Ketika secara tiba-tiba Tio Ceng tang menyaksikan air muka si anak muda itu berubah jadi pucat
piat bagaikan mayat, dia jadi sa ngat kuatir dengan penuh perhatian ujarnya, “Hoa kongcu,
kau….”
Setelah berbasil menguasai diri, cepat-cepat Hoa Thian-hong berkata lagi.
“Lo piau tau, harap terangkan dengan cepat, aku harus segera selamatkan jiwanya, karena itu
perjalanan pun harus kulakukan sekarang juga”
“Terima perintah!” Tio Ceng tang.
Sesudah termenung sebentar, dia berkata, kembali.
“Kemarin malam kami menginap didalam sebuah rumah penginapan yang memakai merek Kho
ke ci, ketika baru saja bangun tidur secara lapat-lapat kudengar ada suara gaduh diluar halaman,
mana secara iseng aku membuka jendela menengok keluar, kutemukan empat laki-laki dan
seorang perempuan itu lagi bersiap-siap hendak berangkat, tapi perempuan itu ribut terus dan
tak mau pergi, katanya kalau tidak naik kuda maka dia tak mau berangkat, waktu itu aku tidak
terlalu menaruh perhatian, siapa tahu tiba-tiba gadis cantik itu berseru keras….”
Berbicara sampai disini, tiba-tiba ia membungkam dan tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
Hoa Thian-hong jadi sangat gelisah, cepat dia berseru, “Apa yang dikatakan nona itu?”
Tio Ceng tang tidak langsunng menjawab, dengan sorot mata yang tajam dia menyapu sekejap
sekeliling tempat itu, kemudian dengan suata yang lirih sahutnya, “Nona itu berteriak demikian:
‘Dari sini menuju ke Kiu ci masih ada
kalian mau menggali harta silahkan gali sendiri, aku tidak ingin kaya, aku tidak ingin….’”
“Dia tak ingin apa lagi?” sela Hoa Thian-hong.
Sayang ketika berbicara sampai disitu, kakek yang tampaknya pemimpin rombongan itu sudah
menghampirinya, sambil tertawa kakek itu segera memaki, “Kamu si bocah perempuan edan,
kami toh mau pergi ke
berteriak lagi: ‘Kalau pergi ke
saja berbicara sarpai disitu, nona itu sudah diseret pergi oleh kakek tua tersebut.”
Hoa Thian-hong semakin murung, dengan dahi berkerut dia cuma bisa berguman seorang diri,
“Kiu ci…. menggali harta….Cho Ciu….”
Terdengar Tio Ceng tang berkata kembali, “Menurut penilaianku, apa yang dikatakan nona itu
sebagai Kiu ci pastilah tujuan mereka yang sebenarnya, sedang kakek itu sengaja mengucapkan
perginya, ketika kami berangkat ternyata jejak mereka sudah tidak tampak lagi”
“Lo piau tau, seingatmu nona itu berbicara dengan logat darimana? Selain Lo piau tau apakah
ada orang lain yang pernah menyaksikan raut wajah nona itu?”
“Logat suara itu campuran, tapi sebagian besar sepertinya logat dari orang-orang Ho lim, ketika
itu fajar baru menyingsing kebetulan aku bangun lebih pagi, maka ketika semua orang bangun
sesudah mendengar suara ribut-ribut dari nona itu, mereka telah berlalu dari rumah penginapan
tersebut”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
504
Kalau begitu dia pastilah Kun gie ada nya, batin Hoa Thian-hong didalam hati.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget menggema memecahkan kesunyian disusul seorang dara
berbaju hijau lari masuk kedalam kedai dan berlutut dihadapan Hoa Thitan Hong sambil
menangis tersedu-sedu.
“Kongcu ya!” serunya dengan lirih, “jiwa siocia tak bisa dilindungi lagi, berusahalah cepat untuk
menyelamatkan jiwanya….”
Secara mendadak Hoa Thian-hong merasakan dadanya amat sakit, cepat ia menarik napas
panjang dan melancarkan kembali udara yang tersumbat didalam dadanya, kemudian ucapnya,
“Che giok, bangunlah! Aku sudah mengetahui akan persoalan ini, dan sekarang juga aku sedang
berangkat menuju kesitu!”
Kiranya dara berbaju hijau itu bukan lain adalah dayang kepercaysaa dari Giok Teng Hujin yakni
Pui Che-giok adanya, setelah melakukan perjalanan siang malam tanpa berhenti, mukanya
tampak kusut rambutnya awut-awutan tak karuan, sekujur badan basah dan bau keringat,
keadaannya benar-benar sangat mengenaskan.
Delam bopongannya tampak Soat-ji makhluk rase itu, tampaknya Soat-ji menderita luka yang
cukup parah mukanya layu dan lesu, tubuhnya sama sekali tak mampu bergerak.
Tampaknya makhluk cerdik inipun menyadari bahwa majikannya sedang kesusahan dan rupanya
diapun tahu kalau Hoa Thian-hong adalah orang yang paling akrab hubungannya dengan
majikannya, sepasang ma ta yang merah dan pudar menatap anak muda itu dengan sorot belas
kasihan sementara mulutnya memperdengarkan suara keluhan lirih.
Pui Che-giok bangkit berdiri dengan isak tangis yang menjadi, ujarnya lirih.
“Kongcu ya, cepatlah berangkat! Siocia sedang menderita karena menjalani siksaan api dingin
melelehkan sukma, siksian itu terlalu sadis dan kejam…. oooh, kengcu ya cepatlah selamatkan
jiwanya!”
“Sekarang dia berada dimana?” tanya Hoa Thian-hong dengan darah panas bergolak dalam
dadanya.
“Dia ada di Cho ciu,” sahut gadis itu dengan air mata bercucuran membasahi wajahnya.
Hoa Thian-hong meaggertak gigi menahan emosi, katanya kemudian, “Perjalanan amat jauh, tak
mungkin bisa kita capai tempat itu dalam waktu singkat, bersantaplah lebih dahulu!”
Seraya berkata ia lantas membopong Soat-ji, rase putih salju itu.
Pui Che-giok duduk di kursi dan berusaha untuk mengisi perutnya, tapi air mata jatuh bercucuran
dengan derasnya membuat ia tak mampu menelan nasi dalam mulutnya itu, akhirnya ia
menggeleng sembari berkata, “Budak tak tega untuk makan!”
“Paksalah untuk makan sedikit aku akan berangkat duluan, dan engkau boleh menyusul
belakangan”
Diangkatnya cawan arak itu lalu melolob Soat-ji untuk minum.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
505
Sambil melelehkan air matanya Pui Che-giok paksakan diri untuk makan, katanya lagi, “Soat-ji
kena dihajar oleh kaucu dengan ilmu pukulan Yu seng ciang hingga isi perutnya terluka, aku lihat
dia sudah tiada harapan untuk hidup lagi.”
Paras muka Hoa Thian-hong berubah jadi hijau membesi, sahutnya dengan suara dalam, “Tak
usah kuatir, aku pasti berhasil enteng hidupkan kembali dirinya!”
Memang parah sekali luka dalam yang diderita Soat-ji, begitu parahnya sampai nafsu untuk
minum arakpun ikut hilang.
Hoa Thian-hong segera mengambil uang sekeping sebagai pembayaran uang arak, tapi Tio Ceng
tang buru-buru membayarnya.
Dalam keadaan begini, Hoa Thian-hong tidak berminat untuk banyak bicara lagi, setelah saling
memberi hormat, serunya kepada Tio Ceng-tang, “Sampai jumpa lagi dikota Cho cia!”
Sekali berkelebat, sambil membopong Soat-ji berlalulah si anak mada itu dari
Ia mulai sadar tahwa Pek Kun-gie telah terjatuh pula ketangan musuh, bahkan keadaannya
gawat sekali, sedikitpun tidak berada dibawah keadaan Giok Teng Hujin, walaupun demikian
gadis itu masih lebih mujur, kenapa, ia masih mempunyai orang tua, punya saudara dan lagi
sebagai seorang putri ketua Sin-kie-pang.
Berbeda jauh dengan Giok Teng Hujin yang hidup menderita tanpa sanak tanpa saudara, kecuali
orang dayang dan seekor rase salju, boleh dibilang tiada sanak lain, maka setelah
mempertimbangkan sebentar pemuda ini mengambil keputusan untuk tinggalkan dahulu urusan
Pek Kun-gie dan berusaha untuk selamatkan dahulu jiwa Giok Teng Hujin.
Rase salju itu dapat memahami perkataan manusia, dan lagi pandai pula bertempur, sambil
melanjutkan perjalanan pemuda itu lantas salurkan hawa murninya untuk menyembuhkan luka
yang diderita makhluk tersebut.
Begitula, sembari melanjutkan perjalsaan ia salurkan terus hawa murninya ke tubuh Soat-ji, dua
tiga jam kemudian luka yang diderita rase salju itu ada enam tujuh bagian telah sembuh, waktu
itulah makhluk tadi meronta bangun dan melanjutkan perjalanan sendiri dengan berlarian
disamping pemuda itu.
Mereka melakukan perjalanan siang malam tanpa berhenti, ketika kentongan kedua baru
menjelang, anak muda itu sudah tiba di
Baru saja masuk kedalam
anak muda itu segera menegur, “Pek hujin berada dimana?”
“Cu to baru tiba siang tadi, sekarang ia dikantor cabang, Cu amat mengguatirkan keselamatan
kongcu maka beliau perintahkan hamba untuk menunggu kedatangan kongcu di sini!”
Sesudah melirik sekejap kepada Soat-ji makhluk rase itu, dia melanjutkan lebih jauh, “Apakah
nona kedua tidak melakukan perjalanan bersama-sama kongcu….?”
“Mungkin sudah terjadi kejadian yang tak terduga!” sahut Hoa Thian-hong dengan suara
mendalam, “aku sama sekali tak bertemu dengannya, cepat bawa aku menghadap cu bo mu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
506
Oh Sam amat terperanjat, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia segera putar badan dan lari
kedepan.
Selang sesaat tibalah mereka berdua dikantor cabang perkumpulan Sin-kie-pang, Oh Sam
langsung membawa Hoa Thian-hong menaju keruang dalam.
Ketika mendengar suara langkah manusia, Kho Hong-bwee segera menyambut seraya menegur,
“Thian-hong, dimana Kun gie?”
Hoa Thian-hong maju kedepan sambil memberi hormat, lalu sahutnya dengan kepala tertunduk.
“Kemungkinan besar kun gie telah bertemu dengan Tang Kwik-siu dan kena ditawan oleh
mereka, semestinya boanpwee akan mengejar ke arah Ou kwang….”
Mula-mula Kho Hong-bwee tampak agak terkejut, tapi sejenak kemudian ia sudah tenang
kembali, sambil bangunkan Hoa Thian-hong dia berkata.
“Berbicara menurut cengli, memang sepantasnya engkau datang ke Cho ciu lebih dulu engkau
sama sekali tidak berbuat salah!”
Perempuan ini segera perintahkan pelayan untuk siapkan hidangan dan arak wangi.
Hoa Thian-hong tahu bahwa perempuan ini terkenal karena bijaksana, akan tetapi berhubung ia
merasa tak punya kata-kata yang bisa diutarakan, maka sebagai gantinya ditatapnya sekejap
perempuan itu dengan pandangan penuh berterima kasih.
Setelah memberi hormat pula kepada Pek Soh-gie, iapun menegur, “Cici, Bong toako ada
dimana?”
“Dia ada didalam ruang tengah” jawab Pek Soh gi, “beristirahatlah lebih dulu, tentunya engkau
merasa lelah bukan?”
Ketika mereka bertiga masuk keruang tengah, tampaklah Bong pay dengan badan dibalut sedang
duduk bertopang dagu, mukanya murung bercampur kesal, sekalipun tahu ada orang yang
masuki ruangan itu dia sama sekali tidak menegur ataupun angkat kepalanya.
Hoa Thian-hong segera maju menghampirinya, lalu menegur, “Toako, bagaimana keadaan
lukamu?”
Bong pay gelengkan kepalanya dan tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Kho Hong-bwee yang ada disampingnya segera tersenyum, ujarnya.
“Bocah ini bersikeras akan menantang Kiu-im Kaucu untuk berduel, tapi aku justru telah
melarang dia pergi kesana!”
Diam-diam Hoa Thian-hong menghela napas panjang, dia tahu walaupun paras muka perempuan
itu tampaknya tenang dan tidak menunjukkan sikap gugup ataupun gelisah, sebenarnya rasa
kuatirnya terhadap keselamatan putrinya sukar dilukiskan dengan kata-kata, ia lantas mencari
tempat duduk dan bermaksud mengisahkan pengalamannya sepanjang perjalanan menuju
kesana.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
507
Pada saat itulah dua orang dayang masuk kedalam ruangan sambil membawa nampan dan air
teh.
Kho Hong-bwee segera ulapkan tangannya sembari berkata, “Cucilah dulu mukamu, kemudian
bersantap, setelah itu barulah bercerita….”
Tanpa banyak berbicara Hoa Thian-hong cuci muka dan makan hidangan ringan yang telah
tersedia, ketika perjamuan telah siap. Kho Hong-bwee segera mempersilahkan tamu nya untuk
duduk sementara ia bersama Bong Pay dan Pek Soh-gie mengiringi disampingnya.
Sudah belasan tahun lamanya Kho Hong-bwee bertapa ditempat yang terpencil, kepandaiannya
untuk menguasai diri memang melebihi siapapun, sekalipun ia tahu bahwa keselamatan putrinya
terancam, namun sepanjang perjamuan berlangsung, tak separah katapun yang dia ucapkan
menyinggung soal keselamatan putrinya itu.
Menanti sampai telah selesai, Hoa Thian-hong barulah mence-ritakan apa yang telah didengarnya
dari mulut Tio Ceng tang.
Mendengar keterangan tersebut, dengan dahi berkerut Kho Hong-bwee termenung beberapa
saat lamanya, kemudian ia baru berkata, “Kalau memang rombongan itu benar-benar terdiri dari
empat pria dan seorang wanita, mereka yang pria pastilah Tang Kwik-siu, Kok See-piauw beserta
murid-muridnya, sedang yang perempuan tak usah diragukan lagi tentulah Pek Kun-gie budak
binal Itu!”
“Bibi, aku sangat mengharapkan agar malam ini juga bibi sekalian melakukan perjalanan untuk
menghadang jalan pergi mereka! ujar Hoa Thian-hong dengan wajah murung, apabila berhasil
menyusul Tang Kwik-siu, maka berusahalah untuk mengadakan hubungan kontak dengan kantor
cabang
kesana!”
“Ibu, beberapa orahg bajingan itu bukan manusia baik-baik” ujar Pek Soh-gie pula, keadaan adik
memang terlalu bahaya, aku rasa asul Hoa toako memang sangat bagus, lebih baik sekarang
juga kita lanjutkan perjalanan!”
Kho Hong-bwee tertawa.
“Untuk mengejar orang kita harus mempunyai arah tertentu, kalau arahnya saja tidak tahu,
bagaimana mungkin pengejaran bisa di lakukan?” katanya cepat.
Menurut dugaanku, Kun gie memang sengaja berkaok-kaok untuk menarik perhatian orang
banyak, dia mengatakan bahwa mereka akan berangkat ke Kiu ci untuk mencari harta, ruparupanya
rahasia itu memang sengaja dibocorkan olehnya dengan harapan berita tersebut bisa
terdengar oleh kita orang.
“Benar!” ujar Bong Pay pula, “kejadian yang sebenarnya pastilah demikian. Hemm hemm hemm
dia memang cerdik dan punya banyak akal setannya, kalau yang dikatakan urusan lain, belum
tentu orang akan menaruh perhatian, tapi kata-kata mencari harta cukup menghebohkan
siapapun yang mendengar, sudah tentu berita itu dengan cepat akan tersiar keseluruh dunia
persilatan”
“Ibu, Kiu ci yang dia maksudkan mungkinkah bukit Kiu ci san yang letaknya di wilayah Yong
kang?” tanya Pek Soh-gie dengan wajah amat murung karena gelisah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
508
Kho Hong-bwee mengangguk tanda membenarkan.
“Benar, didaratan Tiooggoan memang terdapat beberapa tempat yang bernama Kiu ci, tapi kalau
dia katakan jaraknya masih
tentulah bukit Kiu ci san yang terletak di wilayah Yong kang!”
“Bibi, apakah selama ini engkau dan toa ci berdiam diri dibukit Huan keng san?” tanya Hoa Thiao
Hong dengan dahi berkerut.
Kho Hong-bwee menghela napas panjang, ia mengangguk dan menyahut, “Kedua tempat itu
sama-sama nama dari gunung dan sama-sama pula letaknya di barat daya”
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya, “Aku jadi agak curiga, wilayah utara maupun selatan
wilayah keng ou merupakan daerah kekuasaan Sin-kie-pang, dengan dandanan mereka yang
begitu menyolok, entah dengan cara apa mereka lanjutkan perjalanannya?”
***
SEMUA orang tertegun sebab ucapan itu memang masuk diakal, sementara suasana jadi bening
dan tak seorangpun yang mampu menjawab, tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berseru, “Aah, aku
punya akal!” Dia lantas bangkit berdiri dan buru-buru lari masuk kedalam ruangan.
Selang sesaat gadis itu telah muncul kembali membawa sebuah nampan beralasan kain kuning,
dalam kain kuning itu tersedialah seperangkat alat untuk meramal nasib.
Menyaksikan itu, Bong Pay langsung berteriak, “Aah, benar, bibi adalah seorang pertapa, soal
lihat nasib, meramal nasib sudah menjadi ilmu pegangan yang paling diandalkan”
Cepat Pek Soh-gie menyingkirkan cawan dan sumpit dari meja, kemudian sambil letakkan
nampan itu dihadapan ia berkata.
“Ibu, silahkan engkau buatkan satu ramalan untuk melihat nasib adik dewasa ini”
Kho Hong-bwee tertawa.
“Banyak orang mengatakan bahwa gadis cantik umurnya pendek sekalipun dalam kenyataan Kun
gie terhitung seorang gadis yang ayu tapi ia masih belum terhitung seorang gadis rupawan,
diapun tidak termasuk seorang manusia yang berumur pendek, aku rasa nasibnya tak perlu
diramalkan lagi!”
Dengan muka murung dan gelisah Pek Soh-gie memohon lebih jauh.
“Mencari rejeki menghindari bencana merupakan perbuatan yang jamak bagi manusia, ibu
haraplah engkau engkau suka menghitungkan nasib adik!”
Sekali lagi Kho Hong-bwee tersenyum.
“Rahasia langit tak boleh dibocokan, daripada mengundang kemarahan para malaikat, begini saja
akan kubatasi dengan sebuah ramalan saja dan aku lihat urusan Kun gie untuk sementara waktu
kita kesampingkan lebih dahulu akan kucoba untuk hitungkan nasib bagi Giok Teng Hujin saja!”
Mendengar perkataan itu, dalam hati kecilnya Hoa Thian-hong menghela napas panjang,
pikirnya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
509
“Satu gelombang belum tenang, gelombang lain telah datang…. aai, akulah yang menjadi biang
keladi hingga terjadinya semua peristiwa ini!”
Berpikir sampai disitu, diapun lantas bertanya.
“Bibi, tahukah engkau Kiu-im Kaucu pada saat ini berada dimana?”
“Semua kuil bekas milik Thong-thian-kauw telah dirampas orang-orang Kiu-im-kauw, menurut
laporan dari bawahanku, Kiu-im Kaucu beserta kawanan jago lihaynya berkumpul semua dalam
kuil It goan koan sebelah timur
Hoa Thian-hong menghela napas berat.
“Aaai….! Meskipun Kiu-im Kaucu menyatakan bahwa ia sedang menghukum Ku Ing-ing lantaran
penghianatannya, pada hakekatnya ia justru sedang mencari gara-gara dengan boanpwee!”
“Kalau memang begitu tujuannya, itu berarti keselamatan Ku Ing-ing untuk sementara waktu
tidak terancam bahaya, beristirahatlah semalam bila kekuatanmu sudah pulih kembali barulah
usahakan pertolongan….!”
“Boanpwe memang sudah menyiapkan suatu rencana matang dalam soal ini,” sahut Hoa Thian
bong sambil mengangguk, “oleh sebab itulah kukatakan bahwa keselamatan Kun gielah justru
yang bahaya, bibi! Lebih baik ramalkan jejaknya dengan begitu kita pun bisa siapkan pertolongan
baginya”
Kho Hong-bwee berpikir sebentar, akhirnya dia mengangguk.
“Kalau memang begitu, baiklah!”
Sesudah cuci tangan dia lantas mengambil balok kura-kura itu dan mulai membuat ramalannya
Ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong memang terhitung tinggi, akan tetapi dalam ilmu ramal
meramal ia sama sekali tidak paham begitu pula dengan Bong pay, maka kedua orang ini hanya
duduk membungkam di samping meja sambil menyaksikan Kho Hong-bwee membuat
ramalannya.
Setelah melakukan ramalan dan memperhitungkan dalam hati kecilnya, tiba-tiba dengan paras
muka berubah hebat ia berseru, “Aia….! kok aneh benar….”
“Bagaimina menurut isi ramalan? Apakah adik menemui mara bahaya?” tanya Pek Soh-gie
dengan terperanjat.
“Benar-benar sangat aneh!” ujar Kho Hong-bwee, “menurut perhitungan ramalan, semestinya
Kun gie masih berada dalam
Sesudah berhenti sebentar ia tertawa dan gelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya,
“Sepandai-pandainya tupai melompat toh pernah terjatuh juga, siapa tahu kalau ramalanku ini
meleset?”
Hoa Thian-hong segera bangkit berdiri seraya berseru, “Cuaca kadang kala cerah kadang kala
mendung, nasib manusia kadangkala mujur kadangkala sial, aku rasa persoalan ini tak dapat
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
510
dibiarkan berlalu dengan begitu saja, harap bibi beristirahat lebih bulu, biarlah boanpwe lakukan
penggeledahan diseluruh
Setelah memberi hormat, dia siap berlalu dari situ.
Secara diam-diam Kho Hong-bwee mengawasi terus perubahan mimik wajah si anak muda itu,
melihat betapa panik dan cemasnya Hoa Thian-hong, dalam hati dia lantas berpikir, Kalau
ditinjau dari kemurungan dan kegelisahan yang mencekam hatinya, sudah jelas kalau ia menaruh
rasa cinta yang tebal terhadap diri Kun gie.
Sementara dia masih melamun, Bong Pay telah berteriak keras, “Biarlah aku dan adik Soh-gie
melakukan perjalanan bersama, akan kami periksa setiap rumah penginapan yang ada dalam
Tiba-tiba Kho Hong-bwee bangkit berdiri lalu berkata, “Kalian tak usah memisahkan diri, kita
laksanakan pencarian bersama-sama, Soh-gie! Undang kemari Oh Sam!”
Oh Sam segere menyahut dan masuk kedalam ruangan, sahutnya, “Hamba ada disini!”
“Perintahkan semua pelindung hukum agar siap diruang tengah untuk menerima instruksi!”
Dengan hormat Oh Sam menyahut dan berlalu dari situ.
Sepeninggalnya Oh Sam, barulah Kho Hong-bwee memandang sekejap ke arah pinggang Hoa
Thian-hong, kemudian tegurnya, “Kemana kaburnya pedang bajamu?!”
“Pedang baja telah patah, kitab Kiam keng berada dalam sakuku!”
“Ooh, kiong hi, kiong hi atas keberhasilanmu itu!” seru Kho Hong-bwee kemudian.
Setelah berhenti sebentar, dengan wajah serius dia melanjutkan, “Andaikata Kiu-im Kaucu
memaksa engkau untuk menukar nyawa Ku Ing-ing dengan kitab Kiam keng tersebut, apa yang
hendak engkau lakukan?!”
Mula-mula Hoa Thian-hong agak tertegun, menyusul sahutnya, “Kalau itulah syaratnya, maka
boanpwe harus pertimbangkan peraoalaa ini sebaik-baiknya!”
“Ah, dalam masalah ini tak mungkin bisa dipertimbangkan lagi!” teriak Bong Pay dengan gusar,
“sebagai seorang pria sejati, tidaklah pantas kalau engkau tunduk pada perintah dan tekanan
musuh, sekalipun Ku Ing-ing akhirnya toh mati, setelah engkau berhasil pelajari isi kitab Kiam
keng bukankah engkau dapat membunuh Kiu-im Kaucu untuk membalaskan dendam sakit
hatinya? Aku lebih rela berhutang budi dan gorok leher bunuh diri daripada membiarkan kitab
Kiam keng itu terjatuh ketangan Kiu-im Kaucu….!”
“Setiap urusan ada sumbernya,” kata Hoa Thian-hong, “meskipun toako telah diselematkan
jiwanya oleh sebatang Leng-ci, akan tetapi dahun Leng-ci tersebut kau peroleh dari tangan
siaute, dalam hal ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Ku lng ing, dengan sendirinya
engkaupun tak usah berterima kasih dengan mengorbankan jiwamu!”
“Menurut Kun gie!” kata Kho Hong-bwee pula, “dikala ia ditangkap Pia Leng-cu, engkau pernah
menembusnya dengan menggunakan pedang bajamu itu, yaa urusan itu sudah lewat, rasanya
akupun tak ingin banyak berbicara lagi, tapi engkau musti ingat, kitab Kiam keng adalah
gudangnya ilmu silat, sejilid kitab pusaka yang diincar banyak orang, benda itu menyangkut pula
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
511
mati hidupnya dunia persilatan, oleh sebab itu aku harap engkau suka mempertimbangkan
sebaik-baiknya sebelum bertindak!”
“Terima kasih atas petunjuk dari bibi!”
“Hoa toako!” ujar Pek Soh-gie kemudian, “pedang bajamu sudah patah, apakah engkau
membutuhkan senjata lain?”
“Bila ada sebilah pedang panjang, tolong berilah sebilah untuk
Pek Soh-gie segera masuk kedalam ruangan, selang sesaat ia telah muncul kembali
menyerahkan sebilah pedang panjang kepada pemuda itu.
Hoa Thian-hong segera menggembolnya dipinggang, setelah membopong Soat-ji bersama-sama
jago yang lain mereka menuju keruang tengah.
Disana telah menanti beberapa puluh orang pelindung hukum, hiangcu dan tongcu, Kho Hongbwee
segera menghitung jumlahnya kemudian berangkatlah melakukan pencarian.
Setelah keluar dari kantor cabang
menuju kepintu
Waktu itu fajar belum menyingsing, jalan raya sepi dan tak tampak seorang manusia pun yang
berlalu lalang.
Tampaknya Kho Hong-bwee telah mempunyai keyakinan, dia memimpin rombongan itu bergerak
maju kedepan, sedikitpun tidak tampak ragu-ragu.
Selang sesaat sampailah mereka kepintu selatan, karena pintu
masing-masing loncat naik keatas tembok
Tiba-tiba Hoa Thian-hong merasakan hatinya tergerak, pikirnya.
“Kalau dilihat keyakinannya yang begitu tebal, mungkinkah ramalannya memang tepat sekali?”
Sementara ingatan itu masih melintas dalam benaknya, semua orang sudah melompat keatas
tembok
sedang mengawasi ke arah tenggara tanpa berkedip.
Hoa Thian-hong ikut memandang ke arah situ, apa yang dilihat hanyalah kegelapan ditengah
keheningan, tak sesuatu apapun yang terlibat olehnya.
Oh Sam menyusul tiba kesana setelab menengok sekejap kedepan, tiba-tiba katanya.
“Lapor cubo, tempat itu masih memancarkan cahaya merah, agaknya baru saja dilanda
kebakaran”
Kho Hong-bwee mengangguk, sambil ulapkan tangannya ia lantas berseru.
“Hayo berangkat!”
Ia lompat turun lebih dahulu dan bergerak menuju ke arah mana munculnya cahaya merah tadi.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
512
Kawanan jago lainnya membungkam dalam seribu bahasa, melihat pemimpinnya sudah
berangkat semua orangpun ikut menyusul dari belakang, semangat mereka tinggi dan
keberaniannya mengagumkan.
Rupanya cahaya merah itu berasal dari sebuah dusun yang jaraknya kurang lebih
dari
selang beberapa saat kemudian sampailah mereka didepan dusun itu.
Dalam dusun tadi hanya terdapat tiga pulubhan keluarga petani, rumah mereka terbuat dari batu
bata, rupanya kebakaran hanya terjadi disebuah gedung belaka, waktu itu api masih belum
padam, sementara para penduduk desa yang menonton apipun masih berkerumun disitu sambil
saling mem bicarakan peristiwa itu.
Tiba-tiba suasana yang semula gaduh menjadi hening dan sepi kiranya kedatangan segerombolan
jago silat ini cukup mengejutkan orang-orang itu.
Dengan sorot mata yang tajam, Kho Hong-bwee menyapu sekejap sekitar tempat itu, kemudien
sambil menatap seorang laki-laki berusia
hartawan, tegurnya.
“Maaf kalau mengganggu sebentar lo wangwe, terimalah hormat dari pinto Kho Hong-bwee”
Ketika orang itu melihat bahwa pemimpin dari rombongan orang persilatan itu adalah seorang to
koh berusia pertengahan, rasa kaget yang semula menghiasi wajahnya kian bertambah
menyurut, akan tetapi setelah mendengar nama Kho Hong-bwee, tiba-tiba paras mukanya
kembali berubah, untuk sesaat lamanya ia tak mengucapkan sepatah katapun.
Kho Hong-bwee tidak menggubris sikap orangitu, sambil tertawa ia menegur lagi, “Lo wangwe,
boleh aku tahu siapa namamu?”
Buru-buru orang itu maju beberapa langkah kedepan, seraya menjura sahutnya, “Aku seorang
rakyat kecil yang bernama Lau Cu cing!”
“Oooh Rupanya Lau wangwe, apakah rumah gedung wangwe yang ketimpa bencana
kebakaran?”
“Benar…. benar….” jawab Lau Cu cing sambil beberapa kali mengangguk.
Dibelakang hartawan itu berkumpul pula sekawanan orang perempuan, pelbagai macam barang
peti dan bungkusan tersebar di tanah, sekilas pandangan siapapun akan tahu bahwa merekalah
yang telah ketimpa bencana kebakaran itu.
“Setelah Lau wangwe ketimpa bencana, sebetulnya tidaklah pantas bagi kami untuk
mengganggu kesedihan yang kalian alami, tapi berhubung ada sedikit persoalan yang mau tak
mau harus diperiksa, maka terpaksa kami harus mengganggu sebentar ketenangan wangwe!”
“Aaah…. mana…. mana…. kalau tootiang ada persoalan silahkan saja diajukan!”
“Boleh aku tahu lo wangwe, kebakaran ini disebabkan karena kurang hati-hati ataukah
dikarenakan perbuatan dari musuh kalian?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
513
“Ooh…. kejadian ini karena kurang hati-hati orang kami sendiri, aku cuma seorang rakyat kecil
yang tidak mempunyai musuh besar, meskipun kebakaran ini telah menghancurkan rumah
leluhur, untung saja tidak sampai melukai orang!”
Dari ucapan tersebut dapatlah diketahui bahwa hartawan ini, masih merasa beruntung meskipun
di tengah kesedihan.
Dalam anggapan orang lain, setelah hartawan ini menerangkan bahwa kebakaran disebabkan
ketidak sengajaan dan sama sekali tiada hubungannya dengan musuh besar yang mencari balas,
Kho Hong-bwee pasti akan membawa anak buahnya berlalu dari
Apa yang terjadi?
Ternyata Kho Hong-bwee malahan ulapkan tangannya ke arah Oh Sam sekalian sambil
memerintahkan, “Periksalah disekitar tempat ini, coba lihat apakah ada sesuatu tanda yang
mencurigakan?”
Oh Sam sekalian segera mengiakan dan menyebarkan diri untuk melakukan pemeriksaan, ada
yang masuk kedalam dusun, ada pula yang keluar dari dusun itu, semua gerak-gerik mereka
dilakukan dengan teratur dan tenang, sedikitpun tidak tampak berisik.
Setelah anak buahnya menyebarkan diri Kho Hong-bwee bertanya lagi, “Lau wangwe, badanmu
tetap semangatmu berkobar, aku rasa tentunya engkau adalah seorang jago persilatan bukan?”
“Waktu masih muda siau bin (rakyat kecil) pernah belajar ilmu bela diri kampungan, tujuanku tak
lebih hanya untuk menyehatkan badan, tak berani Siau bin anggap diriku sebagai seorang jago
persilatan!”
“Apakah Lau wangwe kenal dengan asal usul kami?” tanya Kho Hong-bwee sambil tersenyum.
“Bila dugaan Siau bin tidak keliru, semestinya tootiang sekalian adaleh para enghiong dari
perkumpulan Sin-kie-pang!” jawab Lau Cu cing setelah ragu sejenak.
Setelah berhenti untuk tukar napas, dia melanjutkan kembali lebih jauh, “Setiap penduduk Cho
ciu sebagian besar mengetahui urusan tentang dunia persilatan sekalipun Siau bin jarang sekali
melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, tetapi seringkali kudengar orang
membicarakannya, maka dari itu Siau bin dapat menebak asal usul dari tootiang serta para
enghiong sekalian”
Kho Hong-bwee mengerutkan dahinya, lantas berpaling dan bisiknya kepada Hoa Thian-hong
dengan nada lirih.
“Rupanya nama jelek kami telah membangkitkan rasa was was dalam hati wangwe ini, sekalipun
ia tahu duduknya perkara belum tentu bersedia untuk menerangkapnya kepada kita, bagaimana
sekarang baiknya?!”
“Pengalaman boanpwe dalam dunia persilatan terlalu cetek, aku tidak berhasil menebak apa
alasannnya sehingga wangwe itu berbuat demikian?” sahut Hoa Thian-hong dengan muka kesal.
Bong Pay yang selama ini membungkam, tiba-tiba menyela dari samping.
“Aku lihat toa moay sangat lembut dan halus budinya, bagaimana kilau kita suruh dia saja yang
menanyakan?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
514
Pek Soh-gie memandang sekejip ke arah ibunya, kemudian dengan langkah yang lemah gemulai
menghampiri Lau Cu cing, sehabis memberi hormat katanya dengan lembut, “Lo wangwe, siau li
mempunyai seorang adik kembar yang terjatuh kelansan musuh, jiwanya terancam bahaya dan
kami sedang mencari jejaknya, apabila lo wangwe mengetahui jejaknya, sudilah kiranya
memberikan petunjuk untuk kami, atas bantuan dari lo wangwe itu kami pastilah akan merasa
amat berterima kasih!”
Sementara itu fajar telah menyingsing, ketika mendengar perka-taan tersebut, Lau Cu cing
segera alihkan perhatiannya ke atas wajah Pek Soh-gie ketika menyaksikan raut wajahnya tibatiba
ia terperanjat dan mundur selangkah kebelakang sambil goyangkan tangannya berulang kali.
“Nona, aku harap engkau jangan banyak menaruh curiga!” serunya dengan cepat, “aku bukan
seorang jago persilatan, dan aku pun tidak tahu dimanakah adikmu berada, aku harap engkau
janganlah mendesak diri ku sehingga aku tak mampi berbuat apa-apa”
Mendengar perkataan itu Pok Soh-gie lantas alihkan soror matanya ke arah ibuaya, dengan
perasaan apa boleh buat dia gelengkan kepalanya berulang kali.
Jangankan Pek Hujin, Hoa Thian-hong sendiripun dapat mengetahui bahwa sebab musabab
terjadinya kebakaran digedung keluarga Lau tersebut sudah pasti bukan belatar belakang karena
ketidak sengajaan, akan tetapi setelah dilihatnya hartawan itu bersikeras untuk membungkam
dalam seribu bahasa, tentu saja Kho Hong-bwee maupun Hoa Thian-hong tidak ingin memaksa
dengan memakai kekerasan.
Selang sesaat, para jago yang dikirim untuk melakukan pencarian di empat penjuru telah kembali
kesitu, ternyata mereka tidak berhasil menemukan sesuatu apapun yang mencurigakan.
Waktu itu Oh Sam juga sedang kembali kepasukannya, ketika ia lewat disamping sebuah pohon
yang besar, tiba-tiba wajahnya agak tertegun kemudian secepat kilat menghampiri pohon itu dan
memeriksanya dengan seksama.
Kemudian dengan suara keras dia berseru, “Hoa kongcu, cepat kemari!”
Hoa Thian-hong sangat terperanjat, cepat dia maju ke depan diikuti kawanan jago lainnya,
bahkan Lau Cu cing ikut pula di paling belakang.
Pohon Waru itu sangat besar, daunnya rimbun dan tumbuh tepat didepan gedung keluarga Lau
yang terbakar, jaraknya hanya empat
Pada bagian belakang dahan pohon itu tampaklah kulitnya telah disayat orang bagian, sementara
diatas dahan yang tersayat itu diukir beberapa buah tulisan dengan ilmu sebangsa tim kongci
yang sangat kuat hingga membekaslah seringkaian tulisan yang nyata.
Adapun tulisan itu, kira-kira berbunyi demikian,
“Ditujukan Hoa Thian-hong,
Berangkat ke Kiu ci secepat mungkin, segera!”
Tulisan Segera itu tulisan dengan sangat cepat, dibawahnya tercantumlah sebuah tanda bulatan
yang diberi ekor, sekilas pandangan orang akan mengira gambaran itu sebagai gambaran
kecubong (anakan katak).
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
515
Orang lain tidak kenal tanda tersebut lain halnya dengan Bong Pay, begitu mengetahui lambang
tadi kontan dia berseru, “Lhoo…. ini
Hoa Thian-hong mengawasinya dengan lebih seksama sesudah mendengar seruan itu, memang
ucapan itu tak salah, lukisan tersebut memang mirip sekali dengan gambar sebuah kipas, maka
kepada Kho Hong-bwee dia lantas berkata, “Bibi, tulisan ini rupanya sengaja ditinggalkan Dewa
yang suka pelancongan Cu lo cianpwe, kalau dugaanku tak keliru, tulisan ini pastilah ada
hubungannya dengan masalah Kun gie!”
Pek Soh-gie maju menghampiri tulisan itu setelah diraba sebentar diapun berkata pula, “Tulisan
ini masih basah, tampaknya di buat belum lama berselang!”
Sampai disitu Kho Hong-bwee pun berpaling lagi ke arah Lau Cu ci ng seraya berkata, “Lau
wangwe, kami sama sekali tidak mempunyai maksud jahat terhadap dirimu, bila engkau tahu
tentang jejak putriku itu, mohon sudilah kiranya memberitahukan kepada kami, pinto pasti akan
membalas budi kebaikan itu!”
“Siau bin benar-benar tak tahu urusan, tiada sesuatu yang mampu kuucapkan!” sahut Lau Cu
cing sambil berbungkok-bungkok.
Mendengar perkataan itu, para jago dari Sin-kie-pang rata-rata menunjukkan wajah kegusaran,
walau begitu mereka tak berani mengutarakan kebuasan mereka itu dihadapaa umum, sebab
semua orang tahu nyonya ketua yang memimpin mereka sekarang terhitung seorang pemimpin
yang jujur.
Dalam keadaan begini, apa lagi yang bisa mereka lakukan kecuali secara diam-diam melotot ke
arah Lau Cu cing dengan muka buas.
Dipelototi banyak orang, Lau Cu cing jadi serba salah dan merasa amat tidak tenteram, sorot
malanya berulang kali melirik ke arah Hoa Thian-hong dengan maksud mohon pertolongannya.
Kendatipun merasa curiga, Hoa Thian-hong tidak sampai bersikap lain, ia menjura dan berkata.
“Aku adalah Hoa Thian-hong, apakah lo wangwe akan memberikan sesuatu petunjuk?”
Buru-buru Lau Cu cing balas memberi hormat, sahutnya.
“Sudah lama aku dangar orang berkata bahwa Hoa tayhiap mempunyai sebilah pedang baja yang
berwarna hitam dan selalu tergantung di pin gang, kenapa….”
Belum habis orang itu berkata, Hoa Thian-hong telah menukas sambil tertawa tergelak.
“Haahh…. haahhh…. haahhh…. pedang baja itu sudah patah jadi dua, maka sebagai gantinya
aku telah menggembol sebilah pedang yang lain!”
Lau Cu cing mengangguk tiada hentinya dan berseru, “Aku memang benar-benar tiada sesuatu
yang dapat dikatakan!”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Hoa tayhiap adalah enghiong yang dipuji
dan dihormati oleh setiap umat persilatan apabila ada hal-hal yang perlu kuberitahukan sudah
pasti akan kuutarakan secara blak-blakan”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
516
“Aaah, aku masih muda, aku tak berani menerima kebaikan dari Lo wangwee!” kata pemuda itu
lagi sambil tertawa.
Sementara itu Kho Hong-bwee yang mengamati terus dari samping, diam-diam berpikir dalam
hati, “Licik amat kakek tua ini, tampaknya dia termasuk pula seorang lakon tersembunyi!”
Sesudah termenung sebentar, dia lantas bertanya, “Thian bong, apa rencanamu selanjutnya?”
“Aaaai….! Sekarang boanpwe toh sudah berada dikota Cho ciu, bila kukesampingkaa urusan Ku
Ing-ing dengan begitu saja, terus terang saja dalam hati kecilku aku merasa tak tega….”
“Baik!” tukas Kho Hong-bwee kemudian, aku dan mereka semua akan melakukan pengejaran
lebih dahulu, bila urusanmu disini sudah selesai segeralah menyusul kami!”
“Boanpwe terima perintah” sahut Hoa Thian-hong sambil memberi hormat.
Kho Hong-bwee tampak menggetarkan bibirnya seperti mau mengatakan sesuatu lagi tapi
maksud itu akhirnya dibatalkan, sambil memimpin anak buahnya berangkatlah mereka menuju
keselatan.
Menanti rombongan itu sudah lenyap dari pandangan, Hoa Thian-hong baru menghela napas
panjang, ia merasakan kesepian.
Selang sesaat kemudian, dia baru menghapus tulisan Cu Thong itu dan manjura ke arah Lau Cu
cing, tanpa mengucapkan kata-kata lagi dia membawa Soat-ji rase salju itu kembali ke
Setelah kembali kedalam
malam itu juga, kalau bisa Ku Ing-ing akan sekalian diselamatkan jiwanya, maka begitu tiba
dirumah penginapan dia lantas tidur nyenyak.
Ketika bangun tengah hari itu, dia lantas menyembuhkan kembali luka yang diderita Soat-ji
dengan tenaga dalamnya yang sempurna, selesai bersantap siang, Soat-ji tidur diatas
pembaringan sedangkan Hoa Thian-hong ambil keluar kitab kiam keng itu dan mempelajarinya
didepan meja.
Pada halaman pertama, tercantumlah masalah tentang pedang sebagai suatu benda, ternyata
apa yang dibicarakan sama sekali berbeda dengan kitab pedang manapun juga.
Kalau didalam kitab pedang biasa maka yang dititik beratkan adalah jurus serangannya yang
khusus, maka dalam kitab kiam keng ini yang dibicarakan adalah soal ilmu pedang itu sendiri,
sekalipun disertai juga hampir seratus macam lukisan yang berbeda-beda akan tetapi isinya
berlainan dan terselip perubahan yang begitu banyak nya sehingga tak mungkin bisa
dipercayakan dalam waktu singkat.
Dalam waktu singkat Hoa Thian-hong telah terjerumus kedalam isi kitab itu, seluruh
perhatiannya dikonsentrasikan menjadi satu, tanpa terasa malam pun menjalang tiba, selama ini
meskipun ada sebagian kecil dari isi kitab itu dapat dipahami olehnya, tapi dapatkah ilmu itu
dimanfaatkan bila terjadi pertarungan, masih merupakan sebuah tanda tanya besar.
Setelah menyimpan kembali kitab Kiam keng, pelayan datang membawa lampu lentera den
siapkan makanan.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
517
Soat-ji masih berbaring diatas pembaringan, sepasang matanya memancarkan sinar tajam,
rupanya kesehatannya telah pulih kembali seperti sedia kala….
Hoa Thian-hong memandang sekejap, ke arah binatang itu, lalu tertawa pikirnya di hati, “Soat-ji
memang hebat dan berbahaya, kalau tenang ia lebih tenang dari perawan kalau sudah bergerak
lebih cepat dari loncatan kelinci…. tidak aneh kalau waktu turun tangan kelihayannya luar
biasa….”
Sepasang telapak tangannya segera diluruskan kedepan dan bersiul nyaring.
Secepat sambaran kilat Soat-ji makhluk aneh itu melompat ketanggan Hoa Thian-hong deagan
seksama pemuda itu memeriksa seku jur tubuhnya, setelah mengetahui bahwa lukanya telah
sembuh, ia merasa amat gembira maka ditaruhnya binatang itu diatas meja untuk bersantap
bersama-sama.
Hubungan manusia dengan binatang ini berlangsung makin akrab, diam-diam pemuda ini
menjadi terkenang kembali akan diri Giok Teng Hujin, tiada hentinya ia menghela napas panjang.
Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang memecahkan kesunyian, menyusul
pintu kamar sebelah dibuka orang, kalau didengar dari pembicaraan tersebut, rupanya ada dua
orang yang menginap dalam sebuah kamar.
Suara pembicaraan kedua orang itu amat nyaring dan bertenaga, seriagkali kata-katanya disertai
pula dengan kata sandi yang sering dipakai orang persilatan.
Dari pembicaraan tersebut Hoa Thian-hong segera mengetahui bahwa kedua orang itu adalah
jago dari kalangan hitam, maka diapun tidak menaruh perhatian khusus.
Jilid 26
SELANG sesaat kemudian, kedua orang itupun bersantap didalam kamar, tiba-tiba terdengar
seorang diantaranya yang lebih muda berkata, “Ang kiu ko, sebenarnya siapa yang telah
membocorkan rahasia itu hingga urusan jadi heboh?”
Suara dari orang she Ang itu kedengaran lebih serak dan bertenaga, terdengar dia segera
menyahut, “Perduli amat berita itu berasal dari siapa, pokoknya urusan kita adalah melaksanakan
tugas tersebut!”
Orang yang pertama tadi rupanya meneguk dulu araknya, kemudian dengan suara berat katanya
lagi, “Aaaai….! Siaute kuatir kalau perjalanan kita cuma sia-sia belaka, sekali lagi kita ke tanggor
batunya….”
“Ingat saudara, tembok bertelinga, lebih baik tak usah kau ungkap lagi masalah itu, Hmm! Kalau
engkau tidak ingin mencari nama dan kedudukan silahkan saja pulang ke rumah membopong
anak meniduri istri dan hidup riang gembira, siapa yang akan mengurusi dirimu lagi!”
Orang itu segera tertawa dingin dan berseru dengan nada mendongkol, “Heehh…. heeeh….
heehh…. omong kosong, aku Ciang Kin bukan seorang manusia yang takut mati, aku cuma
merasa bahwa ilmu silat yang dimiliki lawan kita terlampau tinggi padahal Hong-im-hwie sudah
hancur berantakan dan tercerai berai, dengan andalkan kita beberapa orang prajurit yang kalah
perang rasanya masih bisa untuk mencari posisi yang menguntungkan, kalau cuma jiwa yang
melayang sih urusan kecil, bagaimana kalau sampai ditertawakan orang?”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
518
Hoa Thian-hong yang mencari dengar pembicaraan itu, dalam hatinya segera berpikir.
“Aaah….! rupanya sisa-sisa komplotan dari Hong-im-hwie, entah urusan penting apakah yang
sedang mereka kerjakan?”
Terdengar orang she Ang itu berkata lagi dengan suara lirih, “Inilah kesempatan bagi kita untuk
membalikan diri dan mencari kedudukan, sekalipun harus korbankan jiwa tua kita juga harus
melaksanakannya dengan mati-matian!”
Ciang Kin lantas berbisik pula dengan suara lembut.
“Menurut berita yang kudengar, katanya musuh besar kita mendapat perintah ibunya untuk
pulang kedesa, ketika tiba dikota Lok yang tiba-tiba ia berputar arah, menurut berita kemarin
hari dia telah munculkan diri di Hoo lam….”
Pembicaraan kedua orang itu makin lama semakin lirih, buru-buru Hoa Thian-hong pusatkan
seluruh perhatiannya untuk mendengarkan pembicaraan tersebut dengan seksama.
Terdengarlah orang she Ang itu sedang berbisik dengan suara yang sangat lirih, “Pendapatmu itu
keliru besar, meskipun ilmu silat yang dimiliki musuh besar kita sangat lihay, tapi dia bukan
seorang manusia yang serakah, bahkan dia anggap dirinya sebagai seorang pendekar, maka
setiap perbuatannya dilakukan menurut cengli, maka dalam masalah ini bukan dia yang musti
kita kuatirkan, tapi nenek sialan dari Kiu-im-kauw dan Pek loji dari Sin-kie-pang!”
“Cong tang kee memerintahkan kita semua agar berkumpul di kota Kim leng, apakah kita harus
berjalan mengitari dulu propinsi Hok kian langsung menuju Bu gi?”
“Tentu saja bukan begitu maksudnya,” jawab orang she Ang dengan suara dingin, “cong tangkee
memerintahkan semua teman agar berputar melewati arah tenggara, maksudnya hanya untuk
menghindari bentrokan dengan pihak Sin-kie-pang, padahal kota Kiu ci bila dimaksudkan sebagai
arti suatu tempat maka letak yang sebenarnya adalah dikaresidenan Pa kay di Ghong see, kalau
diartikan sebagai nama sungai maka letaknya dekat Tan yang di propinsi Kang siok, bila diartikan
sebagai nama telaga letaknya ada di sebelah timur laut karesidenan Kang ling, telaga itu dibuat
oleh Beng taysu pada jaman Liang dengan tenaga manusia, tapi kalau dimaksudkan sebagai
bukit Kiu ci…. waah banyak sekali jumlahnya!”
“Pengetahuan siaute amat cetek, aku hanya tahu di karesidenan Huan sui sian pada propinsi Hoo
tam terdapatt sebuah bukit Kiu ci san, Kiu ko!”
“Coba terangkanlah ditempat mana lagi terdapat bukit yang bernama bukit Kiu ci san!”
“Disebelah barat keresidenan Ciau hua sian pada propinsi Su chian terdapat sebuah bukit yang
bernama Kiu ci san, disebelah utara karesidenan Sam kang sian dipropinsi Kwang see terdapat
pula sebuah bukit kiu ci san, bukit itu bentuknya sembilan buah patahan dan terdiri dari batu
karang yang tajam, ditengahnya terdapat sebuah air terjun yang amat besar, inilah bukit Kiu ci
san yang sebenarnya, sedang bukit Bu gi san di propinsi Hok kian terdapat pula sembilan buah
tekukan, pemandangan disitu sangat indah, namun dalam kenyataan bukit itu bukanlah bernama
bukit Kiu ci!”
“Jadi kalau begitu tempat yang kita tuju adalah bukit kiu ci san yang letaknya ada di See lam?”
Orang she Ang itu tidak menjawab, rupanya ia lagi mengangguk.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
519
Terdengar Ciang Kin berkata lagi, “Oooh….! Rupanya Kiu ko sudah pernah menjajahi seluruh
kolong langit sehingga pengetahuannya begitu luas, sudah banyak tahun siaute bergaul dengan
dirimu, sungguh tak nyana engkau adalah manusia selihay itu!”
“Aah. aku sih cuma mendengarnya dari Cong tangkee kita!”
“Sekalipun begitu, toh pengetahuanmu jauh lebih luas daripada aku sendiri!”
Diam-diam Hoa Thian-hong tertawa geli setelah mendengar perkataan itu, ketika ia merasa
bahwa pembicaraan selanjutnya adalah kata-kata yang tidak penting, dia lantas menggembol
pedangnya, membopong Soat-ji dan diam-diam tinggalkan rumah penginapan itu.
Waktu itu senja telah menjelang tiba, jalan raya ramai sekali, dengan langkah yang santai Hoa
Thian-hong menyelusuri jalan menuju selatan pintu kota.
Selang sesaat kemudian sampailah anak muda itu disekitar kuil It goan koan, dari kejauhan
tampaklah pintu gerbang kuil itu tertutup rapat, sepintas lalu bangunan itu sudah tidak mirip
sebuah kuil lagi, cahaya lampu menerangi seleruh penjuru, dari situ dapatlah diketahui bahwa
jumlah penghuni yang bberada disitu amat banyak.
Setelah memandang sekejap dari kejauhan, anak muda itu segera menyusup masuk kedalam
sebuah lorong dan menyelinap kebelakang bangunan kuil tadi.
Dibelakang halaman kuil terdapat sebuah loteng yang terdiri dari empat tingkat, bangunannya
amat megah dan mentereng, dahulunya merupakan tempat penting dari It goan koan, bahkan
ketika Giok Teng Hujin menjamu Hoa Thian-hong tempo hari, perjamuan itupun diadakan pada
tingkat paling tinggi dari bangunan tersebut.
Dalam hati Hoa Thian-hong lantas berpikir, “Bila Kiu-im Kaucu berada didalam kuil dia sudah
pasti berada dalam bangunan itu, tapi dimanakah Giok Teng Hujin disekap?”
Tiba-tiba ia saksikan dua sosok bayangan manusia berkelebat lewat didepan sana, ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang itu sudah mencapai puncak kesempurnaan hingga
gerak-geriknya begitu enteng bagaikan segulung asap ringan saja.
Mula-mula Hoa Thian-hong merasa terperanjat tapi setelah mengetahui siapakah kedua orang itu
ia jadi sangat kegirangan buru-buru serunya dengan ilmu menyampaikan suara, “Paman
Suma….”
Kiranya salah seorang diantara dua orang yang memakai baju hijau dan menyoren pedang itu
tak lain adalah Kiu mio kiam kek (jago pedang berjiwa rangkap sembilan) bermuka putih,
berambut panjang dan berjubah pendeta warna abu-abu, senjatanya adalah sebuah sekop perak,
siapa lagi kalau bukan Cu Im taysu….
Pada saat itu Suma Tiang-cing sudah siap melompat kedalam pekarangan kuil, ketika mendengar
pangilan tersebut ia batalkan niatnya dan malahan menghampiri si anak muda itu.
Hoa Thiian hong segera menyambut kedatangan kedua orang itu, baru saja ia hendak memberi
hormat, Cu Im taysu telah memburu datang sambil membangunkan anak muda itu.
“Nak, sudah lama engkau tiba di sini?” tegurnya sambil tertawa ramah.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
520
“Tengah malam kemarin boanpwe baru sampai disini, ada urusan apa taysu dan paman Suma
datang kesini?”
Kiu mio kiam kek, Suma Tiang-cing segera menjawab, “Aku dan taysu baru saja pulang setelah
berpesiar kebukit Tay san, sepanjang jalan aku dengar orang berkata bahwa Kiu-im Kaucu telah
menuju ke kota Lok yang bahkan berhasil menangkap Giok Teng Hujin yang mengkhianati
dirinya. Mendengar berita tersebut aku segera memburu datang kemari dengan harapan bisa
selamatkan jiwanya, sebab ketika jiwaku terancam tempo hari, berkat beberapa tetes Leng-ci
mustika pemberian Ku Ing-ing lah jiwaku selamat, aku tak bisa melupakan budi kebaikannya
ini….!”
Hoa Thian-hong sama sekali tidak menyangka kalau sebatang Leng-ci pemberian Ku Ing-ing
telah mengundang bantuan yang begitu banyak dari kawan-kawan persilatan, pada hal dua
pertiga diantaranya sudah dia makan sendiri, sedangkan sisanya sepertiga pun harus dibagi
untuk Suma Tiang-cing, Chin Giok long dan Bong Pay.
Berbicara menurut perbuatan yang telah dilakukan Ku Ing-ing selama ini, semestinya Suma
Tiang-cing yang benci akan kejahatan tak mungkin akan singsingkan lengan baju untuk
membantu dirinya, tapi kenyataannya jago berangasan itu telah datang kemari untuk
memberikan pertolongan, kejadian ini boleh dibilang sama sekali diluar dugaan siapapun.
Melihat wajah Hoa Thian-hong yang diliputi kesedihan dan kemurungan, Cu Im taysu merasa tak
tega, segera sahutnya, “Nak, janganlah murung! Sebenarnya aku dan paman Samu mu sudah
kelabakan setengah mati, sekarang setelah bertambah dengan kau seorang maka berarti
kesempatan kita untuk menolong orang semakin besar, mari kita rundingkan sampai masak,
kemudian segera turun tangan!”
Haruslah diketahui, meskipun Hoa Thian-hong tersohor didunia persilatan, perawakannya tinggi
kekar, orangnya jujur dan wataknya tegas, akan tetapi pada hakekatnya dia baru berusia
sembilan belas tahun, di riridingkan Chin Wan-hong dan Pek Kun Ci pun masih jauh lebih muda,
ia termasuk seorang pemuda yang cerdik tanpa menghi langkan sifat kejujurannya, sederhana,
polos tapi tidak bodoh, terhadap kaum yang lebih tuapun sangat menaruh hormat….
Oleh sebab itulah kebanyakan orang persilatan dari golongan lurus sama-sama menyayangi
dirinya, menganggap dia sebagai seorang rekan yang baik, hanya saja ada sebagian orang
mengutarakan perasaannya itu secara terus terang, ada pula yang cuma menyimpannya didalam
hati.
Sementara itu Suma Tiang-cing telah menuding ke arah loteng tinggi didalam kompleks kuil It
goan koan seraya berkata, “Ketika senja menjelang tiba tadi, aku telah menyusup kedalam kuil
dan berhasil menangkap seorang imam cilik dari Thong-thian-kauw, imam cilik itu bertugas
sebagai pelayan yang melayani orang-orang Kiu-im-kauw, menurut pengakuannya, Kiu-im Kaucu
berdiam ditingkat ketiga bangunan loteng itu, sedangkan Ku Ing-ing disekap pada loteng tingkat
paling atas dan sedang menjalankan siksaan Api dingin melelehkan sukma yang amat keji,
bagaimanakah cara menjalankan siksaan tersebut dia tak menyaksikan sendiri, maka tak dapat
dikatakan secara jelas, tapi dia tahu babwa Ku Ing-ing jelas belum mati!”
***
HOA THIAN-HONG menghela nafas panjang.
Aaai….! Jika Kiu-im Kaucu punya keinginan untuk membunuh Ku Ing- ing, maka perbuatan itu
bisa dilakukan dengan gampang sekali bagaikan membalik telapak tangan sendiri, tapi
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
521
kenyataannya ia tidak mau turun tangan untuk bereskan jiwanya, itu berarti dia sengaja hendak
menyiksa mangsanya dan menggunakan dia sebagai umpan untuk memancing boanpwee masuk
jebakan.
“Kenapa begitu?” tanya Suma Tiang-cing dengan sepasang alis matanya berkenyit.
Kiu-im-kauweu memandang keponakan sebagai paku dalam mata, dia menganggap aku sebagai
penghalang yang menghalangi niatnya untuk merajai seluruh kolong langit maka kalau bisa
secepatnya berusaha untuk lenyapkan aku, sudah dua kali keponakan bentrok dengan diri nya,
tapi setiap kali menang kalah sukar ditentukan, oleh karena itu rasa bencinya terhadap diriku
semakin menebal.
Iapun lantas menceritakan peristiwa yang telah dialaminya selama ini, ketika Cu Im taysu dan
Suma Tiang-cing mendengar kalau ia telah berhasil mendapatkan kitab kiam keng, kedua-duanya
merasa gembira tapi sewaktu mendengar Tang Kwik-siu tiba masuk kedaratan Tionggoan untuk
mencari harta di bukit Kiu ci san, kembali mereka tertegun.
Cu Im taysu menghela napas panjang, ujarnya, “Meskipun aku sudah menduga bahwa pertikaian
dalam dunia persilatan belum selesai, namun tak kusangka kalau perubahan yang berlangsung
sedemikian cepatnya, kalau ditinjau dari sini dapatlah diketahui babwa Kiu-im Kaucu mempunyai
ambisi yang sangat besar, Tang Kwik-siu mempunyai rencana busuk yang sukar diraba arah
tujuannya sedang sisa-sisa laskar dari Hong-im-hwie dan Thong-thian-kauw masih belum mau
menyerah dengan begitu saja, aku rasa hawa nafsu membunuh yang menyelimuti dunia
persilatan dewasa ini jauh lebih tebal daripada pertemuan di Pek-beng-hwie mau pun dalam
pertemuan Kian ciau tay hwe!”
Suma Tian cing tertawa dingin.
“Heh…. heehh…. heeh…. Sebagian besar masyarakat didunia ini kebanyakan menganggap bahwa
yang berhasil jadi raja, yang kalah jadi penyamun karena ketidakpuasan manusialah menjadikan
sebab musabab hingga terjadinya pertikaian ini, apabila situasi dalam dunia persilatan dapat
dibalikkan seperti keadaan pada lima puluh tahun berselang dimana orang yang belajar silat suka
akan gengsi, membicarakan soal kedudukan lebih mementingkan pertarungan satu lawan satu,
semua orang menganggap yang menang kuat yang kalah harus mengaku kalah dan malu untuk
main kerubut, maka dunia persilatan akan menjadi aman. Bila kita menghendaki keadaan
tersebut maka hanya ada satu cara saja yang bisa kita lakukan!”
“Apakah caramu itu paman?” tanya Hoa Thian-hong dengan dahi berkerut kencang.
“Hmm! Apalagi? Kita bantai dan bunuh semua kawanan manusia durjana itu dari muka bumi,
asal kaum gembong iblis itu sudah tersapu lenyap, dunia pasti akan aman.”
“Omintohud!” seru Cu in taysu, selama dunia masih dihuni oleh makhluk yang bernama manusia,
maka kejahatan tak mungkin bisa musnah dari hati umatnya, sekali pun kau basmi kawanan
manusia durjana ge nerasi ini toh dari generasi yang akan datang akan muncul pula manusiamanusia
durjana lainnya. Suma lote! Ucapan yeng disertai emosi seperti apa yang kau katakan
itu bukanlah suatu cara yang jitu, Thian-hong! Jangan kau anggap perkataannya itu sebagai
sungguhan!”
Suma Tiang-cing tertawa dingin.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
522
“Taysu engkau keliru besar!” serunya kembali. “Jikalau kita bunuh habis manusia-manusia
durjana dari generasi sekarang sekalipun pada generasi yang akan datang muncul pula manusia
durjana lain, aku rasa sifat kejahatannya tentu jauh lebih ringan”
“Thian memberikan pelajaran kepada umatnya agar saling mengasihi sesamanya, bila kita
gunakan membunuh untuk mencegah membunuh, maka ajaran ini terlalu tidak masuk di akal
dan tak pantas dituruti, Thian-hong! Jangan kau gubris ajaran semacam itu.”
Hoa Thian-hong segera menghela nafas panjang, ia tahu Suma Tiang-cing masih belum puas,
apabila perdebatan in berlangsung terus sampai beberapa haripun tak ada habisnya, buru-buru
ia menyela dari samping.
“Pendapat dari taysu didasarkan pada pelajaran agama, sedang pendapat paman Suma
didasarkan pada kenyataan, aku rasa kedua duanya masuk diakal.”
Berbicara sampai disini, tiba-tiba dia membungkam dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Cu Im taysu segera menyambung.
“Memang benar, urusan paling penting yang harus kita pikirkan sekarang adalah bagaimana
caranya untuk menolong orang, menurut pendapatmu bagaimana kita musti turun tangan?”
Hoa Thian-hong termenung dan berpikir sebentar, lalu menjawab.
“Ku Ing-ing disekap pada loteng tingkat keempat, sedangkan Kiu-im Kaucu menjaga pada tingkat
ketiga, bila boanpwe ingin menye-lamatkan Ku Ing-ing tanpa diketahui olehnya, sudah jelas hal
ini tak mungkin bisa kulakukan!”
Sekalipun begitu, kita masa harus merampasnya secara terang-terangan….?!” tanya Cu Im taysu
dengan cepat.
“Boanpwe yakin, dengan kekuatan kita bertiga sekalipun harus berhadapan muka dengan
kawanan jago Kiu-im-kauw yang berkumpul seruangan, kita masih mampu menerjang masuk
dan mampu juga untuk menerjang keluar, akan tetapi kalau dikatakan kita harus menembusi
kepungan mereka sambil membawa Ku Ing-ing, jelas pekerjaan ini sulit sekali untuk
dilaksanakan”
“Perkataanmu memang benar, dalam kea aan kepepet bisa saja Kiu-im Kaucu turun tangan
membereskan dulu nyawa Ku Ing-ing. Aaaai….! Aku rasa persoalan ini merupakan suatu
persoalan yang amat sulit, pa dahal perempuan itu harus diselamatkan jiwanya, apa daya kita
sekarang?”
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, dia lantas berpaling dan memandang ke arah Suma
Tiang-cing.
Melihat sinar mata kedua orang itu ditujukan ke arahnya, dengan cepat Suma Tiang-cing
gelengkan kepalanya sambil berkata, “Sudah setengah harian aku peras otak berusaha mencari
akal yang bagus, tapi usahaku ini selalu gagal, kalau bisa malah aku akan mengambil keputusau
untuk menyerbu pakai kekerasan, kalau perempuan itu berhasil diselamatkan yaa syukur, kalau
tak bisa akan kulakukan pembantaian secara besar-besaran agar Kiu-im Kaucu mengetahui
sampai dimanakah kelihayanku, cuma begitu jika aku gagal selamatkan jiwa orang, maka
kemungkinan besar jiwa Cu Im taysu akan ikut jadi korban”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
523
Cu Im taysu tersenyum.
“Meskipun aku tidak suka melakukan pemubunahan, akan tetapi aku tak takut menghadapi
bacokan golok, apalagi disuruh bertempur boleh dibilang merupakan suatu kegembiraan!”
Hoa Thian-hong termenung sebentar, tiba-tiba katanya, “Boanpwe telah menemukan suatu cara
yang amat sederhana, bagaimana kalau kita bertiga turun tangan bersama? Kita serbu secara
menggelap maupun secara terang-terangan, lihat saja bagaimana hasilnya nanti!”
“Baik! Suma Tiang-cing menanggapi dengan suara berat, aku rasa inilah satu-satunya cara yang
paling ada harapan, biarlah aku dan Cu Im Taysu menyerbu secara terang-terangkan, kalau bisa
akan kami belenggu musuh tangguh itu sebisa mungkin, sedangkan engkau segera menyusup
kepuncak loteng untuk menolong orang”
“Benar, bila kau berbasil selamatkan perempuan itu maka berusahalah untuk menerjang keluar,
jangan kau gubris diriku dan paman Suma lagi!” kata Cu Imn taysu sambil tertawa.
Suma Tiang-cing mempunyai julukan sebagai Kiu mio kiam kek, jago pedang berjiwa rangkap
sembilan, bukan saja beraninya luar biasa diapun seorang pemberang, sekali pun dihadapannya
terhalang hutan golok atau bukit pedang ia tak akan memandang sebelah matapun.
Maka begitu melihat keputusan telah di ambil, ia lantas loncat masuk kebalik dinding pekarangan
kedalam kuil It goan koan.
Menyaksikan hal itu, buru-buru Cu Im taysu berseru kepada anak muda itu, “Engkau harus
berhati-hati….!”
Dengan cekatan tubuhnya ikut loncat masuk kedalam pekarangan kompleks kuil itu.
Hoa Thian-hong tak berani berayal, cepat diapun melesat kedepan dan menyusup masuk
kedalam kompleks kuil It goan koan tersebut.
Sebagai orang yang bertanggung jawab untuk menyelamatkan jiwa Ku Ing-ing, pemuda itu tak
berani bertindak secara gegabah, dengan sangat hati-hati dan hampir boleh dibilang menempel
pada dinding bangunan, dari satu bangunan berpindah kebangunan yang lain tanpa
menimbulkan sedikit suara pun, dengan gerak-geriknya ini kendatipun ada orang disekitar sana,
belum tentu bisa ditemukan dengan gampang.
Belakang dinding pekarangan adalah sebuah kebun bunga, disitu pohon dan rumput tumbuh
dengan suburnya, ada gunung-gunungan, ada kolam dan ada pula pintu berbentuk bulat.
Dibelakang pintu itu berdirilah sebuah bangunan loteng yang megah, ketika Hoa Thian-hong
melompat masuk lewat dinding pekarangan, Suma Tiang-cing dan Cu Im taysu sudah menyusup
masuk lewat pintu bulat tadi, cepat si anak muda itu bersembunyi dibelakang pintu bulat itu
sambil mengawasi gerak-gerik dari dua orang rekannya.
Rembulan bersinar dengan terangnya diawang-awang, cahaya lampu memancar dari bawah,
dalam suasana terang benderang tentu saja jejak Suma Tiang-cing dan Cu Im taysu tak bisa
disembunyikan lagi, segera mereka berhasil ditemukan oleh penjaga loteng itu.
“Siapa disitu?” terdengar seseorang membentak kasar.
Aku Suma Tiang-cing dan Cu Im taysu sengaja datang kemari untuk menyambangi kaucu mu!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
524
Bersamaan dengan selesainya ucapan tersebut, tubuhnya langsung meluncur keudara dan
menerjang keloteng tingkat ketiga.
Loteng tingkat ketiga jaraknya ada belasan keki, dalam dunia persilatan dewasa ini jarang sekali
ada orang yang mampu melakukan hal itu, dengan sendirinya para penjaga loteng itu segera
sadar bahwa mereka telah kedatangan musuh tangguh.
Dengan hati tercekat, kedua orang penjaga itu segera membentak keras, secepat sambaran kilat
mereka menerjang maju kedepan.
Dengan gaya burung bangau menerjang ke angkasa, laksana anak panah yang terlepas dari
busurnya, Suma Tiang-cing membumbung keangkasa, belum habis ia berseru sepasang kakinya
sudah menempel diatas tiang dan pedang mustikanya diloloskan pula dari sarungnya.
Dengan suatu gerakan yang amat cepat, kedua orang itu menerjang tiba, terdengarlah suara
desingan tajam menderu-deru, sebuah tombak pendek dan sebuah senjata pit baja penotok jalan
darah dengan gerakan yang amat cepat telah meluncur tiba.
Sama Tiang cing segera membentak nyaring, “Siapa berani menghalangi aku, mampus!”
Pedangnya secepat sambaran kitat segera melancarkan serangan kilat ke arah depan.
Dua orang jago yang bertugas menjaga loteng itu merupakan dua orang jago lihay dari istana
neraka, bukan saja bentuk senjata yang digunakan sangat aneh, jurus serangan yang digunakan
cukup mengge-tarkan hati siapapun yang memandang, bila orang lain yang dihadapi nisca
nyalinya akan dibuat tercekat.
Sayang musuh yang dihadapinya justru adalah Kiu mio Kiam kek yang pemberang, jago muda ini
tak pernah mempersoalkan apakah musuh yang dihadapinya adalah musuh tangguh atau kaum
keroco, begitu menyerang ia segera melancarkan serangan dengan jurus yang ganas dan tenaga
yang mengerikan, membuat siapapun jadi keder rasanya.
Setelah melepaskan serangannya tadi, kemudian menyaksikan Suma Tiang-cing melancarkan
sergapan dengan pedang bajanya, dua orang jago dari istana neraka itu segera menyangka
kalau musuhnya akan menangkis ancaman tersebut deagan mengandalkan ketajaman
senjatanya.
Siapa tahu, bukan saja ancaman itu tidak ditangkis, ternyata pihak lawan malahan melepaskan
pula ancaman maut ke arah mereka dengan sistim adu jiwa.
Tentu saja kedua orang jago itu tak ingin mati konyol, sebelum serangannya dilancarkan sampai
habis, cepat-cepat kedua orang itu membatalkan kembali ancamannya seraya melepaskan jurus
serangan untuk menyelamatkan diri.
Sayang serbu kali sayang, Suma Tiang-cing bukan manusia sembarangan, dan lagi dalam
melepaskan ancamannya itu ia telah menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya, boleh
dibilang sergapannya tanpa memperhitungkan mana lebih duluan dan mana belakangan.
Baru saja jago yang bersenjata tombak itu berusaha untuk menghindarkan diri kesamping, tahutahu….”
Krakk!” ditengah benturan nyaring, senjata tombaknya itu sudah terpapas kutung jadi
dua bagian.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
525
Jago yang bersenjata poan koan pit itu cepat memburu kedepan. senjatanya diputar menusuk
kaki Suma Tiang-cing, maksudnya dengan serangan tersebut maka ia dapat selamatkan jiwa
rekannya.
Siapa tahu Suma Tiang-cing bertindak cekatan, sekali angkat kakinya tahu-tahu ia sudah
menginjak senjata lawan, menyusul mana sebuah tendangan dahsyat melemparkan tubuhnya
sehingga mencelat sejauh satu kaki lebih dari tempat semula.
Pada hakekatnya anak buah Kiu-im-kauw yang diatur disekitar bangunan loteng itu khusus
disediakan untuk menghadapi Hoa Thian-hong, apa lacur sekarang yang baru dihadapi adalah
Suma Tiang-cing seorang jago yang nekad dan pemberang, kontan saja pertahanan mereka
dijebolkan hanya cukup dalam sekali gebrakan.
Baru saja musuhnya terdesak mundur ke belakang, Suma Tiang-cing sudah memberatkan
tubuhnya dan melayang keatas serambi.
“Manusia kasar, mau kabur kemana? tiba-tiba seorang perempuan dengan suara yang dingin
menyeramkan menegur dari samping.
Berbareng dengan seruan tersebut, sepulung desingan hawa pedang yang tajam menyergap
kedepan dan langsung menghajar jalan darah Ki bun hiat ditubuh Suma Tiang-cing.
Betapa terperanjatnya jago muda itu menghadapi serangan yang sama sekali tak terduga ini,
peluh dingin sampai mengucur keluar membasahi sekujur mbuhnya.
Cepat pedang mustikanya dikibaskan kedepan dengan jurus bwe bong wu liu (Pusaran angin
mainkan pohon Liu), bukan saja ia tidak memperduiikan keselamatan jiwa sendiri, malahan
sambil bergerak kedepan ia melancarkan serangan balasan.
Sreeet….! Senjata sekop dari Cu Im taysu meluncur tiba dari samping gelanggang.
Dengan berkobarnya pertarungan itu maka dalam sekejap mata, api obor sudah bermunculan di
empat penjuru dan menyoroti daerah sekitar gelanggang hingga terang benderang bagaikan
disiang hari, berbareng itu pula dari kedua belah sisi serambi bermunculan puluhan orang lakilaki
maupun perempuan.
Dalam keadaan demikianlah pintu loteng terbuka, Kiu-im Kaucu dengan senjata toya kepala
setannya munculkan diri didepan muka.
Sementara itu Suma Tiang-cing telah melihat jelas bahwa tandingannya ketika itu adalah seorang
gadis berambut panjang yang berpotongan badan ramping, dia kenali gadis itu sebagai Tiamcu
istana neraka dibawah pimpinan Kiu-im Kaucu, bahkan mengenali juga bahwa senjata mustika
yang dipergunakannya adalah pedang mustika Bian liong poo kiam bekas milik Thong-thiankauw.
Dalam waktu singkat dua puluh gebrakan sudah lewat dengan cepatnya, pertarungan
berlangsung makin sengit dan seru.
Waktu itu usia Suma Tiang-cing baru mencapai tiga puluh tahunan, sedangkan Tiamcu istana
neraka berusia diantara tiga puluh tahunan juga, bukan saja wajah mereka cakep dan cantik,
senjata yang digunakan juga adalah senjata mustika, berbicara yang sesungguhnya pertarungan
semacam itu pastilah berlangsung dengan halus dan lembut.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
526
Apa lacur watak Suma Tiang-cing seorang pemberang dan ganas, setiap serangan yang
dilancarkannya selalu bermaksud untuk melukai orang, hal ini memaksa Tiamcu dari istana
neraka terpaksa harus mengeluarkan pula jurus-jurus ampuhnya untuk melayani kehendak
lawan.
Kiu-im Kaucu hanya menonton jalannya penarungan itu dari sisi kalangan, sepasang alis matanya
berkenyit hingga menjadi satu garis, dengan suara lantang ia berseru, “Suma Tiang-cing sudah
tersohor sebagai seorang jagoan yang pemberang dan besar sekali jiwa nekadnya, ia sudah
terbiasa melakukan serangan-serangan kasar macam itu….”
“Anjing betina tak usah banyak bacot, kalau berani hayo turun kemari.! tukas Suma Tiang-cing
sambil membentak gusar.
Kiu-im Kaucu sama sekali tidak melayani makian tersebut, malahan sambil tertawa ujarnya,
“Engkau bukan tandinganku maka lebih baik tak usahlah menantang aku untuk bertarung, saat
ini Hoa Thian bong telah menyusup naik keatas loteng aku harus berjaga-jaga disana menunggu
kedatangannya!”
Betapa terkejutnya Suma Tiang-cing sesudah mendengar perkataan itu, dia lantas menduga
bahwa dialas loteng telah disiapkan jebakan yang lihay sehingga gembong iblis ini membiarkan
musuhnya berhasil menyusup naik ke atas.
“Kalau memang terjadi begini, bukankah itu berarti bahwa selembar jiwa Hoa Thian-hong sedang
terancam bahaya maut?”
Karena memikirkan persoalan itu pikiran dan perhatiannya jadi bercabang, Tiamcu istana neraka
tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu dengan begitu saja, dia lantas membentak keras,
pedang mustika boan liong kiam hoatnya dengan memancarkan cahaya bianglala yang amat
menyilaukan mata segera memancar memenuhi seluruh angkasa, dalam waktu singkat dia telah
melancarkan serangkaian serangan balasan yang amat gencar.
Sesudah kehilangan posisinya yang baik, dengan cepat pula Suma Thiang cing terdesak hebat
sehingga kedudukannya berada di bawah angin.
Dalam waktu singkat secara beruntun dia telah menemui ancaman mara bahaya, untungnya dia
memiliki jurus untuk adu jiwa yang mengerikan, maka setiap saat dia masih mampu untuk
menyelamatkan jiwanya dari ancaman itu.
Sementara itu dipihak lain, Hoa Thian-hong telah manfaatkan kesempatan berkobarnya
pertarungan itu secara baik-baik, sesudah berputar kesamping, sambil membopong Soat-ji dia
lantas melompat naik ke loteng tingkat keempat.
Dalam prasangkanya disekitar loteng itu sudah pasti telah disiapkan jebakan maupun penjagaan
yang sangat ketat, tapi apa yang dilihatnya waktu itu?
Ternyata suasana diatas loteng tingkat keempat itu sunyi senyap tak kedengaran sedikit
suarapun, bukan saja tak nampak adanya bayangan manusia, alat jebakan atau senjata
rahasiapun tak nampak satupun.
Diatas serambi loteng tergantung sebuah lampu lentera yang anti hembusan angin, cahaya yang
redup menyinari sebuah pintu ruangan yang berukir naga dan burung hong.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
527
Dengan cekatan Hoa Thian-hong melayang kedepan dan mendorong pintu tersebut, ternyata
pintu tidak terkunci, ketika didorong segera terpentang lebar.
Ruangan itu kosong melomgpong, tak kelihatan sesosok bayangan manusia pun yang berada
disitu.
Ruangan itu luasnya sekitar tiga kaki persegi, sepuluh buah lentera keraton yang indah
tergantung didalam ruangan itu. Hoa Thian-hong masih ingat ketika ia dijamu Giok Teng Hujin
tempo hari, dalam ruangan inilah perjamuan tersebut diselenggarakan.
Sayang suasana dalam ruangan itu remang-remang, diantara sepuluh buah lampu lertara yang
tersedia dalam ruangan itu, hanya dua buah diantaranya yang dipasang, ditengah suasana yang
remang-remang itulah Hoa Thian-hong merasakan suatu perasaan yang sangat aneh.
Didekat ruangan itu terdapat tiga buah pintu, didepan pintu tergantung horden yang cukup tebal,
sekilas pandangan dapatlah di ketahui bahwa dalam ruangan itu tersedia tiga buah kamar tidur.
Setelah menutup kembali pintu ruangan, Hoa Thian-hong bergerak masuk kedalam untuk
melakukan pemeriksaan, waktu itulah Soat-ji yang berada dalam bopongannya mendesis lalu
melompat turun dan secepat kilat menyusup masuk kedalam ruang tidur sebelah tengah.
Tanpa sadar perasaan hati Hoa Thian-hong berubah jadi amat tenang, cepat dia menyelinap
kedepan pintu dan menyingkap horden yang menutupinya. Apa yang kemudian terlihat
dihadapannya membuat darahnya tersirap, dengan mata melotot karena menahan gusar dia
menyerbu masuk kedalam ruang itu, serunya setengah mendesis, “Cici….!”
Semula ruangan tersebut adalah sebuah kamar rahasia, tapi sekarang perabot yang ada dalam
ruangan itu sudah dipindahkan semua sehingga tinggal sebuah ruangan yang kosong
melompong.
Ditengah ruangan terdapatlah sebuah meja sembahyangan yang tampak masih baru, diatas meja
sembahyangan terdapatlah empat buah patung arca setinggi beberapa depa yang tersebut dari
kayu wangi, patung itu ada yang duduk ada pula yang berdiri, bentuknya satu sama yang lain
jauh berbeda.
Cuma saja keempat-empatnya adalah patung perempuan dan berambut parjang sampai
sepundak.
Meskipun raut wajah yang digambarkan pada keempat patung itu tidak jelek, tapi seperti halnya
dengan Kiu-im Kaucu, paras muka mereka, membawa selapis kemisteriusan yang sukar
dilukiskan dengan kata-kata.
Didepan sebuah patung arca itu terletak sebuah hiolo, diatas hiolo itu tertancap hio yang
mengeluarkan bau dupa wangi, cuma tidak kelihatan ada lilin.
Kurang lebih empat lima depa didepan meja sembahyangan itu terdapat kasur bulat untuk
semedi, waktu itu Giok Teng Hujin duduk diatas kasur tadi sambil menghadap ke arah patung
arca, tubuh bagian atasnya berada dalam keadaan bugil, rambut nya yang panjang terurai
menutupi punggungnya yang telanjang itu.
Didepan kasur bulat itu tergantung sebuah lampu lentera terbuat dari tembaga yang aneh sekali
bentuknya, diatas lampu itu terdapat tutupnya, diatas penutupaya terdapat tujuh buah lubang
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
528
kecil, asap hijau dan percikan api kecil manancar keluar dari ketujuh lubang itu menciptakan
tujuh buah asap hijau setinggi delapan sembilan cun.
Ketika asap itu menggumpal keatas segera bergabung menjadi satu dan berbelok menuju ke
arah dada Giok Teng Hujin, kobaran api itu segera membakar dadanya dengan ganas.
Tepat pada lekukan payudara Giok Teng Hujin tergantung sebuah bulatan sebesar mulut cawan
arak yang berwarna keperak-perakan, kebakaran api yang bergabung setelah keluar dari ketujuh
lubang kecil itu langsung memancar keatas bulatan perak itu dan memanggangnya hingga
memperdengarkan bunyi gemericik yang amat nyaring.
Sekujur tubuh Giok Teng Hujin kelihatan gemetar keras, badannya telah basah kuyup
bermandikan peluh.
Rupanya kesadaran Giok Teng Hujin waktu itu belum lenyap sama sekali, ketika mendengar
panggilan dari Hoa Thian-hong dengan cepat dia berpaling ke arah samping dan mengguraikan
rambutnya yang panjang untuk menutupi seluruh bagian raut wajahnya.
“Jangan sentuh aku!” terdengar gadis itu berseru dengan nada gelisah, “jangan kau sentuh
lampu lentera itu!”
Suara itu kering, serak dan tak enak didengar, seakan-akan bukan berasal dari mulut perempuan
itu.
Hoa Thian-hong segera menerjang kehadapanya dan berlutut disamping tubuh Giok Teng Hujin,
sekujur badannya gemetar keras sepasang matanya berubah jadi merah membara sementara air
mata jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya.
“Cici…. kau….!” akhirnya ia terisak dan tidak sanggup melanjutkan kembali kata-katanya.
Beberapa titik air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Giok-teng hujin ketika ia tundukkan
kepalanya, air mara itu menetes diatas lampu lentera itu dan seketika muncullah asap warna
hijau yang sangat mengerikan.
Pemandangan ketika itu benar-benar mengenaskan, baru pertama kali ini Hoa Thian-hong
menyaksikan jalannya siksaan yang amat keji ini, tentu saja hatinya terasa jadi remuk redam,
darah panas dalam rongga dadanya ikut bergelora dengan hebatnya, dia ingin turun tangan
namun tak tahu apa yang musti dilakukan pada saat ini
Rupanya Soat-ji rase salju stupun tahu bahwa majikannya sedang menjalankan siksaan yang
kejam, dikala itu makhluk tersebut ber sandar disisi majikannya sambil merintih tiada hentinya,
tampaknya binatang itu sedang beriba hati.
Hoa Thian-hong merasa dendam bercampur benci, tiba-tiba serunya dengan nyaring, “Cici, apa
yang harus kulakukan!”
Saking jengkelnya, dengan sekuat tenaga dia hajar permukaan lantai itu keras-keras.
“Lampu itu!” bisik Giok Teng Hujin dengan lirih.
Mendengar seruan tersebut, buru-buru Hoa Thian-hong menarik kembali tenaga pukulannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
529
“Blaang! sebuah bekas telapak tangan yang dalam sempat membekas diatas permuaan lantai,
untungnya lampu siksaan tersebut tidak sampai tergetar oleh pukulan tadi.
Giok Teng Hujin benar-benar tersiksa lahir batinnya menghadapi siksaan api dingin melehkan
sukma yang dialaminya sekarang, akan tetapi dengan tabah dihadapinya secara jantan.
Tatkala ia saksikan kedatangan Hoa Thian-hong untuk pertama kalinya tadi, dua titik air mata
memang sempat meleleh keluar, akan tetapi dengan cepat semua penderitaan dan siksaan yang
dialaminya ditahan didalam hati, sesudah berhenti beberapa saat lamanya segera ujarnya.
“Aaai.! Bagaimanapun aku toh tak bisa hidup lebih lama lagi, daripada aku hidup menanggung
derita, lebih baik totoklah jalan darah kematianku, agar aku bisa lebih cepat melepaskan diri dari
siksaan hidup ini!”
“Tidak!” jerit Hoa Thian-hong sambil menggigit bibir menahan air matanya yang meleleh keluar.
Giok Teng Hujin menghela nafas panjang.
“Aaii! Setiap manusia tak luput dari kematian, aku merasa amat puas apabila bila mati disisimul”
Engkau tak boleh mempunyai ingatan semacam itu, hayo keluar kanlah semangat dan
keberanianmu untuk melanjutkan hidup, sekalipun harus pertaruhkan selembar jiwaku akan
kutolong juga engkau hingga lolos dari mara bahaya.
Seekor semutpun menginginkan hidup, apa lagi aku adalah seorang manusia, mengapa aku tidak
ingin hidup? Bukan begitu saja dan lagi, aai! aku benar-benar merasa berat untuk meninggalkan
engkau.
Sekalipun ucapan tersebut sangat pendek dan singkat, akan tetapi luapan cinta yang
diperlihatkan dalam perkataan itu benar-benar sanggup melelehkan besi baja.
Hoa Thian-hong merasa hatinya amat sakit bagaikan ditusuk dengan pisau tajam, air matanya
jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
Ketika dilihatnya sekujur badan Giok Teng Hujin gemetar keras, seolah-olah sedang menahan
suatu penderitaan yang hebat, buru-buru ia menyeka air matanya sambil berseru lagi,
“Beritahukanlah kepadaku, sebenarnya macam apakah lampu setan itu, aku hendak mencarikan
akal untuk menyelamatkan jiwa mu!”
Giok Teng Hujin gelengkan kepalanya dengan sedih, sambil terisak menahan tangisnya ia
menjawab, “Berilah jawaban dulu kepadaku, engkau harus berjanji tak akan menerima paksaan
dari kaucu walau berada dalam keadaan apapun, engkau tak boleh mudah menyerah dengan
begitu saja.”
Hoa Thian-hong merasa hatinya semakin perih apalagi setelah mendengar betapa perhatiannya
Giok Teng Hujin terhadap dirinya walau berada dalam keadaan begitu.
Akhirnya Hoa Thian-hong berjanji tak akan menerima paksaan dari Kaucu jika ini yang
dikehendaki oleh Giok Teng Hujin.
Kemudian diterangkanlah oleh Giok Teng Hujin dengan nada sedih kepada Hoa Thian-hong.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
530
“Dadaku telah dilapisi oleh serbuk perak yang dinamakan Miat ciat in leng (serbuk dingin
pelenyap keturunan) bubuk itu dibuat menurut resep rahasia yang hanya dimiliki oleh Kiu-imkauw,
yakni terbuat dari campuran kotoran ulat sutera, empedu burung-burung yang bisa
berbunyi, air liur katak buduk, butiran putih telur dari ubur-ubur, kulit ari dari cacing dicampur
pula dengan bubuk phospor yang mengandung racun jahat, bila serbuk perak Miat ciat in leng ini
dipoleskan diatas dada seseorang, racun itu akan segera meresap ke tubuh ma-nusia bila
dibiarkann terus maka racun itu akan menyerang kejantung yang mengakibatkan kematian dari
korbannya!”
Perempuan itu berhenti sebentar, kemudian meneruskan lagi kata katanya lebih jauh, “Lentera
yang bisa melelehkan sukma ini pun bukan benda sembarangan, didalam lentera itu di isi dengan
hawa racun dari katak puru (sejenis katak yang kasar kulitnya dan berbintik-bintik), karena
mendapat pembakaran dari cahaya api lentera ini, maka hawa racun Miat ciat in leng yang
dipoleskan kedadaku jadi terhisap, karenanya jiwaku bisa selamat sampai kini, tapi jika
kutinggalkan cahaya api ini, racun tersebut segera akan menyerang kejantungku yang akan
mengakibatkan aku jadi tewas!”
“Tapi…. tapi…. betapa sengsara dan tersiksanya tubuhmu karena selalu dibakar oleh api yang
menyala-nyala ini?” seru Hoa Thian-hong sambil menggigit bibirnya kencang.
“Aaai….! Sebagaimana kau ketahui: ‘Api dingin melelehkan sukma’ adalah siksaan yang paling
keji dan paling berat dari Kiu-im-kauw kami, masih mendingan kalau siksaan itu hanya Ngo kiam
hun si (lima pedang memisahkan mayat)….”
“Apakah ada pemunahnya atau tidak?” tanya pemuda itu kemudian dengan penuh rasa dendam.
Giok Teng Hujin manggut-manggut.
“Ada sih ada, cuma obat pemunahnya hanya dimiliki oleh kaucu seorang….!”
“Aku akan mencari dia sekarang juga!” seru Hoa Thian-hong sebelum perempuan itu
menyelesaikan kata-katanya, cepat dia bangkit berdiri dan siap berlalu dari situ.
“Eeh…. tunggu sebentar!” seru Giok Teng Hujin gelisah.
Hoa Thian-hong berpaling sambil menyeka air mata yang meleleh keluar bercampur dengan
keringat.
“Apa yang hendak kau tanyakan lagi?” tanyanya.
“Dimanakah pedang bajamu?”
“Sudah lenyap, kitab kiam keng ada disakuku!”
“Adik Hong, ingat baik-baik perkataanku!” kata Giok Teng Hujin mendadak dengan wajah seiius
“bila kau serahkan kitab kiam keng sebagai pertukaran syarat, kendatipun aku bisa kau
selamatkan, akhir nya aku tetap akan bunuh diri!”
Tertegun Hoa Thian-hong setelah mendengar ancaman itu, air mata yang baru dihapus kembali
meleleh keluar dengan derasnya
Giok Teng Hujin berkata lagi, “Pada umumnya siksaan api dingin melelehkan sukma akan
berlangsung selama tujuh hari tujuh malam, aku masih ada kesempatan hidup selama lima hari,
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
531
usahakanlah pertolongan untukku, tapi jangan kau terima semua paksaan dari orang lain,
engkaupun tak boleh menyiksa diri sendiri, usahakan pertolongan sewajarnya mengerti?”
“Ooh…. cici, bolehkah kusentuh badanmu? Walau hanya sebentar saja….” pinta Hoa Thian-hong
mendadak dengan air mata bercucuran.
Agak tertegun Giok Teng Hujin mendengar perkataan itu, tapi akhirnya dia mengangguk.
“Sentuhlah, tapi jangan sampai menggoncangkan tubuhku!”
Cepat Hoa Thian-hong lepaskan jubah luarnya, sambil berjongkok dia seka keringat yang
membasahi punggung Giok Teng Hujin ketika jari tangannya menyentuh tubuh sang dara yang
bergetar keras, tanpa sadar tubuhnya ikut gemetar karas.
“Kenakan pakaian itu ditubuhku!” bisik Giok Teng Hujin dengan suara yang lirih.
Hoa Thian-hong kenakan bajunya dipunggung perempuan itu, kemudian berkata lagi, “Wajahmu
berkeringat, pipimu berminyak, ijinkanlah kuseka keringat dan minyak itu, lihatlah, rambutmu
kusut dan awut-awutan biarlah kubereskan semuanya untukmu!”
“Jangan!” seru Giok Teng Hujin ambil buru-buru berpaling.
Kiranya setelah mengalami siksaan selama sehari dua malam, kulit dan pori-poro wajah dara itu
banyak berkerut akibat kepanasan, kelembutan dan kehalusan telah banyak yang hilang, dengan
begitu mukanya tampak jauh lebih tua daripada keadaan di hari-hari biasa.
Sebagai anggota Kiu-im-kauw, tentu saja dara itupun tahu akan akibat yang bakal diterima
sesudah menjalankan siksaaan tersebut maka ia tak ingin Hoa Thian-hong melihat wajahnya dan
mengetahui pula akan kerutanya.
Tertegun si anak muda itu ketika permintaannya ditolak, ia berdiri termangu, sementara dalam
hati timbullah perasaan heran dan tak habis mengerti, ia tak tahu betapa perempuan itu
merahasiakan raut wajahnya, mungkinkah terjadi suatu perubahan?
Namun ia tidak berpikir panjang, setelah termangu sebentar akhirnya pemuda itu berkata, “Cici
bersabarlah disini, segera kucari Kiu-im Kaucu! Aku akan membikin perhitungan dengannya!”
“Bawalah serta Soat-ji!” Giok Teng Hujin menambahkan.
“Biarkan disini dulu, sebentar aku akan kemari lagi….”
“Jangan! Sebelum kau dapatkan obat pemunah, tak usah kau tengok diriku lagi, hindarilah segala
resiko yang tak diinginkan, daripada kau celaka disergap orang”
Sedih dan pilu perasaan hati Thian-hong, ia merasa hatinya bagaikan disayat-sayat pisau, tak
tega rasanya pemuda itu untuk menampik permintaannya, maka dengan membopong Soat-ji dia
lantas mengundurkan diri dari ruangan itu.
Setelah keluar dari ruangan, ia dengar pertempuran yang sedang berlangsung dibawah loteng
makin bertambah seru. Mendadak…. segulung hawa nafsu membunuh yang luar biasa tebalnya
menerjang kedalam benak, ia merasa darah panas ditubuhnya jadi mendidih, hanya satu ingatan
yang terlintas dalam benaknya, ingatan itu adalah membunuh orang, makin banyak orang yang
dibunuh makin baik.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
532
Dipihak lain, Suma Tiang-cing dan Yu beng tiamcu sudah bertarung sebanyak tiga ratus
gebrakan, dada kiri Suma Tiang-cing telah bertambah dengan sebuah mulut luka sepanjang tiga
cun, sedangkan lengan kiri tiamcu istana Neraka juga bertambah dengan sejalur luka, darah
bercampur keringat membasahi tubuh mereka membuat mereka tampak lebih seram dan
mengerikan.
Cahaya kilat dan hawa pedang menyelimuti sekeliling ruangan tersebut, dua orang jago lihay itu
saling bergerak diantara lapisan cahaya pedang, mereka saing menerkam dan saling menerjang
ganas dan mengerikan sekali pertarungan yang sedang berlangsung.
Rapanya kelihayan ilmu siiat mereka seimbang, maka sekalipun sudah bertarung lama, keadaan
tetap seimbang alias sema kuat.
Akhirnya mungkin karena penasaran, makin menyerang mereka makin kalap dan masing-masing
mengeluarkan segenap kepandaian tangguh yang dimilikinya.
Sepasang pedang saling membentur satu sama lainnya menimbulkan dentingan nyaring yang
memekikan telinga.
Pedang pek le kiam milik Suma Tiang-cing memang sebilah pedang yang tajam dan luar biasa,
tapi dibandingkan dengan Boan liong poo kiam dari Thong-thian-kauw yang kini berada ditangan
tiamcu istana neraka, toh masih kalah tajamnya, karena itu tiap kali terjadi benturan, diatas
pedangnya segera tertinggal sebuah gumpilan sebesar biji beras.
Hingga detik ini, sudah tiga gumpilan yana menghiasi pedang Pek lee kiam tersebut, betapa sakit
hati dan sayangnya Suma Tiang-cing melihat pedangnya rusak, ia menyerang makin ganas dan
makin kalap, hampir semua ilmu kepandaian yang dimilikinya dikeluarkan, seumpama musuhnya
kurang teguh imamnya niscaya sedari tadi tadi sudah dibuat ketakutan oleh tindakan musuhnya
yang mirip kerbau gila ini.
Diam-diam Cu Im taysu merasa kuatir, ia tahu bila pertarungan itu dibiarkan terus berlangsung,
maka akhirnya salah satu diantara mereka tentu akan mati, beberapa kali ia membentak agar
rekannya menghentikan pertarungan itu, sayang bentakannya telah mendapatkan tanggapan,
pertarungan masih berlangsung terus dengan serunya.
Kiu-im Kaucu tidak menunjukkan perubahan sikap, mukanya tetap dingin dan kaku sedangkan
mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
Disaat pertarungan kedua orang itu sudah mencapai pada puncak ketegangan, Hoa Thian-hong
menerkam dari atas loteng, semua orang jadi panik dan sama-sama menbentak keras.
Namun si anak muda itu sudah keburu kalap, ia tak ambil peduli kegusaran orang lain, diiringi
gulungan angin pukulan yang amat dahsyat, sebuah pukulan maut telah di lontarkan ke tubuh
tiamcu istana neraka.
Semua orang menjerit kaget, hati mereka berdebar keras bahkan ada pula yang sampai mundur
sempoyongan, memang semua orang sudah menduga kalau cepat atau lambat Hoa Thian-hong
pasti akan muncul di sana, tapi mereka tak menyangka kalau pemuda yang biasanya kalem dan
tidak menyerang orang secara sembarangan, tiba-tiba saja menyergap seseorang yang sedang
terlibat dalam pertempuran.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
533
Dalam gugupnya, pertama-tama Kiu-im Kaucu yang membentak gusar lebih dahulu, untuk
mencegah jelas tak mungkin lagi, maka dia lantas mencaci maki kalang kabut.
Suma Tiang-cing sendiri tak ingin mencari kemenangan dengan cara meagerubut, apalagi
terhadap seorang perempuan, seraya membentak diapun tarik kembali serangannya sambil
mundur kebelakang.
Tiamcu istana neraka yang terserang tak banyak berkutik, tahu-tahu dia merasakan lengan nya
bergetar keras, dan pedang Boan liong poo kiam tersebut sudah dirampas oleh Hoa Thian-hong.
Ia tak tahan didorong oleh tenaga pukulan yang maha dahsyat, begitu pedang mustika tersebut
terampas oleh lawan, kuda-kudanya gempur dan tak bisa dicegah lagi dengan sempoyongan ia
mundur beberapa langkah kebelakang.
Dengan wajah hijau membesi dan memukul-mukulkan tongkat kepala setannya keatas tanah,
Kiu-im Kaucu memaki kalang kabut, “Anjing Hoa Thian-hong, begitukah perbuatanmu? Begitukah
perbuatan dari seorang manusia yang menganggap dirinya sebagai seorang enghiong…. seorang
pahlawan?”
Merah membara sepasang mata Hoa Thian-hong, wajahnya menyeringai seram, dengan sorot
mata berapi-api, ia lepaskan Soat-ji ketanah, kemudian membuang pula pedang yang digembol
ketanah, dengan suara yang dingin menyeramkan ia berseru, “Tak ada gunanya kita banyak
bicara, lebih baik ambillah suatu keputusan untuk menyelesaikan masalah ini!”
Sekuat tenaga Kiu-im Kaucu berusaha untuk menenangkan hatinya, lalu sambil tertawa tergelak
katanya, “Haaahh…. haaahhh…. haaahhh…. engkau rampas pedang Boan liong poo kiam dari
tangan anggotaku, apakah kau hendak berduel lawan aku dengan mengandalkan senjata itu?”
Hawa nafsu membunuh telah menyelimuti wajah Hoa Thian-hong, ia tahu dalam masalah Giok
Teng Hujin, ia tak mungkin memohon kepada kaucu ini dengan kata yang lembut, bertukar
syarat jelas tak mungkin, sedangkan dengan jalan kekerasanpun belum tentu bisa berhasil
karena sekalipun ia bisa menangkan Kiu-im Kaucu toh belum tentu orang itu bersedia
melepaskan tawanannya.
Jelaslah sudah bagi pemuda itu bahwa masalah yang dihadapi adalah sebuah masalah pelik
bagaikan sebuah simpul mati, kecuali ia bersedia menuruti semua kemauan dan keinginan lawan,
tak mungkin Giok Teng Hujin dapat ditolong.
Tiba-tiba terbayang kembali olehnya betapa tersiksa dan menderitanya Giok teng hujn tersiksa
oleh api dingin melelehkan sukma, api amarah bergelora dalam dadanya kembali memuncak,
kebencian dan rasa dendam kembali muncul dihati.
Dalam keadaan demikian, ia jadi kalap, kemarahannya susah dikendalikaa lagi, dengan mata
melotot besar tiba-tiba ia putar badan dan menerkam ke arah kawanan jago dari Kiu-im-kauw.
Hebat sekali perubahan wajah Kiu-im Kaucu menyaksikan perbuatan sang pemuda, ia lantas
membentak nyaring, “Hoa Thian-hong, engkau berani bertindak keji?”
Hoa Thian-hong menjengek sinis, dia putar pedang mustika itu dan sahutnya dengan nada
seram, “Kau anggap aku Hoa Thian-hong tak berani bertindak kejam? Hmm, kalau mau salahkan
maka sekarang juga salahkan, akan kubasmi dulu semua begundalmu, kemudian akan kulihat
mampukah engkau menghalangi niatku ini!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
534
Selesai berkata, kembali ia siap menerkam kedepan.
Cu Im taysu bertindak cepat, rupanya dia tahu kegusaran dan kenekadan pemuda itu, sambil
menghadang jalan perginya dia berseru, “Omintohud. berbuatlah belas kasihan, jangan karena
emosi melakukan pembantaian keji yang sama sekali tak ada manfaatnya!”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, sinar matanya berapi api, dengan penuh emosi
teriaknya, “Taysu, berbuatlah kebaikan untukku, boanpwae benar-benar amat benci dan
dendam!”
Ucapan tersebut diutarakan dengan suara yang berat dan mantap, membuat setiap pendengar
perkaraan itu merasakan telinganya mendengung keras, ibarat guntur yang membelah bumi
disiang hari bolong, paras muka mereka rata-rata berubah hebat.
Suma Tiang-cing ikut menghela nafas panjang, katanya pula dari sisi gelanggang, “Thian-hong,
tadi aku memang pernab mengatakan akan membantai sampai habis setiap orang jahat, manusia
jahanam yang ada didunia ini, janganlah kau anggap serius perkataanku itu, sebab ucapan yang
dikatakan dalam keadaan emosi adalah kata-kata kasar belaka, kau tak boleh menganggap
ucapan itu sebagai kata yang sungguh-sungguh”
Dengan pedang terhunus dan mata melotot besar karena gusar beberapa kali Hoa Thian-hong
hendak menerjang lewati Cu Im taysu dan menerkam orang-orang dari Kiu-im-kauw.
Tapi ketika menyaksikan keagungan serta kekerenan wajah Cu Im taysu yang menghadang
dihadapannya, ia tak berani menerjang secara gegabah, apalagi sesudah mendengar nasehat
dari Suma Tiang-cing, pemuda itu makin termangu dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Perlu diketahui watak mulia, welasasih dan bijaksana yang dimiliki Hoa Thian-hong sekarang, tak
lain adalah warisan dari ayah nya sedangkan Hoa Hujin termasuk seorang pendekar perempuan
berhati sekeras baja, membenci kejahatan hingga merasuk ketulang, dalam pandangannya
membasmi kejahatan sama halnya dengan berbuat kemuliaan, membunuh seorang manusia
berhati keji sama artinya menyelamatkan beberapa orang baik dari kematian, baginya daripada
satu kota menangis lebih baik satu keluarga saja yang menangis.
Sejak suaminya mati dan rumahnya dirampas musuh, rasa dendam dan ingin membalas dendam
berkobar-kobar dalam benaknya, dia bercita-cita untuk membasmi tumpas iblis dari muka bumi
dan membantai setiap manusia jahanam yang ditemuinya, dia tidak membenci satu dua orang
iblis belaka melainkan seluruh manusia iblis dari golongan hitam.
Oleh karena itulah meskipun sangat ketat pendidikan yang dia berikan kepada putranya, namun
tak pernah ia menyinggung soal kebajikan dan welas kasih.
Dengan dasar pendidikan yang telah diperoleh semenjak kecil, Hoa Thian-hong pun tanpa
disadari ketularan pula watak keras dari ibunya ini, maka ketika Suma Tiang-cing mengucapkan
kata-kata emosi tadi, suatu bayangan gelap sudah menyelimuti hati si anak muda itu, apalagi
setelah persoalan yang menyangkut tentang diri Giok Teng Hujin mengalami kesulitan, bahkan
mendekati jalan buntu, hawa nafsu membunuh yang sejak permulaan sudah mengkilik isi hatinya
seketika tak terkendalikan lagi dan memancarlah keluar bagaikan air bah yang menjebolkan
tanggul.
Rasa benci dan dendam masih menyelimuti seluruh benak Hoa Thian-hong, nasehat dari Cu Im
taysu maupun Suma Tiang-cing memang sempat meredakan darahnya yang mendidih, tapi
bukan berarti dapat melenyapkan keseluruhannya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
535
Sekujur tubuhnya masih gemetar keras menahan emosi, pedang mustika boan liong po kiam
berkilauan memancarkan setentetan cahaya yang amat tajam, sinar tersebut mencorong keluar
dan amat menyilaukan mata tiap pendekar, begitu dahsyatnya pancaran hawa lwekang yang
tersalur didalam pedangnya itu sampai lantai loteng bergetar dan berkenyit keras, udara disekitar
gelanggang terasa membeku dan kaku memaksa setiap orang merasa susah untuk bernapas.
Dengan wajah sedih tapi serius kembali Cu Im taysu berkata, “Nak, masih hidupkah nona itu?”
Titik air mata tak kuasa lagi meleleh keluar membasahi pipi anak muda itu, dengan wajah yang
kaku Hoa Thian-hong mengangguk.
“Ia masih hidup, sekarang sedang menjalankan siksaan diatas loteng, suatu siksaan yang tidak
berperikemanusiaan, siksaan yang hanya bisa dilakukan oleh binatang bukan perbuatan seorang
manusia normal!”
Berkernyitlah dahi Cu Im taysu sehabis mendengar jawaban itu, dia lantas berpaling ke arah Kiu
im kancu dan berkata, “Kaucu, dengan memberanikan diri pinceng sekalian ingin memohon
sesuatu kepadamu, apakah engkau bersedia membebaskan nona itu dari segala siksaannya?”
Diam-diam Kiu-im Kaucu menghembuskan nafas lega, ia tahu sesudah jago berbaju pendeta ini
memohon kepadanya, tanpa disadari suasana kaku dan sesak yang semula menyelimuti
gelanggangpun kini sudah melumer kembali, ia tertawa dan menjawab, “Ku Ing-ing merupakan
anak murid Kiu-im-kauw kami, mau kusiksa dia atau mau kubunuh dirinya persoalan ini adalah
persoalan pribadi perkumpulanku, apa sangkut pautnya dengan kalian semua?”
Kelihayan ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong sudah diketahui oleh banyak orang, apalagi
sesudah pedang mustika Boan liong po kiam yang tajamnya luar biasa itu berhasil dirampas
olehnya, keadaan si anak muda itu boleh dibilang ibarat harimau yang tumbuh sayapnya.
Andaikata pemuda itu tetap nekad dan melanjutkan niatnya untuk membantai setiap anggota
Kiu-im-kauw yang ditemuinya, Kiu-im Kaucu percaya bahwa dia tak mampu untuk melindungi
keselamatan anak buahnya, malahan mencegahpun belum tentu mampu.
Oleh sebab itulah, setelah Cu Im taysu dan Suma Tiang-cing berhasil membatalkan niat si anak
muda itu untuk melakukan pembantaian, serta-merta nada ucapannya pun ikut mengalami
perubahan besar, pembicaraannya tidak seketus tadi lagi, malahan jauh lebih lembut dan
kendor….
Cu Im taysu menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang, kemudian ujarnya, “Tak
usah kaucu terangkan, pinceng sendiripun mengetahui bahwa persoalan ini sebenarnya adalah
masalah pribadi perkumpulanmu sendiri, karenanya kami hanya memohon kerelaanmu, kami
bukanlah manu sia-manusia yang tidak mengutamakan soal cengli….!”
“Aku tahu setiap persoalan yang terjadi didunia ini memang tak bisa terlepas dan soal cengli,
sebagai pendekar-pendekar besar yang berjiwa ksatria tentu saja taysu sekalian harus
mengutamakan soal cengli, bukan begitu?”
Kembali Cu Im taysu menghela napas panjang, selang sesaat kemudian dia baru bertanya lagi,
“Kaucu, bila diijinkan ingin sekali pinceng menanyakan satu persoalan lagi….”
“Apa yang hendak kau tanyakan lagi?” sela Kiu-im Kaucu dengan suara lantang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
536
“Sebetulnya kesalahan serta dosa apakah yang telah dilanggar nona Ku, sehingga dia harus
disiksa secara keji?”
Kiu-im Kaucu tersenyum.
“Kusiksa dirinya lantaran dia berani membangkang perintahku serta berkhianat terhadap
perkumpulannya, apakah taysu merasa tidak terima dengan tuduhanku ini?”
***
“OH…. tidak berani, menurut apa yang pinceng ketahui, sudah amat lama nona Ku tersiksa dan
menderita selama dia menyusup ke tubuh perkumpulan Thong-thian-kauw, berbicara
sesungguhnya sudah banyak sekali pahala yang telah dia lakukan demi perkumpulanmu!”
“Siapa berjasa dia mendapat pahala, siapa bersalah dia harus menerima pula hukumannya” tukas
Kiu-im Kaucu sambil tertawa, “Sekalipun keputusan dan tindak tandukku kurang bijaksana atau
kurang adil, aku rasa orang lain tidak berhak untuk mencampurinya, ketahuilah persoalan ini
adalah urusan pribadiku sendiri!”
Sekali lagi Cu Im taysu menghela napas panjang.
“Aaai…. kami semua berhutang budi kepada nona Ku, sekarang setelah jiwanya terancam
bahaya, tentu saja kami semua tak dapat berpeluk tangan balaka menyaksikan ia mati tersiksa,
makanya kami semua mohon kebijaksanaan dari kaucu untuk melepaskan nona Ku dari siksaan
dan memberi sebuah jalan kehidupan baginya!”
“Haahh…. haaahh…. haaah…. meskipun Ku Ing-ing pernah melepaskan budi kepada kalian
semua, toh kalian semua tak pernah melepaskan budi apa-apa kepada perkumpulan Kiu-im-kauw
kami, dan berarti boleh saja aku memberi muka kepadamu, tapi dapat pula kami tak akan
memberi muka kepadamu….!” seru Kiu-im Kaucu sambil tertawa tergelak.
Merah padam selembar wajah Cu Im taysu sesudah mendengar perkataan itu, untuk sesaat
lamanya dia tak tahu apa yang musti dijawab.
Suma Tiang-cing yang mengikuti jalannya perundingan itu, dalam hati kecilnya lantas berpikir,
“Taysu ini terlalu polos dan tak memahami kelicikan serta kebusukan hati orang, kalau dia yang
memimpin perundingan ini sekalipun sepuluh tahun lagi juga tak akan berhasil, tampaknya aku
harus turun tangan sendiri”
Berpikir sampai disitu, dia lantas maju kedepan dan ujarnya kepada Kiu-im Kaucu dengan mata
melotot, “Aku sudah pernah menerima kebaikan dan budi pertolongan dari Ku Ingg ing, itu
berarti bagaimanapun juga aku harus menolong dirinya sampai terlepas dari siksaanmu, kalau
mau melepaskan cepatlah kau sanggupi kalau tidak setuju hayo kita selesaikan saja persoalan ini
diujung senjata!”
“Suma Tiang-cing!” seru tiamcu istana neraka dari samping dengan suara yang ketus, “untuk
menangkan akupun tidak mampu mau apa engkau berlagak sok didepan kaucu kami?”
“Apa susahnya menangkan dirimu?” teriak Suma Tiang-cing dengan gusarnya, “suatu hari aku
pasti akan mencari engkau dan menantang engkau untuk berduel hingga salah satu diantara kita
mampus!”
Tiamcu istana neraka tertawa dingin.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
537
“Heeeh…. heeeh…. heeeh…. sayang pedang mustikaku telah dirampas orang dengan cara yang
memalukan, sedangkan kaucu kamipun tidak sampai merampas pula pedang mustikamu, kalau
bertemu lagi dikemudian hari sudah tentu aku tak bisa menangkan dirimu….”
Pancingan yang dilontarkan Tiamcu dan istana neraka ini segera termakan oleh lawannya, benar
juga Suma Tiang-cing segera berseru sesudah mendengus dingin, “Hmmm! Engkau tak usah
kuatir apa bila kita berjumpa lagi dikemudian hari, Suma Tiang-cing tak akan melayani dirimu
dengan pedang mustika. Hmmm…. hmmm…. jangan kau anggap setelah kugunakan pedang
biasa maka aku tak mampu untuk bereskan jiwa anjing mu!”
Sementara kedua orang itu sedang saling mencaci maki dan ribut, tiba-tiba dari bawah loteng
melayang turun seseorang, dia tak lain adalah Pui Che-giok, sambil memburu ke gelanggang
serunya dengan penuh kegelisahan, “Hoa kongcu!”
“Bagus!” seru Hoa Thian-hong dengan mata melotot, engkau punya keberanian untuk datang
kemari, tak malu nonamu menyayangi engkau selama ini!”
Pui Che-giok melirik sekejap ke arah Kiu-im Kaucu dengan wajah pucat pias seperti mayat,
tampaknya dia merasa jeri dan takut sekali sementara diluar dia menjawab, “Budak diambil nona
setelah nona masak kedalam perkumpulan Thong-thian-kauw, dan berarti budak bukan terhitung
anggota Kiu-im-kauw!”
“Baiklah, engkau berdirilah disamping, bila aku gagal untuk menyelamatkan nonamu, aku
bersumpah pasti akan membalaskan dendam baginya, aku tak akan membiarkan orang-orang
dikolong langit mentertawakan diriku dan menuduh Hoa Thian-hong tak punya rasa tanggung
jawab, tak punya rasa setia kawan, sehingga seorang dayangpun tak bisa menandingi….”
Mendengar ucapan tersebut Pui Che-giok benar-benar mengundurkan diri kesamping
gelanggang, sementara bibirnya bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat
itu dibatalkan.
Jilid 27
Dari gerak-gerik serta sikap cemas dayang tersebut, Hoa Thian-hong dapat menduga pula kalau
dara tersebut hendak melaporkan sesuatu, sesudah tertegun sebentar, akhirnya dia bertanya,
“Ada persoalan apa lagi yang hendak kau sampaikan kepada diriku? Cepatlah katakan!”
“Barusan budak pergi ke kantor cabangnya perkumpulan Sin-kie-pang untuk mencari tahu jejak
kongcu, ada seorang kakek yang bernama Lau Cu cing dengan membawa empat orang kakek tua
yang rata-rata berumur seratus tahun keatas sedang mencari berita kongcu pula ketempat itu,
budak lantas bertanya kepada orang she Lau itu ada urusan apa hendak mencari kongcu, dia
menjawab katanya ada persoalan maha penting yang hendak di bicarakan dengan kongcu, maka
budak lantas membawa mereka semua datang kemari sekarang mereka sedang menanti
kehadiran kongcu diluar kuil!”
Betapa terperanjatnya Hoa Thian-hong sesudah mendengar laporan itu, serunya, “Empat orang
kakek tua berusia seratus tahun keatas datang mencari aku?”
“Emmmm!” Pui Che-giok mengangguk, “rambut mereka telah beruban semua, tapi badannya
masih tegap dan langkahnya masih mantap, rupa-rupanya mereka berilmu semua!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
538
Kiu-im Kaucu yang ikut mendengarkan laporan tersebut ikut merasakan jantungnya berdebar
keras, pikirnya dihati, “Untuk mencari seorang manusia yang berusia delapan puluh tahun saja
sudah sukarnya bukan kepalang, apalagi keempat orang itu bisa hidup mencapai seratus tahun,
malahan kumpul pula menjadi satu, apabila bukan tokoh-tokoh silat yang berilmu tinggi, tak
,ungkin mereka bisa mencapai usia setinggi itu. Heeehh…. heeehh…. setelah anak jadah ini
memperoleh bantuan empat jago lihay, aku kan semakin tak bisa mengganggu dirinya lagi?
Sialan!”
Perlu diketahui, bila seseorang yang berusia seratus tahun keatas berlatih terus ilmu silatnya
dengan tekun dan rajin, maka kelihayan ilmu silat yang dimilikinya boleh dibilang sudah
mencapai tingkat kesempurnaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, apalagi sekaligus
muncul empat orang bersamaan waktunya, tidaklah heran kalau Ku im kaucu dibikin bergidik
hatinya selelah mendengar berita tersebut.
Dengan dahi berkerut Hoa Thian-hong termenung sebentar, kemudian gumannya seorang diri.
“Entah siapakah keempat orang ini? Tang Kwik-siu telah membakar gedung tempat tinggal Lau
Cu cing dan kini keempat orang kakek tua itu datang mencari aku, dus berarti persoalan yarg
hendak mereka bicarakan dengan diriku juga pasti menyangkut masalah percarian harta karun
dibukit Kiu ci san!”
Ketika Kiu-im Kaucu mendengar soal menggali harta dibukit Kiu ci san, jantungnya ikut berdebar
keras sehingga hampir saja ia menjerit kaget saking emosinya, segera ia berpikir dihati.
Masalah sebesar ini kenapa tidak kuketahui barang sedikitpun juga! Aaah…. benar, Tang Kwik-siu
bagaimanapun juga adalah seorang ketua suatu perkumpulan besar, kedudukannya sangat tinggi
dan dia adalah seorang yang menjaga gengsi berbeda dengan Siang Tang Lay yang pergi datang
ibaratnya sukma gentayangan, andaikata tiada suatu persoalan yang penting dan serius, tak
mungkin manusia semacam dia bersedia datang kedaratan Tionggoan!”
Sementara dia masih termenung, Hoa Thian-hong telah berpaling ke arah Cu Im taysu seraya
bertanya.
“Sebagai orang yang lebih muda sudah sepantasnya kalau memberi hormat kepada kaum
angkatan tua, taysu, tolong pergilah ke luar sebentar dan wakililah boanpwe untuk menyambut
kedatangan kakek kakek tua itu!”
Cu Im taysu kelihatan ragu mukanya murung dan keberatan untuk tinggalkan tempat itu, sinar
matanya malahan dialihkan ke wajah Kiu-im Kaucu.
Rupanya ia kuatir sepeninggalnya dari situ, kedua belah pihak terjadi bentrokan lagi sehingga
pertarungan kembali berlangsung bila sampai demikian kejadiannya, tanpa kehadirannya disitu
berarti hanya akan melemahkan posisi pihaknya belaka.
Sebagai seorang jago yang berpengalaman luas, tentu saja Kiu-im Kaucu juga bisa menebak isi
hati orang, tiba-tiba ia menengadah sambil tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…. haaahhhh…. haaahhh…. Hoa Thian-hong, benarkah engkau akan beradu jiwa
denganku?”
“Keadaanku sekarang ibaratnya anak panah diatas busur, bagaimanapun juga panah ini harus
dilepaskan!” sahut sang pemuda sambil menarik mukanya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
539
“Haaahhh…. haaahh…. haaahhh…. kembali Kiu-im Kaucu tertawa terbahak bahak, kalau kulihat
dari pedang bajamu yang sudah tiada, tentunya kitab Kiam keng telah berhasil kau dapatkan
bukan?”
Hoa Thian-hong tertawa dingin.
“Heehhh…. heeehh…. heeehhh…. kitab Kiam keng berada disakuku, cuma sayang tak mungkin
akan kugunakan benda tersebut untuk di tukarkan dengan engkau!”
Kiu-im Kaucu tertawa, “Tentu saja, tentu saja…. tak usah kau katakan, aku juga sudah dapat
menebak suara hatiku….Hmm! Sekalipun ilmu silat yang kau miliki setingkat lebih tinggipun, aku
tak nanti akan jeri apalagi takut kepadamu!”
Setelah berhenti sebentar, dia ulapkan tangannya seraya berkata lebih jauh, “Pergilah dari sini!
Kujamin tak akan mencelakai nyawa Ku Ing-ing, bila isi Kiam keng sudah kau pelajari, maka aku
akan menantang engkau untuk berduel lagi dihadapan para orang gagah dari seluruh kolong
langit, bila dalam pertarungan itu engkau berhasil mengung-guli diriku, Ku Ing-ing akan segera
kuserahkan kembali kepadamu!”
Betapa girangnya Cu Im taysu setelah mendengar perkataan itu, cepat dia menyambung, “Kalau
memang kaucu sudah berjanji begini, itulah lebih bagus lagi, aku percaya sebagai seorang ketua
dari suatu perkumpulan besar, apa yang telah kaucu katakan tak akan disesali kembali, Thianhong!
Hayo kita pergi!”
Hoa Thian-hong sendiri dalam hati kecilnya sedang berpikir, “Kiu-im Kaucu adalah seorang
manusia yang licik dan banyak akalnya, mana ia sudi memberi keuntungan bagiku? Aaai….! Cu
Im taysu memang kelewat jujur orangnya, masa ia belum tahu betapa lihaynya orang ini….?”
Walaupun dia bisa berpikir sampai disitu namun gagal untuk mencari tahu dimanakah letak
maksud dan tujuan Kiu-im Kaucu dengan tindakannya itu, untuk sementara waktu si anak muda
ini jadi serba salah dibuatnya, mau pergi tapi bagaimana? kalau tidak pergi, lantas bagaimana?
Terdengar Pui Che-giok berkata lagi dari sisi gelanggang, “Menerima siksaan api dingin
melelehkan sukma, ibaratnya melubangi batok kepala sambil menyulut lampu langit, bila dileleh
kan selama tujuh hari tujuh malam lamanya korban akan kehabisan tenaga ibaratnya lentera
yang kehabisan minyak, hawa murninya akan banyak terkuras, dan sekalipun bisa hidup diapun
tak ubahnya seperti seorang manusia cacad lainnya!”
Ucapan itu entah ditujukan kepada siapa tapi semua orang bisa menduga bahwa perkataan
tersebut sengaja ditujukan kepada Hoa Thian-hong.
Tiba-tiba Kiu-im Kaucu tertawa nyaring, kemudian ujarnya, “Engkau toh bukan anggota Kiu-imkauw
kami, darimana engkau bisa tahu seluk beluk siksaan ini sedemikian jelasnya?”
Dengan memberanikan diri Pui Che-giok menatap tajam lawannya, lalu menjawab, “Nona yang
memberitahukan kepadaku!”
Kiu-im Kaucu segera tertawa.
“Haaah…. haaahh…. bagus, bagus sekali. Kiranya sedari dulu ia sudah mengetahui betapa
lihaynya siksaan api dingin melelehkan sukma, jadi kalau begitu ia sudah tahu kelihayannya tapi
sengaja melanggar perataran untuk mencobanya sendiri? Bagus, kalau begitu biarlah dia tahu
rasa sekarang.”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
540
Mendengar kata-kata sudah tahu tapi sengaja melanggar sendiri sakit rasanya hati Hoa Thianhong,
ia tahu kesemuanya ini adalah lantaran dia, karena mesalah dirinya membuat Giok Teng
Hujin harus menerima siksaan lahir maupun batin…. begitu sakit hatinya serasa bagaikan diirisiris
dengan pisau.
“Bebaskan dia dari siksaan tersebut!” teriak pemuda itu dengan penuh kebencian “bila engkau
bersedia membebaskan dia, aku pun tak akan melatih ilmu dalam kitab Kiam keng, setiap saat
akan kunantikan tantanganmu untuk melangsungkan duel satu lawan satu, bila engkau berhasil
menangkan diriku, kitab Kiam keng akan kuserahkan kepadamu sebaliknya kalau engkau kalah
maka nona Giok Teng Hujin harus engkau lepaskan!”
“Perkataan seorang kuncu berat bagaikan bukit, sampai waktunya aku pasti akan menantikan
kedatanganmu untuk melangsungkan duel tersebut, sekarang juga akan kubebaskan dirinya dari
siksaan tersebut.”
Jawaban ini terlalu cepat dan sama sekali diluar dugaan, untuk sesaat lamanya Hoa Thian-hong
dibikin tertegun dan tak mampu berkata-kata.
Dia cukup mengetahui sampai dimanakah kekuatan ilmu silat yang dimilikinya sekarang, pada
hakekatnya ia tiada keyakinan untuk menangkan lawannya, dan sekarang ternyata pihak lawan
menyanggupi tantangannya dengan begitu jelas, itu berarti bila ia tiada memiliki suatu
kepandaian yang bisa diandalkan keampuhannya, tak mungkin perempuan itu begitu cepat
memberikan keputusannya.
Sementara itu Cu Im taysu kembali sudah berkata, “Empat orang kakek tua itu sedang menanti
kedatangan kita diluar kuil, mari kita sambut kedatangannya!”
Sebenarnya Hoa Thian-hong ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri bagai mana Kiu-im
Kaucu membatalkan siksaan yang menimpa Ku Ing-ing alias Giok Teng Hujin, akan tetapi setelah
diajak pergi oleh Cu Im taystu terpaksa ia manggut dan siap berlalu dari situ.
Tiba-tiba Pui Che-giok maju kedepan, dengan muka rada takut-takut ia berkata, “Kongcu, aku….
aku ingin tetap tinggal di sini untuk melayani nona”
Hoa Thian-hong memang merasa ada baiknya kalau dayang itu tetap tinggal disana untuk
melayani nonanya, tapi diapun kuatir kalau Kiu-im Kaucu berbuat tidak senonoh atas diri dayang
ini, mengingat Pui Che-giok secara terangkan berani melawan ketua tersebut, mendengar
permintaan itu, bukannya menjawab sorot mata yang setajam sembilu malahan dialihkan ke arah
ketua perkumpulan Kiu-im-kauw.
Sebagai seorang jago kawakan yang berpengalaman luas, tentu saja Kiu-im-kauwcu dapat
menangkap maksud hati lawannya, dia segera tertawa tergelak dengan nyaring
Haaah…. haaaah…. haaahh…. majikan susah anjing ikut susah, majikan gembira anjingpun ikut
gembira, jangan kau anggap aku adalah seorang manusia yang jiwanya picik, tak mungkin
kususahkan seorang dayang yang sama sekali tak ada artinya bagi pandanganku, biarkan saja ia
tinggal disini untuk menemani majikannya….”
Begitu Kiu-im Kaucu telah memberikan persetujuannya, Pui Che-giok sambil membopong Soat-ji
lantas mengundurkan diri ke samping dengan mulut membungkam, ini bukan dikarenakan Kiu-im
Kaucu menunjukkan sikapnya yang terbuka maka ia berterima kasih kepadanya.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
541
Cu Im taysu dan Suma Tiang-cing yang mengikuti pula kejadian tersebut, dalam hati kecilnya
ikut membatin, “Bila Ku Ing-ing tidak mempunyai kelebihan sebagai seorang majikan yang baik,
tidak mungkin dayangnya menunjukkan kesetiaan yang luar biasa, aaai! Memang tak bisa
disalahkan kalau budak ini bersedia mengorbankan nyawanya untuk merawat majikannya, bila
dihari biasapun majikannya bersikap luar biasa puka kepada dayangnya”
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong sedang mengamati pedang mustika Boan liong po kiam yang
berada ditangannya, tiba-tiba ia melemparkan senjata itu ke arah Tiamcu istana neraka,
kemudian memungut kembali pedang sendiri, setelah itu tanpa mengucapkan sepatah katapun
dia berlalu dari sana,
Co Im taysu dan Suma Tiang-cing sendiri pun tidak banyak bicara, mereka segera berlalu pula
mengikuti dibelakang si anak muda itu.
Sungguh cepat gerakan tubuh tiga orang jago tersebut, selang sesaat kemudian mereka sudah
tiba diluar kuil.
Benar juga diseberang jalan dekat kuil It goan koan berdirilah empat orang kakek tua berambut
putih. Lao Cu cing berdiri di samping dan sedang bercakap-cakap dengan badan setengah
dibungkukan tanda menghormat.
Walaupun tetap utuh dan putih mulus, badannya gagah dan langkahnya tegap, sedikitpun tidak
kelihatan ketuaannya ataupun loyo karena dimakan usia.
Jenggot mereka rata-rata sepanjang dada, yang terpendek pun sadah mencapai dua depa,
membuat siapa pun yang memandang keempat orang itu, segera timbullah perasaan
menghormat.
Demikian pula keadaannya dengan Hoa Thian-hong, Cu Im taysu serta Suma Tiang-cing, tanpa
disadari timbul rasa menghormat dalam hati kecil mereka, dengan langkah yang menghormat
mereka maju menghampirinya.
Hoa Thian-hong berjalan dipaling depan, lantaran dialah yang dicari oleh keempat orang kakek
tua itu, dari kejauhan ia telah menjura kepada Lau Cu cing seraya berkata, “Berhubung ada
urusan penting, boanpwee telah datang terlambat, mohon para lojin dan wangwe sekalian sudi
memberi maaf yang sebesar besarnya.”
Lau Cu cing segara balas memberi hormat.
“Kongcu tak perlu sungkan-sungkan!” sahutnya.
Kemudian dia memperkenalkan kakek-kakek tua itu urut dengan tempat mereka berdiri, sambil
menunjuk ke arah samping kiri dia berkata, Kakek tua yang ini adalah kong co (ayahnya kakek)
ku, sedang orang tua ini dari marga Gan, orang tua ini dari marga Li, sedang orang tua ini dari
marga Po yang.
Buru-buru Hoa Thian-hong maju kedepan sambil memberi hormat dalam-dalam, katanya, “Aku
yang muda Hoa Thian-hong, menjumpai para orang tua sekalian!”
“Pinceng Cu Im, menjumpai orang tua berempat kata Cu Im taysu pula seraya memberi hormat”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
542
Sedang Suma Tiang-cing sambil maju memberi hormat katanya, “Aku yang muda Suma Tiangcing
menjumpai cianpwe berempat!”
Setelah berhadapan muka dengan keempat orang kakek tua itu sekaligus, beberapa orang jago
ini membahasakan dirinya dengan kedudukan yang rendah, sebab bicara soal tingkat mereka
kalah tingkat sampai empat generasi.
Lau Cu cing sendiri lantas memperkenalkan pula dua orang jago itu kepada keempat kakek tua
tadi, “Taysu ini adalah seorang hiap kek (jago tua) dari golongan kaum beragama, sedang Suma
tayhiap juga merupakan enghiong diantara sekalian pendekar, mereka adalah pendekarpendekar
sejati yang disanjung dan dihormati umat persilatan.”
Buru-buru Cu Im taysu serta Suma Tiang-cing mengucapkan beberapa patah kata merendah.
Senyum ramah selalu menghiasi wajah ke empat orang kakek tua itu, selesai berkenalan, Kong
co dari Lau Cu cing itu lantas tertawa tergelak seraya berkata, “Kalian semua tak usah sungkansungkan,
Haah…. haaah…. haaahh bila ada tempat untuk berbicara, kami berempat ada urusan
penting hendak dibicarakan dengan diri Hoa kongcu!”
Sebelum Hoa Thian-hong sempat menjawab, Cu Im taysu telah berseru lebih dahulu,
“Tempatnya ada dan tak jauh dari tempat ini, biarlah siau ceng yang membawa jalan.”
Habis berkata dia lantas berjalan lebih dahulu meninggalkan tempat tersebut.
Jarak antara kuil It goan koan dengan pintu kota timur memang sangat dekat, Cu Im taysu
segera membawa beberapa orang itu menuju keluar kota.
Walaupun usianya sudah menanjak lebih dari satu abad, ternyata gerak-gerik keempat orang
kakek tua itu masih lincah dan enteng, Lau Cu cing sendiripun pernah berlatih ilmu silat maka
gerak langkahnya tegap lagi cepat, dengan begitu perjalanan pun bisa dilakukan dengan sangat
cepat.
Selang sesaat kemudian, sampailah mereka disebuah kuil kecil.
Kuil kecil itu letaknya sendirian diluar kota, penghuni kuil itu cuma seorang pendeta tua yang
bergelar It piau, dia adalah seorang sahabat karib Cu Im taysu selama banyak tahun.
Setiap kali Cu Im taysu berkunjung ke kota Cho ciu, dia selalu menginap dalam kuil ini, maka
setibanya didepan pintu kuil, ia lantas membuka pintu depan dan mempersilahkan semua orang
untuk masuk keruang tengah.
Ketika fajar baru saja menyingsing, It piau taysu baru saja menyelesaikan doa paginya, ketika
mendengar suara langkah manusia dia lantas bangkit berdiri dari kursi bantalnya.
Cepat Cu Im taysu menjura seraya berkata, “Maaf, kembali Cu Im akan mengganggu ketenangan
suheng untuk beberapa waktu.”
IT piau hweesio balas memberi hormat, bibirnya bergerak sedikit tapi tak sepatah katapun yang
diucapkan, ia lantas mengundurkan diri dari ruangan tersebut.
Di belakang ruang kuil tersebut merupakan dua buah kamar kecil, yang satu dipakai untuk
tempat tinggal It piau hweesio, sedangkan yang lain biasanya ditempati Cu Im taysu.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
543
Ketika tiba didepan pintu, It piau hwesio memberi hormat kepada sekalian tamunya, ketika
semua orang sudah masuk kedalam ruangan, hwesio itu membawa sebuah kasur duduknya dan
masuk kedalam.
Menunggu para tamunya telah duduk semua, Cu Im taysu baru berkata sambil tertawa, “It piau
suheng adalah seorang padri yang tuli lagipula bisu, dia bukan orang persilatan, maka bila kalian
ada urusan yang hendak dibicarakan, utarakan saja dengan blak-biakan, sebab sekalipun kita
undang kedatangannya kemari, belum tentu ia bersedia untuk mendengarkan!”
Hoa Thian-hong alihkan sinar matanya keatas wajah Lan Cu cing serta keempat orang kakek tua
itu, kemudian dengan serius ia bertanya, “Entah ada persoalan apakah cianpwe berempat datang
mencari diriku yang muda ini?”
Kakek Po yang memandang sekejap ke arah Liu Cu cing, ruparya kekek ini menyuruh dia untuk
berbicara lebih dahulu.
Lau Cu cing mengangguk, maka diapun berkata, “Baiklah, ceritaku kumulai dari peristiwa yang
terjadi kemarin malam!”
Dari mulut Hoa Thian-hong, baik Cu Im taysu maupun Suma Tiang-cing telah mengetahui kalau
rumah kediaman Lau Cu sing telah terbakar, sedang dewa yang suka pelancongan Cu Thong
meninggalkan surat yang memerintahkan Hoa Thian-hong agar segera berangkat menuju kebukit
Kiu ci san.
Semenjak menghadapi peristiwa yang serba membingungkan ini, mereka bertiga sama-sama
ingin mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, malahan beberapa kali mereka hendak
bertanya langsung kepada Lau Cu cing, tapi setiap kali diurungkan niatnya itu maka ketika Lau
Cu cing akan menceritakan sendiri peristiwa yang telah terjadi, mereka segera pasang telinga
baik-baik.
Dengan suara perlahan Lau Cu cing mulai bercerita, “Tengah malam kemarin, lima orang jago
silat berbaju kuning tiba-tiba menyerbu masuk kedalam rumahku, mereka berkata akan
menjumpai kongco ku yang masih hidup. Ayahku dan kakekku sudah lama meninggal dunia,
sedangkan kongco ku masih sehat wal’afiat dan hidup digunung Huang-san, sudah enam puluh
tahun lamanya tak pernah pulang rumah barang sekali pun, sedangkan kami dari buyut buyutnya
secara teratur datang berkunjung kebukit Huang-san untuk membayanginya, oleh sebab Kong cu
berpesan agar kejadian ini selalu dira-hasiakan maka tetangga tetangga kami tak seorangpun
yang mengetahui akan kejadian ini”
Ia berhenti sebentar, kemudian sambungnya lebih jauh, “Kelima orang manusia berbaju kuning
itu terdiri dari empat laki laki dan seorang perempuan, tiga orang diantaranya bermuka jelek
sekali, sedangkan pria yang masih muda dan gadis yang masih kecil itu berwajah bagus dan
menarik, terutama yang perempuan cantiknya bak bidadari dari kahyangan akhirnya aku tahu
kalau dia Pek Kun-gie putri ketua dari Sin-kie-pang. Kedatangan mereka amat garang dan kasar,
katanya jejak kongcu kami akan dicari sampai ketemu terutama Pek Kun-gie, ia selalu
menyinggung soal harta karun, katanya kalau aku tidak memberikan pengakuannya maka
seluruh keluarga kami akan dibantai sampai habis. Rupanya kakek tua yang menjadi pemimpin
rombongan itu kuatir bila rahasianya terbongkar semua, jalan darahnya segera ditotok, ketika
itulah Pek Kun-gie tak dapat berbicara lagi”
“Jelas dia mempunyai maksud dan tujuan lain, tak mungkin dara itu benar-benar akan
melakukan kejahatan” sela Hoa Thian-hong dengan cepat.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
544
Lau Cu cing tidak memberikan tanggapannya, kembali dia melanjutkan penuturannya.
“Sepanjang hidup cayhe hanya tahu ber kat makan buah dewa yang tak ternilai harganya, maka
Kongco kami bisa hidup sampai lebih dari saiu abad, aku sama sekali tidak tahu menahu tentang
soal harta karun, apa lagi setelah kulihat kedatangan kelima orang itu tidak mengandung maksud
baik, lebih lebih tak berani kukatakan kalau Kong co kami hidup dibukit Huang-san. Ketika itulah
tiba-tiba Pek Kun-gie berkata “Aku lihat keempat orang itu sudah….”
Kata-kata berikutnya tidak dilanjutkan, tiba-tiba saja orang she Lau itu membungkam.
Tentu saja Hoa Thian-hong sekalian tahu bahwa kata selanjutnya tentulah kata mati, Lau Cu cing
tak berani melanjutkan kata- katanya oleh karena menyangkut kong co serta teman-temannya.
Selang sesaat kemudian, ia baru meneruskan kata-katanya lebih jauh, “Betapa gusar dan
mendongkolnya hatiku setelah mendengar gadis itu menyumpahi kongco ku, rasa marah dan tak
senang hati ku ini segera terpancar diatas wajahku, ternyata kakek yang menjadi pemimpin
rombongan itu cukup cerdas dan cekatan, dari perubahan wajahku dia lantas tertawa terbahakbahak,
kemudian katanya kepada empat orang lainnya, ‘Cousu ya sangat cerdas dan
perhitungannya tak pernah meleset, kalau tidak lantaran kecerdikannya ini tak mungkin beliau
berhasil mendapatkan sebutir mutiara Lip cu dan sejilid kitab pusaka Thian hua ca ki diantara
beribu-ribu orang pencari harta.’ Heemmm…. heeehmmm…. ia telah memperhitungkan bahwa
keempat orang laki laki itu akan hidup selama seratus lima puluh tahun lamanya, tak mungkin
keempat orang itu bisa cepat mati!”
Terlanjur mengatakan kata mati, air muka Lau Cu cing segera berubah hebat dan menunjukkan
sikap gugup dan perasaan tak tenang.
Hoa Thian-hong bertiga cuma bisa saling berpandangan dengan mulut melongo, beribu-ribu
orang datang mencari harta karun, peristiwa itu pastilah suatu peristiwa besar yang pernah
menggemparkan seluruh kolong langit, bila cuma berita kosong belaka mereka belum tentu akan
percaya, tapi sekarang empat kakek tua berusia seabad lebih yang pernah mengalami sendiri
peristiwa tersebut duduk dihadapan mereka, mau tak mau terpaksa ketiga orang itu harus
mempercayainya juga.
Membayangkan kembali peristiwa yang terjadi dimasa lampau, tak kuasa lagi Cu Im taysu
bertanya, “Apakah kitab pusaka Thian hua Ci ki termasuk sebagai suatu kitab pusaka ilmu silat?”
Tapi setelah perkataan itu dilontarkan ke luar, padri ini baru merasa bahwa ia sudah terlanjur
bicara yang tidak senonoh, buru-buru sambungnya lagi.
“Pinceng tidak berniat serakah atau ingin mendapatkannya, pertanyaanku hanya lantaran rasa
ingin tahu belaka!”
Tiba-tiba ia merasa tidak tenang hatinya, cepat tambahnya lagi, “Omintohud, rasa ingin tahu
adalah perbuatan bodoh dan omong kosong, dosa…. dosa….”
Semua orang merasa geli menyaksikan tingkah laku padri ini, tapi teringat betapa serius dan
berusahanya padri itu untuk mengekang diri, timbul pula rasa hormat dihati mereka, maka tak
seorangpun berani tertawa.
Tiba-tiba Po-yang Lojin berkata, Thian hua adalah nama manusia, dia merupakan murid paling
kecil dari Kiu-ci Sinkun, orang ini she Cho dan waktu mati baru berusia dua puluh tahunan, tapi
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
545
ilmu silatnya sangat tinggi, ilmu kepandaiannya yang dipelajarinya adalah jurus-jurus paling
ampuh dari pelbagai perguruan dan partai besar yang ada didunia.
“Dari pelbagai perguruan dan partai besar? sela Suma Tiang-cing dengan hati terperanjat.
“Betul, ilmu silatnya meliputi pelbagai perguruan dan partai besar” sahut Po-yang Lojin, “Cho
Thian-hua berbakat bagus dan berotak cerdik, tapi lantaran ilmu silat yang dipelajarinya terlalu
banyak, terlalu ruwet dan tak mungkin baginya untuk mengingat semua intisari serta
kelihayannya selain itu diapun mempunyai tujuan tertentu, maka setiap kali setelah mempelajari
sejenis ilmu silat, diam-diam ia membuat catatan sendiri dalam sejilid kitab, lama kelamaan
terjadilah sebuah catatan Ilmu silat yang kemudian diberi nama Thian hua ca ki!”
Sekarang Hoa Thian-hong baru paham dengan duduknya persoalan, ia lantas berseru, “Tak
beran kalau ilmu silat yang dimiliki Tang Kwik-siu amat banyak ragamnya, macam gado-gado,
tapi semuanya tidak sempurna dan tidak matang, rupanya ia belajar menurut catatan kitab Thian
hua ca ki tersebut….! sekarang aku baru mengerti rahasia ini!”
“Sampai dimanakah macam ragamnya kepandaian silat orang itu?” tanya Suma Tiang-cing.
Ia pandai ilmu pukulan Tong pit sin kin ilmu iblis hua kut mo ciang, ilmu sakti kim kong ciat eng.
ilmu jari Yu seng sin ci dan aneka ragam lagi banyaknya.
Sepasang mata Sama Tiang cing melotot besar karena tertegun, serunya kemudian, Waah….
waah…. gado-gado, benar-benar ilmu gado-gado. Lo wangwe! Silaukan kau lanjut kan
penuturanmu.
Lau Cu cing mengangguk.
Setelah kupikir-pikir, segeralah kurasakan bahwa duduk persoalan nya amat rumit.
“Cu Im suheng!” tiba-tiba terdengar It piau hwesio memanggil dari arah dapur.
Cu Im taysu ingin mendengarkan cerita dari Lau Cau cing, maka dia hanya mengiakan belaka,
apa mau dikata It piau hwesio kembali memanggil lagi dengan lantang, terpaksa Cu Im taysu
bertanya dengan suara setengah berteriak, “Suheng, ada urusan apa engkan panggil diriku?”
“Kalian sedang membicarakan soal harta karun, aku tak berani pergi kesitu!” seru It piau hwesio.
Tertegun Hoa Tbian hong setelah mendengar ucapan tersebut, segera katanya, “Biar aku yang
muda pergi kesana!”
Dia lantas masuk kedapur, selang sesaat kemudian pemuda itu sudah muncul kembali sambil
membawa senampan nasi dan sayur mayur yang tidak berjiwa, katanya, “Lo suhu itu menutupi
telinganya sendiri dengan kain, tak heran kalau pembicaraan kita tak terdengar olehnya”
“Omintohud!” seru Cu Im taysu sambil tertawa, “It piau suheng baru benar-benar terhitung
sebagai seorang padri yang saleh, kalau aku, haaah…. hahh…. haahh…. aku pantas disebut
bwesio sontoloyo, haha haha.”
Hoa Thian-hong ikut tertawa, dia lantas menghidangkan nasi dengan sayur mayur itu kedepan
semua orang.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
546
Begitulah, sambil bersantap semua orang mendengarkan Lau Cu cing melanjutkan kembali
penuturannya, “Aku tak berani memberitahukan tempat tinggal engkong co ku kepada mereka
namun tak mungkin aku membungkam dalam seribu bahasa, sesudah putar otak akhirnya
kujawab bahwa engkong co ku beserta ketiga orang rekannya suka berpesiar ketempat-tempat
kenamaan, susah untuk menemukan jejak mereka, tapi aku bersedia untuk menemukan kembali
jejaknya. Rupanya….Tang Kwik-siu tahu bahwa tiada gunanya menggunakan kekerasan atas
diriku dan lagi merekapun tidak punya waktu untuk menungga terlalu lama, akhirnya dia panggil
muridnya yang membawa sebuah hiolo warna merah darah untuk maju kedepan, dari dalam
hiolo tersebut Tang Kwik-siu menangkap seekor kelabang aneh yang tubuhnya berbintik-bintik
hitam, bajuku dising-singkan lalu kelabang itu dibiarkan menggigit pergelangan tangan kiriku.
Dalam keadaan demikian, sekalipun kegusaran memuncak dalam benakku, pada hakekatnya aku
tak punya kemampuan untuk memberi perlawanan apa-apa”
“Sungguh tak ku nyana Tang Kwik-siu begitu keji dan bejat moralnya, bila sampai bertemu lagi
lain waktu, pasti akan kusuruh ia rasakan kelihayanku!” kata Hoa Thian-hong dengan gusar.
Lau Cu cing melirik sekejap ke arah si anak muda itu, kemudian ujarnya lebih jauh.
“Setelah Tang Kwik-siu membiarkan kelabangnya menggigit perge-langan tanganku, sambil
menyingsingkan bajunya Pek Kun-gie mendadak berkata sambil tertawa, “Hahaha Lau Cu cing,
akupun pernah merasakan bagaimana enaknya dipagut kelabang, tampaknya kita memang
senasib sependeritaan, ba gaimana kalau kita angkat saudara saja, engkau jadi kakak dan aku
jadi adik!” pada mulanya aku mengira dara itu cuma berolok-olok, tapi setelah pergelangan
tangan kirinya diperlihatkan kepadaku, barulah kuketahui bahwa dia memang mengalami nasib
yang sama seperti akui”
Bicara sampai disitu, dia lantas menyingsingkan ujung bajunya dan memperlihatkan bekas
gigitan kelabang itu kepada Hoa Thian-hong.
Pada pergelangan tangan kirinya terdapat dua titik merah sebesar kacang hijau yang menongol
keluar, sedang disisi bengkak itu terdapat bekas gigitan binatang yang melekuk kedalam, ia tahu
bahwa ucapan orang itu tak salah.
Terbayang kembali bagaikan ngerinya Pek Kun-gie bila digigit kelabang, ia merasa tak tega
bercampur menguatirkan keselamatan gadis itu.
Setelah menurunkan kembali ujung bajunya, Lau Cu cing melan-jutkan kembali kata-katanya,
“Tang Kwik-siu berkata kepadaku bahwa racun keji kelabang itu sudah menyusup ke dalam
darahku, empat puluh sembilan hari kemudian racun itu baru mulai bekerja, dan bila tidak diobati
maka aku akan tewas dalam keadaan mengerikan, katanya kecuali obat pemunahnya didunia ini
tiada obat lain yang bisa mengobati racun tersebut!”
Ia berhenti sebentar untuk tukar napas, setelah itu sambungnya lebih jauh, “Ia memerintahkan
cayhe untuk menemukan jejak engkong co ku atau salah seorang diantara empat kakek tua yang
dimaksudkan, kemudian empat puluh hari kemudian berangkat ke kota karesidenan Sam kang di
propinsi Kwang-se untuk bertemu dengannya, bila aku tidak datang maka jiwaku akan melayang,
bahkan bila urusannya telah selesai maka dia akan membantai pula keluargaku!”
“Bagaimana jawaban lo wangwe?” tanya Suma Tiang-cing.
“Aku hanya mengiakan belaka, tidak ku berikan jawaban yang tegas dan memastikan!”
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
547
“Kalau memang begitu, tidak pantas kalau mereka lepaskan api dan membakar rumah tinggal lo
wangwe!” kata Hoa Thian-hong.
“Api itu bukan dilepaskan mereka, tapi Pek Kun-gie yang membakar rumahku malahan diapun
hendak mencelakai pula jiwa anak istriku!” Liu Cu cing menerangkan dengan tertawa.
“Kurang ajar, keji amat perbuatannya!” bentak Hoa Thian-hong dengan penuh kegusaran.
Tampaknya Lau Cu cing sudah mengetahui kalau Hoa Thian-hong mempunyai hubungan
istimewa dengan Pek Kun-gie, ia lantas tersenyum dan berkata lagi, “Nona Pek berkata begini
kepadaku, “Lau Cu cing, kita toh sudah angkat saudara sepantasnya kalau kuberi tanda mata
atas peristiwa ini….!”
Memang lihay sekali cara nona itu melepaskan api, belum sempat kutangkap maksud katakatanya,
dia sudah melepaskan segulung bubuk obat keatas lampu lentera, diiringi suara ledakan
besar api segera menjilat ruangan.
Tampaknya Tang Kwik-siu ada maksud untuk memadamkan api tersebut, tapi tak sempat, ia
hanya berdiri termangu.
Berbeda dengan Pek Kun-gie, ia kelihatan bangga sekali, sambil menuding kepadaku, katanya
lagi, “Engkau tak usah sakit hati bagaimanapun juga engkau toh tak akan bisa temukan jejak
engkong co mu, sekalipun engkau berhasil temukan orangnya, cepat atau lambat toh tetap mati,
kelabang itu merupakan binatang paling keji dikolong langit, sekalipun orang yang digigit diberi
obat pemunah, diapun cuma bisa bertahan hidup selama setengah tahun belaka!”
Mendengar ucapan tersebut, Tang Kwik-siu jadi marah dan mencaci maki tapi Pek Kun-gie juga
berteriak-teriak keras.
“Apa yang dia jeritkan?” tanya Hoa Thian-hong dengan kemarahan masih berkobar dalam
benaknya.
Nona Pek berteriak begini, “Kita sudah berjanji bahwa aku tak akan melarikan diri, tak akan
membocorkan rahasia indentitasku, tak akan membongkar rahasia, toh tak pernah dalam
perjanjian itu melarang aku bunuh orang dan lepaskan api? Engkau mengaku sebagai seorang
cikal bakal suatu perguruan besar, kenapa ucapanmu tidak bisa dipercaya, kenapa perbuatanmu
tak pegang janji?”
Berbicara sampai disitu, tiba-tiba nona Pek ayun telapak tangannya hendak menghajar anakku
paling kecil, serangannya bukan ma in-main tapi suatu serangan yang amat ganas, untungnya
Tang Kwik-siu bertindak cukup cekatan, ia berbasil menangkap nona Pek sehingga terhindarlah
anakku dari kematian!”
Mendengar sampai disitu, dengan dahi berkerut Suma Tiang-cing segera berkata, “Rupanya
semua kelembutan dan kehalusan Pek Kun-gie cuma pura-pura belaka…. Hmmm! Kalau memang
begitu, mulai hari ini Thian-hong tak boleh memperdulikan dirinya lagi”
Suma Tiang-cing adalah saudara angkat dari Hoa Goan-siu, berbicara soal hubungan maka
kecuali ibunya boleh dibilang enciknya ini merupakan orang yang paling dekat hubungannya
dengan pemuda itu.
Justru oleh karena adanya hubungan yang sangat erat, Suma Tiang-cing berani mengutarakan
perintahnya yang amat tegas.
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
548
Hoa Thian-hong sebagai angkatan yang lebih rendah, tentu saja tak berani membangkang
perintahnya itu, Tercekat hati Thian-hong setelah mendengar perkataan itu, tapi iapun tidak
berhasil menemukan alasan yang tepat untuk menangkis perintah tadi, terpaksa dengan kepala
tertunduk dia mengiakan barulang tali.
Sekalipun begitu, rasa sedih dan murung sempat juga meliatas diatas wajahnya.
Lau Cu cing sendiri, diam-diampun berpikir, Nama besar Hoa Thian-hong telah menggetarkan
seluruh kolong langit, dan lagi dia masih muda, sepantasnya kalau anak muda berjiwa panas dan
mudah jadi sombong atau jumawa, tapi kenyataannya dia tetap sederhana dan penurut, kejadian
ini benar-benar luar biasa sekali.
Perlu diketahui, walaupun ilmu silat dan kesuksesan berusaha dapat membuat orang menaruh
hormat, tapi masih ada bagian lain yang tidak menghormati ataupun mengaguminnya, tapi ada
sebagian orang lantaran wataknya mulia dan berbudi luhur maka bukan saja orang banyak yang
mengaguminya, malahan jumlah orang yang menaruh rasa kagum kadangkala jauh lebih besar
dan banyak.
Begitu pula halnya dengan Lau Cu cing kalau Hoa Thian-hong hanya hebat dalam ilmu silat dan
tinggi kedudukannya dalam dunia persilatan, belum tentu dia akan mengaguminya, tapi justru
karena wataknya yang halus budi dan jujur ia jadi amat kagum.
Tiba-tiba dia menengadah dan tertawa terbahak-bahak, kemudian katanya pula.
Hoa kongcu, bicara sejujurnya, ketika kemarin malam aku lihat engkau berada serombongan
dengan orang-orang Sin-kie-pang, timbul perasaan tak senang dihatiku, karenanya meskipun aku
mempunyai kesulitan, rahasia tersebut tidak sampai kubocorkan dihadapanmu apalagi setelah
kuketahui bahwa hubunganmu dengan nona Pek sangat akrab, semakin besar rasa antipatiku
yang muncul dalam hatiku.
***
MERAH padam selembar wajah Hoa Thian-hong karena jengah, buru-buru katanya.
Lo wangwe, boanpwe bukanlah manusia yang tak tahu bagaimana menyayangi diri sendiri, akan
tetapi pada hakekatnya banyak kejadian yang berada dalam dunia ini yang memaksa orang tak
mampu mengendalikan diri, kendatipun harus disertai dengan pengorbanan yang besar, tapi mau
tak mau perbuatan itu harua dilakukan juga, boanpwee sudah berusaha untuk bergerak terus
lebih keatas, apa daya kemampuanku memang terbatas, akhirnya toh tetap terjerumus kembali
menurut aliran perubahan.
Cepat Lau Cu cing ulapkan tangannya.
“Kongcu tak usah terlalu merasa rendah diri, aku sudah memahami watak serta perangai kongcu,
akupun bisa memahami setiap perbuatan yang kau lakukan pasti didasari oleh alasan yang kuat,
tak heran ka lau aku jadi salah paham karena tak tahu duduk persoalan yang sebenarnya”
Tiba-tiba Suma Tiang-cing ikut menghela napas panjang dan berkata dengan lirih, “Aaai….
namaku Kiu mia kiam kek (jago pedang sembilan jiwa) kudapatkan dengan lumuran darah, siapa
yang tidak tahu kalau aku Suma Tiang-cing adalah laki-laki berhati keras, tapi toh hari ini aku
harus mengadu jiwa lantaran ingin menolong jiwa seorang gadis, aaai….! Mungkin inilah yang
dinamakan apa boleh buat bila keadaan sudah begitu…. heeh heehh heehh mendingan kalau
Grafity, http://mygrafity.wordpress.com
549
orang lain tahu akan duduk persoalannya kenapa aku sampai adu jiwa ka-rena seorang gadis,
bila orang itu tak tahu duduknya perkara bukankah mereka juga akan menaruh perasaan salah
paham kepadaku?”
Berbicara sampai disini, ia lantas berpaling kembali ke arah Hoa Thian-hong seraya berkata lebih
jauh, “Aku segan untuk mencampuri urusanmu dengan budak dari keluarga Pek, mau bagai
mana terserah pada kemauanmu sendiri….!”
Tertegun Hoa Thian-hong sesudah mendengar perkataan itu, tapi diam-diam diapun bersyukur
karena ia bebas dari ikatan yang memberatkan pikirannya, walaupun begitu pemuda itu tak
dapat menunjukkan rasa girangnya, karena tanpa sadar soal Pek Kun-gie dan Giok Teng Hujin
berbarengan berkecamuk dalam benaknya.
Tiba-tiba terdengar Lau Ca cing tertawa nyaring, lalu berkata, “Hoa kongcu, sekarang apakah
engkau sudah dapat menduga apa sebabnya Pek Kun-gie membakar rumahku dan melukai
cucuku?”
“Oou….! Kenapa?” seru Hoa Thian-hong dengan muka tertegun.
Cu Im taysu adalah seorang padri yang berbudi luhur, dia ingin sekali membuat semua orang
yang ada didunia ini jadi orang baik semua, dari pembicaraan tersebut segera diketahui olehnya
bahwa dibalik pertanyaan itu tentu ada penjelasan lebih jauh, segera selanya, “Sekalipun Pek
Kun-gie adalah putri Pek Siau-thian, tapi ia pribadi sebenarnya tidak bernama jelek, apalagi
setelah menjadi sahabat Thian-hong, wataknya pasti banyak mengalami perubahan, Kalau toh
dia bisa melakukan perbuatan seperti membakar rumah, membunuh orang, sudah pasti dibalik
kesemuanya itu dia mempunyai maksud serta tujuan tertentu…. bukan begitu?”
Lau Cu cing tersenyum.
“Tadi aku masih belum bisa memecahkan persoalan ini tapi barusan tiba-tiba dapat kupahami
mengapa nona Pek sampai berbuat demikian, sudah pasti ia sengaja membakar rumahku dan
ingin membunuh cucuku dengan tujuan untuk merangsang aku mengharapkan aku sangat
membenci kepada mereka, asalkan aku telah menaruh rasa benci kepada mereka, sudah tentu
akupun tak akan tunduk oleh ancaman Tang Kwik-siu atau dengan perkataan lain dia bermaksud
untuk menggagalkan rencana Tang Kwik-siu untuk mencari harta karun”
Cu Im taysu segera bertepuk tangan sambil tertawa.
“Haaah…. haaah…. haaahh…. benar, perkataan ini memang cocok sekali, tak nyana nona Pek
sangat cerdik cuma…. perbuatannya membakar rumah kelewat ganas, apalagi ingin melukai jiwa
orang lain, tindakan semacam ini tidak dibetulkan, untung saja tak ada yang sampai korban jiwa,
Thian-hong kalau lain kali bertemu kembali, engkau harus baik baik memperingatkan dirinya!”
Merah padam wajah Thian-hong karena malu, dengan perasaan kikuk dia lantas mengangguk.
Setelah itu baru ujarnya lagi kepada Lau Cu cing, “Pek hujin dari perkumpulan Sin-kie-pang
adalah seorang pemimpin yang bijaksana, bila bertemu nanti boanpwe akan minta kepadanya
untuk mengganti kerugian yang telah wangwe derita, boanpwe tanggung Pek hujin tak akan
menolak!”
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh…. meskipun aku bukan seorang milyuner, tapi kalau cuma
sebuah rumah gedung masih tak menjadi beban pemikiranku, biarlah maksud baik Hoa kongcu
kuterima didalam hati saja!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar