bukan saja tak mau sebutkan nama bahkan menganggap dirinya sebagai
kekasih siau long, dengan langkah lebar ia berjalan kedepan tanpa perasaan takut barang
sedikitpun juga”
Berbicara sampai di situ, perempuan tadi sudah tiba pada lapisan batu pertama dimana Ci wi
siancu melepaskan racunnya pada pos pertahanan yang pertama.
Berhubung semakin dekatnya dengan hari diadakannya pertemuan besar, penjagaan diatas
jembatan batu itu sudah diperbaharui, dan tiga dewi dari wilayah Biau pun belum lama berselang
menaburkan kembali bubuk racunnya, baru saja ujung kaki perempuan itu menginjak diatas
lapisan batu yang pertama, lubang hidungnya telah mencium bau racun pemabok yang lihay dari
perguruan Kiu-tok Sianci tersebut.
Meskipun obat pemabok itu tidak lebih lihay dari Mi hun san yang berada pada pos pertahanan
kedua, akan tetapi perempuan itu sudah tak tahan, tubuhnya gontai dan hampir saja roboh
kedalam jurang.
Menyaksikan kejadian itu Chin Wan-hong segera menjerit kaget, ketika terbayang kembali oleh
jeritan ngeri yang pernah didengarnya beberapa hari berselang, ia tak tega dan buru-buru
serunya, “Suci bertiga, mari kita kesana dan memeriksa keadaannya, setelah menanyakan
maksud tujuannya lebih baik kita usir dirinya pergi saja”
“Budak bodoh, apa yang perlu kita tanyakan lagi? apakah engkau bersedia untuk angkat saudara
dengan dirinya serta menjadi istri seorang suami yang sama?”
Chin Wan-hong terbungkam dan menunduk.
Tiba-tiba Lan hoa siancu berseru keras, “Eeeei….! Giok Teng Hujin itu benar-benar luar biasa….
coba lihatlah!”
Ternyata gadis berbadan ramping itu berhasil menguasai diri, setelah masukkan sebutir obat
kedalam mulutnya dan mengatur pernafasan sebentar, ia lanjutkan perjalanannya menuju
kedepan.
“Aaih!” teriak Li hoa siancu dencan gemas, “kalau engkau mampu untuk melawan bubuk Mi hun
san milikku itu maka aku akan takluk kepadamu”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
60
Chin Wan-hong membelalakan matanya dan menatap wajah perempuan itu tanpa berkedip
barang sedikitpun jua, ketika ia saksikan perempuan itu sudah tiba dipunggung jembatan dan
teringat kembali akan kelihayan bubuk mi hun san milik ji suci nya itu ia jadi sangat gugup dan
segera teriaknya keras-keras, “Giok Teng Hujin, cepat berhenti!”
Mendengar teriakan tersebut perempuan itu benar-benar berhenti dan segera menengadah
keatas.
Li hoa siancu jadi gemas, sambil menuding dahi Chin Wan-hong serunya dengan nada getun,
“Budak bodoh, rupanya engkau lebih suka mencari penyakit buat diri sendiri….!”
Sedangkan Lam hoa siancu sambil tertawa cekikikan segera menggandeng tangan Chin Wanhong
seraya berkata, “Ayoh jalan, mari kita saksikan sampai dimanakah kecantikan wajah dari
hujin ini, mari kita kesana bersama-sama.”
Semua orang segera loncat turun dari atas bukit dan menuju ketepi jembatan itu.
Baru saja mereka tiba ditempat tujuan, tiba-tiba Chin Wan-hong celah menjerit tertahan,
“Oooh….! dia….”
“Siapa?” tanya Lam hoa siancu.
“Pek Kun-gie!”
“Pucuk dicinta ulam tiba, kebetulan sekalii!” seru Li hoa siancu dengan alis berkerut.
Ia segera menjejakkan kakinya dan bergerak lebih dahulu menuju kedepan, sedangkan Lam hoa
siancu serta Ci wi siancu pun segera berkelebat kedepan setelah mengetahui bahwa perempuan
yang munculkan diri itu bukan lain adalah Pek Kun-gie.
Tiba-tiba terdengar harimau ompong Tiong lo po cu lantang, “Sian cu bertiga, malam ini sekalian
langit bakal ambruk jangan kita lepaskan perempuan rendah itu dalam keadaan hidup”
“Kau tak usah bicara, kami sudah tahu,” jawab Li hoa siancu.
Dalam sekejap mata ketiga orang itu sudah tiba di tengah jembatan batu dan berdiri saling
berhadapan dengan Pek Kun-gie dalam jarak hanya tiga tombak belaka.
Dibawah sorot rembulan, Pek Kun-gie yang angkuh dan agung berdiri dengan angkernya diatas
jembatan, pakaiannya yang berwarna putih salju terhembus angin gunung, membuat wajahnya
nampak begitu cantik jelita hingga ibaratnya bidadari yang baru turun dari kahyangan.
Pek Kun-gie memang sangat cantik, begitu cantiknya sehingga menimbulkan perasaan iri dan
cemburu dalam hati kecil Biau nia sam sian, Pek Kun-gie terlalu angkuh sehingga menimbulkan
kesan yang jelek dalam ketiga dewi dari wilayah Biau itu.
Dalam waktu singkat seluruh udara diliputi oleh nafsu pembunuh yang amat tebal, suasana jadi
tegang dan setiap saat pertumpahan yang bakal terjadi.
Terdengar Li hoa siancu bertanya dengan nada dingin bagaikan es, “Apakah engkau putri dari
Sin-kie-pangcu yang bernama Pek Kun-gie….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
61
“Ucapanmu sedikitpun tidak salah” jawaban dari Pek Kun-gie lebih dingin begitu dinginnya
hingga menggidikan hati orang, kalau kulihat dari dandananmu yang menyerupai orang dari suku
Biau, aku rasa kalian tentulah anak murid dari Kiu-tok Sianci bukan?”
“Tiga dewi dari wilayah Biau suatu nama yang tak dikenal di kolong langit” jawab Li hoa siancu
dengan hawa nafsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya.
Setelah berhenti sebentar sambil tertawa dingin, sambungnya lebih jauh, “Engkau bukannya
berdiam dilindungan ayahmu mau apa seorang diri datang kemari?”
“Manusia liar yang belum beradab, buat apa menyampuri urusan orang lain?” ejek Pek Kun-gie
sinis.
Ia segera menengadah dan berteriak keras, “Chin Wan-hong mengapa engkau tak berani datang
kemari untuk berjumpa dengan aku?”
“Perempuan bajingan!” seru harimau ompong Tiong lo po cu dengan penuh kebencian, engkau
sendiri manusia macam apa? kenapa nona kami harus berjumpa dengan dirimu?”
Chin Wan-hong sendiri mengerdipkan matanya lalu melayang turun diatas jembatan batu dan
berkelebat ke arah depan.
Luas jembatan batu amat sempit, tiga dewi dari wilayah Biau pun secara memaksakan diri bisa
berdiri sejajar, setelah Chin Wan-hong menyusul maju kedepan maka diapun hanya dapat berdiri
di belakang tubuh ketiga orang sucinya belaka.
“Pek Kun-gie ada urusan apa engkau mencari aku?” serunya.
“Hmm! engkau tak usah terlalu meninggikan kedudukanmu sendiri, sekalipun aku ada urusan
tidak mungkin aku bakal datang sendiri untuk mencari dirimu”
Setelah berhenti sebentar, tambahnya, “Undangan Thing Hong untuk berbicara dengan aku, ada
rahasia penting yang hendak disampaikan sendiri kepadanya”
Chin Wan-hong maupun Biau nia sam san sama-sama berdiri tertegun, Li hoa siancu kuatir
pendengarannya keliru, dengan wajah tercengang ia segera berkata, “Thian Hong? engkau
sedang memanggil siapa? engkau anggap nama Thian Hong boleh kau sebut dengan
seenaknya?”
Haruslah diketahui, dalam pandangan Pek Kun-gie, musuh cintanya yang terutama adalah Chin
Wan-hong dan selamanya dia menaruh rasa permusuhan yang amat besar terhadap dirinya.
Sedangkan dalam pandangin Chin Wan-hong serta Bau nia sam sian, mereka menganggap Pek
Kun-gie sudah berulang kali mencelakai jiwa Hoa Thian-hong membuat pemuda itu menderita
rasa malu dan penghi naan, membuat pemuda itu harus merasakan jarum racun Soh hun tok
ciam dari Pek Siau-thian serta memaksa dia untuk menelan Racun teratai empedu api.
Tetapi setelah, Hoa Thian-hong berubah muka serta munculkan diri kembali dalam dunia
persilatan, dari bencinya Pek Kun-gie malahan jatuh cinta dan tergila-gila terhadap Hoa Thianhong,
tentu persoalan belakangan ini baik Chin Wan-hong maupun Biau nia sam sian sama sekali
tidak mengetahuinya, apalagi selama beberapa hari ini tiada orang yang menganggap tentang
persoalan itu maka merekapun semakin tak tahu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
62
Dalam pada itu dengan pandangan dingin Pek Kun-gie melirik sekejap ke arah Li hoa siancu,
kemudian ia menatap wajah Chin Wan-hong sambil katanya, “Aku suruh engkau mengundang
datang Thian Hong, sudah kau dengar belum?”
Jilid 4
WALAUPUN Chin Wan-hong masih merasa curiga, tetapi dia adalah seorang perempuan yang
halus budi dan ramah, karena itu sambil menahan hawa gusar yang berkobar dalam dadanya ia
berkata dengan tawa, “Thian-hong sedang ada urusan, sekarang ia tak berada disini, kalau
engkau ada perkataan, katakan dahulu garis besarnya, kemudian aku akan mengutus orang
untuk mengundang kedatangannya”
“Eeei, bagaimana sih kamu ini?” teriak Pek Kun-gie tak sabaran.
“Bukankah sudah kukatakan bahwa persoalan ini menyangkut suatu rahasia besar….? apa yang
kau tanyakan lagi?”
“Nona, buat apa sih berbicara dengan perempuan rendah itu?” tib-tiba Harimau ompong Tiong
Lo pocu, “perduli urusan besar atau urusan kecil, mari kita hajar saja perempuan rendah itu
hingga terjatuh kedalam jurang!”
Tiga harimau dari keluarga Tiong pernah mendapat siksaan serta penganiayaan berat dari pihak
perkumpulan Sin-kie-pang terhadap mereka, boleh dibilang rasa bencinya luar biasa sekali dan
sukar dilukiskan dengan kata-kata meskipun dalam hal ilmu silat Tiong Loo po cu masih bukan
tandingannya akan tetapi dalam silat lidah dia sama sekali tak mau mengalah.
Lan hoa siancu dengan merasa curiga termenung dan berpikir beberapa saat lamanya tiba-tiba ia
berseru, “Pek Kun-gie, Hoa Thian-hong amat membenci terhadap dirimu mana ia sudi untuk
datang menemui dirimu? aku lihat lebih baik sedikitlah tahu diri dan cepatlah mengundurkan diri
dari sini!”
Mendengar perkataan itu diam-diam sekujur badan Pek Kun-gie gemetar amat keras, pikirnya,
“Dia membenci aku…. dia…. tidak! dia adalah seorang pendekar besar, seorang lelaki perkasa,
dia tak akan membenci dan mendendam terhadap kesalahan yang pernah dilakukan oleh
seorang perempuan…. dia…. dia sudah tidak membenci diriku lagi.”
Berbicara sampai disini dengan suara gemetar ujarnya lagi, “Chin Wan-hong, Thia Hong sudah
mengeluarkan banyak darah lukanya…. lukanya….”
Mendadak Li-hoa Siancu membentak keras, “Racun terantai empedu api yang bersarang ditubuh
sudah kambuh dia sudah mati!”
Bagaikan disambar petir dihari siang bolong sekujur badan Pak Kun Gie gemetar keras dan
hampir saja ia jatuh terjungkal keatas tanah.
Tiga dewi dari wilayah Biau saling bertukar pandangan sekejap, mereka tidak habis mengerti
terhadap kejadian yang berlangsung didepan matanya, Chin Wan-hong sendiripun berdiri
terbelalak dengan mulut melongo, ia sendiripun dibuat tak habis mengerti.
Terdengar Pek Kun-gie bergunam seorang diri, “Ia pasti sudah mengalami kejadian, kalau tidak
tentu sedari tadi ia sudah datang menemui diriku, dia tak mungkin sengaja menyembunyikan
diri”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
63
Tiba-tiba jeritnya dengan suara lengking, “Minggir! siapa berani menghalangi perjalananku,
mati!”
Sepasang telapak disiapkan didepan dada dan siap maju ke arah depan.
Chin Wan-hong jadi amat terperanjat, teriaknya keras-keras.
“Tunggu sebentar….! berhenti! cepat berhenti!”
Pek Kun-gie segera menghentikan gerakan tubuhnya, jarak antara tubuhnya dengan tepat
dimana tersebar bubuk Mi hun sang, hanya terpaut beberapa depa saja namun sama sekali tidak
merasakan akan datangnya marabahaya.
Sambil menatap tajam Biau-nia Sam-sian dengan pandangan mata bagaikan pisau, serunya,
“Ayoh cepat nyingkir kesamping, memandang diatas wajah Thian-hong aku tak akan mencari
urusan dengan kalian”
“Hmmm! bicaranya saja gede sekali, jengek Li-hoa Siancu sambil tertawa dingin, kalau engkau
berani maju selangkah lagi, aku akan suruh engkau maiti tanpa tempat kubur”
Chin Wan Hoag takut kalau Pek Kun-gie dipengaruhi emosi dan benar-benar maju kedepan, bila
salah tindak maka semua rombongan ba kal tercebur dalam jurang, buru-buru serunya kepada
Pek Kun-gie, “Ada persoalan mari kita bicarakan secara baik-baik, engkau jangan bertindak
secara gegabah, Thian-hong sedang berlatih ilmu pedang dibelakang bukit sana, urusan apapun
tak boleh mengganggu ketenangannya, coba katakan lah dahulu rahasia besar apa yang hendak
kau sampaikan kepadanya, kemudian aku baru akan mengundang kedatangannya.”
“Aaab! benar” pikir Pek Kun-gie didalam hati.
“ketika Thian-hong bunuh diri dengan menelan racun ketika berada ditepi sungai Huang-ho
tempo hari, Chin Wan-hong begitu sedihnya sehingga selama beberepa bulan lamanya ia
kehilangan semangat dan pikirannya tidak waras hingga sampai wilayah Biau pun ia tak tahu,
andaikata Thian-hong mengalami sesuatu hal masa ia dapat begitu te nang?”
Berpikir sampai disini, perasaan hatinya jadi agak lega dan wajah yang semula pucat pun kini jadi
merah kembali.
Li-hoa Siancu diam-diam mengawasi perubahan wajah gadis itu, tiba-tiba ia temukan bahwa rasa
cinta Pek Kun-gie terhadap Hoa Thian-hong ternyata tidak berada dibawah cinta kasih adik
Seperguruannya, delamm keadaan tercengang dan tak habis mengerti, ia segera tertawa keras
sambil serunya, “Pek Kun-gie, sungguh tak nyana engkau dapat berubah jadi begini rupa, benarbenar
pe-rubahan cuaca sukar diramalkan, membuat orang merasa tak dapat untuk
mempercayainya”
“Kalian cepatlah mengundang datang Thian-hong, aku tak dapat menunggu terlalu lama lagi”
seru Pek Kun-gie dengan tegas, “sele watnya malam ini, dimana kita berjumpa disitulah kita bikin
perhitungan, aku ingin membuktikau ilmu beracun dari wilayah Biau yang lebih lihay ataukah
ilmu silat dari daratan Tionggoan yang lebih ampuh”
Li hoa siansu tertawa terkekeh-kekeh.
“Haaahh…. haaahh…. haaahh…. tentang persoalan itu lebih baik dibicarakan dikemudian hari
saja, sudah lama aku dengar orang berkata bahwa bangsa Han memegang teguh tata cara, aku
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
64
ingin bertanya kepadamu, engkau selalu mengatakan hendak berjumpa dengan Thian-hong,
apakah eagkau tidak takut ditertawakan orang lain?”
Pek Kun-gie agak tertegan kemudian dengan gusar serunya, “Perempuan suku Biau yang tak
tahu diri, Pek Kun-gie adalah seorang gadis suci bersih perbuatan apakah yang kutakuti hingga
ditertawakan orang lain?”
“Seorang gadis suci bersih?” Li-hoa Siancu bukannya gusar malahan tertawa sinis, tahukah
engkau bahwa Hoa Thian-hong sudah ditunangkan dengan orang lain? malam-malam buta untuk
berjumpa bahkan telah pandang calon istrinya sebagai manusia apa?”
Seakan-akan kena dihajar dengan pentungan, Pek Kun-gie nampak tertegun kemudian
membungkam dalam seribu bahasa.
Lan hoa siancu sekalian mula-mula juga nampak tertegun tapi dengan cepat mereka menyadari
apa yang telah terjadi dan mengetahui pula kalau Li-hoa Siancu hanya bicara sembarangan
untuk menggoda serta mempermainkan Pek Kun-gie.
Putri bungsu dari Pek Siau-thian ini sebenarnya juga seorang gadis yang cerdik tetapi sayang ia
terpengaruh oleh rasa cinta hingga pikirannya jadi tersumbat pada dasarnya ia sedang
menguatirkan pesoalan itu maka perkataan dari Li-hoa Siancu justru dengan tepat telah
mengena pada titik kelemahan.
Chin Wan-hong sendiri juga merupakan seorang gadis yang berperasaan halus menyaksikan Pek
Kun-gie terkena pukulan batin hingga termangu-mangu, dara itu merasa tak tega.
Akan tetapi sebelum ia sempat membongkar rahasia tersebut, terdengarlah Li-hoa Siancu dengan
gusar membentak.
“Pek Kun-gie, ayoh cepat enyah dari sini, benarkah engkau mau tunggu sampai Hoa Thian-hong
datang serta memberi pelajaran ke padamu?”
Sepasang mata Pek Kun-gie pudar dan sayu, wajahnya kosong dan termangu-mangu, ia
mengangguk dan benar-benar berlalu dari sana.
Tiga dewi dari wilayah Biau jadi amat bangga mereka tak mengira hanya sepatah dua patah
katanya telah mengalahkan Pek Kun-gie bahkan mengalahkan dirinya dalam keadaan yang
mengenaskan sekali jauh lebih mengenaskan dari pada mati.
Pek Kue Gie berlalu beberapa langkah dari sana.
Mendadak ia putar badan dun bertanya dengan bimbang, “Apakah calon istrinya adalah Chin
Wan-hong?”
“Kecuali Chin Wan-hong siapa lagi yang pantas mendamping Hoa kongcu….?” teriak Li-hoa
Siancu.
“Aku sudah tahu, Giok Teng Hujin memang tidak pantas untuk mendampingi dirinya,” gumam
Pek Kun-gie, tiba-tiba ia berkata kembali, “Apa Hoa Hujin menjodohkan mereka?”
Makin menyaksikan kejadian itu Ci-wi Siancu semakin kegirangan tak tahan ia berteriak keras,
“Tentu saja Hoa Hujin sendiri yang menjodohkan pihak pria diwakili oleh Ciong Lian-khek
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
65
sedangkan pihak wanita kami bertiga lah yang mewakili sedangkan Cu Im tasyu bertindak
sebagai saksi, bukankah semuanya sudah komplit? masa engkau masih belum paham?”
Pek Kun-gie gelengkan kepalanya dan bergumam kembali, “Dengan apa yang kuduga, sedikitpun
tidak meleset taysu itu adalah orang beribadah ia hanya bertindak sebagai saksi dan tidak pantas
jadi mak comblang diri pihak perempuan memang kalian bertiga yang pantas sebagai wakil.”
Lan hoa siancu yang melihat kesemuanya itu segera berpikir didalam hati, “Pek Kun-gie cantik
jelita bagaikan bidadari, setiap pria yang bertemu dengan dirinya pasti akan tertarik hatinya,
persoalan ini menyangkut kebahagiaan hidup Hong ji selamanya daripada membinasakan
perempuan she Pek ini sehingga mengikat tali permusuhan dengan pihak perkumpulan Sin-kiepang
lebih baik kubikin jengkel saja hatinya sehingga ia jadi gila dengan begitu akupun tak usah
menanggung resiko musti mengikat tali permusuhan dengan orang….”
Berpikir sampai disini, ia segera mengambil keputusan dan dengan cepai ia sambar sebuah
kantong kain yang tergantung dibalik baju yang dikenakan Chin Wan-hong.
Gadis she Chin itu jadi amat gelisah, sambil menangis serunya, “Toa suci, benda itu adalah….”
“Bocah cilik, kenapa sih musti ribut terus!” hardik Lan hoa siancu, ia segera berpaling dan
teriaknya, “Pek Kun-gie, apakah engkau ingin melihat tanda mata apakah yang diberikan Hoa
kongcu untuk Hong ji?”
Pek Kun-gie melenggak kemudian mengangguk.
“Tentu saja saya ingin lhat!”
Lan boa siancu segera melemparkan bungkusan yang berhasil didapatkan dari dalam saku Chin
Wan-hong itu ke arah depan, serunya, “Tanda mata itu berada dalam kantong kain itu lihatlah
sendiri dengan jelas!”
Kantong itu kecil dan enteng sekali, Pek Kun-gie segera menerimanya dan merobek dengan
menggunakan ujung jarinya, tetapi kan tong itu terbuat dari ulat sutera yang ada di wilayah Biau,
sekalipun coba dirobek berulangkali ternyata usahanya gagal.
Sesudah bersusah payah akhirnya tutup kantong itu terbuka juga dan isi kantong tadipun muncul
didepan mata.
Dalam sekenjap mata, wajah Pek Kun-gie yang pada dasarnya sudah pucat kini berubah jadi
semakin pucat hingga menyerupai mayat, sepasang tangannya gemetar keras sementara
sepasang giginya saling beradu dengan ketasnya.
Ternyata isi dalam kantong kain milik Chin Wan-hong itu bukan lain adalah tiga biji gigi yang
kuning dan tiada sesuatu yang aneh, namun bagi pandangan Pek Kun-gie ketiga biji gigi itu
justru telah menghancur luluhkan perasaan hatinya.
Keadaan seperti ini seketika menggetarkan perasaan hati tiga dewi dari wilayah Biau, Chin Wanhong
yang bersembunyi dibelakang tubuh ketiga orang suci nya pun mengucurkan air mata
sambil tiada hentinya memanggil, “ Suci…. suci!”
Tiba-tiba…. Pek Kun-gie membuka sepasang matanya, dua titik butiran darah mengalir keluar
membasahi pipinya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
66
Chin Wan-hong tak dapat menahan diri lagi, ia segera maju kedepan sambit teriaknya diiringi
isak tangis, “Pek Kun-gie! engkau sedang dibohongi oleh suciku, Thian-hong sama sekali belum
dijodohkan dengan diriku, ia belum dijodohkan dengan aku!”
Tetapi pikiran maupun perasaan hati Pek Kun-gie sudah kacau, ia sudah tak dapat menangkap
maksud dari perkataan Chin Wan-hong lagi. sorot matanya hanya bisa memandang tempat
kejauhan dengan pandangan kosong, sementara mulutnya bergumam terus, “Gigi ini adalah gigi
milik Thian-hong…. gigi…. gigi itu milik…. milik Thian-hong, ketika ia berlutut di hadapanku….
aku…. akulah yang menghantam sampai rontok….”
Melihat air mata yang mengucur keluar dari balik mata Pek Kun-gie telah bercampur dengan
darah, Chin Wan-hong semakin terperanjat hingga sambil menangis serunya, “Pek Kun-gie,
benda itu bukan suatu tanda mata sebagai pengikat perkawinan kami, benda itu kusimpan
sendiri tanpo diketahui oleh Thian-hong sendiri!”
Tetapi Pek Kun-gie tidak menggubris perkataannya lagi dengan suara yang kosong ia berseru,
“Buat apa dia tinggalkan benda ini? dia…. dia…. ternyata ia masih amat membenci terhadap
diriku ia telah menggunakan benda itu sebagai tanda mata pengikat tali perkawinan”
“Bukan…. bukan….” teriak Chin Wan-hong sambil menangis, “tempo hari ketika aku mengejar
kereta kudamu, kalianlah yang membuang pakaian bercampur darah dari Thian-hong ketika
kubuka pakaian itu, kulihat benda tersebut….”
Belum habis dia berkata, tiba-tiba Pek Kun-gie mendekatkan tangannya yang gemetar tiada
hentinya itu kesisi bibirnya, kemudian memasukkan ketiga biji gigi tadi kedalam mulutnya dan
ditelan kedalam perut.
Suara gemeretak berbunyi keras, darah mengalir keluar membasahi bibir Pek Kun-gie,
keadaannya mengenaskan sekali membuat siapapun yang menyaksikan merasa tidak tega.
Chin Wan-hong menangis tersedu, serunya, “Toa suci, Ji suci, Sam suci, carilah akal untuk
menolong dirinya!”
“Hmm! siapa suruh dia mencari penyakit buat diri sendiri” kata Li-hoa Siancu sesudah berhasil
menenangkan hatinya, “apakah gigi milik siau long bukanlah gigi manusia?”
“Hong ji!” ujar Ci-wi Siancu pula, “bukankah kalian seringkali menceritakan tentang bagaimana
kejam serta ganasnya orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang? bukankah kalian sering
bercerita tentang ketelengasan serta kejahatan mereka menindas kaum yang lemah? selama ini
entah sudah berapi banyak kejahilan yang telah dilakukan oleh Pek Kun-gie….? Sudah
sepantasnya kalau sekarang ia mendapat hukum karma serta pembalasan atas perbuatanperbuatannya
itu, kenapa engkau malah menggerutu terhadap kami?”
“Dia mencintai Hoa long! mungkin siau long pun mencintai dirinya….” bisik Chin Wan-hong
dengan air mata bercucuran.
“Omong kosong!” hardik Li-hoa Siancu dengan gusar, “apakah engkau tidak mencintai Siau long?
apakah engkau bersedia me-nyerahkan kembali siau long ketangan orang lain?”
Tiba-tiba tampaklah Pek Kun-gie merapatkan bibirnya dan menelan kehancuran gigi beserta
darah itu kedalam perutnya, sinar mata nya pudar dan kepalanya tertunduk kebawah jurang
seolah-olah sedang mencari sesuatu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
67
Chin Wan-hong jadi amat terperanjat, segera teriaknya keras-keras, “Pek Kun-gie!”
Sambil berteriak, tubuhnya segera menerjang kedepan.
Dengan cepat Lan hoa sianca menyambar tangannya serta mencengkeramnya erat-erat,
hardiknya, “Engkau cari mati? kesadarannya sudah kabur, dia dapat menyeret engkau untuk
terjun kedalam jurang!”
Chin Wan-hong semakin gelisah air matanya jatuh berlinang makin deras, tiba-tiba ia berpaling
dan teriaknya keras-keras, “Tiong Long, cepat undang kemari Siau long cepat!”
Harimau bisu Tiong Long tertegun dan untuk beberapa saat lamanya tak tahu apa yang barus
dilakukan akhirnya ia putar badan siap berlalu dari sana.
Tiba-tiba harimau ompong Tiong Lo Poo cu membentak lirih, “Tak boleh pergi! biarkan
perempuan rendah itu mati konyol!”
“Kentut busuk!” bentak Harimau pelarian Tiong Liau dengan gusar. “Engkau berani
membangkang perintah nona?”
“Ploook!” dia hajar punggung putranya.
Tubuh Harimau bisu Tiong Long segera terpental sejauh beberapa tombak dan tempat semula, ia
cepat-cepat merangkak bangun dan segera berlarian menuju ke arah depan,
“Kalau lari perlahan sedikit!” kembali harimau ompong Tiong Lo poo cu menghardik.
Harimau bisu Tiong Long tak tahu apa yang musti dilakukan, beberapa langkah ia berlalu cepat
beberapa langkah kemudian agak lambat kemudian beberapa tombak lagi ia berpaling
kabelakang.
Tiba-tiba Pek Kun-gie mengurut dada sambil berteriak keras.
“Thian-hong….! ooouh, Thian-hong….! kenapa engkau begitu membenci akan diriku? engkau
boleh pukul aku maki aku dan membinasakan diriku! janganglah membenci aku….”
Setelah berhenti sebentar gumannya kembali, “Kalian cepatlah melarikan diri! Thian-hong kalian
cepatlah melarikan diri jangan menghadiri pertemuan Kian ciau tayhwee”
Mendengar seruan tersebut, sekujur badan Chin Wan-hong gemetar keras tanpa terasa ia
berpaling ke arah belakang gunung sambil berteriak dengan suara lantang, “Thian-hong Thianhong
cepat datang kemari!”
Air muka Pek Kun-gie berubah jadi hijau membesi, tiba-tiba iapun membentak keras, “Jangan
berteriak! jangan berteriak aku tak dapat berjumpa dengan dirinya!”
Sambil berteriak tubuhnya menerjang maju kedepan bagaikan seekor harimau betina yang
terluka.
Ketika itu baik Chin Wan-hong maupun Biau-nia Sam-sian sama-sama berdiri berjejar di atas
jembatan batu yang sempit, menyaksikan gadis itu menerjang maju kedepan dengan wajah
menyeringai seram, mereka jadi amat terperanjat sekali.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
68
Karena takut kena ditumbuk sehingga bersama-sama jatuh kedalam jurang, tanpa terasa Biaunia
Sam-sian bersama-sama ayunkan telapak nya dan melancarkan satu babatan dari tempat
kejauhan.
Ketika angin pukulan itu menggulung ke arah depan, teriak Pek Kun-gie yang serak hanya
sempat berteriak sampai ditengah jalan, tubuhnya segera terjungkal diatas jembatan batu
dimana obat Mi hun san ditaburkan dan tak dapat dicegah lagi tubuhnya segera terjatuh kedalam
jurang.
Jurang itu dalamnya mencapai ratusan tombak dan sukar melihat dasarnya, setelah terjatuh
kedalam jurang, tubuh Pek Kun-gie segera tertelan dibalik kegelapan, dari dasar jurang tak
kedengaran sedikit suarapun.
Sedang Chin Wan-hong serta Biau-nia Sam-sian yang ada diatas jembatan batu berteriak kaget,
dari arah lain berkumandang teriakan Oh Sam pelayan dari Pek Kun-gie sedang dari sebelahnya
bergema ben takan dari Hoa Thian-hong.
Bluummm….! Bluuumm….! cahaya api berkilauan di angkasa dan bom udarapun berdentuman,
cahaya warna-warni yang membentuk panji besar tersebar di angkasa membuat udara jadi
terang benderang.
Hoa Thian-hong dengan gerakan tubuh yang enteng bagaikan segulung angin berkelebat datang
serunya, “Hong ji, apa yang telah terjadi?”
Sementara itu Biau-nia serta Chin Wan-hong sudah berada diatas bukit sambil memandang
kebawah jurang dan menangis terisak, Chin Wan-hong berseru, “Pek Kun-gie dia…. dia terjatuh
kedalam jurang….”
Hoa Thian-hong merasakan pandangan matanya jadi gelap dengan cepat ia berkelebat menuju
ke arah jembatan batu itu.
Lin hoa siancu serta Li-hoa Siancu yang berada disampingnya menyambar pergelargan
tangannya sambil berseru, “Diatas jembatan batu terdapat kabut sembilan bisa….”
“Aku mau turun kedasar jarang!” seru Hoa Thian-hong dengan suara gemetar, cepat ia
merenggut kembali dari cekalan.
Tiba-tiba Hoa Hujin munculkan diri didepan mata, teriaknya dengaa suara tajam, “Jurang ini
dalamnya seratus tombak dengan dinding yang tegak lurus, sekalipun malaikat juga tak dapat
menuruninya, engkau jangan bertindak gegabah!”
Hoa Thian-hong merasa gelisah sekali, serunya dengan tegap.
“Ananda yakin masih bisa menuruni jurang ini…. jangan menghawatirirkan keselamatan
jiwaku….”
Hoa Hujin mengerutkan dahinya, setelah termenung jawabnya dengan suara berat, “Baiklah,
sebenarnya perbuatanmu tak ada gunanya tetapi agar engkau puas turunlah kebawah tapi kau
harus berhati-hati!”
Buru-buru Hoa Thian-hong mengangguk dalam sekejap mata tubuhnya lenyap tak berbekas,
Biau-nia Sam-sian serta Chin Wan-hong buru-buru menyusul ketepi jurang untuk mengikuti
gerakan si anak muda itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
69
Mendadak Hoa Hujin seakan-akan mendengar suara derap kaki manusia yang amat ramai, hal ini
membuat hatinya amat terperanjat segera serunya kepada Biau-nia Sam-sian, “Nona bertiga,
perketat penjagaan disekitar tempat ini, bagai-manapun juga malam ini jangan biarkan orangorang
dari perkumpulan Sin-kie-pang berhasil menyerbu keatas jembatan batu tersebut”
Merdengar perkataan itu, Biau-nia Sam-sian segera bertindak cepat dan berdri diatas jembatan
batu, setelah memeriksa keadaan disekelilingnya mereka mulai mendemonstrasikan kelihayan
dari Kiu-tok Sianci.
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong yang melompat turun kedalam jurang, dengan mengandalkan
hawa murninya yang panjang dan sempurna, perlahan-lahan ia merambat turun kebawah.
Jurang itu dalamnya ratusan tombak, dinding tebing tegak lurus dan keadaan medan amat
berbahaya, bagi Hoa Hujin yang memiliki tenaga dalam amat sempurna pun belum tentu mampu
untuk menuruni jurang itu.
Akan tetapi Hoa Thian-hong secara beruntun telah menemukan kejadian aneh, mula-mula dia
makan Teratai racun empedu api ke mudian makan Leng-ci berusia seribu tahun, hal ini
membuat hawa murninya semakin panjang dan tubuhnya enteng bagaikan burung walet.
Ketika tubuhnya sudah meluncur tiga empat puluh tombak jauhnya kedalam jurang, tiba-tiba
daya luncurnya kian lama kian bertambah cepat, menyaksikan gelagat kurang menguntungkan
buru-buru ia berjumpalitan ditengah udara kemudian lancarkan satu babatan keatas tebing.
Menggunakan daya pantul yang dihasilkan karena pukulannya itu, pemuda she Hoa tersebut
segera mengepos tenaga serta memperlambat gerakan luncurnya kebawah, kejadian itu diulangi
sampai dua kali.
Suatu ketika mendadak pandangan matanya jadi kabur, kecepatan daya luncur badannya
kebawah jurang pun tak terkendalikan lagi.
Untung dari arah bawah ia mendengar suara percikan air, buru-buru tubuhnya berjumpalitan
kembali beberapa kali sebelum tubuhnya mencapai permukaan tanah, ia lancarkan pukulan
dahsyat dahulu ke arah bawah, dengan daya pantul itu ia berhasil mengurangi kecepatan daya
luncur tubuhnya hingga kemudian Bluuum! badannya berhasil mendarat diatas dasar jurang.
Bantingan ini cukup keras, membuat pemuda itu mendengus berat dan pandangan matanya
berkunang-kunang, tulang disekujur badannya linu dan sakit, pakaiannya menjadi compangcamping
sedangkan kakinya terluka.
“Kun Gie….!”
“Kun Gie….!” sekali lagi Hoa Thian-hong berteriak keras.
Sorot cahaya rembulan yang redup memancar diatas dasar jurang itu, membuat suasana disana
dapat dilihat secara samar-samar, batu cadas berserakan di mana-mana, air mengalir tenang dan
suasana sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarupun.
Dalam air mencapai batas lutut, Hoa Thian-hong yang separoh badannya terendam dalam air jadi
amat gelisah ketika mendengar suara teriakan sama sekali tak mendapat jawaban, ia segera
loncat bangun dan lari menuju kebawah jembatan batu untuk mencari jenasah dari Pek Kun-gie.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
70
***
PEMUDA itu berlarian mengelilingi seluruh daerah diatas jembatan batu itu kemudian balik lagi
ketempat semula, namun bayangan tubuh Pek Kun-gie sama sekali tak terlihat, hal ini membuat
dia jadi tercengang dan tak habis mengerti.
“Kun-gie….!” kembali teriaknya.
Tiba-tiba sesosok bayangan manusia muncul dibelakang tubuhnya, dengan nada suara yang
hambar dan sama sekali tidak membawa perasaan apapun menjawab dengan lirih, “Pek Kun-gie
telah mati, siapapun tak dapat memanggilnya lagi…. dan dia pun tak dapat mendengar suara
panggilanmu lagi!”
Sekujur badan Hoa Thian-hong gemetar keras, tiba-tiba ia putar badan dan menengok ke arah
orang yang berbicara itu.
Dibawah sorot cahaya rembulan, tampaklah seorang rahib berpotongan badan ramping berbaju
warna hijau dan memakai cadar kain hitam diatas wajahnya, berdiri angker diatas sebuah batu
besar, dalam bopongannya menggendong tubuh seorang gadis dia bukan lain adalah Pek Kun-gie
yang terjatuh kedalam jurang.
Karena rahib itu memakai kain cadar, maka sulitlah untuk diperkirakan masih muda atau sudah
tua, ditinjau dan suaranya yang merdu dan rambutnya yang hitam pekat semestinya dia adalah
seorang yang masih muda namun kalau dilihat kewibawaan serta keagungannya menunjukkan
kalau orang itu sudah punya umur.
Rasa sedih, menyesal, gugup dan pedih bercampur aduk jadi satu dalam hati kecil Hoa Thianhong,
setelah tertegun sebentar ia tu ding tubuh Pek Kun-gie yang berada dalam bopongan rahib
itu dan bertanya dengan suara gemetar, “Sian koh, nona Pek…., dia….”
Titik air mata berlinang membasahi pipi rahib bercadar kain hitam itu, dia mengangguk dan
menjawab lirih, “Sejak jaman dahulu gadis cantik bagaikan panglima perang, jarang sekali ada
yang bisa hidup hingga akhir tua…. aaaai!” ia menghela napas panjang suaranya lirih dan lemah
terdengarlah betapa pedihnya hati orang itu.
Hoa Thian-hong merasa amat sedih sekali, air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya, tibatiba
ia saksikan wajah Pek Kun-gie yang pucat pias bagaikan mayat, darah kental masih
menodahi bibirnya, dengan penasaan hati seperti diiris-iris, ia menubruk kedepan.
Rahib berpakaian cadar hitam ini segera mengegos kesamping dan melayang mundur beberapa
rombak kebelakang serunya dengan gemetar, “Yang sudah mati yaa sudahlah, engkau mau
berbuat apa?”
Hoa Thian-hong tertegun, dengan air mata berlinang sahutnya, “Aku….”
Mendadak ia teringat kembali akan sebatang Leng-ci yang masih tertinggal dalam sakunya,
dengan cepat kotak kumala itu diambil keluar dan berkata, “Aku mempunyai sebatang Leng-ci
berusia seribu tahun, kasiatnya dapat menghidupkan kembali mereka yang telah mati….”
Tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, rahib bercadar kain bitam itu sudah
menukas sambil gelengkan kepalanya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
71
“Dikoloog langit tiada obat mujarab yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati,
nyawa Pek Kun-gie sudah melaoyang tinggalkan raganya, sekalipun ada Leng-ci berusia sepuluh
laksa tahun, jiwanya juga tak dapat diselamatkan lagi”
“Meskipun demikian, aku hendak berusaha dengan segala kemampuan yang kumiliki!”
Rahib berkain cadar hitam itu kembali gelengkan kepalanya berulang kali, tukasnya, “Percuma….
sekalipun engkau berhasil selamatkan jiwa Pek Kun-gie, apa yang hendak kau lakukan
selanjutnya?”
Mula-mula Hoa Thian-hong agak tertegun, kemudian dengan perasaan tak senang hati
menjawab, “Perkataan sian koh! mengandung arti yang sangat dalam seakan-akan engkau telah
mengetahui akan hubungan budi serta dendam antara aku dengan Pek Kun-gie?”
“Persoalan itu sudah tersebar luas diseluruh kolong langit, setiap jago dalam persilatan telah
mengetahuinya, tentu saja pin ni juga mengetahui akan masalah ini!”
“Bolehkah aku mengetahui sebutan sian koh dan apa pula hubunganmu dengan Pek Kun-gie?”
tegur Hoa Thian-hong dengan sepasang alis mata berkenyit.
“Sudah lama tidak kupergunakan lagi namaku, maka engkaupun tak usah tahu siapakah aku,
dengan Pek Kun-gie bukan sanak bukan keluarga, tiada hubungan apa-apa yang bisa dibicarakan
diantara kami berdua”
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat gusar sekali mendengar jawaban tersebut, pikirnya,
“Bukan sanak bukan keluarga, kenapa engkau harus mencampuri urusan orang lain?”
Sementara itu Rahib bercadar hitam itu telah berkata kembali dengan nada dingin, “Pek Kun-gie
menjadi korban karena cinta, pinni merasa kasihan terhadap nasibnya yang buruk itu, maka aku
berhasrat untuk carikan sebuah tempat yang indah panoramanya umuk mengubur jenasahnya
disana, agar muda mudi di kolong langit dapat mengetahui serta berjiarah pula kedepan
kuburannya”
“Hehh…. heeeh…. heeeh…. sian koa benar-benar seorang manusia yang suka mencampuri
urusan orang lain” sindir Hoa Thian-hong sambil tertawa dingin, “jikalau Pek Siau-thian
mengetahui akan persoalan ini, dia pasti akan berterima kasih kepadamu, dan seandainya sukma
Pek Kun-gie dialam baka mengetahui akan hal ini, dia pun akan ikut tersenyum kerena gembira”
Rahib bercadar hitam itu sama sekali tidak menggubris atas sindiran tersebut, kembali ujarnya
lebih jauh, “Pek Kun-gie adalah seorang gadis suci yang belum pernah dikawini orang, kalau
memang engkau tidak menaruh perasaan cinta terhadap dirinya, buat apa kau sentuh
jenasahnya sehingga membuat sukmanya di alam baka menjadi tak tenang?”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Cuma saja, kalau engkau bersedia untuk
mengakui bahwa kau mencintai dirinya maka pin ni akan serahkan jenasahnya kepada mu dan
terserah apa yang hendak kau lakukan terhadap dirinya”
Beberapa patah kata itu sungguh jauh di luar dugaan Hoa Thian-hong, sebagai seorang pemuda
yang jujur dan berjiwa lelaki meskipun terhadap orang yang sudah mati namun ia tak bersedia
bicara sembarangan.
Karenanya setelah mendengar perkataan dari Too koh tersebut, buhungan budi dan dendam
antara dia dengan Pek Kun-gie segera berkecamuk kembali didalam benaknya, ia merasa tidak
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
72
sepantasnya kalau ia korbankan kepentingan umum demi menjalin hubungan cinta kasih dengan
Pek Kun-gie, lagi pula seandainya ia sampai menjalin hubungan kasih dengan gadis tersebut
bagaimana penyelesaiannya dengan diri Chin Wan-hong.
Hubungan yang rumit serta seluk beluk persoalan yang kacau balau membuat Hoa Thian-hong
jadi Kebingungan dan tak tahu apa yang musti diucapkan keluar pada waktu itu.
Ketika ditunggunya beberapa waktu namun pemuda itu belum juga bersedia untuk menjawab.
Too koh atau rahib bercadar kain hitam itu menghela napas panjang lalu berkata, “Sejak dulu
sampai sekarang cinta yang berpihak memang tidak mendatangkan kebahagiaan, dalam
peristiwa ini aku tak dapat menyalahkan dirimu!”
Habis berkata, ia putar badan kemudian dengan membopong jenasah dari Pek Kun-gie segera
berlalu dari situ.
Hoa Thian-hong yang menyaksikan kejadian itu tiba-tiba merasakan kehilangan sesuatu, dengan
air mata jatuh berlinang segera ben taknya dengan keras, “Berhenti!!”
Mendengar bentakan itu, sang rahib bercadar hitam hentikan langkah kakinya kemudian seraya
berpaling ia berkata, “Apa yang hendak kau katakan?”
“Apakah engkau anak buah dari perkumpulan Sin-kie-pang?”
“Boleh dibilang begitu boleh juga dibilang tidak!” jawab Too koh bercadar hitam itu hambar.
Hoa Thian-hong jadi amat gusar, serunya, “Mula-mula pertama tadi engkau mengatakan bahwa
antara dirimu dengan Pek Kun-gie sama sekali tak ada hubungan sanak ataupun kelu arga dan
sama sekali tidak kenal satu sama lainnya sekarang engkau mengakui bahwa dirimu lain adalah
anggota dan perkumpulan Sin-kie-pang, bicara mencla-mencle sebenarnya mana yang benar?”
Bicara sampai kesitu, dari atas jurang berkumandang datang suara bentakaa keras yang
terdengar samar-samar, baik Hoa Thian-hong ma upun too koh bercadar hitam itu sama-sama
menengadah keatas.
Tiba-tiba terdengarlah suara teriakan keras bergema datang, “Kun ji….! Kun Gi….!”
Kian lama suara itu kian mendekat hingga menggema diseluruh jurang tersebut.
Dengan pandangan dingin, too koh bercadar hitam itu melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong
kemudian ujarnya, Pek Siau-thian telah turun kebawah tebing, kalau engkau ingin hidup dengan
selamat maka hal ini lebih sukar daripada mendaki keatas langit….!”
Selesai berkata, dengan mengikuti dasar jurang tersebut ia segera berkelebat menuju ke arah
utara.
Hoa Thian-hong jadi gelisah bercampur gusar, ia ikut mengejar dari belakang sambil bentaknya,
“Cepat letakan jerasah itu diatas tanah, kalau tidak jangan salahkan aku tak akan bertindak
sungkan-sungkan terhadap dirimu!”
“Hmmm! pada dasarnya engkau memang seorang lelaki tak kenal budi, seorang lelaki yang tak
bertanggung jawab kenapa engkau musti sungkan terhadap diriku?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
73
Tiba-tiba terdengar Pek Siau-thian dengan suara yang penuh emosi berkumandang datang.
“Hoa Thian-hong! engkau berada dimana?”
Walaupun Hoa Thian Hoag mengetahui bahwa Pek Siau-thian masih berada diatas tebing namun
mendengar suara tersebut seakan-akan berkumandang datang dari punggungnya, ia jadi amat
gelisah tanpa terasa serunya kepada too koh bercadar hitam itu, “Kalau jenasah tersebut tidak
kau letakan diatas tanah, aku orang she Hoa segera akan turun tangan”
“Jenasah Pek Kun-gie sudah sewajarnya di selesaikan oleh orang-orang dari perkumpulan Sinkie-
pang sendiri, apa sangkut pautnya urusan itu dengan dirimu?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, kedua belah pihak sama sekali tidak meng-hentikan
gerakan tubuhnya, laksana sambaran kilat meresa saling menjejar satu sama lainnya.
Diam-diam kedua belah pihak sama-sama merasa terperanjat, mereka tidak mengira kalau
gerakan tubah lawannya ternyata begitu cepat sehingga hampir melampui kemampuan sendiri.
“Benarkah di kolong langit terdapat banyak sekali jago lihay?” pikir Hoa Thian-hong dalam hati
kecilnya.
Sementara ia masih berpikir, desiran angin tajam sudah menyambar datang, tiba-tiba si anak
muda itu berkelebat dua langkah lebih ke depan, jari tangannya bagaikan tombak langsung
menotok jalan darah Leng tay hiat di atas punggung too koh bercadar hitam itu”
Tak kala merasakan datangnya acaman yang begitu tajam dari pihak lawan, too koh bercadar
hitam itu merasa terperanjat, segera pikirnya, “Sungguh lihay! ia tak malu menjadi sukma dari
kaum pendekar dari kalangan lurus….”
Berpikir sampai disini, dengan menempuh bahaya dia membiarkan totokan tersebut mengancam
tubuhnya, sedang dia sendiri sama sekali tidak menggubris ataupun memperdulikan.
Serangan kilat yang dilancarkan Hoa Thian-hong nampaknya sebentar lagi bakal bersarang diatas
tubuh too koh bercadas hitam itu akan tetapi pemudu itu buru-buru menarik kembali
ancamannya ketika menyaksikan pihak lawan sama sekali tiada maksud untuk menghindar,
serunya dengan gusar, “Aku orang she Hoa tidak ingin melukai orang dari belakang, kalau
engkau masih saja tak tahu diri, jangan salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan-sungkan
lagi terhadap dirimu!”
Melihat pemuda itu batalkan serangannya, Too koh bercadar hitam itu kembali berpikir dalam
hati kecilnya, “Hoa Goan-siu dapat memiliki seorang bocah segagah ini…. sekalipun mati, ia tak
akan menyesa. Aaai…. sayang sekali Kun ji tidak mempunyai rejeki sebaik ini….”
Berpikir sampai disitu, dengan suara dingin ia segera berseru, “Kalau engkau benar-benar ingin
bertempur mari kita cari suatu tempat terpencil yang jauh dari keramaian dunia, mari kita
bertempur sepenuh tenaga seindainya engkau mampu menangkan diriku maka jenasah diri Pek
Kun-gie boleh kau ambil.”
“Aaah! jelaslah sudah kalau Too koh ini adalah seorang anggota perkumpulan Sin-kie-pang,
dengan kematian Pek Kun-gie secara mengenaskan, Pek Siau-thian pasti akan gusar bercampur
sedih, dalam dendamnya ia tak akan mengampuni jiwaku, andaikata kedua orang ini sampai
bekerja sama, jelaslah sudah bahwa aku bukan tandingannya lagi….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
74
Berpikir sampai disini, ia segera mengambil keputusan untuk menguntit terus dibelakang tubuh
Too koh bercadar hitam itu dan sedikitpun tidak mengendorkan pengejarannya.
Rupanya Too koj bercadar hitam itu hafal sekali dengan keadaan medan dalam jurang tersebut,
dengan kecepatan bagaikan sambaran kilati ia bergerak terus menuju ke depan, sedangkan Hoa
Thian-hong bagaikan sukma gentayangan membuntuti dibelakangnya.
Setelah berlarian kurang lebih setengah jam lamanya, keadaan tanah kian lama kian bertambah
tinggi tanpa terasa mereka sudah tinggalkan dasar jurang dan berlarian mendaki keatas sebuah
punggung bukit.
Pada waktu itu rembulan sudah tenggelam diarah barat, suasana disekitar bukit itu sunnyi sepi
dan gelap tak bercahaya, ketika Hoa Thian-hong masih menguntil dengan kencangnya
dibelakang tubuh Too koh bercadar hitam itu, tiba-tiba terdengar rahib tersebut mem bentak
keras, “Hati hati….!”
Hoa Thian-hong terkesiap, tampaklah tubuh rahib itu bagaikan seekor kera dengan lincahnya
meloncat naik kesebuah bukit, buru-buru ia pertajam pandangan matanya, setelah mengincar
tempat berpinjak tempat yang dipergunakan rahib itu ia segera menyusul dari belakangnya.
Seandainya pada waktu itu ada orang menyaksikan tingkah laku dari mereka berdua maka orang
itu akan terkesiap dan kaget.
Hoa Thian-hong sendiri sama sekali tidak menyadari kalau ia berada dalam keadaan bahaya, ia
melompat dan melompat terus mem buntuti dibelakang rahib tersebut, kurang lebih setengah
jam kemudian mereka sudah mencapai diatas sebuah bukit yang tinggi dan Too koh bercadar
hitam itupun segera menghentikan langkah kakinya.
Dengan cepat Too koh bercadar hitam itu membaringkan jenasah Pek Kun-gie diatas tanah,
kemudian sesudah mengatur pernafasan perlahan-laha maju kedepan.
Hoa Thian-hong sendiri sambil menyeka keringat yang membasahi keningnya, ia awasi sebentar
suasana disekeliling tempat itu ketika dilihatnya Too koh bercadar hitam iiu sudah membaringkan
tubuh Pek Kun-gie ke atas tanah ia segera menerjang maju kedepan.
Terlihatlah Pek Kun-gie memejamkan matanya rapat-rapat, wajahnya pucat pias bagaikan mayat,
nafasnya sudah berhenti dan sekujur ba dannya jadi dingin dan kaku, rupanya gadis itu benarbenar
sudah putus nyawa.
Hoa Thian-hong sendiri sebenarnya adalah seorang pemuda yang romantis, akan tetapi
berhubung pendidikan rumah tangganya amat ketat maka sejak kecil ia sudah terdidik untuk bisa
menguasai perasaan sendiri.
Ketika Pek Kun-gie memperlihatkan rasa cintanya yang mendalam, dia sendiripun tertarik hatinya
pada gadis itu, apa lacur dendam kesumat yang tertanam antara golongan putih dan golongan
hitam sudah terlalu mendalam hingga ibaratnya api dan air.
Sebagai seorang pemuda yang bercita-cita untuk mewujudkan pesan terakhir dari mendiang
ayahnya yakni membasmi kaum iblis serta menyelamatkan umat persilatan dari badai
pembunuaan membuat ia harus mengeraskan hati serta mengabaikan rasa cinta gadis she Pek
itu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
75
Sebaliknya kini setelah orang yang dihadapannya telah berubah jadi mayat, pelbagai rasa sedih,
cinta dan aneka ragam perasaan lainnya segera berkecambuk jadi satu membuat ia jadi amat
terharu dan air mata jatuh bercucuran dengan derasnya.
Diam-diam ia berdoa, “Oooooh….! Kun Gie orang yang sudah mati tak akan terikat oleh dendam
andaikata diantata kita terdapat dendam atau sakit hati kesemuanya itu telah terhapus sampai
disini saja, kalau selama ini aku telah mengabaikan dirimu, hal ini kulakukan karena keadaan
terpaksa kalau engkau benar-benar mencictai aku semestinya engkau da pat memahami
keadaanku serta memaafkan kesalahanku itu….”
Mendadak terdengar suara dari Too koh bercadar itu berkumandang datang.
“Tiga depa dari hadapanmu ada Sin leng, kalau engkau berpura-pura menyatakan cinta
dihadapan orang yang telah mati maka suatu ketika engkau akan mendapat ganjaran yang
setimpal!”
Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong merasa amat gusar ia segera menengadah dan
berseru, “Menyindir orang tanpa bukti Sian koh! apakah engkau tidak merasa bahwa caramu itu
terlalu kejam?”
“Tidak berbudi, perasaan beku! apakah pin ni tak boleh mendongkol terhadap manusia seperti
itu!”
Hoa Thian-hong benar-benar merasa amat gusar sambil membopong jenasah Pek Kun-gie, ia
bangkit berdiri lalu memandang sekejap sekeliling tempat itu untuk mencari tempat yang baik
untuk menyimpan jenasah Pek Kun-gie, kemudian baru berusaha untuk mengusir Too koh
bercadar hitam itu.
Tiba-tiba sorot matanya terbentur dengan sebuah kuburan kecil tiada jauh dihadapannya,
didepan kuburan berdirilah sebuah batu per ingatan, baik batu nisan maupun batu peringatan
nampak antik sekali dan agaknya sudah berusia ratusan tahun.
Hoa Thian-hong tertegun ia segera berkelebat kehadapan kuburan itu, ia temukan di atas batu
peringatan terukir tiga hurup besar yang terdiri dari rangkaian hurup kuno dan berbunyi
demikian, Kuburan pemendam pedang!
Dalam pada itu, dengan suara dingin Too koh bercadar hitam itu telah berkata dengan suara
dingin, Hoa Thian-hong, andaikata engkau merasa tidak yakin untuk menangkan diriku, cepat
lepaskan jenasah Pek Kun-gie dari bopongan mu dan segera mengundurkan diri dari puncak ini,
memandang diatas rasa cinta yang pernah diberikan Pek Kun-gie kepadamu, aku tak akan
melukai selembar jiwamu.
Hoa Thian-hong mengerutkan sepasang alis matanya yang tebal sebelum bibirnya sempat
membantah matanya yang tajam telah menyapu sekejap disekeliling tempat itu ternyata dimana
ia berdiri pada saat ini adalah sebuah puncak gunung yang tinggi menjulang ke angkasa,
sekeliling puncak itu merupakan rentetan pegunungan yang tinggi, kabut tebal menyelimuti
hampir seluruh permukaan tanah.
la sendiri tak tahu bigaimana caranya hingga dirinya berada diatas puncak bukit yang begitu
tinggi, setelah mengetahui jelas keadaan disekelilingnya ia merasa bergidik dan bulu kuduknya
pada bangun berdiri, dipandangnya sekejap wajah Pek Kun-gie yang pucat pias itu tampaklah
gadis itu semakin putih mukanya hingga menyerupai kertas.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
76
Agaknya Too koh bercadar hitam itu sudah tak sabar untuk menanti lebih lama lagi, sambil
kebaskan senjata hud tim ia berseru, “Hoa Thim Hong, engkau yang akan pergi dari sini atau pin
ni yang harus tinggalkan tempat ini, ayoh cepat ambil keputusan.”
“Engkau yang pergi!” bentak Hoa Thian-hong dengan gusar.
Too koh bercadar hitam itu mendengus dingin badannya melayang maju kedepan dan….
Sreet!! senjata hud tim nya menyapu kemuka.
Hoa Thian-hong semakin mendongkol menyaksikan datangnya ancaman dari lawan, dengan
cepat ia loncat bangun dari atas tanah telapak kirinya menghajar senjata musuh sedangkan jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya menotok kedepan.
Terdengar desiran tajam yang amat memekikkan telinga disertai segulung angin serangan yang
maha dahsyat, laksana kilat cepatnya menerobos kedepan mengancam jalan darah sian ki hiat
ditubuh Too koh bercadar hitam itu, begitu dahsyat serangannya hingga sangat mengejutkan
hati orang.
Diam-diam Too koh becadar itu merasa amat terperanjat, buru-buru ia berubah jurus senjata
Hud tim nya balik menyerang pergelangan ta ngan musuh sementara telapak kirinya
melancarkan satu pukulan berhawa lunak yang hebat menghantam dada si anak muda itu.
“Sungguh lihay Too koh ini,” pikir Hoa Thian-hong dengan kaget, “jurus demi jurus serangan
yang dilancarkan Too koh ini penuh berisi tenaga, jelas dia adalah seorang jago kenamaan,
mungkinkah dalam perkumpulan Sin-kie-pang benar-benar terdapat bagitu banyak jago
kenamaan?”
Berpikir sampai disitu, tubuhnya segera menerjang maju kedepan secara beruntun dia lancarkan
delapan buah pukulan dan kesemuanya merupakan satu jurus yang sama yakni jurus Kun-siu-citauw.
Delapan buah serangan tersebut ibaratnya gulungan air sungai Tiang kang yang tiada
berputusan, seandainya musuh yang dihadapi bukan seorang tokoh persilatan yang ampuh, tak
mungkin akan mampu urtuk menghadapi datangnya ancaman tersebut.
Too koh bercadar hitam itu sendiri, dengan sebilah senjata hud tim nya yang maha dahsyat,
terutama sekali kepandaian Liu in bui siu atau awan mengalir ujung baju beterbangan
merupakan kepandaian terampuh di kolong langit kendatipun pada mula-mulanya masih bisa
bertahan dengan seenaknya namun lama kelamaan dia harus menghadapi nya dengan sepenuh
tenaga dan sedikitpun tidak berani berayal.
Selelah berhasil memunahkan delapan buah serangan tersebut, diam diam too koh bercadar
hitam itu menghembuskan napas lega, menggunakan kesenpatan itu ia lancarkan serangan
balasan.
“Hoa Thian-hong!” serunya sambil tertawa dingin, “mengapa engkau tidak cabut keluar
pedangmu?”
“Bertempur dengan tangan kosongpun belum tentu engkau mampu untuk mempertahankan diri!”
jawab Hoa Thian-hong angkuh.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
77
“Hmmm! bicara takabur dan pandai omong besar, engkau benar-benar seorang manusia yang
tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi!“
“Hmm! kalau memang begitu, cobalah terima pukulanku ini!” hardik Hoa Thian-hong dengan
gusar.
Dari posisi Tiong kiong ia bergerak menuju kepintu hong bun dengan jari tangan menggantikan
pedang, sebuah totokan maut dengan ilmu menyerang sampai mati segera dilepaskan.
“Bocah tak tahu diri, engkau memang benar-benar kurang ajar….!” maki Too koh itu dengan
gusar.
Tubuhnya berkelebat kesamping, telapak kirinya dengan jurus Toa mo hui sah atau pasir
beterbangan ditengah gurun melancarkan sebuah gulungan maut kedepan, sementara hud tim
ditangan kanannya berputar membabat wajah lawannya.
Ketika dalam gerakan menyambar gagang hud tim mengurat dan tiba-tiba mengancam urat nadi
pada pergelangan Hoa Thian-hong dalam satu jurus tersembunyi tiga gerakan yang penuh
dengan nafsu membunuh, serangan tersebut betul-betul mengerikan sekali.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa terkesiap, satu ingatan segera berkelebat dalam benaknya,
dia merasa bahwa gerakan tubuh Too koh berkeruedurg hitam ini seperti pernah dikenal dan
dilihatnya disuatu tempat.
Tiba-tiba terdengar Too koh bercadar hitam berseru dingin, “Hoa Thian-hong apabila engkau
mampu mempertahankan diri terhadap seranganku dengan jurus In mao sam wu atau mega
menari-nari, pin ni akan tunduk seratus persen dan segera mengundurkan diri dari tempat ini.”
Secara tiba-tiba Hoa Thian-hong telah menyadari bahwa gerakan tubuh Too koh tersebut mirip
sekali dengan seseorang dan tanpa terasa diapun teringat akan seseorang yang lain.
Dengan keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya pemuda itu segera
meloncat mundur kebelakang, serunya dengan gelisah, “Cianpwee harap tunggu sebentar, aku
ada perkataan hendak kusampaikan padamu!”
“Manusia yang telah mati tak dapat hidup kembali, bicara omong kosong apa gunanya” sahut
Too koh bercadar hitam dengan sinis.
Senjata hud tim nya dikebaskan ke arah depan, cahaya hijau segera tersebar keempat penjuru
beratus-ratus lembar bulu Hud tim yang menyebar kebawah, serentak mengancam jalan darah
penting diseluruh badan lawannya.
Hoa Thian-hong terkejut bercampur cemas, dalam waktu singkat pelbagi ingatan berkelebat
dalam benaknya bagaimanapun juga ia tak berani melancarkan serangan balasan, dalam
keadaan yang amat kritis sekuat tenaga badannya loncat mundur kebelakang.
Menyaksikan serangannya tidak mengenai sasaran, Too koh bercadar hitam itu segera mengejar
kedepan, senjata Hud tim nya sekali lagi menyerang kemuka bentaknya dengan gusar, “Mengapa
engkau tidak lancarkan serangan balasan?”
“Menteri setia pendekar sejati, anak berbakti cucu budiman….” sahut Hoa Thian-hong sambil
menyusup kesamping dan sekali lagi meloloskan diri dari ancaman kedua.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
78
Too koh bercadar hitam itu merasa amat terharu akan tetapi diluar sama sekali tidak
mengendorkan pengejaranya, sambil mendesak maju kedepan serunya sambil tertawa dingin,
“Hoa Thian-hong engkau menghormati pin ni sebagai apa?”
“Aku menghormati cianpwee sebagai pendekar sejati….” jawab si anak muda itu dengan gelisah.
Belum habis dia berkata, Too koh bercadar hitam itu mendengus dingin senjata Hud timnya
dikibaskan kemuka dan untuk ketiga kalinya dia melancarkan sebuah serangan kilat.
Hoa Thian-hong merasa amat gelisah pikirnya, “Sudah sewajarnya kalau dia merasa sedih karena
menyaksikan darah dagingnya mengalami musibah, baiklah! akan kusambut sebuah serangannya
agar rasa mangkel dan mendongkolnya yang berkecambuk dalam dadanya bisa keluar….”
Berpikir sampai disini, ia segera salurkan hawa murninya keseluruh badan terutama sekali
disekitar punggungnya kemudian dengan cepat maju kedepan.
Ketika pemuda itu berkelebat ke arah sisi kiri, Too koh bercadar hitam itu merasa curiga
bercampur sangsi akan tetapi anak panah sudah ada dibusur mau tak mau harus dilepaskan
juga.
Sambil membentak keras, senjata hud timnya segera dibabat ke arah bawah dengan amat
dahsyat.
“Aduuuh….! Hoa Thian-hong mendengus dingin, belasan jalur luka yang mengucurkan darah
segar muncul diatas punggungnya, daging merekah dan keadaannya mengerikan sekali,
tubuhnya segera terlempar hingga mencapai sejauh dua tombak dari tempat semula.
Tertegun hati Too koh bercadar hitam itu menyaksikan kejadian tersebut, dengan cepat ia
membopong maju Pek Kun-gie kemudian kabur turun bukit dan sekejap mata bayangan
tubuhnya sudah lenyap dari pandangan
Hoa Thian-hong berdiri termangu-mangu, beberapa saat kemudian ia menghela napas panjang
dan bergumam seorang diri, “Ataai….! manusia yang telah mati tak bakal hidup kembali, bicara
kosong apa gunanya?”
Untuk beberapa saat lamanya karena murung, pemuda itu telah melupakan rasa sakit diatas
punggungnya.
Baru saja dia akan menuruni bukit itu untuk kembali pada ibunya, mendadak pemuda itu teringat
kembali akan kuburan pemegang pedang, segera pikirnya, “Dalam dunia persilatan memang
sering kali terdapat manusia yang berwatak aneh dan suka menyendiri, orang itu menggunakan
kuburan untuk memendam pedangnya, aku rasa dia pastilah seorang manusia yang luar biasa.
Perlahan-lahan ia dekati kuburan tersebut, ketika diperiksa dengan seksama mendadak ditemuinya
bahwa kuburan pemegang pedang sudah pernah dibongkar orang bahkan kalau
ditinjau dari keadaan disekeliling tempat itu jelas pembongkaran itu terjadi belum lama
berselang.
Diam-diam segera pikirnya, “Orang persilatan kebanyakan pada menyukai senjata tajam apa lagi
kuburan pemendam pedang ini tiada pemilik, tidak aneh kalau tempat seperti ini paling sudah
memancing kedatangannya orang tapi batu peringatan itu sudah kuno dan hurufnya sudah kabur
semestinya usia kuburan ini sudah mencapai dua tiga ratus tahun lamanya, pedang didalam
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
79
kuburan ini semestinya sedari dulu sudah diambil orang kenapa belakangan ini masih nampak
juga bekas-bekas digali?”
Berpikir sampai disini, timbullah perasaan ingin tahu dalam hati kecilnya, ia meyingkirkan batu
besar diatas kuburan itu dan segera ditelitinya dengan seksama.
Luas kuburan pemendam pedang itu hanya empat depa, lapisan kuburan terdiri dari petak-petak
batu persegi empat, berhubung tempat itu pernah digali orang maka sewaktu menyingkirkan
petak-petak batu itu dapat dilakukan dengan mudah sekali, dalam waktu singkat seluruh lapisan
kuburan bagian depan sudah terbongkar hingga muncullah sebuah papan batu cadas yang
berbentuk panjang.
Diam-diam Hoa Thian-hong berpikir didalam hatinya, “Meskipun kuburan ini kecil akan tetapi
bangunannya megah sekali, nampaknya kuburan ini adalah kuburan orang kaya….”
Dalam hati masih berpikir, tangannya telah bekerja membongkar lapisan batu cadas tersebut.
Dibawah lapisan batu itu merupakan sebuah liang kosong berbentuk panjang, pada lapisan liang
itu membujurlah sebuah lapisan batu lain yang panjangnya tiga depa dengan luas beberapa depa
diatas lapisan itu terukirlah hurup-hurup lembut yang amat rapat kecuali itu tiada benda lainnya
lagi.
Waktu itu fajar baru saja menyingsing di ufuk disebelah timur, dengan mata yang tajam Hoa
Thian-hong mengamati tulisan itu terbacalah tulisan itu berbunyi demikian, “Setelah tamat
belajar ilmu aku terjun kedunia persilatan dengan andalkan sebilah pedang yang berat!”
Hoa Thian-hong terperanjat sambil meraba pedang baja yang tergantung dipinggangnya, ia
berpikir, “Mungkinkah pedang baja yang dimaksud adalah pedang bajaku ini….
Ia membaca tulisan itu lebih jauh, “Berkat perlindungan dari perguruan, semuanya berjalan
lancar dan berjalan sepuluh tahun nama besarku telah tersohor diseluruh kolong langit dalam
usia semuda ini tentu saja hasil itu membuat hatiku sangat gembira…. tapi sayang suatu ketika
karena kurang ber hati-hati aku telah salah membunuh seorang pendekar sejati, hasil jerih
payahku selama sepuluh tahun punah dan hancur dalam sehari dalam malu dan putus asa,
kupendam pedang bajaku, mengasingkan diri dan tak bersedia membicarakan soal ilmu silat
lagi….”
Membaca sampai disini Hoa Thian-hong menghela napas panjang, pikirnya, “Seringkali orang
menang silat dan lupa daratan memang akibatnya adalah penyesalan yang tiada akhirnya….”
Kemudian pemuda itu teruskan kembali pembacaannya, “Dalam ketenangan, timbullah satu
ingatan dalam benakku, aku berhasrat munculkan diri kembali dalam dunia persilatan, aku
berusaha berbuat amal dan kebajikan untuk menebus kesalahan yang pernah kulakukan dimasa
lampau, puluhan tahun telah berlalu bagaikan sehari.
Timbul perasaan kagum dan hormat dalam hati Hoa Thian-hong dengan semangat berkobar, ia
melanjutkan membaca tulisan itu.
“Walaupun pada saat ini aku tidak pernah dibantu oleh pedang berat, namun dengan andalkan
tenaga dalam yang tinggi walaupun dengan kayu ataupun rumput tetap tidak ada tandingannya
di kolong langit, lama kelamaan sadarlah aku tentang arti yang sebenarnya dari pada kata yang
mengatakan, pedang enteng menangkan pedang berat, pedang kayu menangkan pedang baja,
latihankusemakin rajin dan perbuatan amalku semakin besar….”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
80
Hoa Thian-hong cabut keluar pedang bajanya dan menimang-nimang, lalu gumannya seorang
diri, “Pedang enteng menangkan pedang berat, pedang kayu menangkan pedang baja….?”
Ia gelengkan kepalanya dan segera alihkan kembali sorot matanya keatas lapisan batu tersebut.
Setelah hidup seratus tahun, kepandaian silat yang kumiliki semakin meningkat terus, aku
menyadari bahwa perguruanku tak boleh putus dengan begitu saja lantaran aku karena itu selain
pedang baja yang berat kusertakan pula sebait “Kiam keng” ditempat ini.
Membaca sampai disini, sorot matanya dengan tajam menyapu sekejap sekeliling liang pedang
itu dengan harapan bisa menemukan ‘Kiam keng’ atau catatan pedang seperti yang dimaksudkan
namun liang batu itu kosong melompong kecuali batu cadas tersebut tiada benda yang lain lagi.
Dengan hati terkejut ia melanjutkan membaca tulisan itu, “Selama membawa pedang ditangan,
ternyata di kolong langit tiada seorang manusiapun yang mampu menandingi diriku, tiada benda
yang mampu menahan pukulanku, dalam keadaan begini timbullah ingatan dalam benakku,
hidup dengan pedang lebih baik hidup tanpa pedang, tapi perguruan turun temurun mewariskan
pedang tersebut, itu berarti dibalik hal itu pastilah terdapat sesuatu maksud yang tertentu maka
aku segera menutup diri untuk memecahkan rahasia ini, setelah menghabiskan waktu sembilan
belas tahun, akhirnya dapat aku resapi apa artinya ada pedang menangkan tanpa pedang berat
meranakan pedang ringan karena itu dengan sepenuh tenaga kuciptakan serangkaian catatan
Kiam keng sebagai pembantu mereka yang ingin memperdalam ilmu pedangnya cataitan
terlampir dibawah dan siapa yang berjodoh boleh mempelajarinya!”
Dibawah tulisan tersebut tertulis kembali nama dari pemilik kuburan tersebut yakni”
“Ahli waris angkatan keempat puluh empat dari perguruan pedang Gi Ko”
Dan tulisan dipaling bawah adalah Catatan Kiam keng.
Hoa Thian-hong merasakan hatinya bergolak keras setelah membaca sampai disitu, dengan
suara lantang segera bacanya,
“Peraturan menurut langit, kerugian pasti bersisa tenaga masih kurang kekerasan bukanlah….”
Baru saja ia berbicara sampai disitu mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang datang
suara bentakan keras disusul segulung angin pukulan yang maha dahsyat menggulung datang.
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, ia tak menyangka siapakah jago lihay dalam dunia
persilatan yang memiliki tenaga pukuln yang begitu dahsyat?
Ditengah desingan angin tajam, pemuda itu buru-buru menjejakan kakinya keatas tanah dan
membumbung keangkasa tinggi hingga menca pai ketinggian tiga tombak dari permukaan.
Blaaaamm! ditengah benturan keras yang menggelegar di angkasa, batu nisan didepan kuburan
pemendam pedang serta papan batu dalam liang terhajar hingga hancur jadi berkeping-keping
kemudian tersebar kemana-mana….
Hoa Thian-hong merasa terkejut bercampur gusar ketika ia melayang turun keatas tanah dan
menengok ke arah orang yang melan carkan serangan itu maka tampaklah Pek Siau-thian ketua
dari perkumpulan Sin-kie-pang yang amat tersohor itu sudah berdiri angker dihadapannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
81
Pek Siau-thian berdiri kaku dihadapannya dengan mulut terkatup rapat-rapat, jubahnya yang
lebar berkibar terhembus angin sikapnya yang begitu mengerikan membuat orang jadi segan dan
tak berani memandang rendah dirinya.
Hoa Thian-hong teramat gusar, pada saat itu dia sudah lupa akan arti jeri ataupun takut sambil
mempersiapkan pedang bajanya ia berseru dengan gusar, “Pek Siau-thian! persoalan lain tak
usah kita bicarakan lagi, mari kita berduel untuk menentukan siapa menang siapa kalah, kita
bereskan semua hutang lama maupun hutang baru!”
Air muka Pek Siau-thian berubah hebat, perlahan-lahan katanya, “Kalau didengar dari pada
ucapanmu, apakah putriku benar-benar telah mati?”
Wajahnya penuh emosi, suaranya gemetar dan ia tak dapat mengua-sahi perasaan ngeri serta
kecewa yang berkecamuk dalam benaknya.
Kematian dari Pek Kun-gie merupakan suatu kejadian yang amat menyesalkan hati Hoa Thianhong,
rasa sedih yang dialaminya sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata, tetapi bara kebencian
yang masih tertanam didasar hatinya membuat pemuda itu tak sudi memperlihatkan perasaan
hati yang sebenarnya dihadapan Pek Siau-thian.
Mendengar pertanyaan itu, dia segera mengangguk sebagai tanda membenarkan ucapan itu.
Sekujur badan Pek Siau-thian gemetar keras sesudah termenung beberapa saat, tiba-tiba ia
menengadah keatas dan memperdengarkan suara gelak tertawa yang amat menyeramkan.
“Heeehh…. heeehh dimanakah jenasahnya?”
Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, diam-diam pikirnya didalam hati, “Ilmu silat yang
dimiliki too koh bercadar hitam itu berasal satu aliran dengan kepandaian yang dimiliki Pek Kungie
kalau kutinjau dari sikapnya sewaktu membopong jenasah Pek Kun-gie tanpa bersedia untuk
melepaskannya, mungkin dia adalah bininya Pek Siau-thian atau ibu kandung dari kakak beradik
itu, tapi itu hanya menurut dugaanku belaka belum tentu dugaanku itu tepat.”
Sementara itu ketika Pek Siau-thian menyaksikan pemuda itu hanya membungkam terus tanpa
menjawab, hatinya kembali tercekat, tegurnya dengan nada agak gemetar, “Kenapa? apakah
engkau takut terjadi urusan maka kau lenyapkan jenasah itu dari muka bumi?”
“Engkau tak usah menggunakan pikiran seseorang manusia rendah untuk menilai seorang kuncu,
aku orang she Hoa bukan manusia semacam itu, aku tak dapat melakukan pekerjaan seperti itu”
“Dimanakah jenasahnya?” bentak Pek Siau-thian tiba-tiba dengan suara keras.
Mula-mula hawa gusar menyelinap diatas wajah Hoa Thian-hong kemudian dengan dingin dan
hambar jawabnya, “Tak usah banyak bertanya, aku orang she Hoa sudah cukup menerima
penghinaan serta pencemoohan dari kalian dan akupun tahu persoalan yang terjadi pada hari ini
tak dapat diakhiri secara damai, daripada buang waktu dengan percuma lebih baik kita tetapkan
saja mati hidup kita dengan ilmu silat.”
Mendengar perkataan itu, Pek Siau-thian segera menengadah keatas dan tertawa seram
suaranya mengandung perasaan sedih, gusar, benci, mendendam serta pelbagai perasaan lain,
begitu seramnya suara tertawa itu hingga jauh lebih tak enak di dengar dari pada suara tertawa.
Seluruh bukit dan udara segera menggema dan mengalunkan tertawanya yang mengerikan itu….
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
82
Hoa Thian-hong merasa bergidik hingga bulu kuduknya pada bangun berdiri, pikirnya, “Cinta
kasih ayah anaknya selalu sama meskipun Pek Siau-thian adalah seorang jagoan yang amat lihay
namun kesedihannya karena kehilangan putrinya yang tercinta benar-benar memilukan.”
“Aaaai….! dalam pertempuran yang bakal terjadi hari ini mungkin salah satu diantara kita berdua
bakal menemui ajalnya….”
Berpikir sampai disini, sengaja ia berseru dengan suara dingin, “Hmmm! sebagai seorang pangcu
dari perkumpulan Sin-kie-pang mengapa tidak bersikap lebih terbuka sedikit?”
Gelak tertawa Pek Siau-thian segera sirap, sepatah demi sepatah ujarnya dengan nada
menyeramkan, “Kalau hari ini aku tak mampu membinasakan dirimu maka perkumpulan Sin-kiepang
akan buyar dengan begitu saja, besok malam pertarungan besar Kian ciau tayhwee pun tak
ada manusia yang bernama Pek Siau-thian lagi.”
Hoa Thian-hong merasakan semangatnya berkobar dengan sikap bertempur ia berteriak keras,
“Bagus sekali! selama aku orang she Hoa masih dapat bernapas, aku pasti akan bertempur
dengan dirimu hingga titik darah penghabisan, aku tak mungkin akan tinggalkan bukit ini dengan
begitu saja.”
***
NAFSU membunuh yang amat tebal dengan cepet menyelimuti seluruh wajah Pek Siau-thian,
sambil tertawa dingin tubuhnya bergerak maju kedepan, telapak tangannya laksana kilat
melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah dada lawan.
Hoa Thian-hong tetap bersikap angkuh dan sama sekali tak bermaksud menghindarkan diri
kesamping, tubuhnya tetap berdiri tegak ditempat semula sementara pedang bajanya diayun
kedepan…. Sreeet! sebuah serangan balasan telah dilepaskan.
Pek Siau-thian merasa amat terperanjat dan hatinya bergentar keras dan perasaan tersebut
belum pernah dialami selama hidup.
Sejak mendirikan perkumpulan Sin-kie-pang, hampir separoh jagad telah berada dalam
genggamannya tidak membicarakan soal kepandaian silatnya, cukup meninjau kepandaiannya
mengendalikan serta menguasai anak buahnya sudah bisa diketahui bahwa dia adalah sseorang
manusia yang luar biasa.
Dalam sekilas pandangan, ia sudah tau bahwa Hoa Thian-hong memiliki bakat yang bagus dan
dikemudian hari bakal mencapai puncak kesempurnaan karena itu kemauan yang dicapai oleh
Hoa Thian-hong sudah berada dalam dugaannya namun kemajuan yang sangat mendadak itulah
justru membuat hatinya bergetar keras ia tak dapat menemukan dimanakah letak alasannya
hingga pemuda itu berhasil memperoleh kemajuan secepat itu.
Jilid 5
HARUSLAH diketahui serangan yang dilancarkan oleh Hoa Thian-hong barusan sama sekali tidak
memperlihatkan kesempurnaan dalam tenaga dalam juga bukan keampuhan dalam jurus
serangan melainkan kegagahan keberanian serta hasil latihan yang semestinya sudah mencapai
puluhan tahun lamanya dan pengalamanya dalam menghadapi ratusan pertarungan itulah yang
menggetarkan kesempurnaan tersebut tak dapat diciptakan baik dengan obat-obatan maupun
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
83
dengan kecerdasan, kematangan itu hanya bisa dihasilkan karena latihan yang lama serta
seringnya bertempur.
Diam-diam Pek Siau-thian merasa amat terperanjat, dengan cepat menyingkir kesamping kiri
pemuda itu kemudian melancarkan sebuah serangan lagi.
Hoa Thian-hong menggetarkan pedang bajanya kebawah untuk memunahkan serangan tersebut,
pikirnya, “Kun Gie sudah mati, dendam kesumat inipun tak dapat dihindari lagi, Pek Siaiu Thian
sebagai seorang pemimpin persilatan pasti akan berusaha keras untuk membalas dendam sakit
hati akan kematian putrinya itu, tapi aku merasa bersalah meskipun kematiannya membuat aku
menyesal namun aku tak dapat mengorbankan jiwaku demi mensukseskan harapan Pek Siauthian
untuk membalas dendam….”
Berpikir sampai disini ia segera membentak keras…. Sreett! sreett! secara beruntun ia lepaskan
dua buah serangan dengan kedu dukan menyerang menggantikan posisi lawan dan ia berusaha
merebut diatas angin.
Desiran angin pedang menggetarkan telinga Pek Siau-thian, hawa pedang yang terpancar keluar
dari senjata tersebut mampu melukai orang tanpa berwujud.
Sementara itu Pek Siau-thian sendiri sambil melayani serangan-serangan lawan, dalam hati diamdiam
membuat perhitungan, pikirnya, “Tindak tanduk ini seringkali berada diluar dugaanku,
rupanya ia sudah berhasil mencapai kesempurnaan dalam ilmu silatnya dan jelas merupakan
ancaman terbesar bagi dunia persilatan, Kun Gie sudah mati dan perduli bagaimanapun juga hari
ini aku harus membinasakan bocah keparat ini tapi…. besok pertemuan besar Kian ciau tayhwee
bakal diselenggerakan, aku harus menghindari pertempuran-pertempuran yang terlalu
membuang tenaga serta berusaha keras untuk menghemat tenaga….”
Berpikir sampai disini secara tiba-tiba ia lancarkan tiga buah serangan berantai kemudian
bentaknya keras-keras, “Tahan!”
Hoa Thian-hong menghindar satu langkah kebelakang sambil silangkan pedangnya didepan dada,
ia menegur, “Engkau ada urusan apa?”
Wajah Pek Siau-thian Kaku dan sedikitpun tidak menunjukkan perasaan apapun, ujarnya,
“Tahukah engkau, kemarin malam ada urusan apa putriku yang tidak berbakti itu datang mencari
dirimu?”
Dengan penuh perasaan sedih, Hoa Thian-hong menggeleng lalu jawabnya lirih, “Pada saat itu
aku sedang berlatih pedang dibelakang bukit, aku tak sempat berjumpa muka dengan dirinya
ketika aku menyusul kesini dia….”
Terbayang kembali kejadian tatkala ia di kerubuti orang tempo hari, Pek Kau Gie begitu kuatir,
cemas bercampur gelisah memandang ke arahnya membuat ia merasa amat sedih sehingga tak
sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Terdengar Pek Siau-thian tertawa dingin dan berseru, “Orang she Hoa, terus terang
kuberitahukan kepadamu, pihak perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thian-kauw
untuk sementara waktu telah melupakan perselisihan pribadinya dan telah membentuk
persekutuan untuk bersama-sama membentuk jebakan maut disekitar tempat terselenggaranya
pertemuan besar itu, asal kalian besok pagi berani menghadiri pertemuan besar Kian ciau
tayhwee maka kalian manusia-manusia yang berlagak sok mulia akan dibasmi semua dan
dibunuh habis dari muka bumi!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar